Rabu, 18 Mei 2022

GUAN GONG




Tiongkok menjelang akhir abad kedua setelah Masehi. Kekaisaran Tiongkok yang fenomenal di bawah Dinasti Han sedang mendekati masa surutnya. Setelah berjaya selama hampir empat ratus tahun, periode panjang itu kerap dikenang sebagai masa keemasan bagi peradaban Tiongkok. Kelompok etnis mayoritas Tionghoa modern menamakan diri mereka sebagai 'Orang Han' atau 'Bangsa Han', bahasa resmi mereka disebut 'Bahasa Han', dan tulisan mereka dinamakan pula 'Aksara Han'. Dimulai dari pemerintahan Kaisar Líng (atau 漢靈帝, Hàn Líng Dì, 168-189 M), kemunduran mesin birokrasi imperium tersebut semakin nyata. Urusan negara banyak diserahkan kepada pimpinan orang kasim, di antaranya kepada Zhào Zhōng (趙忠) dan Zhāng Ràng (張讓), sedangkan Sang Kaisar sendiri lebih sibuk mengurusi selir-selirnya dan mengikuti parade militer.

 

Dengan berkuasanya dewan orang kasim yang terkenal korup, mereka juga menentang pembentukan partisan atau kelompok birokrasi yang terdiri dari orang-orang terpelajar. Pada tahun 184 M terjadi Pemberontakan Serban Kuning dan Pemberontakan Lima Takar Padi, yang dipelopori oleh kelompok keagamaan Daois. Masa itu ditandai pula oleh munculnya para Jūnfá (军阀) atau panglima perang (atau warlord, Inggr.). Seorang panglima perang dapat berkuasa karena memiliki banyak tentara pribadi, yang mana para tentara ini memiliki kesetiaan kepada atasannya. Seorang panglima juga harus mempunyai kepribadian yang kuat, berani, serta juga bakat untuk memimpin. Para serdadu ini biasanya direkrut dari pemuda-pemuda setempat, yang karena terbentur pada situasi buruk saat itu, terpaksa penduduk dusun yang malang itu memilih hidup sebagai tentara. Selain itu adalah lazim bagi seorang panglima perang, setelah dia mengalahkan musuhnya dan memiliki banyak tawanan, dia akan memasukkan orang taklukkan itu ke dalam korps tentara mereka.

 

Seorang panglima perang yang berkuasa dapat menarik pajak di daerah yang dikuasainya. Dengan begitu dia bisa menambah pundi-pundi kekayaannya, serta uang pajak itu digunakan pula untuk membiayai tentara-tentaranya. Panglima perang adalah produk dari melemahnya pemerintah pusat dan sentralisasi suatu negara. Panglima perang umumnya mengabaikan keberadaan pemerintah pusat, bahkan ada yang bersaing dengan pemerintah pusat.

 

Tokoh kita kali ini bernama Guān Yǔ atau 關羽,yang berasal dari Jiě Xiàn (解縣) atau Kadipaten Xie. Nama kehormatan aslinya adalah Cháng Shēng (長生). Tidak diketahui secara pasti kapan Guān Yǔ dilahirkan, tetapi berdasarkan perkiraan dia kelahiran tahun 160 atau 164. Guān Yǔ sangat rajin belajar dan dia tertarik pada buku sejarah kuno Zuo Zhuan, serta setelah mempelajarinya beberapa lama dia mampu melafalkan baris-baris dalam kitab itu dengan lancar. Dia melarikan diri dari kampung halamannya untuk alasan yang tidak diketahui dan pergi untuk mengabdikan diri ke seorang panglima perang di Kadipaten Zhuō.

