Rabu, 22 Maret 2023

ANTROPOMORFISME





Jika orang bertanya sejak kapan manusia mengenal kepercayaan terhadap kekuasaan supranatural, maka penemuan berikut ini barangkali bisa menjawab pertanyaan itu. Kira-kira lebih dari seratus tahun yang lalu, antara 1912 hingga 1914, tiga bersaudara, Max, Jacques, dan Louis Bégouën, bersama ayah mereka Comte Henri Bégouën, menemukan sebuah goa di Montesquieu-Avantès, Ariège, Perancis. Kelak goa ini dikenal dengan nama The Sanctuary (maknanya: "tempat perlindungan"), di Goa Trois Frères berarti Goa Tiga Bersaudara. Eksplorasi goa yang cukup rumit ini terganggu karena bertepatan dengan meletusnya Perang Dunia ke-1 (1914-1918), dan baru dilanjutkan pada tahun 1918. Dua tahun kemudian (1920), H. Bégouën dan H. Breuil menerbitkan gambar The Sorcerer untuk pertama kalinya. The Sorcerer artinya "Sang Penyihir". Setelah diinvestigasi menggunakan penanggalan radiokarbon, keberadaan goa itu berasal dari tahun 13.000 sebelum Masehi (atau lima-belas ribu tahun yang lalu).

 

Goa itu memiliki lukisan dinding yang berisi begitu banyak gambar, dengan banyak fragmen yang saling terkait secara kompleks, sehingga studi mereka memakan waktu beberapa dekade. Breuil menunjukkan bahwa Max Bégouën pertama kali melihat dan memotret lukisan itu. Breuil menulis: "Pertama-tama, 'sang dewa' pertama yang disebut 'Sang penyihir' oleh Count Bégouën dan aku, satu-satunya sosok yang dilukis dengan warna hitam dari semua pahatan dan ukiran di Tempat Perlindungan ini, empat meter di atas lantai dalam posisi yang tampaknya tidak dapat diakses, dan hanya bisa dicapai lewat sebuah koridor rahasia yang perlu dipanjat melalui sebuah lorong berliku-liku. Jelas, dia memimpin semua hewan itu, yang telah dikumpulkan dalam jumlah yang fantastis, dan mereka dibiarkan begitu saja dalam tumpukan-tumpukan. Tingginya 75 cm dan lebar 50 cm, dia sepenuhnya terpahat tetapi lukisan itu terdistribusi secara tidak merata. Kepalanya hanya berupa jejak, yakni pada mata, hidung, dahi, dan telinga kanan. Kepalanya membentuk wajah penuh dengan mata bundar beserta bola-matanya. Di antara mata ada garis untuk hidung, yang berakhir dengan sebuah lengkungan kecil. Telinga yang ditusuk mirip dengan kuping seekor rusa jantan. Dari bando yang dicat hitam di bagian dahi muncul dua buah tanduk tebal besar. Sosok ini tidak memiliki mulut tetapi mempunyai jenggot yang panjang dan jatuh di dada. ... 'Sang Penyihir' ini jelas laki-laki dan dia berdiri walaupun tidak tegak, dengan tubuh condong berat ke belakang namun telah berkembang dengan baik, serta di bawahnya ada ekor lebat seekor Serigala atau Kuda dengan jumbai di ujungnya. Begitulah sosok Magdalenian (budaya Paleolitik Muda di Eropa Barat) yang paling penting dalam kehidupan di goa, dan sosok Roh yang mengendalikan ekspedisi berburu demi mendapatkan hasil buruan yang melimpah."

 

Lima-belas ribu tahun silam dikenal sebagai zaman prasejarah, ketika nenek moyang kita menjadi pemburu-pengumpul untuk memenuhi kebutuhan pangannya, kehidupan mereka sangat tergantung pada hasil perburuan. Sebagai tempat perlindungan sehari-hari mereka tinggal di goa-goa. Tidak adanya pasokan daging buruan dalam jumlah yang memadai untuk seluruh anggota komunitas, bisa mengancam kelangsungan hidup kelompok tersebut. Namun tidak setiap kali mereka melakukan perburuan hewan, akan mendapatkan hasil yang berlimpah. Jadi muncul kepercayaan bahwa kekuatan supranatural mampu membantu mereka mendapatkan tangkapan yang berlimpah.

 

Kita  kembali kepada The Sorcerer atau Sang Penyihir, yang merupakan nama yang diberikan untuk lukisan gua misterius itu. Signifikansi sosok itu tidak diketahui, tetapi biasanya diartikan sebagai semacam roh agung atau penguasa hewan. Sifat tidak biasa dari dekorasi The Sanctuary mungkin juga mencerminkan praktik upacara magis di ruangan tersebut. Dalam sketsa seni guanya, Henri Breuil menggambar batang tubuh humanoid bertanduk, dan publikasi gambar ini pada tahun 1920-an mempengaruhi banyak teori selanjutnya tentang sosok tersebut.

 

Margaret Murray, seorang arkeolog dan antropolog Inggris yang terkenal, setelah melihat gambar yang dipublikasikan, menyebut gambar Breuil sebagai "penggambaran pertama dewa di Bumi". Pendapat ini kemudian diadopsi oleh Breuil dan para ahli lainnya. Jika benar lukisan itu menggambarkan sesosok roh agung, sesosok dewa yang memastikan agar upaya perburuan menghasilkan panen yang berlimpah. Dia digambarkan sebagai sesosok makhluk Antropomorfik, dengan lengan manusia, kaki beruang, ekor kuda, tanduk rusa manjangan, janggut bison, dan mata burung-hantu. Antropomorfik berasal dari kata 'antropomorfisme', yang berarti atribusi sifat manusia, emosi, atau niat untuk entitas non-manusia. Ini dianggap sebagai kecenderungan bawaan dari psikologi manusia. Selain antropomorfisme dikenal pula istilah 'personifikasi', yakni atribusi terkait bentuk dan karakteristik manusia dengan konsep abstrak seperti negara, emosi, dan kekuatan alam, seperti musim dan cuaca. Keduanya memiliki akar kuno sebagai alat penceritaan dan penciptaan seni manusia purba; dan ternyata sebagian besar budaya memiliki dongeng tradisional dengan hewan Antropomorfik sebagai karakternya. Orang-orang juga secara rutin mengaitkan emosi dan perilaku manusia, serupa dengan yang terjadi pada hewan liar dan binatang peliharaan.

 

 

Kita cukupkan dulu perbincangan perihal kepercayaan dan ritus-ritus permohonan manusia terhadap dewa pada masa prasejarah. Kita coba meneliti kasus yang sama pada masa yang lebih kemudian, dan untuk contohnya penulis mengambilnya dari peradaban Helenestik atau Yunani Kuno. Orang Yunani percaya pada dewa dan dewi, yang menurut mereka, memiliki kendali atas setiap aspek kehidupan manusia. Mereka percaya bahwa manusia harus berdoa kepada para dewa untuk meminta bantuan dan perlindungan, karena jika para dewa tidak senang dengan seseorang, maka mereka akan menghukumnya. Mereka membuat tempat khusus di rumah dan di kuil, tempat mereka bisa bersembahyang di hadapan patung dewa, dan meletakkan persembahan atau hadiah bagi entitas yang mereka puja.

 

Sekitar 700 seb.M., sang penyair Hesiod menulis Theogonía (artinya 'silsilah atau kelahiran para dewa') dalam dialek Epik Yunani Kuno, yang berisi 1022 baris puisi. Inilah kosmogoni tertulis pertama dalam mitologi Yunani, yang menceritakan asal mula alam semesta dari ketiadaan atau chaos (kekacauan, kehampaan) menjadi segala yang ada. Theogonía merinci pula silsilah dewa dan dewi yang rumit, yang be-revolusi dari chaos lalu turun ke Gaia (Bumi), Ouranos (Langit), Pontos (Samudera), dan Tartaros (Dunia Bawah). Pada pusat mitologi Yunani terdapat jajaran dewa dan dewi yang dikatakan tinggal di Gunung Olympus, gunung tertinggi di Yunani. Dari tempat bertengger mereka yang tinggi, mereka menguasai setiap aspek kehidupan manusia. Dewa dan dewi Olympian tampak seperti pria dan wanita, walaupun mereka dapat mengubah-diri mereka menjadi hewan dan benda lainnya.

 

Dewa dan dewi itu disembah oleh orang Yunani Kuno, masing-masing dengan kepribadian dan ranah kekuasaan yang berbeda. Mitologi Yunani menjelaskan asal usul para dewa dan hubungan individual mereka dengan umat manusia. Seni Yunani Kuno dan Klasik mengilustrasikan banyak episode mitologis, termasuk ikonografi mapan atribut yang mengidentifikasi setiap dewa. Ada dua belas dewa utama dalam panteon Yunani. Yang terpenting adalah Zeus, dewa langit dan pimpinan para dewa, yang disucikan oleh lembu dan pohon ek, serta kedua saudara laki-lakinya, Hades dan Poseidon, masing-masing memerintah Dunia Bawah dan Samudera. Hera, saudara perempuan dan isteri Zeus, adalah ratu para dewa, dan dia sering digambarkan mengenakan mahkota yang tinggi.

 

Orang Yunani memiliki dewa yang berbeda untuk hampir semua hal. Mereka membayangkan bahwa para dewa hidup bersama, sebagai satu keluarga, di puncak Gunung Olympus. Mitologi kuno sering merepresentasikan kedewataan dengan bentuk dan kualitas manusia. Mereka menyerupai manusia tidak hanya dalam penampilan dan kepribadian; mereka menunjukkan banyak aspek kehidupan manusia untuk menjelaskan fenomena alam, penciptaan, dan peristiwa sejarah. Para dewa jatuh cinta, menikah, punya anak, berperang, menggunakan senjata, serta menunggang kuda dan kereta. Mereka berpesta sajian khusus, dan kadang-kadang membutuhkan pengurbanan makanan, minuman, dan benda suci yang dipersembahkan oleh manusia. Beberapa dewa antropomorfik menerangkan misteri kehidupan manusia yang tidak bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan pada saat itu, seperti cinta, perang, kesuburan, keindahan, atau musim. Dewa Antropomorfik memperlihatkan kualitas-kualitas yang ada pada manusia seperti kecantikan, kebijaksanaan, dan kekuatan; serta terkadang kelemahan manusia seperti keserakahan, kebencian, kecemburuan, dan kemarahan yang tidak terkendali. Dewa Yunani seperti Zeus dan Apollo sering digambarkan dalam bentuk manusia yang menunjukkan sifat manusia yang terpuji atau tercela. Antropomorfisme dalam hal ini lebih spesifik dinamakan sebagai 'antropoteisme'.

 

Beberapa agamawan, cendekiawan, dan filsuf Yunani Kuno keberatan dengan konsep dewa Antropomorfik yang digambarkan oleh Hesiod. Kritik paling awal datang dari filsuf Yunani Xenophanes (570–480 seb.M.) yang mengamati bahwa manusia mencontohkan dewa-dewa mereka menurut gambaran diri mereka sendiri. Dia menentang konsepsi dewa sebagai entitas-antropomorfik. Dia berkata bahwa "dewa terbesar" menyerupai manusia "baik dalam bentuk maupun pikiran", seperti yang diutarakan dalam kritiknya:

 

"Tetapi jika sapi, kuda, dan singa memiliki tangan,

Atau bisa melukis dengan tangan mereka dan membuat karya seperti yang dilakukan oleh manusia,

Kuda seperti kuda; dan lembu seperti lembu;

Juga akan menggambarkan bentuk para dewa dan menjadikan tubuh mereka,

Semacam itu seperti bentuk yang mereka miliki sendiri.

… … …

Orang Etiopia mengatakan bahwa dewa mereka berhidung pesek dan berkulit hitam;

Orang _Thracia_ menceritakan bahwa dewa mereka pucat dan berambut merah."

 

Ternyata bukan hanya orang Yunani Kuno yang memandang dewa-dewi mereka seperti manusia, bahkan di Tiongkok pun orang menganggap Kaisar Langit (atau Kaisar Kemala) atau Yù Huáng Dà Dì (玉皇大帝), memerintah kerajaan kahyangan layaknya seorang kaisar Tiongkok.

 

 

Antropomorfisme bukan saja terjadi pada penggambaran sosok dewa, tetapi juga dalam fabel. Fabel (fable, Inggr.) adalah genre sastra: cerita fiksi ringkas dalam bentuk prosa atau sajak, yang menampilkan hewan, makhluk legendaris, tumbuhan, benda mati, atau kekuatan alam yang antropomorfik. Pencipta fabel bertujuan menyampaikan atau mengajarkan pesan moral tertentu. Selain fabel ada juga dongeng, yang merupakan salah satu bentuk sastra rakyat yang paling bertahan lama, yang tersebar dalam literatur hampir di setiap negara. Fabel dan dongeng sudah sedemikian tuanya dan bermula dari tradisi lisan. Sekarang tradisi mendongeng digiatkan kembali dalam pendidikan anak-anak di Indonesia, karena cerita-cerita yang membawa pesan moral ini masih membekas dalam ingatan, ketika sang anak telah beranjak dewasa.

 

Salah satu tokoh yang terkenal dalam sejarah penciptaan cerita fabel adalah Aesop, yaitu seorang budak Yunani yang hidup pada abad ke-6 sebelum masehi. Aesop terkenal karena kumpulan cerita fabelnya berjudul Fables yang memiliki lebih dari 700 cerita pendek. 

Cerita-cerita fabel Aesop terinspirasi dari kehidupan sehari-hari masyarakat Yunani Kuno, dan dianggap sebagai karya sastra yang paling penting dalam sejarah fabel. Selain itu, fabel juga menjadi populer di kalangan filsuf-filsuf Yunani Kuno seperti Plato dan Aristoteles, yang memanfaatkan fabel untuk mengilustrasikan konsep-konsep filosofis. 

 

Dalam tradisi Buddhis, kita mengenal cerita Jātaka, Jātaka artinya 'Kisah Kelahiran', merupakan kumpulan literatur asli India yang jumlahnya cukup banyak, yang berkaitan dengan kehidupan Buddha Gautama pada kelahiran-kelahiran yang lampau. Kehidupan sebelumnya dari Sang Buddha lebih dikenal sebagai Sang Bodhisattva (Sansk.) atau Bodhisatta (Pāli) artinya 'Calon Buddha'. Nah dalam cerita Jātaka, Sang Bodhisattva ini kerap menjelma dalam wujud manusia, hewan, atau dewa. Penulis akan mengambil satu contoh, yang isinya akan diceritakan di sini. Jātaka yang dipilih adalah Latukika Jātaka, yang terdaftar sebagai Jātaka No. 357.

 

Sang Bodhisattva dalam salah satu kehidupannya yang lampau terlahir sebagai seekor gajah. Dia tinggal di Himalaya bersama dengan delapan puluh ribu kawanan, dan kelompok gajah itu menunjuk dia sebagai pemimpin mereka. Seekor burung puyuh bertelur di tempat para gajah mencari makan, dan beberapa tukik-puyuh baru saja keluar dari cangkangnya ketika kawanan itu tiba. Khawatir kawanan gajah akan menginjak anak-anaknya, burung puyuh itu berdiri di depan Sang Bodhisattva dan memintanya untuk melindungi mereka. Dia mengabulkan permintaan induk burung itu, dengan berdiri di atas sarang-burung demi melindungi anak-anak burung itu, sampai seluruh kawanan hewan raksasa itu lewat dari sana. Sebelum dia meninggalkan tempat itu, Sang Bodhisattva memperingatkan induk burung puyuh, bahwa seekor gajah yang keji sedang berjalan di belakang mereka, jadi induk burung perlu berbicara dengannya juga.

 

Ketika gajah yang keji itu tiba, burung puyuh kembali mengajukan permintaan yang sama kepadanya. Tapi gajah ini jahat, dia malahan dengan sengaja menginjak-injak anak-burung, dan mengencingi jasad mereka yang telah hancur itu. Burung puyuh mengutuk sang gajah jahat dan bersumpah akan membalas dendam; dengan menyatakan bahwa pikiran yang terpusat lebih kuat daripada tubuh yang kekar.

 

Segera setelah anak-anaknya mati, sang burung puyuh menanam perbuatan jasa dengan memberi bantuan kepada burung gagak, lalat, dan katak. Waktu pun berlalu dengan cepat. Ketika saatnya sudah tepat, dia meminta bantuan mereka untuk memberikan pelajaran pada sang gajah yang keji itu. Burung gagak mulai beraksi dengan mematuk kedua mata gajah sehingga makhluk jahat itu menjadi buta. Kemudian lalat bertelur di rongga matanya, dan ketika telur-telurnya menetas menjadi belatung, gajah yang kesakitan berupaya mencuci matanya dengan air. Didengarnya di tempat dia berdiri ada suara katak, jadi gajah buta itu mengira di dekat situ pasti ada sebuah kolam. Sang katak memperdaya makhluk raksasa itu dengan menggiringnya ke tepi sebuah jurang yang dalam. Gajah yang kejam itu terus mengikuti suara katak, dengan perkiraan katak berada di dekat air. Pada saat gajah mendekati bibir jurang, sang katak dengan gesit menjauh dari tebing dan berkokok nyaring. Gajah malang itu pun tertipu dan serta merta jatuh ke jurang hingga tewas. Sang burung puyuh yang gembira melakukan tarian kemenangan di atas bangkai gajah, sebelum terbang menjauh.

 

Sang gajah jahat adalah Devadatta pada kelahiran sebelumnya. Devadatta yang menjadi siswa Sang Buddha, belakangan melawannya dan berupaya membunuh sang guru. Ternyata sejak dulu Devadatta sudah menjadi musuh bebuyutan Sang Bodhisattva. Suatu hari Sang Buddha dilaporkan oleh beberapa muridnya, tentang bagaimana Devadatta berlaku kejam, bengis, dan keji kepada bhikkhu lainnya; bahkan tanpa sedikit pun empati terhadap orang lain. Sang Guru menceritakan kisah ini kepada mereka, sehingga mereka paham bahwa Devadatta pernah berperilaku sejahat itu di masa lampaunya.

 

Dulu ketika penulis masih duduk di bangku Sekolah Dasar, percaya pada cerita bahwa semut dapat mengalahkan gajah. Strateginya? Semut masuk ke telinga gajah dan mulai menggigit organ-dalam telinga makhluk raksasa itu hingga dia kesakitan. Sang gajah mengamuk dengan membentur-benturkan telinganya, namun usahanya tidak membuahkan hasil. Hewan malang itu lalu mengamuk dengan menabrakkan kepalanya ke batu hingga akhirnya dia tewas. Dan semut menang dalam pertempuran melawan gajah. Tentu itu ilusi seorang anak yang mungkin terjadi pada banyak orang seusia dia. Namun setelah bertahun-tahun belajar di bangku sekolah, kita memahami, adalah mustahil semut bisa menang melawan gajah. Dalam fabel di atas, termasuk dalam cerita Jātaka, dikisahkan bahwa hewan yang berbeda spesies dapat saling berkomunikasi, entah dengan menggunakan bahasa apa. Hewan juga bisa berpikir dan menyusun strategi seperti yang dilakukan oleh manusia. Hewan yang berbeda jauh, dilihat dari bentuk, ukuran, dan habitat tempat hidupnya, pun dalam fabel bisa saling berkawan dengan akrab dan bersama-sama mereka merancang sebuah rencana yang brilian. Inilah yang dinamakan hewan berpikir, berbicara, dan bertindak seperti halnya manusia. Jadi fabel adalah salah satu produk antropomorfisme.

 

Pertanyaannya sekarang, mengapa Sang Buddha memanfaatkan fabel untuk menarasikan kisah-kisah kehidupannya yang lampau? Keberadaan dongeng dan fabel sudah ada jauh sebelum Sang Buddha lahir. Cerita dongeng dan fabel begitu populer di kalangan rakyat Jambudvipa, karena mudah dicerna oleh orang kebanyakan. Dengan menceritakan fabel yang menarik, Sang Buddha berlaku seperti yang dilakukan oleh filsuf Yunani ternama, memanfaatkan cerita dongeng untuk menyampaikan pesan Dharma. Bagi kita umat Buddha tidaklah penting apakah Jātaka itu hanyalah sekedar dongeng. Semua ilustrasi di dalam Jātaka sebenarnya merefleksikan bekerjanya hukum Karma dan Tumimbal-lahir.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/230322


Tidak ada komentar:

Posting Komentar