Rabu, 15 Juni 2022

MAHAKASSAPA



Beberapa tahun sebelum Buddha kita lahir, di Negeri Magadha pada sebuah dusun yang bernama Mahātittha, lahirlah seorang anak lak-laki yang bernama Pipphali. Ayahnya adalah seorang brahmana yang dipanggil Kapila dan ibunya bernama Sumanādevī. Sebagai brahmana terpandang Kapila mendapat mandat untuk berkuasa di enam belas dusun, dan dia memerintah sebagai raja kecil. Pipphali sebagai anak kesayangan mereka berdua, tumbuh di lingkungan yang serba berkecukupan, bahkan berlimpah kemewahan.

 

Bertolak belakang dengan kebanyakan anak muda zaman sekarang yang memiliki orang tua kaya raya, Pipphali justru tidak menggubris harta duniawi yang akan diwarisinya, dan aspirasinya sejak muda dicurahkan untuk menjalani hidup-pertapaan dan pencarian spiritual. Setelah umurnya cukup kedua orang tuanya mendesaknya untuk segera mengambil seorang isteri, tetapi Pipphali berdalih tidak ingin hidup berkeluarga, dan dia berjanji akan menjaga ayah dan ibunya hingga akhir hayat mereka. Namun keduanya bersikeras bahwa dia harus mengambil seorang isteri. Akhirnya demi membalas jasa kebaikan keduanya terutama ibunya, Pipphali setuju untuk menikah, asalkan dia bisa mendapatkan seorang gadis yang sesuai dengan gambaran wanita yang menjadi idolanya.

 

Pipphali kemudian menugaskan beberapa pandai emas untuk membuatkan sebuah patung, yang menggambarkan sosok wanita sempurna sesuai imajinasinya. Setelah diberi pakaian boneka dan aksesori, patung emas kecil itu pun diperlihatkan kepada orang tuanya. "Jika ayah dan ibu dapat menemukan seorang gadis seperti ini untukku, aku akan tetap tinggal di rumah." Pipphali merasa menang, tetapi ibunya adalah seorang yang cerdas. Dia berpikir: "Pasti puteraku telah membuat jasa kebajikan di kehidupannya yang lampau, dan perempuan dalam gambaran-patung itu adalah orang yang dulu menjadi pasangannya, dan sekarang mungkin wanita ini pula yang akan menjadi jodohnya." Segera diutusnya delapan orang brahmana kepercayaannya, dan mereka diminta mencari perempuan muda yang sosoknya menyerupai patung emas itu. Mereka lalu pergi ke Daerah Madda yang menjadi gudang wanita cantik, dan di Sāgala para brahmana itu menemukan seorang gadis rupawan yang mirip dengan citra pada patung itu. Dia adalah Bhaddā Kapilānī, puteri seorang brahmana kaya yang berumur enam-belas tahun, empat tahun lebih muda dari Pipphali. Seolah-olah segalanya sudah diatur oleh semesta, orang tua gadis itu pun menyetujui lamaran yang diajukan oleh keluarga Kapila.

 

Menjelang Bhaddā Kapilānī dipertemukan dengan Pipphali, si gadis pun sebenarnya tidak ingin menikah. Si gadis bercita-cita menempuh kehidupan religius dan dia bertekad menjadi petapa wanita. Sekarang kedua orang muda itu berupaya menggagalkan kelanjutan hubungan mereka, tetapi upaya keduanya gagal. Keluarga Pipphali berhasil membawa Bhaddā ke Magadha, dan kedua mempelai itu segera dinikahkan di rumah Brahmana Kapila. Namun keduanya tetap bersepakat untuk mempertahankan kehidupan selibat. Untuk melaksanakan komitmen itu, setiap malam sebelum tidur keduanya akan meletakkan karangan bunga di tengah ranjang. Mereka bersumpah: "Jika salah satu sisi bunga itu layu, kita akan tahu bahwa orang yang berada di dekatnya, sudah dihinggapi oleh pikiran yang penuh nafsu." Akibatnya keduanya sering berbaring sambil terjaga sepanjang malam, karena takut melakukan kontak tubuh. Dan pada siang hari mereka bahkan tidak saling tersenyum. Kita mungkin heran kepura-puraan itu berjalan entah hingga hitungan tahun.

 

Selama orang tua mereka hidup, keduanya tetap menjauhkan diri mereka dari kesenangan duniawi, dan pasangan muda itu bahkan tidak perlu mengurus pertanian dan perkebunan yang dimiliki oleh orang tua mereka. Ketika orang tua Pipphali meninggal, pasangan itu mewarisi harta kekayaan yang luar biasa. Saat itulah keduanya merasakan dorongan untuk segera melakukan pelepasan keduniawian. Mereka pun meninggalkan rumah Brahmana Kapila, dengan masing-masing mengenakan jubah safron, membawa mangkuk tanah liat, lalu mencukur rambut di kepala satu sama lain. Dengan demikian mereka nampak seperti petapa pengelana, dan keduanya mengutarakan satu aspirasi: "Kami mendedikasikan kepergian kami kepada para Arahanta di dunia!" Ikrar itu agak janggal karena mereka bahkan belum pernah bertemu dengan Buddha atau pun mengenal ajarannya.

 

Saat mereka mengembara, Pipphali berjalan di depan sementara Bhaddā mengikuti di belakangnya. Kemudian Pipphali berpikir: "Sekarang Bhaddā mengikutiku dari belakang, dan dia adalah seorang wanita yang sangat cantik. Sementara orang mungkin akan berpendapat: 'Meskipun keduanya adalah pertapa, mereka tetap tidak dapat hidup terpisah satu sama lain! Apa yang mereka lakukan sungguh tidak pantas!' Jika ada orang yang berpikiran seperti itu lalu menyebarkan desas-desus miring, maka hal itu akan menyebabkan kerugian besar bagi orang tersebut. Jadi lebih baik kita berpisah." Selanjutnya ketika mereka tiba di perempatan jalan, Pipphali memberitahunya apa yang telah dia pikirkan dan berkata kepadanya: “Bhaddā, kamu ambil salah satu jalan ini, dan aku akan pergi ke arah yang lain." Anehnya Bhaddā pun dihinggapi pikiran serupa, dan sebagai isteri dia memberi hormat kepada suaminya dengan mengelilinginya tiga kali, bersimpuh pada kakinya, dan dengan telapak tangan tertangkup di depan dada dia berkata: "Persatuan dan persahabatan kita yang telah berlangsung selama masa lalu yang tak-terhitung berakhir hari ini. Silahkan ambil jalan ke kanan dan saya akan mengambil jalan lain." Demikianlah mereka berpisah dan menempuh jalan masing-masing, demi mencapai sasaran akhir kehidupan suci. Dikatakan bahwa bumi berguncang, guntur di langit bergemuruh, dan pegunungan di tepi sistem dunia bergema, karena kekuatan kebajikan keduanya.

 

Sepertinya kekuatan kebajikan itu langsung menghasilkan buahnya. Sang Buddha yang kebetulan berada tidak jauh dari tempat itu merasakan getaran bumi, dan dia memahami bahwa seorang murid yang luar biasa sedang dalam perjalanan menemuinya. Tanpa memberi tahu siapa pun, dia berangkat sendirian, menempuh jarak lima mil untuk menemui calon siswanya. Pipphali atau yang kemudian dipanggil sebagai Kassapa, belakangan hari menceritakan kisah berikut ini: "Sewaktu aku memulai kehidupan tanpa-rumah, ketika aku sedang melintasi jalan raya, aku melihat Yang Terberkahi diantara Rājagaha dan Nalanda sedang duduk di tempat pemujaan Bahuputta. Ketika aku melihatnya aku berpikir: 'Jika aku pernah mengakui seorang Guru, hendaklah aku hanya mengakui Yang Terberkahi. Jika aku pernah mengakui Yang Luhur, hendaklah aku hanya mengakui Yang Terberkahi. Jika aku pernah mengakui Yang Tercerahkan Sempurna, hendaklah aku hanya mengakui Yang Terberkahi.' ... Maka dari itu, wahai Kassapa, engkau harus berlatih sebagai berikut: "Dorongan kata hati dan rasa malu yang kuat seharusnya dimapankan dalam dirimu, dalam berhubungan dengan bhikkhu-bhikkhu sesepuh ..." Serta engkau seharusnya melatihnya sedemikian: "Aku akan mendengar Dhamma dengan telinga yang telah siap, dengan mendengarkannya dan menghadirinya dan mencurahkan seluruh batinku atas apa pun yang mendukung pada hal-hal yang bermanfaat." Serta engkau seharusnya melatihnya sedemikian: "Aku tidak akan pernah gagal untuk mempraktikkan kewaspadaan terhadap tubuh dengan sukacita." Engkau seharusnya melatih semuanya sedemikian.' Maka setelah Yang Terberkahi memberikan nasihatnya kepadaku, ia bangkit dari duduknya dan segera meninggalkan tempat itu."

 

"Aku menyantap dana makanan yang kuperoleh dari sedekah orang-orang selama tujuh hari sebagai utangku kepada mereka. Pada hari kedelapan pencerahan akhir muncul dalam diriku." Praktik kewaspadaan terhadap tubuh secara ketat dinamakan  dhutaṅga, yakni melakukan praktik pertapaan keras: hanya menggunakan tiga set jubah (dan menolak menggunakan jubah tambahan); hanya mengenakan jubah kain (dan menolak jubah yang ditawarkan oleh perumah tangga); hidup hanya dari makanan yang dikumpulkan dari sedekah (dan menolak undangan makan); hanya tinggal di hutan (dan menolak tinggal di biara kota); serta Kassapa menjalani praktik itu seumur hidupnya. Dalam kitab komentar – seperti dalam Visuddhimagga –  daftar praktik keras diperluas menjadi tiga belas aturan. Sekarang praktik dhutaṅga ini dijadikan tradisi bhikkhu-hutan di pedalaman Thailand.

 

"Kemudian Yang Terberkahi meninggalkan jalan raya dan pergi menuju sebuah akar pohon. Aku melipat jubah luarku yang berasal dari sepotong kain yang tak-terpakai menjadi empat lapis, dan aku berkata kepadanya: 'Yang Mulia, sudilah Yang Terberkahi duduk di atas kain ini, sehingga kelak akan membuahkan kesejahteraan dan kebahagiaan kepadaku untuk kurun waktu yang lama.' Yang Terberkahi lalu duduk di tempat yang telah disediakan. Kemudian ia berkata: 'Jubah luarmu yang berasal dari sepotong kain yang tak-terpakai ini lembut, Kassapa.' – 'Sudilah Yang Terberkahi menerima jubah luar yang berasal dari sepotong kain yang tak-terpakai ini dari aku, Yang Mulia, demi welas-asihnya kepadaku' – 'Tetapi maukah engkau memakai jubah-rami yang berasal dari sepotong kain yang tak-terpakai ini yang ingin aku singkirkan, wahai Kassapa?' " – " 'Yang Mulia, aku akan mengenakan jubah-rami yang berasal dari sepotong kain yang tak-terpakai milik Yang Terberkahi yang hendak dia singkirkan.' Demikianlah aku mempersembahkan kepada Yang Terberkahi jubah luarku yang berasal dari sepotong kain yang tak-terpakai, dan sebagai penukarnya aku menerima jubah-rami yang berasal dari sepotong kain yang tak-terpakai ini yang ingin dia singkirkan. Jika dapat dikatakan oleh seseorang: 'Dia adalah putera Yang Terberkahi sendiri, terlahir dari mulutnya, terlahir dari Dhamma, diciptakan oleh Dhamma, seorang ahli waris Dhamma, seorang penerima jubah-rami yang berasal dari sepotong kain yang tak-terpakai yang ingin ia singkirkan,' itulah aku sesungguhnya."

 

Peristiwa pertukaran jubah antara Sang Buddha dengan Kassapa inilah yang belakangan ditafsirkan orang sebagai isyarat bahwa Sang Guru menunjuk siswanya yang istimewa ini sebagai penerusnya. Pada kenyataannya selama hidupnya Sang Buddha hanya sekali melakukan kehormatan seperti itu. Walaupun sebelum kemangkatannya, Sang Buddha menolak untuk menunjuk seorang pengganti pribadi. Justru dia mendesak para bhikkhu untuk memandang Dhamma dan Vinaya – doktrin dan disiplin – sebagai pengganti dirinya.

 

Pada saat wafatnya Sang Buddha, hanya dua dari lima siswa paling terkemuka yang hadir, Ānanda dan Anuruddha. Sāriputta dan Mahāmoggallāna telah wafat pada awal tahun itu, dan Kassapa dengan sekelompok besar bhikkhu, sedang dalam perjalanan dari Pāvā ke Kusinārā. Saat berada di tengah perjalanan, dia melihat seorang petapa telanjang melewati jalan itu sambil memegang bunga pohon karang (mandarava), yang konon hanya tumbuh di alam para dewa. Ketika Kassapa melihat bunga karang itu, dia tahu bahwa sesuatu yang luar biasa telah terjadi. Dia bertanya kepada petapa itu apakah dia telah mendengar berita tentang gurunya, Sang Buddha. Petapa itu mengatakan kepadanya, "Petapa Gotama memasuki Nibbāna-akhir seminggu yang lalu. Bunga pohon karang ini aku ambil dari tempat kematiannya."

 

Mendengar kabar duka ini hanya mereka yang telah menjadi suciwan yang tetap tenang, yang lainnya menangis tersedu-sedu dan bergulingan ke tanah. Akan tetapi, ada seorang bhikkhu yang bernama Subhadda, yang ditahbiskan di usia tuanya, yang berkata: "Cukup, teman-teman! Jangan bersedih, jangan meratap. Kini kita sudah terbebas dari Sang Rahib Agung. Kita selama ini telah dibuat frustrasi dengan perkataannya: 'Hal ini tidak pantas bagi kalian, hal itu tidak diperbolehkan untuk kalian.' Namun sejak sekarang kita bisa melakukan apa yang kita suka, dan kita tidak perlu melaksanakan apa yang tidak kita inginkan." Sungguh kata-kata yang kurang ajar dan tidak berperasaan, mengingat jasad Sang Guru Agung pun belum selesai diperabukan. Tetapi Kassapa tidak menanggapinya, malahan dia berpikir bahwa inilah momen yang mendesak untuk melestarikan ajaran yang sejati.

 

Sementara itu para tetua dusun di Kusinārā belum berhasil menyulutkan api pada tumpukan kayu pemakaman Sang Buddha. Yang Mulia Anuruddha menjelaskan bahwa para dewa yang tidak-terlihat namun semuanya hadir, ingin menunda proses itu sampai Yang Mulia Kassapa datang dan memberikan penghormatan terakhirnya kepada jenazah Sang Guru. Ketika rombongan itu tiba, dia berjalan mengelilingi tumpukan kayu itu sebanyak tiga putaran, dengan takzim, dengan tangan tertangkup di depan dada, dan kemudian dengan kepala tertunduk melakukan sembah-sujud di kaki Yang Terberkahi. Setelah semua pengikutnya melakukan hal yang sama, tumpukan kayu itu terbakar dengan sendirinya. Jadi seolah-olah Sang Guru menunggu sampai siswa utamanya tiba di sana.

 

Tiga bulan setelah wafatnya Sang Buddha, Pasamuan Agung atau Konsili yang pertama diadakan di Rājagaha, atas prakarsa Yang Mulia Kassapa dengan disponsori oleh Raja Ajātasattu. Pada kesempatan itu Yang Mulia Ānanda membacakan semua wejangan yang sekarang ini termuat dalam Sutta Pitaka, sedangkan Yang Mulia Upāli mengulangi semua kode disiplin monastik yang kini tertuang dalam Vinaya Pitaka. Kassapa sendiri bertindak sebagai pimpinan, pengarah, dan moderator dalam sidang agung yang bersejarah itu. Setelah diadakannya Konsili Pertama, penghormatan yang tinggi terhadap Yang Mulia Mahākassapa semakin meningkat, dan dia dipandang sebagai pimpinan Sagha secara de fakto. Kita namakan dia Mahākassapa (Pāli) atau Mahākāśyapa (Sanskerta), maknanya 'Kassapa Agung', untuk membedakannya dari Kassapa lainnya.

 

Tidak ada laporan dalam literatur Pāli tentang wafatnya Mahākassapa, tetapi sebuah kronik Sansekerta tentang 'Para Ahli Hukum' mewartakan kita catatan yang aneh tentang akhir sang sesepuh agung menurut tradisi Buddhis Utara. Menurut catatan ini, setelah Konsili Pertama Mahākassapa menyadari bahwa dia telah memenuhi misinya dan memutuskan untuk mencapai Nibbāna-akhir. Sang Sesepuh memberikan penghormatan terakhirnya dengan berziarah ke tempat-tempat suci, lalu menemui Ānanda untuk menyerahkan mangkuk-sedekah milik Sang Buddha sebagai simbol pelestarian Dharma. Demikianlah Mahākassapa, yang secara umum telah diakui sebagai  pimpinan Sangha, memilih Ānanda sebagai yang paling berharga untuk menjadi penerusnya.

 

Selanjutnya Mahākassapa memasuki Rājagaha. Dia bermaksud memberi tahu Raja Ajātasattu tentang rencana kematiannya yang akan datang, tetapi raja sedang tidur dan dia tidak ingin membangunkannya. Demikianlah Mahākassapa mendaki puncak Gunung Kukkaṭapāda sendirian, duduk bersila di sebuah goa, dan mengumandangkan tekad-agung bahwa tubuhnya akan tetap utuh sampai kedatangan Buddha masa depan, Metteyya atau Maitreya. Kepada Maitreya-lah dia harus menyerahkan jubah Buddha Gotama, jubah kain yang sama dengan yang diberikan Yang Terberkahi kepadanya pada pertemuan pertama mereka. Tak lama kemudian Mahākassapa mencapai Nibbāna-akhir. Bumi pun berguncang, para dewa lalu menaburkan bunga-bunga di tubuhnya, dan gunung itu menutup-kembali.

 

Dalam banyak naskah Sanskerta India dan Asia Timur, sejak abad kedua Masehi, Mahākassapa dianggap sebagai Sang Patriakh Pertama dari garis keturunan yang mentransmisikan ajaran Sang Buddha, dengan Ānanda sebagai yang kedua. Tradisi Chán () atau Zen di Tiongkok dan Jepang juga menganggap Mahākassapa sebagai Sang Patriakh Pertama di India selepas kemangkatan Sang Buddha, dan dia dipanggil 摩訶迦葉 (Mó Hē Jiāyè). Sang Patriakh Pertama di Tiongkok adalah Bodhidharma (atau Dá Mó, 達摩,  440 - 528), dan Patriakh Keenam atau terakhir adalah Huì Néng (atau 惠能, 638–713).

 

Mungkin ada pembaca yang bertanya-tanya, bagaimana jalan hidup Bhaddā Kapilānī, mantan isteri dari Pipphali? Setelah perpisahan dengan suaminya, dia mengembara ke Sāvatthī, tempat dia mendengarkan khotbah Sang Buddha di Vihara Jetavana. Karena saat itu belum terbentuk Sangha Bhikkhunī, dia tinggal di sebuah biara petapa wanita non-buddhis tidak jauh dari sana. Di kota ini dia tinggal selama lima tahun sampai dia ditahbiskan sebagai bhikkhunī. Tidak lama kemudian dia pun mencapai tingkat Arahant.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/220615

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar