Siang hari di musim gugur adalah saat
yang menyenangkan dengan cuacanya yang cerah, karena hawa udara tidak terlalu
dingin, pun tidak kelewat panas. Pepohonan meranggaskan daun-daunnya yang
tadinya berwarna kuning-jingga, kemudian mendadak mengubah sisanya menjadi
merah-merona, menyala-nyala bagaikan bara api. Berharap untuk mendapatkan
buahnya, mereka membiarkan tudung hijaunya berguguran. Dalam puncak mekarnya,
pohon-pohon akan membuat hati siapa pun yang menyaksikannya bersenandung riang,
seraya menghembuskan aroma wanginya ke empat penjuru. Namun eloknya siang hari
itu tak mampu meneduhkan hati Śuddhodana, sang penguasa Shakya, yang sedang
gundah gulana memikirkan takdir sang penerus tahtanya. Masih terbayang dalam
ingatannya peristiwa beberapa belas tahun lalu, saat para brahmana-peramal
mengemukakan peneropongan mereka, ikhwal masa depan sang putera mahkota.
Saat sang pewaris tahta yang baru
berumur lima hari ditunjukkan kepada mereka, tujuh ahli nujum itu tanpa ragu
berkata, "Sang Putera Mahkota adalah seorang Chakravartīn, sesosok calon Raja Diraja, yang hanya muncul sekali
dalam ribuan tahun. Namun jika dia tidak menjadi Penguasa Dunia dan
meninggalkan istananya, dia akan menjadi seorang Buddha, yang akan
menyelamatkan para dewa dan manusia." Bahkan Sang Petapa Asita, seorang
suciwan sepuh yang mampu menguping pembicaraan para dewata, telah memberi tahu
bahwa putera mahkota tidak lain Sang Manusia Agung yang telah lahir di
lingkungan keluarga penguasa Shakya. Ketika Śuddhodana menanyai kelompok tujuh
brahmana itu, dengan cara apa pangeran sampai meninggalkan istananya; mereka
pun menjawab, "peristiwa itu akan terjadi jika Pangeran Mahkota melihat
orang tua, orang sakit, sesosok jenazah, dan seorang petapa suci." Peristiwa
itu dikenal dengan sebutan "empat pertanda" atau "empat
penampakan".
Sekarang Siddhārtha, sang putera
mahkota, telah mencapai masa akil-balig dan tahun depan dia akan berusia
enam-belas tahun. Ayahnya memerintahkan para bawahannya untuk membangun istana
yang khusus diperuntukkan bagi putera kesayangannya. Tiga bangunan megah yang
masing-masing memiliki sembilan lantai dibangun; satu paviliun sejuk untuk
digunakan pada musim panas, kediaman kedap-air yang cocok ditinggali pada musim
hujan, dan kastil hangat yang nyaman dihuni ketika berlangsungnya musim dingin.
Istana-istana ini dibangun di atas lanskap yang permai, dengan taman dan kebun
bunga dan buah yang terawat dengan apiknya. Tiga buah kolam buatan pun begitu
sedap dipandang mata, lengkap dengan lotus dan teratai seukuran roda dengan
bunganya yang berwarna merah, biru, dan putih. Semuanya terjaga dan terawat
dengan baik, sehingga tidak ada nyamuk, lalat, serangga pengganggu, atau ular
yang dapat masuk ke dalamnya. Kawanan burung datang ke istana dari pegunungan
Himalaya, sang raja pegunungan. Ada pattragupta,
beo, mynas, cuckoo, angsa liar, burung gajahan, merak, flamingo, burung bulbul,
burung pegar, dan banyak lainnya. Burung-burung itu memiliki sayap yang elok
dalam berbagai warna dan mereka bernyanyi dengan suaranya yang merdu. Mereka
bertengger di beranda, menara, pintu masuk, paviliun, dan teras atas kediaman
agung Raja Śuddhodana.
Di tiga istana ini semua perbekalan
seperti beras-nasi, beras-ketan, bulir gandum, milet, barley, sorghum, mentega, ghee,
minyak wijen, madu, gula mentah, dan air tebu tidak pernah habis dan tampak
penuh meskipun digunakan secara melimpah. Di dalam kamar-kamar tersedia jubah
atas, jubah bawah, gaun, saree,
selendang, serban, sabuk pinggang, sandal, dan sepatu; semuanya indah dan
berkualitas baik. Di dalam kamar penyimpanan pusaka penuh dengan barang
kerajinan dan karya seni yang luar biasa. Belum lagi khazanah yang dipenuhi
berbagai barang berharga, seperti emas, perak, permata, mutiara, beril, kerang,
kristal, dan koral; yang jika dibuka tutupnya akan menunjukkan kesempurnaan dan
kelimpahannya yang tanpa cela. Di ruang-hiburan tersedia piranti musik, seperti
gendang besar, gendang tanah-liat, seruling, kecapi, pipa-buluh, kecapi tiga
senar, genta, dan simbal; yang jika dimainkan dengan benar mampu mengeluarkan
musik yang merdu. Dan ini yang paling penting, aura murni dan tak bernoda, yang
jauh lebih cemerlang daripada cahaya matahari dan bulan, muncul dalam komplek
istana dan mampu memberikan kesenangan jiwa dan raga bagi semua penghuninya.
Pada tahun itu juga Siddhārtha
dinikahkan dengan Yasodhara yang cantik rupawan, yang masih merupakan saudara
sepupunya, puteri dari Raja Suppabuddha dan Permaisuri Amita. Pesta perkawinan
keduanya bertepatan pula dengan ulang tahun ke-delapan-puluh-enam era
pemerintahan kakeknya dari pihak ayah. Pada kesempatan itu sang putera mahkota
dikuduskan, dengan cara menuangkan air yang diberkati ke atas kepalanya.
Setelah ketiga istana itu rampung dan
sang putera menikah, kegundahan Śuddhodana pun berkurang. Dia pun memerintahkan
agar gadis-gadis penghibur, yang pandai bernyanyi dan terampil memainkan alat
musik serta mereka yang piawai dalam sendratari, selalu hadir di hadapan sang
pangeran. Mereka semua ditantang untuk tampil mempesona dalam setiap momen,
dengan tarian dan musik yang tiada henti. Siddhārtha muncul di tengah mereka
dengan ketampanan dan martabat sesosok dewa, dikelilingi oleh rombongan besar
para dewi. Selaras dengan pergantian musim, dia berpindah dari satu istana ke
istana lain, bergerak seolah-olah dalam lingkaran kesenangan dan hiburan yang
selalu diperbaharui. Raja Śuddhodana, yang sangat ingin melihat puteranya
menjadi raja-dunia, yang kekuasaannya akan meluas hingga ke empat pulau besar
dan dua ribu pulau yang lebih kecil; memberikan perintah yang paling tegas
bahwa tidak satu pun dari empat pertanda itu, yang boleh dilihat oleh sang
pangeran mahkota. Penjaga-penjaga ditempatkan di segala arah pada jarak setiap
seratus kaki, dibebankan hanya dengan satu tingkat kewaspadaan, yaitu menjaga
agar tidak terlihat oleh Siddhārtha munculnya penampakan fatal ini.
Dikurung dalam tiga istananya yang
megah, apakah sang pangeran hidup bahagia? Kehidupan dalam istana memang nyaman
dan terlindung-penuh. Pangeran kita pun tumbuh menjadi pribadi yang suka
merenung. Mungkinkah pangeran selalu diusik oleh bayangan gelap yang berasal
dari kehidupan sebelum yang sekarang ini?
Apakah dia curiga dunia di luar lingkungan istana tidak sebahagia, tidak
seelok, tidak sebagus dunia yang diciptakan secara buatan khusus untuk
dirinya? Atau apakah dia memiliki
pengetahuan bawah-sadar bahwa kehidupannya akan diabdikan untuk sesuatu yang
sama sekali berbeda dengan apa yang dilakoninya sekarang, serta adakah misi
yang lebih agung yang sesuai dengan kata hatinya yang perlu diembannya? Para
kerabat Raja Śuddhodana mengeluh kepada Raja tentang perilaku sang putera
mahkota. Mereka mempertanyakan apakah Siddhārtha mampu mengambil-alih tahta
ketika tiba waktunya kelak. Sadar akan celaan ini, Śuddhodana memanggil puteranya,
yang kepadanya dia sampaikan keluhan yang ditujukan kepadanya oleh kerabatnya.
Tanpa menunjukkan emosi apa pun, pangeran mahkota itu menjawab, "Biarlah
diumumkan melalui suara genderang di seluruh negeri, bahwa satu minggu dari
sekarang aku akan menunjukkan kepada para kerabatku di hadapan para guru dan
pakar terbaik. Silahkan dilakukan penilaian secara obyektif, apakah aku
sepenuhnya fasih dalam delapan-belas seni beladiri, kemampuan berperang, dan
penguasaan ilmu pengetahuan." Pada hari yang ditentukan, dia menunjukkan
kepada mereka semuanya betapa cekatannya dia memperagakan seni beladiri, betapa
terampilnya dia memainkan berbagai jenis senjata, serta betapa luas wawasan
pengetahuannya. Mereka pun puas, dan keraguan serta kecemasan mereka atas dirinya
sepenuhnya sirna.
Kita tinggalkan dulu Siddhārtha, dan
kita menuju Tuṣita, satu istana kahyangan yang dikenal sebagai "Surga
Kesukacitaan". Di sana para kerabat Siddhārtha dalam kehidupan sebelumnya
sedang berbincang-bincang. Mari kita dengarkan pembicaraan mereka.
"Saudara-saudaraku, dulu sewaktu Svetaketu baru saja wafat dan
meninggalkan kita, kita pernah berjanji: 'Siapa di antara kita yang memiliki
keberanian untuk melayani Bodhisattva terus-menerus dan tanpa henti, saat dia
melakukan perjalanan ke rahim ibunya? Siapa yang akan melayaninya saat dia
berada di dalam kandungan, saat dia lahir, saat dia tumbuh dan bermain sebagai
anak kecil? Siapa yang akan melayaninya ketika dia berada di istananya, ketika
dia dihibur oleh para gadis yang pandai bermain musik, menyanyi, dan menari?
Siapa yang akan melayaninya ketika dia meninggalkan rumahnya dan melatih
tapa-brata? Siapa yang akan melayaninya saat dia melanjutkan ke takhta
pencerahan, menjinakkan siluman, mencapai pencerahan sempurna? Siapa yang akan melayaninya
saat dia memutar Roda-Dharma? Siapa yang akan melayaninya menjelang dia menuju
ke Parinirvāṇa yang agung?' "
"Sekarang Svetaketu sudah
mendekati usia yang ketiga-puluh dan belum ada tanda-tanda dia akan melakukan
pelepasan-agung untuk melakukan pencaharian guna mencapai pencerahan."
Sesosok dewa lain berkomentar, "bagaimana mungkin Svetaketu bisa
meninggalkan istananya, jikalau ayahnya menjaganya sedemikian ketatnya?"
Dewa yang lain menanggapi, "Svetaketu baru akan tergerak melakukan
pelepasan-agung setelah dia melihat empat penampakan." Dewa yang pertama
kali bicara lalu berkata, "oleh karena itu kita harus campur tangan agar
Bodhisattva dapat segera melanjutkan misinya ke tahap selanjutnya."
Hingga tibalah saatnya Sang Pangeran
Mahkota dan isterinya melakukan kunjungan ke kotaraja. Seluruh kotaraja telah
didekorasi dengan indah, dengan taman-kota dihiasi dengan kanopi-kain dalam
berbagai warna, serta payung, bendera, dan umbul-umbul. Jalan yang akan dilalui
sang pangeran telah disapu bersih, disemprot dengan air wangi, dan ditaburi
kelopak bunga segar. Pembakar dupa mengeluarkan asap harumnya, dan di sepanjang
jalan jambangan bunga ditempatkan, serta pohon pisang raja ditanam. Jalan itu
dinaungi oleh kanopi sutra dalam berbagai warna, dan dihiasi jaring-jaring
lonceng permata kecil serta karangan bunga dan jumbai dekoratif. Empat divisi
tentara juga telah mengambil posisi di sepanjang rute, dan anggota rombongan
sibuk mendandani permaisuri pangeran muda. Di tengah semua kesibukan ini,
rombongan pangeran ke luar melalui gerbang-timur kota dalam perjalanannya ke
taman. Sesosok dewa dari Surga Tuṣita yang telah turun ke bumi, menggunakan
kemampuan magisnya dengan menyalin-rupa menjadi sesosok manusia. Beginilah
penampakannya :
Seorang kakek, tua-renta, dengan tubuh
yang sangat kurus,
Satu wajah yang dipenuhi oleh kisut dan
keriput;
Serta sepasang mata yang hampir buta,
Mulutnya tak dapat menahan angin karena
gigi-giginya sudah tanggal.
Punggungnya bengkok seperti
kasau-pelana, dan otot-ototnya pun kaku.
Lemah dan lunglai, digunakannya tongkat
agar dirinya tidak jatuh,
Sekujur tubuhnya gemetar kesakitan;
Dan vitalitasnya telah lama hilang.
Penampakan dewa dalam bentuk manusia
hanya bisa dilihat oleh sang pangeran dan ajudan atau kusirnya. Orang-orang
lain di luar keduanya terlena dalam urusan mereka masing-masing. Siddhārtha
dalam keheranannya berkata kepada kusirnya Channa, makhluk apa gerangan yang
muncul di hadapannya. Channa menjawabnya dengan menyebut, itulah 'orang tua'.
"Apakah ia dilahirkan dalam keadaan seperti itu?", demikian tanya
sang pangeran. "Tidak, Tuanku. Dia dulunya muda dan gagah seperti
Paduka." "Masih bisakah kita temukan orang tua lain yang seperti
dia?", tanya sang pangeran dengan raut wajah yang semakin bingung.
"Amat banyak, Yang Mulia." "Dan bagaimana ia bisa tiba pada
kondisi yang menyedihkan itu?" "Kondisi itu berasal dari hakikat
kehidupan, bahwasanya semua manusia
bertumbuh-kembang sampai menjadi tua dan lemah, bila manusia itu tidak mati
muda" "Jadi aku juga akan menjadi tua juga, Channa?"
"Paduka sendiri juga tidak terkecuali. Begitulah kenyataannya, Yang
Mulia." Penampakan singkat itu membuat sang pangeran begitu berduka dan
dia minta diantar pulang. Hilang juga rasa senangnya meskipun semua yang ada di
lingkungannya tampak begitu indah bagi orang lain.
Śuddhodana merasa heran mengapa
rombongan kerajaan melakukan perjalanan ke kota dalam tempo yang singkat. Para
peserta lain yang menyertai rombongan itu pun tidak mengetahui, apa alasan
pangeran memperpendek lawatannya itu. Barulah setelah mendengar pengakuan
Channa, sang raja pun maklum, tetapi dia pun kebingungan karena tidak ada orang
lain yang menyaksikan pertanda yang pertama ini.
Waktu pun berjalan terus dan selang
beberapa lama kemudian, ketika Siddhārtha sedang menuju taman-kota melalui
gerbang selatan dengan disertai dengan rombongan besar, kejadian serupa
berulang kembali. Sesosok dewa Tuṣita menyamar sebagai manusia. Beginilah
penampakannya :
Laki-laki setengah baya itu terbaring
lemah di tepi jalan,
Dia terbatuk-batuk dengan dahak dan air
liurnya ke luar dari mulutnya;
Napasnya tersengal-sengal dan kedua
matanya berputar-putar,
Sambil memegang dadanya yang nyeri, dia
pun merintih-rintih.
Pada wajah dan tubuhnya tampak
bercak-bercak ungu,
Kulit badannya pun menghitam di
beberapa tempat;
Tak ada lagi orang yang peduli padanya,
Dan orang malang itu semakin menderita
dalam kubangan kotorannya sendiri.
Sang pangeran dikenal sebagai orang
yang welas-asih, dengan cepat menghampiri orang itu, mengangkatnya, meletakkan
kepalanya di atas pangkuannya, dan dengan suara menghibur dia bertanya,
"mengapa engkau seperti ini, wahai sahabat." Orang sakit itu sudah
tidak dapat menjawab dan dia menangis tersedu-sedu. "Channa, katakanlah,
mengapa orang ini? Adakah yang salah dengan napasnya? Mengapa dia tidak
bicara?" "Oh, Tuanku, jangan menyentuh orang itu lebih lama lagi.
Orang itu sakit dan darahnya beracun. Dia diserang demam sampar dan seluruh
badannya terasa terbakar. Oleh karena itulah dia merintih-rintih dan tidak lagi
dapat bicara lagi." "Tetapi masih adakah orang lain yang seperti
dia?" "Ada, dan Paduka mungkin orangnya kalau Tuanku memegangnya
seperti itu. Mohon dengan sangat agar Paduka meletakkannya kembali di tanah,
dan jangan menyentuhnya lagi karena sampar itu sangat menular."
"Channa, masih banyakkah hal-hal buruk seperti ini selain penyakit
sampar?" "Sesungguhnya, Paduka, ada puluhan penyakit lainnya yang
sama hebatnya seperti sakit sampar." "Apakah semua orang dapat
diserang penyakit? Apakah penyakit datang secara mendadak?" "Betul,
Tuanku, semua orang di dunia ini dapat terserang penyakit. Tidak ada orang yang
dapat mencegahnya, dan itu dapat terjadi setiap saat." Mendengar
penjelasan ini, pangeran pun menjadi semakin sedih dan dia pun segera pulang ke
istananya.
Śuddhodana, semakin terganggu dengan
berita yang disampaikan kepadanya. "Apa? Bagaimana bisa pangeran melihat
pertanda buruk itu sekali lagi? Raja kemudian melipatgandakan kesenangan dan
kenikmatan untuk puteranya, dan dia juga menambahkan jumlah penjaga yang harus
mengawasinya.
Waktu pun berjalan terus dan selang
beberapa lama kemudian, ketika Siddhārtha sedang menuju taman-kota melalui
gerbang barat dengan disertai dengan rombongan besar, kejadian serupa berulang
kembali. Sekelompok dewa Tuṣita menyamar sebagai sekumpulan orang. Beginilah
penampakan mereka :
Sesosok tubuh tak berdaya diusung di
atas tandu,
Dengan badan yang kurus kering dan
dibungkus kain kafan;
Tubuh yang sudah kaku itu pun tak mampu
bergerak lagi,
Orang-orang yang mengiringinya tenggelam
dalam sedu sedan.
Di bantaran sungai rombongan itu
berhenti,
Mereka semua menyiapkan tumpukan kayu
bakar;
Jenazah pun diletakkan di atasnya, dan
api pun segera disulut,
Si mati tetap diam walaupun si jago
merah melahapnya hingga musnah.
Dalam keterkejutannya Siddhārtha
berteriak ketakutan. "Channa! Mengapa orang itu terbaring di sana dan
membiarkan orang lain membakar dirinya?" "Dia sudah tidak tahu
apa-apa lagi, Tuanku. Orang itu sudah mati." "Mati! Channa! Apakah
ini yang dinamakan mati? Dan apakah aku suatu waktu akan mati juga?"
"Betul, Paduka, semua makhluk hidup pada suatu waktu akan mati. Tidak ada
seorang pun yang dapat mencegahnya. Dia tidak akan pernah bertemu lagi dengan
orang tua, isteri, atau anak-anaknya. Dia harus meninggalkan harta miliknya,
rumahnya, teman-temannya, dan kerabatnya. Setelah mati dia akan melanjutkan
hidupnya ke dunia berikutnya, tempat dia tidak akan pernah bertemu lagi dengan
mereka semua." Pangeran heran dan kaget sekali, sehingga tidak dapat
mengucapkan sepatah kata pun. Dia berpikir bahwa sangat mengerikan keadaan yang
disebut 'mati' itu, yang mesti dialami oleh setiap orang, tak peduli ia seorang
raja atau anak dari seorang raja.
Sekali lagi Channa melaporkan kejadian
ini kepada Śuddhodana, yang langsung membuatnya terhenyak lemas di kursinya.
Para peramal istana dipanggil kembali untuk mengetahui takdir Siddhārtha.
Mereka semua mengatakan: "Pangeran muda akan pergi melalui 'Gerbang
Keberuntungan'." Jadi sang raja memasang panel pintu besar di 'Gerbang
Keberuntungan'. Begitu besarnya sehingga dibutuhkan lima ratus orang untuk
membuka atau menutupnya.
Sekeliling tembok-pembatas kotaraja
dibangun semakin tinggi,
Parit pembatas-kota pun telah
diperlebar:
Demikian juga lebih banyak pengawas
ditempatkan di menara,
Di gerbang-kota sudah bersiaga pasukan
berbaju zirah.
Semua warga Kapilavastu khawatir dan
berjaga siang-malam,
Kota dilingkupi kebisingan besar, para
tentara berpatroli di mana-mana;
"Semoga sang pangeran tercinta
tidak akan pergi,
Jika pemegang silsilah Shakya pergi,
kerajaan ini akan hancur!"
Para gadis-penghibur dipanggil dan
perintah pun diterbitkan,
"Keluarkan kebisaan kalian
disertai segenap naluri kewanitaan;
Buatlah sang pangeran gembira agar dia
melupakan penderitaan duniawi,
Awasi dan ciptakan pula penghalang agar
Sang Manusia Agung tidak jadi pergi!"
sdjn/dharmaprimapustaka/220504
Tidak ada komentar:
Posting Komentar