Kamis, 01 Juli 2021

ANTARA “CEBONG” DAN “KAMPRET”



Sekarang kita berada di pertengahan tahun 2021. Mungkin belum hilang dari ingatan kita di Tanah Air peristiwa dua tahun yang lalu. Kala itu kejadian yang paling menonjol dan menarik perhatian masyarakat tidak lain diselenggarakannya pemilihan umum secara serentak. Hingar-bingar pemilihan anggota parlemen dan pemilihan presiden menyita waktu dan energi masyarakat, terutama untuk pemilihan kepala pemerintahan yang akan menentukan jalannya negeri ini hingga lima tahun ke depan.

 

Salah satu fenomena yang sangat familiar dan masih dikenang hingga hari ini tidak lain munculnya istilah "Cebong" dan "Kampret". Kedua istilah itu dimunculkan sebagai pesan komunikasi politik, dalam upaya memojokkan kelompok pihak lawan. Seperti yang kita sama-sama ketahui, "Cebong" ditujukan kepada pendukung militan Joko Widodo sebagai calon presiden nomor urut 01, sedangkan "Kampret" disematkan kepada pendukung militan Prabowo Subianto sebagai calon presiden dengan nomor urut 02. Sepintas orang beranggapan kedua julukan itu mewakili nama hewan dan digunakan untuk merendahkan pihak lawan.

 

Cebong atau kecebong adalah sebutan untuk anak katak atau anak kodok, yakni larva hewan amfibi atau disebut berudu (katak dan sejenisnya) yang hidup di air dan bernapas dengan insang, selalu berenang kian kemari dan memiliki ekor. Kata cebong konon berasal dari kisah pak Jokowi yang suka memelihara katak di kolam pekarangan Istana, sehingga oleh kubu oposisi para pendukung pak Jokowi dianggap sebagai anak katak dan dijuluki sebagai "cebong."

 

Lalu bagaimana dengan sebutan "kampret"? Kampret adalah sejenis kelelawar kecil pemakan serangga, sedangkan codot adalah kelelawar pemakan buah-buahan. Kampret juga sebutan untuk kelelawar dengan nada mengejek, setara dengan sebutan "monyet" jika dibandingkan dengan istilah "kera" yang lebih netral. Pihak oposisi diibaratkan sebagai kelelawar yang sewaktu tidur kepalanya menggantung ke bawah, merujuk pada otaknya yang terbalik, sebagai ungkapan kekesalan pendukung pak Jokowi. Itu karena mereka dianggap tidak mau menerima kebijakan Pemerintah, serta selalu melayangkan protes dan keberatan belaka.

 

Tidak jelas bagaimana mulainya, ketika salah satu pihak membagikan sebuah pernyataan yang mendukung pasangan yang diusungnya. Dukungan itu kemudian diunggah ke media sosial, seperti Twitter, dengan tidak lupa mengkritik pernyataan pihak lawan. Serangan itu memicu pihak lawan untuk membalas, mengolok-olok, dan mengejek. Belakangan sindir-menyindir, ejek-mengejek, hujat-menghujat, sudah menjadi hal yang biasa dan layak untuk dilontarkan. Kritik terhadap pandangannya di media sosial, tidak jarang dianggap sebagai kritik personal yang menyinggung perasaannya, yang kemudian menjadi bibit permusuhan. Persahabatan yang dibina dengan baik selama bertahun-tahun sekarang mendadak menjadi perseteruan. Sungguh sayang sebenarnya jika pertemanan menjadi rusak karena memaksakan kehendak dan menganggap orang yang tidak sependapat sebagai seteru. Media sosial yang memiliki jangkauan yang luas turut mempercepat proses dukung-mendukung ini secara masif, sehingga tercipta dua kubu besar yang mendukung pasangan calon presiden dan wakil-presiden masing-masing. Orang yang semula tidak peduli dengan urusan politik ikut terbawa-bawa dan terjebak dalam kegiatan dukung-mendukung ini. Polarisasi dalam masyarakat tak terhindarkan, dengan terbentuknya dua kubu, dan rakyat Indonesia pun terbelah.

 

Perseteruan diantara dua kelompok bukan saja terjadi di masa kini. Pertikaian sengit antara dua kubu terjadi sejak zaman dahulu kala. Ketika Buddha Gautama masih hidup pertikaian diantara para siswanya pun pernah terjadi. Seperti diceritakan dalam kitab Vinaya Pitaka, Sang Buddha menghabiskan masa musim hujan yang kesembilan di Kosambī. Kosambī adalah ibu negeri kerajaan kecil Vasa, yang daerah kekuasaannya terletak diantara Sungai Gangga dan Jumna. Rajanya, Udena, hampir tidak pernah disebut dalam Kanon Pali.

 

Peristiwa berikut ini terjadi di ibu negeri kerajaan Vasa. Agaknya ada dua bhikkhu dalam satu vihara, dengan salah satunya seorang yang ahli dalam Vinaya dan lainnya terampil dalam Sutta. Pada satu hari bhikkhu yang ahli dalam Sutta pergi ke jamban dan meninggalkan sisa air bekas-pakai dalam tempayan. Bhikkhu yang satu lagi masuk ke jamban itu dan mendapatkan ada air bekas-pakai dalam tempayan. Ia lantas bertanya kepada guru ahli-Sutta: "Apakah engkau meninggalkan air bekas-pakai dalam tempayan?" - "Ya." - "Apakah engkau tidak tahu, bahwasanya hal itu merupakan pelanggaran?" - "Tidak, aku tidak mengetahuinya." - "Hal itu merupakan satu pelanggaran, sahabat." - "Nanti aku akan menyelesaikannya." - "Namun jika engkau melakukannya tanpa-berkehendak dan di luar kelalaian, hal itu bukanlah pelanggaran." Sang guru ahli Sutta pergi keluar dengan perasaan bahwa ia tidak melakukan pelanggaran.

 

Seperti yang kita ketahui, dalam aturan monastik, pelanggaran atas apa yang telah digariskan tetap harus diselesaikan. Namun seperti yang dilontarkan oleh sang bhikkhu yang ahli dalam Vinaya jika dilakukan tanpa-kehendak itu bukanlah pelanggaran. Jadi ada ambiguitas dalam pernyataan ini; di satu sisi dia mengatakan ada pelanggaran, namun di sisi lain tidak ada karena tindakan itu tidak disengaja.

 

Bagaimana pun sang guru ahli Vinaya berkata kepada para siswanya : "Guru ahli Sutta tidak tahu bahwa ia melakukan satu pelanggaran." Mereka lalu bercerita kepada siswa-siswa lain guru: "Guru pembimbingmu telah melakukan satu pelanggaran, meskipun demikian ia berperasaan bahwa ia tidak melakukan pelanggaran." Ketika mereka menceritakan kabar ini kepada guru pembimbing mereka, sang guru ahli Sutta berkata: "Guru ahli Vinaya waktu itu berkata bahwa tidak ada pelanggaran, dan sekarang ia malahan berkata bahwa ada satu pelanggaran. Ia adalah seorang pembohong." Mereka lalu bercerita kepada siswa-siswa sang guru ahli Vinaya: "Guru pembimbing kalian adalah seorang pembohong." Jawaban ini memicu pertengkaran babak baru dan menangguhkan kasus sang guru ahli Sutta. Perselisihan sekarang melibatkan lebih banyak orang, karena kedua guru itu meminta dukungan para pengikutnya.

 

Sesungguhnya bhikkhu tersebut orang terpelajar. Ia mengetahui Kanon dan ahli dalam Dhamma, dan dalam Aturan, dan juga dalam Tata-tertib. Ia juga orang yang bijaksana, cerdas, pintar, rendah hati, dan bersemangat dalam pelatihan. Ia pergi ke bhikkhu-bhikkhu karib lainnya dan berkata: "Ini bukanlah pelanggaran, ini bukan satu pelanggaran, aku tidak pernah melanggar ... Aku sedang tidak ditangguhkan, aku telah ditangguhkan oleh satu tindakan yang keliru, yang tidak sah dan tidak berdasar. Hendaklah para yang mulia berdiri di satu pihak dalam Dhamma dan Vinaya." Ia menempatkan mereka dalam pihaknya, serta ia mengirimkan para kurir kepada sahabat-sahabatnya dan sejumlah perhimpunan di negeri itu. Sebaliknya para bhikkhu pengikut guru yang ahli dalam Vinaya pun melakukan upaya yang serupa. Sekarang perseturuan semakin membesar dan melibatkan sebagian besar komunitas bhikkhu di Kosambī dan di negeri Vasa

 

Kemudian salah seorang bhikkhu pergi menghadap Sang Buddha dan menceritakan kejadian ini. Sang Bhagavā lalu berkata: "Akan ada perpecahan dalam Sangha, akan ada perpecahan dalam Sangha." Ia bangkit dari duduknya dan pergi kepada para bhikkhu yang telah menangguhkan kasus ini. Ia duduk di tempat duduk yang telah disediakan serta berkata kepada mereka: "Wahai para bhikkhu, janganlah membayangkan bahwa seorang bhikkhu seperti ini dan seperti itu. ... 'Ia orang yang terpelajar dan bersemangat dalam pelatihan. Jika kita menangguhkannya tanpa melihat pelanggarannya, kita tidak akan bisa menjaga pelaksanaan hari suci Uposatha bersamanya, atau upacara Pavarana (Undangan untuk Mengkritisi) pada akhir musim hujan, atau menjalankan tindakan-tindakan Sangha, atau duduk berdampingan di kursi yang sama, atau sekedar berbagi bubur, atau kita berbagi ruang makan, atau tinggal di bawah atap yang sama, atau melakukan tindakan terpuji kepada para sesepuh, dengan bhikkhu tersebut. Begitulah jadinya kita akan melakukan semua kegiatan ini tanpa bhikkhu tersebut, karena munculnya pertengkaran, percekcokan, perselisihan, perdebatan dan akhirnya perpecahan, pemisahan, dan tindakan-tindakan ketidaksepakatan dalam Sangha.' "

 

Tetapi sekarang perselisihan, percekcokan, dan pertengkaran meletup tiba-tiba dalam lingkup Sangha itu sendiri, serta bhikkhu-bhikkhu saling melukai satu sama lain dengan melontarkan anak-panah kata-kata. Mereka tidak dapat lagi menempatkan diri secara adil dan tak berpihak. Seorang bhikkhu kemudian pergi menghadap Sang Bhagavā, dan setelah memberikan penghormatan kepadanya, ia berdiri di satu sisi. Ia mengulang kembali apa yang baru saja terjadi,dan ia menambahkan: "Yang Mulia, adalah baik jika Sang Bhagavā pergi menemui mereka demi welas-asih terhadap mereka semua." Sang Buddha menyetujuinya dengan berdiam diri. Kemudian ia pergi menemui para bhikkhu dan berkata kepada mereka: "Cukup, para bhikkhu. Jangan lagi ada pertengkaran, percekcokan, perselisihan, atau pun perdebatan." Ketika kata-kata ini dilontarkan, salah seorang bhikkhu berkata: "Yang Mulia, hendaklah Sang Bhagavā, Sang Guru Dhamma menunggu. Hendaklah Sang Bhagavā menghabiskan waktunya dengan bermukim di sini sekarang ini dengan penuh kenyamanan dan tidak perlu mempedulikan diri dengan urusan ini. Biarlah ini hanya kami yang mengurus pertengkaran, percekcokan, perselisihan, atau pun perdebatan ini." Lalu ia berpikir: "Orang-orang yang tersesat ini merasa diri mereka benar. Adalah mustahil membuat mereka semua sadar." Ia segera bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan tempat itu. Demikianlah Sang Bhagavā tidak berdaya, Sang Guru Dhamma pun bohuat:

 

Ketika banyak suara berteriak sekaligus,

Tidak ada satu pun yang berpikir dirinya adalah si dungu;

Sangha sedang terbelah, tak seorang pun yang berpikir:

Aku juga turut ambil bagian, aku membantunya seperti ini.'

Mereka melupakan kata-kata bijak, mereka bicara

Dengan pikiran yang dirasuki oleh kata-kata belaka;

Dengan mulut tak terkekang, mereka menjerit seenaknya,

Tak seorang pun tahu apa yang menuntunnya berbuat demikian.

(Vin. Mv. 10:3)

 

Anda para pembaca ingin mengetahui akhir kisah pertengkaran di Kosambī ini? Sementara para pengikut awam di Kosambī berpikir: "Yang mulia para bhikkhu Kosambī sangat merugikan kita. Mereka telah menyusahkan Sang Bhagavā sampai ia meninggalkan kita. Mari kita tidak lagi memberi penghormatan kepada mereka, atau sekedar bangkit berdiri untuk mereka, atau pun memberi mereka salam hormat, atau pun memperlakukan mereka dengan santun. Janganlah kita menghormati, menghargai, memuja, atau memuliakan mereka. Juga hendaklah kita tidak memberi mereka dana makanan lagi bahkan ketika mereka pantas untuk mendapatkannya. Jadi ketika mereka tidak lagi mendapat penghormatan, penghargaan, pemujaan, atau pemuliaan dari kami. Ketika mereka terus-menerus diabaikan, mereka akan pergi ke tempat lain atau meninggalkan Sangha, atau meminta pengampunan kepada Sang Bhagavā." Baru setelah mereka yang bertikai diboikot seperti itu, mereka sadar, lalu meminta pengampunan kepada Sang Guru Dhamma.

 

Kita kembali lagi pada pertikaian antara Cebong dan Kampret yang terjadi menjelang dan setelah pemilihan presiden. Waktu pun terus berjalan dan kita semua tahu pak Jokowi memenangkan pemilihan presiden. Setelah pemerintahan hasil pemilu dibentuk, Kabinet Indonesia Maju pun dibentuk, dan pak Prabowo diangkat menjadi salah satu menteri. Belakangan calon wakil presiden No. Urut 02 pun juga ikut bergabung dalam kabinet. Sekarang pimpinan dua kubu yang berseteru dalam pemilu yang lalu telah bersatu. Kini yang tersisa adalah kenangan pahit ketika Cebong dan Kampret saling berselisih satu sama lain. Kita kembali diingatkan pada kata bertuah khas Buddhis, “Ini pun akan berlalu”. Semoga kita sekalian hari ini bertambah bijak!  Sādhu.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/210630



Tidak ada komentar:

Posting Komentar