Kamis, 29 Juli 2021

TAKUT MATI



 

Alkisah di zaman dahulu kala di sebuah pulau yang bernama Aolai di lepas pesisir Benua Timur, seekor kera batu dilahirkan atas Kuasa Surga dan Bumi. Di pulau gunung yang ditempatinya si kera segera mampu berlari dan melompat, makan dari tetumbuhan dan pepohonan, minum dari anak sungai dan mata air, memetik bunga gunung dan mencari buah-buahan. Dia berkawan dengan serigala, bepergian dengan harimau dan macan tutul, bersahabat dengan rusa, dan berteman dengan sesama bangsa kera.

 

Pada satu hari si kera batu mendapatkan tantangan dari kawan-kawannya, yakni menemukan asal-muasal aliran air hingga bisa mencapai sungai tempat mereka mandi. Barang siapa yang bisa menemukan jawabannya, dia akan diangkat sebagai raja. Memang sudah jadi takdir si kera batu, yang dengan modal keberanian dan kecerdikannya, dia melompat dan berhasil menerobos guyuran-deras air terjun hingga ia mencapai sebuah goa misterius di dalamnya. Bukan saja goa tersembunyi yang ditemukannya, melainkan sebuah istana batu yang megah, lengkap dengan perabotannya. Tempat itu dinamakan "Goa Tirai Air di Gunung Bunga dan Buah."

 

Singkat cerita semua bangsa kera di pulau itu diajaknya menempati goa beserta istana batu yang baru ditemukannya. Di saat mereka masih dihinggapi eforia kegembiraan, si kera batu berseru, "mengapa kalian belum menjadikan aku raja?" Mendengar ucapan ini semua kera membungkuk dan bersujud, tak berani mereka melawan titahnya. Selanjutnya mereka berbaris rapi dalam kelompok juga dalam urutan umur, seperti layaknya dalam sebuah sidang resmi. Dengan rasa hormat mereka semua menobatkan si kera batu sebagai "Raja Agung Seribu Tahun". Dia kemudian mengambil mahkota, menetapkan kata "batu" sebagai tabu, dan menyebut dirinya sendiri "Raja Kera Tampan."

 

Mengendalikan seluruh kerajaan kera, monyet, gorila, siamang, beruk, lutung, makaka, dan lainnya. Si Raja Kera Tampan membagi mereka menjadi penguasa dan bawahan, pembantu dan pelaksana. Di pagi hari mereka berkelana di Gunung Bunga dan Buah, di sore hari mereka pulang dan melewatkan malamnya di Goa Tirai Air.  Mereka semua sepakat tidak bergabung lagi dengan kawanan burung atau bepergian dengan hewan buas. Mereka memiliki raja mereka sendiri, serta mereka menikmati dunianya sendiri.

 

Semangat si Raja Kera Tampan yang menggebu-gebu dengan polosnya ternyata tidak berlangsung lama. Pada suatu hari ia seketika merasa tertekan sewaktu melakukan perjamuan dengan segenap rakyatnya, dan ia mulai menangis tersedu-sedu. Para kera yang terkejut mengelilingi sang raja serta bertanya, "Ada apa Paduka?" "Walaupun aku sekarang ini bahagia," tukas Raja Kera, "Aku khawatir akan masa depan. Ini yang membuatku tertekan." Kera-kera yang lain tertawa dan berkata, "Paduka ini tamak. Kita semua berpesta-pora setiap hari; kita hidup dalam sebuah gunung-firdaus, dalam sebuah goa kuno di benua yang hebat. Kita dijauhkan dari penguasaan kaum kuda bertanduk satu, diluar dominasi para burung-api, dan tak terjangkau oleh pengekangan raja manusia. Kita bebas melakukan apa yang kita mau. Kita ini sungguh-sungguh beruntung. Mengapa membuat diri Paduka sendiri mengkhawatirkan masa depan?"

 

Menanggapi ini si Raja Kera mengutarakan,  "Ya, semua yang kalian katakan itu benar. Tetapi akan tiba waktunya ketika kita menjadi tua dan lemah, serta dunia-bawah dikuasai oleh si Raja Neraka. Pada saat waktunya kita mati, kita tidak hidup lagi diantara Yang Terberkahi, dan hidup kita semua akan sia-sia belaka." Semua kera menutup wajah mereka dan setiap kera menangis ketika memikirkan tentang kematian. Tiba-tiba seekor siamang menyeruak dari tempat duduknya dan berkata dengan lantang, "Jika Yang Mulia berpikir sedemikian jauh, inilah saatnya permulaan pencerahan. Sekarang dari Lima Makhluk Hidup, hanya ada tiga yang tidak berada dibawah penguasaan si Raja Neraka."

 

"Apakah engkau tahu siapa yang tiga itu?" tanya si Raja Kera. "Ya," jawab si siamang. "Yang tiga itu adalah para Buddha, kelompok Yang Kekal, dan para Suciwan (Yang Kekal atau  xiān adalah orang yang telah mencapai "keabadian" menurut ajaran Tao).  Mereka semua bebas dari Roda Reinkarnasi. Mereka tidak dilahirkan dan mereka tidak akan mati. Mereka abadi seperti Surga dan Bumi, juga seperti gunung dan sungai." "Dimana mereka tinggal?" si Raja Kera bertanya. "Hanya di dunia manusia," si beruk menyahut, "di goa-goa kuno pada gunung-gunung ajaib." Si Raja Kera sangat senang mendengar kabar ini.

 

"Aku akan meninggalkan kalian besok," ia berkata "Jika demikian jalannya, aku akan berkelana hingga ke ujung lautan dan pergi ke tepi langit guna menemukan tiga jenis makhluk itu. Setelah itu akan kita dapatkan kemudaan abadi sekaligus mampu membebaskan kita dari ancaman sang Raja Neraka untuk selamanya." Inilah letak kebaikannya! Cukup dengan kata-kata ini, ia belajar bagaimana ia bisa bebas dari Roda Reinkarnasi dan menjadi Suciwan Agung Menyamai Surga.

 

Selanjutnya si Raja Kera selama bertahun-tahun setelah meninggalkan pulau kediamannya, mengembara di Benua Timur yang maha-luas itu. Tak peduli ia sedang sarapan pagi atau saat pergi tidur di malam hari ia selalu bertanya tentang Buddha, Yang Kekal, dan Suciwan, serta mencari rahasia kemudaan abadi. Ia mengamati bahwasanya orang-orang di dunia terlalu peduli dan sibuk pada kekayaan dan kemasyhuran, yang selalu mereka kejar.

 

 

Jadi kapan waktunya perjuangan bagi keberuntungan dan ketenaran akan berakhir?

Membanting tulang dari subuh hingga malam, tak akan menyenangkan hatimu.

Mereka yang menunggang keledai memimpikan mengendarai kuda jantan,

Sang perdana menteri selalu ingin menjadi pangeran.

Kegelisahan mereka untuk menghentikan pekerjaan hanya ketika mereka harus makan atau berpakaian;

Mereka tidak pernah takut bahwa si Raja Neraka akan menjemput mereka.

Ketika mereka berusaha memastikan anak atau cucu mereka mewarisi kekayaan dan kekuasaan mereka,

Mereka tidak punya waktu sedikit pun untuk berhenti dan berpikir.

 

 

Kita tinggalkan dulu si Raja Kera yang sedang mencari Tiga Makhluk Agung itu. Sekarang kita beralih pada dunia yang diperuntukkan bagi mereka yang sibuk mencari kekayaan dan kemasyhuran. Kita akan menuju Metropolis Tokyo, ibukota paling besar sedunia, rumah bagi tiga-puluh-dua juta orang. Di satu sudut Tokyo yang paling gemerlap, Ginza, kawasan perbelanjaan yang paling top, berjejer butik kelas atas, gerai perhiasan mewah, bar koktail dan kedai sushi yang menyediakan kudapan yang lezat. Pada akhir pekan, jalan utama Chuo Dori merupakan jalur pedestrian paling trendi, yang dipenuhi oleh pencari kesenangan dan turis mancanegara. Bukan saja di akhir pekan, ketika waktu sudah larut malam pun Ginza masih dipadati pekerja Jepang yang baru pulang dari kantor mereka, dan banyak diantara mereka enggan untuk pulang ke rumahnya.

 

Jika kita meninggalkan Tokyo menyeberangi samudera terluas di dunia sejauh hampir sebelas ribu kilometer ke timur, kita akan mencapai New York, metropolis terkemuka di dunia selain Tokyo. Di kota-mega yang tidak pernah tidur ini, ada lagi satu lokasi yang dapat dipertimbangkan untuk dikunjungi. Satu persimpangan komersial utama, tujuan favorit turis, yang merupakan perpotongan diantara Broadway dan Seventh Avenue, yang dikenal sebagai Times Square. Pada gedung-gedung yang tinggi menjulang, dindingnya dipenuhi papan billboard dan reklame raksasa. Saking terkenalnya, lokasi ini dinamakan pula "Crossroads of the World". Times Square tidak pernah sepi. Di hari biasa tiga-ratus hingga empat-ratus ribu orang singgah di sini. Di malam Tahun Baru lebih dari setengah juta orang berkumpul untuk merayakan malam pergantian tahun.

 

Ginza dan Times Square adalah ikon peradaban modern yang gemerlap, yang tidak akan dilupakan oleh para pelancong dan penikmat kesenangan. Perjalanan berikutnya, penulis akan mengajak para pembaca ke lokasi yang sangat berbeda. Jika kita sekarang meninggalkan New York ke arah timur hingga mencapai kira-kira dua-belas ribu kilometer, kita akan mencapai Varanasi di India. Ini adalah sebuah kota berukuran kecil yang luasnya hanya seperempat DKI Jakarta, serta tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan dua metropolis yang disebutkan di atas. Juga kalah jauh dibandingkan dengan Delhi, Mumbai, Bangalore, Chennai, Hyderabad, atau Kolkata. Varanasi bukanlah lokasi yang menyenangkan bagi turis mancanegara untuk berpesiar. Seperti yang terjadi di banyak kota di India, kesan semrawut dan kumuh tampak di sebagian area kotanya. Keadaannya bahkan lebih kotor daripada daerah slum di ibukota Indonesia. Sapi, hewan yang dianggap suci di India, bebas berkeliaran di jalan dan membuang hajat dimana saja. Di bulan April hingga Juni yang merupakan musim panas di India, suhu di siang hari bisa mencapai 45 derajat Celcius. Kita yang tinggal di Jakarta saja sudah amat gerah pada temperatur 30 derajat lebih di siang hari.

 

Jadi apa yang hendak ditonjolkan di sini? Ini bukanlah sembarang lokasi di muka bumi ini. Varanasi adalah kota suci bagi umat Hindu dan penganut Jainisme, yang setara dengan Mekkah bagi umat Islam. Sebagian kota ini terletak di bantaran utara Sungai Gangga. Varanasi adalah kota tua yang paling tidak telah berusia tiga ribu tahun dan merupakan kota budaya di India. Bukan itu saja, kurang lebih sepuluh kilometer di sebelah timur-laut pusat kota Varanasi terletak Sarnath, tempat Buddha Gautama memutar roda-dharma 2600 tahun yang lalu. Terlepas dari semua kelebihannya, yang paling istimewa adalah Varanasi menjadi tempat tujuan kematian, atau dengan kata lain menjadi tempat kematian idaman.

 

Tentu Anda bertanya, mengapa kota itu menjadi tempat kematian idaman? Bagi mereka yang percaya, mati di sini dan sesaat kemudian jasad mereka akan dibawa dan disemayamkan di Manikarnika Ghat atau Harishchandra Ghat. Kedua Ghat tersebut adalah undakan batu berbentuk anak-tangga yang berada persis di bantaran Sungai Gangga. Di sinilah jenazah mereka diberi tumpukan kayu bakar dan langsung dikremasikan. Seiring dengan melelehnya daging-manusia yang dimakan api, dengan diiringi doa dan pembacaan mantram suci oleh rohaniwan dan keluarganya, abu jenazahnya akan tertiup angin dan dibawa oleh arus Sungai Gangga. Tirta-suci akan membasuh sisa jasmani orang mati itu dan membebaskannya dari Roda Reinkarnasi, bahkan bagi orang yang jahat sekali pun. Agar bisa mati di Varanasi mereka harus menunggu kematian di rumah singgah, yang dinamakan bhawan. Ada beberapa bhawan yang disediakan dan bisa ditempati oleh mereka yang berniat menunggu kematiannya.

 

Demikianlah sedikit kisah tentang Varanasi sebagai tempat yang dipilih oleh mereka yang ingin bebas dari kelahiran-kembali dan moksa pun dicapai pada akhirnya. Bagi mereka yang masih tinggal di bhawan sambil menantikan momen penting itu, kematian bukanlah hal yang menakutkan. Mereka tidak lagi gentar pada Sang Raja Neraka yang akan menjemput mereka.

 

Demikianlah ketika segelintir orang bersiap-siap menanti ajal yang akan menjemput mereka, mayoritas manusia acuh tak acuh dan menganggap tabu membicarakan perihal kematian, yang tanpa ampun akan merenggut nyawa mereka. Berkaca dari pengalaman Si Raja Kera, yang melihat bahwasanya orang-orang di dunia ini terlalu peduli dan sibuk pada kekayaan dan kemasyhuran ...

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/210728

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar