Rabu, 29 November 2023

DIPA MA



Pada suatu kesempatan Sang Buddha menyebutkan nama-nama dari dua puluh satu siswa perumah-tangga terkemuka (upāsaka dan upāsaka) yang telah mencapai realisasi jalan (magga) dan buah (phala). Yang keempat dalam daftar ini kita temukan nama umat awam bernama Citta dari Macchikāsaṇḍa, dekat Sāvatthī (Aṅguttara Nikāya 6:120). Pada kesempatan lain Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: "Jika seorang ibu yang berbakti ingin memberi semangat kepada putera tunggal kesayangannya dengan cara yang benar, dia dapat mengatakan kepadanya: 'Cobalah menjadi seperti perumah-tangga Citta, sayangku, atau seperti perumah-tangga Hatthaka dari Ālavi.' Keduanya, Citta dan Hatthaka, adalah teladan dan standar pembimbing bagi umat awamku." Kini sudah lebih dari dua-ribu-lima-ratus tahun lewat sejak Sang Buddha mangkat, dan pertanyaan penting ini: Apakah ada seorang perumah-tangga yang bisa kita jadikan suri-tauladan di zaman ini?

 

Selama masa hidupnya yang bermula di permulaan abad kedua puluh hingga mendekati pergantian abad yang berikutnya, tokoh kita ini telah berhasil mengatasi tragedi-tragedi yang dialaminya dengan melakukan meditasi secara intens, lalu menjalani kehidupannya dengan tenang. Dia dikelilingi oleh keluarga-keluarga, para sahabat, dan siswa-siswanya. Dia menjadi tokoh penting dalam sejarah agama Buddha modern, dengan menjadikannya sebagai guru dan tauladan bagi masyarakat awam, yang mana mereka berupaya mencapai pencerahan sambil tetap menjalankan tanggung jawab keluarga. Kehidupannya merupakan sumber inspirasi besar bagi siswa-siswanya, banyak di antara mereka yang kemudian menyebarkan pesan dharma Buddhis versinya kepada orang lain.

 

Dipa Ma terlahir sebagai Nani Bala Barua pada tanggal 25 Maret 1911. Tempat kelahirannya adalah sebuah dusun kecil di Dataran Chittagong, dalam kawasan etno-linguistik Benggala di sebelah timur India, yang sejak tahun 1971 berada di bawah kekuasaan Republik Rakyat Bangladesh. Chittagong sendiri letaknya dekat dengan perbatasan Burma (kemudian berganti nama menjadi Myanmar). Meskipun jumlah umat Buddha di Bangladesh hanya 0,61 persen dari populasi penduduk di negeri itu, keluarga Nani berasal dari sebuah klen yang silsilahnya bisa ditelusuri hingga zaman Buddha Gautama. Orang-orang di komunitasnya menjalankan ritual dan adat istiadat Buddhis, namun mereka tidak sampai mempraktikkan meditasi dalam setiap ritual keagamaan mereka. Urusan pengembangan batin, seperti meditasi, hanya menjadi tradisi para bhikkhu dan bhikkhuni di negeri tersebut.

 

Sejak usia dini Nani menunjukkan minat yang besar terhadap ritual dan praktik Buddha. Dia kerap membantu para bhikkhu di kuil setempat dan membuat patung Buddha. Alih-alih bermain dengan anak-anak sebayanya, dia banyak membaca dan belajar, dan sering kali mendiskusikan masalah keyakinan dan praktik Dhamma dengan ayahnya. Karena dia perempuan, nasibnya memang tidak berbeda jauh dengan anak-anak gadis seusianya, yang hanya memiliki sedikit kesempatan untuk mengenyam pendidikan formal di desanya. Anak perempuan begitu mencapai masa akil balig diharapkan menikah dini, dan dalam usia yang amat muda menurut ukuran zaman kita, mereka harus mulai melahirkan dan mengasuh bayi. Pernikahan ini biasanya diatur dan ditentukan oleh orang tua dari pasangan tersebut. Ketika Nani berumur dua-belas tahun, dia telah meninggalkan rumah dan dusunnya, dan dinikahkan dengan seorang insinyur muda. Suaminya telah berusia dua-puluh-lima tahun atau dua kali lipat umur Nani, bernama Rajani Ranjan Barua. Baru saja menjadi pengantin baru, Nani hanya bisa menangis ketika seminggu kemudian suaminya harus pergi meninggalkannya. Rajani harus bekerja di Rangoon, ibukota Burma (Rangoon kemudian berganti nama menjadi Yangon pada tahun 1989). Selama dua tahun dia tinggal bersama mertuanya, hingga akhirnya dia berangkat dengan perahu untuk bergabung dengan suaminya, di kota terbesar di negeri itu.

 

Segera setelah tiba di Rangoon, Nani melihat kehidupan di negeri Buddhis itu berbeda dengan dusun kelahirannya. Suasana kehidupan keagamaan di sana masih terasa, seperti zaman ketika Sang Guru Agung masih hidup. Nani melihat begitu banyak bhaddanta, ashin, dan sayadaw hilir mudik di jalan-jalan di kota Rangoon. Mereka dalam kesehariannya banyak menghabiskan waktu untuk bermeditasi secara khusyuk di dalam biara-biara. Meditasi bagi para biarawan bukanlah duduk bersila dengan mata dipejamkan selama 5 hingga 10 menit dalam suasana hening, seperti yang sering dilakukan oleh umat yang melakukan pujabakti di vihara. Mereka melakukannya dengan intens dalam waktu yang relatif panjang, dengan ditunjang oleh teori-teori yang bersumber dari kitab-kitab suci, dan biasanya selalu dipandu oleh seorang guru meditasi yang handal. Tanpa bimbingannya seorang meditator pemula bisa salah jalan. Nani yang sudah berumur empat-belas tahun meminta izin suaminya untuk belajar meditasi. Suaminya tidak menentang gagasan tersebut, namun dia dan isterinya masih berstatus perumah-tangga, yakni bukan biarawan. Secara tradisional, para perumah-tangga tidak melakukan praktik keagamaan yang sedemikian intensnya; sampai mereka telah memenuhi tanggung jawab khususnya, yaitu setelah mereka berhasil membesarkan anak-anak mereka. Karena itu Rajani menyuruh Nani untuk menunda belajar meditasi sampai dia dewasa.

 

Nani menemui kesulitan besar ketika mencoba memiliki anak. Sesungguhnya dalam usia yang begitu muda, seorang gadis seusai dia belum memiliki rahim yang cukup kuat. Namun masyarakat pada masa itu mengharapkan perempuan muda sudah pantas menjadi seorang ibu. Jika dia sampai tidak memilikinya, akan mendatangkan aib bagi keluarganya. Belakangan dia hamil juga, namun anaknya meninggal saat masih bayi. Anak kedua juga meninggal saat puteranya itu masih sangat kecil. Akhirnya, setelah menikah selama dua-puluh-tujuh tahun, Nani melahirkan seorang puteri dengan selamat. Nama puterinya adalah Dipa, yang dalam bahasa Bengali bermakna "Cahaya". Untuk selanjutnya Nani dipanggil dengan merujuk pada Dipa, yakni Dipa Ma yang artinya "ibu dari Dipa". Orang kemudian memanggil dan mengenangnya sebagai Sang Ibu Cahaya. Bersamaan dengan kelahiran puteri semata wayangnya, Dipa Ma dan suaminya juga mengadopsi adik laki-laki Dipa Ma, yang bernama Bijoy.

 

Segera setelah puterinya lahir, kesehatan Dipa Ma berangsur-angsur turun. Dia menderita hipertensi atau tekanan darah tinggi yang kronis, dan selama beberapa tahun dia tidak bisa meninggalkan tempat tidurnya. Suaminya sendiri yang kemudian merawatnya, namun suatu hari di tahun 1957, yakni ketika dia berumur lima-puluh-sembilan tahun, dia pulang kerja sambil mengeluh bahwa dia juga mengalami nyeri di bagian dadanya. Saat itulah terbukti bahwa mujur tak dapat diraih dan malang tak dapat ditolak. Rajani yang menjadi andalan utama dalam keluarga itu, meninggal beberapa jam sesudahnya, karena dia terkena serangan jantung. Dipa Ma yang sudah tidak berdaya di tempat pembaringannya, langsung merasakan kegelapan dan kesedihan yang amat sangat. Dia pun merasa ajal akan segera menjemputnya. Namun dia sadar bahwa satu-satunya cara untuk bertahan hidup dalam mobilitasnya yang terbatas, adalah mengendalikan dirinya melalui meditasi. Dia mengatakan bahwa selama periode kesedihan dan kebingungan ini, dia bermimpi melihat Sang Buddha mendatanginya. Kemudian Sang Guru melantunkan syair berikut dari kitab suci Dhammapada:

 

"Piyato jāyatī soko,

piyato jāyatī bhayaṁ;

piyato vippamuttassa natthi soko,

kuto bhayaṁ?"

 

"Dari rasa cinta timbul kesedihan,

Dari rasa cinta timbul ketakutan;

Bagi orang yang bebas dari rasa cinta, tidak ada kesedihan,

Jadi bagaimana bisa muncul ketakutan?"

 

Dipa Ma lalu memutuskan untuk melakukan satu langkah penting dalam hidupnya. Dia menyerahkan harta benda dan pengasuhan puterinya kepada tetangga, dan dia sendiri mendaftarkan diri ke Pusat Meditasi Kamayut di Rangoon. Niatnya semula tidak lain menghabiskan sisa hidupnya di sana, namun kejadian berubah secara tak terduga. Pada hari pertamanya, dia berhasil masuk ke dalam konsentrasi meditasi yang mendalam. Keadaan itu berlangsung cukup lama, sampai dia menyadari bahwa dia tidak mampu menggerakkan kakinya, dan anehnya dia tidak merasakan sakit sama sekali. Akhirnya dia menyadari seekor anjing sedang menggigit kakinya, dan makhluk keparat itu tidak mau melepaskannya. Para bhikkhu segera mengusir anjing itu, dan mereka segera membawa Dipa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Setelah dia diberikan suntikan anti rabies, Dipa Ma dipersilahkan pulang ke rumah agar luka-lukanya segera pulih. Puterinya yang senang ibunya kembali, bersikeras agar ibunya tidak kembali ke pusat pelatihan tersebut. Dipa Ma kemudian memutuskan akan berlatih meditasi di rumah. Para pembaca hendaknya memahami bahwa Dipa Na ini seorang manusia yang luar biasa. Hanya dengan pelatihan mandiri, dia berhasil dalam sekejap untuk masuk ke dalam tingkat konsentrasi yang mendalam. Tidak banyak orang di dunia ini yang memiliki kemampuan seperti itu. Sungguh dia seorang yang memiliki bakat untuk mencapai samadhi setinggi itu.

 

Selama beberapa tahun Dipa Ma bermeditasi di rumah. Seorang sahabatnya, Anagārika Shri Munindra (1915 - 14-Okt-2003), sering dipanggil Munindraji, yang merupakan pemuka agama Buddha di India, juga pengawas Kuil Mahābodhi di Bodh Gayā dari tahun 1953 sampai 1957. Munindra, yang belakangan menjadi seorang guru meditasi vipassanā, kemudian mendorong Dipa Ma untuk berlatih di Pusat Meditasi Thathana Yeiktha di Burma, guna belajar di bawah bimbingan guru yang tersohor: Mahasi Sayadaw. Saat ini Dipa Ma berusia lima puluh tiga tahun dan sangat lemah, sehingga dia hampir tidak bisa menaiki tangga menuju pusat pelatihan. Setelah belajar sebentar, Dipa Ma mampu memasuki tahap konsentrasi yang mendalam dan sekarang terbukti meditasi pula yang berhasil mengubah kondisi hidupnya. Kondisi tubuhnya secara keseluruhan membaik. Tekanan darahnya pun turun, dan kelemahan di kakinya hilang perlahan-lahan. Alih-alih merasa berpenyakitan dan berduka, Dipa Ma mendapati dirinya terlahir kembali sebagai wanita yang sehat, bertenaga, dan bahagia.

 

Para kerabat dan sahabat tercengang-cengang melihat kondisi Dipa Ma sekarang, dari seorang perempuan setengah baya yang ringkih didera berbagai penyakit, sekarang bertransformasi menjadi sesosok wanita yang kuat. Beberapa dari mereka, termasuk puterinya sendiri dan saudara perempuan Dipa Ma, Hema, bergabung dengannya di pusat meditasi tersebut. Hema sendiri memiliki delapan anak dengan lima di antaranya masih tinggal di rumah. Selama hampir satu tahun, mereka semua mengikuti praktik meditasi secara intensif di pusat pelatihan tersebut. Mereka selalu menjaga keheningan, menghindari kontak mata dengan orang lain, tidur hanya empat jam setiap malam, dan berpantang makan setelah tengah hari. Meditasi yang diajarkan oleh Mahasi Sayadaw, biasanya dilakukan dengan pengamatan terhadap keluar-masuknya napas. Jadi pikiran kita tidak dibiarkan mengembara kemana-mana. Kita cukup mengamati napas yang masuk dan napas yang keluar setiap saat, dengan fokus pada gerakan yang terjadi di perut kita. Pengamatan terhadap gerakan perut yang naik dan turun, sebagai adanya aktivitas pernapasan, bisa diamati sepanjang hari. Lama kelamaan sang meditator menyadari kefanaan secara jelas. Kefanaan dan ketidakkekalan adalah salah satu metode Buddhis, yang dituntut agar setiap orang menyelidiki dirinya sendiri.

 

Namun pada tahun 1967, Pemerintah Burma memerintahkan semua orang asing untuk meninggalkan negaranya. Para bhikkhu di pusat pelatihan tersebut percaya bahwa Dipa Ma bisa saja tetap tinggal jika dia mau, namun dia memutuskan untuk pindah ke Calcutta (sekarang Kolkata, ibukota Benggala Barat), India. Dia percaya bahwa di Calcutta puterinya akan memiliki lebih banyak kesempatan melanjutkan pendidikannya. Dia dan Dipa pindah ke sana, dan mereka tinggal di sebuah ruangan kecil di atas sebuah bengkel mesin. Ruangan tersebut tidak dilengkapi oleh air keran, dan keduanya harus berbagi kamar mandi dengan keluarga lainnya. Mereka memasak di atas panggangan arang kecil di lantai. Dipa Ma sendiri tidur di atas kasur jerami tipis di atas lantai.

 

Kabar dengan cepat menyebar ke seluruh kota bahwa seorang guru meditasi berbakat telah tiba dari Burma. Tak lama kemudian orang-orang muncul di depan pintu rumah Dipa Ma untuk mendapatkan petunjuk. Dalam pikiran orang-orang yang akan berkunjung, guru meditasi adalah bhikkhu atau guru spiritual yang cukup umur, dan selalu laki-laki. Faktanya, penganut agama Buddha tradisional di sana percaya bahwa hanya laki-laki yang bisa mencapai pencerahan, seperti Buddha. Seorang wanita harus terlahir kembali sebagai pria di kehidupan mendatang agar bisa mencapai tataran serupa. Dipa Ma, bagaimana pun, mengajarkan meditasi kepada orang-orang yang berumah tangga, kebanyakan dari mereka adalah wanita; yang mencoba menyeimbangkan pekerjaan rumah tangga dengan keinginan untuk mendapatkan pencerahan spiritual. Beberapa pengikutnya menyebut Dipa Ma sebagai "Santo pelindung para perumah-tangga".

 

Karir panjang Dipa Ma dalam membimbing umat perumah-tangga telah dimulai di Burma. Salah satu siswa pertamanya, Malati, adalah seorang janda dan ibu tunggal yang mengasuh enam anak kecil. Dipa Ma merancang praktik yang dapat dilakukan Malati tanpa meninggalkan anak-anaknya, seperti menghadirkan pikiran sepenuhnya, pada saat berlangsungnya sensasi bayi menyusu di dadanya. Seperti yang diharapkan Dipa Ma, dengan melatih kewaspadaan ketika dia menyusui bayinya, Malati mencapai pencerahan tingkat pertama. Mungkin ada pembaca yang seringkali mendengar istilah ini: mindfulness, yang maknanya adalah "kewaspadaan". Mindfulness membuat seseorang menyadari dan mendalami aktivitas yang sedang dilakukannya, serta menjadikan aktivitas tersebut sebagai kepuasan yang sedang dijalaninya.

 

Di Calcutta, Dipa Ma berulang kali menangani situasi yang serupa. Sudipti, seorang ibu rumah tangga yang cacat, berjuang merawat seorang anak laki-laki yang sakit jiwa. Dipa Ma mengajarinya latihan vipassanā, tetapi Sudipti bersikeras bahwa dia tidak punya waktu untuk mempraktikkan meditasi, karena dia mempunyai begitu banyak tanggung jawab untuk mencari nafkah dan mengurus keluarganya. Dipa Ma memberi tahu Sudipti bahwa ketika dia memikirkan tentang keluarga atau sedang mencari nafkah, dia bisa melakukannya dengan penuh perhatian. "Manusia tidak akan pernah menyelesaikan semua masalahnya," ajarnya. “Satu-satunya cara adalah dengan memberikan perhatian pada apa pun yang Anda alami. Dan jika Anda hanya bisa bermeditasi lima menit sehari, Anda wajib melaksanakannya."

 

Pada pertemuan pertama mereka, Dipa Ma bertanya kepada Sudipti apakah dia boleh bermeditasi saat itu juga selama lima menit." Jadi saya duduk bersamanya selama lima menit," kenang Sudipti. "Kemudian dia memberi saya petunjuk meditasi, meskipun saya bilang saya tidak punya waktu. Entah bagaimana saya menemukan waktu lima menit sehari, dan saya mengikuti instruksinya. Dan dari lima menit ini, saya menjadi sangat terinspirasi. Saya dapat menemukan waktu yang lebih lama dan lebih lama untuk bermeditasi, dan tak lama kemudian saya bermeditasi berjam-jam sehari, hingga larut malam; terkadang sepanjang malam, setelah pekerjaan saya selesai. Saya menemukan energi dan waktu yang sebelumnya tidak saya sadari."

 

Siswa India lainnya, Dipak, ingat Dipa Ma menggodanya: "Oh, kamu datang dari kantor. Pikiranmu pasti sangat sibuk." Tapi kemudian dia dengan keras memerintahkannya untuk berubah pikiran. "Saya bilang padanya bahwa bekerja di bank itu banyak perhitungannya, dan pikiran saya selalu gelisah," kata Dipak. "Tidak mungkin untuk berlatih. Aku terlalu sibuk." Namun Dipa Ma tetap teguh, bersikeras bahwa, "Jika kamu sibuk, maka kesibukan adalah meditasi. Dan ketika kamu melakukan perhitungan, ketahuilah bahwa kamu sedang melakukan perhitungan. Meditasi selalu memungkinkan, kapan saja. Jika Anda terburu-buru ke kantor, maka Anda harus berhati-hati dalam keterburu-buruanmu."

 

Jenis meditasi yang diaplikasikan oleh Dipa Ma dinamakan vipassanā bhāvanā, atau meditasi "wawasan" atau "meditasi pandangan terang". Jenis meditasi ini dipraktikkan oleh Sang Buddha sendiri dan merupakan jenis pemusatan pikiran yang khas Buddhistik. Tujuan vipassanā adalah memusatkan kesadaran pada tubuh dan pengalaman indera. Beberapa praktisi memusatkan perhatian secara terpisah pada berbagai bagian tubuh mereka, melakukan apa yang kadang-kadang disebut "sapuan tubuh", berkonsentrasi secara bergantian pada jari kaki, telapak kaki, tungkai, dan seterusnya. Yang lain fokus pada pernapasan mereka. Dengan memusatkan perhatian pada ritme pernapasan, seseorang dikatakan mampu "mengeluarkan napas" pikiran-pikiran negatif dan "menghirup" kualitas-kualitas seperti toleransi dan kesabaran. Seseorang mungkin juga memvisualisasikan napasnya sebagai cahaya yang memancar dari tubuh, yang mampu menyebarkan kedamaian dan kebahagiaan.

 

Murid-murid Dipa Ma mengatakan bahwa mereka belajar bukan dari apa yang dia lakukan, tapi dari siapa dia. Jadi dalam berlatih meditasi, hubungan personal antara guru dan siswa adalah hal yang penting. Mereka mengklaim kehadirannya saja sudah cukup untuk meningkatkan rasa damai dan perhatian pada diri mereka. Dia adalah seorang guru yang banyak menuntut, bersikeras agar murid-muridnya tidak malas saat mereka berlatih meditasi, namun di balik semua itu dia juga sosok yang baik hati dan penuh kasih sayang. Dia akan menyapa murid-muridnya dengan memberkati mereka dan membelai rambut mereka, dan dia membagikan berkahnya kepada orang-orang, hewan, dan bahkan benda mati di jalan.

 

Pada tahun 1980-an Dipa Ma melakukan perjalanan ke Amerika Serikat untuk mengajarkan tekniknya di Insight Meditation Society di Massachusetts. Perkumpulan ini didirikan oleh tiga orang Barat, yakni Joseph Goldstein, Jack Kornfield, dan Sharon Salzberg. Ketiganya sering bepergian ke Calcutta untuk bertemu dan belajar dari Dipa Ma. Seperti dikutip Amy Schmidt dalam buku Dipa Ma: Kehidupan dan Warisan Seorang Guru Buddha, Goldstein berkata, "Mungkin ada beberapa saat dalam hidup kita ketika kita bertemu seseorang yang sangat tidak biasa sehingga dia mengubah cara hidup kita; dengan menjadi diri mereka sendiri. Dipa Ma adalah orang yang seperti itu ... Keheningan dan cintanya berbeda dari siapa pun yang pernah saya temui sebelumnya."

 

Dipa Ma meninggal pada tanggal 1 September 1989. Menurut seorang tetangga yang berada di sisinya pada saat kematiannya, di saat-saat terakhirnya dia melipat tangan dengan sikap anjali, lalu membungkuk di hadapan patung Buddha. Dia kemudian berhenti bernapas, meninggal dunia dengan tenang, sama seperti yang dia alami selama beberapa dekade terakhir dalam hidupnya. Ajarannya bertahan melalui upaya siswa-siswanya. Banyak di antaranya kemudian mengajarkan ilmunya kepada orang lain.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/231129



Rabu, 15 November 2023

PEMANASAN GLOBAL DAN AJAKAN HIDUP MENURUT TAOISME



Kita orang awam pasti pernah mendengar bahwa pada tahun-tahun terakhir ini, ada perbincangan terjadinya pemanasan global di bumi tempat kita tinggal. Dalam artikel kali ini penulis mencoba menggambarkan apa itu pemanasan global dengan penjelasan yang mudah dicerna, dan lalu apa dampaknya terhadap kehidupan kita. Selanjutnya kita akan meninjau sebuah ajaran kuno yang masih relevan, guna merefleksikan diri, apakah kita ini sebagai manusia telah melakukan hal yang salah kepada alam.

 

Pemanasan global itu adalah fenomena nyata, karena terjadi kenaikan temperatur rata-rata pada atmosfer di atas daratan dan lautan, serta bertambahnya suhu air laut di seluruh dunia. Jadi terdapat kenaikan temperatur rata-rata di bumi kita ini selama seratus tahun terakhir ini, dibandingkan suhu bumi sebelumnya. Singkatnya daratan dan perairan lebih terasa hangat sekarang ini, dibandingkan dengan yang dialami oleh kakek-buyut kita yang hidup sekitar satu abad yang lalu. Kenaikan suhu rata-rata global menurut hitungan para ahli adalah 0,74 ± 0,18°C dalam seratus tahun terakhir. Mungkin Anda menganggap bahwa terjadi peningkatan paling banyak 1°C, dan ini bisa diabaikan. Tetapi angka plus 1°C itu berdampak besar terhadap kehidupan kita di bumi ini, dan penambahan sebesar itu tidak berlangsung secara linear, tetapi terjadi lonjakan besar secara global sejak pertengahan abad ke-20. Dan sekarang sudah diprediksi, jika laju pertumbuhan kenaikan suhu masih berlangsung seperti ini, di akhir abad ke-21 meningkatnya temperatur akan jauh melebihi 1°C. Apa penyebabnya? Kenaikan temperatur global bukan disebabkan oleh perilaku alam itu sendiri, tetapi hampir seluruhnya diakibatkan oleh intervensi manusia.

 

Demi mudahnya Anda para pembaca mencerna apa yang membuat terjadinya pemanasan global, penulis ingin kita menelusuri apa yang dialami oleh kakek buyut kita seratus tahun yang lalu. Kita anggap dia hidup sekitar tahun 1920-an. Kehidupan macam apa yang dapat kita saksikan di Pulau Jawa? Desa-desa memiliki sawah dan lahan pertanian dengan rumah-rumah penduduk yang ada di sekitarnya. Jalan desa masih berupa jalan setapak yang berupa jalur bertanah merah. Orang bepergian dengan berjalan kaki, naik hewan tunggangan, atau memanfaatkan sebuah gerobak kayu. Tidak ada pabrik kecuali sebuah penggilingan padi, yang ditenagai oleh arus air deras atau dihela oleh kerbau. Hasil budidaya pertanian dan peternakan mereka sebagian diangkut ke kota kecil terdekat dengan bantuan gerobak bertenaga hewan. Kehidupan penduduk dusun amat bersahaja, dan gaya hidup mereka tidak berubah selama beberapa generasi.

 

Adalah lebih baik kehidupan di kota besar, seperti Batavia, Semarang, dan Soerabaja. Jaringan kereta api telah dibangun sekitar tahun 1875 dan lima-puluh tahun kemudian telah terbentang jalan rel dan trem di Jawa dan Sumatera. Pembangunan jaringan kereta api ini bertujuan untuk mengangkut komoditi perkebunan, guna diekspor ke mancanegara. Keberadaan mobil bensin yang pertama tercatat tahun 1905 di Batavia, dan pada waktu itu jumlahnya di kota bisa dihitung dengan jari. Sekitar tahun 1920 jalanan kota masih dipenuhi oleh dokar, becak, sepeda, dan gerobak-kuda. Sepeda motor belum ada dan jumlah mobil pun hanya sedikit. Pembangkit listrik bertenaga uap yang pertama dibangun pada tahun 1897 di kawasan Gambir, Batavia; dan sebelumnya pembangkit listrik yang lebih kecil dipasang untuk mengoperasikan pabrik gula. Pada mulanya tenaga listrik yang dihasilkan dipakai di gedung-gedung pemerintahan dan perusahaan swasta, lalu selebihnya untuk keperluan rumah tangga. Bagi rakyat kebanyakan, listrik yang tersedia hanya dimanfaatkan untuk penerangan rumah di malam hari.

 

Jika kita membandingkan kehidupan manusia sekarang dengan yang terjadi seratus tahun yang lampau, maka jelas terlihat terjadi revolusi menuju kehidupan modern sejak tahun 1920-an, yang disusul dengan ledakan perkembangan teknologi yang dimulai di era 1950-an (saat Indonesia telah merdeka sepenuhnya dari kolonialisme). Berubahnya kehidupan manusia zaman itu sesungguhnya telah dipersiapkan lebih dari seratus tahun sebelumnya, dengan lahirnya Revolusi Industri. Dengan penemuan mesin uap lahirlah mesin-mesin modern yang bukan lagi digerakkan oleh tenaga manusia atau tenaga hewan, melainkan oleh tenaga uap. Sejak saat itu ekonomi dunia yang sebelumnya digerakkan oleh sektor pertanian perlahan-lahan mulai digantikan oleh sektor industri.

 

Mesin-mesin yang diperlukan untuk menggerakkan industri pada dasarnya diperlukan untuk (1) menggerakkan turbin yang dikopel oleh generator, sehingga bisa membangkitkan tenaga listrik, dan (2) menggerakkan motor bakar untuk menjalankan mesin kendaraan (termasuk kapal dan pesawat terbang). Kedua penggunaan industri itu tentu membutuhkan bahan bakar, yang berupa batubara, minyak bumi, dan gas alam. Batubara terbatas penggunaannya hanya untuk membangkitkan listrik tenaga uap.

 

Nah, pembakaran batubara, minyak bumi, dan gas alam inilah yang kemudian meninggalkan residu berupa gas-gas yang mengotori atmosfer, terutama gas karbon dioksida (CO2) atau para ahli menyebutnya "meninggalkan jejak karbon". Tentu saja dari tiga jenis bahan bakar itu, yang meninggalkan jejak karbon paling buruk adalah batubara, kemudian minyak bumi, dan yang paling kecil itu gas alam. Pembakaran batubara, minyak bumi, dan gas alam telah berlangsung secara masif selama seratus tahun terakhir ini, dengan laju eksponensial yang semakin lama semakin bertambah. Mengapa semakin bertambah? Karena populasi dunia pada 1920 sudah melewati 2 miliar orang, 3 miliar sebelum 1960, 4 miliar pada 1974, 5 miliar sebelum 1987, 6 miliar sebelum 1999, 7 miliar pada 2011, dan akan mencapai 8 miliar sebelum 2025. (Lihat: Ledakan Penduduk Dunia: Penyebab, Latar Belakang dan Proyeksi Masa Depan, dalam https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles).

 

Sebagai akibatnya atmosfer bumi telah menampung gas-gas polutan selama seratus tahun terakhir ini dalam jumlah tak-terhingga, yang belum pernah terjadi selama sejarah peradaban manusia sebelumnya. Dengan adanya pemanasan global muncul akibat yang dulunya tak terpikirkan: perubahan iklim. Karena temperatur bumi naik, massa es yang ada di kutub akan semakin mencair, mengakibatkan muka air laut naik. Dampaknya garis pantai tergerus dan daerah pesisir mengalami banjir berkepanjangan, sehingga menjadi tidak layak huni lagi. Perubahan iklim membuat cuaca tahunan menjadi kacau, dengan makin seringnya terjadi musim kemarau yang berkepanjangan, badai yang kekuatannya semakin merusak, dan pola curah hujan yang berubah-ubah. Selanjutnya karena cuaca semakin sulit diprediksi, pola tanam terganggu, punahnya berbagai jenis hewan, dan masuknya air laut sampai jauh ke daratan.

 

Dewasa ini para ilmuwan dan politisi bijak semakin khawatir, bahwa pemanasan global semakin sulit diatasi. Di lain pihak sumber energi yang tak-terbarukan, seperti batubara, minyak bumi, dan gas alam, pada suatu hari akan habis. Sumber energi terbarukan, seperti energi surya, tenaga angin, dan energi dari panas bumi, termasuk tenaga air, saat ini sedang digalakkan di mana pun di seluruh dunia. Namun pertanyaannya, apakah energi listrik yang dibangkitkan oleh energi yang terbarukan itu mencukupi, untuk menggantikan peran yang selama ini disumbangkan oleh energi yang tak-terbarukan?

 

Jika kita merefleksikan diri tentang apa yang telah diperbuat oleh umat manusia selama seratus tahun terakhir ini; kita akan melihat bahwa demi mendapatkan kesejahteraan dan kemudahan hidup, juga demi menopang populasi dunia yang semakin bertambah, manusia secara membabi buta telah mengeruk sumber energi tak-terbarukan secara serampangan. Makin banyak orang yang sadar bahwa telah terjadi kerusakan alam di sana-sini akibat kerakusan, pemaksaan, dan kecerobohan manusia. Manusia dengan congkaknya memeras alam habis-habisan dengan mengandalkan sains dan  teknologi, yang mana keterampilan itu diciptakan oleh akalbudinya.

 

Lǎo Zǐ (老子), seorang bijak dari zaman Tiongkok Kuno, pernah menyebut kebijaksanaan Wú Wèi (無爲), yang bermakna "tidak berbuat", atau "tidak mencampuri". Kerapkali anjuran itu disalahartikan agar manusianya menjadi orang pasifis, yang tidak berbuat apa pun terhadap alam, sehingga peradaban umat manusia kembali ke Zaman Batu. Tentu yang dimaksud dengan Wú Wèi oleh Lǎo Zǐ tidaklah seperti itu. Makna istilah ini lebih tepat ditafsirkan sebagai "tidak mendikte" atau "tidak memaksakan kehendak". Dengan begitu akan segera tampak relevansinya. Tidak mendikte atau mengeksploitasi secara berlebihan, baik terhadap alam maupun terhadap manusia, tentu bisa kita terima. Alam yang dieksploitasi berlebihan secara terus-menerus akan membawa dampak yang tidak terduga, yang pada gilirannya membuat keseimbangan akan terganggu. Setelah itu manusia dan makhluk hidup lainnya yang akan menanggung akibatnya, berupa banjir bandang, tanah longsor, dan angin puyuh.

 

Agaknya, di sinilah sinyalemen Taoisme benar, bahwa pengetahuan adalah budak dan sekaligus majikan bagi “keinginan”: pengetahuan terhadap rahasia alam mengakibatkan keinginan tiada henti bagi manusia untuk mengeksploitasi alam. Pada saat yang sama, keinginan untuk mengeksploitasi alam juga membutuhkan pengetahuan. Begitulah, pengetahuan dan keinginan berkelindan, dan berakibat pada kehancuran alam. Sampai di sini, sulit untuk menyangkal kebenaran dan futurisme yang dikumandangkan oleh Taoisme.

 

Apakah yang dimaksud dengan eksploitasi yang membabi buta? Misalnya orang melakukan penggundulan hutan secara semena-mena tanpa melakukan reboisasi, mengeduk hasil laut dengan memakai bom plastik, membuang sampah sembarangan ke sungai, membiarkan kemasan plastik terbuang begitu saja ke alam tanpa menyadari bahwa material tersebut butuh ribuan tahun untuk terurai, melakukan pencarian bahan mineral dan sesudahnya membiarkan galian tetap menganga sehingga timbul lubang-lubang besar, melakukan pembukaan hutan yang membuat musnahnya dan punahnya hewan-hewan endemik, dan masih banyak contoh-contoh lainnya.

 

Sekali lagi berkenaan dengan ajaran Wú Wèi itu, apakah dengan demikian orang lalu harus berpantang untuk mencari, mengusahakan, memiliki, dan memanfaatkan pengetahuan? Apakah dengan demikian orang harus surut ke belakang kembali ke zaman prasejarah? Agaknya impian Taoisme mengandaikan adanya sosok-sosok manusia yang benar-benar “natural”, manusia “lugu” yang benar-benar menjadi “anak alam”, yang menghormati dan mencintai alam sepenuhnya. Namun apakah impian semacam itu realistik di zaman kita ini?

 

Wú Wèi sebenarnya mau mengajak orang untuk bertindak dalam kapasitas yang normal. Kapasitas yang normal adalah membiarkan diri sebagai bagian dari gerak dinamika yang terjadi dalam alam. Dia secara maksimal berusaha mempercayakan diri pada dinamika alam. Agar bisa seirama dengan dinamika alam, manusia harus mengurangi keinginannya yang berlebihan, kemudian secara berhati-hati melakukan pelbagai upaya yang terukur untuk mengatur alam. Etika Wú Wèi sejatinya menekankan aspek kecukupan diri (self-sufficient), artinya orang sudah harus merasa puas jika kebutuhan dasarnya (basic needs) terpenuhi. Keinginan untuk memperkaya diri dan menikmati berbagai harta duniawi lainnya, ternyata tidak pernah bisa memuaskan dirinya.

 

Dalam ajaran Lǎo Zǐ, alam seharusnya mesti dilihat sebagai "ibu" yang hadir, mengandung, melahirkan, merawat, lalu membesarkan anak-anaknya, yakni kita-kita ini. Dào (道) sendiri berarti gerak alam. Alam bergerak secara spontan berdasarkan aturannya sendiri. Hal ini memberi gambaran bahwa Wú Wèi dilandasi pula dengan prinsip  (德) atau kebajikan. Alam sejatinya memiliki kepekaan atas segala rangsangan di sekitarnya. Pola hubungan manusia dan alam, dalam Dào harus dilandasi dengan harmoni.

 

Mungkin ada pembaca yang bertanya, bahwa dengan populasi manusia semakin lama semakin bertambah, lalu apakah bumi ini masih bisa mencukupi kebutuhan seluruh umat manusia. Mahatma Gandhi pernah berkata: "The world has enough for everyone's need, but not enough for everyone's greed." ("Dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh umat manusia, namun tidak pernah mencukupi untuk mengabulkan keserakahan orang per orang").

 

Setelah kita memahami sepenuhnya apa itu pemanasan global dan perubahan iklim, kita perlu memiliki panduan teknis bagaiman kita sekalian bisa bersumbangsih, agar manusia secara kolektif bisa mengatasi masalah tersebut pada akhirnya. Kita akan mengulas isu tersebut pada artikel-artikel yang akan datang.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/231115 


 

Rabu, 01 November 2023

GŪANYĪN DAN AJARANNYA



Pada artikel yang lalu diceritakan bagaimana Miào Shàn (妙善), seorang puteri raja, yang minggat dari istananya lalu menjalani hidup sebagai petapa wanita. Meskipun ayahnya seorang yang kejam dan berupaya mencelakakan dirinya, Miào Shàn tidak gentar. Di usia tuanya sang ayah menderita sakit yang parah dan tidak ada tabib yang mampu menolongnya. Pada saat yang kritis itu, justru Miào Shàn orang yang sanggup menyembuhkan penyakitnya dengan mengorbankan dirinya sendiri. Melihat kisah hidupnya, orang Tiongkok Kuno percaya bahwa Miào Shàn bukanlah seorang manusia biasa, tetapi dia sebenarnya adalah penjelmaan sosok dewi welas-asih, yang sering dipanggil masyarakat zaman itu sebagai Dewi Kwan Im atau Guānyīn (观音). Orang percaya bahwa segala permohonan yang berangkat dari ketulusan dan niat suci, maka biasanya Dewi Kwan Im akan mengabulkan permintaan tersebut. Terutama pada saat-saat genting dimana seseorang tengah berhadapan dengan marabahaya.  Dalam artikel kali ini kita akan mencoba menelaah apa yang sebenarnya diajarkan oleh Guānyīn.

 

Apa yang diajarkan oleh Guānyīn kepada umatnya? Ajaran Guānyīn yang paling sering dikutip orang tidak lain berisi 20 proposisi yang dikatakan diucapkan oleh Sang Dewi. Penulis menyalin kembali dan inilah isinya: (1) Jika orang lain membuatmu susah, anggaplah itu tumpukan rejeki. (2) Mulai hari ini belajarlah menyenangkan hati orang lain. (3) Jika kamu merasa pahit dalam hidupmu dengan suatu tujuan, itulah bahagia. (4) Lari dan berlarilah untuk mengejar hari esok. (5) Setiap hari kamu sudah harus merasa puas dengan apa yang kamu miliki saat ini. (6) Setiap kali ada orang memberimu satu kebaikan, kamu harus mengembalikannya sepuluh kali lipat. (7) Nilailah kebaikan orang lain kepadamu, tetapi hapuskanlah jasa yang pernah kamu berikan pada orang lain. (8) Dalam keadaan benar kamu difitnah, dipersalahkan dan dihukum, maka kamu akan mendapatkan pahala. (9) Dalam keadaan salah kamu dipuji dan dibenarkan, itu merupakan hukuman.(10) Orang yang benar kita bela tetapi yang salah kita beri nasihat. (11) Jika perbuatan kamu benar, kamu difitnah dan dipersalahkan, tetapi kamu menerimanya, maka akan datang kepadamu rezeki yang berlimpah-ruah. (12) Jangan selalu melihat/mengecam kesalahan orang lain, tetapi selalu melihat diri sendiri itulah kebenaran. (13) Orang yang baik diajak bergaul, tetapi yang jahat dikasihani. (14) Kalau wajahmu senyum hatimu senang, pasti kamu akan aku terima. (15) Dua orang saling mengakui kesalahan masing-masing, maka dua orang itu akan bersahabat sepanjang masa. (16) Saling salah menyalahkan, maka akan mengakibatkan putus hubungan. (17) Kalau kamu rela dan tulus menolong orang yang dalam keadaan susah, maka jangan sampai diketahui bahwa kamu sebagai penolongnya. (18) Jangan membicarakan sedikitpun kejelekan orang lain dibelakangnya, sebab kamu akan dinilai jelek oleh si pendengar. (19) Kalau kamu mengetahui seseorang berbuat salah, maka tegurlah langsung dengan kata-kata yang lemah lembut hingga orang itu insaf. (20) Doamu akan diterima, apabila kamu bisa sabar dan menuruti jalanku.

 

Dibaca sepintas lalu, tampaknya kedua-puluh nasihat Guānyīn itu sederhana dan mudah bagi kita sekalian untuk menjalankannya. Tetapi setelah dicoba untuk dipraktikkan, ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kita ambil pelajaran No. 5: "Setiap hari kamu sudah harus merasa puas dengan apa yang kamu miliki saat ini." Anda yang mengikuti grup WA mungkin sering membaca ungkapan seperti ini: "Orang yang paling bahagia adalah orang yang bersyukur," "Jangan berhenti mengucap syukur," "Selalu ada yang mesti disyukuri setiap pagi," dan masih banyak lagi. Setiap pagi kita mendapat khotbah yang itu-itu saja, sampai kita bosan membacanya. Misalnya kita seorang karyawan yang setiap hari pergi ke kantor dengan mengendarai sepeda motor. Anda para pembaca bisa memakluminya. Orang yang naik motor harus memakai helm dan juga jaket. Di Jakarta yang panas ini, di siang hari bolong kita merasa kepanasan dan juga sumuk. Keringat bercucuran dan debu mengotori tubuh kita. Di saat-saat seperti itu kita berpikir: "Alangkah enaknya jika kita bepergian naik mobil. Di dalam kendaraan pasti ada AC yang menyejukkan, serta tubuh kita pasti tidak kotor dan tetap wangi." Nah, kita lupa bersyukur. Kita hanya memandang ke atas. Seyogianya kita melihat pula ke bawah. Tentu masih lebih baik mereka yang bisa berkendara sepeda motor, dibandingkan dengan orang yang hanya punya sepeda, atau orang yang harus mengejar-ngejar kendaraan umum.

 

Berikutnya kita lihat pelajaran No. 9: "Dalam keadaan salah kamu dipuji dan dibenarkan, itu merupakan hukuman." Jika proposisi ini disimak sepintas lalu, tampaknya hukum tabur-tuai tidak berjalan dengan baik, dan kita berpikir saat ini kita sedang mujur. Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Yang terjadi adalah buah karma baik kita telah berbuah, sedangkan akibat perbuatan buruk yang baru kita lakukan, belum masak. Kebalikannya ada pada pelajaran No. 8: "Dalam keadaan benar kamu difitnah, dipersalahkan dan dihukum, maka kamu akan mendapatkan pahala."

 

Kita kembali pada 20 proposisi yang katanya merupakan ajaran dari Dewi Kwan Im. Penulis telah mencoba menelusuri dari kitab mana ajaran ini berasal, dan hingga sampai saat ini belum berhasil menemukannya. Dewi Kwan Im yang dimaksud tentu yang terdapat di Daratan Tiongkok, dan ini mengacu pada sosok Guānyīn Niángniáng (觀音娘娘) dari Taoisme maupun Guānyīn Púsà (观音菩萨) dari Buddhisme. Namun tidak dapat disangkal bahwa 20 proposisi itu merupakan bagian dari ajaran Agama Orang Tionghoa, yang telah berkembang sejak Periode Musim Semi dan Musim Gugur serta Periode Negara-negara Berperang. Dua-puluh proposisi ini berasal dari teori pengembangan diri, atau kultivasi diri, atau pertumbuhan akhlak. Dalam bahasa Mandarin dikenal dengan sebutan 修身 (Xiūshēn), yang bermakna menumbuhkan keutamaan dan mempercantik tubuh. Banyak teori filsafat Tiongkok yang membicarakan pengembangan kebajikan. Begitu pentingnya Xiūshēn ini sehingga seseorang pertama-tama harus mengultivasi dirinya sendiri, baru setelah itu dia dapat mengatur keluarganya. Kemudian pada tingkat selanjutnya dia akan mampu mengatur negaranya, serta terakhir dia bisa membawa kesejahteraan dan perdamaian bagi umat manusia.

 

Kǒng Zǐ mengatakan bahwa ada lima keutamaan yang harus dimiliki seorang manusia di kolong langit ini agar dia bisa menjadi orang yang berbudi luhur. Saat ditanya apa saja kelima hal tersebut, dia menjawab, "Kesopanan, kemurahan hati, kesetiaan, ketekunan, dan kebaikan hati. Jika kamu berlaku sopan, kamu tidak akan dihina; bila kamu murah hati, kamu akan memenangkan hati orang banyak; jika kamu setia, orang lain akan mempercayaimu; bila kamu tekun, kamu akan berhasil; dan jika kamu baik hati, kamu akan mampu memimpin orang lain." (Lunyu XVIII:6)

 

"Lima Keutamaan" atau Wǔcháng (五常), terdiri dari kebajikan atau kebaikan hati (Rén, ), kesalehan atau kebenaran (, ), kesopanan atau kepantasan (Lǐ, 禮), kebijaksanaan, termasuk ketekunan (Zhì, ), dan kesetiaan atau dapat dipercaya (Xìn, ). Empat kebajikan pertama dikelompokkan bersama dalam Mèng Zǐ (孟子). Kebajikan kelima, Xìn, ditambahkan oleh Dǒng Zhòng Shū (董仲舒).

 

Kebajikan atau kebaikan hati, termasuk kemurahan hati, digambarkan sebagai "membentuk satu tubuh" dalam hubungannya dengan orang lain. Kebaikan hati atau kemurahan hati mengharuskan kita melihat diri kita sebagai perpanjangan tangan orang lain dan sebaliknya. Contoh aplikasi kebaikan hati mencakup tindakan cinta, atau tindakan demi kepentingan orang lain, seperti menjaga anggota keluarga sendiri. Kesalehan atau kebenaran adalah ketika seseorang menolak melanggar larangan yang dianggap memalukan atau merendahkan martabat, seperti penyuapan. Kesopanan atau li memiliki cakupan yang lebih luas daripada istilah yang serupa dalam bahasa Indonesia. Contohnya ketika seseorang melakukan ritual dengan penuh khidmat, meliputi protokol sosial dalam situasi yang memerlukan rasa hormat, seperti pernikahan, pemakaman, salam, serta penyajian makanan dan minuman. Dalam percakapan orang Tionghoa sehari-hari dikenal istilah bo ceng li, yang artinya tidak pantas atau tidak wajar, bisa juga berarti kurang ajar atau lancang. Kebijaksanaan adalah memahami motif dan perasaan diri sendiri, menilai dengan benar kualitas karakter seseorang, dan mengetahui cara terbaik untuk mencapai tujuan kebajikan. Kepercayaan atau kesetiaan dipahami sebagai komitmen terhadap kenyataan secara konsisten dan dapat diandalkan.

 

​Jadi apa yang menjadi ajaran dari Guānyīn Púsà itu sendiri? Penulis akan mengambil sepenggal novel klasik Tiongkok yang terkenal, yakni Perjalanan ke Barat (西遊記, Xī Yóu Jì), yang dikarang oleh Wú Chéng'ēn (吳承恩) kurang lebih tahun 1592.

 

Tokoh-tokoh kita ini mungkin Anda pembaca telah mengenalnya karena sangat populer dalam kesusasteraan Tionghoa. Táng Sān Zàng (唐三藏) atau Sang Biarawan Táng adalah tokoh utama dalam novel ini, yang secara harfiah bermakna "Guru Tripitaka dari (Kekaisaran) Táng", selanjutnya disingkat Sānzàng. Kemudian ada Sūn Wùkōng (孫悟空). Nama ini diberikan oleh gurunya, yang berarti "Kera yang Sadar pada Kekosongan". Dia sering dijuluki si "Raja Kera", atau si "Kera Sakti", dan selanjutnya kita singkat "Kera". Lalu ada Zhū Bājiè (豬八戒), secara harfiah berarti "Babi dengan Delapan Pantangan", adalah nama-Buddhis yang diberikan oleh Sānzàng. Dia juga dikenal dengan panggilan Zhū Wùnéng (豬悟能), maknanya "Babi yang Terbangun untuk Berkuasa". Nama yang kedua ini diberikan oleh Guānyīn; dan untuk selanjutnya kita panggil "Babi". Dengan demikian Sūn Wùkōng adalah siswa Sānzàng yang pertama, dan Zhū Bājiè adalah siswa yang kedua. Masih ada siswa yang ketiga, tetapi ketika penggalan cerita ini dinarasikan, siswa ketiga belum bergabung dalam rombongan Táng Sān Zàng.

 

Setelah melakukan perjalanan ke Barat dengan aman selama satu bulan, ketiganya meninggalkan teritori Stubet, dan mereka sekarang melihat di depan ada sebuah gunung yang menjulang tinggi. Sānzàng berhenti menunggang kudanya, lalu menuntunnya, dan dia berkata, "Kera, Kera, ada gunung tinggi di depan kita. Mohon engkau pergi duluan dan melakukan pengintaian."

 

"Tidak perlu," kata Babi. "Tempat itu dinamakan Gunung Pagoda, dan di sana ada seorang Petapa Sarang Gagak yang sedang mengembangkan perilakunya. Aku pernah bertemu dengannya."

 

"Apa yang dia lakukan terhadapmu?" Sānzàng bertanya.

 

"Dia memiliki ilmu," Babi menjawab. "Sekali waktu ia mengundangku untuk mengembangkan perilakuku dengannya, tetapi aku tidak jadi pergi." Selagi guru dan siswa bercakap-cakap mereka sudah berada di gunung. Ternyata itu adalah gunung yang indah:

 

Di selatan terhampar pinus biru dan pepohonan nan menghijau,

Ke Utara ditutupi dedalu hijau dan persik bertunas-merah.

Berbunyi berisik,

 

Burung liar berciutan satu sama lain;

Membumbung tinggi penuh keberkahan,

Burung bangau terbang bersama.

 

Kaya dalam wewangian

Seribu bunga yang berbeda-beda;

Gelap lembut

Dedaunan yang jenisnya tak-berakhir.

 

Di parit-parit arus air bergelembung kehijauan,

Tebing diselubungi dalam awan pertanda baik.

Itulah sesungguhnya pemandangan langka dengan keelokan yang anggun.

Demikian hening, tempat tidak ada orang yang datang dan pergi.

 

Sewaktu sang guru memeriksa pemandangan itu dari punggung kudanya, dia melihat sebuah pondok rumput di tengah kerimbunan pepohonan yang wangi. Di sebelah kiri pondok itu ada sekelompok rusa dengan bunga-bunga di mulutnya, dan di sebelah kanannya kumpulan kera sedang memegang buah-buahan untuk dipersembahkan. Sementara burung-api dalam berbagai warna berseliweran mengelilingi puncak pepohonan, yang mana di dahan pohon itu berkumpul burung bangau dan burung pegar. Babi menunjuk dengan jarinya dan berkata, "Itu adalah Sang Petapa Sarang Gagak." Sānzàng menarik tali kekang kudanya, melangkah ke muka, dan langsung pergi menuju kaki pepohonan.

 

Ketika sang petapa melihat ketiganya mendatanginya dia melompat turun dari sarang burungnya. Sānzàng segera turun dan membungkuk di hadapan petapa itu, dan kemudian dia membalas sambil membimbing agar Sānzàng berdiri kembali, "Harap bangun, wahai biarawan suci. Aku minta maaf karena tidak menyambutmu dengan selayaknya."

 

"Selamat berjumpa, yang mulia petapa," kata Babi.

 

"Bukankah engkau Sang Babi berambut-Besi dari Gunung Keberkahan? Bagaimana bisa engkau memiliki peruntungan yang bagus dengan melakukan perjalanan bersama seorang rahib suci?"

 

"Tahun lalu," jawab Babi, "aku beralih-keyakinan atas jasa Bodhisattva Guānyīn, dan aku bersumpah bahwasanya aku akan pergi bersamanya sebagai seorang siswanya."

 

"Sungguh mengagumkan, sungguh menakjubkan," seru sang petapa dengan gembira. Dia kemudian menunjuk pada Kera dan bertanya, "Siapakah tuan yang satu ini?"

 

"Petapa tua," kata Kera, "bagaimana bisa sampai engkau mengenalnya, tetapi tidak mengetahui siapa diriku?" - "Mohon maafkan atas kebodohanku," sang petapa menjawab. - "Dia adalah Sūn Wùkōng, siswa seniorku," Sānzàng menjelaskan. - "Aku minta maaf atas ketidaksopananku," kata sang petapa.

 

Sānzàng membungkuk sekali lagi dan bertanya kepadanya jalan menuju Kuil Halilintar Agung di Surga Barat. "Masih jauh," sang petapa menjawab, "masih jauh. Perjalanan itu akan panjang dan di sepanjang jalan ada banyak siluman dan harimau. Banyak sekali tantangannya."

 

"Masih berapa jauh lagi?" tanya Sānzàng dengan rasa ingin tahu yang besar. "Walaupun perjalanan ini sangat jauh dan panjang," jawab sang petapa, "kalian pasti sampai di sana pada akhirnya. Tetapi pengaruh-pengaruh jahat yang akan kalian hadapi sukar untuk dihalau. Aku memiliki sebuah Sutra Hati (心經, Xīn Jīng), yang terdiri dari 270 kata dalam 54 kalimat, dan jika engkau mendaraskannya ketika engkau bertemu dengan pengaruh-pengaruh buruk, engkau tidak akan menemui marabahaya." Sānzàng segera berlutut di hadapannya dan memohon kepada si petapa untuk mengajarkannya kepadanya. Lalu sang petapa itu pun membacakan-ulang khusus ditujukan kepadanya, yang berbunyi:

 

"Ketika Sang Bodhisattva Avalokiteśvara sedang bermeditasi pada Prajñāpāramitā (般若波羅蜜多, Bōrě bōluómì duō) yang mendalam, dia memahami bahwa lima gugus ini kosong dan hampa, serta dengan memahaminya dia terbebas dari penderitaan dan marabahaya.

 

'Śariputra, materi itu tidak berbeda dengan kekosongan dan kekosongan itu tidak berlainan dengan materi: materi adalah kehampaan dan kehampaan adalah materi. Demikian pula halnya dengan perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran, dan kesadaran. Śariputra, kelima gugus ini pada hakikatnya adalah kosong, tidak memiliki permulaan atau pun pengakhiran, bukan suci bukan pula tak-suci, dan tidak-bertambah juga tidak-berkurang. Dengan demikian, dalam kekosongan tidak ada materi, tidak ada perasaan, tidak ada pencerapan, tidak ada bentuk-bentuk pikiran, dan tidak ada kesadaran. Tidak ada mata, tidak ada telinga, tidak ada hidung, tidak ada lidah, tidak ada tubuh, dan tidak ada batin. Tidak ada penglihatan, tidak ada bunyi, tidak ada bebauan, tidak ada rasa, tidak ada sentuhan, dan tidak ada proses batin. Tidak ada kategori mata tidak juga ada kategori kesadaran. Tidak ada kebodohan, tidak ada pula penghentian kebodohan. Tidak ada usia tua dan kematian, tidak juga penghentian usia tua dan kematian. Tidak ada penderitaan, tidak ada sebab-musabab penderitaan, tidak ada penghentian penderitaan, tidak ada jalan menuju penghentian penderitaan. Serta dengan tidak adanya kebijaksanaan, tidak ada pula sesuatu yang diperoleh. Karena tidak ada yang diperoleh, seorang Bodhisattva bergantung pada Prajñāpāramitā, yang membuatnya terbebaskan dalam batinnya. Dan karena dia terbebaskan dalam batinnya dia tidak memiliki ketakutan, serta dia terbersihkan dari pikiran menyerupai mimpi terhadap bukan-realitas, dan dia menikmati Nirvāṇa pada akhirnya. Dengan bergantung pada Prajñāpāramitā semua Buddha yang lampau, yang sekarang, dan yang akan datang merealisasi anuttarā samyak-saṃbodhi.

 

Maka dari itu, kita mengetahui sebuah pengejaan yang agung, pengejaan dewata, pengejaan pencerahan dewata, pengejaan tertinggi, dan sebuah pengejaan tanpa ada yang menyerupainya, yang dapat mengenyahkan semua penderitaan tanpa kegagalan. Marilah kita mendaraskan pengejaan Prajñāpāramitā dan mengucapkan: Gate, gate, paragate, parasamgate, bodhi, svaha!' "

 

Ketika Sang Patriakh dari Táng telah mendapatkan asal-mula pencerahan di dalam dirinya sendiri, dia mampu mengingat Sutra Hati cukup dengan mendengarkannya sekali saja, dan sutra ini telah diturunkan pula sejak hari itu. Sutra ini menjadi inti pengembangan kebenaran, dan sekaligus pintu-gerbang menjadi seorang Buddha. (diambil dari: Wú Chéng'ēn, Perjalanan ke Barat, Bab ke-19).

 

Demikianlah ajaran inti dari Guānyīn Púsà.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/231101