Sekarang kita berada di pertengahan
tahun 2021. Mungkin belum hilang dari ingatan kita di Tanah Air peristiwa dua
tahun yang lalu. Kala itu kejadian yang paling menonjol dan menarik perhatian
masyarakat tidak lain diselenggarakannya pemilihan umum secara serentak.
Hingar-bingar pemilihan anggota parlemen dan pemilihan presiden menyita waktu
dan energi masyarakat, terutama untuk pemilihan kepala pemerintahan yang akan
menentukan jalannya negeri ini hingga lima tahun ke depan.
Salah satu fenomena yang sangat
familiar dan masih dikenang hingga hari ini tidak lain munculnya istilah
"Cebong" dan "Kampret". Kedua istilah itu dimunculkan
sebagai pesan komunikasi politik, dalam upaya memojokkan kelompok pihak lawan.
Seperti yang kita sama-sama ketahui, "Cebong" ditujukan kepada
pendukung militan Joko Widodo sebagai calon presiden nomor urut 01, sedangkan
"Kampret" disematkan kepada pendukung militan Prabowo Subianto
sebagai calon presiden dengan nomor urut 02. Sepintas orang beranggapan kedua
julukan itu mewakili nama hewan dan digunakan untuk merendahkan pihak lawan.
Cebong atau kecebong adalah sebutan
untuk anak katak atau anak kodok, yakni larva hewan amfibi atau disebut berudu
(katak dan sejenisnya) yang hidup di air dan bernapas dengan insang, selalu
berenang kian kemari dan memiliki ekor. Kata cebong konon berasal dari kisah
pak Jokowi yang suka memelihara katak di kolam pekarangan Istana, sehingga oleh
kubu oposisi para pendukung pak Jokowi dianggap sebagai anak katak dan dijuluki
sebagai "cebong."
Lalu bagaimana dengan sebutan
"kampret"? Kampret adalah sejenis kelelawar kecil pemakan serangga,
sedangkan codot adalah kelelawar pemakan buah-buahan. Kampret juga sebutan
untuk kelelawar dengan nada mengejek, setara dengan sebutan "monyet"
jika dibandingkan dengan istilah "kera" yang lebih netral. Pihak
oposisi diibaratkan sebagai kelelawar yang sewaktu tidur kepalanya menggantung
ke bawah, merujuk pada otaknya yang terbalik, sebagai ungkapan kekesalan
pendukung pak Jokowi. Itu karena mereka dianggap tidak mau menerima kebijakan
Pemerintah, serta selalu melayangkan protes dan keberatan belaka.
Tidak jelas bagaimana mulainya,
ketika salah satu pihak membagikan sebuah pernyataan yang mendukung pasangan
yang diusungnya. Dukungan itu kemudian diunggah ke media sosial, seperti
Twitter, dengan tidak lupa mengkritik pernyataan pihak lawan. Serangan itu
memicu pihak lawan untuk membalas, mengolok-olok, dan mengejek. Belakangan
sindir-menyindir, ejek-mengejek, hujat-menghujat, sudah menjadi hal yang biasa
dan layak untuk dilontarkan. Kritik terhadap pandangannya di media sosial,
tidak jarang dianggap sebagai kritik personal yang menyinggung perasaannya,
yang kemudian menjadi bibit permusuhan. Persahabatan yang dibina dengan baik selama
bertahun-tahun sekarang mendadak menjadi perseteruan. Sungguh sayang sebenarnya
jika pertemanan menjadi rusak karena memaksakan kehendak dan menganggap orang
yang tidak sependapat sebagai seteru. Media sosial yang memiliki jangkauan yang
luas turut mempercepat proses dukung-mendukung ini secara masif, sehingga
tercipta dua kubu besar yang mendukung pasangan calon presiden dan
wakil-presiden masing-masing. Orang yang semula tidak peduli dengan urusan
politik ikut terbawa-bawa dan terjebak dalam kegiatan dukung-mendukung ini.
Polarisasi dalam masyarakat tak terhindarkan, dengan terbentuknya dua kubu, dan
rakyat Indonesia pun terbelah.
Perseteruan diantara dua kelompok
bukan saja terjadi di masa kini. Pertikaian sengit antara dua kubu terjadi
sejak zaman dahulu kala. Ketika Buddha Gautama masih hidup pertikaian diantara
para siswanya pun pernah terjadi. Seperti diceritakan dalam kitab Vinaya Pitaka, Sang Buddha menghabiskan masa musim hujan
yang kesembilan di Kosambī. Kosambī adalah ibu negeri kerajaan kecil Vaṃsa, yang daerah kekuasaannya terletak diantara Sungai Gangga
dan Jumna. Rajanya, Udena, hampir tidak pernah disebut dalam Kanon Pali.
Peristiwa berikut ini terjadi di ibu
negeri kerajaan Vaṃsa. Agaknya ada dua bhikkhu dalam satu vihara, dengan salah satunya
seorang yang ahli dalam Vinaya dan lainnya terampil dalam Sutta. Pada satu hari
bhikkhu yang ahli dalam Sutta pergi ke jamban dan meninggalkan sisa air
bekas-pakai dalam tempayan. Bhikkhu yang satu lagi masuk ke jamban itu dan
mendapatkan ada air bekas-pakai dalam tempayan. Ia lantas bertanya kepada guru
ahli-Sutta: "Apakah engkau meninggalkan air bekas-pakai dalam
tempayan?" - "Ya." - "Apakah engkau tidak tahu, bahwasanya
hal itu merupakan pelanggaran?" - "Tidak, aku tidak
mengetahuinya." - "Hal itu merupakan satu pelanggaran, sahabat."
- "Nanti aku akan menyelesaikannya." - "Namun jika engkau
melakukannya tanpa-berkehendak dan di luar kelalaian, hal itu bukanlah
pelanggaran." Sang guru ahli Sutta pergi keluar dengan perasaan bahwa ia
tidak melakukan pelanggaran.
Seperti yang kita ketahui, dalam
aturan monastik, pelanggaran atas apa yang telah digariskan tetap harus
diselesaikan. Namun seperti yang dilontarkan oleh sang bhikkhu yang ahli dalam
Vinaya jika dilakukan tanpa-kehendak itu bukanlah pelanggaran. Jadi ada
ambiguitas dalam pernyataan ini; di satu sisi dia mengatakan ada pelanggaran,
namun di sisi lain tidak ada karena tindakan itu tidak disengaja.
Bagaimana pun sang guru ahli Vinaya
berkata kepada para siswanya : "Guru ahli Sutta tidak tahu bahwa ia
melakukan satu pelanggaran." Mereka lalu bercerita kepada siswa-siswa lain
guru: "Guru pembimbingmu telah melakukan satu pelanggaran, meskipun
demikian ia berperasaan bahwa ia tidak melakukan pelanggaran." Ketika
mereka menceritakan kabar ini kepada guru pembimbing mereka, sang guru ahli Sutta
berkata: "Guru ahli Vinaya waktu itu berkata bahwa tidak ada pelanggaran,
dan sekarang ia malahan berkata bahwa ada satu pelanggaran. Ia adalah seorang
pembohong." Mereka lalu bercerita kepada siswa-siswa sang guru ahli Vinaya:
"Guru pembimbing kalian adalah seorang pembohong." Jawaban ini memicu
pertengkaran babak baru dan menangguhkan kasus sang guru ahli Sutta.
Perselisihan sekarang melibatkan lebih banyak orang, karena kedua guru itu
meminta dukungan para pengikutnya.
Sesungguhnya bhikkhu tersebut orang terpelajar. Ia mengetahui Kanon dan
ahli dalam Dhamma, dan dalam Aturan, dan juga dalam Tata-tertib. Ia juga orang
yang bijaksana, cerdas, pintar, rendah hati, dan bersemangat dalam pelatihan.
Ia pergi ke bhikkhu-bhikkhu karib lainnya dan berkata: "Ini bukanlah
pelanggaran, ini bukan satu pelanggaran, aku tidak pernah melanggar ... Aku
sedang tidak ditangguhkan, aku telah ditangguhkan oleh satu tindakan yang
keliru, yang tidak sah dan tidak berdasar. Hendaklah para yang mulia berdiri di
satu pihak dalam Dhamma dan Vinaya." Ia menempatkan mereka dalam pihaknya, serta ia mengirimkan
para kurir kepada sahabat-sahabatnya dan sejumlah perhimpunan di negeri itu. Sebaliknya para bhikkhu pengikut guru yang
ahli dalam Vinaya pun melakukan upaya yang serupa. Sekarang perseturuan semakin
membesar dan melibatkan sebagian besar komunitas bhikkhu di Kosambī dan di negeri Vaṃsa
Kemudian salah seorang bhikkhu pergi
menghadap Sang Buddha dan menceritakan kejadian ini. Sang Bhagavā lalu berkata: "Akan ada
perpecahan dalam Sangha, akan ada perpecahan dalam Sangha." Ia bangkit
dari duduknya dan pergi kepada para bhikkhu yang telah menangguhkan kasus ini.
Ia duduk di tempat duduk yang telah disediakan serta berkata kepada mereka:
"Wahai para bhikkhu, janganlah membayangkan bahwa seorang bhikkhu seperti
ini dan seperti itu. ... 'Ia orang yang terpelajar dan bersemangat dalam pelatihan.
Jika kita menangguhkannya tanpa melihat pelanggarannya, kita tidak akan bisa
menjaga pelaksanaan hari suci Uposatha bersamanya, atau upacara Pavarana
(Undangan untuk Mengkritisi) pada akhir musim hujan, atau menjalankan
tindakan-tindakan Sangha, atau duduk berdampingan di kursi yang sama, atau
sekedar berbagi bubur, atau kita berbagi ruang makan, atau tinggal di bawah
atap yang sama, atau melakukan tindakan terpuji kepada para sesepuh, dengan
bhikkhu tersebut. Begitulah jadinya kita akan melakukan semua kegiatan ini
tanpa bhikkhu tersebut, karena munculnya pertengkaran, percekcokan,
perselisihan, perdebatan dan akhirnya perpecahan, pemisahan, dan
tindakan-tindakan ketidaksepakatan dalam Sangha.' "
Tetapi sekarang perselisihan, percekcokan, dan pertengkaran meletup
tiba-tiba dalam lingkup Sangha itu sendiri, serta bhikkhu-bhikkhu saling
melukai satu sama lain dengan melontarkan anak-panah kata-kata. Mereka tidak
dapat lagi menempatkan diri secara adil dan tak berpihak. Seorang bhikkhu
kemudian pergi menghadap Sang Bhagavā, dan setelah memberikan penghormatan kepadanya, ia berdiri
di satu sisi. Ia mengulang kembali apa yang baru saja terjadi,dan ia
menambahkan: "Yang Mulia, adalah baik jika Sang Bhagavā pergi menemui mereka demi
welas-asih terhadap mereka semua." Sang Buddha menyetujuinya dengan berdiam diri. Kemudian ia pergi
menemui para bhikkhu dan berkata kepada mereka: "Cukup, para bhikkhu. Jangan lagi ada pertengkaran, percekcokan,
perselisihan, atau pun perdebatan." Ketika
kata-kata ini dilontarkan, salah seorang bhikkhu berkata: "Yang Mulia,
hendaklah Sang Bhagavā, Sang Guru Dhamma menunggu. Hendaklah Sang Bhagavā menghabiskan waktunya dengan bermukim di sini sekarang ini
dengan penuh kenyamanan dan tidak perlu mempedulikan diri dengan urusan ini.
Biarlah ini hanya kami yang mengurus pertengkaran, percekcokan, perselisihan,
atau pun perdebatan ini." Lalu ia berpikir: "Orang-orang yang tersesat ini merasa
diri mereka benar. Adalah mustahil membuat mereka semua sadar." Ia segera
bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan tempat itu. Demikianlah Sang Bhagavā tidak berdaya, Sang Guru Dhamma pun bohuat:
“Ketika banyak suara berteriak sekaligus,
Tidak ada satu pun yang berpikir
dirinya adalah si dungu;
Sangha sedang terbelah, tak seorang
pun yang berpikir:
Aku juga turut ambil bagian, aku
membantunya seperti ini.'
Mereka melupakan kata-kata bijak,
mereka bicara
Dengan pikiran yang dirasuki oleh
kata-kata belaka;
Dengan mulut tak terkekang, mereka
menjerit seenaknya,
Tak seorang pun tahu apa yang
menuntunnya berbuat demikian.”
(Vin. Mv. 10:3)
Anda para pembaca ingin mengetahui akhir kisah
pertengkaran di Kosambī ini? Sementara para pengikut awam di Kosambī berpikir: "Yang mulia para
bhikkhu Kosambī sangat merugikan kita. Mereka telah menyusahkan Sang Bhagavā sampai ia meninggalkan kita. Mari kita tidak lagi memberi
penghormatan kepada mereka, atau sekedar bangkit berdiri untuk mereka, atau pun
memberi mereka salam hormat, atau pun memperlakukan mereka dengan santun.
Janganlah kita menghormati, menghargai, memuja, atau memuliakan mereka. Juga
hendaklah kita tidak memberi mereka dana makanan lagi bahkan ketika mereka
pantas untuk mendapatkannya. Jadi ketika mereka tidak lagi mendapat
penghormatan, penghargaan, pemujaan, atau pemuliaan dari kami. Ketika mereka
terus-menerus diabaikan, mereka akan pergi ke tempat lain atau meninggalkan
Sangha, atau meminta pengampunan kepada Sang Bhagavā." Baru setelah
mereka yang bertikai diboikot seperti itu, mereka sadar, lalu meminta
pengampunan kepada Sang Guru Dhamma.
Kita kembali lagi pada pertikaian antara Cebong dan
Kampret yang terjadi menjelang dan setelah pemilihan presiden. Waktu pun terus
berjalan dan kita semua tahu pak Jokowi memenangkan pemilihan presiden. Setelah
pemerintahan hasil pemilu dibentuk, Kabinet Indonesia Maju pun dibentuk, dan
pak Prabowo diangkat menjadi salah satu menteri. Belakangan calon wakil
presiden No. Urut 02 pun juga ikut bergabung dalam kabinet. Sekarang pimpinan
dua kubu yang berseteru dalam pemilu yang lalu telah bersatu. Kini yang tersisa
adalah kenangan pahit ketika Cebong dan Kampret saling berselisih satu sama
lain. Kita kembali diingatkan pada kata bertuah khas Buddhis, “Ini pun akan
berlalu”. Semoga kita sekalian hari ini bertambah bijak! Sādhu.
sdjn/dharmaprimapustaka/210630
Tidak ada komentar:
Posting Komentar