Kamis, 17 Juni 2021

HUKUM TABUR-TUAI


 



Diantara Anda Pembaca mungkin pernah mendengar lirik lagu yang didendangkan oleh Broery Pesolima, yang berjudul "Aku Begini Engkau Begitu." Dalam salah satu baris lagunya ada kata-kata: "Di alam nyata, apa yang terjadi. Buah semangka berdaun sirih ... ." Sewaktu penulis mendengar lirik lagu itu untuk pertama kalinya – dan itu sudah lama sekali – penulis terbengong-bengong sambil menggumam, "lho, kok ada pohon semangka berdaun sirih?"

 

Siapa yang tidak kenal buah semangka? Buah yang berbentuk bulat atau bulat-telur, dengan ukuran yang cukup besar dan berat, diselubungi oleh kulit-buah yang keras berwarna hijau-muda dengan larik-larik hijau-tua. Daging buahnya berwarna merah-tua atau kuning, dengan biji-biji berwarna hitam di dalamnya. Semangka rasanya manis dan enak dimakan ketika kita sedang kehausan. Daging buahnya bisa diolah dengan cara dibentuk, menjadi campuran sup-buah atau di-jus. Pohon semangka serumpun dengan labu, melon, dan mentimun, adalah tanaman yang merambat di atas tanah; serta tumbuhan ini tidak dapat memanjat. Daunnya berlekuk-lekuk di tepinya, dengan bunga jantan dan bunga banci di setiap pohonnya, berwarna kuning. Kalau dipikir-pikir tanaman ini luar biasa, karena dilihat sepintas lalu sebagai tumbuhan biasa saja yang merambat, namun memiliki buah sebesar itu. Beberapa tahun belakangan ini para petani semangka di Jepang telah berhasil merekayasa pembentukan buah semangka di pohonnya. Mereka bisa menghasilkan buah semangka berbentuk kubus atau kotak. Tetapi jangan salah, buah semangka berbentuk ganjil ini tidak enak dimakan dan auzubillah mahalnya.

 

Pohon sirih adalah tanaman asli Indonesia dan memerlukan pohon lain untuk tempat merambatnya, tetapi tanaman ini bukan benalu. Sebagai tanaman rambat pohon sirih bisa bertumbuh hingga 15 meter tingginya, dengan batang bundar, beruas, berwarna cokelat-kehijauan, dan menjadi tempat keluarnya akar. Daun sirih berbentuk hati, berujung runcing namun lembut, dan mudah disusun satu di atas yang lain. Jika daunnya diremas akan mengeluarkan bau yang sedap. Bunganya majemuk berbentuk bulir, serta buahnya buah buni berbentuk bulat berwarna hijau keabu-abuan. Sewaktu penulis masih kanak-kanak kebiasaan mengunyah sirih masih banyak dilakukan oleh orang tua zaman itu. Mereka mencampurnya dengan pinang, gambir, dan tembakau. Konon dengan mengunyah sirih, gigi terawat dengan baik dan mulut akan berbau segar. Sekarang sirih dibudidayakan dan dimanfaatkan sebagai tanaman obat.

 

Kembali ke lirik lagu di atas, pada kenyataannya pohon semangka akan menumbuhkan daun semangka dan buah semangka, serta pohon sirih akan menghasilkan daun sirih dan buah buni, kendati pun keduanya tumbuh di petak kebun yang sama. Tidak pernah ada buah semangka berdaun sirih, seperti lagu yang dipopulerkan oleh Broery di tahun 1988 itu. Untung saja pada masa itu media sosial belum lahir. Jika sudah ada, kehebohan kabar 'semangka berdaun sirih' bisa digolongkan sebagai berita bohong atau hoax.

 

Mungkin ada dari Anda yang masih penasaran. Coba kita simak lirik lagunya lebih lanjut. "Di dalam tidur, didalam doa; Kita berjanji; Kita bersama, kita bersatu; Bergandeng tangan." Ini adalah ungkapan seorang pemuda yang sedang jatuh cinta dan mereka telah membina hubungan sekian lama. Hanya saja kebersamaan yang didambakan oleh sang pria masih di dalam mimpi, hanya sebatas angan-angan. "Di alam nyata, apa yang terjadi; Buah semangka berdaun sirih; Aku begini, engkau begitu; Sama saja." Dalam kehidupan nyata kebersamaan si pria dan si wanita itu tidak bisa terjadi. Artinya tidak ada kecocokan diantara keduanya; yang mana ini setali tiga uang dengan 'semangka berdaun sirih', alias "tidak mungkin". Orang Arab bilang, "Mustahil!" Dan akhirnya: "Ibu bapaku, ayah bundaku; Entah kemana; Ingin bertanya, aku tak tahu; Pada siapa." Dalam keputusasaannya sang pria ingin mengadu, ingin mengungkapkan duka-nestapanya kepada orang tuanya yang entah ada dimana. Lagu yang diciptakan oleh Rinto Harahap, seorang maestro lagu Indonesia populer pada masa itu, sebenarnya ingin mengungkapkan bahasa satire tentang peliknya hubungan asmara.

 

Dari contoh di atas secara tidak langsung kita sebenarnya telah belajar mengenal hukum tabur-tuai. Jika kita hendak menikmati semangka, maka kita harus menabur bibit semangka terlebih dahulu. Namun jika kita ingin mendapatkan daun sirih, kita harus menanam pohon sirih sebelumnya. Tidak mungkin terjadi kita menanam bibit semangka lalu kita memanen daun sirih. Pertanyaannya sekarang, sejak kapan manusia mengenal cara bercocok tanam? Menurut ahli paleontologi, baru beberapa ribu tahun yang lalu manusia purba belajar bertani dan beternak. Sebelumnya nenek moyang kita adalah pengumpul hasil hutan dan pemburu. Mereka menggali umbi-umbian, memetik sayuran dan buah-buahan, berburu hewan liar, dan menangkap ikan, guna memenuhi kebutuhan makanan bagi kelompoknya. Sekali waktu mereka mengamati bahwa bagian-batang umbi dan biji-buah yang mereka buang begitu saja dekat pemukiman mereka, tumbuh menjadi tunas tanaman muda, dan beberapa lama kemudian pohon itu bertumbuh-kembang. Lama-kelamaan tanaman baru itu menghasilkan umbi dan buah yang serupa dengan apa yang mereka dulu peroleh. Sejak saat itu mereka mulai bereksperimen dalam bercocok tanam, dan ternyata mereka berhasil membudidayakan tanaman-tanaman tertentu.

 

Di zaman ini untuk memenuhi dan memuaskan kebutuhan perut kita, sesungguhnya kita semua berutang budi kepada para petani. Berkat jerih payah mereka, kita tidak perlu bersusah payah mendapatkan apa yang akan kita konsumsi sehari-hari. Merekalah orangnya yang tahu benar prinsip 'menabur dan menuai'. Seorang petani menabur benih, pasti dengan penuh keyakinan dan pengharapan, kelak akan mendapatkan panen yang baik dan melimpah. Dia sadar bahwa jika dia menabur benih pada waktu yang tepat, kemudian bekerja keras dan mengabdikan diri sepenuhnya untuk merawat tanaman itu, di akhir musim-tanam dia akan menuai hasilnya.

 

Dalam kaidah 'tabur-tuai' ini berlaku paling tidak tiga prinsip. Prinsip pertama berbunyi: "menabur dulu baru menuai." ; adalah kaidah yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Tidak bisa dibalik menjadi: "menuai dulu baru menabur." Sungguh tepat ungkapan bahwa 'Hari ini adalah Bapak Masa Depan', bahwa apa yang engkau kerjakan hari ini akan membentuk masa depanmu. Prinsip kedua mengatakan bahwa "seseorang hanya menuai apa yang dia tabur". Seperti yang sudah dijelaskan pada contoh di atas, bahwa jika seorang petani menabur benih padi, dia kelak akan memanen bulir-padi, bukan bulir-gandum atau bulir-sorghum. Prinsip yang ketiga menyebutkan: "Orang yang menabur, dialah yang akan menuai hasilnya, bukan orang lain." Prinsip yang ketiga ini juga tidak dapat dibantah kebenarannya.

 

Anda pasti pernah mendengar ungkapan: "Apa yang engkau tabur, itulah yang akan engkau tuai" atau dalam bahasa Inggrisnya: "You reap what you sow." Sekarang kita tidak lagi membicarakan ilmu bercocok tanam. Ungkapan yang baru saya utarakan adalah sebuah pepatah, sebuah peribahasa; yang maknanya kurang lebih: "Jika engkau bertindak baik maka engkau akan menuai kebahagiaan, namun jika engkau menabur keburukan maka penderitaanlah yang akan engkau dapatkan." Dalam artikel ini kita akan menelusuri dari mana ajaran ini berasal, dan penulis akan menceritakannya dari perspektif filsafat India dan Tiongkok.

 

Pemikiran tentang filsafat dan agama terjadi di India selama akhir Zaman Veda, yang dimulai sekitar tahun 1000 seb.M., dan sering disebut sebagai era Brahmanisme, karena pemikiran mereka merupakan produk dari munculnya para pendeta Brahmana ke tampuk kekuasaan tertinggi mereka dalam masyarakat India. Gagasan-gagasan para brahmana itu tertuang dalam naskah yang belakangan dikenal sebagai Upanishad, dengan lebih dari 250 Upanishad disusun antara tahun 800 hingga 600 seb.M. Guru-guru India pertama ini mengembara di hutan sebagai petapa, tempat mereka bermeditasi dan mengajarkan ilmu yang mereka peroleh kepada siswa-siswa penerusnya. Adapun ajaran yang terkandung dalam Upanishad dapat diringkas sebagai berikut:

 

(1) Realitas fundamental atau yang sesungguhnya ada, yang merupakan substansi dari segala sesuatu bukanlah materi, melainkan sesuatu yang bersifat spiritual, yakni Jiwa Dunia. Jiwa Dunia dinamakan pula Brahman. (2) Masing-masing individu memiliki jiwa, yang merupakan bagian dari Jiwa Dunia. Jiwa Individu ini disebut pula Atman. (3) Alam material adalah ilusi atau maya, dan penyebab segala penderitaan. Selama orang masih mengejar tujuan duniawi seperti mencari kekayaan, kekuasaan, dan ketenaran, maka semuanya akan bermuara pada rasa sakit dan kesedihan. (4) Penyelamatan atau pembebasan dari belenggu penderitaan hanya bisa dicapai melalui re-absorbsi Jiwa Individu ke dalam Jiwa Dunia. Proses ini dinamakan pula menyatunya Atman ke dalam Brahman. (5) Pelepasan dari alam-maya menuju kebersatuan Atman dengan Brahman adalah bagian dari proses rumit reinkarnasi. Jiwa Individu harus menjalani serangkaian reinkarnasi duniawi dari satu tubuh ke tubuh lainnya. (6) Terjalin erat dengan proses reinkarnasi berlangsung pula Hukum Perbuatan, yang populer dinamakan Hukum Karma. Perbuatan individu akan menentukan masa depan seseorang, dan akibat perbuatannya bukan saja berdampak di kehidupan yang sekarang, tetapi juga akan membuahkan hasilnya pada kehidupan-kehidupan mendatang.

 

Seorang sarjana India modern pernah berkata: "Apa yang dapat dipersembahkan oleh India kepada Dunia tidak lain falsafah pemikirannya." Para pemikir India secara konsisten telah membangun pondasi kepercayaan tentang kesatuan kehidupan, yang tidak menarik garis pemisah antara kehidupan manusia dan kehidupan dewata. Keyakinan yang begitu dalam terhadap kesatuan kehidupan ini telah menjadikan asimilasi dan sintesis berbagai budaya asli maupun budaya asing. Jadi walaupun perpecahan politik terjadi terus-menerus di anak-benua, India telah mempertahankan satu dasar kesatuan budaya. Budaya khas India yang tidak didapatkan pada budaya lain misalnya kehidupan asketik atau pertapaan, dan juga yoga atau meditasi. Sementara perpecahan politik telah menjadi ciri India sepanjang sejarahnya, Tiongkok telah bersatu selama lebih dari 2000 tahun, menjadikannya satu-satunya negeri yang memiliki pemerintahan tunggal terlama. Selagi agama telah mendominasi adat dan perilaku orang India, orang Tionghoa jauh lebih humanis dan duniawi. Sikap dan perilaku orang Tionghoa terhadap kehidupan lebih tertuju pada bagaimana menciptakan seni pemerintahan yang baik, kiat merawat catatan-catatan historis yang berharga (bandingkan dengan tradisi menghafal ala India), dan perihal merumuskan standar etika yang lebih membumi.

 

Peradaban Tiongkok dimulai dari Dinasti yang pertama yakni Dinasti Xia (2070-1600 seb.M.), yang keberadaannya semula dianggap hanya seledar mitos, tetapi penggalian arkeologi di dekade 60 hingga 70-an membuktikan jejak peninggalannya. Dinasti Xia didirikan oleh Yu Yang Agung, orang yang berhasil mengatasi banjir-tahunan di Sungai Kuning dan kemudian ia mampu menaklukkan etnis Sanmiao. Yu memimpin kerajaan hingga wafatnya, dan penerusnya dipilih dari keturunannya, dan sejak itu tradisi-dinasti menjadi ciri khas penguasa Tiongkok. Pada masa itu orang Tionghoa telah menyembah banyak dewa dengan satu dewa tertinggi yang dikenal sebagai Shangdi (pola yang sama juga ditemukan pada peradaban lainnya). Shangdi dianggap sebagai 'leluhur agung' orang Tionghoa, pula tokoh yang memimpin kemenangan dalam peperangan, pelopor dalam ilmu bercocok tanam, dan suri tauladan dalam bidang pemerintahan. Karena Shangdi terlalu sibuk dan juga terlalu jauh, orang Tionghoa menyembah perantaranya yakni para dewa yang lain dan para leluhur. Shangdi sendiri menunjuk wakilnya di Bumi ini dan orang itu tidak lain Kaisar Tiongkok. Jadi Kaisar di dunia ini mendapat mandat dari Shangdi di Surga.

 

Walaupun terdapat banyak ragam pemikiran dan agama orang Tionghoa, kita dapat meringkasnya menjadi empat konsep spiritual, kosmologis, dan moral, yang akan diuraikan berikut ini. (1) Tian (), biasanya dinamakan sebagai "Surga", tetapi terjemahan yang lebih tepat adalah "Yang Agung" atau "Keseluruhan Agung" dan belakangan disebut "Shangdi" ("Patriakh Paling Awal", "Leluhur Paling Awal", "Kaisar Tertinggi"). Tian atau Shangdi bukanlah satu pribadi. Tian adalah realitas mutlak, sumber makna moralitas, dan semua kreativitas yang melekat pada dunia. (2) Qi () adalah napas atau substansi yang mana segala sesuatu terbentuk, termasuk benda mati, makhluk hidup, dan dewa. Qi juga merupakan rangkaian materi-energi. (3) Konsep tentang shen () yang bermakna dewa atau roh, karena mereka merupakan esensi atau energi, yang membangkitkan fenomena yang berbeda. Manusia juga memiliki roh, yang jika dikembangkan hingga mencapai potensi yang tertinggi, setelah mereka meninggal dunia akan menjadi leluhur yang dimuliakan. Pemujaan dewa dan leluhur ini dinamakan jingzu (敬祖). (4) Konsep tentang bao-ying (报应) meliputi hukum timbal-balik, balas-jasa atau ganjaran, serta penghakiman yang adil. Pada si pelaku kebaikan, Surga akan menurunkan berkahnya; sedangkan pada si pelaku kejahatan, dia akan menjatuhkan bencana. Tian mengatur dengan adil apa yang akan diberikan terhadap masing-masing individu, sesuai dengan kualitas perbuatan mereka.

 

Setelah Anda membaca pemikiran filosofis di atas yang berasal dari India dan Tiongkok, semoga penjelasan ini tidak membuat Anda menjadi bingung. Dengan membaca penjelasan di atas berulang-ulang, kita akan memahami sedikit demi sedikit tentang apa yang dikandung dalam kebijaksanaan kuno tersebut.

 

Dengan demikian kita mendapatkan pijakan yang kokoh pada hukum tabur-tuai ini. Hukum tabur-tuai tidak lain Hukum Karma yang telah kita kenal selama ini. Hukum tabur-tuai bisa diartikan pula sebagai bao-ying atau Hukum Retribusi Kebaikan-Kejahatan yang diatur oleh Surga atau oleh Tian yang impersonal. Semakin kita percaya dan yakin bahwa hukum tabur-tuai ini sungguh-sungguh ada, semakin kita berhati-hati dalam setiap perbuatan dan tindakan yang akan kita lakukan. Semoga demikian.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar