Sekali waktu seorang kawan penulis,
yang bukan beragama Buddha, menanyakan perihal keberadaan patung atau arca
Buddha yang banyak ditemuinya di berbagai vihara. "Apakah Sang Buddha
sendiri yang memerintahkan para pengikutnya membuat patung dirinya untuk
disembah, seperti yang bisa kita saksikan di tempat ibadah yang kalian
kunjungi?" Dengan mantap penulis menjawab, "Arca atau lukisan yang
menggambarkan sosok Buddha baru muncul beberapa abad setelah kemangkatan
Beliau. Pada zaman Sang Buddha masih hidup, tidak pernah orang, yakni para
pengikutnya, membuat lukisan-diri atau patung dengan replika dirinya. Jadi
patung Buddha baru muncul ratusan tahun kemudian, yang lalu diwujudkan dalam
arsitektur Buddhis, seperti yang bisa kita lihat dalam monumen dan candi, yang
didirikan orang untuk mengenang Beliau."
Pertanyaan kawan penulis itu mungkin
juga diamini oleh sebagian umat kita, yang secara historis belum pernah
mendengar sejarah munculnya
patung Buddha untuk pertama kalinya. Andaikata Sang Buddha masih ada dan
menyaksikan sendiri arca dan gambar yang melukiskan sosok dirinya ada di
mana-mana, mungkin Beliau akan memprotesnya. Ada satu kisah yang menceritakan
bahwa Sang Buddha tidak suka orang yang mengagumi keelokan fisiknya, seperti
yang bisa kita baca pada petikan Sutta Pitaka berikut ini.
Demikianlah yang telah aku dengar.
Sekali waktu ketika Yang Terberkahi sedang bermukim di Rājagaha pada Hutan
Bambu, di Cagar Alam Tupai, Yang Mulia Vakkali sedang berdiam di sebuah rumah
pengrajin tembikar. Dia sedang merana, menderita, dan sakit keras. Dia berkata
kepada para pembantunya: "Para sahabat, pergilah kalian menghadap Yang
Terberkahi dan berikanlah penghormatan kepadanya atas namaku dengan cara
meletakkan kepala kalian di kakinya, dan katakanlah: 'Yang mulia, bhikkhu
Vakkali sedang merana, menderita, dan sakit keras. Dia menghaturkan penghormatan dengan kepalanya di kaki
Yang Terberkahi.' Serta katakan juga ini: 'Yang Mulia, adalah baik jika Yang
Terberkahi pergi mengunjungi bhikkhu Vakkali demi welas-asih terhadap dirinya.'
" - "Baiklah, sahabat," para bhikkhu menjawab.
Mereka pergi menghadap Yang Terberkahi
dan mereka menyampaikan pesan sang bhikkhu serta permintaannya. Yang Terberkahi
menyetujuinya dengan berdiam diri. Kemudian ia berpakaian, serta mengambil
mangkuk-sedekah dan jubah luarnya, lalu pergi menuju kediaman Yang Mulia
Vakkali. Yang Mulia Vakkali melihat Yang Terberkahi datang dan ia berupaya
bangkit dari tempat tidurnya. Yang Terberkahi berkata: "Cukup, Vakkali.
Jangan bangkit dari tempat tidurmu. Ada beberapa tempat duduk di sini, aku akan
duduk di sini." Ia lalu duduk pada satu tempat duduk yang telah
disediakan. Kemudian ia berkata: "Aku berharap engkau akan baik-baik saja,
Vakkali. Aku berharap pula engkau akan merasa nyaman, rasa sakitmu akan
berkurang bukannya bertambah, juga akan mereda bukannya meningkat."
"Yang Mulia, aku tidak dapat
bertahan. Aku tidak merasa nyaman. Penyakitku bertambah parah, bukannya
membaik. Penyakitku meningkat, bukannya mereda." - "Aku berharap
engkau tidak memiliki kegelisahan dan penyesalan, Vakkali?" -
"Sesungguhnya, Yang Mulia, aku memiliki sedikit kegelisahan dan penyesalan."
- "Aku berharap pula, engkau tidak mempunyai ganjalan apa pun pada dirimu
berkenaan dengan perbuatan bajik?" - "Aku tidak mempunyai ganjalan
apa pun pada diriku berkenaan dengan perbuatan bajik, Yang Mulia."
"Kalau begitu, Vakkali, apa yang
membuatmu gelisah dan menyesal?" - "Yang Mulia, aku sejak lama ingin
datang dan menemui Yang Terberkahi, namun aku tidak pernah mendapatkan tubuhku
cukup kuat untuk melakukan apa yang kuinginkan." - "Cukup, Vakkali.
Mengapa engkau berkeinginan untuk melihat tubuh yang menjijikkan ini? Dia yang
melihat Dhamma melihatku; dia yang melihatku melihat Dhamma. Karena ketika dia
melihat Dhamma maka dia melihatku; dan ketika dia melihatku maka dia melihat
Dhamma. (Samyutta Nikāya, 22:87).
Dikisahkan Anāthapiṇḍika, seorang umat Buddha yang amat dermawan dan
berbakti kepada Sang Guru, bisa dua sampai tiga kali sehari mengunjungi Sang
Buddha di tempat tinggalnya di Jetavana. Anāthapiṇḍika datang tidak dengan tangan hampa. Ada saja
persembahan yang dibawanya. Jika Sang Guru tidak berada di tempat, dia
meletakkan barang pemberiannya di bawah pohon Bodhi yang tumbuh di sana. Jadi
pohon Bodhi dianggap mewakili keberadaan Sang Guru. Umat lain yang melihat
kebiasaan sang upasaka tersebut, menirunya dan menganggap pohon Bodhi
mewakili Sang Buddha itu sendiri. Umumnya mereka meletakkan bunga-bunga dan
dupa, yang telah mereka persiapkan sewaktu mereka berangkat dari rumah. Sampai
sekarang kebiasaan ini masih sering dilakukan di banyak vihara.
Selain pohon Bodhi, ada simbol lainnya
yang dijadikan penanda kehadirannya, saat Sang Buddha masih hidup. Ketika Sang
Guru berjalan kaki, lintasan telapak kakinya di tanah terkadang meninggalkan
jejak. Orang terdekatnya yang pernah melihat kaki Guru dari jarak dekat,
mendapati bahwa konon di masing-masing telapak kaki Beliau ada markah berbentuk
roda beruji banyak. Ketika kakinya menjejak di atas tanah lempung, bisa
terlihat "cetakan" sepasang telapak kaki yang istimewa ini. Entah
siapa yang memiliki gagasan awal, ada pengikutnya yang memahat dan mengukir
replika telapak kaki ini dari sebongkah batu. Kemudian jadilah replika batu
telapak kaki dengan roda beruji banyak di dalamnya, menjadi simbol yang
mewakili kehadiran Sang Buddha.
Lambang keberadaan Sang Buddha mulai
dilukiskan saat Kaisar Aśoka melakukan ziarah kekaisaran sekitar tiga ratus
tahun setelah kemangkatannya. Pada monumen-monumen yang didirikan oleh Sang
Kaisar, kita dapat menemukan simbol-simbol yang biasa dipakai orang pada zaman
itu untuk mengingat kehadiran Sang Guru. Para pengrajin membuat ukiran dan relief untuk mengkomunikasikan aspek-aspek ajaran dan kisah
hidup Buddha. Simbol yang dominan antara lain Roda Dharma, yang menunjuk
pada khotbah-pembuka atau "memutar wejangan pertamanya". Roda
tersebut beruji delapan, yang melambangkan Jalan Mulia Beruas Delapan.
Kemudian ada relief rusa, yang membangkitkan ingatan kita pada Taman Rusa di
Sārnāth, tempat Sang Guru memutar Roda Dharma untuk pertama kalinya.
Selain itu pada monumen batu digambarkan pula bunga teratai, yang melambangkan
perjalanan individu mengarungi "lumpur-kehidupan"; agar individu
tersebut bertumbuh kembang dengan sinar Dharma, menuju pencerahan nan sejati.
Dan terakhir adalah Stupa, bangunan batu berbentuk kerucut terbalik, tempat
para pengikutnya menyimpan sisa-sisa jasmani Sang Buddha. Di sini kita
diingatkan pada simbol kematian raganya, dan sekaligus menandai kehadirannya
yang berkelanjutan di muka bumi ini.
Lukisan dan patung Buddha sendiri baru muncul sekitar awal milenium pertama
atau lima-ratus tahun setelah wafatnya Sang Buddha. Para pematung itu berasal
dari dua wilayah. Yang pertama di Mathura, dekat Agra modern, dan di Gandhara,
sekarang berada di wilayah Afghanistan. Di Mathura, lukisan besar Buddha
dibuat dari batu-pasir merah. Sang Buddha dalam gambar-gambar ini digambarkan
berpundak lebar, mengenakan jubah, dan ditandai dengan berbagai markah, yakni
tiga-puluh-dua tanda keberuntungan yang ada di tubuhnya sejak kelahirannya.
Dijelaskan dalam beberapa teks awal, dalam lukisan tersebut ada uṣṇīṣa,
yakni tonjolan di atas kepala, disertai cuping telinga memanjang, jari
berselaput, dan tangan kanannya sedang memutar sebuah dharmacakra.
Di wilayah Gandhara, Buddha biasanya digambarkan dalam gaya Yunani.
Dia mengenakan jubah yang menyerupai toga, dan dengan wajah khas orang Barat.
Pengrajin arca di wilayah ini mungkin mendapat pengaruh ikonografi dari orang
Yunani, yang mendiami wilayah tersebut pada masa pemerintahan Alexander Agung.
Masyarakat Yunani pada masa itu percaya pada dewa-dewi mereka, yang diwujudkan
dalam bentuk arca. Banyak rupang Buddha Gandhara ini
menggambarkan Beliau sedang dalam posisi duduk, dan tangannya membentuk dharmacakra
mudrā. Dalam sosok yang lain dia ditampilkan dalam posisi meditatif,
tubuhnya layu dan kurus kering didera asketisme ekstrim sebelum pencerahan
agungnya. Bentuk-bentuk ikonik yang berbeda ini digunakan oleh para pengrajin
untuk menampilkan momen berbeda dalam kisah hidup Buddha, dan untuk
menyampaikan aspek dharma yang berbeda secara visual.
Arca Buddha yang dibuat oleh para pengrajin Jawa bisa kita saksikan di
Candi Borobudur. Di kuil Buddha terbesar di dunia ini ada 504 arca Buddha di
bagian bawah dan 72 patung lainnya di kubah tengah. Yang terakhir ini
masing-masing duduk di dalam stupa berlubang. Sedangkan relief berupa
ukiran-ukiran di dasar candi mengungkapkan cerita biografi Sang Bodhisattva
yang diambil dari berbagai Nikāya, Lalitavistara, Buddhacarita,
dan beberapa naskah terkenal lainnya. Borobudur didirikan pada abad ke-8 hingga
ke-9 Masehi, dan diperkirakan tidak diselesaikan sekaligus, tetapi
pembangunannya membutuhkan waktu beberapa dekade atau mungkin lebih dari satu
abad. Dengan demikian arca-arca Buddha di Borobudur lebih muda tujuh ratus
hingga delapan ratus tahun, jika dibandingkan dengan patung serupa yang berasal
dari Mathura atau Gandhara.
Seperti halnya dalam ajaran Buddhis awal yang tidak
mengenal penggambaran fisik Buddha, demikian juga dalam Taoisme awal tidak
lazim bagi para pengikutnya untuk menggambarkan sosok Lǎo Zǐ
lewat gambar dirinya. Para pengikutnya lebih menyukai untuk merepresentasikan
kekuatan kedewataan dengan cara abstrak dan simbolis. Diagram, peta keramat,
dan berbagai bentuk naskah rahasia, sejak awal memainkan peran penting dalam
penyampaian ajaran. Simbol Tàijí Tú (太极图) dengan dua aspek realitas Yīnyáng
(阴阳), digambarkan dalam dua bidang
berbentuk dua koma tercetak dalam sebuah lingkaran, begitu terkenal sejak zaman
Dinasti Sòng (960–1279) hingga ke masa-masa yang berikutnya.
Secara arkeologis, contoh paling awal dari patung Taois diperkirakan berasal
dari abad kelima Masehi; tetapi arca-arca ini berasal dari Tiongkok Utara,
tempat Tokoh Pembaharu Taoisme, Kòu Qiānzhī (寇謙之, 365–448 M.), yang
konon merupakan orang yang pertama kali mempromosikan ikon semacam itu.
Gambar-gambar ini, dipahat pada prasasti dan dipersembahkan oleh para donatur
pribadi untuk kesejahteraan pejabat pemerintah dan kebahagiaan leluhur mereka, meniru
praktik pelimpahan jasa khas Buddhis yang telah dikenal dan diserap oleh
masyarakat Tiongkok pada masa itu.
Memang, ada indikasi bahwa perbedaan agama hampir tidak berarti bagi
penganut lingkungan masyarakat adat tersebut. Beberapa monumen batu
menggabungkan gambar dewa Buddha dan Taois, yang hanya dibedakan oleh ciri-ciri
kecil. Sementara sosok Buddha dan Bodhisattva menampilkan uṣṇīṣa atau
mahkota dan pakaian biara, Dewa Taois sering dilukiskan berjanggut dan memegang
kipas, topi, busana, dan ikat pinggang ala orang Tionghoa zaman itu. Jika ada
pengelompokan arca-arca dewa Taois dalam satu altar, biasanya dewa utama diapit
oleh dua sosok dewa pengawalnya. Hal ini juga dianut dalam ikonografi Buddhis
yang berkembang di Tiongkok.
Kemudian jika kita melihat penggambaran sosok Lǎo Zǐ sebagai
salah satu dari Tiga Yang Suci atau Sānqīng
(三清), ketiga ikonografi individualnya
tetap sama. Hanya dalam perkembangan
selanjutnya Yuánshǐ Tīanzūn dilukiskan
sedang memegang mutiara, Língbǎo Tiānzūn membawa tongkat kerajaan, dan Dàodé Tiānzūn tetap
mempertahankan ciri-ciri Tuan Lǎo yang berambut putih dan berjanggut. Sementara adanya
patung-patung Lǎo Zǐ pada masa Enam Dinasti (220–589) dimaksudkan hanya
sebagai obyek pengabdian pribadi, situasinya berubah secara dramatis di bawah pemerintahan
Dinasti Táng, yang meyakini bahwa leluhur mereka adalah Nabi Lǎo Zǐ itu
sendiri. Kaisar-kaisar yang berkuasa lalu mendukung Taoisme sebagai agama
negara. Para Kaisar Táng membangun jaringan nasional kuil Taois dengan patung-patung
besar leluhur suci. Bahkan pada zaman Wǔ Zétiān (武則天, memerintah
pada 690 - 705 M.), satu-satunya kaisar wanita dalam sejarah Tiongkok; dia memerintahkan
agar arca Ibunda Lǎo Zǐ harus disertakan sebagai pendamping patung Lǎo Zǐ. Lalu
Táng Xuánzōng (唐玄宗, memerintah pada 712 - 756 M.), kaisar terkuat dari Dinasti
Táng, bahkan meminta agar arca dirinya disandingkan dengan patung Lǎo Zǐ. (lihat:
Daoist Iconography, dari Encyclopaedia.com).
Pandangan Taois tentang dewa yang abadi, serta makhluk dunia bawah,
memiliki pengaruh yang luar biasa pada ikonografi agama rakyat populer. Lukisan
dinding dan ukiran pada kuil dan hiasan altar ternyata memainkan peran penting
pada pemahaman rakyat biasa perihal dunia kedewaan dan alam akhirat. Paham Tao
juga menyebar melalui cerita rakyat dan pertunjukan teater. Bukti yang paling jelas
tentang hal ini bisa kita temukan dalam beberapa novel terkenal dari abad
keenam-belas hingga kedelapan-belas, yang menonjolkan dewa-dewi hibrida yang
luar biasa dari agama orang Tionghoa; termasuk konsep keabadian, kedewaan Taois
dan Buddhis, dan dewa-dewi gabungan seluruhnya, yang semuanya tunduk di bawah
kekuasaan Kaisar Langit.
Selain arca dan lukisan Buddha yang banyak kita dapatkan di tempat ibadah
dan rumah-rumah umat, yang juga populer untuk dijadikan sebagai obyek
perlindungan adalah patung dan gambar Dewi Kwan Im (atau Guanyin) atau Avalokitesvara
Bodhisattva. Tulisan tentang Ikonografi Buddhis dan Taois ini kami akhiri
dengan penggambaran Guanyin, yang deskripsinya penulis ambil dari novel
terkenal Perjalanan ke Barat pada Bab ke-12:
"Pancaran kesucian bercahaya di sekelilingnya,
Sinar sakralnya melindungi tubuh Dharma-nya.
Dalam kejayaan Surga tertinggi
Muncul sesosok wanita Yang Kekal.
Sang Bodhisattva,
Dikenakan pada kepalanya
Rumbai-rumbai mutiara yang menakjubkan
Dengan gesper emas,
Dipadukan dengan batu pirus,
Dan cahaya keemasan,
Dia mengenakan di sekujur tubuhnya
Sebuah gaun biru dengan burung-api yang sedang terbang,
Berwarna-pucat,
Berpola air yang mengalir,
Yang mana naga emas melingkar di sana,
Di depan payudaranya
Seberkas kecemerlangan-bulan,
Tarian-angin,
Bertahtakan-mutiara,
Gelang perangkat-kemala penuh semerbak wewangian.
… … …
Jambangan yang dipegangnya memberikan keberkahan dan keselamatan,
Dan di dalam jambangan ada sepotong tangkai
Dedalu yang sedang menangis, yang menyapu bersih sang kabut,
Memercikkan airnya pada surga-surga,
Membersihkan semua kejahatan.
Cincin-cincin kemala melingkari kancing-kancing brokat
Serta kaki teratai-emasnya tetap tersembunyi.
Dia sanggup mengunjungi tiga surga,
Karena dia adalah Guanyin, sang penyelamat dari penderitaan."
sdjn/dharmaprimapustaka/230405
Tidak ada komentar:
Posting Komentar