Jumat, 28 April 2023

BERSYUKUR




Para pembaca mungkin pernah mendengar cerita mengenai orang Jawa, seperti yang akan penulis ulangi dalam pembuka tulisan ini. Alkisah ada orang Jawa yang sedang mengendarai sepeda motor di jalan umum. Hari itu dia naas; dia mengalami kecelakaan dan sepeda motornya rusak. Tapi alih-alih menyesali kesialannya, dia dengan entengnya menggumam: "Untung saya tidak cidera, cuma sepeda motor ini saja yang rusak." Pada kesempatan berikutnya dia dengan sepeda motornya sekali lagi mengalami kecelakaan. Kali ini lebih parah, kaki kirinya patah; dan sebagai konsekuensinya bagian kakinya yang cidera itu mesti di-gips dan pergerakannya jadi terbatas. Lagi-lagi tidak ada keluhan yang terlontar dari mulutnya. Dia hanya bilang, "untung cuma satu kaki yang patah. Coba kalau keduanya, saya pasti lebih menderita."

 

Anda para pembaca sebagian tersenyum-senyum mendengar kisah di atas. Tetapi cerita ini belum selesai. Mungkin ada yang bertanya bagaimana jika dalam kecelakaan tersebut orang Jawa itu menderita cidera hebat, hingga kedua kakinya patah dan dia lumpuh. Ternyata masih ada alasan yang membuat kita tercengang. "Meskipun lumpuh, untung saya masih hidup." Sekarang jika kecelakaan itu begitu fatal dan dia langsung tewas di tempat, serta andaikata orang itu masih menyadari keadaannya, mungkin dia akan berkata: "Untung saya langsung mati. Kalau masih hidup pasti akan tersiksa." Tentu saja dalam kasus yang terakhir ini, ungkapan itu diutarakan oleh orang Jawa lainnya yang mendengar kisah memilukan itu. Selesai? Belum. Entah mendapat wangsit dari mana, orang yang tewas di tempat karena kecelakaan itu, tetap menemui nasib malang sesampainya di akhirat. Dia dijebloskan ke neraka. Eh, setelah dia menyadari keadaannya, dia masih bisa berkata: "Untung di neraka ini saya tidak kesepian, karena teman saya banyak." Ha-ha-ha!

 

Jadi kita bisa menyimpulkan bahwa orang Jawa itu – tak peduli bagaimana buruk keadaannya selalu merasa beruntung. Dalam Gramedia Blog pada Kebiasaan Orang Jawa, disebutkan bahwa orang Jawa itu nerimo ing pandume Gusti, maknanya menerima apa pun yang sudah diberikan Tuhan. Orang Jawa tidak suka bersifat aneh-aneh dan macam-macam. Mereka biasanya menerima kondisi apa pun dari pasangannya asalkan saling suka dan cocok. Contoh lain, ketika mendapati Ibu memasak tempe dan tahu goreng, Bapak atau anak-anaknya tidak akan menuntut lebih, mereka akan memakannya dan tidak meminta macam-macam. Dalam menghadapi problem dan tantangan hidup juga seperti itu, orang Jawa cenderung menerima.

 

Dalam phinemo.com dengan artikel Kebiasaan dan Sifat Orang Jawa yang Bikin Terpesona, disebutkan meski tak semua, namun orang Jawa sudah diajarkan menjaga etika dan sopan santun sedari kecil. Orang Jawa itu penurut dan tidak neko-neko. Mereka dikenal mau menerima apa adanya, meski sesekali mengeluh juga. Percaya atau tidak, orang Jawa selalu mensyukuri apa pun yang terjadi, dan mengambil sisi positif meski tertimpa musibah buruk sekali pun. Moto hidupnya, "Hidup mengalir seperti air. Jalani saja dulu."

 

Tanpa kita sadari setiap pagi lewat pertemanan di Grup WA atau media sosial lainnya, selalu diingatkan bahwa seyogianya kita selalu bersyukur. Apa itu bersyukur? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bersyukur artinya berterima kasih. Berterima kasih kepada siapa? Dalam konteks orang Jawa di atas berterima kasih kepada Gusti Allah atau Sang Pencipta. Dalam bahasa Inggris, bersyukur bisa diterjemahkan sebagai be grateful, yang maknanya sama seperti yang ada dalam bahasa Indonesia. Dengan bersyukur kita tetap berterima kasih kepada Sang Pencipta, walaupun keadaan kita kadang-kadang baik, atau terkadang juga tidak baik.

 

Hidup kita sekarang, entah kita kaya atau miskin, berpengetahuan atau tidak berilmu, memiliki jabatan yang tinggi atau hanya sebagai orang biasa dalam masyarakat; wajib kita jalani dengan berterima kasih, menganggap bahwa kita selalu beruntung, merasa puas dengan yang apa yang kita miliki, dan tidak perlu berkeluh-kesah. Mungkin Anda pernah mendengar cerita inspiratif "Doa Si Gareng", berikut ini:

 

Alkisah di satu waktu hidup seorang petani biasa, yang dipanggil si Gareng, yang tidak pernah merasa puas dengan keadaannya. Dia melihat banyak orang sukses di sekelilingnya dan berharap bisa menyamai mereka dalam hal nasib dan peruntungannya. Si Gareng termasuk orang yang beruntung karena doa-doanya selalu dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa. Melihat sosok saudagar kaya yang santai-santai saja duduk di tokonya dan menerima banyak uang dari para pelanggannya, si Gareng pun berdoa: "Ya Tuhan, jadikanlah hambaMu orang yang hanya dengan berkipas-kipas saja, uang selalu mendatangiku." Jreeeng!!! Tidak butuh waktu lama, keinginan si Gareng terpenuhi. Dia sedang mengipas-ngipasi seporsi sate di atas sebuah panggangan panjang. Alamak!!! si Gareng sudah jadi penjual sate, yang setelah menyerahkan hidangan kepada pembeli yang memesannya, langsung menerima uang.

 

"Ya, Tuhan. Ternyata permintaanku keliru.Tetapi itu salahku juga." Gareng pun berpikir keras dan dia melontarkan permohonan kedua. "Ya Tuhan, jadikanlah aku orang yang hanya dengan duduk menggoyang-goyangkan kaki, bisa mendapat rejeki dengan mudah." Jreeeng!!! Tidak sampai setengah hari keinginan Gareng terpenuhi. Dia sekarang mengayuh pedal sebuah mesin jahit. Cita-citanya kesampaian dan dia mendapat rejeki dari jasa menjahit pakaian. Masih belum merasa puas, dia mengeluh, "wah. Aku salah lagi. Bukan ini yang kuinginkan. Aku salah lagi merumuskan keinginanku." Tidak puas juga, dia berdoa kembali untuk kali ketiga: "O, Yang Kuasa, cukup dengan duduk diam saja, biarkanlah uang yang mendatangiku." Jreeeng!!! Keesokan harinya si Gareng sudah menjadi penjaga toilet umum di sebuah terminal bus, dan orang-orang dengan ikhlas memasukkan uang receh ke sebuah kotak di hadapannya.

 

Si Gareng cemberut dan mulai sedikit frustasi, tetapi dia masih berharap dia bakal mendapatkan pekerjaan yang diinginkan. Sekali ini dia berpikir keras dan mulai mengajukan permohonan lagi. "Oh, Tuhan, sekali ini jadikan aku hambaMu orang yang berkuasa. Berwibawa dan bisa mengatur orang kaya dan terhormat sesuai kehendakku. Jreeeng!!! Tiga hari kemudian Gareng sudah mengenakan seragam biru-muda dan biru-tua yang elegan, serta dia menjadi seorang juru parkir di sebuah kompleks gedung pemerintahan. Benar saja. Pejabat dan pengusaha tunduk pada perintah sang juru parkir Gareng, yang dengan tegas memberi aba-aba sewaktu mereka memarkir kendaraannya. Gareng hanya bisa mengurut dada dan tidak bisa berbuat apa-apa. Hingga beberapa lama Gareng tampak pasrah, dan sambil mengeluh dia menggumam: "Ya, Gusti. Koq aku salah melulu. Mohon untuk yang kesekian kalinya, jadikanlah aku pria yang senantiasa dikelilingi oleh para wanita." Setelah satu minggu, Jreeeng!!!, si Gareng menjelma menjadi seorang tukang sayur keliling, dan benar saja ibu-ibu dan para pembantu rumah tangga selalu mengerumuninya.

 

Kali ini tokoh kita, si Gareng, benar-benar mati kutu, dan dia sudah insaf. "Duhai, Gusti. Hamba sungguh-sungguh kapok. Kembalikan hamba ke keadaan yang semula." Jreeeng!!!, si Gareng pun segera kembali menjelma menjadi seorang petani yang sederhana.

 

Kita mungkin menertawai ulah si Gareng yang tidak kenal puas dan malahan memimpikan untuk menjadi sosok orang lain. Tetapi sesungguhnya siapa itu si Gareng? Si Gareng adalah kita-kita ini, termasuk penulis juga. Dulu sewaktu penulis masih muda dan baru tamat dari perguruan tinggi, kemudian mulai bekerja sebagai seorang staf teknik dengan tugas melakukan pekerjaan perawatan di satu komplek gedung perkantoran. Sebagai staf yang baru magang bisa dimaklumi saat penulis disuruh-suruh oleh atasan. Pada waktu itu terpikir oleh penulis: "Alangkah enaknya menjadi bos, bisa punya banyak anak buah dan memerintah mereka sesuka hati kita."

 

Akhirnya penantian penulis datang juga. Beberapa waktu berselang penulis diangkat menjadi chief engineer alias pimpinan para teknisi di perusahaan itu. Senang? Ya, pertama kali gembira dan bangga, dan itu hanya berlangsung sebentar. Sesudahnya mulailah penulis menghadapi beban kerja yang bertumpuk dan tak kenal selesai. Setiap hari wajib melakukan briefing dan menghadiri rapat-rapat yang membosankan. Jika ada pekerjaan perawatan yang tidak sesuai dengan keinginan pelanggan, mereka komplain lewat telepon dan terkadang memaki-maki. Bertanggung jawab terhadap instalasi vital, kemana-mana dan bahkan di hari libur panjang, penulis harus membawa pulang pesawat HT (handy talky) serta standby setiap saat, Maklum pada zaman itu telepon genggam belum ada. Akhirnya baru merasakan bahwa setelah mendapatkan pekerjaan idaman, ternyata menjalankannya bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Demikian juga beberapa belas tahun kemudian. Penulis dipercayakan memimpin operasi sebuah pusat perbelanjaan. Dengan menerima jabatan ini kita dituntut tanggung jawab lebih, bukan hanya untuk lingkup kepentingan pemberi tugas dan anak buah serta sejawat di lingkungan perusahaan, tetapi juga melayani masyarakat.

 

Maka dari itu jika penulis mencermati apa yang hangat dibicarakan oleh media massa hari-hari gini, mereka sibuk membicarakan pemilihan umum yang akan diadakan kurang dari setahun ke depan. Yang paling seru dan banyak dijadikan obyek berita, apalagi kalau bukan siapa yang akan menjadi sosok presiden kita mendatang. Menilik pada antusiasme masyarakat ternyata banyak sekali orang di Republik ini yang bermimpi menjadi presiden. Bahkan bagi mereka, jika mungkin konstitusi yang mengatur pencalonan presiden diamandemenkan. Padahal jika dihitung dari jajak pendapat kemungkinan orang biasa terpilih menjadi orang nomor satu hanya berkisar nol koma nol-nol sekian persen saja. Bahkan ketua partai yang sering muncul di layar kaca dan sudah beken pun, tingkat keterpilihannya masih sangat kecil. Dan jangan lupa yang bisa menduduki jabatan presiden cuma satu orang setiap lima tahun sekali.

 

Mereka bermimpi, nikmat dan begitu mulianya jika dia bisa menjadi presiden, padahal hanya sedikit orang yang memenuhi persyaratan untuk jabatan tersebut. Mereka tidak berpikir bahwa sekali saja keputusan yang tidak populer diterbitkan untuk rakyat – seperti menaikkan harga BBM – maka presiden atau pemerintah harus siap dikritik dan dicaci-maki. Kita pernah menyaksikan dalam satu demonstrasi menentang kebijakan pemerintah, para demonstran yang marah menginjak-injak potret presiden dan membakar patung kertasnya. Itulah saat yang tidak menyenangkan bagi seorang presiden, dan mereka tidak pernah membayangkannya. Jangankan presiden, pemangku kekuasaan di bawahnya pun sering kali menjadi bulan-bulanan para warganet di media sosial. Kadang-kadang penulis sendiri pun miris membaca postingan mereka yang dilontarkan secara keji dan sadis. Panggilan "gubernur" yang terhormat, sebagai pemimpin daerah di sebuah provinsi, diplesetkan menjadi gabener. Belum lagi sumpah serapah yang diumbar secara vulgar.

 

Begitulah kehidupan ini; sesuatu yang dulu diidam-idamkan, setelah diperoleh dengan penuh perjuangan ternyata biasa-biasa saja. Setelah kita mendapatkan jabatan dan kedudukan yang kita cita-citakan, pada satu titik kita merasa semuanya itu hambar dan tidak ada gregetnya lagi. Coba kita melihat apa yang dialami oleh Peter Betts (lahir 7-Agu-1951), seorang sarjana fisika lulusan Cambridge University yang sebelum usianya menginjak 23 tahun pergi ke Thailand, untuk mengikuti kehidupan monastik selama satu tahun. Ternyata Peter merasa krasan hidup sebagai seorang samanera, dan belakangan dia ditahbiskan menjadi seorang bhikkhu. Peter kemudian beruntung karena berjodoh menjadi murid Ajahn Chah, seorang guru meditasi Thai yang tersohor, dan dia menjalani kehidupan monastiknya sebagai bhikkhu tradisi hutan selama sembilan tahun. Peter lebih dikenal dengan nama penahbisannya, yakni Ajahn Brahm.

 

Demikianlah Ajahn Brahm menulis, "saat saya masih muda saya kurus. Soalnya semua makanan enak diberikan kepada para bhikkhu senior, dan saya hanya dapat sisanya saja! Saya merasa ini sangat tidak adil. Para bhikkhu tua itu khan sudah tercerahkan? Mereka tidak butuh lagi makan enak. Saya yang butuh makan enak! Bukan itu saja, saya harus duduk di lantai semen yang keras, sementara mereka boleh duduk di bantal yang besar dan empuk. Para bhikkhu senior itu seharusnya khan tidak butuh bantal empuk, soalnya mereka sudah gendut-gendut! Saya khan masih sangat kurus, jadi saya yang seharusnya duduk di bantal itu. Dan yang paling parah, para bhikkhu tua itu selalu punya proyek untuk membangun ini itu, termasuk membangun vihara, serta saya dan para bhikkhu yuniorlah yang mengerjakannya. Saat itu saya mengeluh dan mereka berkata, "kamu sedang mengalami young monk's suffering (derita bhikkhu muda)." Selanjutnya beberapa belas tahun setelah dia menjadi seorang bhikkhu senior, Ajahn berkata: "Saat ini saya tidak mengalami derita bhikkhu muda lagi. Saya sudah gendut, saya menyantap makanan enak, saya tidak perlu bekerja lagi, tetapi sekarang saya mengalami derita bhikkhu tua."

 

Menurut Ajahn Brahm, "Berpikir bahwa Anda akan bahagia dengan menjadi seorang yang lain, semua hanyalah khayalan Anda sendiri. Menjadi seorang yang lain hanyalah seperti mengganti satu bentuk penderitaan ke bentuk penderitaan lainnya. Namun, saat Anda merasa berkecukupan dengan apa adanya diri Anda, maka Anda terbebas dari derita. Untungnya saya, Malangnya mereka."

 

Perkataan Ajahn Brahm itu betul seribu persen. Dalam kasus pribadi penulis, sewaktu menjadi staf teknik pada awal karier, penulis mengalami derita seorang staf yang selalu diperintah oleh atasannya. Setelah menjadi seorang kepala teknisi, penulis tidak lagi mengalami derita sebagai staf teknik, melainkan menjalani penderitaan sebagai seorang kepala teknisi. Akhir tahun 2008 penulis memutuskan untuk pensiun dari pekerjaan formal, lalu mulai berwirausaha secara kecil-kecilan. Beberapa tahun belakangan ini, dengan waktu luang yang masih tersedia, penulis masih bisa menekuni pekerjaan penulisan dan penerjemahan. Sekarang penulis mengalami derita seorang entrepreneur dan writer sekaligus. Ha-ha-ha!!

 

Jadi kesimpulannya sejauh ini, puaslah dan merasa beruntunglah dengan  keadaan yang Anda miliki sekarang, wahai para pembaca. Kita harus mengikuti teladan wong Jowo, yang telah dipaparkan dalam awal tulisan ini. "Saya beruntung dan saya bersyukur, dengan apa yang saya miliki dan yang telah saya jalani."

 

Kita masih ingat pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia dan dunia sejak akhir tahun 2019 hingga akhir tahun 2022 yang lalu. Inilah wabah global yang mengguncang dan menghancurkan di abad ini, yang sempat kita alami. Masih terbayang betapa kita semua was-was dan merasa ketakutan pada penyakit yang mengerikan ini. Namun beruntunglah dan bersyukurlah kita semua, bahwa pandemi telah berlalu. Sebagai penutup tulisan ini, kami mengutip syair lagu Badai Telah Berlalu, dari Diskoria, laleilmanino, dan  dinyanyikan oleh Bunga Citra Lestari (Januari 2023), berikut ini:

 

"Sirna sudah, oh, awan hitam di hatiku yang sedang gelisah

Kini akan ku kembali jauh terbang tinggi

Ke angkasa

Bersama, oh, merpati putih yang tak lelah

Melayang hingga awan terang

 

Dan kini ternyata ujung cerita bak kurnia dewata

Hatiku berseri, senyum mentari datang kembali

Pilu yang dulu hilang (Kini berganti merdu)

Badai telah berlalu

 

Ho-oh-oh-oh

Hu-uh-uh-uh-hu-oh

Duniaku merdu, badai telah berlalu

Duniaku merdu, badai telah berlalu

 

Dan kini ternyata ujung cerita bak kurnia dewata

Hatiku berseri, senyum mentari datang kembali

Pilu yang dulu hilang kini, oh, berganti merdu

Khayalku menyata, ujung cerita kita bak kurnia dewata

Hatiku berseri, matahari yang kunanti telah kembali

Pilu yang dulu hilang kini berganti merdu

Pilu yang dulu hilang (Berganti merdu)

Badai telah berlalu

Badai telah berlalu."

 

sdjn/dharmaprimapustaka/230419

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar