Rabu, 02 Juni 2021

DUPA



Anāthapiṇḍika, seorang umat awam yang belakangan dikenal sebagai penyokong utama Sang Buddha, sekali waktu berpesan kepada puteranya, "Seorang Buddha telah lahir di dunia ini dan orang banyak pergi berbondong-bondong mengunjunginya. Mereka ingin menghormatinya sambil membawa bunga dan dupa. Mengapa engkau malahan acuh tak acuh dengan tidak mempedulikan anjuran ayahmu?"

 

Teguran yang diberikan oleh sang hartawan yang mungkin terbilang orang paling kaya, seorang crazy rich menurut istilah yang populer saat ini, tentu bukanlah ungkapan kosong yang ke luar dari mulutnya begitu saja. Anāthapiṇḍika menghadiahkan Sangha Bhikkhu sebuah kompleks vihara yang besar dan lengkap di kota kelahirannya Sāvatthī. Kompleks vihara itu dinamakan Taman Jeta, dikenal sebelumnya sebagai taman nan permai, yang kemudian direnovasi dan dilengkapi dengan berbagai sarana yang bisa menunjang kehidupan kepetapaan secara masal.

 

Anāthapiṇḍika sendiri dikenal amat dermawan dan murah hati. Jika Sang Buddha sedang bermukim di Taman Jeta, dia menyempatkan diri untuk berkunjung ke sana dua kali sehari. Dan setiap kali berkunjung ada saja barang yang dibawanya, yang semuanya itu dipersembahkan kepada Sang Buddha dan bhikkhu-bhikkhu lainnya.

 

Bukan hanya Anāthapiṇḍika, umat awam lainnya yang telah lama mengenal Sang Buddha atau pun mereka yang baru berkunjung ke sana, biasanya tidak datang dengan tangan kosong. Kebiasaan bertandang ke rumah orang dengan membawa satu barang persembahan, yang mungkin akan diterima dengan rasa syukur oleh tuan rumah, bukan hanya terjadi di zaman kuno saja. Katakanlah kita berkunjung ke rumah saudara, famili, atau kerabat kita, adalah lebih afdol jika kita membawa barang yang bisa bermanfaat untuk orang yang kita kunjungi. Persembahan itu seyogianya dilandasi oleh keinginan berbagi kepada sesama dan didasari pada ketulusan hati kita.

 

Sang Buddha sendiri tidak selalu tinggal di Sāvatthī, seperti yang kita ketahui dari kisah hidupnya, Beliau mengembara ke banyak negeri di India. Ketiadaan Sang Buddha di Taman Jeta membuat Anāthapiṇḍika merasa kehilangan peluang untuk menyatakan rasa bakti kepada gurunya. Pada satu hari dia menyatakan kepada Y.M. Ānanda, perihal keinginannya untuk membuat sebuah obyek pemujaan yang dapat mewakili keberadaan gurunya. Setelah keinginannya disampaikan kepada Sang Buddha; Yang Tercerahkan memberikan beberapa pilihan obyek pemujaan, antara lain sisa perabuan jenazahnya, barang yang pernah dipakai oleh beliau, dan tempat suci berkaitan dengan episode terpenting dalam kehidupan sang guru. Dari pilihan yang diberikan, yang paling cocok untuk dijadikan monumen-peringatan adalah pohon Bodhi, yang pernah berjasa melindungi Sang Bodhisattva hingga dia mencapai Pencerahan Agung. Dengan bantuan Y.M. Moggallāna, satu anakan-pohon Bodhi yang berasal dari pohon induk di Uruvela diambil dan dibawa untuk ditanam di Taman Jeta oleh Anāthapiṇḍika sendiri. Anakan-pohon itu tumbuh subur dan selanjutnya dijadikan sebagai obyek pengabdian bagi umat yang saleh.

 

Pohon itu kemudian dijadikan monumen suci yang dihormati umat. Jika Sang Guru tidak berada di tempat, barang persembahan seperti dupa dan bunga-bunga diletakkan di bawah pohon itu. Tentu menjadi pertanyaan bagi Anda sekalian, mengapa harus dupa dan bunga yang dibawa umat? Selain makanan, obat-obatan, dan sesekali kain untuk para bhikkhu, tidak terdapat barang yang pantas untuk dihadiahkan kepada tokoh atau guru spiritual yang dihormati oleh mereka, sesuai dengan adab kesopanan zaman itu. Bunga-bunga beraneka jenis yang dipilih dan dirangkai sedemikian elok, bukan saja pantas dijadikan hadiah bagi seseorang yang dihormati pada zaman kuno, tetapi tradisi itu juga berlanjut hingga ke masa kini yang ditandai dengan perkembangan teknologi dan penemuan baru yang tidak ada habis-habisnya. Kita semua tahu ungkapan rasa syukur dan terima kasih diwujudkan dalam bentuk rangkaian-bunga. Ulang tahun dan perkawinan lazim memanfaatkan bunga; ada orang yang meninggal dipakai bunga untuk mengungkapkan dukacita; pasangan yang sedang jatuh cinta menggunakan bunga untuk mengungkapkan perasaan mereka. Jika bunga dimanfaatkan sebagai benda persembahan, bagaimana halnya dengan dupa?

 

Persembahan dupa berasal dari kebiasaan manusia zaman kuno yang tersebar di berbagai tempat di muka bumi ini. Mempersembahkan dupa kemudian membakarnya mungkin merupakan ungkapan penghormatan dan pemujaan yang paling penting, yang dapat kita gambarkan. Penghormatan dan pemujaan kepada siapa? Kepada para Dewa dan Dewi, sebelumnya juga merupakan ungkapan pengabdian terhadap otoritas dan kesucian sosok penguasa alam. Mempersembahkan dupa pada masa itu juga bukan pekerjaan yang mudah, karena dibutuhkan persiapan yang memadai. Dupa yang digunakan masih berupa potongan, serpihan, atau bubuk yang berasal dari tanaman tertentu; serta tidak bisa terbakar dengan mudah. Agar bisa terbakar dan menghasilkan asap dan aroma yang wangi, dupa jenis ini dibakar di atas bara api. Jadi sebuah tempat pembakaran yakni sebuah anglo atau tungku kecil mutlak disediakan terlebih dahulu. Anglo ini biasanya terbuat dari tembikar atau logam. Lalu membuat api di zaman kuno juga bukan perkara mudah. Batu-api digesek, dipuntir, atau dipukulkan sehingga tercipta percikan api kecil, yang diumpankan pada serat-kapuk atau sejumput bulu yang mudah terbakar. Begitu api kecil menyala, daun-daun kering diumpankan lagi sehingga api mulai berkobar, lalu ranting-ranting kering ditambahkan sampai menjadi arang. Nah, setelah arang membara dengan stabil baru ditambahkan dupa di atasnya.

 

Membakar dupa memiliki pula dimensi keyakinan yang lain bagi mereka yang melakukannya. Dengan bantuan api ada nilai penyucian simbolik yang rumit, yang biasa dilakukan oleh praktik kepercayaan domestik. Menurut kepercayaan Veda di India, Yajñá yang bermakna kurban, atau persembahan, atau pemujaan, dilangsungkan melalui satu upacara di depan api suci, yang biasanya disertai pula dengan pembacaan mantra. Adapun yang menjadi barang persembahan antara lain ghee, susu, bijih-bijihan, dan penganan. Dalam tradisi orang Tionghoa, persembahan kertas-uang dan replika barang kebutuhan sehari-hari yang terbuat dari kertas, yang mana lazimnya persembahan ini dituntaskan dengan membakarnya pada akhir upacara.

 

Berbakti, bersembahyang, serta memuja dewa dan dewi adalah tradisi manusia yang sudah berlangsung sejak zaman prasejarah di berbagai belahan bumi. Ratusan tahun sebelum abad pertama Masehi, politheisme yang dianut oleh bangsa-bangsa di Eropa, menyerupai apa yang dilakukan oleh bangsa-bangsa lain di Dunia Timur. Ketika mereka bersembahyang kepada para dewa yang mereka yakini, orang-orang Viking misalnya memberikan persembahan berupa roti, daging, bawang, susu, madu, dan bir. Seorang kaisar Romawi bernama Numa, yang berkuasa pada masa awal kekaisaran yang terkenal karena kesalehannya, menetapkan apa saja yang pantas dipersembahkan kepada para dewata. Diantara persembahan yang disarankan antara lain roti, kue kurban yang disiapkan secara khusus dan dimaniskan dengan madu, anggur, susu, bunga, dan rempah-rempah lokal. Sebagai pelengkap orang melakukan persembahan dupa, dengan cara meletakkannya di atas arang yang terbakar, seperti yang biasa dilakukan untuk membakar dupa di dunia kuno.

 

Sekarang apa itu dupa yang dikenal sejak ribuan tahun yang lalu? Dupa wangi itu berasal dari frankincense dan myrrh. Frankincense menurut kamus bahasa Indonesia adalah "kemenyan", yang diperoleh dari getah tanaman Boswellia. Sedangkan myrrh diterjemahkan sebagai "mur", yang mirip dengan bunyi aslinya, berasal dari getah pohon Commiphora. Mur sudah dikenal sejak masa yang lebih tua, yakni dipergunakan untuk membalsem jenazah para firaun di zaman Mesir Kuno. Pohon boswellia dan commiphora merupakan tumbuhan yang bisa berkembang di ekosistem tandus di benua Afrika bagian timur dan Semenanjung Arab. Jejak kedua produk wewangian itu melekat erat pada kota kuno Petra di Yordania, dan referensi kota ini disebutkan pula dalam Alkitab. Sekarang bagaimana ceritanya, kemenyan dan mur bisa didapatkan di Eropa pada masa itu? Menurut Mclaughlin, Kekaisaran Romawi atau Imperium Romanum sejak mulai berkuasa, telah melakukan perdagangan lewat laut dengan para saudagar dari Semenanjung Arab (Rome and the Distant East: Trade Routes to the Ancient Lands of Arabia, India and China, Continuum Books), dan mereka membeli komoditi wewangian ini dari mereka.

 

Bagaimana mendapatkan kemenyan dari pohon boswellia? Tidak semua dari 550 spesies Burseraceae yang ada dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan produk wewangian ini.  Hanya ada enam jenis yang bisa diambil getahnya pada pohon-pohon yang terdapat di Ethiopia. Untuk mengambil getahnya, bagian batang pohon ini dilukai, sama halnya dengan metode menyadap pohon karet. Setelah batang pohon terluka, pohon akan mengeluarkan getahnya, dan lama-kelamaan getah ini akan mengkristal. Kristal yang terjadi bisa dipanen lima-belas hari kemudian dan produk ini sekarang dinamakan sebagai resin. Resin yang berbentuk butiran ini kemudian disortir menurut mutunya, dengan kelas-A sebagai kemenyan yang terbaik, dengan kandungan ketidakmurnian yang paling sedikit. Pohon-pohon kemenyan ini sekarang dalam kondisi mengkhawatirkan. Pohon yang sudah tua mengalami eksploitasi-berlebihan dan anakan pohon susah didapatkan, karena spesies ini sulit untuk dibudidayakan.

 

Tidak hanya kemenyan dan mur yang bisa dijadikan dupa. Di daerah Ghat di India dan di kepulauan Nusa Tenggara banyak ditemukan pohon Cendana. Kayunya bisa dijadikan mebel yang keharumannya bisa bertahan hingga puluhan tahun, dan bagian kayu lainnya dimanfaatkan sebagai bahan dupa. Dengan semakin berkembangnya pengetahuan tentang cara mengolah produk wewangian, semakin banyak bahan yang dapat dicampur dalam pembuatan dupa. Selain cendana, digunakan pula kayu dan kulit-kayu aromatik lainnya, biji-bijian, akar, dan bunga. Rempah-rempah pun ikut dimanfaatkan seperti kapulaga, kayu manis, jahe, jintan, daun salam, rosemary, thyme, kunyit, dan lain-lain. Produk wewangian yang dihasilkan pun semakin besar hingga mencapai miliaran dolar per tahunnya. Sekarang bahan baku aromatik ini bukan saja memasok industri pembuatan dupa, tetapi juga industri minyak-wangi atau parfum, dan industri farmasi.

 

Lambat laun terjadi perkembangan dalam pembuatan dupa. Seperti yang disebutkan di atas, dupa zaman kuno berbentuk serpihan, butiran, atau bubuk yang harus dibakar di atas bara api. Agar dupa bisa menyala sendiri maka bahan utamanya mesti dicampur dengan serbuk kayu yang mudah terbakar, serta adonannya dicampur dengan resin yang berasal dari damar supaya bisa dicetak. Bahan utama terdiri dari beberapa bahan yang digiling dan dicampur, sehingga membentuk masala atau bubuk bahan dasar. Dupa di India dinamakan dhoop atau agarbatti, bisa diperoleh dalam berbagai bentuk dan ukuran. Ada yang dibentuk kerucut agar mudah disulut ujungnya dan diletakkan di atas altar; atau dibentuk memanjang dengan batang bambu, dan kita mengenalnya sebagai hio.

 

Sepanjang yang diketahui, pengetahuan tertua tentang dupa bisa dirunut dari Kitab Veda, khususnya, Atharva-Veda dan Rg-Veda, yang menetapkan dan mendorong metode pembuatan dupa yang seragam. Sedangkan pembuatan dupa yang terorganisir kemungkinan besar diciptakan oleh para brahmana, dengan berpegang pada sistem medis Ayurveda. Sekitar abad ke-3 M, sekelompok bhikshu Buddha yang mengembara sampai jauh ke Tiongkok, membawa contoh dupa dari India dan memperkenalkan cara pembuatannya. Sejak saat itu dupa atau hio mulai digunakan dalam upacara keagamaan, bukan saja untuk upacara agama Buddha tetapi juga untuk persembahyangan agama orang Tionghoa. Kayu cendana dan rempah-rempah untuk bahan dupa masih didatangkan dari India dan negara-negara lain.

 

Di Indonesia, penggunaan dupa untuk upacara keagamaan diyakini sudah mulai diperkenalkan sejak masa kerajaan Hindu-Buddha di Jawa dan Sumatera. Sedangkan dupa dalam bentuk hio diperkenalkan oleh migran Tionghoa yang datang ke Kepulauan Indonesia. Setelah menetap di Nusantara mereka mendirikan bio, dan sejak adanya rumah ibadah itu penggunaan hio menjadi semakin marak. Sekarang ini industri pembuatan hio di Tanah Air dikuasai oleh pabrikan yang sudah bergelut di industri ini sejak puluhan tahun yang lalu. Namun ada penguasa yang memproduksi hio secara musiman contohnya yang dilakukan di Tangerang, guna mengisi pasokan dupa menjelang sembahyang Tahun Baru Imlek atau Ceng Beng. Salah satu ciri yang membedakan hio buatan masa kini dengan hio zaman baheula, tidak lain harga jualnya yang semakin murah. Hal ini disebabkan hio zaman kita lebih banyak menggunakan bahan aromatik sintetis atau kimiawi, ketimbang bahan aromatik alami.

 

Penggunaan hio di rumah ibadah yang berlebihan kerap dikeluhkan, karena asap yang dikeluarkan mengandung gas yang bersifat karsinogenik, yang bisa memicu penyakit kanker. Anda yang terbiasa mengadakan pujabakti di rumah, sambil membaca paritta atau keng, atau berlatih meditasi tidak perlu khawatir. Pastikan cetiya atau ruang ibadah di tempat Anda memiliki ventilasi yang baik. Bakarlah dupa secukupnya saja, atau cukup satu buah atau satu batang saja. Pilihlah dupa yang berkualitas baik dan sudah dikenal mereknya meskipun harganya lebih mahal. Bagi yang suka menggunakan produk India, pilihlah Chandan Dhoop yang kandungan cendananya lebih banyak. Pemasangan dupa juga disarankan karena asapnya mampu mengusir nyamuk dan keharumannya mampu meningkatkan konsentrasi.

 

Tulisan ini kami tutup dengan menjawab pernyataan orang awam, yang menyebutkan penggunaan hio adalah keharusan dalam memanjatkan doa dan pengharapan, agar didengar oleh para dewa dan dewi. Menurut Carmelo Cannarella, peneliti kontemporer yang menekuni kepercayaan Dewa-dewa Romawi, menulis perihal praktik sembahyang dengan membakar dupa: "Asap dupa yang membumbung ke langit pada dasarnya adalah suatu peninggian, suatu tindakan transendensi, satu momen keterhubungan diantara matra Manusia dengan dimensi Dewa Surgawi: terkoneksinya Bumi dan Langit. Dalam esensinya, perbuatan membakar dupa dengan dihasilkannya tiang kecil asap-wangi, secara material menggambarkan sebuah "poros" yang mampu merealisasikan satu pergerakan ke atas. Spiral asap dupa ini mewakili satu pernyataan pendakian langsung ke surga, sama halnya dengan menaiki tangga-spiral. Dengan demikian spiral asap ini secara simbolis merupakan satu lorong yang menghubungkan hierarki berbagai alam kehidupan, atau mewakili derajat Eksistensi Semesta."

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/210602


Tidak ada komentar:

Posting Komentar