Kisah kita kali ini menceritakan Robert Conway, seorang mantan tentara,
penulis, dan diplomat Kerajaan Inggris. Sebelum kembali ke Inggris, Conway
berkewajiban menyelesaikan tugasnya yang terakhir di tahun 1931 di India, yakni
mengungsikan 90 orang warga kulit putih yang disandera di kota
Baskul ke kota Peshawar. Setelah mengantarkan para sandera ke tempat yang aman,
dengan meminjam pesawat pribadi Maharaja Chandapore, Conway kembali ke
tempatnya bertugas bersama dengan bawahannya seorang kadet
bernama Mallinson, disertai dua orang lain yaitu Nona Brinklow, seorang
misionaris, dan seorang Amerika bernama Barnard.
Selang beberapa lama
setelah pesawat lepas landas mereka baru menyadari ada yang tidak beres. Ternyata pilot membawa mereka ke arah lain, bukan ke
tempat yang seharusnya dituju. Hari menjelang malam ketika pesawat mendarat di bandara
yang asing dan sekelompok orang dari suku setempat menambah bahan bakar ke
badan pesawat. Mallinson berinisiatif menyergap sang pilot, namun pilot mengacungkan
sepucuk revolver, yang memaksa ia
mengurungkan niatnya dan kembali ke bangku penumpang. Pesawat
segera mengudara kembali dan tampaknya mereka terbang di atas pegunungan
bersalju. Pesawat tiba-tiba menukik kehilangan tenaga dan pilot terpaksa
mendaratkan pesawatnya di lahan datar yang bersalju. Perdaratan darurat
membuat pesawat rusak berat, namun
keempat penumpangnya selamat, walaupun
kedapatan sang
pilot misterius itu telah tewas.
Mallinson dan Conway
berupaya memperkirakan lokasi jatuhnya pesawat, dan
memperkirakan mereka berada di
pegunungan Karakoram. Conway berspekulasi mereka terbang di atas Tibet. Sebagai
orang yang terbiasa mendaki gunung, Conway menyadari
lokasi mereka lebih terpencil ketimbang Gunung Everest yang
terkenal itu. Nona Brinklow mulai cemas ketika
mengingat cerita temannya sesama misionaris, bahwa penduduk Tibet itu merupakan
orang-orang aneh. Mereka percaya manusia itu keturunan dari bangsa kera. Tentu
saja ini hanya folklore setempat,
bukan ajaran teori evolusi Darwin. Keempat penumpang pesawat naas itu amat
khawatir atas keselamatan mereka. Udara semakin
dingin dan kegelapan malam segera menyergap. Mereka putus asa dan
tidak tahu harus berbuat apa.
Menjelang tengah malam
belasan orang mendekati lokasi jatuhnya pesawat. Mereka mengusung sebuah tandu
yang dinaiki seorang yang lebih tua yang mengenakan pakaian berwarna biru.
Sewaktu mereka mendekat, Conway melihat orang yang ditandu itu
ternyata pimpinannya, dan
ia seorang
Tionghoa
yang mengenakan gaun sutera bersulam. Orang itu fasih
berbahasa Inggris. Namanya Chang. Conway memperkenalkan dirinya dan
teman-temannya.
Chang menawarkan dirinya
sebagai penunjuk jalan. Mallinson minta Chang agar mereka ditunjukkan jalan ke
dunia yang beradab. Chang malah balik bertanya apakah ia dan
teman-temannya datang dari dunia yang tak-beradab. Orang-orang Tibet
mengenakan pakaian dari kulit domba, topi dari bulu anjing-gunung, dan sepatu
bot dari kulit yak. Mereka menawarkan anggur dan buah-buahan kepada Conway dan
teman-temannya. Sepanjang perjalanan Chang dan Conway dengan akrabnya
bercakap-cakap. Mereka membicarakan gunung elok berbentuk kerucut sempurna, yang
oleh orang Tibet dinamakan Karakal.
Melalui perjalanan yang
panjang dan berat, Chang membawa mereka melintasi pegunungan yang
dingin dan bersalju. Setelah berjalan cukup jauh,
di pagi harinya saat mentari baru saja menyinari
bumi, keempat tokoh kita ini dihadapkan pada suatu lokasi yang sulit dipercaya.
“Bagi Conway, yang melihatnya untuk pertama kali mungkin ini hanya khayalan
belaka … . Tempat ini sungguh-sungguh aneh dengan pemandangan luar biasa.
Sekelompok rumah indah berwarna-warni bertebaran di sisi gunung dengan … eloknya
bunga-bunga yang bermekaran bersemai dengan latar tebing batu yang terjal. Lanskapnya
luar biasa dan sangat permai. Tak kuat kita menahan rasa haru
sewaktu mata kita memandang atap biru di atas bukit batu kelabu … . Jauh di
seberang sana tampak sebuah piramida yang mempesona, dengan selimut salju
menutupi Karakal”. Itulah kesan pertama Conway ketika melihat lokasi yang
menakjubkan itu. Itulah Shangri-La, surga yang hilang.
Shangri-La merupakan biara
Tibet atau kediaman Lama (Lama berarti biarawan
atau rahib), yang terletak di sisi gunung sempurna yang dinamakan Rembulan
Biru. Di lembah di bawah biara itu terhampar ladang yang subur dan juga
rumah-rumah kediaman penduduknya. Conway dan teman-temannya tinggal di biara yang
berwarna-warni dan mereka semua terkesima melihat kelengkapan yang ada di
dalamnya. Biara dilengkapi dengan peralatan modern seperti bathtub, sistem pemanas sentral, sebuah perpustakaan yang besar dan
lengkap, barang-barang keramik dari porselen-cina,
sebuah grand piano, alat musik harpa,
serta berlimpahnya makanan dan minuman yang berasal dari lembah subur di bawah
sana. Conway bahkan membaca label pada bathtub
porselen yang dipakainya : “Akron, Ohio”. Chang menerangkan para penjelajah
datang dan pergi ke Shangri-La sambil membawa barang-barang itu.
Keempat tamu tenggelam
dalam kehidupan rutin. Mereka bersyukur pada hangatnya siang dan dinginnya
malam, menikmati jalan-jalan di taman yang tertata indah, memanfaatkan waktu
luang yang panjang, mencicipi makanan dan minuman pilihan, meminjam buku dari
perpustakaan, dan menikmati alunan musik Mozart. Sewaktu makan malam Conway
menanyakan Chang apakah masyarakat di sana menerima pengunjung dari luar. Chang
menjawab mereka jarang melakukan hal itu. Masyarakat di sana dapat bertahan
tanpa tercemar dari dunia luar. Nona Brinklow bertanya berapa banyak rahib yang
ada dan apa kebangsaan mereka. Chang menjawab masyarakat mereka hanya terdiri
dari lima puluh orang dari berbagai bangsa, tetapi kebanyakan orang Tionghoa
dan Tibet.
Chang dan Conway
mendiskusikan falsafah yang dianut oleh Shangri-La, yang dijawab oleh Chang
mereka menerapkan sikap tidak berlebih-lebihan atau sikap jalan tengah dalam segala hal. "Kami memimpin dengan menerapkan aturan
yang tidak berlebihan, dan sebaliknya kami puas atas kepatuhan dalam skala
menengah. Kami
tidak memiliki hal yang kaku, atau aturan yang tidak dapat ditawar lagi. Kami
kerjakan apa yang kami anggap pantas, yang sedikit hikmahnya kami peroleh dari
masa lalu, tetapi lebih banyak kami ambil dari kebijaksanaan saat ini, serta
tidak lupa ditambah dengan kemampuan cenayang kami untuk meneropong masa
depan”.
Lama
kelamaan Conway mendapatkan dirnya terbenam dalam ketenangan dan kedamaian
Shangri-La. Ia kehilangan segala yang berkaitan dengan ambisi dan nafsu
duniawi. Barnard merasa kerasan tinggal di
Shangri-La dan tidak ingin kembali. Sesungguhnya Barnard masih dikejar-kejar
oleh polisi karena terlibat kasus penipuan yang dilakukannya. Barnard minta kepada
Chang agar ia diizinkan tinggal di Shangri-La selamanya. Nona Brinklow juga
ingin tetap tinggal di Shangri-La. Ia ingin mendidik masyarakat setempat
agar memeluk agama Kristen. Sekarang tinggal Mallinson yang makin lama makin
merasa jenuh dan menggerutu setiap hari.
Chang memperkenalkan Conway
pada seorang wanita Manchu yang bernama Lo-Tsen. Lo-Tsen seorang gadis cantik
dengan umur sekitar dua puluhan dan mahir sekali memainkan harpa. Ia sama
sekali tidak mengerti bahasa Inggris. Tertarik akan kepandaiannya memainkan
musik dan kecantikannya, Conway jatuh cinta kepadanya. Chang menasehati Conway
agar hubungan mereka berdua hendaknya bersifat spiritual. Chang agaknya
pernah tersandung dengan kejadian
serupa. Sejatinya Lo-Tsen sudah bermukim di Shangri-La dalam kurun waktu yang
lama. Belakangan Mallinson pun jatuh cinta kepada perempuan Manchu
ini.
Waktu terus berjalan,
sampai tiba suatu saat Lama-Kepala berniat untuk bertemu dengan
Conway. Melalui audiensi khusus, Lama-Kepala bercerita tentang
sejarah Shangri-La. Beberapa ratus tahun yang lalu rahib Perrault datang dari
Eropa ke Tibet dan kemudian mendirikan Shangri-La. Sang rahib sendiri
dikabarkan menghilang sejak saat itu, dan Conway bisa
menebak dengan jitu bahwa sesungguhnya Lama-Kepala
tidak lain rahib Perrault sendiri. Lama-Kepala
sendiri selama ini terbenam dalam meditasi yang khusuk. Ia sudah kehilangan gairah
kemanusiaannya.
Chang terperanjat sewaktu
Lama-Kepala
minta bertemu dengan Conway untuk kedua kalinya. Chang sendiri hanya diizinkan
untuk bertemu dengan Lama-Kepala paling tidak lima tahun sekali.
Tidak seperti biasanya, Lama-Kepala
meminta bertemu Conway tiga, empat, sampai lima kali. Lama-Kepala
menjelaskan kedatangan Conway dan kawan-kawan bukanlah kebetulan belaka. Mereka
berdua berdiskusi banyak hal tentang filsafat dan sejarah. Lama-Kepala
yakin Conway memiliki kemampuan dan pengalaman yang mumpuni
sampai ia dapat mengerti topik-topik ajaran yang sulit. Pada akhir
pertemuan yang kelima Lama-Kepala menunjuk Conway sebagai
penggantinya, dengan tugas melanjutkan kepemimpinan Shangri-La. Setelah
pertemuan terakhir itu, Lama-Kepala wafat dengan tenang.
Conway menceritakan
ikhwal
pertemuannya dengan Lama-Kepala kepada ketiga temannya.
Mallinson tidak mempercayai sejarah Shangri-La yang fantastik itu, juga
berpendapat tidak mungkin orang dapat berusia ratusan tahun. Mallinson mengingatkan
Conway -- atasannya yang lulusan Oxford yang
begitu brilian, dan sekaligus dipuja sebagai pahlawan
bagi
korban
penyanderaan
di Baskul -- kini menjadi orang yang pasif dan nampak
dungu.
Ia
berpendapat kondisi di sana begitu buruk, serta ia dan Lo-Tsen
berencana untuk segera ke luar dari sana. Akhirnya
keduanya
mendapatkan beberapa pembawa barang yang kebetulan akan keluar dari Shangri-La.
Conway diajak untuk mengikuti jejak mereka berdua. Setelah diliputi kebimbangan, akhirnya Conway memutuskan untuk menghantarkan kepergian
mereka. Rencana Conway meninggalkan Shangri-La menimbulkan kegemparan masyarakat
di sana. Hanya Chang yang berkata dengan penuh keyakinan bahwa Conway akan
kembali.
Menyeberangi
perbatasan ke dunia luar, angin kencang, udara
dingin, dan alam yang ganas membuat Mallinson, Conway, Lo-Tsen dan para
pengiringnya tertatih-tatih melewati pegunungan bersalju. Beberapa saat kemudian sesuatu yang menakjubkan terjadi.
Lo-Tsen perlahan-lahan berubah wujud dari gadis cantik yang belia menjadi
wanita dewasa, lalu menjelma menjadi wanita sepuh, dan akhirnya menjadi nenek
tua-renta yang sekarat. Ternyata daya magis Shangri-La lenyap begitu mereka
keluar dari firdaus itu. Daya magis yang selama ini membuat Lo-Tsen tampak
belia, padahal sesungguhnya ia telah berusia ratusan tahun. Lo-Tsen
jatuh ke tanah, mengerang, dan ajal segera menjemputnya. Mallinson begitu shock melihat orang yang menjadi
kekasihnya berubah wujud dan meninggal mengenaskan. Dengan tubuh letih
Mallinson pun jatuh di samping kekasihnya dan ia pun
turut meregang nyawa. Conway terperanjat menyaksikan nasib kedua sahabatnya yang berakhir tragis.
Conway yang tertekan mendadak
kehilangan ingatan. Ia meneruskan perjalanan sendirian sampai
dirinya
ditemukan regu penyelamat yang dikirim Pemerintah Inggris di India. Conway
segera
dirawat di sebuah rumah sakit di Chung-Kiang, sampai ia ditemukan Rutherford sahabat
karibnya. Selama ditemani oleh Rutherford, Conway menceritakan seluruh kisah
petualangannya di Shangri-La, dan Rutherford menuliskan menjadi manuskrip,
hingga
orang luar mengetahui keberadaan Shangri-La. Conway pun
berangsur-angsur pulih, bersedia mengikuti sahabatnya
yang akan berlayar ke Honolulu. Namun sesaat sebelum
naik ke kapal, Conway membatalkan kepergiannya dan ia melanjutkan
perjalanan seorang diri ke perbatasan Tibet. Otoritas
setempat mencegah Conway yang akan melintasi pegunungan yang tidak bertuan itu,
namun dia nekat melanjutkan perjalanannya. Sejak
saat itu orang tidak tahu lagi ke mana Conway pergi. Konon kabarnya dia
kembali ke Shangri-La guna menuntaskan
takdirnya.
Mungkin Anda para pembaca mengira cerita di atas adalah
sebuah kisah nyata. Fantastik memang, tetapi ini hanyalah kisah dalam sebuah
novel laris yang dikarang oleh James Hilton pada tahun 1933. Judulnya: Lost Horizon, yang jika diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai "Surga yang Hilang." Dalam bahasa Tibet
"Shangri-La" dinamakan pula "Shambala."
Sebagai penutup, penulis mengajukan pertanyaan ini kepada
pembaca sekalian, apakah Shangri-La tersembunyi ini sungguh-sungguh ada?
sdjn/dharmaprimapustaka/210714
Tidak ada komentar:
Posting Komentar