Anāthapiṇḍika, seorang umat awam yang
belakangan dikenal sebagai penyokong utama Sang Buddha, sekali waktu berpesan
kepada puteranya, "Seorang Buddha telah lahir di dunia ini dan orang
banyak pergi berbondong-bondong mengunjunginya. Mereka ingin menghormatinya
sambil membawa bunga dan dupa. Mengapa engkau malahan acuh tak acuh dengan
tidak mempedulikan anjuran ayahmu?"
Teguran yang diberikan oleh sang
hartawan yang mungkin terbilang orang paling kaya, seorang crazy rich menurut istilah yang populer saat ini, tentu bukanlah
ungkapan kosong yang ke luar dari mulutnya begitu saja. Anāthapiṇḍika
menghadiahkan Sangha Bhikkhu sebuah kompleks vihara yang besar dan lengkap di
kota kelahirannya Sāvatthī. Kompleks vihara itu dinamakan Taman Jeta, dikenal
sebelumnya sebagai taman nan permai, yang kemudian direnovasi dan dilengkapi
dengan berbagai sarana yang bisa menunjang kehidupan kepetapaan secara masal.
Anāthapiṇḍika sendiri dikenal amat
dermawan dan murah hati. Jika Sang Buddha sedang bermukim di Taman Jeta, dia
menyempatkan diri untuk berkunjung ke sana dua kali sehari. Dan setiap kali
berkunjung ada saja barang yang dibawanya, yang semuanya itu dipersembahkan
kepada Sang Buddha dan bhikkhu-bhikkhu lainnya.
Bukan hanya Anāthapiṇḍika, umat awam
lainnya yang telah lama mengenal Sang Buddha atau pun mereka yang baru
berkunjung ke sana, biasanya tidak datang dengan tangan kosong. Kebiasaan
bertandang ke rumah orang dengan membawa satu barang persembahan, yang mungkin
akan diterima dengan rasa syukur oleh tuan rumah, bukan hanya terjadi di zaman
kuno saja. Katakanlah kita berkunjung ke rumah saudara, famili, atau kerabat
kita, adalah lebih afdol jika kita membawa barang yang bisa bermanfaat untuk
orang yang kita kunjungi. Persembahan itu seyogianya dilandasi oleh keinginan
berbagi kepada sesama dan didasari pada ketulusan hati kita.
Sang Buddha sendiri tidak selalu
tinggal di Sāvatthī, seperti yang kita ketahui dari kisah hidupnya, Beliau mengembara
ke banyak negeri di India. Ketiadaan Sang Buddha di Taman Jeta membuat Anāthapiṇḍika
merasa kehilangan peluang untuk menyatakan rasa bakti kepada gurunya. Pada satu
hari dia menyatakan kepada Y.M. Ānanda, perihal keinginannya untuk membuat
sebuah obyek pemujaan yang dapat mewakili keberadaan gurunya. Setelah
keinginannya disampaikan kepada Sang Buddha; Yang Tercerahkan memberikan
beberapa pilihan obyek pemujaan, antara lain sisa perabuan jenazahnya, barang
yang pernah dipakai oleh beliau, dan tempat suci berkaitan dengan episode
terpenting dalam kehidupan sang guru. Dari pilihan yang diberikan, yang paling
cocok untuk dijadikan monumen-peringatan adalah pohon Bodhi, yang pernah
berjasa melindungi Sang Bodhisattva hingga dia mencapai Pencerahan Agung.
Dengan bantuan Y.M. Moggallāna, satu anakan-pohon Bodhi yang berasal dari pohon
induk di Uruvela diambil dan dibawa untuk ditanam di Taman Jeta oleh Anāthapiṇḍika
sendiri. Anakan-pohon itu tumbuh subur dan selanjutnya dijadikan sebagai obyek
pengabdian bagi umat yang saleh.
Pohon itu kemudian
dijadikan monumen suci yang dihormati umat. Jika Sang
Guru tidak berada di tempat, barang persembahan seperti dupa dan bunga-bunga
diletakkan di bawah pohon itu. Tentu menjadi pertanyaan bagi Anda sekalian,
mengapa harus dupa dan bunga yang dibawa umat? Selain makanan, obat-obatan, dan
sesekali kain untuk para bhikkhu, tidak terdapat barang yang pantas untuk
dihadiahkan kepada tokoh atau guru spiritual yang dihormati oleh mereka, sesuai
dengan adab kesopanan zaman itu. Bunga-bunga beraneka jenis yang dipilih dan
dirangkai sedemikian elok, bukan saja pantas dijadikan hadiah bagi seseorang
yang dihormati pada zaman kuno, tetapi tradisi itu juga berlanjut hingga ke
masa kini yang ditandai dengan perkembangan teknologi dan penemuan baru yang
tidak ada habis-habisnya. Kita semua tahu ungkapan rasa syukur dan terima kasih
diwujudkan dalam bentuk rangkaian-bunga. Ulang tahun dan perkawinan lazim
memanfaatkan bunga; ada orang yang meninggal dipakai bunga untuk mengungkapkan dukacita;
pasangan yang sedang jatuh cinta menggunakan bunga untuk mengungkapkan perasaan
mereka. Jika bunga dimanfaatkan sebagai benda persembahan, bagaimana halnya
dengan dupa?
Persembahan
dupa berasal dari kebiasaan manusia zaman kuno yang tersebar di berbagai tempat
di muka bumi ini. Mempersembahkan dupa kemudian membakarnya mungkin merupakan
ungkapan penghormatan dan pemujaan yang paling penting, yang dapat kita
gambarkan. Penghormatan dan pemujaan kepada siapa? Kepada para Dewa dan Dewi,
sebelumnya juga merupakan ungkapan pengabdian terhadap otoritas dan kesucian
sosok penguasa alam. Mempersembahkan dupa pada masa itu juga bukan pekerjaan
yang mudah, karena dibutuhkan persiapan yang memadai. Dupa yang digunakan masih
berupa potongan, serpihan, atau bubuk yang berasal dari tanaman tertentu; serta
tidak bisa terbakar dengan mudah. Agar bisa terbakar dan menghasilkan asap dan
aroma yang wangi, dupa jenis ini dibakar di atas bara api. Jadi sebuah tempat
pembakaran yakni sebuah anglo atau tungku kecil mutlak disediakan terlebih
dahulu. Anglo ini biasanya terbuat dari tembikar atau logam. Lalu membuat api
di zaman kuno juga bukan perkara mudah. Batu-api digesek, dipuntir, atau
dipukulkan sehingga tercipta percikan api kecil, yang diumpankan pada
serat-kapuk atau sejumput bulu yang mudah terbakar. Begitu api kecil menyala,
daun-daun kering diumpankan lagi sehingga api mulai berkobar, lalu
ranting-ranting kering ditambahkan sampai menjadi arang. Nah, setelah arang
membara dengan stabil baru ditambahkan dupa di atasnya.
Membakar dupa
memiliki pula dimensi keyakinan yang lain bagi mereka yang melakukannya. Dengan
bantuan api ada nilai penyucian simbolik yang rumit, yang biasa dilakukan oleh
praktik kepercayaan domestik. Menurut kepercayaan Veda di India, Yajñá yang bermakna kurban, atau persembahan, atau pemujaan,
dilangsungkan melalui satu upacara di depan api suci, yang biasanya disertai
pula dengan pembacaan mantra. Adapun yang menjadi barang persembahan antara
lain ghee, susu, bijih-bijihan, dan
penganan. Dalam tradisi orang Tionghoa, persembahan kertas-uang dan replika
barang kebutuhan sehari-hari yang terbuat dari kertas, yang mana lazimnya
persembahan ini dituntaskan dengan membakarnya pada akhir upacara.
Berbakti, bersembahyang, serta memuja
dewa dan dewi adalah tradisi manusia yang sudah berlangsung sejak zaman
prasejarah di berbagai belahan bumi. Ratusan tahun sebelum abad pertama Masehi,
politheisme yang dianut oleh bangsa-bangsa di Eropa, menyerupai apa yang
dilakukan oleh bangsa-bangsa lain di Dunia Timur. Ketika mereka bersembahyang
kepada para dewa yang mereka yakini, orang-orang Viking misalnya memberikan
persembahan berupa roti, daging, bawang, susu, madu, dan bir. Seorang kaisar
Romawi bernama Numa, yang berkuasa pada masa awal kekaisaran yang terkenal
karena kesalehannya, menetapkan apa saja yang pantas dipersembahkan kepada para
dewata. Diantara persembahan yang disarankan antara lain roti, kue kurban yang
disiapkan secara khusus dan dimaniskan dengan madu, anggur, susu, bunga, dan
rempah-rempah lokal. Sebagai pelengkap orang melakukan persembahan dupa, dengan
cara meletakkannya di atas arang yang terbakar, seperti yang biasa dilakukan
untuk membakar dupa di dunia kuno.
Sekarang apa itu dupa yang dikenal
sejak ribuan tahun yang lalu? Dupa wangi itu berasal dari frankincense dan myrrh. Frankincense menurut kamus bahasa
Indonesia adalah "kemenyan", yang diperoleh dari getah tanaman
Boswellia. Sedangkan myrrh
diterjemahkan sebagai "mur", yang mirip dengan bunyi aslinya, berasal
dari getah pohon Commiphora. Mur sudah dikenal sejak masa yang lebih tua, yakni
dipergunakan untuk membalsem jenazah para firaun di zaman Mesir Kuno. Pohon
boswellia dan commiphora merupakan tumbuhan yang bisa berkembang di ekosistem
tandus di benua Afrika bagian timur dan Semenanjung Arab. Jejak kedua produk
wewangian itu melekat erat pada kota kuno Petra di Yordania, dan referensi kota
ini disebutkan pula dalam Alkitab. Sekarang bagaimana ceritanya, kemenyan dan
mur bisa didapatkan di Eropa pada masa itu? Menurut Mclaughlin, Kekaisaran
Romawi atau Imperium Romanum sejak mulai berkuasa, telah melakukan perdagangan
lewat laut dengan para saudagar dari Semenanjung Arab (Rome and the Distant East: Trade Routes to the Ancient Lands of Arabia,
India and China, Continuum Books), dan mereka membeli komoditi wewangian
ini dari mereka.
Bagaimana mendapatkan kemenyan dari
pohon boswellia? Tidak semua dari 550 spesies Burseraceae yang ada dapat dimanfaatkan
untuk mendapatkan produk wewangian ini.
Hanya ada enam jenis yang bisa diambil getahnya pada pohon-pohon yang
terdapat di Ethiopia. Untuk mengambil getahnya, bagian batang pohon ini
dilukai, sama halnya dengan metode menyadap pohon karet. Setelah batang pohon
terluka, pohon akan mengeluarkan getahnya, dan lama-kelamaan getah ini akan
mengkristal. Kristal yang terjadi bisa dipanen lima-belas hari kemudian dan
produk ini sekarang dinamakan sebagai resin. Resin yang berbentuk butiran ini
kemudian disortir menurut mutunya, dengan kelas-A sebagai kemenyan yang
terbaik, dengan kandungan ketidakmurnian yang paling sedikit. Pohon-pohon
kemenyan ini sekarang dalam kondisi mengkhawatirkan. Pohon yang sudah tua
mengalami eksploitasi-berlebihan dan anakan pohon susah didapatkan, karena
spesies ini sulit untuk dibudidayakan.
Tidak hanya kemenyan dan mur yang bisa
dijadikan dupa. Di daerah Ghat di India dan di kepulauan Nusa Tenggara banyak
ditemukan pohon Cendana. Kayunya bisa dijadikan mebel yang keharumannya bisa
bertahan hingga puluhan tahun, dan bagian kayu lainnya dimanfaatkan sebagai
bahan dupa. Dengan semakin berkembangnya pengetahuan tentang cara mengolah
produk wewangian, semakin banyak bahan yang dapat dicampur dalam pembuatan
dupa. Selain cendana, digunakan pula kayu dan kulit-kayu aromatik lainnya,
biji-bijian, akar, dan bunga. Rempah-rempah pun ikut dimanfaatkan seperti
kapulaga, kayu manis, jahe, jintan, daun salam, rosemary, thyme, kunyit,
dan lain-lain. Produk wewangian yang dihasilkan pun semakin besar hingga
mencapai miliaran dolar per tahunnya. Sekarang bahan baku aromatik ini bukan
saja memasok industri pembuatan dupa, tetapi juga industri minyak-wangi atau
parfum, dan industri farmasi.
Lambat laun terjadi perkembangan dalam
pembuatan dupa. Seperti yang disebutkan di atas, dupa zaman kuno berbentuk
serpihan, butiran, atau bubuk yang harus dibakar di atas bara api. Agar dupa
bisa menyala sendiri maka bahan utamanya mesti dicampur dengan serbuk kayu yang
mudah terbakar, serta adonannya dicampur dengan resin yang berasal dari damar
supaya bisa dicetak. Bahan utama terdiri dari beberapa bahan yang digiling dan
dicampur, sehingga membentuk masala
atau bubuk bahan dasar. Dupa di India dinamakan dhoop atau agarbatti,
bisa diperoleh dalam berbagai bentuk dan ukuran. Ada yang dibentuk kerucut agar
mudah disulut ujungnya dan diletakkan di atas altar; atau dibentuk memanjang
dengan batang bambu, dan kita mengenalnya sebagai hio.
Sepanjang yang diketahui, pengetahuan
tertua tentang dupa bisa dirunut dari Kitab Veda, khususnya, Atharva-Veda dan
Rg-Veda, yang menetapkan dan mendorong metode pembuatan dupa yang seragam.
Sedangkan pembuatan dupa yang terorganisir kemungkinan besar diciptakan oleh
para brahmana, dengan berpegang pada sistem medis Ayurveda. Sekitar abad ke-3
M, sekelompok bhikshu Buddha yang mengembara sampai jauh ke Tiongkok, membawa contoh dupa dari India dan memperkenalkan cara pembuatannya.
Sejak saat itu dupa atau hio mulai
digunakan dalam upacara keagamaan, bukan saja untuk upacara agama Buddha tetapi
juga untuk persembahyangan agama orang Tionghoa. Kayu cendana dan rempah-rempah
untuk bahan dupa masih didatangkan dari India dan negara-negara lain.
Di Indonesia, penggunaan dupa untuk
upacara keagamaan diyakini sudah mulai diperkenalkan sejak masa kerajaan
Hindu-Buddha di Jawa dan Sumatera. Sedangkan dupa dalam bentuk hio diperkenalkan oleh migran Tionghoa
yang datang ke Kepulauan Indonesia. Setelah menetap di Nusantara mereka
mendirikan bio, dan sejak adanya
rumah ibadah itu penggunaan hio
menjadi semakin marak. Sekarang ini industri pembuatan hio di Tanah Air dikuasai oleh pabrikan yang sudah bergelut di
industri ini sejak puluhan tahun yang lalu. Namun ada penguasa yang memproduksi
hio secara musiman contohnya yang
dilakukan di Tangerang, guna mengisi pasokan dupa menjelang sembahyang Tahun
Baru Imlek atau Ceng Beng. Salah satu
ciri yang membedakan hio buatan masa
kini dengan hio zaman baheula, tidak
lain harga jualnya yang semakin murah. Hal ini disebabkan hio zaman kita lebih banyak menggunakan bahan aromatik sintetis
atau kimiawi, ketimbang bahan aromatik alami.
Penggunaan hio di rumah ibadah yang berlebihan kerap dikeluhkan, karena asap
yang dikeluarkan mengandung gas yang bersifat karsinogenik, yang bisa memicu
penyakit kanker. Anda yang terbiasa mengadakan pujabakti di rumah, sambil
membaca paritta atau keng, atau
berlatih meditasi tidak perlu khawatir. Pastikan cetiya atau ruang ibadah di
tempat Anda memiliki ventilasi yang baik. Bakarlah dupa secukupnya saja, atau
cukup satu buah atau satu batang saja. Pilihlah dupa yang berkualitas baik dan
sudah dikenal mereknya meskipun harganya lebih mahal. Bagi yang suka
menggunakan produk India, pilihlah Chandan Dhoop yang kandungan cendananya
lebih banyak. Pemasangan dupa juga disarankan karena asapnya mampu mengusir
nyamuk dan keharumannya mampu meningkatkan konsentrasi.
Tulisan ini kami tutup dengan menjawab
pernyataan orang awam, yang menyebutkan penggunaan hio adalah keharusan dalam
memanjatkan doa dan pengharapan, agar didengar oleh para dewa dan dewi. Menurut
Carmelo Cannarella, peneliti kontemporer yang menekuni kepercayaan Dewa-dewa
Romawi, menulis perihal praktik sembahyang dengan membakar dupa: "Asap
dupa yang membumbung ke langit pada dasarnya adalah suatu peninggian, suatu
tindakan transendensi, satu momen keterhubungan diantara matra Manusia dengan
dimensi Dewa Surgawi: terkoneksinya Bumi dan Langit. Dalam esensinya, perbuatan
membakar dupa dengan dihasilkannya tiang kecil asap-wangi,
secara material menggambarkan sebuah "poros" yang mampu
merealisasikan satu pergerakan ke atas. Spiral asap dupa ini mewakili satu
pernyataan pendakian langsung ke surga, sama halnya dengan menaiki
tangga-spiral. Dengan demikian spiral asap ini secara simbolis merupakan satu
lorong yang menghubungkan hierarki berbagai alam kehidupan, atau mewakili
derajat Eksistensi Semesta."
sdjn/dharmaprimapustaka/210602
Tidak ada komentar:
Posting Komentar