Alkisah di zaman dahulu ada seorang
tukang kayu yang hidup bersama isterinya di sebuah rumah sederhana di tepi
rimba. Walaupun mereka sudah lama menikah, namun mereka belum mendapatkan
keturunan. Pasangan itu sebenarnya sudah lama mendambakan kehadiran seorang
anak.
Pada suatu hari, seperti yang biasa
dilakukannya, si tukang kayu setelah menyiapkan peralatan kerjanya berangkat ke
hutan. Dia mencari pohon kayu yang sudah cukup tua, merobohkan pohon yang
dipilihnya dengan kapaknya, membuang ranting dan daun yang tidak terpakai,
memotong-motong kayunya, menyusun dan mengikatnya lalu membawanya pulang.
Sewaktu dia sedang memotong-motong dahan pohon yang besar itu, lamat-lamat
didengarnya ada suara orang bercakap-cakap. Menilik dari nada bicaranya, bisa
dipastikan suara-suara itu berasal dari percakapan dua anak kecil.
Coba kita dengarkan perbincangan dua
anak kecil itu. Anak yang satu bertanya kepada kawannya, "hei, mau kemana
engkau?" Anak yang lain menjawab, "saya mau ke rumah tukang kayu itu.
Saya bermaksud untuk menagih karma. Kamu sendiri hendak pergi kemana?"
Anak yang pertama tadi menjawab, "jika demikian tujuan kita sama. Saya
juga mau pergi ke rumah tukang kayu itu. Tetapi tujuan saya ke sana bukan untuk
menagih, justru saya akan membayar karma." Anak yang kedua pun berseru,
"oh kalau begitu kita bisa pergi bersama-sama ke sana. Ayo kita
bergandengan tangan."
Di siang bolong itu si tukang kayu
terheran-heran, bagaimana bisa dia mampu menguping pembicaraan dua anak kecil
itu yang tidak kasat mata itu, walaupun dia celingukan
berusaha mencari asal-usul suara itu. Si tukang kayu melanjutkan pekerjaaannya dan
setelah mengikat sejumlah kayu bakar, dia kemudian mengambil pikulannya,
menyimpan kapak dan peralatan kerja lainnya, dan langsung pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah diceritakan pengalaman ganjilnya kepada isterinya, dan
pasangan itu pun menebak apa makna di balik percakapan dua anak kecil yang
misterius itu.
Hanya selang beberapa minggu setelah
kejadian aneh itu, isteri si tukang kayu mendapati dirinya dalam keadaan hamil.
Dan setelah mengandung selama sembilan bulan sepuluh hari, isteri tukang kayu
itu pun melahirkan dua anak kembar laki-laki. Mereka berdua sangat bersyukur
karena pasangan itu tidak muda lagi, dan mereka merasa mujur memperoleh dua
anak lelaki sekaligus.
Waktu pun berjalan dengan cepat dan dua
anak kembar itu pun tumbuh dengan sehat dan kuat. Sejak keduanya masih balita
sudah tampak perbedaan yang mencolok di antara keduanya. Yang besar kita
namakan si sulung tumbuh menjadi anak yang nakal dan pemalas, sedangkan adiknya
atau si bungsu penurut dan rajin. Semakin tumbuh besar dan menjadi remaja, si
sulung menjadi anak muda begajulan,
yang sering membuat masalah dan kesusahan bagi keluarganya. Kedua orang tuanya
pun lalu mengaitkan dengan pertanda ganjil yang muncul sebelum keluarga tukang
kayu itu mendapatkan anak. Ayah dan ibunya berpendapat, "pasti si sulung
ini anak yang datang untuk menagih karma, karena dia terus-menerus membuat masalah
dan menyusahkan orang tuanya." Sampai satu ketika si sulung membuat lagi ulah
yang memalukan, dan di mata ayahnya kali ini tak-termaafkan. Segera diusirnya
anak itu dari rumah.
Sepeninggal si sulung sekarang di rumah
itu hanya tersisa ayah, ibu, dan si bungsu. Keluarga itu pun hidup dengan
tenang, tenteram, dan damai; tak ada lagi si pembuat onar. Ayah dan ibu
sekarang mencurahkan kasih sayangnya kepada si bungsu, dan hanya kepada dia
mereka akan menggantungkan hidup di hari tua. Tahun berganti tahun dan seiring
dengan itu rasa sayang dan ketergantungan keduanya semakin besar. Namun malang
tak dapat ditolak dan mujur tak dapat diraih, tiba-tiba si bungsu jatuh sakit.
Tabib pun dipanggil, tetapi bukannya sembuh, sakit yang dideritanya bertambah
parah. Sudah tak terhitung berapa banyak ahli pengobatan yang didatangkan,
tetapi mereka semua tidak berdaya. Bukan itu saja harta mereka berupa ladang
dan ternak sudah habis dijual, dan akhirnya si bungsu pun tidak terselamatkan.
Kesedihan dan keterpurukan melanda si
tukang kayu dan isterinya. Sudah jatuh ditimpa tangga pula. Anak kesayangan
sudah tiada dan mereka pun jatuh miskin. Mereka terhenyak dan baru menyadari,
bahwa si bungsu ini ternyata anak yang menagih karma, dan itu bukan si sulung
seperti yang mereka anggap sebelumnya. Setelah teringat pada anaknya yang lain,
sang ayah merasa sangat menyesal.
Sementara itu si sulung setelah diusir
oleh ayahnya, dia pergi meninggalkan dusunnya dan mengembara sampai jauh ke
negeri orang. Dia sadar bahwa sekarang hidup dan masa depannya tergantung dari
dirinya sendiri. Si sulung pun berubah, meninggalkan kebiasaan buruknya sewaktu
dia masih tinggal di rumah orang tuanya. Sekarang dia bekerja dengan rajin dan
mendapat kepercayaan dari majikannya. Bahkan setelah beberapa lama dia bisa
menekuni usaha itu secara mandiri. Setelah mempunyai modal yang cukup dia
berhenti dari pekerjaannya, dan bermaksud memulai usahanya di tempat yang baru.
Dia teringat pada ayah dan ibunya dan dia merindukannya. Meskipun pernah diusir
dari rumah, dia tidak menaruh dendam serta dia bermaksud pulang. Si sulung
akhirnya pulang ke kampung halamannya, dan dia menyokong kehidupan orang
tuanya, hingga mereka bertiga bisa berkumpul kembali. Ayah dan ibunya baru
menyadari bahwa si sulunglah anak yang hadir untuk membayar karma.
Anda, para pembaca, mungkin pernah
mengetahui cerita di atas. Sebelum kita membahas apa yang dimaksud dengan
menagih karma dan membayar karma, marilah kita ikuti cerita kedua berikut ini.
Alkisah, pada suatu masa ada seorang pemuda
yang amat frustrasi dan dia sudah sampai pada keinginan untuk bunuh diri. Anda
mungkin bisa menebaknya. Ya, sang pemuda kita ini baru saja putus cinta.
Kekasihnya, calon isterinya, tiba-tiba meninggalkan dirinya begitu saja tanpa
alasan yang jelas. Padahal dia dan pacarnya sudah membina hubungan asmara
selama lebih dari tiga tahun, dan mereka berdua telah sepakat untuk segera
memasuki gerbang perkawinan.
Di tengah keputusasaannya dia bertemu
dengan seorang rahib Buddhis alias bhikshu di sebuah biara. Rohaniwan ini bukan
sembarang guru, tetapi si bhikshu telah mencapai tataran kemampuan batin yang
tinggi. Sang pemuda yang sedang dilanda lara menghadap sang bhikshu untuk
meminta petunjuk, dengan menyimpan keingintahuannya yang besar, mengapa cintanya
bisa kandas di saat dia sudah sedikit lagi mengenyam kebahagiaan berumah
tangga. Setelah mengetahui permasalahan yang dihadapi oleh si pemuda, sang
rohaniwan berdiam diri, berkonsentrasi memusatkan pikirannya, batinnya
menerawang menuju kehidupan lampau sang pemuda dan kekasihnya, dan setelah
beberapa saat dia telah menemukan jawabannya.
Dalam penerawangan itu sang bhikshu nan
waskita melihat seorang wanita muda yang telah meninggal dunia sedang terbaring
di atas tanah di dekat pantai laut yang berombak tenang. Seorang pemuda yang
kebetulan lewat di sana hanya memandang tanpa-empati ke arah jenazah itu, serta
dia berlalu begitu saja meninggalkan tempat itu. Beberapa saat kemudian, datang
lagi pemuda yang kedua. Berbeda dengan orang yang datang duluan, pemuda ini
memandang tubuh tak-berdaya itu dengan perasaan iba, lalu dia melepaskan jaket
yang sedang dikenakannya dan menutupi tubuh wanita yang malang itu. Segera
setelah itu, dia pun melanjutkan perjalanannya. Kemudian setelah beberapa
waktu, seorang pemuda lain seorang diri juga lewat di situ. Melihat ada mayat
perempuan yang ditutupi jaket dan terlantar begitu saja, muncul rasa
welas-asihnya. Dengan peralatan seadanya dia menggali sebuah lubang, memakaikan
jaket itu ke tubuh jenazah itu, menyeretnya ke dalam lubang, menimbunnya dengan
tanah, dan meletakkan sebuah batu besar di atasnya sebagai penanda. Sebelum
meninggalkan tempat itu, si pria ketiga ini masih sempat mendoakan mendiang
yang tidak dikenalnya itu.
Sang bhikshu setelah melihat kejadian
yang berlangsung jauh di masa lalu, dia pun paham atas apa yang telah terjadi.
Setelah itu diceritakanlah apa yang telah dilihatnya dalam penerawangan itu
kepada sang pemuda. Sang bhikshu melanjutkan: "Wanita dalam kisah itu
adalah kekasihmu, yang batal menikah denganmu. Pria yang pertama dalam kisah
itu adalah salah satu teman wanita itu. Temannya ini pernah naksir perempuan itu, tetapi cintanya
bertepuk sebelah tangan. Pria kedua yang menyerahkan jaketnya kepada wanita itu
adalah engkau. Karena jasa baikmu, dia menemanimu selama tiga tahun untuk
bersenang-senang denganmu. Tetapi pria ketiga yang telah mengubur jasadnya,
dialah yang kini menjadi suami wanita itu." Sang pemuda pun
manggut-manggut mendengar penjelasan sang bhikshu. Dia sekarang sadar dan menerima
dengan sepenuh hati, bahwa mantan kekasihnya itu memang bukan jodohnya.
Dua cerita di atas menyingkapkan,
betapa besar kekuatan perbuatan kita di masa kehidupan sebelumnya, guna
menentukan siapa yang akan menjadi orang terdekat kita dalam kehidupan yang sekarang.
Orang terdekat itu bisa suami atau isteri kita, ayah dan ibu kita, atau
anak-anak kita. Bahkan orang terdekat itu bisa melebar kepada siapa pun yang
akan menjadi famili kita, seperti saudara sekandung, kakek-nenek, cucu, mertua
dan menantu, serta ikatan kekerabatan lainnya. Kekuatan perbuatan di masa lalu
sering dikaitkan dengan utang-piutang karma. Ajaran ini populer dalam Buddhisme
Tiongkok, namun tidak terasa gaungnya dalam Buddhisme Theravada.
Apa yang dimaksud dengan utang karma
itu? Dalam kehidupan sehari-hari kita dikatakan berutang kepada seseorang, jika
kita telah menerima satu barang atau jasa dari orang lain dan kita belum
membayarnya. Pada saat kita membayarnya – biasanya dengan menyerahkan sejumlah
uang – dikatakan kita sudah membayar utang atau utang itu telah dilunasi. Pada
saat pelunasan utang sudah tidak ada lagi urusan gugat-menggugat, dan transaksi
itu dinyatakan sudah selesai. Lalu apa itu piutang? Piutang adalah kita yang
memberikan satu barang atau jasa dan orang yang menerimanya belum membayar atau
melunasinya. Selanjutnya apa itu utang karma? Pada kisah yang kedua, wanita
yang mati dikubur oleh pria ketiga itulah yang berutang karma. Dia melunasinya
dengan mengawini pria itu dalam kehidupan yang sekarang. Jadi kalau begitu apakah
utang karma berarti utang budi? Ya, bisa pula disebut demikian.
Dalam ajaran Buddhis hukum karma adalah
salah satu dari hukum sebab-akibat. Apa artinya itu? Azas hukum ini berbunyi:
'dengan adanya ini, maka muncullah itu', atau dua kejadian yang berbeda secara
waktu itu saling kait-mengait. Apa implikasi hukum sebab-akibat ini? Dengan
adanya hukum ini segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini bukanlah
bersifat kebetulan atau untung-untungan belaka.
Pernahkah Anda para pembaca memikirkan
atau merenungkan, mengapa kita memiliki ayah dan ibu seperti yang kita kenal
selama ini. Jika kita boleh memilih, mengapa kita tidak dilahirkan dari bapak
dan ibu yang merupakan tokoh terkenal di republik ini, atau dari keluarga
hartawan yang kaya raya? Kita dilahirkan oleh orang tua kita yang sekarang
adalah sebuah takdir, sebuah keniscayaan, karena kita tidak bisa memilih orang
yang akan menjadi orang tua kita. Orang sering mengaitkan keniscayaan ini
dengan mengatakan, itu bisa terjadi karena kebetulan, atau terjadi secara acak
begitu saja. Apakah Anda masih meyakini pendapat ini sebagai suatu kebenaran?
Lalu pernahkah Anda yang telah
mempunyai pasangan berpikir, mengapa si A ini bisa menjadi suami atau isteri
kita, dan bukan si B atau si C yang kita pernah bergaul dan mengenalnya lebih
dekat? Dalam perjalanan hidup kita sejak kita masih kanak-kanak hingga seumur
ini, entah sudah berapa banyak orang yang kita temui, namun mengapa si A yang
akhirnya menjadi pasangan hidup kita? Ada sebuah petikan kuno yang mengatakan:
"Dalam pertemuan sekilas antara dua insan berlainan jenis, hanya setelah
seratus generasi kita dapat menyeberangi perahu bersama-sama, dan hanya setelah
seribu kehidupan kita dapat tidur bersama. Pernikahan adalah kejadian yang
sangat langka, yang bisa menyatukan dua orang." Mungkin sebelum Anda kawin
dengan si A, Anda punya mantan – maksudnya mantan kekasih – tetapi mengapa
hubungan kalian bisa kandas di tengah jalan? Seperti yang kita pelajari dari cerita
yang kedua, bukan karena Anda berdua tidak cocok sehingga hubungan kalian
putus, tetapi karena utang-piutang karma Anda dengan si A itu lebih kuat
dibandingkan ikatan karma Anda dengan sang mantan. Logis bukan?
Selanjutnya kita lihat hubungan orang
tua dengan anak. Orang tua berkorban untuk anak-anaknya; mulai dari melahirkan,
membesarkan, menafkahi, dan mendidik mereka. Jasa orang tua terhadap anaknya
tidak akan dan tidak bisa terbalaskan, seperti yang sering dikatakan orang:
'kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jalan.' Dengan demikian jika
kita percaya adanya ikatan karma masa lalu, orang tua membayar utang karma
kepada anak-anaknya, atau anak-anak memiliki piutang karma terhadap orang
tuanya dan mereka menagihnya dalam kehidupan yang sekarang ini. Dalam kisah
kita yang pertama, suami-isteri tukang kayu itu berutang karma sangat banyak
kepada si bungsu, terbukti dia adalah anak yang menguras harta orang tuanya
hingga ludes. Sebaliknya si sulung meskipun sudah menagih karma, dengan menjadi
anak keluarga itu, tetapi dia mampu pula membayar utang karma masa lalunya
kepada mereka berdua.
Ikatan karma masa lalu antara manusia
satu dengan manusia lainnya tidaklah sesederhana itu. Tali temali utang piutang
karma yang terjadi pada masa kehidupan lalu amatlah banyak, sehingga
meninggalkan hubungan yang kompleks. Kita mungkin pernah menyaksikan video
pendek tentang ikatan karma masa lampau, seperti kisah seorang ayah yang amat
mencintai anak perempuannya. Bisa saja anak perempuan itu dulu adalah kekasihnya,
dan sekarang mereka bisa mengungkapkan dan menuntaskan rasa cinta mereka. Jadi
jika kita menilai apakah teori ini benar, kita boleh percaya bahwa hukum karma
itu benar adanya.
Hidup sebagai suami atau isteri,
menjadi anak, atau menjadi orang tua, haruslah kita jalani selama hidup di
dunia ini. Kepada mereka yang telah memiliki pasangan hidup, apa pun yang telah
terjadi seyogianya dijalani dengan penuh tanggung jawab. Banyak suami atau
isteri yang mengeluh dan kecewa bahwa setelah membina rumah tangga hingga
belasan atau puluhan tahun, mereka mendapatkan pasangan hidup mereka tidak
seperti yang diimpikan atau dicita-citakan, seperti yang mereka harapkan
sewaktu masa pacaran dulu. Namun haruslah diingat prinsip Tiongkok kuno berikut
ini: 无债不来, 無緣不緊 (Wú zhài bù lái,
Wú yuán bù jǐn), yang maknanya 'tidak ada utang-piutang, tidak ada pula takdir-hubungan'.
Jadi walaupun Anda merasa tidak puas, tetaplah utang atau piutang harus
diselesaikan hingga lunas. Tidak perlu ada penyesalan, bersabarlah, dan
tunaikan apa yang menjadi kewajiban Anda sekarang, hingga semuanya terbayar
lunas. Kapan utang-piutang itu lunas? Umumnya setelah satu pihak sudah
meninggal dunia, utang-piutang karma ikut lunas, karena jarang terjadi orang
yang menjadi isteri atau suami Anda sekarang akan terus menjadi pasangan hidup
Anda lagi di kehidupan yang akan datang.
sdjn/dharmaprimapustaka/220601
Tidak ada komentar:
Posting Komentar