Kamis, 29 Juni 2023

AGAMA KONGHUCU DI INDONESIA



(Bagian Pertama dari Dua Tulisan)

 

 

Manusia biasanya baru tergerak hatinya jika dia berada dalam kondisi terdesak atau kritis. Demikian pula ketika kita bicara mengenai pengakuan negara atas suatu agama atau kepercayaan, yang dianut oleh para pemeluknya. Hal inilah yang menandai perkembangan agama Konghucu di Indonesia, baik sewaktu kepercayaan ini ingin mendapatkan pengakuan di masa Pemerintahan Kolonial, maupun saat rezim Orde Baru berkuasa. Pada artikel kali ini penulis ingin memaparkan apa itu agama Konghucu yang dianut oleh umatnya di Indonesia, dan sampai seberapa konsistennya dengan ajaran Konghucu itu sendiri. Artikel ini kami bagi menjadi dua bagian.

 

Pertama-tama kita tinjau dulu aspek yuridis tentang penetapan agama-agama yang diakui di Indonesia. Dalam Penjelasan Pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965, disebutkan perlindungan hukum diberikan pada enam agama yang dianut, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu: dan tidak berarti bahwa agama lain seperti Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoisme dilarang. Namun kebebasan beragama umat Konghucu mendadak sirna saat Presiden Soekarno lengser, dan rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Pejabat Presiden Soeharto memegang tampuk kekuasaan.

 

Soeharto, melalui Inpres No. 14 Tahun 1967 ia menginstruksikan empat hal pokok: (1) Tata cara ibadah Cina yang memiliki aspek affinitas culturil yang berpusat pada negeri leluhurnya, pelaksanaannya harus dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga dan perorangan. (2) Perayaan-perayaan pesta agama dan adat istiadat Cina dilakukan secara tidak menyolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga. (3) Penentuan kategori agama dan kepercayaan maupun pelaksanaan cara-cara ibadat agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina diatur oleh menteri agama setelah mendengar pertimbangan jaksa agung. (4) Pengamanan dan penertiban terhadap pelaksanaan kebijaksanaan pokok ini diatur oleh menteri dalam negeri bersama-sama jaksa agung. Dengan demikian kesenian barongsai dan tradisi Tionghoa lainnya, termasuk ritual agama Konghucu dilarang ditampilkan di depan publik. Mereka juga dibatasi melakukan peribadatan, seperti melakukan perayaan Tahun Baru Imlek. Bahkan di beberapa tempat umat Konghucu diminta untuk menutup tempat peribadahan mereka.

 

Terlebih ketika ditambah dengan keberadaan Surat Edaran Mendagri No. 477/74054 tertanggal 18 November 1978 tentang pembatasan kegiatan agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina. Dalam bidang pendidikan siswa-siswi yang orang tuanya beragama Konghucu, hanya diperbolehkan memilih lima agama yang diakui oleh Pemerintah. Akibat dari tekanan ini banyak murid Konghucu yang berpindah agama. Tetapi tentunya kasus-kasus pindah-agama, tidak bisa disalahkan sepenuhnya disebabkan oleh kebijakan rezim Orde Baru. Demikian juga pernikahan secara agama Konghucu dinyatakan tidak sah di mata hukum; dengan demikian pasangan yang ingin kawin bisa memilih dinikahkan menurut agama yang diakui oleh Pemerintah. Demikian paranoid-nya Pemerintah pada waktu itu, sampai ada kebijakan aksara Mandarin tidak boleh digunakan oleh warga Tionghoa. Semua nama toko, buku, dan naskah bertuliskan huruf cina harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Mau mendirikan rumah ibadah baru atau sekedar renovasi saja? Ini pun langsung mendapat penolakan dari instansi setempat. Bagaimana jika sampai ada yang melanggar ketentuan-ketentuan tersebut? Siap-siap saja besoknya dia akan dipanggil ke kantor polisi guna diinterogasi. Orang Tionghoa yang memiliki buku beraksara Mandarin, untuk membacanya pun harus dilakukan dengan sembunyi-sembunyi.

 

Ada kisah yang menarik berkaitan dengan kebijakan pemerintah saat itu. Tersebutlah pasangan Budi Wijaya (Po Bing Bo) dan Lany Guito (Gwie Ay Lan), yang telah melangsungkan pernikahan secara agama Konghucu. Setelah mengantongi surat nikah dari Majelis Agama Khonghucu Boen Bio, mereka berdua meminta kepada Kantor Catatan Sipil (KCS) Surabaya untuk mencatatkan perkawinan mereka. KCS menolaknya dan lewat berbagai upaya, usaha keduanya selalu kandas, dan disarankan untuk menikah dengan memilih salah satu dari lima agama yang diakui saat itu. Tentu saja keduanya tak menuruti saran tersebut. Mereka memilih tetap berumah tangga hingga anak ketiga lahir pun, keduanya belum memiliki akta nikah dari kantor catatan sipil. Pasangan Budi-Lany tak tinggal diam. Mereka banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN), gagal; lalu ke Pengadilan Tinggi TUN Surabaya pada tahun 1996. Saat itu usia Budi 32 dan Lany 24. Kali ini dalam persidangan, keduanya didampingi oleh Gus Dur yang saat itu menjabat Ketua Umum PBNU (Gus Dur atau Abdurrahman Wahid, Presiden RI keempat, 1999-2001). Namun upaya hukum mereka tetap saja gagal. Perjuangan tersebut akhirnya membuahkan hasil ketika pada 19 Mei 1997 Budi Wijaya dan istrinya melanjutkan perjuangan mereka dengan menggelar pertarungan babak ketiga: mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) di Jakarta. Perjuangan mereka tak sia-sia. MA menjatuhkan putusan yang memenangkan pasangan penganut Khonghucu ini. MA dalam putusannya memerintahkan KCS untuk mencatat perkawinan Budi Wijaya-Lany Guito sebagai perkawinan Khonghucu. Namun, penting untuk dicatat di sini bahwa putusan MA ini dijatuhkan pada tahun 2000, yang merupakan era pasca-Soeharto, atau tepatnya dua tahun setelah jatuhnya rezim Orde Baru. Memang sungguh mengagumkan perjuangan kedua insan Konghucu yang militan ini.

 

Dan kita pun sudah mengetahui bahwa tidak lama setelah Gus Dur diangkat menjadi Presiden RI, beliau mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 era Soeharto. Dengan Keppres Nomor 6/2000, Gus Dur mengembalikan hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat Tionghoa yang direnggut oleh rezim Orde Baru, yang berkuasa selama 32 tahun. Sehingga, tak heran jika kalangan etnis Tionghoa selalu mengenang sosok Gus Dur pada setiap perayaan keagamaan mereka. Bahkan, Gus Dur juga kerap dijuluki sebagai Bapak Tionghoa Indonesia. Adapun penetapan perayaan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional baru terjadi pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, melalui Keppres Nomor 19 Tahun 2002.

Adalah menarik untuk melihat apa yang dinamakan sebagai agama Konghucu ini di tempat asal kelahirannya, yakni di Tiongkok Daratan. Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 2023 ini memiliki lebih dari 1,4 milyar orang. Menurut Wikipedia, 73.56% penduduk Tiongkok tidak beragama; 15,87% beragama Buddha terutama mazhab Mahāyāna (dan ada sebagian lagi mazhab Tantrayana); 7,6% menganut Taoisme, Sekte Rakyat, dan organisasi keagamaan lainnya; 2,53% penganut Nasrani (Kristen dan Katolik); dan 1,7% Islam. Para cendekiawan menyatakan bahwa di Tiongkok tidak ada batasan yang jelas antara agama-agama, khususnya Buddha, Tao dan praktik agama asli populer lokal. Ajaran Konghucu dikenal sebagai filsafat dan tidak lazim dimasukkan dalam praktik keagamaan. Bahkan keberadaan agama dalam pengertian rakyat Tiongkok sekarang berbeda sekali dengan pemahaman agama di Indonesia. Bercermin dari keadaan yang terjadi di Tiongkok sendiri, dengan kenyataan yang terjadi sekarang; bahwa Konghucu disetarakan dengan lima agama besar yang diakui di Indonesia, maka kita harus menerima bahwa adanya agama Konghucu di Indonesia adalah satu keniscayaan.

 

Jika kita adakan satu survei bagaimana pendapat masyarakat Indonesia tentang agama Konghucu yang mereka kenal, maka mungkin kita akan mendapatkan jawaban seperti ini: "Umat Konghucu itu memiliki meja peribadatan di dalam rumah sendiri. Dalam bersembahyang mereka menggunakan batang-dupa yang dibakar bersama lilin merah, disertai dengan barang sesembahan yang berupa makanan dan minuman, dan diakhiri dengan pembakaran kertas-uang. Jika dua penganut Konghucu bertemu, mereka akan memberi salam dengan bersoja yakni telapak tangan kiri menyelimuti telapak tangan kanan sambil dikepalkan, lalu digerakkan naik-turun; berbeda dengan cara Hindu atau Buddha yang ber-anjali, yakni menangkupkan kedua tangan sejajar di depan dada. Kesenian umat Konghucu adalah atraksi barongsai dan tarian naga. Pada Lebaran-cina orang tua terbiasa memberikan angpao kepada anak atau cucunya, mengenakan pakaian serba merah, dan memasang petasan (kecuali pada zaman sekarang, karena membakar petasan itu dilarang). Umat Konghucu biasanya bersembahyang ke kuil, yang biasanya di dalamnya banyak ditemukan toapekong, dan arsitektur kuil itu mewakili bangunan rumah tradisional Tiongkok. Di kuil yang dinamakan 'kelenteng', mereka membakar batang-dupa dalam jumlah banyak dan lilin merah yang berukuran besar, dan karena asap yang begitu pekat, terus terang kita tidak nyaman berlama-lama di dalam sana. Penganut Konghucu bersembahyang pada toapekong, dengan harapan permintaan mereka dapat dikabulkan. Mereka mementingkan bersembahyang kepada orang tua dan leluhur yang telah meninggal, bahkan sebagian perayaan keagamaan mereka ditujukan untuk memuliakan nenek moyangnya."

 

Jawaban itu diberikan oleh orang luar yang beragama lain, yang hanya mengetahui agama Konghucu sepintas saja. Namun Anda jangan kaget, bahwa ternyata sebagian umat Konghucu yang penulis minta pendapatnya pun memiliki persepsi seperti itu. Penulis akan mencoba membahas kekeliruan pemahaman tersebut. Sebagai contohnya kita lihat dulu posisi 'kelenteng', yang dikatakan sebagai rumah ibadah yang digunakan oleh umat Konghucu. Padahal, ini jelas tidak tepat. Seperti pendapat yang mengatakan bahwa penganut Konghucu pergi ke kelenteng dan berdoa di hadapan toapekong atau dewa.

 

Sebetulnya dalam tradisi orang Tionghoa hanya dikenal tiga macam kuil, yakni (1) kuil Buddhis, (2) kuil Taois, dan (3) kuil yang dibangun bukan untuk memuja para dewa, melainkan untuk memperingati seseorang yang semasa hidupnya telah banyak berjasa bagi orang banyak, dan menjadi panutan bagi masyarakat. Khusus pada kuil golongan ketiga ini merupakan tempat yang istimewa, yang tidak dikenal keberadaannya pada bangsa-bangsa lain. Kuil ini merupakan wujud pengaguman dan penghargaan rakyat atas nilai kemanusian menurut ukuran zaman itu.

 

Rumah ibadah umat Konghucu yang utama adalah 孔廟 (kǒng miào), atau Kuil Konghucu, atau Confucius Temple (Ingg.). Miào atau Bio (Hokkian) sering diterjemahkan sebagai 'kelenteng'. Kǒng miào memiliki ciri khas, yakni di dalam bangunan ini hanya ada kim sin atau rupang Guru Kǒng. Di dalam altar utama kuil ini terdapat banyak tulisan yang dikenal sebagai 神柱 (shén zhù) papan penghormatan Guru Kǒng (孔子, Kǒng Zǐ) serta para siswanya yang terkenal. Bangunan kǒng miào yang tertua di Indonesia terdapat di kota Surabaya yang dikenal dengan "Boen Bio" sedangkan di Jakarta kuil Konghucu terdapat di Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

 

Boen Bio sendiri bermakna "Kuil Kesusastraaan". Awalnya kuil ini bernama "Boen Thjiang Soe", yang berdiri tahun 1883. Pada tahun 1903 Kang You Wei, seorang reformis dari Tiongkok, berkunjung ke kuil ini dan dia mengusulkan agar kuil yang berada di perkampungan ini diperluas dan dipindahkan ke pinggir jalan besar. Setelah mendapat sumbangan tanah seluas sekitar 500 meter-persegi dari majoor der Chinezen The Toan Ing, maka pengurus lalu memulai pembangunan dan relokasi. Biayanya ditutup dari derma serta sumbangan uang hasil denda yang diperoleh para saudagar Tionghoa yang memenangkan perkara hukum di pengadilan. Pemugaran kembali akhirnya selesai tahun 1906 dan menjadi bangunan yang bisa kita saksikan sekarang ini. Boen Bio yang megah, sekarang berlokasi di Jalan Kapasan 131, Surabaya, bisa Anda kunjungi jika berkunjung ke ibukota Jawa Timur ini. Kuil ini penuh dengan ornamen dan simbol-simbol keagamaan, dengan salah satu di antaranya adalah Genta atau Lonceng dengan pemukul dari logam. Umat Konghucu mestinya tahu bahwa 木鐸 (mù duó, atau Bok Tok, Hokkian) atau genta adalah simbol agama Khonghucu yang ada di Indonesia. Kǒng Zǐ sendiri mendapat gelar "Tianzi Mu Duo", yang berarti "Sang Genta Rohani Tuhan".

 

Selain kǒng miào, umat Konghucu juga mengenal 禮堂 (lǐ táng); arti harafiahnya: "Ruang Ibadah"; Lǐtáng adalah nama tempat ibadah agama Khonghucu yang banyak terdapat di Indonesia. Saat ini sudah ada lebih dari 250 Lǐtáng yang tersebar di seluruh Indonesia yang berada di bawah naungan Matakin atau Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (印尼孔教總會, Yìnní kǒng jiào zǒng huì). Umat Khonghucu biasanya melakukan ibadah di Litang setiap tanggal 1 dan 15 penanggalan Imlek. Namun ada pula yang melaksanakannya pada hari Minggu dan hari lain, yang disesuaikan dengan kondisi dan keadaan setempat. Upacara-upacara hari keagamaan lain seperti peringatan Hari Lahir Guru Kǒng (至聖誕, Zhì shèngdàn) pada tanggal 27 bulan ke-8, Hari Wafat Guru Kǒng (至聖忌辰, Zhì shèng jìchén) pada tanggal 18 bulan ke-2, Hari Tangcik (冬至, Dōngzhì) atau Genta Rohani pada tanggal 22 Desember, dan Tahun Baru Imlek (春節, Chūnjié) pada tanggal 1 bulan ke-1, biasanya dirayakan di Lǐtáng oleh umat Konghucu.

 

Jadi ada perbedaan yang nyata antara kǒng miào dan lǐtáng dengan kuil-kuil Buddhis dan Taois. Di Jakarta kuil Buddhis (Mahāyāna) yang paling tua adalah Kuil Kim Tek Ie atau Jīn Dé Yuàn (金德院), yang terletak di kawasan Glodok. Kuil ini didirikan pada tahun 1650 dan dinamakan Kwan Im Teng. Mungkin karena terdengar asing, warga bumiputera di Batavia mengucapkannya menjadi 'kelenteng', dan jadilah nama tersebut dipakai untuk menyebut rumah ibadah cina. Kuil Kim Tek Ie awalnya adalah kuil Buddhis dengan altar utama Buddha Shakyamuni atau 释迦牟尼 (Shì jiā móu ní), tetapi belakangan menghadirkan dewa-dewi lain. Sebutan lain adalah Ji Lai Hud (Hokkian), yang merupakan terjemahan dari Tathāgata, yakni dari kata Rúlái (如来). Mengapa disebut demikian? Karena patung Buddha di rumah orang Tionghoa pada masa itu dinamakan Ji Lai Hud. Di kuil Buddhis juga terdapat berbagai arca Bodhisattva, dan yang paling banyak dipuja adalah sosok Guānyīn. Salah satu kuil yang usianya telah melebihi satu abad adalah Kwan Im Tong Mangga Besar, yang didirikan pada 22 Juni 1916, dan sekarang masih banyak dikunjungi umat Buddha.

 

Kuil Taois yang berdiri sendiri atau tidak tercampur dengan tradisi Buddhis dan Konghucu, misalnya Taokwan Tài Qīng Gōng (太清) yang beralamat di Jl. Dukuh Kupang Barat I, Surabaya. Di altar utama terdapat _kim sin_ Mahadewa Tài Shàng Lǎo Jūn (太上老君), dan masih ada dewa-dewi Tao yang lain seperti Dewa Hok Tek Ceng Sin atau Dé Zhèng Shén (福德正神), Dewi Jiǔ Tiān Xuán Nǚ (九天玄女), Dewa Èr Láng Shén (二郎神), dan lain-lain. Sekarang kuil-kuil Tionghoa yang disebut kelenteng itu kebanyakan merupakan campuran dari berbagai tradisi, dan mayoritas dikelola oleh Perkumpulan Tridharma. Tridharma sendiri menyebut kuil-kuil tersebut sebagai "TITD", alias "Tempat Ibadah Tridharma".

 

Selain kuil-kuil, yang menjadi rumah ibadah orang Tionghoa, ada satu bangunan yang didirikan untuk melaksanakan ajaran dari Guru Kǒng, yakni keberadaan rumah-rumah abu. Inilah satu bangunan yang digunakan untuk menaruh "papan arwah", yang karena satu atau lain hal, keluarga yang bersangkutan tidak dapat memeliharanya. Kasus ini biasanya terjadi pada orang yang merantau ke tempat yang jauh, dan dia kesulitan untuk membawa serta papan arwah leluhurnya. Bisa jadi pula orang tersebut jatuh miskin, sehingga dia tidak dapat merawat dan menyembahyanginya. Dalam kondisi demikian, orang yang bermasalah ini dapat menaruh papan arwah orang tua dan leluhurnya ke rumah abu, agar diurus oleh saudara mereka. Tentu saja syaratnya, orang tersebut memiliki marga yang sama dengan pemilik rumah abu itu. Rumah abu ini ukuran maupun bentuknya menyerupai sebuah kuil. Di Jakarta misalnya pada abad yang lalu ada Rumah Abu Orang She Tan (atau Chén, ) yang berlokasi di Jl. Blandongan Seberang. Dalam rumah abu ini leluhur orang marga Tan dari pihak ayah, papan arwahnya disimpan di sana, dan orang memanggil mereka semua dengan sebutan "Kongco". Di kota-kota besar di Indonesia masih bisa kita temukan rumah abu marga Lao, marga Thio, marga Tjoa, dan lain-lain.

 

Sampai di sini mungkin Anda sekalian bisa memahami, bahwa rumah ibadah orang Tionghoa ternyata cukup beragam, dan tidak semuanya bisa dikategorikan sebagai tempat bersembahyangnya umat Konghucu. Masih diperlukan studi lebih lanjut untuk menentukan, apa itu sebetulnya agama Konghucu, seperti yang diwartakan oleh Guru Kǒng. Sebagai penutup, penulis mengutip tulisan Kwee Tek Hoay (1886 - 1951) dalam artikelnya: Penjiaran Agama atawa Pelajaran Batin, berikut ini.

 

"Tentang philosofie dari Buddha dan Laotze jang begitoe bagoes dan tinggi, ia orang blon perna bitjaraken, dan paling banjak, kaloe diminta dengan sanget, ia orang adjarin pada orang-orang jang pertjaja Taopekong, bagimana moesti berdowa atawa liamking, zonder ambil poesing boeat terangin apa arti atawa maksuoednja itoe perkataan jang dioetjapken, … Djadinja, sebagi poeset penjiaran Buddhisme dan Taoisme, itoe klenteng-klenteng dengan iapoenja padri-padri ada sama djoega gagalnja seperti Kong Kauw Hwee poenja toedjoean boeat kembangken Khong Kauw atau Confucianisme.” (Moestika Dharma 4, Juli 1932, hal. 114).

 

 

(Bersambung)

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/230628


Kamis, 15 Juni 2023

KEHIDUPAN ORANG TIONGHOA TEMPO DULU DI NUSANTARA



Hingga saat ini masih sulit untuk memastikan sejak kapan orang Tionghoa dari Daratan Tiongkok bermigrasi ke Indonesia. Dugaan awal masuknya etnis Tionghoa di Nusantara diketahui berkat penemuan benda arkeologi. Dilansir dari buku Tionghoa dalam Pusaran Politik yang ditulis sejarawan Benny G Setiono, penemuan benda kuno yang memperlihatkan awal masuknya bangsa Tiongkok antara lain tembikar di Jawa Barat, Lampung, dan Kalimantan Barat. Penemuan sejumlah benda arkeologi itu memperlihatkan bahwa besar kemungkinan terjadi lalu lintas pelayaran, yang dilakukan masyarakat Tionghoa di Daratan Tiongkok dengan rakyat Nusantara. Catatan tertulis yang merupakan bukti sejarah paling tua berasal dari Fǎ Xiǎn (, 337 - 422), seorang biarawan sekaligus penjelajah yang dari tahun 399-414 melakukan perjalanan ke India dan Nusantara. Pengelana lainnya adalah Yì Jìng (義淨, 635 - 713, sering ditulis 'I Tsing'), yang pernah mengunjungi Kerajaan Sriwijaya di Sumatera pada tahun 671. Catatan dan penuturan dari Fǎ Xiǎn dan Yì Jìng inilah, yang menjadi satu-satunya sumber sejarah untuk mengetahui keadaan di Sumatera dan Jawa di masa lampau.

Menurut peneliti Nurni Wahyu Wuryandari, dari Pusat Studi Cina Universitas Indonesia di situs historia.id, memperkirakan, bahwa bangsa Tionghoa datang ke Indonesia pada abad ke-7 Masehi pada masa Dinasti Táng. Sedangkan rute perjalanan ke Nusantara baru bisa dijabarkan secara lengkap dalam catatan sejarah Dinasti Sòng pada tahun 960, yang menyebutkan Jawa terletak di Samudera Selatan. Orang-orang Tionghoa yang pergi dari Daratan Tiongkok biasanya memiliki tujuan untuk berdagang, dan keterampilan dalam bidang perniagaan telah dikuasai oleh orang Tionghoa dengan baik sejak Zaman Kuno. Sejarah mencatat bahwa pada saat Kesultanan Banten sedang berjaya, Sultan Agung Tirtayasa (1631 – 1692) mengundang orang-orang Tionghoa untuk berniaga di kesultanannya. Cloude Guillot dalam bukunya Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII menulis Kiai Ngabehi Cakradana sebagai arsitek pembangunan Abad ke-17. Awalnya, Cakradana yang bernama asli Tantseko adalah seorang pandai besi keturunan Tionghoa. Dia dekat dengan dengan Sultan Ageng Tirtayasa. Menjadi orang kepercayaan urusan perdagangan maritim, Cakradana diangkat menjadi syahbandar Pacinaan pada 1671 di Banten. Pada masa itu dibangun tiga jalan yang dibangun cukup baik, dan pada masing-masing sisi ada 20 rumah bata dan toko untuk menampung orang Tionghoa. Pada dekade 1660 hingga 1670-an itulah Kesultanan Banten mengalami zaman keemasan. Salah satu bangunan peninggalan masa itu yang masih berdiri hingga kini adalah Vihara Avalokitesvara, yang dibangun di dekat Masjid Agung Banten.

Dalam melakukan perjalanan panjang dari negeri leluhur hingga mencapai berbagai pelabuhan di Nusantara, orang-orang Tionghoa umumnya berangkat bersama dengan kerabat atau kenalan sekampungnya, dan mereka terdiri dari para lelaki muda. Jarang sekali mereka membawa perempuan. Dari rombongan ini ada orang yang singgah di satu tempat, kemudian setelah urusan berdagang selesai, mereka menunggu kapal lain yang akan kembali ke Tiongkok. Namun ada juga orang yang memilih untuk menetap di negeri yang baru ini. Mereka yang menetap setelah sukses menafkahi dirinya sendiri, biasanya akan mencari pasangan hidup, dan mereka memilih perempuan bumiputera untuk dijadikan isteri. Anak-anak yang dilahirkan dari pasangan campuran ini dinamakan 'peranakan'. Kelak perempuan-peranakan ini setelah dewasa bisa memilih untuk menikahi lelaki sesama peranakan, atau lelaki muda yang berasal dari Tiongkok Daratan.

 

Mengapa orang Tionghoa yang mengembara ke berbagai negeri, atau kita sebut Tionghoa perantauan itu, bisa sukses di negeri yang sesungguhnya asing bagi mereka? Sering dikatakan orang bahwa mereka adalah orang yang rajin, gigih, dan ulet dalam bekerja. Mungkin ini sudah menjadi sifat bawaan orang Tionghoa sejak lahir. Pada waktu seorang Tionghoa mulai menjalankan bisnis, pantang bagi mereka untuk bersantai atau beristirahat sewaktu membuka usaha. Hari libur pun mereka akan tetap membuka toko. Dengan begitu pundi-pundi simpanan mereka akan bertambah dari waktu ke waktu. Selanjutnya kehidupan mereka sehari-hari amat sederhana, makan secukupnya serta mengenakan pakaian yang seadanya; dan jika ada kelebihan, uangnya akan dibelanjakan nanti. Jadi berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Pada waktu penulis masih kecil sering diceritakan oleh famili yang lebih tua, bahwa kebanyakan orang Tionghoa pada zaman itu lebih memilih makan bubur ketimbang makan nasi. Alasannya? Dengan jumlah takaran beras yang sama, akan didapat porsi makanan yang lebih banyak, dan berarti mampu memberi makan lebih banyak mulut. Maklum keluarga pada zaman itu memiliki anak yang banyak, tidak sama dengan generasi yang kemudian. Faktor lain mengapa etnis Tionghoa bisa sukses adalah, meskipun mereka memiliki cukup banyak uang, mereka menghindari untuk hidup mewah. Jadi berhemat sudah menjadi pedoman yang selalu harus dipegang.

 

Di atas sudah disebutkan bahwa keahlian perantauan Tionghoa ada di bidang perdagangan atau perniagaan. Namun janganlah Anda salah sangka. Banyak dari para perantau ini yang berasal dari kalangan petani, dan mereka ini ahli dalam bercocok tanam. Jan Hooyman dalam laporannya yang diterbitkan oleh Kunsten en Wetenschappen (Perhimpunan Seni dan Pengetahuan Belanda) pada akhir abad ke-18 mencatat, bahwa setiap tahun sekitar 1.200 sampai 1.300 orang Tionghoa diangkut dalam jung-jung yang datang berdagang ke Batavia. Ketekunan dan keahlian mereka dalam bidang pengolahan tanah dimanfaatkan oleh Kongsi Dagang Hindia Timur atau yang lebih dikenal sebagai VOC (atau orang bumiputera menyebutnya 'Kumpeni'). Pada saat itu VOC belum menaklukkan seluruh tanah Jawa. Upaya itu dilakukan setelah tahun 1741 ketika Gubernur Jenderal Van Imhoff (8-Agu-1705 - 1-Nov-1750) menyerahkan pengolahan tanah kepada orang Tionghoa. Hasilnya sebagaimana dicatat oleh Hooyman, rumpun tebu dan kacang tanah bisa tumbuh subur di pinggiran Batavia. Melihat etos kerja mereka, Hooyman mengimbau kepada orang-orang Belanda agar dapat belajar dari orang Cina, bagaimana dengan ketekunan mereka tanaman budidaya itu bisa tumbuh dengan baik.

 

Orang-orang Tionghoa yang merantau ke Nusantara membawa keahlian pertanian mereka ke tempat tinggal mereka yang baru. Salah satu yang dibawa adalah tanaman dari negeri mereka, seperti kacang kedelai dan bawang putih. Belakangan di tanah Jawa kedua tanaman itu dibudidayakan, namun karena karena keduanya merupakan tanaman dari daerah beriklim sedang, hasilnya tidak memuaskan. Bawang putih lokal tidak sebesar aslinya yang berukuran besar, demikian juga dengan panen kedelai yang hasilnya tidak berlimpah-ruah dibandingkan jika ditanam di wilayah asalnya. Pada Prasasti Watukara yang bertarikh tahun Saka 824 (atau 902 M) disebutkan kata "tahu", yang kemungkinan berasal dari kata 豆腐 (Dòufu, atau Tau-hu dalam bahasa Hokkian), yang bermakna "kedelai fermentasi". Jadi tahu sudah dikenal oleh orang Jawa pada masa itu dan tanaman kedelai sudah mulai dibudidayakan oleh petani lokal. Dengan bermukimnya orang-orang Tionghoa, mereka juga memperkenalkan sayuran yang lazim ditanam di negeri mereka. Maka tidak heran jika di pasar-pasar rakyat di Nusantara mulai dijual kucai, lokio, lobak, caisim, kailan, lengkeng, leci hingga cincau. Demikian juga daun teh yang berasal dari Tiongkok, bisa ditanam di berbagai dataran tinggi di Jawa dan Sumatera, kemudian menjadi komoditi yang penting di masa pemerintahan Hindia Belanda.

 

Di Jawa dan Sumatera para perantau Tionghoa juga mengajarkan keterampilan mereka dalam mengolah makanan. Pada saat itu dalam mengolah makanan mentah menjadi makanan matang, penduduk bumiputera hanya merebus dan memanggang (atau membakar). Merebus sudah biasa dilakukan karena beras harus dimasak dulu di dalam belanga, lalu dikukus dalam bejana tertutup. Memanggang atau membakar dilakukan untuk mengolah daging dan ikan. Orang Tionghoa mengajarkan penduduk lokal cara menggoreng (atau teknik deep fry) dengan menggunakan minyak, dan juga menumis yakni memasak secara cepat menggunakan sedikit minyak dan air. Selanjutnya kuliner Tionghoa banyak mempengaruhi masakan nusantara. Seperti kebiasaan orang Tiongkok yang tidak mau makan nasi dingin, dan untuk membangkitkan selera makan, mereka menggoreng nasi itu dengan sedikit bumbu dan disertai sayuran atau daging; maka jadilah nasi goreng. Juga makanan olahan seperti mie dan bakso, dibawa oleh perantau Tionghoa. Siapa nyana, sekarang nasi goreng, bakmi, dan bakso menjadi makanan yang populer dan disukai oleh masyarakat Indonesia.

 

Memasuki abad ke-20 masyarakat kelas menengah Tionghoa di Hindia Belanda telah banyak meninggalkan profesi bertani. Menurut Mackie dan Wang dalam Perubahan Identitas Orang Cina di Asia Tenggara, 1991, disebutkan bahwa dalam bidang perdagangan pada tahun 1930-an orang Tionghoa di Indonesia mendominasi perdagangan eceran, juga grosir serta ekspor-impor pada tingkat yang lebih rendah. Di sektor keuangan tingkat bawah mereka aktif dalam usaha peminjaman uang dan pegadaian. Di bidang manufaktur, pengusaha Tionghoa mendominasi usaha penggilingan beras, pengolahan hasil pangan, pabrik es, rokok kretek, batik, dan usaha tekstil. Di bidang jasa dan profesi golongan Tionghoa yang terpelajar mulai bekerja sebagai pengacara, dokter, dokter gigi, akuntan, serta guru dan dosen. Dengan keahlian dan pengalamannya, mereka juga menjadi pengusaha restoran, binatu, dan pangkas rambut. Sebagian lagi sukses sebagai wartawan, penulis, penyanyi, bintang film, dan olahragawan. Tenaga buruh kasar Tionghoa yang tadinya bekerja di sektor perkebunan dan pertambangan sedikit demi sedikit tergantikan oleh para pekerja dari Jawa.

 

Tentu timbul pertanyaan, apa yang membedakan etnis Tionghoa dengan bangsa-bangsa lain di dunia? Tentu saja ini berakar dari kebudayaan dan adat istiadat bangsa Tiongkok. Salah satu yang membedakan bangsa Tionghoa dengan bangsa-bangsa lain adalah pemujaan leluhur. Konon pemujaan ini sudah dilakukan oleh para kaisar zaman kuno. Mereka membangun kuil yang megah untuk menyimpan dan merawat abu leluhurnya. Abu yang dimaksud bukanlah berasal dari pembakaran jenazah leluhur yang bersangkutan, karena biasanya jenazah seorang kaisar dikuburkan. Abu ini berasal dari sisa-sisa pembakaran dupa yang ditampung dalam sebuah bokor dan ditaruh di hadapan papan arwah leluhur tersebut.

 

Pemujaan leluhur oleh orang Tionghoa dilakukan dengan menempatkan sebuah meja abu, yang ditempatkan di ruang depan atau ruang tengah di dalam rumahnya. Meja abu ini berupa sebuah meja panjang yang tinggi, diapit oleh dua buah meja yang lebih pendek, dan ketiga meja itu berwarna merah. Di atas meja panjang itu diletakkan tempat untuk menancapkan dupa yang disebut hiolou. Hiolou terbuat dari timah, berkaki empat, dan berkuping di kiri dan kanannya. Di bagian depannya terukir sebuah karakter Mandarin yang berbunyi (Xǐ) yang bermakna kebahagiaan. Di samping kiri dan kanan hiolou ini ditaruh dua buah pelita, dan di masa kini kedua pelita itu digantikan dengan lampu berwarna merah. Di ujung meja panjang itu terdapat sebuah kotak panjang yang berisi batang-dupa dan juga lilin-lilin berwarna merah. Dalam keluarga kaya meja abu ini pada hari-hari persembahyangan dihiasi dengan jambangan-jambangan berisikan bunga segar. Sedangkan pada orang yang kurang mampu mereka memperindah meja abu dengan bunga terbuat dari kertas, yang diganti setahun sekali menjelang hari Tahun Baru Imlek. Pada keluarga dari kalangan bawah meja abu yang mereka miliki pun sederhana dan biasanya terbuat dari satu meja saja. Inilah tempat orang Tionghoa memuja leluhurnya.

 

Setiap tanggal 1 dan 15 penanggalan Imlek diadakan upacara sederhana. Mereka setidaknya menyiapkan air teh dan juga manisan atau permen, lalu mempersembahkan paling tidak satu cangkir teh di setiap papan arwah. Lilin-lilin merah dinyalakan, lalu kepala keluarga membakar batang-dupa sebanyak tiga buah dan bersujud di ambang pintu depan dengan menghadap ke luar. Selesai berdoa dan bersoja, yakni kedua telapak tangan dirangkapkan, diangkat setinggi dada, dan digerakkan naik turun. Penyembahan ini ditujukan kepada para dewata. Setelah selesai tiga batang-dupa itu ditancapkan di ambang pintu depan, dan pintu dibiarkan terbuka. Setelah itu barulah kepala keluarga membakar dua buah batang-dupa, berdoa dan bersujud di hadapan meja abu, dan diakhiri dengan bersoja dan menancapkan dupa tersebut di dalam hiolou. Setelah kepala keluarga melakukan ritual sederhana ini, kemudian persembahyangan dengan cara yang sama diikuti pula oleh anggota keluarga yang lain. Demikian selesailah sudah persujudan pada leluhur yang dilakukan dua kali dalam sebulan.

 

Menurut Nio Joe Lan dalam bukunya Peradaban Tionghoa Selayang Pandang, (terbitan 2013), terdapat dua anggapan mengenai pemujaan leluhur bagi masyarakat Tionghoa. Anggapan pertama memandang arwah manusia akan hidup terus. Dengan memujanya diharapkan arwah leluhur akan melindungi keturunannya dari malapetaka. Dari sini timbul keinginan untuk menjalin hubungan antara orang yang hidup dengan orang yang telah meninggal. Anggapan kedua, mereka melihat dalam pemujaan leluhur itu merupakan peringatan terhadap keberadaan almarhum atau almarhumah, ayah dan ibu, kakek dan nenek, dan seterusnya, yang telah memberikan hidup kepada mereka. Lebih lanjut, orang Tionghoa tidak berkaul atau memohon sesuatu kepada 'abu-leluhur'-nya, yang dipeliharanya di dalam rumah. Kebanyakan dari mereka hanya memohon restu dari leluhurnya untuk melancarkan tugasnya sehari-hari. Jika ingin berkaul orang Tionghoa biasanya akan pergi ke sebuah kuil.

 

Selain bersembahyang pada tanggal 1 dan 15, orang Tionghoa juga menganggap penting perayaan festival keagamaan, yang diadakan pada hari-hari tertentu. Sebagai penutup tulisan ini kami kutip persembahyangan bulan ketujuh, yang ditujukan untuk memberikan persembahan makanan kepada arwah keluarga yang terlahir-kembali di alam yang menyedihkan, dan juga kepada arwah-arwah terlantar. Penulis mengutipnya dari buku yang dikarang oleh Tjoa Tjoe Koan, yakni Hari Raja Orang Tjina, terbitan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Albrecht, 1887, halaman 74-76, berikut ini:

 

"Pada tanggal 15 Tjit Goèh (boelan ka-7) iaitoe akan hari mawlidnja (lahirnya) Tiong Goan Te Koan, membri ampoen pada sekalian manoesia dan njawa-njawa orang mati ampoenja dosa. Padri-padri dari agama Hoet Kau (Buddhisme) pada itoe hari sama bikin 'Phò Tò Hwee' iaitoe membri sedekah bagi sjetan-sjetan atau njawa-njawa orang mati, yang soedah terlentar atau jang tiada poenja toeroenan, supaja bisa lekas menitis djadi manusia lagi. Itoe sembahjangan djoega disebut aken namanja 'I lan Phoen Hwee', hal ikhwalnja begini: Seorang Hoet (Boeddha) tatkala dzaman dhoeloe kala bernama Bok Lian, betoelin tanggal 15 Tjit Goèh, dia dapat lihat mamanja jang soedah meninggal doenia bercampoer makan pada sjetan-sjetan jang lapar, maka Boeddha itu amat sedih dan ngeri dalam hatinja, maka pada tanggal 15 Tjit Goèh iapoen lantas bikin sedekah pakai sajoer-sajoeran dan boeah-boeah, tertaroeh di dalam paso (perkakas dari tanah), tersembahjangken pada sekalian dewa-dewa. Oleh lantaran itoe, baharoelah mamanja di acherat bisa dapet makan. Itoe 'I lan' ada bahasa dari agama Hoet (Boeddha) artinja: menoeloeng pada njawa-njawa orang mati jang tergantoeng njoengsang (kepala ada di bawah kaki ada di atas) dan 'Phoen' artinja paso, iaitoe perkakas jang diperboeat dari pada tanah, mendjadi artinja perkakas boeat menoeloeng bagi njawa-njawa orang mati jang tergantoeng njoengsang."

 

Lebih jauh Tjoa Tjoe Koan menjelaskan bagaiman melaksanakan ritual sembahyang arwah tersebut: "Di dalem boelan ka-7 ini (Tjit Goèh), bangsa kita di Soerakarta, samoea sama bikin sembahjang leloehoernja (orang toea-toeanja jang sudah meninggal doenia) jang orang namain sembahjang 'Tjit Goèh Poa' (pertengahan boelan ka-7). Itoe sembahjangan dibikin waktoe sore antara djam 3-4, ada di masing-masing medja aboe dari leloehoernja. Di medja teratoer: 1 pasang lilin merah terpasang api menjala; 3 piring isi ikan, babi, ajam dan bebek (itik) boelat jang sudah direbus; piring isi koewih Sioe Koe, Hoat Kwee, Bi Ko, dan boeah pisang; 12 ataoe 24 piring isi warna roepa koewih-koewih dan boeah-boeah; 12 ataoe 24 mangkok isi warna roepa ikan-ikan masakan; 1 piring kecil isi sirih dan roko; 1 tjenap isi manisan; 1 tjangkir teh; 1 glas arak; 1 mangkok isi nasi; 1 pasang soempit; 1 sendok. (teh, arak, nasi, soempit, dan sendok banjaknja menoeroet banjaknja leloehoer (nenek datoe) jang disembahjangin). Dan di hadepan medja itoe terhamparken (gelar) sabidang permadani. Sasoedahnja teratoer samoea dan lantas disembahjangken, bermoela anak lelaki jang soeloeng (pembarep), setelah sodjakan doepa (hio) lantas berloetoet dan gelas terisi arak, tertoeang di Bao Sé Poa atau di tanah, lantas terisi arak lagi tertaroeh di hadepan tempat aboe, setelah berloetoet 4 kali, lantas tjoetjoe-tjoetjoe dan lain-lain sanak soedara berganti sembahjang djuga pasir poetih dan alang-alang poetih. Djikaloe doepa jang terpasang di tempat aboe itoe soedah ampir abis, itoe sesadjen lantas dioendoerkan sementara itu bakar kertas Ko Tjoa, dan Gin Poh Ko Tjoa ada di djalan raja depan roemah, dengan ditjoerahin arak 3 koelilingan dan semangkok sajoer tertjampurin sedikit ikan dan koewih, tertaroeh dalam bakaran kertas itoe."

 

Perlu penulis garisbawahi, bahwa ritual sembahyang bulan ketujuh ini sekarang masih dilakukan di lingkungan keluarga Tionghoa. Tentu saja sudah dimodifikasi, disederhanakan, dan disesuaikan dengan perkembangan zaman.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/230614



Kamis, 01 Juni 2023

PELEPASAN AGUNG


 


Pada episode yang lalu, dikisahkan Siddhārtha, sang pangeran Shakya, melihat "tiga penampakan", tanpa bisa dicegah oleh siapa pun. Setelah kejadian itu ayahnya, Śuddhodana, memperkuat penjagaan di istana agar penyusup tidak dapat menerobos masuk dan sang putera mahkota tidak bisa ke luar begitu saja. Sekarang sang pangeran telah mengetahui sisi gelap kehidupan; bahwa tidak ada satu pun makhluk yang bisa menghindari usia tua, sakit, dan mati.

 

Siddhārtha yang dulu lain dengan Siddhārtha yang sekarang, jika kita boleh membandingkannya. Dulu, sang pangeran begitu dekat dan akrab dengan para pembantu wanitanya, yakni para abdi istana, mereka yang melayani dan menghibur dirinya. Demikianlah hari itu sang pangeran hendak pulang dan sudah berada di dekat istananya. Seorang gadis muda mendekat dan memberikannya salam dengan merangkulkan kedua lengannya. Gadis muda lainnya mencoba menghentikannya dan menawarinya sekuntum bunga teratai. Yang lain, seorang penyanyi bersuara merdu melantunkan lagu: "Lihatlah, sayangku. Pohon ini ditutupi dengan bunga, yang kuntum-kuntum harumnya menutupi seluruh dahannya. Sang burung langka melantunkan dendang bahagia, walaupun dia berada di dalam sangkar emas. Dengarkanlah kawanan lebah, melayang di atas bunga-bunga; mereka bekerja keras mencari nektar, digerakkan oleh semangat yang membara. Lihatlah tanaman merambat itu, yang dengan hangat memeluk sang pohon; dan angin sepoi-sepoi menggoyang-goyangnya dengan tangannya yang cemburu. Di sana, di rawa yang permai itu, apakah dikau melihat sebuah kolam perak yang sedang tidur? Lihatlah wajah elokku, yang sedang tersenyum; laksana gadis yang dibelai oleh sinar rembulan."

 

Tapi sang pangeran tidak tersenyum, dia berjalan terus dan bersikap acuh tak acuh. Udayin, seorang sahabat karib Siddhārtha, menegurnya, "Mengapa kamu begitu tidak sopan terhadap gadis-gadis itu? Apakah mereka tidak menarik lagi bagimu? Tunjukkanlah sikap ramah tamah dan sopan santunmu kepada mereka." - "Jangan coba-coba menggodaku, Udayin. Jangan ajak aku mengikuti hiburan yang rendah. Usia tua dan kematian sedang menantiku." Pangeran pun kembali ke istana. Raja Śuddhodana mendengar dari Udayin, bahwa puteranya menghindari semua kesenangan, dan malam itu dia tidak bisa tidur.

 

Yaśodharā sedang menunggu suaminya. Namun begitu tiba di istana, Siddhārtha langsung menghindar. Perilakunya yang ganjil membuat dirinya cemas, dan karena merasa tubuhnya letih, dia akhirnya tertidur. Dalam tidurnya dia bermimpi. Tampak seluruh bumi berguncang; gunung tertinggi pun goyah; angin ribut bertiup, menghancurkan dan menumbangkan pepohonan. Matahari, bulan, dan bintang tak kuasa bertahan di singgasananya; dan semuanya berguguran dari langit ke bumi. Dia sendiri, Yaśodharā, dilucuti pakaian dan perhiasannya; mahkota indah yang biasa dikenakannya turut lenyap; dia pun telanjang. Rambut indahnya terpotong; peraduan sang raja-muda dan permaisuri ikut berantakan; jubah elok pangeran beserta batu mulia yang disulam di permukaannya pun berserakan. Tampak meteor-meteor melesat melintasi langit di atas kota yang gelap; dan Meru, sang raja pegunungan, tampak gemetar ketakutan.

 

Dalam terjangan teror yang tidak berkesudahan, Yaśodharā terbangun. Dia berlari ke dalam pelukan suaminya. "Tuanku, tuanku," serunya, "apa yang akan terjadi? Daku baru saja mengalami mimpi buruk!" - "Ceritakanlah mimpimu," jawab sang pangeran yang masih terjaga di kamarnya. Yaśodharā menceritakan semua yang dialami dalam mimpinya. Pangeran, sang suami tercinta, hanya tersenyum. - "Bersukacitalah, Gopā," katanya. Pangeran memanggilnya dengan nama kecil isterinya. "Bersukacitalah. Engkau melihat bumi berguncang? Hal itu bermakna, suatu hari para dewa itu akan bersujud di hadapanmu. Engkau melihat matahari, bulan, dan bintang berjatuhan dari langit? Itu artinya engkau akan segera mengalahkan kejahatan, dan selanjutnya engkau akan menerima pujian yang tak-terbatas. Gopā melihat pohon-pohon tumbang? Itu penanda Gopā akan menemukan jalan, yang menghantar ke luar dari rimba-keinginan. Rambutmu terpotong pendek? Maknanya, engkau akan membebaskan diri dari jaring nafsu yang membelenggumu. Jubah milikku dan perhiasanku tercerai-berai? Artinya saat itu aku sedang berada di jalan yang menuju pada pembebasan. Meteor-meteor melaju melintasi langit di atas kota yang gelap? Meramalkan bahwasanya aku akan membawa cahaya kebijaksanaan, dan mereka yang memiliki keyakinan pada diriku, akan menemukan kegembiraan dan kebahagiaan. Berbahagialah, wahai Gopā. Singkirkanlah kecemasan dan kemurunganmu. Engkau akan segera mendapatkan kehormatan. Tidurlah, Gopā. Tidurlah, engkau sesungguhnya baru saja mendapatkan mimpi yang indah."

 

Tiga bulan waktu berlalu dan tidak ada hal yang luar biasa terjadi di kotaraja, dan para warga di sana pun kembali tenggelam dalam rutinitas kehidupan sehari-hari. Sampailah saatnya ketika sang pangeran berjalan-jalan menuju taman utama melalui gerbang utara kota. Ketika Siddhārtha beserta Channa, pengiringnya yang setia, tiba di sana; sesosok dewa Tuṣita sekonyong-konyong turun dari kahyangan, lalu menjelma menjadi seorang petapa, yang mendatangi mereka berdua dari kejauhan. Sang pangeran tertegun menyaksikan sosok orang yang sedang berjalan ke arah mereka:

 

Seorang lelaki muda dengan rambut, kumis, dan janggutnya tercukur habis,

Mengenakan jubah safron dan tangannya membawa sebuah mangkuk-sedekah;

Gerak-geriknya saat dia berjalan begitu anggun, dan raut wajahnya berseri-seri,

Saat dia berjalan matanya menatap lurus ke depan sejauh enam kaki.

 

Saat dia merentangkan tangan dan kakinya, dia melakukannya dengan dengan elok,

Begitu juga ketika dia sedang berjalan, membungkuk, dan merapikan jubahnya;

Dia melakukan semuanya dengan apik dan sempurna,

Seluruh penampilannya begitu elegan saat mata memandangnya.

 

Penampilan lelaki asing itu memukau sang pangeran, dan dalam keheranannya dia bertanya kepada pengiringnya: "Lelaki itu tidak seperti kebanyakan orang di negeri ini. Siapa orang itu, wahai Channa?" - "Pangeran, dia adalah seorang petapa." - "Petapa? Apa yang engkau maksudkan dengan seorang 'petapa'?" - "Petapa adalah orang yang memilih untuk meninggalkan kehidupan berkeluarga. Dia mengenakan jubah safron sebagai penanda bahwa dia telah melepaskan keduniaan. Semua yang dilakukan olehnya hanya melakukan perbuatan baik, karena dia menyadari bahwa inilah cara hidup yang terpuji." Siddhārtha tidak puas dengan jawaban Channa. Dia pun menghampiri orang asing yang sedang mendekati mereka berdua.

 

Siddhārtha menghampiri lelaki itu dan menyapanya, "Namaste, paman. Penampilanmu tidak seperti orang kebanyakan. Kepalamu pun bersih, tanpa ada rambut, kumis, dan janggut yang tersisa. Pakaianmu pun tidak seperti yang dikenakan orang-orang di sini. Siapakah engkau sebenarnya, paman?" - "Pangeran, saya ini seorang petapa," jawab lelaki asing itu. Sang pangeran terkejut, karena orang itu mengetahui siapa dirinya, padahal dia dan pengawalnya ketika itu sedang menyamar. "Mohon paman ceritakan lebih banyak lagi, apa yang dimaksud dengan seorang 'petapa'?" Sang petapa menjawab:

 

"Karena takut akan kelahiran dan kematian, aku menjadi rahib pengembara,

Dunia ini takluk di bawah kekuasaan Sang Penghancur, dan aku mencari jalan pembebasan;

Aku tidak seperti orang kebanyakan, aku menghindari hasrat dan kesenangan,

Dalam kesendirian dan keheningan, aku berupaya menggapai kebahagiaan sejati."

 

Dengan diliputi oleh rasa ingin tahu, sang pangeran bertanya lebih lanjut, "lalu dimana paman tinggal? Dan bagaimana paman menjalani kehidupan ini?" - "Terkadang aku tinggal di bawah pohon; sesekali aku tinggal di pegunungan yang sepi atau kadang-kadang di hutan. Aku makan dari pemberian para perumah tangga yang murah hati. Aku selalu puas dengan kepemilikan dan kebutuhan yang sedikit. Aku bahagia dan tidak mencemaskan kehidupan ini, karena telah mengetahui jalan kebahagiaan. Aku mengabdikan hidupku untuk berkelana dari satu tempat ke tempat lainnya, serta mengajarkan orang-orang cara hidup yang benar."

 

Siddhārtha senang sekali mendengar penjelasan petapa itu. Dia melihat sinar terang; dia telah mendapatkan jalan-keluarnya, atas kegelisahan dan kerisauan yang selama ini mengguncang batinnya. Dia bertekad untuk meninggalkan istananya dan menjadi seorang rahib. Beberapa hari berlalu dan sepanjang waktu, pikiran sang pangeran hanya berkutat tentang bagaimana dia bisa pergi dari istananya. Namun dia berpikir bahwa tidaklah pantas dia minggat begitu saja, tanpa mendapat restu dari orang-orang yang mengasihinya. Dia akan bicara baik-baik dengan ayahnya dan meminta perkenannya.

 

Dan esok harinya dengan ketetapan hati yang teguh, pangeran kita menghadap ayah sekaligus sang penguasa tertinggi. Sambil bersimpuh di hadapan Śuddhodana, Siddhārtha muda memohon kepada ayahandanya, agar diizinkan pergi dari istana dan meninggalkan apa pun yang telah diterima dan dimilikinya selama ini, untuk kemudian menjadi seorang petapa. Śuddhodana hancur hatinya dan seluruh jiwa dan raganya seakan terbang menuju kehampaan. Benar sungguh peneropongan para cerdik pandai yang dulu meramalkan, bahwa putera kesayangannya akan meninggalkan kehidupan berumah tangga untuk mencapai keBuddhaan.

 

Śuddhodana menjawab: "Nak, hentikan dan hapuskan ide gila ini dari benakmu. Engkau masih terlalu muda untuk menentukan pilihan hidupmu. Seperti yang dikatakan para leluhur ksatria kita: 'orang muda itu kurang wawasan dan pengalamannya.' Awal kehidupanmu dimulai dari istana ini, dan atas restu para dewata engkau juga harus mengikuti garis kehidupanmu di lingkungan istana ini. Selain itu, adalah kesalahan besar untuk melakukan praktik pertapaan-keras pada masa muda kita. Kelima indera kita masih bersemangat untuk mendapatkan kesenangan yang baru; nikmatilah selama kita masih bisa. Engkau bisa menjalani hidup kepetapaan kelak, sewaktu umurmu telah lanjut." Śuddhodana melanjutkan: "Waktuku untuk memerintah hampir usai, dan aku akan segera turun tahta. Engkaulah satu-satunya yang paling pantas menggantikanku, dan segera memerintahlah. Semua rakyat kita telah menunggu momen yang penting itu."

 

Sang pangeran menjawab: "Baiklah, ayahanda. Aku urungkan niatku ini, asalkan paduka bisa memenuhi keinginanku." - "Katakanlah, apa permintaanmu itu?" - "Berjanjilah padaku bahwa hidupku tidak akan berakhir dengan kematian, usia tidak akan membinasakan masa mudaku, penyakit tidak akan mengganggu kebugaranku, dan kemalangan tidak akan menghancurkan kesejahteraanku." - Śuddhodana terkejut, lalu berseru: "Engkau meminta terlalu banyak, dan semuanya mustahil untuk dipenuhi. Bahkan dewa yang paling berkuasa sekali pun, tidak akan sanggup memenuhi salah satu dari permintaanmu. Sekali lagi aku minta, hentikan dan hapuskan segala gagasan bodohmu itu."

 

Siddhārtha pun mendekat dan membungkuk, serta dengan keteguhan hati laksana gunung Meru dia berkata: "Jika paduka tidak bisa memenuhi empat permintaan ini, mohon janganlah menahanku. Jika seandainya rumah yang kita diami sedang terbakar, apa yang sebaiknya kita lakukan? Tentu aku akan ke luar dulu, melakukan segala daya upaya; lalu kembali lagi untuk memadamkan kebakaran itu, guna menyelamatkan semua penghuninya."

 

Hening sejenak, dan dua orang itu, bapak dan anak pun berdiam diri. Siddhārtha sadar, keduanya bersikukuh pada pendiriannya masing-masing. Dia pun berlutut tiga kali, lalu berjalan memutar tiga kali ke kanan mengelilingi singgasana ayahnya, kemudian beranjak pergi dari sana. Śuddhodana segera mengumpulkan para menterinya dan mereka pun membahas permintaan pangeran. Akhirnya raja memutuskan untuk memperkuat penjagaan di sekeliling istananya dan menambah pasukan keamanan.

 

 

Kita tinggalkan dulu Siddhārtha dan Śuddhodana, dan kita menuju Tuṣita, satu istana kahyangan yang dikenal sebagai "Surga Kesukacitaan". Di sana para kerabat Siddhārtha dalam kehidupan sebelumnya sedang berbincang-bincang. Mari kita menguping pembicaraan mereka. "Saudara-saudaraku, hingga kini, atas bantuan kita, Svetaketu telah melihat empat penampakan. Namun untuk melakukan melakukan pelepasan-agung, dia baru saja mendapatkan rintangan. Sesosok dewa lainnya berkomentar, "bagaimana mungkin Svetaketu bisa meninggalkan istananya, jika tempat itu dijaga sedemikian ketatnya?" Dewa yang lain menanggapi, "oleh karena itu kita harus campur tangan agar Bodhisattva dapat segera melanjutkan misinya ke tahap selanjutnya."

 

 

Demikianlah waktu berlari dengan cepatnya, dan hari itu orang sedang bersiap-siap melangsungkan persembahan kepada para dewata. Cuaca hari itu cerah dan bertepatan dengan purnama-siddhi di bulan Āsāḷha. Dalam perjalan pulang Siddhārtha melewati sebuah wisma yang dimiliki oleh seorang wanita Shakya yang bernama Kisā Gotamī, yang memikat dan cantik parasnya. Tertegun sewaktu dia menatap sang pangeran yang masih muda, tampan, dan begitu tenang pembawaannya, wanita muda itu pun melantunkan sebuah pujian: "Sungguh damai dan bahagia pikiran seorang wanita yang mujur; yang menjadi isteri dari seorang suami seperti dia." Pangeran mendadak mendapat inspirasi dari ucapannya, bahwa dalam kalimat 'damai' itu sesungguhnya tersirat ungkapan 'pemadaman”, yang mengarah pada 'pembebasan'. Merasa cita-citanya menjadi petapa disokong oleh orang biasa, pangeran pun melepaskan seuntai kalung mutiara yang indah yang sedang dikenakannya, lalu selanjutnya dia menghadiahkan perhiasan itu kepada Kisā Gotamī.

 

Alih-alih menemui keluarganya, pangeran kita memilih beristirahat di taman istananya yang permai. Pikirannya dipenuhi dengan gagasan tentang bagaimana menjalani hidup bersih dan suci sebagai seorang petapa. Selagi berteduh di bawah sebatang pohon, seorang kurir yang diutus oleh Raja Śuddhodana mendatanginya, dan dia menyampaikan pesan: "Wahai, pangeran. Hamba membawa kabar gembira. Ketahuilah bahwa permaisuri muda baru saja melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan." Alih-alih bergirang hati mendengar kabar baik itu, sang pangeran malahan berduka dan dia pun menggumam, "sebuah 'belenggu', sebuah 'Rāhula', telah lahir. Ikatan-besar telah muncul bagiku. Siddhārtha pun bergegas menemui keluarganya, dengan tetap mengumandangkan perkataan itu berulang-ulang: "Rāhula, Rāhula, … Rāhula." Śuddhodana adalah orang yang paling berbahagia mendapatkan keturunan langsung dari sang putera mahkota. Terbersit dalam pikirannya, bayi laki-laki inilah yang akan menjadi pewaris kerajaan berikutnya. Dia pun mendengar puteranya menyebut-nyebut cucunya yang baru lahir, maka dia pun bersabda: "Sesuai dengan permintaan ayahnya, maka nanti pada saat upacara pemberian nama, aku tetapkan bayi kecil ini bernama Rāhula."

 

Hari itu menjadi waktu yang menggirangkan bagi semua penghuni istana. Para abdi istana mempersiapkan pesta menyambut kedatangan sang bayi. Memasuki senja dan hari beranjak gelap, di bawah naungan beranda istana yang megah, makanan dan minuman yang lezat disajikan untuk para anggota kerajaan. Angin semilir yang bertiup dari pekarangan istana, menghembuskan aroma lembut bunga yasmin dan kamboja. Setelah menikmati berbagai hidangan, Siddhārtha pun beristirahat di atas sofa mewah, sambil tubuhnya disejukkan oleh kipas-kipas berbulu burung merak, yang mengangguk-angguk menyalurkan angin semilir. Sekarang para penyanyi dan penari dengan bantuan iringan alat musik, mementaskan tari-tarian yang indah dan nyanyian-nyanyian yang merdu. Sang pangeran pun menonton gadis-gadis penari memperagakan gerak tubuh gemulai di dalam keremangan pelita-minyak beraroma wangi. Dengan tubuh penat setelah seharian mengikuti acara kerajaan, perut yang telah terisi-penuh, dan dibuai oleh alunan musik yang menerbitkan kantuk, dia pun segera terlelap dalam peraduan yang penuh kedamaian. Para penari dan penyanyi satu per satu – setelah menyadari tuan mereka telah terlelap – akan merebahkan diri mereka di atas lantai berpermadani empuk. Mereka segera merentangkan kaki dan tangan mereka yang letih. Jari-jemari si pemain sitar akan menjauh dari dawai piranti mereka, rebana yang ditabuh oleh pemusik pun diletakkan di atas lantai. Dan segera setelah itu hanya kesenyapan yang akan berkuasa, seperti layaknya cahaya lampu minyak yang akan meredup dan akhirnya padam.

 

Malam itu tidur sang pangeran tidaklah nyenyak. Mendusin di tengah malam sekaligus membebaskan dirinya dari mimpi menakutkan tentang kematian. Siddhārtha melihat ke sekelilingnya. Para penari dan penyanyi terbaring lelap, centang-perentang di tempat mereka jatuh kelelahan. Tungkai dan lengan mereka tergeletak diantara untaian-bunga yang telah layu, yang tadinya dikalungkan di depan dada mereka. Busana mereka yang tadinya rapi dan wangi sekarang tidak keruan lagi, membuat bagian tubuh mereka tersingkap telanjang, serta rambut mereka yang basah melekat di pipi dan lehernya. Beberapa di antara mereka tersentak sesekali dalam tidurnya, seperti sedang disengat lebah. Yang lain mendengkur keras, dengan mulut terbuka lebar, disertai air liur mengalir dari bibir mereka yang semula merah merona. Agaknya inilah kesempatan pertama sang pangeran melihat mereka semua apa adanya, serta ia merasa dirinya sedang dikelilingi oleh mayat-mayat yang bergelimpangan. Sang pangeran menggumam, "sungguh mengerikan dan menakutkan tempat ini."

 

Siddhārtha bangkit dari sofa empuknya dan dengan berjingkat-jingkat berusaha menghindari kakinya terantuk, dari perempuan-perempuan penghibur yang sedang tidur bergelimpangan dengan nyenyaknya. Pelita minyak telah lama padam dan hanya sinar rembulan yang menerobos melalui jendela bangunan megah itu. Dia pun membisikkan kata-kata ini:

 

"Walaupun daku menjalani kehidupanku di istana ini bak sesosok dewa,

Namun tetap saja tempat ini gelap-kelabu; jadi karena itu, selamat tinggal kawan-kawan!

Sementara hidup itu anugerah, layaklah aku terima, dan sekarang aku pergi,

Demi mencari pembebasan dan mendapatkan Cahaya nan tak dikenal itu."

 

Sang pangeran ke luar dari ruangan itu dan berjalan menuju depot berjaganya para pengawal pribadi. Dilihatnya Channa sedang mendengkur di dipannya. Pangeran segera membangunkannya, "Channa, bangunlah. Bawalah kemari Kanthaka dan siapkan kereta-kecil yang akan membawaku pergi malam ini." Setelah itu pangeran merasa perlu untuk menengok anak dan isterinya. Dengan mengendap-endap dia membuka pintu kamar pelan-pelan dan mendapati dalam temaram cahaya pelita, isteri dan anaknya sedang tertidur pulas. Selama beberapa saat dipandangi sang buah hati dan belahan jiwanya, dan muncul keinginan untuk berpamitan dengan keduanya. Dia termenung sejenak, "Jika tubuhnya ku sentuh, dia akan terjaga. Dan jika dia terjaga, maka pelepasan agungku pun akan buyar. Jadi setelah aku mendapatkan pencerahan, kelak aku akan menemui mereka berdua."

 

Tidak berapa lama Channa telah menyiapkan Kanthaka, sang kuda putih kesayangan pangeran yang luar biasa, dan kereta-kuda kecil yang hanya bisa memuat kusir dan seorang penumpangnya. Kanthaka amatlah girang dan dengan nalurinya yang kuat, dia tahu tuan yang disayanginya sedang membutuhkan pertolongannya. Kuda itu pun melengking dengan kuatnya. Pangeran menghardik, "tidak usah meringkik sekeras itu, wahai Kanthaka. Engkau bisa membangunkan seisi kota." Rencana kepergian sang pangeran yang akan segera meninggalkan istananya, membuat Channa merasa amat sedih. "Yang Mulia, mohon maaf sebelumnya. Apakah paduka telah memikirkan kepergian ini baik-baik? Bagaimana akan sedih dan merananya sri baginda nanti, juga permaisuri-muda, dan kerabat Tuanku semua!" - "Dengar, Channa. Semuanya ini ku lakukan demi rasa sayang dan cintaku kepada mereka semua. Setelah aku berhasil mencapai cita-citaku, aku pasti akan menolong mereka semua dari jerat palsu kehidupan. Ayo kita berangkat!"

 

Keduanya menaiki kereta mungil itu dan Kanthaka dengan bersemangat menariknya ke luar kompleks istana. Mendekati pintu utama benteng kota, lima puluh penjaga bersenjata lengkap nampak berjaga di gerbang utama kotaraja, dan mereka berpatroli hilir mudik di sisi dalam dan luar tembok yang kokoh itu. Para dewa Tuṣita sudah menunggu di sana. Dengan kekuatan sihir, mereka mendatangkan angin semilir ke arah para penjaga. Sontak semua yang bertugas di sana merasa mengantuk, lalu satu per satu melepaskan senjatanya, dan mereka segera merebahkan diri mereka ke tanah, tidur pulas. Lihatlah! Pintu benteng terbuat dari pelat-kuningan berlapis tiga. Paling tidak dibutuhkan dua puluh lelaki berotot kuat, untuk menarik ke kedua sisi pintu itu ke samping. Namun itu tidak masalah bagi para dewa. Dengan mengucapkan sebait mantram, pintu geser itu bergerak sendiri ke samping, menyediakan celah lebar untuk dilewati kereta pangeran Siddhārtha. Angin semilir kembali bertiup, dan kali ini mampu membuat seluruh penghuni kerajaan Shakya yang masih terjaga untuk segera pergi ke peraduan. Dan dengan diterangi cahaya bulan, kereta yang ditarik oleh Kanthaka berlari melaju dengan kencang, hingga melewati tapal batas kerajaan.

 

 

Dari Himalaya lalu merambat menuju ke Samudera Hindia,

Gempa halus bergetar menyebar, dan sang jiwa bumi pun terjaga dari tapa-bratanya.

Diarahkan oleh harapan yang misterius, dan disebutkan dalam kitab-kitab suci kuno,

Itulah kisah Sang Guru Junjungan kita.

 

Musik surgawi melantunkan irama gaib, yang menggetarkan angkasa nan jernih,

Dihiasi lampu minyak hingga pelita, yang menyala dari rumah ke rumah;

Ke timur dan ke barat, menerangi sang dewi malam,

Ke utara dan ke selatan, yang membuat tanah pertiwi bersenang hati.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/230531