Kamis, 15 Juli 2021

SHANGRI-LA


 

Kisah kita kali ini menceritakan Robert Conway, seorang mantan tentara, penulis, dan diplomat Kerajaan Inggris. Sebelum kembali ke Inggris, Conway berkewajiban menyelesaikan tugasnya yang terakhir di tahun 1931 di India, yakni mengungsikan 90 orang warga kulit putih yang disandera di kota Baskul ke kota Peshawar. Setelah mengantarkan para sandera ke tempat yang aman, dengan meminjam pesawat pribadi Maharaja Chandapore, Conway kembali ke tempatnya bertugas bersama dengan bawahannya seorang kadet bernama Mallinson, disertai dua orang lain yaitu Nona Brinklow, seorang misionaris, dan seorang Amerika bernama Barnard.

 

Selang beberapa lama setelah pesawat lepas landas mereka baru menyadari ada yang tidak beres. Ternyata pilot membawa mereka ke arah lain, bukan ke tempat yang seharusnya dituju. Hari menjelang malam ketika pesawat mendarat di bandara yang asing dan sekelompok orang dari suku setempat menambah bahan bakar ke badan pesawat. Mallinson berinisiatif menyergap sang pilot, namun pilot mengacungkan sepucuk revolver, yang memaksa ia mengurungkan niatnya dan kembali ke bangku penumpang. Pesawat segera mengudara kembali dan tampaknya mereka terbang di atas pegunungan bersalju. Pesawat tiba-tiba menukik kehilangan tenaga dan pilot terpaksa mendaratkan pesawatnya di lahan datar yang bersalju. Perdaratan darurat membuat pesawat rusak berat, namun keempat penumpangnya selamat, walaupun kedapatan sang pilot misterius itu telah tewas.

 

Mallinson dan Conway berupaya memperkirakan lokasi jatuhnya pesawat, dan memperkirakan mereka berada di pegunungan Karakoram. Conway berspekulasi mereka terbang di atas Tibet. Sebagai orang yang terbiasa mendaki gunung, Conway menyadari lokasi mereka lebih terpencil ketimbang Gunung Everest yang terkenal itu. Nona Brinklow mulai cemas ketika mengingat cerita temannya sesama misionaris, bahwa penduduk Tibet itu merupakan orang-orang aneh. Mereka percaya manusia itu keturunan dari bangsa kera. Tentu saja ini hanya folklore setempat, bukan ajaran teori evolusi Darwin. Keempat penumpang pesawat naas itu amat khawatir atas keselamatan mereka. Udara semakin dingin dan kegelapan malam segera menyergap. Mereka putus asa dan tidak tahu harus berbuat apa.

 

Menjelang tengah malam belasan orang mendekati lokasi jatuhnya pesawat. Mereka mengusung sebuah tandu yang dinaiki seorang yang lebih tua yang mengenakan pakaian berwarna biru. Sewaktu mereka mendekat, Conway melihat orang yang ditandu itu ternyata pimpinannya, dan ia seorang Tionghoa yang mengenakan gaun sutera bersulam. Orang itu fasih berbahasa Inggris. Namanya Chang. Conway memperkenalkan dirinya dan teman-temannya.

 

Chang menawarkan dirinya sebagai penunjuk jalan. Mallinson minta Chang agar mereka ditunjukkan jalan ke dunia yang beradab. Chang malah balik bertanya apakah ia dan teman-temannya datang dari dunia yang tak-beradab. Orang-orang Tibet mengenakan pakaian dari kulit domba, topi dari bulu anjing-gunung, dan sepatu bot dari kulit yak. Mereka menawarkan anggur dan buah-buahan kepada Conway dan teman-temannya. Sepanjang perjalanan Chang dan Conway dengan akrabnya bercakap-cakap. Mereka membicarakan gunung elok berbentuk kerucut sempurna, yang oleh orang Tibet dinamakan Karakal.

 

Melalui perjalanan yang panjang dan berat, Chang membawa mereka melintasi pegunungan yang dingin dan bersalju. Setelah berjalan cukup jauh, di pagi harinya saat mentari baru saja menyinari bumi, keempat tokoh kita ini dihadapkan pada suatu lokasi yang sulit dipercaya. “Bagi Conway, yang melihatnya untuk pertama kali mungkin ini hanya khayalan belaka … . Tempat ini sungguh-sungguh aneh dengan pemandangan luar biasa. Sekelompok rumah indah berwarna-warni bertebaran di sisi gunung dengan … eloknya bunga-bunga yang bermekaran bersemai dengan latar tebing batu yang terjal. Lanskapnya luar biasa dan sangat permai. Tak kuat kita menahan rasa haru sewaktu mata kita memandang atap biru di atas bukit batu kelabu … . Jauh di seberang sana tampak sebuah piramida yang mempesona, dengan selimut salju menutupi Karakal”. Itulah kesan pertama Conway ketika melihat lokasi yang menakjubkan itu. Itulah Shangri-La, surga yang hilang.

