Rabu, 01 Juni 2022

SAMAKAH KARMA DENGAN UTANG-PIUTANG?





Alkisah di zaman dahulu ada seorang tukang kayu yang hidup bersama isterinya di sebuah rumah sederhana di tepi rimba. Walaupun mereka sudah lama menikah, namun mereka belum mendapatkan keturunan. Pasangan itu sebenarnya sudah lama mendambakan kehadiran seorang anak.

 

Pada suatu hari, seperti yang biasa dilakukannya, si tukang kayu setelah menyiapkan peralatan kerjanya berangkat ke hutan. Dia mencari pohon kayu yang sudah cukup tua, merobohkan pohon yang dipilihnya dengan kapaknya, membuang ranting dan daun yang tidak terpakai, memotong-motong kayunya, menyusun dan mengikatnya lalu membawanya pulang. Sewaktu dia sedang memotong-motong dahan pohon yang besar itu, lamat-lamat didengarnya ada suara orang bercakap-cakap. Menilik dari nada bicaranya, bisa dipastikan suara-suara itu berasal dari percakapan dua anak kecil.

 

Coba kita dengarkan perbincangan dua anak kecil itu. Anak yang satu bertanya kepada kawannya, "hei, mau kemana engkau?" Anak yang lain menjawab, "saya mau ke rumah tukang kayu itu. Saya bermaksud untuk menagih karma. Kamu sendiri hendak pergi kemana?" Anak yang pertama tadi menjawab, "jika demikian tujuan kita sama. Saya juga mau pergi ke rumah tukang kayu itu. Tetapi tujuan saya ke sana bukan untuk menagih, justru saya akan membayar karma." Anak yang kedua pun berseru, "oh kalau begitu kita bisa pergi bersama-sama ke sana. Ayo kita bergandengan tangan."

 

Di siang bolong itu si tukang kayu terheran-heran, bagaimana bisa dia mampu menguping pembicaraan dua anak kecil itu yang tidak kasat mata itu, walaupun dia celingukan berusaha mencari asal-usul suara itu. Si tukang kayu melanjutkan pekerjaaannya dan setelah mengikat sejumlah kayu bakar, dia kemudian mengambil pikulannya, menyimpan kapak dan peralatan kerja lainnya, dan langsung pulang ke rumah. Sesampainya di rumah diceritakan pengalaman ganjilnya kepada isterinya, dan pasangan itu pun menebak apa makna di balik percakapan dua anak kecil yang misterius itu.

 

Hanya selang beberapa minggu setelah kejadian aneh itu, isteri si tukang kayu mendapati dirinya dalam keadaan hamil. Dan setelah mengandung selama sembilan bulan sepuluh hari, isteri tukang kayu itu pun melahirkan dua anak kembar laki-laki. Mereka berdua sangat bersyukur karena pasangan itu tidak muda lagi, dan mereka merasa mujur memperoleh dua anak lelaki sekaligus.

 

Waktu pun berjalan dengan cepat dan dua anak kembar itu pun tumbuh dengan sehat dan kuat. Sejak keduanya masih balita sudah tampak perbedaan yang mencolok di antara keduanya. Yang besar kita namakan si sulung tumbuh menjadi anak yang nakal dan pemalas, sedangkan adiknya atau si bungsu penurut dan rajin. Semakin tumbuh besar dan menjadi remaja, si sulung menjadi anak muda begajulan, yang sering membuat masalah dan kesusahan bagi keluarganya. Kedua orang tuanya pun lalu mengaitkan dengan pertanda ganjil yang muncul sebelum keluarga tukang kayu itu mendapatkan anak. Ayah dan ibunya berpendapat, "pasti si sulung ini anak yang datang untuk menagih karma, karena dia terus-menerus membuat masalah dan menyusahkan orang tuanya." Sampai satu ketika si sulung membuat lagi ulah yang memalukan, dan di mata ayahnya kali ini tak-termaafkan. Segera diusirnya anak itu dari rumah.

 

Sepeninggal si sulung sekarang di rumah itu hanya tersisa ayah, ibu, dan si bungsu. Keluarga itu pun hidup dengan tenang, tenteram, dan damai; tak ada lagi si pembuat onar. Ayah dan ibu sekarang mencurahkan kasih sayangnya kepada si bungsu, dan hanya kepada dia mereka akan menggantungkan hidup di hari tua. Tahun berganti tahun dan seiring dengan itu rasa sayang dan ketergantungan keduanya semakin besar. Namun malang tak dapat ditolak dan mujur tak dapat diraih, tiba-tiba si bungsu jatuh sakit. Tabib pun dipanggil, tetapi bukannya sembuh, sakit yang dideritanya bertambah parah. Sudah tak terhitung berapa banyak ahli pengobatan yang didatangkan, tetapi mereka semua tidak berdaya. Bukan itu saja harta mereka berupa ladang dan ternak sudah habis dijual, dan akhirnya si bungsu pun tidak terselamatkan.

 

Kesedihan dan keterpurukan melanda si tukang kayu dan isterinya. Sudah jatuh ditimpa tangga pula. Anak kesayangan sudah tiada dan mereka pun jatuh miskin. Mereka terhenyak dan baru menyadari, bahwa si bungsu ini ternyata anak yang menagih karma, dan itu bukan si sulung seperti yang mereka anggap sebelumnya. Setelah teringat pada anaknya yang lain, sang ayah merasa sangat menyesal.

 

Sementara itu si sulung setelah diusir oleh ayahnya, dia pergi meninggalkan dusunnya dan mengembara sampai jauh ke negeri orang. Dia sadar bahwa sekarang hidup dan masa depannya tergantung dari dirinya sendiri. Si sulung pun berubah, meninggalkan kebiasaan buruknya sewaktu dia masih tinggal di rumah orang tuanya. Sekarang dia bekerja dengan rajin dan mendapat kepercayaan dari majikannya. Bahkan setelah beberapa lama dia bisa menekuni usaha itu secara mandiri. Setelah mempunyai modal yang cukup dia berhenti dari pekerjaannya, dan bermaksud memulai usahanya di tempat yang baru. Dia teringat pada ayah dan ibunya dan dia merindukannya. Meskipun pernah diusir dari rumah, dia tidak menaruh dendam serta dia bermaksud pulang. Si sulung akhirnya pulang ke kampung halamannya, dan dia menyokong kehidupan orang tuanya, hingga mereka bertiga bisa berkumpul kembali. Ayah dan ibunya baru menyadari bahwa si sulunglah anak yang hadir untuk membayar karma.

 

 

Anda, para pembaca, mungkin pernah mengetahui cerita di atas. Sebelum kita membahas apa yang dimaksud dengan menagih karma dan membayar karma, marilah kita ikuti cerita kedua berikut ini.

 

 

Alkisah, pada suatu masa ada seorang pemuda yang amat frustrasi dan dia sudah sampai pada keinginan untuk bunuh diri. Anda mungkin bisa menebaknya. Ya, sang pemuda kita ini baru saja putus cinta. Kekasihnya, calon isterinya, tiba-tiba meninggalkan dirinya begitu saja tanpa alasan yang jelas. Padahal dia dan pacarnya sudah membina hubungan asmara selama lebih dari tiga tahun, dan mereka berdua telah sepakat untuk segera memasuki gerbang perkawinan.

 

Di tengah keputusasaannya dia bertemu dengan seorang rahib Buddhis alias bhikshu di sebuah biara. Rohaniwan ini bukan sembarang guru, tetapi si bhikshu telah mencapai tataran kemampuan batin yang tinggi. Sang pemuda yang sedang dilanda lara menghadap sang bhikshu untuk meminta petunjuk, dengan menyimpan keingintahuannya yang besar, mengapa cintanya bisa kandas di saat dia sudah sedikit lagi mengenyam kebahagiaan berumah tangga. Setelah mengetahui permasalahan yang dihadapi oleh si pemuda, sang rohaniwan berdiam diri, berkonsentrasi memusatkan pikirannya, batinnya menerawang menuju kehidupan lampau sang pemuda dan kekasihnya, dan setelah beberapa saat dia telah menemukan jawabannya.

 

Dalam penerawangan itu sang bhikshu nan waskita melihat seorang wanita muda yang telah meninggal dunia sedang terbaring di atas tanah di dekat pantai laut yang berombak tenang. Seorang pemuda yang kebetulan lewat di sana hanya memandang tanpa-empati ke arah jenazah itu, serta dia berlalu begitu saja meninggalkan tempat itu. Beberapa saat kemudian, datang lagi pemuda yang kedua. Berbeda dengan orang yang datang duluan, pemuda ini memandang tubuh tak-berdaya itu dengan perasaan iba, lalu dia melepaskan jaket yang sedang dikenakannya dan menutupi tubuh wanita yang malang itu. Segera setelah itu, dia pun melanjutkan perjalanannya. Kemudian setelah beberapa waktu, seorang pemuda lain seorang diri juga lewat di situ. Melihat ada mayat perempuan yang ditutupi jaket dan terlantar begitu saja, muncul rasa welas-asihnya. Dengan peralatan seadanya dia menggali sebuah lubang, memakaikan jaket itu ke tubuh jenazah itu, menyeretnya ke dalam lubang, menimbunnya dengan tanah, dan meletakkan sebuah batu besar di atasnya sebagai penanda. Sebelum meninggalkan tempat itu, si pria ketiga ini masih sempat mendoakan mendiang yang tidak dikenalnya itu.

 

Sang bhikshu setelah melihat kejadian yang berlangsung jauh di masa lalu, dia pun paham atas apa yang telah terjadi. Setelah itu diceritakanlah apa yang telah dilihatnya dalam penerawangan itu kepada sang pemuda. Sang bhikshu melanjutkan: "Wanita dalam kisah itu adalah kekasihmu, yang batal menikah denganmu. Pria yang pertama dalam kisah itu adalah salah satu teman wanita itu. Temannya ini pernah naksir perempuan itu, tetapi cintanya bertepuk sebelah tangan. Pria kedua yang menyerahkan jaketnya kepada wanita itu adalah engkau. Karena jasa baikmu, dia menemanimu selama tiga tahun untuk bersenang-senang denganmu. Tetapi pria ketiga yang telah mengubur jasadnya, dialah yang kini menjadi suami wanita itu." Sang pemuda pun manggut-manggut mendengar penjelasan sang bhikshu. Dia sekarang sadar dan menerima dengan sepenuh hati, bahwa mantan kekasihnya itu memang bukan jodohnya.

 

 

Dua cerita di atas menyingkapkan, betapa besar kekuatan perbuatan kita di masa kehidupan sebelumnya, guna menentukan siapa yang akan menjadi orang terdekat kita dalam kehidupan yang sekarang. Orang terdekat itu bisa suami atau isteri kita, ayah dan ibu kita, atau anak-anak kita. Bahkan orang terdekat itu bisa melebar kepada siapa pun yang akan menjadi famili kita, seperti saudara sekandung, kakek-nenek, cucu, mertua dan menantu, serta ikatan kekerabatan lainnya. Kekuatan perbuatan di masa lalu sering dikaitkan dengan utang-piutang karma. Ajaran ini populer dalam Buddhisme Tiongkok, namun tidak terasa gaungnya dalam Buddhisme Theravada.

 

Apa yang dimaksud dengan utang karma itu? Dalam kehidupan sehari-hari kita dikatakan berutang kepada seseorang, jika kita telah menerima satu barang atau jasa dari orang lain dan kita belum membayarnya. Pada saat kita membayarnya – biasanya dengan menyerahkan sejumlah uang – dikatakan kita sudah membayar utang atau utang itu telah dilunasi. Pada saat pelunasan utang sudah tidak ada lagi urusan gugat-menggugat, dan transaksi itu dinyatakan sudah selesai. Lalu apa itu piutang? Piutang adalah kita yang memberikan satu barang atau jasa dan orang yang menerimanya belum membayar atau melunasinya. Selanjutnya apa itu utang karma? Pada kisah yang kedua, wanita yang mati dikubur oleh pria ketiga itulah yang berutang karma. Dia melunasinya dengan mengawini pria itu dalam kehidupan yang sekarang. Jadi kalau begitu apakah utang karma berarti utang budi? Ya, bisa pula disebut demikian.

 

Dalam ajaran Buddhis hukum karma adalah salah satu dari hukum sebab-akibat. Apa artinya itu? Azas hukum ini berbunyi: 'dengan adanya ini, maka muncullah itu', atau dua kejadian yang berbeda secara waktu itu saling kait-mengait. Apa implikasi hukum sebab-akibat ini? Dengan adanya hukum ini segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini bukanlah bersifat kebetulan atau untung-untungan belaka.

 

Pernahkah Anda para pembaca memikirkan atau merenungkan, mengapa kita memiliki ayah dan ibu seperti yang kita kenal selama ini. Jika kita boleh memilih, mengapa kita tidak dilahirkan dari bapak dan ibu yang merupakan tokoh terkenal di republik ini, atau dari keluarga hartawan yang kaya raya? Kita dilahirkan oleh orang tua kita yang sekarang adalah sebuah takdir, sebuah keniscayaan, karena kita tidak bisa memilih orang yang akan menjadi orang tua kita. Orang sering mengaitkan keniscayaan ini dengan mengatakan, itu bisa terjadi karena kebetulan, atau terjadi secara acak begitu saja. Apakah Anda masih meyakini pendapat ini sebagai suatu kebenaran?

 

Lalu pernahkah Anda yang telah mempunyai pasangan berpikir, mengapa si A ini bisa menjadi suami atau isteri kita, dan bukan si B atau si C yang kita pernah bergaul dan mengenalnya lebih dekat? Dalam perjalanan hidup kita sejak kita masih kanak-kanak hingga seumur ini, entah sudah berapa banyak orang yang kita temui, namun mengapa si A yang akhirnya menjadi pasangan hidup kita? Ada sebuah petikan kuno yang mengatakan: "Dalam pertemuan sekilas antara dua insan berlainan jenis, hanya setelah seratus generasi kita dapat menyeberangi perahu bersama-sama, dan hanya setelah seribu kehidupan kita dapat tidur bersama. Pernikahan adalah kejadian yang sangat langka, yang bisa menyatukan dua orang." Mungkin sebelum Anda kawin dengan si A, Anda punya mantan – maksudnya mantan kekasih – tetapi mengapa hubungan kalian bisa kandas di tengah jalan? Seperti yang kita pelajari dari cerita yang kedua, bukan karena Anda berdua tidak cocok sehingga hubungan kalian putus, tetapi karena utang-piutang karma Anda dengan si A itu lebih kuat dibandingkan ikatan karma Anda dengan sang mantan. Logis bukan?

 

Selanjutnya kita lihat hubungan orang tua dengan anak. Orang tua berkorban untuk anak-anaknya; mulai dari melahirkan, membesarkan, menafkahi, dan mendidik mereka. Jasa orang tua terhadap anaknya tidak akan dan tidak bisa terbalaskan, seperti yang sering dikatakan orang: 'kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jalan.' Dengan demikian jika kita percaya adanya ikatan karma masa lalu, orang tua membayar utang karma kepada anak-anaknya, atau anak-anak memiliki piutang karma terhadap orang tuanya dan mereka menagihnya dalam kehidupan yang sekarang ini. Dalam kisah kita yang pertama, suami-isteri tukang kayu itu berutang karma sangat banyak kepada si bungsu, terbukti dia adalah anak yang menguras harta orang tuanya hingga ludes. Sebaliknya si sulung meskipun sudah menagih karma, dengan menjadi anak keluarga itu, tetapi dia mampu pula membayar utang karma masa lalunya kepada mereka berdua.

 

Ikatan karma masa lalu antara manusia satu dengan manusia lainnya tidaklah sesederhana itu. Tali temali utang piutang karma yang terjadi pada masa kehidupan lalu amatlah banyak, sehingga meninggalkan hubungan yang kompleks. Kita mungkin pernah menyaksikan video pendek tentang ikatan karma masa lampau, seperti kisah seorang ayah yang amat mencintai anak perempuannya. Bisa saja anak perempuan itu dulu adalah kekasihnya, dan sekarang mereka bisa mengungkapkan dan menuntaskan rasa cinta mereka. Jadi jika kita menilai apakah teori ini benar, kita boleh percaya bahwa hukum karma itu benar adanya.

 

Hidup sebagai suami atau isteri, menjadi anak, atau menjadi orang tua, haruslah kita jalani selama hidup di dunia ini. Kepada mereka yang telah memiliki pasangan hidup, apa pun yang telah terjadi seyogianya dijalani dengan penuh tanggung jawab. Banyak suami atau isteri yang mengeluh dan kecewa bahwa setelah membina rumah tangga hingga belasan atau puluhan tahun, mereka mendapatkan pasangan hidup mereka tidak seperti yang diimpikan atau dicita-citakan, seperti yang mereka harapkan sewaktu masa pacaran dulu. Namun haruslah diingat prinsip Tiongkok kuno berikut ini: 无债不来, 無緣不緊 (Wú zhài bù lái, Wú yuán bù jǐn), yang maknanya 'tidak ada utang-piutang, tidak ada pula takdir-hubungan'. Jadi walaupun Anda merasa tidak puas, tetaplah utang atau piutang harus diselesaikan hingga lunas. Tidak perlu ada penyesalan, bersabarlah, dan tunaikan apa yang menjadi kewajiban Anda sekarang, hingga semuanya terbayar lunas. Kapan utang-piutang itu lunas? Umumnya setelah satu pihak sudah meninggal dunia, utang-piutang karma ikut lunas, karena jarang terjadi orang yang menjadi isteri atau suami Anda sekarang akan terus menjadi pasangan hidup Anda lagi di kehidupan yang akan datang.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/220601


Tidak ada komentar:

Posting Komentar