 

Guān Yǔ dikenal sebagai sosok pria yang besar tubuhnya dan kuat, yang membuatnya berbakat menjadi petarung dan prajurit handal. Tidak ada lukisan-diri atau deskripsi tentang penampilan fisik Guān Yǔ dalam catatan sejarah, namun Sānguózhì (atau 三國志 yakni 'Catatan Tiga Kerajaan', sebagai dokumen resmi Sejarah Tiongkok yang ditulis oleh 陳壽 / Chén Shòu) mencatat bahwa Zhūgé Liàng pernah menyebut Guān Yǔ memiliki "jenggot tak tertandingi", bagaikan serumpun buah anggur. Secara tradisional, Guān Yǔ digambarkan sebagai prajurit berwajah merah dengan janggut panjang dan lebat. Gagasan tentang wajah merahnya mungkin berasal dari deskripsi dirinya dalam Bab 1 dari novel sejarah abad ke-14 'Romansa Tiga Kerajaan' (Sānguó Yǎnyì atau 三國演義), pada frasa berikut ini: "Xuande melihat ke arah pria itu, yang memiliki wajah dengan tinggi sembilan chi, dan memiliki janggut panjang dua chi. Wajahnya berwarna zao gelap, dengan bibir yang merah dan montok. Matanya seperti burung-api merah tua, dan alisnya mirip ulat sutra yang sedang berbaring. Dia memiliki penampilan yang bermartabat dan terlihat sangat anggun." Wajah yang berwarna merah mungkin dipinjam dari penampilan opera Tiongkok Kuno, yang mana wajah merah mewakili kesetiaan dan kebenaran. Dalam ilustrasi novel terkenal itu Guān Yǔ secara tradisional digambarkan mengenakan jubah hijau di luar baju zirahnya. Konon, senjata Guān Yǔ yang sangat diandalkannya adalah guan dao bernama 'Pedang Bulan Sabit Naga Hijau' dan dikatakan memiliki berat 82 kati (sekitar 49,2 kg).

 

Kisah pertemuan antara Guān Yǔ dengan dua orang yang kelak menjadi saudara angkatnya diceritakan pada Bab 1 'Romansa Tiga Kerajaan', yang bercerita tentang kisah perebutan kekuasaan oleh Sepuluh Orang Kasim dan Pemberontakan Serban Kuning, yang selanjutnya mengacaukan Kekaisaran Han. Ketika pemberontak Serban Kuning menyerbu Provinsi Yōu Zhōu (幽州), Gubernur setempat memasang pemberitahuan wajib-militer di wilayahnya. Melihat pemberitahuan itu, Liú Bèi atau 劉備 (28 tahun), keturunan jauh dari rumah penguasa kekaisaran, menghela nafas panjang. Dia kemudian dimarahi oleh Zhāng Fēi (張飛), yang bekerja sebagai penjual daging, karena tidak melayani negara. Liú Bèi kemudian berbagi aspirasi untuk menyelamatkan negara dan rakyat, dan Zhāng Fēi menyarankan agar mereka bersama-sama merekrut milisi sukarela untuk memerangi Pemberontakan Serban Kuning. Saat minum di sebuah kedai-arak, mereka bertemu Guān Yǔ, yang sedang dalam perjalanan untuk bergabung dengan milisi. Liú Bèi memberitahu rencana mereka dan ketiga pria itu pergi ke rumah Zhāng Fēi untuk berdiskusi.

 

Zhāng Fēi menyarankan mereka harus melakukan upacara pengorbanan ke langit dan bumi, serta mengambil sumpah sebagai saudara di bawah pohon persik yang mekar di tamannya, yang disetujui Liú Bèi dan Guān Yǔ. Sumpah itu begitu terkenal dan Penulis akan kembali menyitirnya: "Ketika menyebut nama Liú Bèi, Guān Yǔ, dan Zhāng Fēi; meskipun nama-marganya berbeda, namun kami telah bersatu sebagai saudara. Mulai hari ini kami akan bergabung untuk tujuan bersama: 'menyelamatkan yang bermasalah dan membantu yang terancam punah.' Di atas kami akan membalaskan dendam bangsa, dan di bawah kami akan memenangkan warga. Kami memang tidak dilahirkan pada hari yang sama, di bulan yang sama, atau pada tahun yang sama. Semoga para Dewa, Langit, dan Bumi membuktikan apa pun yang ada di hati kami. Jika kami harus melakukan sesuatu untuk mengkhianati persahabatan kami, semoga Surga dan orang-orang di Bumi bersama-sama akan membunuh kami." Setelah melakukan sumpah, Liú Bèi dinyatakan sebagai kakak tertua, diikuti oleh Guān Yǔ, dan Zhāng Fēi sebagai yang bungsu. Liú Bèi memerintahkan seorang pengrajin untuk menempa sepasang senjata; Guān Yǔ memperoleh 'Pedang Bulan Sabit Naga Hijau', dan Zhāng Fēi mendapatkan 'Tombak Ular'. Khusus untuk Zhāng Fēi, publik di Indonesia di masa lalu lebih mengenalnya dengan nama Tio Hoei, berdasarkan kisah yang diambil dari 'Romansa Tiga Kerajaan'. Segera setelah persiapan mereka rampung, ketiganya bergabung dengan milisi sukarelawan untuk membantu seorang kolonel, Zōu Jìng (鄒靖), seorang petinggi militer dari Kekaisaran Han Timur, yang ditugaskan untuk meredam pemberontakan itu.

 

Di atas telah dijelaskan bahwa Pemberontakan Serban Kuning mulai berkecamuk pada tahun 184, serta perpecahan di pusat pemerintahan makin menjadi-jadi antara faksi orang kasim melawan para partisan. Puncaknya terjadi pada tahun 189 dengan terjadinya kekacauan di kotaraja dan terbunuhnya Kaisar Líng. Pada saat itu ada seorang negarawan bernama Dǒng Zhuō (董卓) yang menguasai kota Luoyang. Dǒng Zhuō segera mengambil alih tahta dan mengangkat 'Kaisar Muda' (劉辯, Liú Biàn) sebagai penggantinya, dengan dirinya sendiri bertindak sebagai perdana menteri. Tidak sampai di situ, pada tahun 190 Dǒng Zhuō memberhentikan 'Kaisar Muda' dan digantikan oleh Kaisar Xiàn (漢獻帝, Hàn Xiàn Dì), yang merupakan kaisar boneka, dan serta merta dia sendiri berubah menjadi seorang diktator. 'Catatan Tiga Kerajaan' mencatat insiden ketika Dǒng Zhuō memimpin pasukannya ke Yáng Chéng (阳城), dia menyuruh anak buahnya memenggal semua penduduk laki-laki. Para serdadu merampok kota dan membawa pergi para perempuan, sapi, dan semua harta berharga; dengan mengklaim bahwa mereka telah menaklukan pasukan pemberontak. Kebejatan Dǒng Zhuō tidak sampai di situ, dia juga tidur dengan para wanita istana bahkan dengan sang permaisuri. Namun kekejamannya menimbulkan kemarahan rakyat di mana-mana. Para panglima perang di seluruh kekaisaran segera membentuk koalisi guna melawannya, seperti Yuán Shù (袁术), Cáo Cāo (曹操), Liú Bèi, dan Sūn Jiān (孫堅), sehingga Dǒng Zhuō terpaksa memindahkan ibukota ke Chang'an. Kekuasaan Dǒng Zhuō pun berakhir setelah dia dikhianati dan dibunuh oleh anak angkatnya sendiri, Lǚ Bù (呂布), pada tahun 192.

 

Keterampilan Guān Yǔ dalam bertarung dan berperang bisa dilihat pada saat dia dan kedua saudaranya bergabung dalam angkatan perang Gōngsūnzàn (公孫瓚),yang mana Gōng saat itu berada dalam satu koalisi yang menentang Dǒng Zhuō. Dǒng menempatkan petarung andalannya, Huá Xióng (華雄)untuk menjaga Sishu. Huá Xióng seakan tidak terkalahkan setelah membunuh empat perwira pasukan koalisi, yaitu Bao Zhong, Zu Mao, Yu Shen, dan Pan Feng. Saat itu tak ada pemimpin koalisi yang percaya saat Guān Yǔ menawarkan diri untuk menghabisi Huá, serta dia mempertaruhkan untuk memberikan kepalanya apabila upayanya gagal. Guān Yǔ kemudian beraksi seorang diri, menerobos pertahanan Huá Xióng, dan lewat pertarungan singkat berhasil memenggal kepala lawannya. Dia kembali dengan kepala Huá Xióng yang berada dalam genggaman tangannya, saat anggur merah yang dituang Cáo Cāo masih terasa hangat, padahal minuman itu baru dituang sebelum Guān Yǔ pergi.

 

Ketika Liú Bèi diangkat sebagai Menteri, Guān Yǔ dan Zhāng Fēi mendapatkan jabatan mayor dengan  masing-masing memimpin detasemen tentara di bawah Liú Bèi. Liú Bèi menyayangi mereka seolah-olah mereka adalah saudaranya sendiri, dan mereka bertiga berbagi kebersamaan ini sampai-sampai menempati kamar yang sama; tidur di tikar yang sama dan makan dari panci yang sama. Guān Yǔ dan Zhāng Fēi juga terus berjaga di samping Liú Bèi saat dia sedang menghadiri pertemuan. Mereka mengikutinya pula dalam petualangan militernya, dan melindunginya dari segala ancaman bahaya. Guān Yǔ terkenal karena kebaikannya terhadap anak buahnya yang mana mereka diperlakukan sebagai keluarganya sendiri, tetapi dia kurang menjaga tata krama ketika bertemu dengan para bangsawan.

 

Persekutuan antara panglima perang tidak berlangsung lama, karena mereka saling gontok-gontokan satu sama lain. Pada tahun 200, Cáo Cāo memimpin pasukannya untuk menyerang Liú Bèi, mengalahkannya dan merebut kembali Provinsi Xu. Liú Bèi melarikan diri ke Tiongkok Utara dan mencari perlindungan di bawah Yuán Shào (袁紹), seorang saingan Cáo Cāo, sementara Guān Yǔ ditangkap oleh pasukan Cáo Cāo dan dibawa kembali ke Xu. Cáo Cāo memperlakukan Guān Yǔ dengan hormat dan meminta Kaisar Xiàn untuk mengangkat Guān Yǔ sebagai Letnan Jenderal (偏將軍 atau Piān Jiāngjūn). Belakangan tahun itu, Yuán Shào mengirim jenderalnya Yán Liáng (顔良) untuk memimpin pasukan guna menyerang garnisun Cáo Cāo di Báimǎ (白馬) dekat Kabupaten Hua, sekarang Henan, yang dipertahankan oleh Liu Yan (劉延). Cáo Cāo mengirim Zhāng Liáo (張遼) dan Guān Yǔ untuk memimpin barisan depan guna menyerang musuh. Di tengah pertempuran, Guān Yǔ mengenali payung Yán Liáng sehingga dia menyerang jenderal musuhnya itu, memenggal kepalanya, dan membawa kepala itu. Anak buah Yán Liáng tidak bisa menghentikannya. Dengan kematian Yán Liáng, pengepungan terhadap Báimǎ dicabut. Atas rekomendasi Cáo Cāo, Kaisar Xiàn memberikan Guān Yǔ gelar bangsawan 'Marquis dari Dusun Hàn Shòu' (漢壽亭侯, Hàn Shòu Tíng Hóu).

 

Meskipun Cáo Cāo mengagumi karakter Guān Yǔ, dia juga merasakan bahwa Guān Yǔ tidak berniat untuk mengabdi di bawahnya untuk waktu yang lama. Dia berkata kepada Zhāng Liáo, "Mengapa kamu tidak menggunakan persahabatanmu dengan Guān Yǔ untuk mencari tahu apa yang dia inginkan?" Ketika Zhāng Liáo menanyainya, Guān Yǔ menjawab, "Saya sadar bahwa Tuan Cáo memperlakukan saya dengan sangat murah hati. Namun saya juga telah menerima banyak bantuan dari Jenderal Liú, dan saya telah bersumpah untuk mengikutinya sampai saya mati. Saya tidak dapat melanggar sumpah saya. Saya akan pergi pada akhirnya, jadi mungkin Anda bisa membantu saya menyampaikan pesan saya kepada Tuan Cáo." Zhāng Liáo melakukannya, dan Cáo Cāo bahkan lebih terkesan terhadap Guān Yǔ.

 

Nasib malang menimpa Guān Yǔ di penghujung tahun 219. Saat itu Guān Yǔ mundur dari Fancheng karena pasukan Sūn Quán (孫權) telah menduduki Jiangling dan menangkap pengawal keluarga Guān Yǔ. Sebagian besar tentara Guān Yǔ telah kehilangan semangat juang, dan mereka melakukan desersi dengan kembali ke Provinsi Jing untuk bersatu kembali dengan keluarga mereka. Guān Yǔ tahu bahwa dia telah diisolasi sehingga dia mengungsi ke Distrik Zhāng Xiān (漳鄉), tempat anak buahnya yang tersisa meninggalkannya dan menyerah kepada musuh. Guān Yǔ, bersama puteranya Guān Píng (關平) ditangkap hidup-hidup oleh musuh dalam sebuah penyergapan. Guān Yǔ dan Guān Píng kemudian dieksekusi oleh pasukan Sūn Quán di Lín Jǔ (臨沮), sekarang Nanzhang, Hubei. Kematian Guān Yǔ diperkirakan terjadi pada Januari atau Februari 220.

 

 

Kehidupan Guān Yǔ diagungkan dan prestasinya dimuliakan sedemikian rupa setelah kematiannya, sehingga ia didewakan pada zaman Dinasti Sui. Melalui cerita yang diturunkan dari generasi ke generasi, yang berpuncak pada novel sejarah abad ke-14 'Romansa Tiga Kerajaan'; suri tauladan dan kualitas moralnya mendapat perhatian besar, menjadikan Guān Yǔ salah satu paradigma kesetiaan dan kebenaran paling populer di Asia Timur. Sosok ini masih dipuja oleh banyak orang Tionghoa baik di Tiongkok Daratan maupun di manca negara, hingga saat ini. Dalam agama orang Tionghoa, Guān Yǔ dimuliakan dan dipanggil sebagai 'Kaisar Guān' (關帝; Guān Dì), menyiratkan status kedewaannya, serta 'Tuan Guān' atau Guān Gōng (關公) atau istilah Hokkian-nya 'Kwan Kong'. Sedangkan gelar Tao-nya adalah 'Kaisar Suci Tuan Guan' (關聖帝君, Guān Shèng Dì Jūn). Dalam aliran Buddha Mahāyāna, sosok Guān Yǔ dikenal pula dengan sebutan 'Bodhisattva Sagharama'.

 

Di Indonesia kuil yang mendedikasikan dirinya untuk dijadikan pemujaan Guān Gōng adalah Kelenteng Kwan Sing Bio, artinya 'Rumah Pemujaan Dewa Kwan Kong'. Seperti namanya kelenteng ini memang dipersembahkan bagi Guān Gōng, dewa pelindung utama yang sosoknya digambarkan sebagai panglima perang zaman Dinasti Han. Setiap tahun, tepatnya tanggal 24 bulan keenam pada penanggalan Tionghoa, banyak peziarah yang datang ke Tuban untuk memperingati ulang tahunnya. Kelenteng Kwan Sing Bio berada di pinggir Jalan Raya Pantura, tepatnya di Jalan Martadinata No.1, Kelurahan Karangsari, Kecamatan Kota Tuban, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Kelenteng ini merupakan satu-satunya bio yang menghadap langsung ke arah laut.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/220518


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar