Kamis, 20 Mei 2021

KELAHIRAN SANG MANUSIA AGUNG

 

 


Hari menjelang senja namun suasana masih terang benderang dan sepasang suami-isteri, Suddodhana dan Mahā Māyā, nampak sumringah ketika mereka berdua sedang bersantai di beranda belakang istana. Māyā yang sedang hamil besar ditemani suaminya tampak amat berbahagia, mengingat sebentar lagi mereka akan mendapatkan seorang keturunan, yang kelak akan menjadi pewaris tahta dan meneruskan kejayaan bangsa dan negeri mereka. "Kakanda," kata Māyā kepada suaminya, "aku merasa kelahiran bayi kita sudah semakin dekat. Izinkanlah daku pulang ke rumah Ibunda untuk melahirkan anak kita di sana." "Apakah engkau perlu pulang sejauh itu, hanya untuk melahirkan anak kita?" tanya suaminya. "Adat istiadat kami turun-temurun menitahkan para ibu, untuk melahirkan anak pertamanya di rumah orang tuanya," jawab isterinya.

 

Melihat suaminya terdiam Māyā menambahkan, "Sesuai dengan tradisi, aku telah memohon kepada para Dewa : Vișņu, Prajāpati, Sinivālī, Sarasvatī, dan Aśvinī, untuk turut merawat perkembangan garbha (janin), agar anak kita tumbuh dengan baik. Dan sekarang usia sang janin telah mendekati sepuluh bulan. Ibuku, sang ibu suri, memahami bagaimana merapalkan doa, agar perempuan yang akan melakukan persalinan dapat dengan lancar menginduksi kontraksi dalam rahimnya. 'Laksana angin mengerutkan tanaman teratai di setiap sisinya pada sebuah kolam', dengan cara yang sama rahimnya akan dirangsang, sehingga jarāyu (selaput janin) akan keluar dengan mudah. Sedemikian sehingga sang janin yang telah beristirahat selama berbulan-bulan dalam rahim ibunya, kini dapat melihat dunia luar tanpa cidera. Sang jabang-bayi yang kelak akan serupa dengan ayah dan ibunya."

 

Māyā kemudian menambahkan, "selama proses persalinan sang calon ibu membutuhkan pendampingan para perempuan lainnya. Mereka akan memberikan nasihat bijaknya, mempertunjukkan kasih-sayangnya, dan meredakan segala bentuk kekhawatirannya. Tugas dari para wanita yang mendampingi ini juga memberikan perintah kepada sang calon ibu bagaimana dia harus memposisikan tubuhnya selagi melakukan persalinan; apakah dia harus duduk, berbaring, berjongkok, yang seiring dan sejalan dengan keluarnya sang bayi dari rahimnya. Mereka akan merapalkan mantra-mantra yang akan membawa kesehatan dan kesejahteraan bagi si jabang-bayi dan ibunya. Mereka akan memandikan si jabang-bayi, membersihkan mulut dan tenggorokannya, menutupi ubun-ubunnya 'dengan kasa yang telah dilembabkan dengan minyak', memotong tali-pusar dan mengikatnya di pusar si bayi. Selanjutnya para perempuan itu akan membimbingku, bagaimana menyusui sang jabang-bayi dengan benar. Dalam Sushruta Samhita disebutkan, 'Semoga empat samudera bumi berkontribusi pada pengeluaran susu di payudaramu, agar meningkatkan kekuatan tubuh si jabang-bayi. Wahai, dikau dengan wajahmu nan jelita. Semoga anak ini, yang dibesarkan dengan susu dikau, mencapai umur panjang; selayaknya dewa-dewa yang diciptakan abadi berkat minuman ambrosia yang mereka konsumsi'."

 

"Baiklah jika demikian," Suddodhana menjawab, "besok pagi adalah saat yang tepat untuk melakukan perjalanan ke Rāmagramā." "Benar, kakanda. Bepergian di bulan Vaishakha ini akan sangat menyenangkan. Udaranya hangat sepanjang hari, dan di malam hari bulan yang hampir bundar-sempurna akan menerangi waktu istirahat kami," jawab Māyā. Suddodhana, sang penguasa Shakya, segera memanggil sang patih, orang kepercayaannya. Ia memerintahkan, "Paman Patih, Permaisuri akan berangkat ke rumah orang tuanya besok pagi. Segera engkau siapkan tandu-kerajaan dan para prajurit yang akan mengusungnya. Siapkan pula pasukan berkuda untuk mengawalnya, dan jangan lupa prosesi ini harus menyertakan pula gajah istana. Beritahukan rakyat kita yang tinggal di sepanjang jalan raya, untuk menyambut iring-iringan kerajaan ini, serta perintahkan mereka agar memasang pula umbul-umbul di sisi jalan."

 

Kita tinggalkan dulu Suddodhana yang tengah menyiapkan kepergian isterinya. Selang lebih tiga hari setelah peristiwa itu, di Puncak-puncak Meru yang sejuk ada sekumpulan dewata yang sedang berkumpul. Mereka semua adalah Kawanan Tiga Puluh Dewa. Dengan berpakaian cerah dan anggun, mereka mengibarkan bendera-bendera dan panji-panji kebesaran. Diantara para dewa itu, ada yang sedang memainkan sitar dan kecapi, sedangkan yang lainnya bernyanyi-nyanyi dan menari-nari. Setelah itu mereka memekik dan bertepuk tangan. Demi mendengar suara ribut-ribut itu sang raja dewa, Sakka, tiba-tiba muncul di hadapan mereka, karena dirinya terganggu mendengar nyanyian dan teriakan yang gegap gempita. Dengan penuh hormat ia menyapa mereka dan bertanya: "Mengapa Kawanan Tiga Puluh Dewa ini begitu bergirang hati? Mengapa mereka membawa keluar bendera-bendera dan panji-panji kebesaran sambil melambai-lambaikannya? Tidak pernah ada peringatan seperti ini sebelumnya. Bahkan setelah usainya pertempuran dengan para raksasa, yang mana para dewa menang dan para raksasa kalah. Peristiwa ajaib apa lagi yang kalian dengar, hingga menggirangkan hati kalian semua?"

 

Sakka melanjutkan, "aku memohon, jangan tinggalkan aku dalam kebingungan, tuan-tuan yang baik." Kawanan Tiga Puluh Dewa itu pun menjawab: "Satu peristiwa yang luar biasa baru saja terjadi. Empat Raja Dewa, yang berkuasa di empat mata penjuru angin, sekonyong-konyong turun dari Gunung Sumeru ke Negeri Shakya di Tanah Lumbinī. Dhatarattha, Sang Penguasa Surga Timur yang mengenakan jubah putih-keperakan beserta pengiringnya para gandhabba, sambil membawa perisai mutiaranya. Virūḍhaka, Sang Penguasa Surga Selatan, diikuti oleh anak-buahnya para kumbhanda, memakai gaun biru lengkap dengan perisai safirnya. Virūpakkha, Sang Penguasa Surga Barat yang mengenakan jubah merah beserta pengiringnya para nāga, sambil membawa perisai koralnya. Vessarana, Sang Penguasa Surga Utara, diikuti oleh anak buahnya para yakkha, memakai gaun kuning lengkap dengan perisai emasnya. Ketika Sang Manusia Agung keluar dari rahim ibunya, ia tidak menyentuh bumi. Empat Raja Dewa itu menerimanya dan kemudian meletakkannya di samping ibunya, dengan berkata: "Bergembiralah, oh Ratu Agung. Seorang bayi laki-laki yang memiliki kekuasaan besar telah dilahirkan untuk Paduka."

 

Sakka, Sang Raja Dewa, dengan rasa penasaran bertanya lebih lanjut, "Wahai Kawanan Tiga Puluh Dewa, jelaskan padaku siapa itu gerangan Sang Manusia Agung?" Mereka serempak menjawab: Dia adalah Makhluk Yang Akan Tercerahkan, sebuah Permata Yang Tak-ternilai, yang telah lahir di dunia manusia untuk kesejahteraan dan kebaikan. Karena itu kami luar biasa girang. Makhluk Yang Tiada Duanya, sang Kepribadian Agung. Raja semua manusia, dan Yang Paling Terkemuka diantara umat manusia. Dia akan memutar Roda Dharma di Taman bermukimnya Yang Melihat dari Zaman Lampau. Dengan auman singa, di kerajaan para hewan buas."

 

Demikianlah, tidak sesuai dengan rencana semula, Sang Permaisuri telah melahirkan bayi mereka di Taman Lumbinī, sebuah kebun nan permai, belum sampai setengah-jarak antara Kapilavastu dengan Rāmagramā. Rombongan kerajaan pun kembali pulang disertai kebahagiaan yang luar biasa. Kabar mengenai kelahiran sang pewaris tahta beserta mukjizat-mukjizat yang menyertainya, telah menyebar dengan cepat ke seantero negeri Shakya, dan rakyat pun merayakan peristiwa ini dengan kegembiraan yang meluap-luap. Suddhodana pun tercengang-cengang dan tak habis pikir mendengar kisah kelahiran puteranya yang luar biasa itu. Alam pun seolah-olah ingin mengungkapkan kegembiraannya, dengan membuat bunga-bunga bermekaran di pohonnya, hingga harumnya kembang memenuhi atmosfer negeri Shakya.

 

Di kaki pegunungan Himalaya pada satu padepokan sederhana, hiduplah Sang Petapa Asita, seorang suciwan sepuh berambut abu-abu. Sang petapa yang telinganya telah lama tertutup untuk hal-hal duniawi, baru saja menangkap suara surgawi, bahwasanya Sang Manusia Agung telah lahir di lingkungan keluarga penguasa Shakya. Sang petapa sepuh, yang sesungguhnya masih kenalan Suddhodana dan Permaisuri, tergopoh-gopoh berangkat ke istana untuk menyaksikan sendiri sang bayi yang baru lahir. Melihat kedatangan sang petapa sepuh, Raja memberi hormat dan Permaisuri menyambutnya pula dengan ramah. Setelah sang petapa menanyakan keberadaan si bayi, kegembiraan yang bergelora membanjiri hati Asita. Memandang cemerlangnya si bayi, selayaknya sebuah cahaya nan murni. Melihat si bayi, laksana perhiasan emas di atas kain brokat. Dengan payung putih menaungi di atas kepalanya, sang petapa menimang sang bayi dengan penuh sukacita dan kebahagiaan. Segera setelah diterimanya si Raja Shakya Kecil, kemahirannya dalam menafsirkan marka dan tanda di tubuh bayi, diungkapkan dengan keyakinan hatinya tanpa ragu: "Diantara bangsa berkaki-dua, si bayi ini tidak ada duanya."

 

Kemudian ia teringat, memandang ke dalam dirinya sendiri. Dalam duka yang amat dalam, air mata keluar membanjir dari kedua matanya. Para ningrat Shakya melihatnya menangis, serta merta bertanya: "Adakah marabahaya yang kelak akan menimpa pangeran kami?" Namun kepada mereka yang gelisah ia cukup menjawab: "Selagi aku melihat ke depan, tak ada malapetaka yang akan menyentuh sang pangeran. Tidak juga ada marabahaya yang menantinya. Ingatlah bahwa dia bukan golongan kelas dua, karena dia akan mencapai puncak pengetahuan nan sejati. Dia pula Yang Mencapai Kesucian yang tiada taranya. Serta karena welas-asihnya pada orang banyak, ia akan memutar Roda Dharma dan menyebarkan kehidupan suci. Namun sedikit lagi waktu hidupku tersisa hari ini. Dan aku akan mati tidak lama lagi, jadi aku tidak akan mendengar Sang Pahlawan tanpa tanding mengajarkan Dharma yang Sejati. Itulah hal yang menyedihkanku, kehilangan itu membuatku merana."

 

Sebelum meninggalkan istana, sang petapa sepuh menyampaikan pesan kepada sang permaisuri. "Rahimmu engkau dedikasikan sepenuhnya untuk bayi ini, wahai Permaisuri yang mulia! Dikau, yang menjadi kesayangan para dewa dan manusia, terlalu sakral untuk terkena dukacita duniawi. Dan kehidupan di sini sesungguhnya duka. Maka dari itu dalam tujuh hari, dikau akan menuju akhir kesengsaraan." Tidak ada yang memperhatikan untaian kalimat terakhir ini, karena keluarga besar istana terhanyut oleh kesukacitaan yang meluap-luap, setelah mendengar penerawangan sang petapa sepuh.

 

Hari kelima sejak kelahiran sang bayi, Raja Suddhodana menyelenggarakan Upacara Nāmakaraṇa Saṁskāra, yakni pemberian nama kepada bayi yang baru lahir. Istana menyeleksi dan mengundang seratus-delapan orang brahmana terkemuka. Nama orang harus dimulai dengan huruf-mati atau huruf-semi-mati diikuti dengan huruf-hidup, dan membentuk satu suku-kata. Nama diri bisa terdiri dari dua, empat, atau enam suku kata. Setelah para brahmana berembuk dengan keluarga, dipilihlah nama diri "Savārthasiddh" yang bermakna, "Yang Maha Sejahtera," dan kemudian disingkat sebagai "Siddhārtha."

 

Dari semua brahmana yang hadir di istana, delapan orang diantaranya mahir dalam meneropong masa depan seseorang. Kedelapan brahmana itu adalah Rāma, Dhaja, Lakkhaa, Mantī, Yañña, Subhoja, Sudatta, dan Kondañña. Raja bertanya kepada para brahmana peramal: "Wahai kalian para bijak. Dengan penglihatan kedewaan kalian, seperti apakah perjalanan kerajaanku di bawah tampuk sang putera-mahkota kelak? Akankah dia akan membawa negeri ini pada kejayaan dan kegemilangan?" Setelah mendengar pertanyaan dan permintaan Sang Raja Junjungan mereka, delapan brahmana bijak itu duduk bersilang-kaki, memejamkan mata mereka, dan dalam selang waktu tidak berapa lama kemudian mereka semua berdiri dan dengan takzim menghadap Sang Raja. Ketujuh orang brahmana serempak mengacungkan dua jari ke atas, namun Kondañña, sang brahmana yang paling muda usianya, hanya mengacungkan satu jarinya.

 

Raja bertanya kepada kelompok tujuh brahmana, "Apa maksud kalian dengan menunjukkan dua jari?" Brahmana yang paling tua dari tujuh orang itu maju ke muka mewakili kawan-kawannya. "Sang Putera Mahkota adalah seorang Chakravartīn, Raja Diraja, yang hanya muncul sekali dalam ribuan tahun. Dia memiliki tujuh macam harta yang tak-ternilai. Chakra-ratna roda-dewata, Permata Mulia, Aswa-ratna kuda yang membanggakan, Hasti-ratna sang gajah seputih-salju, Menteri yang cakap dan terampil, Jenderal perkasa yang tak-terkalahkan, dan Isti-ratna sang isteri dengan berkah yang tak-ternilai. Namun jika dia tidak menjadi Penguasa Dunia dan meninggalkan istananya, dia akan menjadi seorang Buddha, yang akan menyelamatkan para dewa dan manusia." Giliran Kondañña yang ditanya; ia serta merta menjawabnya dengan penuh keyakinan, bahwa pangeran kecil kelak akan menjadi seorang Buddha. Kemudian Raja kembali menanyai kelompok tujuh brahmana itu, dengan cara apa pangeran sampai meninggalkan istananya. Mereka pun menjawab, "peristiwa itu akan terjadi jika Pangeran Mahkota melihat orang tua, orang sakit, sesosok jenazah, dan seorang petapa suci. Suddhodana pun memahami takdir yang akan dilakoni oleh sang penerus tahta, dan ia pun telah memikirkan apa yang terbaik untuk dirinya dan kerajaannya.

 

Setelah upacara pemberian nama puteranya usai, Suddhodana memanggil orang kepercayaannya. "Paman Patih, baru saja kita dengar penujuman yang dilakukan oleh para brahmana itu. Bagaimana sekarang menurut pendapatmu?" "Keluarga kerajaan pasti sepakat bahwasanya Sang Putera Mahkota akan membawa kebesaran dan kejayaan pada Negeri Shakya ini. Seperti Chakra (roda) yang menggelinding ke sana kemari dan menggilas apa saja yang ditemuinya, demikian pula Raja kita nanti akan menaklukkan dan menguasai negeri-negeri di sekitarnya seperti Gandhara, Kashi, Kamboja, Kosala, Magadha, Malla, dan Vajji. Demikian pula kota-raja mereka seperti Campā, Rājagaha, Sāvatthī, Sāketa, Kosambī, dan Benares, yang akan menyerukan puji-pujian kepada Sang Chakravartīn. Bahkan seluruh Jambudvipa ini akan bersatu dan berpadu di bawah kekuasaan penguasa dari Kapilavastu." Suddhodana mengomentari, "Benar, Paman Patih. Tugas kita sekarang tidak lain menjaga, agar Sang Putera Mahkota tidak sampai menyaksikan empat penampakan seperti yang dikatakan oleh para brahmana itu."

 

Dua hari berselang, hari masih pagi namun kepanikan dan kegemparan melanda istana Suddhodana. Para wanita dan dayang-dayang istana menangis dan meratap, lalu mereka melaporkan kejadian yang memilukan kepada sang penguasa. "Paduka Yang Mulia, Junjungan kami Permaisuri nan Mulia tidur sejak kemarin malam dan ia tidak bangun-bangun lagi!" Suddhodana bergegas ke kamar peraduan isterinya dan mendapatkan Māyā yang sedang tidur dengan wajah yang masih tersenyum. Tabib-tabib istana segera dipanggil dan semua akhirnya menyimpulkan bahwasanya Sang Permaisuri nan Mulia telah mangkat. Pajāpatī, adik kandung Māyā sekaligus masih merupakan isteri dari Suddhodana, menyeruak masuk dan memohon kepada suaminya, "izinkanlah daku untuk menyusui dan merawat pangeran kecil ini, duhai Junjunganku." Suddhodana tersadar dan ia pun langsung memberikan restunya.

 

Suddhodana terguncang dan bersedih. Ia lantas teringat kata-kata terakhir yang diucapkan oleh si Bijak Asita. Ramalannya terbukti tepat. Ia pun bimbang dan gundah gulana, akankah terwujud penujuman para brahmana itu mengenai takdir Sang Pangeran Mahkota?

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/210519

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar