Beberapa tahun sebelum Buddha kita
lahir, di Negeri Magadha pada sebuah dusun yang bernama Mahātittha, lahirlah
seorang anak lak-laki yang bernama Pipphali. Ayahnya adalah seorang brahmana
yang dipanggil Kapila dan ibunya bernama Sumanādevī. Sebagai brahmana
terpandang Kapila mendapat mandat untuk berkuasa di enam belas dusun, dan dia
memerintah sebagai raja kecil. Pipphali sebagai anak kesayangan mereka berdua,
tumbuh di lingkungan yang serba berkecukupan, bahkan berlimpah kemewahan.
Bertolak belakang dengan kebanyakan
anak muda zaman sekarang yang memiliki orang tua kaya raya, Pipphali justru
tidak menggubris harta duniawi yang akan diwarisinya, dan aspirasinya sejak
muda dicurahkan untuk menjalani hidup-pertapaan dan pencarian spiritual.
Setelah umurnya cukup kedua orang tuanya mendesaknya untuk segera mengambil
seorang isteri, tetapi Pipphali berdalih tidak ingin hidup berkeluarga, dan dia
berjanji akan menjaga ayah dan ibunya hingga akhir hayat mereka. Namun keduanya
bersikeras bahwa dia harus mengambil seorang isteri. Akhirnya demi membalas
jasa kebaikan keduanya terutama ibunya, Pipphali setuju untuk menikah, asalkan
dia bisa mendapatkan seorang gadis yang sesuai dengan gambaran wanita yang
menjadi idolanya.
Pipphali kemudian menugaskan beberapa
pandai emas untuk membuatkan sebuah patung, yang menggambarkan sosok wanita
sempurna sesuai imajinasinya. Setelah diberi pakaian boneka dan aksesori,
patung emas kecil itu pun diperlihatkan kepada orang tuanya. "Jika ayah
dan ibu dapat menemukan seorang gadis seperti ini untukku, aku akan tetap
tinggal di rumah." Pipphali merasa menang, tetapi ibunya adalah seorang
yang cerdas. Dia berpikir: "Pasti puteraku telah membuat jasa kebajikan di
kehidupannya yang lampau, dan perempuan dalam gambaran-patung itu adalah orang
yang dulu menjadi pasangannya, dan sekarang mungkin wanita ini pula yang akan
menjadi jodohnya." Segera diutusnya delapan orang brahmana kepercayaannya,
dan mereka diminta mencari perempuan muda yang sosoknya menyerupai patung emas
itu. Mereka lalu pergi ke Daerah Madda yang menjadi gudang wanita cantik, dan
di Sāgala para brahmana itu menemukan seorang gadis rupawan yang mirip dengan
citra pada patung itu. Dia adalah Bhaddā Kapilānī, puteri seorang brahmana kaya
yang berumur enam-belas tahun, empat tahun lebih muda dari Pipphali.
Seolah-olah segalanya sudah diatur oleh semesta, orang tua gadis itu pun
menyetujui lamaran yang diajukan oleh keluarga Kapila.
Menjelang Bhaddā Kapilānī dipertemukan
dengan Pipphali, si gadis pun sebenarnya tidak ingin menikah. Si gadis
bercita-cita menempuh kehidupan religius dan dia bertekad menjadi petapa
wanita. Sekarang kedua orang muda itu berupaya menggagalkan kelanjutan hubungan
mereka, tetapi upaya keduanya gagal. Keluarga Pipphali berhasil membawa Bhaddā
ke Magadha, dan kedua mempelai itu segera dinikahkan di rumah Brahmana Kapila.
Namun keduanya tetap bersepakat untuk mempertahankan kehidupan selibat. Untuk
melaksanakan komitmen itu, setiap malam sebelum tidur keduanya akan meletakkan
karangan bunga di tengah ranjang. Mereka bersumpah: "Jika salah satu sisi
bunga itu layu, kita akan tahu bahwa orang yang berada di dekatnya, sudah
dihinggapi oleh pikiran yang penuh nafsu." Akibatnya keduanya sering
berbaring sambil terjaga sepanjang malam, karena takut melakukan kontak tubuh.
Dan pada siang hari mereka bahkan tidak saling tersenyum. Kita mungkin heran
kepura-puraan itu berjalan entah hingga hitungan tahun.
Selama orang tua mereka hidup, keduanya
tetap menjauhkan diri mereka dari kesenangan duniawi, dan pasangan muda itu
bahkan tidak perlu mengurus pertanian dan perkebunan yang dimiliki oleh orang
tua mereka. Ketika orang tua Pipphali meninggal, pasangan itu mewarisi harta
kekayaan yang luar biasa. Saat itulah keduanya merasakan dorongan untuk segera
melakukan pelepasan keduniawian. Mereka pun meninggalkan rumah Brahmana Kapila,
dengan masing-masing mengenakan jubah safron, membawa mangkuk tanah liat, lalu
mencukur rambut di kepala satu sama lain. Dengan demikian mereka nampak seperti
petapa pengelana, dan keduanya mengutarakan satu aspirasi: "Kami
mendedikasikan kepergian kami kepada para Arahanta di dunia!" Ikrar itu
agak janggal karena mereka bahkan belum pernah bertemu dengan Buddha atau pun
mengenal ajarannya.
Saat mereka mengembara, Pipphali
berjalan di depan sementara Bhaddā mengikuti di belakangnya. Kemudian Pipphali
berpikir: "Sekarang Bhaddā mengikutiku dari belakang, dan dia adalah
seorang wanita yang sangat cantik. Sementara orang mungkin akan berpendapat:
'Meskipun keduanya adalah pertapa, mereka tetap tidak dapat hidup terpisah satu
sama lain! Apa yang mereka lakukan sungguh tidak pantas!' Jika ada orang yang
berpikiran seperti itu lalu menyebarkan desas-desus miring, maka hal itu akan menyebabkan
kerugian besar bagi orang tersebut. Jadi lebih baik kita berpisah."
Selanjutnya ketika mereka tiba di perempatan jalan, Pipphali memberitahunya apa
yang telah dia pikirkan dan berkata kepadanya: “Bhaddā, kamu ambil salah satu
jalan ini, dan aku akan pergi ke arah yang lain." Anehnya Bhaddā pun
dihinggapi pikiran serupa, dan sebagai isteri dia memberi hormat kepada
suaminya dengan mengelilinginya tiga kali, bersimpuh pada kakinya, dan dengan
telapak tangan tertangkup di depan dada dia berkata: "Persatuan dan
persahabatan kita yang telah berlangsung selama masa lalu yang tak-terhitung
berakhir hari ini. Silahkan ambil jalan ke kanan dan saya akan mengambil jalan
lain." Demikianlah mereka berpisah dan menempuh jalan masing-masing, demi
mencapai sasaran akhir kehidupan suci. Dikatakan bahwa bumi berguncang, guntur
di langit bergemuruh, dan pegunungan di tepi sistem dunia bergema, karena
kekuatan kebajikan keduanya.
Sepertinya kekuatan kebajikan itu
langsung menghasilkan buahnya. Sang Buddha yang kebetulan berada tidak jauh dari tempat itu
merasakan getaran bumi, dan dia memahami bahwa seorang murid yang luar biasa sedang
dalam perjalanan menemuinya. Tanpa memberi
tahu siapa pun, dia
berangkat sendirian, menempuh jarak lima mil untuk menemui calon siswanya. Pipphali atau yang kemudian dipanggil sebagai
Kassapa, belakangan hari menceritakan kisah berikut ini: "Sewaktu aku memulai kehidupan tanpa-rumah, ketika aku
sedang
melintasi
jalan raya,
aku
melihat
Yang Terberkahi diantara Rājagaha dan
Nalanda sedang duduk
di tempat pemujaan Bahuputta. Ketika aku
melihatnya aku berpikir: 'Jika aku pernah mengakui seorang Guru, hendaklah aku
hanya mengakui Yang Terberkahi. Jika aku pernah mengakui Yang Luhur, hendaklah
aku hanya mengakui Yang Terberkahi. Jika aku pernah mengakui Yang Tercerahkan
Sempurna, hendaklah aku hanya mengakui Yang Terberkahi.' ... Maka dari itu,
wahai Kassapa, engkau harus berlatih sebagai berikut: "Dorongan kata hati
dan rasa malu yang kuat seharusnya dimapankan dalam dirimu, dalam berhubungan dengan
bhikkhu-bhikkhu sesepuh ..." Serta engkau seharusnya melatihnya
sedemikian: "Aku akan mendengar Dhamma dengan telinga yang telah siap,
dengan mendengarkannya dan menghadirinya dan mencurahkan seluruh batinku atas
apa pun yang mendukung pada hal-hal yang bermanfaat." Serta engkau
seharusnya melatihnya sedemikian: "Aku tidak akan pernah gagal untuk
mempraktikkan kewaspadaan terhadap tubuh dengan sukacita." Engkau
seharusnya melatih semuanya sedemikian.' Maka setelah Yang Terberkahi memberikan
nasihatnya kepadaku, ia bangkit dari duduknya dan segera meninggalkan tempat
itu."
"Aku
menyantap
dana
makanan
yang kuperoleh dari sedekah orang-orang selama tujuh hari sebagai utangku kepada mereka. Pada hari kedelapan pencerahan akhir muncul dalam diriku." Praktik kewaspadaan
terhadap tubuh secara ketat dinamakan dhutaṅga, yakni melakukan praktik
pertapaan keras: hanya menggunakan tiga set jubah (dan menolak menggunakan
jubah tambahan); hanya mengenakan jubah kain (dan menolak jubah yang ditawarkan
oleh perumah tangga); hidup hanya dari makanan yang dikumpulkan dari sedekah
(dan menolak undangan makan); hanya tinggal di hutan (dan menolak tinggal di
biara kota); serta Kassapa menjalani praktik itu
seumur hidupnya. Dalam kitab komentar – seperti
dalam Visuddhimagga – daftar praktik
keras diperluas menjadi tiga belas aturan. Sekarang praktik dhutaṅga ini dijadikan tradisi
bhikkhu-hutan di pedalaman Thailand.
"Kemudian Yang Terberkahi meninggalkan jalan raya dan pergi
menuju sebuah akar pohon. Aku melipat jubah luarku yang berasal dari sepotong
kain yang tak-terpakai menjadi empat lapis, dan aku berkata
kepadanya: 'Yang Mulia, sudilah Yang Terberkahi duduk di atas kain ini,
sehingga kelak akan membuahkan kesejahteraan dan kebahagiaan kepadaku untuk
kurun waktu yang lama.' Yang Terberkahi lalu duduk di tempat yang telah
disediakan. Kemudian ia berkata: 'Jubah luarmu yang berasal dari sepotong kain
yang tak-terpakai ini lembut, Kassapa.' – 'Sudilah Yang Terberkahi menerima jubah
luar yang berasal dari sepotong kain yang tak-terpakai ini dari aku, Yang
Mulia, demi welas-asihnya kepadaku' – 'Tetapi maukah engkau memakai jubah-rami
yang berasal dari sepotong kain yang tak-terpakai ini yang ingin aku
singkirkan, wahai Kassapa?' " – " 'Yang Mulia, aku
akan
mengenakan
jubah-rami yang berasal dari sepotong kain yang tak-terpakai
milik Yang
Terberkahi yang hendak dia singkirkan.' Demikianlah aku
mempersembahkan kepada Yang Terberkahi jubah luarku yang berasal dari sepotong
kain yang tak-terpakai, dan sebagai penukarnya aku menerima jubah-rami yang
berasal dari sepotong kain yang tak-terpakai ini yang ingin dia singkirkan.
Jika dapat dikatakan oleh seseorang: 'Dia adalah putera Yang Terberkahi sendiri,
terlahir dari mulutnya, terlahir dari Dhamma, diciptakan oleh Dhamma, seorang ahli waris Dhamma, seorang penerima jubah-rami yang
berasal dari sepotong kain yang tak-terpakai yang ingin ia singkirkan,' itulah
aku sesungguhnya."
Peristiwa pertukaran jubah antara Sang Buddha dengan Kassapa
inilah yang belakangan ditafsirkan orang sebagai isyarat bahwa Sang Guru
menunjuk siswanya yang istimewa ini sebagai penerusnya. Pada kenyataannya
selama hidupnya Sang Buddha hanya sekali melakukan kehormatan seperti itu. Walaupun sebelum kemangkatannya, Sang Buddha menolak
untuk menunjuk seorang pengganti pribadi. Justru dia mendesak para bhikkhu
untuk memandang Dhamma dan Vinaya – doktrin dan disiplin – sebagai pengganti
dirinya.
Pada saat wafatnya Sang Buddha, hanya dua dari lima
siswa paling terkemuka yang hadir, Ānanda dan
Anuruddha. Sāriputta dan Mahāmoggallāna telah wafat
pada awal tahun itu, dan Kassapa dengan
sekelompok besar bhikkhu, sedang dalam perjalanan dari Pāvā ke Kusinārā. Saat berada di tengah
perjalanan, dia melihat seorang petapa
telanjang melewati jalan itu sambil memegang bunga pohon karang (mandarava), yang konon hanya tumbuh di
alam para dewa. Ketika Kassapa melihat bunga karang itu, dia tahu bahwa sesuatu yang luar biasa telah terjadi. Dia bertanya kepada petapa
itu apakah dia telah mendengar berita tentang gurunya, Sang Buddha. Petapa itu
mengatakan kepadanya, "Petapa
Gotama memasuki Nibbāna-akhir seminggu yang
lalu. Bunga pohon karang ini aku ambil dari
tempat kematiannya."
Mendengar kabar duka ini hanya mereka yang telah menjadi
suciwan yang tetap tenang, yang lainnya menangis tersedu-sedu dan bergulingan ke
tanah. Akan tetapi, ada seorang bhikkhu yang bernama Subhadda, yang ditahbiskan di usia
tuanya, yang berkata: "Cukup,
teman-teman! Jangan bersedih, jangan meratap. Kini kita sudah terbebas dari Sang Rahib Agung. Kita
selama ini telah dibuat frustrasi dengan
perkataannya: 'Hal ini tidak pantas bagi kalian, hal
itu tidak diperbolehkan untuk kalian.' Namun sejak sekarang kita bisa melakukan apa yang
kita suka, dan kita tidak perlu melaksanakan
apa yang tidak kita inginkan." Sungguh kata-kata
yang kurang ajar dan tidak berperasaan, mengingat jasad Sang Guru Agung pun
belum selesai diperabukan. Tetapi Kassapa tidak menanggapinya, malahan dia
berpikir bahwa inilah momen yang mendesak untuk melestarikan ajaran yang
sejati.
Sementara itu
para tetua dusun
di Kusinārā belum berhasil menyulutkan api pada tumpukan kayu pemakaman Sang
Buddha. Yang Mulia Anuruddha menjelaskan bahwa para dewa yang tidak-terlihat namun semuanya hadir, ingin menunda proses itu sampai Yang Mulia Kassapa
datang dan memberikan penghormatan terakhirnya kepada jenazah Sang Guru. Ketika rombongan
itu tiba, dia berjalan mengelilingi
tumpukan kayu itu sebanyak tiga putaran, dengan takzim,
dengan tangan tertangkup di depan dada, dan
kemudian dengan kepala tertunduk melakukan
sembah-sujud di kaki Yang Terberkahi. Setelah
semua pengikutnya melakukan hal yang sama,
tumpukan kayu itu terbakar dengan sendirinya. Jadi
seolah-olah Sang Guru menunggu sampai siswa utamanya tiba di sana.
Tiga bulan setelah wafatnya Sang
Buddha, Pasamuan Agung atau Konsili yang pertama diadakan di Rājagaha, atas
prakarsa Yang Mulia Kassapa dengan disponsori oleh Raja Ajātasattu. Pada
kesempatan itu Yang Mulia Ānanda membacakan semua wejangan yang sekarang ini
termuat dalam Sutta Pitaka, sedangkan Yang Mulia Upāli mengulangi semua kode
disiplin monastik yang kini tertuang dalam Vinaya Pitaka. Kassapa sendiri
bertindak sebagai pimpinan, pengarah, dan moderator dalam sidang agung yang
bersejarah itu. Setelah diadakannya Konsili Pertama, penghormatan yang tinggi
terhadap Yang Mulia Mahākassapa semakin meningkat, dan dia dipandang sebagai pimpinan
Saṅgha secara de fakto. Kita namakan dia
Mahākassapa (Pāli) atau Mahākāśyapa (Sanskerta), maknanya 'Kassapa Agung',
untuk membedakannya dari Kassapa lainnya.
Tidak ada laporan dalam literatur Pāli tentang wafatnya Mahākassapa, tetapi sebuah kronik
Sansekerta tentang 'Para Ahli Hukum' mewartakan kita
catatan yang aneh tentang akhir sang sesepuh
agung menurut tradisi Buddhis Utara. Menurut catatan
ini, setelah Konsili Pertama Mahākassapa
menyadari bahwa dia telah memenuhi misinya dan memutuskan untuk mencapai
Nibbāna-akhir. Sang
Sesepuh memberikan penghormatan terakhirnya dengan berziarah ke tempat-tempat
suci, lalu menemui Ānanda untuk menyerahkan mangkuk-sedekah milik Sang Buddha
sebagai simbol pelestarian Dharma. Demikianlah Mahākassapa, yang secara umum
telah diakui sebagai pimpinan Sangha,
memilih Ānanda sebagai yang paling berharga untuk menjadi penerusnya.
Selanjutnya Mahākassapa memasuki Rājagaha. Dia bermaksud memberi tahu Raja
Ajātasattu tentang rencana kematiannya yang
akan datang, tetapi raja sedang tidur dan dia
tidak ingin membangunkannya. Demikianlah Mahākassapa
mendaki puncak Gunung Kukkaṭapāda sendirian, duduk bersila di sebuah goa, dan mengumandangkan tekad-agung bahwa tubuhnya akan
tetap utuh sampai kedatangan Buddha masa depan, Metteyya atau Maitreya. Kepada Maitreya-lah
dia harus menyerahkan jubah Buddha Gotama, jubah kain yang sama dengan yang diberikan Yang Terberkahi kepadanya pada pertemuan pertama
mereka. Tak lama kemudian Mahākassapa mencapai Nibbāna-akhir. Bumi pun
berguncang, para dewa lalu menaburkan bunga-bunga di tubuhnya, dan gunung itu menutup-kembali.
Dalam banyak naskah
Sanskerta India dan Asia Timur, sejak abad kedua Masehi,
Mahākassapa dianggap sebagai Sang Patriakh Pertama
dari garis keturunan yang mentransmisikan ajaran Sang Buddha, dengan Ānanda sebagai yang kedua.
Tradisi Chán (禪) atau Zen di
Tiongkok dan Jepang juga menganggap Mahākassapa sebagai Sang Patriakh Pertama
di India selepas kemangkatan Sang Buddha, dan dia dipanggil 摩訶迦葉 (Mó Hē Jiāyè). Sang
Patriakh Pertama di Tiongkok adalah Bodhidharma (atau Dá Mó, 達摩, 440 - 528), dan Patriakh Keenam atau
terakhir adalah Huì Néng (atau 惠能, 638–713).
Mungkin ada pembaca yang bertanya-tanya, bagaimana
jalan hidup Bhaddā Kapilānī, mantan isteri
dari Pipphali? Setelah perpisahan dengan suaminya, dia mengembara ke Sāvatthī, tempat
dia mendengarkan khotbah Sang Buddha di Vihara Jetavana. Karena saat itu belum
terbentuk Sangha Bhikkhunī, dia tinggal di sebuah biara petapa wanita non-buddhis
tidak jauh dari sana. Di kota ini dia tinggal selama lima tahun sampai dia ditahbiskan
sebagai bhikkhunī. Tidak lama kemudian dia pun mencapai tingkat Arahant.
sdjn/dharmaprimapustaka/220615
Tidak ada komentar:
Posting Komentar