 

Shangri-La merupakan biara Tibet atau kediaman Lama (Lama berarti biarawan atau rahib), yang terletak di sisi gunung sempurna yang dinamakan Rembulan Biru. Di lembah di bawah biara itu terhampar ladang yang subur dan juga rumah-rumah kediaman penduduknya. Conway dan teman-temannya tinggal di biara yang berwarna-warni dan mereka semua terkesima melihat kelengkapan yang ada di dalamnya. Biara dilengkapi dengan peralatan modern seperti bathtub, sistem pemanas sentral, sebuah perpustakaan yang besar dan lengkap, barang-barang keramik dari porselen-cina, sebuah grand piano, alat musik harpa, serta berlimpahnya makanan dan minuman yang berasal dari lembah subur di bawah sana. Conway bahkan membaca label pada bathtub porselen yang dipakainya : “Akron, Ohio”. Chang menerangkan para penjelajah datang dan pergi ke Shangri-La sambil membawa barang-barang itu.

 

Keempat tamu tenggelam dalam kehidupan rutin. Mereka bersyukur pada hangatnya siang dan dinginnya malam, menikmati jalan-jalan di taman yang tertata indah, memanfaatkan waktu luang yang panjang, mencicipi makanan dan minuman pilihan, meminjam buku dari perpustakaan, dan menikmati alunan musik Mozart. Sewaktu makan malam Conway menanyakan Chang apakah masyarakat di sana menerima pengunjung dari luar. Chang menjawab mereka jarang melakukan hal itu. Masyarakat di sana dapat bertahan tanpa tercemar dari dunia luar. Nona Brinklow bertanya berapa banyak rahib yang ada dan apa kebangsaan mereka. Chang menjawab masyarakat mereka hanya terdiri dari lima puluh orang dari berbagai bangsa, tetapi kebanyakan orang Tionghoa dan Tibet.

 

Chang dan Conway mendiskusikan falsafah yang dianut oleh Shangri-La, yang dijawab oleh Chang mereka menerapkan sikap tidak berlebih-lebihan atau sikap jalan tengah dalam segala hal. "Kami memimpin dengan menerapkan aturan yang tidak berlebihan, dan sebaliknya kami puas atas kepatuhan dalam skala menengah. Kami tidak memiliki hal yang kaku, atau aturan yang tidak dapat ditawar lagi. Kami kerjakan apa yang kami anggap pantas, yang sedikit hikmahnya kami peroleh dari masa lalu, tetapi lebih banyak kami ambil dari kebijaksanaan saat ini, serta tidak lupa ditambah dengan kemampuan cenayang kami untuk meneropong masa depan”.

 

Lama kelamaan Conway mendapatkan dirnya terbenam dalam ketenangan dan kedamaian Shangri-La. Ia kehilangan segala yang berkaitan dengan ambisi dan nafsu duniawi. Barnard merasa kerasan tinggal di Shangri-La dan tidak ingin kembali. Sesungguhnya Barnard masih dikejar-kejar oleh polisi karena terlibat kasus penipuan yang dilakukannya. Barnard minta kepada Chang agar ia diizinkan tinggal di Shangri-La selamanya. Nona Brinklow juga ingin tetap tinggal di Shangri-La. Ia ingin mendidik masyarakat setempat agar memeluk agama Kristen. Sekarang tinggal Mallinson yang makin lama makin merasa jenuh dan menggerutu setiap hari.

 

Chang memperkenalkan Conway pada seorang wanita Manchu yang bernama Lo-Tsen. Lo-Tsen seorang gadis cantik dengan umur sekitar dua puluhan dan mahir sekali memainkan harpa. Ia sama sekali tidak mengerti bahasa Inggris. Tertarik akan kepandaiannya memainkan musik dan kecantikannya, Conway jatuh cinta kepadanya. Chang menasehati Conway agar hubungan mereka berdua hendaknya bersifat spiritual. Chang agaknya pernah tersandung dengan kejadian serupa. Sejatinya Lo-Tsen sudah bermukim di Shangri-La dalam kurun waktu yang lama. Belakangan Mallinson pun jatuh cinta kepada perempuan Manchu ini.

 

Waktu terus berjalan, sampai tiba suatu saat Lama-Kepala berniat untuk bertemu dengan Conway. Melalui audiensi khusus, Lama-Kepala bercerita tentang sejarah Shangri-La. Beberapa ratus tahun yang lalu rahib Perrault datang dari Eropa ke Tibet dan kemudian mendirikan Shangri-La. Sang rahib sendiri dikabarkan menghilang sejak saat itu, dan Conway bisa menebak dengan jitu bahwa sesungguhnya Lama-Kepala tidak lain rahib Perrault sendiri. Lama-Kepala sendiri selama ini terbenam dalam meditasi yang khusuk. Ia sudah kehilangan gairah kemanusiaannya.

 

Chang terperanjat sewaktu Lama-Kepala minta bertemu dengan Conway untuk kedua kalinya. Chang sendiri hanya diizinkan untuk bertemu dengan Lama-Kepala paling tidak lima tahun sekali. Tidak seperti biasanya, Lama-Kepala meminta bertemu Conway tiga, empat, sampai lima kali. Lama-Kepala menjelaskan kedatangan Conway dan kawan-kawan bukanlah kebetulan belaka. Mereka berdua berdiskusi banyak hal tentang filsafat dan sejarah. Lama-Kepala yakin Conway memiliki kemampuan dan pengalaman yang mumpuni sampai ia dapat mengerti topik-topik ajaran yang sulit. Pada akhir pertemuan yang kelima Lama-Kepala menunjuk Conway sebagai penggantinya, dengan tugas melanjutkan kepemimpinan Shangri-La. Setelah pertemuan terakhir itu, Lama-Kepala wafat dengan tenang.

 

Conway menceritakan ikhwal pertemuannya dengan Lama-Kepala kepada ketiga temannya. Mallinson tidak mempercayai sejarah Shangri-La yang fantastik itu, juga berpendapat tidak mungkin orang dapat berusia ratusan tahun. Mallinson mengingatkan Conway -- atasannya yang lulusan Oxford yang begitu brilian, dan sekaligus dipuja sebagai pahlawan bagi korban penyanderaan di Baskul -- kini menjadi orang yang pasif dan nampak dungu. Ia berpendapat kondisi di sana begitu buruk, serta ia dan Lo-Tsen berencana untuk segera ke luar dari sana. Akhirnya keduanya mendapatkan beberapa pembawa barang yang kebetulan akan keluar dari Shangri-La. Conway diajak untuk mengikuti jejak mereka berdua. Setelah diliputi kebimbangan, akhirnya Conway memutuskan untuk menghantarkan kepergian mereka. Rencana Conway meninggalkan Shangri-La menimbulkan kegemparan masyarakat di sana. Hanya Chang yang berkata dengan penuh keyakinan bahwa Conway akan kembali.

 

Menyeberangi perbatasan ke dunia luar, angin kencang, udara dingin, dan alam yang ganas membuat Mallinson, Conway, Lo-Tsen dan para pengiringnya tertatih-tatih melewati pegunungan bersalju. Beberapa saat kemudian sesuatu yang menakjubkan terjadi. Lo-Tsen perlahan-lahan berubah wujud dari gadis cantik yang belia menjadi wanita dewasa, lalu menjelma menjadi wanita sepuh, dan akhirnya menjadi nenek tua-renta yang sekarat. Ternyata daya magis Shangri-La lenyap begitu mereka keluar dari firdaus itu. Daya magis yang selama ini membuat Lo-Tsen tampak belia, padahal sesungguhnya ia telah berusia ratusan tahun. Lo-Tsen jatuh ke tanah, mengerang, dan ajal segera menjemputnya. Mallinson begitu shock melihat orang yang menjadi kekasihnya berubah wujud dan meninggal mengenaskan. Dengan tubuh letih Mallinson pun jatuh di samping kekasihnya dan ia pun turut meregang nyawa. Conway terperanjat menyaksikan nasib kedua sahabatnya yang berakhir tragis.

 

Conway yang tertekan mendadak kehilangan ingatan. Ia meneruskan perjalanan sendirian sampai dirinya ditemukan regu penyelamat yang dikirim Pemerintah Inggris di India. Conway segera dirawat di sebuah rumah sakit di Chung-Kiang, sampai ia ditemukan Rutherford sahabat karibnya. Selama ditemani oleh Rutherford, Conway menceritakan seluruh kisah petualangannya di Shangri-La, dan Rutherford menuliskan menjadi manuskrip, hingga orang luar mengetahui keberadaan Shangri-La. Conway pun berangsur-angsur pulih, bersedia mengikuti sahabatnya yang akan berlayar ke Honolulu. Namun sesaat sebelum naik ke kapal, Conway membatalkan kepergiannya dan ia melanjutkan perjalanan seorang diri ke perbatasan Tibet. Otoritas setempat mencegah Conway yang akan melintasi pegunungan yang tidak bertuan itu, namun dia nekat melanjutkan perjalanannya. Sejak saat itu orang tidak tahu lagi ke mana Conway pergi. Konon kabarnya dia kembali ke Shangri-La guna menuntaskan takdirnya.

 

Mungkin Anda para pembaca mengira cerita di atas adalah sebuah kisah nyata. Fantastik memang, tetapi ini hanyalah kisah dalam sebuah novel laris yang dikarang oleh James Hilton pada tahun 1933. Judulnya: Lost Horizon, yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai "Surga yang Hilang." Dalam bahasa Tibet "Shangri-La" dinamakan pula "Shambala." Sebagai penutup, penulis mengajukan pertanyaan ini kepada pembaca sekalian, apakah Shangri-La tersembunyi ini sungguh-sungguh ada?

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/210714

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar