Rabu, 05 April 2023

IKONOGRAFI BUDDHIS DAN TAOIS


 

Sekali waktu seorang kawan penulis, yang bukan beragama Buddha, menanyakan perihal keberadaan patung atau arca Buddha yang banyak ditemuinya di berbagai vihara. "Apakah Sang Buddha sendiri yang memerintahkan para pengikutnya membuat patung dirinya untuk disembah, seperti yang bisa kita saksikan di tempat ibadah yang kalian kunjungi?" Dengan mantap penulis menjawab, "Arca atau lukisan yang menggambarkan sosok Buddha baru muncul beberapa abad setelah kemangkatan Beliau. Pada zaman Sang Buddha masih hidup, tidak pernah orang, yakni para pengikutnya, membuat lukisan-diri atau patung dengan replika dirinya. Jadi patung Buddha baru muncul ratusan tahun kemudian, yang lalu diwujudkan dalam arsitektur Buddhis, seperti yang bisa kita lihat dalam monumen dan candi, yang didirikan orang untuk mengenang Beliau."

 

Pertanyaan kawan penulis itu mungkin juga diamini oleh sebagian umat kita, yang secara historis belum pernah mendengar sejarah munculnya patung Buddha untuk pertama kalinya. Andaikata Sang Buddha masih ada dan menyaksikan sendiri arca dan gambar yang melukiskan sosok dirinya ada di mana-mana, mungkin Beliau akan memprotesnya. Ada satu kisah yang menceritakan bahwa Sang Buddha tidak suka orang yang mengagumi keelokan fisiknya, seperti yang bisa kita baca pada petikan Sutta Pitaka berikut ini.

 

Demikianlah yang telah aku dengar. Sekali waktu ketika Yang Terberkahi sedang bermukim di Rājagaha pada Hutan Bambu, di Cagar Alam Tupai, Yang Mulia Vakkali sedang berdiam di sebuah rumah pengrajin tembikar. Dia sedang merana, menderita, dan sakit keras. Dia berkata kepada para pembantunya: "Para sahabat, pergilah kalian menghadap Yang Terberkahi dan berikanlah penghormatan kepadanya atas namaku dengan cara meletakkan kepala kalian di kakinya, dan katakanlah: 'Yang mulia, bhikkhu Vakkali sedang merana, menderita, dan sakit keras. Dia menghaturkan penghormatan dengan kepalanya di kaki Yang Terberkahi.' Serta katakan juga ini: 'Yang Mulia, adalah baik jika Yang Terberkahi pergi mengunjungi bhikkhu Vakkali demi welas-asih terhadap dirinya.' " - "Baiklah, sahabat," para bhikkhu menjawab.

 

Mereka pergi menghadap Yang Terberkahi dan mereka menyampaikan pesan sang bhikkhu serta permintaannya. Yang Terberkahi menyetujuinya dengan berdiam diri. Kemudian ia berpakaian, serta mengambil mangkuk-sedekah dan jubah luarnya, lalu pergi menuju kediaman Yang Mulia Vakkali. Yang Mulia Vakkali melihat Yang Terberkahi datang dan ia berupaya bangkit dari tempat tidurnya. Yang Terberkahi berkata: "Cukup, Vakkali. Jangan bangkit dari tempat tidurmu. Ada beberapa tempat duduk di sini, aku akan duduk di sini." Ia lalu duduk pada satu tempat duduk yang telah disediakan. Kemudian ia berkata: "Aku berharap engkau akan baik-baik saja, Vakkali. Aku berharap pula engkau akan merasa nyaman, rasa sakitmu akan berkurang bukannya bertambah, juga akan mereda bukannya meningkat."

 

"Yang Mulia, aku tidak dapat bertahan. Aku tidak merasa nyaman. Penyakitku bertambah parah, bukannya membaik. Penyakitku meningkat, bukannya mereda." - "Aku berharap engkau tidak memiliki kegelisahan dan penyesalan, Vakkali?" - "Sesungguhnya, Yang Mulia, aku memiliki sedikit kegelisahan dan penyesalan." - "Aku berharap pula, engkau tidak mempunyai ganjalan apa pun pada dirimu berkenaan dengan perbuatan bajik?" - "Aku tidak mempunyai ganjalan apa pun pada diriku berkenaan dengan perbuatan bajik, Yang Mulia."

 

"Kalau begitu, Vakkali, apa yang membuatmu gelisah dan menyesal?" - "Yang Mulia, aku sejak lama ingin datang dan menemui Yang Terberkahi, namun aku tidak pernah mendapatkan tubuhku cukup kuat untuk melakukan apa yang kuinginkan." - "Cukup, Vakkali. Mengapa engkau berkeinginan untuk melihat tubuh yang menjijikkan ini? Dia yang melihat Dhamma melihatku; dia yang melihatku melihat Dhamma. Karena ketika dia melihat Dhamma maka dia melihatku; dan ketika dia melihatku maka dia melihat Dhamma. (Samyutta Nikāya, 22:87).

 

Dikisahkan Anāthapiṇḍika, seorang umat Buddha yang amat dermawan dan berbakti kepada Sang Guru, bisa dua sampai tiga kali sehari mengunjungi Sang Buddha di tempat tinggalnya di Jetavana. Anāthapiṇḍika datang tidak dengan tangan hampa. Ada saja persembahan yang dibawanya. Jika Sang Guru tidak berada di tempat, dia meletakkan barang pemberiannya di bawah pohon Bodhi yang tumbuh di sana. Jadi pohon Bodhi dianggap mewakili keberadaan Sang Guru. Umat lain yang melihat kebiasaan sang upasaka tersebut, menirunya dan menganggap pohon Bodhi mewakili Sang Buddha itu sendiri. Umumnya mereka meletakkan bunga-bunga dan dupa, yang telah mereka persiapkan sewaktu mereka berangkat dari rumah. Sampai sekarang kebiasaan ini masih sering dilakukan di banyak vihara.

 

Selain pohon Bodhi, ada simbol lainnya yang dijadikan penanda kehadirannya, saat Sang Buddha masih hidup. Ketika Sang Guru berjalan kaki, lintasan telapak kakinya di tanah terkadang meninggalkan jejak. Orang terdekatnya yang pernah melihat kaki Guru dari jarak dekat, mendapati bahwa konon di masing-masing telapak kaki Beliau ada markah berbentuk roda beruji banyak. Ketika kakinya menjejak di atas tanah lempung, bisa terlihat "cetakan" sepasang telapak kaki yang istimewa ini. Entah siapa yang memiliki gagasan awal, ada pengikutnya yang memahat dan mengukir replika telapak kaki ini dari sebongkah batu. Kemudian jadilah replika batu telapak kaki dengan roda beruji banyak di dalamnya, menjadi simbol yang mewakili kehadiran Sang Buddha.

 

Lambang keberadaan Sang Buddha mulai dilukiskan saat Kaisar Aśoka melakukan ziarah kekaisaran sekitar tiga ratus tahun setelah kemangkatannya. Pada monumen-monumen yang didirikan oleh Sang Kaisar, kita dapat menemukan simbol-simbol yang biasa dipakai orang pada zaman itu untuk mengingat kehadiran Sang Guru. Para pengrajin membuat ukiran dan relief untuk mengkomunikasikan aspek-aspek ajaran dan kisah hidup Buddha. Simbol yang dominan antara lain Roda Dharma, yang menunjuk pada khotbah-pembuka atau "memutar wejangan pertamanya". Roda tersebut beruji delapan, yang melambangkan Jalan Mulia Beruas Delapan. Kemudian ada relief rusa, yang membangkitkan ingatan kita pada Taman Rusa di Sārnāth, tempat Sang Guru memutar Roda Dharma untuk pertama kalinya. Selain itu pada monumen batu digambarkan pula bunga teratai, yang melambangkan perjalanan individu mengarungi "lumpur-kehidupan"; agar individu tersebut bertumbuh kembang dengan sinar Dharma, menuju pencerahan nan sejati. Dan terakhir adalah Stupa, bangunan batu berbentuk kerucut terbalik, tempat para pengikutnya menyimpan sisa-sisa jasmani Sang Buddha. Di sini kita diingatkan pada simbol kematian raganya, dan sekaligus menandai kehadirannya yang berkelanjutan di muka bumi ini.

 

Lukisan dan patung Buddha sendiri baru muncul sekitar awal milenium pertama atau lima-ratus tahun setelah wafatnya Sang Buddha. Para pematung itu berasal dari dua wilayah. Yang pertama di Mathura, dekat Agra modern, dan di Gandhara, sekarang berada di wilayah Afghanistan. Di Mathura, lukisan besar Buddha dibuat dari batu-pasir merah. Sang Buddha dalam gambar-gambar ini digambarkan berpundak lebar, mengenakan jubah, dan ditandai dengan berbagai markah, yakni tiga-puluh-dua tanda keberuntungan yang ada di tubuhnya sejak kelahirannya. Dijelaskan dalam beberapa teks awal, dalam lukisan tersebut ada uṣṇīṣa, yakni tonjolan di atas kepala, disertai cuping telinga memanjang, jari berselaput, dan tangan kanannya sedang memutar sebuah dharmacakra.

 

Di wilayah Gandhara, Buddha biasanya digambarkan dalam gaya Yunani. Dia mengenakan jubah yang menyerupai toga, dan dengan wajah khas orang Barat. Pengrajin arca di wilayah ini mungkin mendapat pengaruh ikonografi dari orang Yunani, yang mendiami wilayah tersebut pada masa pemerintahan Alexander Agung. Masyarakat Yunani pada masa itu percaya pada dewa-dewi mereka, yang diwujudkan dalam bentuk arca. Banyak rupang Buddha Gandhara ini menggambarkan Beliau sedang dalam posisi duduk, dan tangannya membentuk dharmacakra mudrā. Dalam sosok yang lain dia ditampilkan dalam posisi meditatif, tubuhnya layu dan kurus kering didera asketisme ekstrim sebelum pencerahan agungnya. Bentuk-bentuk ikonik yang berbeda ini digunakan oleh para pengrajin untuk menampilkan momen berbeda dalam kisah hidup Buddha, dan untuk menyampaikan aspek dharma yang berbeda secara visual.

 

Arca Buddha yang dibuat oleh para pengrajin Jawa bisa kita saksikan di Candi Borobudur. Di kuil Buddha terbesar di dunia ini ada 504 arca Buddha di bagian bawah dan 72 patung lainnya di kubah tengah. Yang terakhir ini masing-masing duduk di dalam stupa berlubang. Sedangkan relief berupa ukiran-ukiran di dasar candi mengungkapkan cerita biografi Sang Bodhisattva yang diambil dari berbagai Nikāya, Lalitavistara, Buddhacarita, dan beberapa naskah terkenal lainnya. Borobudur didirikan pada abad ke-8 hingga ke-9 Masehi, dan diperkirakan tidak diselesaikan sekaligus, tetapi pembangunannya membutuhkan waktu beberapa dekade atau mungkin lebih dari satu abad. Dengan demikian arca-arca Buddha di Borobudur lebih muda tujuh ratus hingga delapan ratus tahun, jika dibandingkan dengan patung serupa yang berasal dari Mathura atau Gandhara.

 

Seperti halnya dalam ajaran Buddhis awal yang tidak mengenal penggambaran fisik Buddha, demikian juga dalam Taoisme awal tidak lazim bagi para pengikutnya untuk menggambarkan sosok Lǎo Zǐ lewat gambar dirinya. Para pengikutnya lebih menyukai untuk merepresentasikan kekuatan kedewataan dengan cara abstrak dan simbolis. Diagram, peta keramat, dan berbagai bentuk naskah rahasia, sejak awal memainkan peran penting dalam penyampaian ajaran. Simbol Tàijí Tú (太极图) dengan dua aspek realitas Yīnyáng (阴阳), digambarkan dalam dua bidang berbentuk dua koma tercetak dalam sebuah lingkaran, begitu terkenal sejak zaman Dinasti Sòng (960–1279) hingga ke masa-masa yang berikutnya.

 

Secara arkeologis, contoh paling awal dari patung Taois diperkirakan berasal dari abad kelima Masehi; tetapi arca-arca ini berasal dari Tiongkok Utara, tempat Tokoh Pembaharu Taoisme, Kòu Qiānzhī (寇謙之, 365–448 M.), yang konon merupakan orang yang pertama kali mempromosikan ikon semacam itu. Gambar-gambar ini, dipahat pada prasasti dan dipersembahkan oleh para donatur pribadi untuk kesejahteraan pejabat pemerintah dan kebahagiaan leluhur mereka, meniru praktik pelimpahan jasa khas Buddhis yang telah dikenal dan diserap oleh masyarakat Tiongkok pada masa itu.

 

Memang, ada indikasi bahwa perbedaan agama hampir tidak berarti bagi penganut lingkungan masyarakat adat tersebut. Beberapa monumen batu menggabungkan gambar dewa Buddha dan Taois, yang hanya dibedakan oleh ciri-ciri kecil. Sementara sosok Buddha dan Bodhisattva menampilkan uṣṇīṣa atau mahkota dan pakaian biara, Dewa Taois sering dilukiskan berjanggut dan memegang kipas, topi, busana, dan ikat pinggang ala orang Tionghoa zaman itu. Jika ada pengelompokan arca-arca dewa Taois dalam satu altar, biasanya dewa utama diapit oleh dua sosok dewa pengawalnya. Hal ini juga dianut dalam ikonografi Buddhis yang berkembang di Tiongkok. 

 

Kemudian jika kita melihat penggambaran sosok Lǎo Zǐ sebagai salah satu dari Tiga Yang Suci atau Sānqīng (三清), ketiga ikonografi individualnya tetap sama. Hanya dalam perkembangan selanjutnya Yuánshǐ Tīanzūn dilukiskan sedang memegang mutiara, Língbǎo Tiānzūn membawa tongkat kerajaan, dan Dàodé Tiānzūn tetap mempertahankan ciri-ciri Tuan Lǎo yang berambut putih dan berjanggut. Sementara adanya patung-patung Lǎo Zǐ pada masa Enam Dinasti (220–589) dimaksudkan hanya sebagai obyek pengabdian pribadi, situasinya berubah secara dramatis di bawah pemerintahan Dinasti Táng, yang meyakini bahwa leluhur mereka adalah Nabi Lǎo Zǐ itu sendiri. Kaisar-kaisar yang berkuasa lalu mendukung Taoisme sebagai agama negara. Para Kaisar Táng membangun jaringan nasional kuil Taois dengan patung-patung besar leluhur suci. Bahkan pada zaman Wǔ Zétiān (武則天, memerintah pada 690 - 705 M.), satu-satunya kaisar wanita dalam sejarah Tiongkok; dia memerintahkan agar arca Ibunda Lǎo Zǐ harus disertakan sebagai pendamping patung Lǎo Zǐ. Lalu Táng Xuánzōng (唐玄宗, memerintah pada 712 - 756 M.), kaisar terkuat dari Dinasti Táng, bahkan meminta agar arca dirinya disandingkan dengan patung Lǎo Zǐ. (lihat: Daoist Iconography, dari Encyclopaedia.com).

 

Pandangan Taois tentang dewa yang abadi, serta makhluk dunia bawah, memiliki pengaruh yang luar biasa pada ikonografi agama rakyat populer. Lukisan dinding dan ukiran pada kuil dan hiasan altar ternyata memainkan peran penting pada pemahaman rakyat biasa perihal dunia kedewaan dan alam akhirat. Paham Tao juga menyebar melalui cerita rakyat dan pertunjukan teater. Bukti yang paling jelas tentang hal ini bisa kita temukan dalam beberapa novel terkenal dari abad keenam-belas hingga kedelapan-belas, yang menonjolkan dewa-dewi hibrida yang luar biasa dari agama orang Tionghoa; termasuk konsep keabadian, kedewaan Taois dan Buddhis, dan dewa-dewi gabungan seluruhnya, yang semuanya tunduk di bawah kekuasaan Kaisar Langit.

 

Selain arca dan lukisan Buddha yang banyak kita dapatkan di tempat ibadah dan rumah-rumah umat, yang juga populer untuk dijadikan sebagai obyek perlindungan adalah patung dan gambar Dewi Kwan Im (atau Guanyin) atau Avalokitesvara Bodhisattva. Tulisan tentang Ikonografi Buddhis dan Taois ini kami akhiri dengan penggambaran Guanyin, yang deskripsinya penulis ambil dari novel terkenal Perjalanan ke Barat pada Bab ke-12:

 

"Pancaran kesucian bercahaya di sekelilingnya,

Sinar sakralnya melindungi tubuh Dharma-nya.

Dalam kejayaan Surga tertinggi

Muncul sesosok wanita Yang Kekal.

Sang Bodhisattva,

 

Dikenakan pada kepalanya

Rumbai-rumbai mutiara yang menakjubkan

Dengan gesper emas,

Dipadukan dengan batu pirus,

Dan cahaya keemasan,

 

Dia mengenakan di sekujur tubuhnya

Sebuah gaun biru dengan burung-api yang sedang terbang,

Berwarna-pucat,

Berpola air yang mengalir,

Yang mana naga emas melingkar di sana,

 

Di depan payudaranya

Seberkas kecemerlangan-bulan,

Tarian-angin,

Bertahtakan-mutiara,

Gelang perangkat-kemala penuh semerbak wewangian.

 

… … …

 

Jambangan yang dipegangnya memberikan keberkahan dan keselamatan,

Dan di dalam jambangan ada sepotong tangkai

Dedalu yang sedang menangis, yang menyapu bersih sang kabut,

Memercikkan airnya pada surga-surga,

Membersihkan semua kejahatan.

 

Cincin-cincin kemala melingkari kancing-kancing brokat

Serta kaki teratai-emasnya tetap tersembunyi.

Dia sanggup mengunjungi tiga surga,

Karena dia adalah Guanyin, sang penyelamat dari penderitaan."

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/230405




Tidak ada komentar:

Posting Komentar