Rabu, 08 Maret 2023

SHÌ ZHÈNG YÁN DAN TZU CHI


 

 

 

(Bagian Kedua dari Dua Tulisan)

 

 

Pada bagian terdahulu diceritakan bahwa pada awal musim semi atau permulaan tahun 1963, Jǐn Yún yang saat itu berusia 26 tahun resmi ditahbiskan oleh Master Yìn Shùn menjadi seorang bhiksuni, dengan nama Dharma Zhèng Yán (lebih sering ditulis 'Cheng Yen'). Mulai hari itu dan selanjutnya selama 32 hari dia tinggal di Vihara Lin Ji, untuk mempelajari sila-sila dasar bagi seorang bhiksuni yang sudah ditahbiskan.

 

Setelah itu Bhiksuni Zhèng Yán pulang ke pondok mungil yang telah dibangun oleh Bapak Xǔ Cōng Mǐn, yang terletak di belakang Vihara Pǔ Míng. Di sana sampai Oktober 1963 dia membaca dan mempelajari Sutra Bunga Teratai. Karena dia menolak persembahan makanan dan keperluan sehari-hari, penghidupannya menjadi tidak mudah. Pada Oktober di tahun yang sama Zhèng Yán mulai mengajarkan Sutra Ksitigarbha di Kuil Tzu Shan, Hualien, selama sekitar delapan bulan. Yang menonjol dalam pengajarannya, dia menggunakan bahasa yang sederhana untuk menjelaskan Dharma yang sangat dalam maknanya, serta mengaitkannya dengan contoh permasalahan yang biasa dihadapi orang awam dalam kehidupan sehari-harinya. Pengikutnya bertambah dengan cepat dan dia segera mendapat sebutan 'Suhu Zhèng Yán'.

 

Meskipun baru berusia 26 tahun banyak pendengarnya yang langsung terpukau, ketika dia mengungkapkan filosofi dari India yang sudah berusia lebih dari 2.500 tahun. Setelah dia selesai berceramah, orang-orang terkesima, dan banyak di antara mereka yang bersedia menjadi pengikutnya. Ajarannya kemudian menjadi sangat populer di kalangan penduduk setempat, dan beberapa perempuan muda terinspirasi untuk menjadi muridnya. Salah satu yang berjodoh menjadi siswa pertamanya adalah Shì Dé Cí (釋德慈), selanjutnya kita panggil Suhu Cí, seorang perempuan lajang yang telah bertahun-tahun bercita-cita menjadi seorang bhiksuni. Setelah menetap selama delapan bulan di Kuil Tzu Shan, pertengahan tahun 1964 Suhu Zhèng Yán kembali ke Vihara Pǔ Míng, dan dia telah menerima empat orang siswa lagi.

 

Suhu Cí menulis: "Setelah itu selama beberapa tahun, kami berenam tinggal di sebuah pondok kecil di puncak bukit di belakang Vihara Pǔ Míng. (Master Cheng Yen: Teladan ..., hal. 82-83). Ruangannya berukuran kurang lebih 12 meter persegi. Kami berenam harus berdesak-desakan di dalamnya, saling berbagi dua buah selimut katun tebal pada malam hari." Sesuai dengan prinsip yang dianut Suhu Zhèng Yán, dia sendiri dan para pengikutnya harus hidup mandiri dengan bekerja untuk mencari nafkah, dan mereka menolak persembahan atau melakukan pelayanan ritual keagamaan demi mendapatkan uang. Suhu mempunyai prinsip: "sehari tidak kerja, sehari tidak makan." Pada siang hari mereka menangani berbagai pekerjaan seperti menanam kacang tanah dan sayur mayur, membuat kantung pakan ternak dari karung semen, merajut sweater, membuat sepatu bayi, dan lain sebagainya. Lalu pada malam harinya Suhu memerintahkan mereka semua belajar, dengan membaca bukan hanya Sutra-sutra Buddhis saja, melainkan juga Empat Buku Klasik Konfusius, dan buku-buku lainnya. Para siswa juga diwajibkan menyalin tulisan dari Kanon dan Sutra, guna meningkatkan tingkat intelektualitas mereka.

 

Waktu berjalan terus dan pada awal tahun 1966 saat Suhu Zhèng Yán mendekati usia 29 tahun, ada kejadian yang penting. Sekali waktu Suhu pergi ke sebuah rumah sakit swasta di kota Fenglin , sebuah kota kecil di dekat Hualien, untuk menjenguk salah satu kenalannya yang baru saja dioperasi. Seperti kebanyakan rumah sakit di sepanjang wilayah pantai timur pada masa itu yang memprihatinkan, cara mereka memperlakukan pasien membuat Suhu merasa sedih, dan dia berharap pada satu hari nanti dia dapat menolong orang miskin yang sakit. Ketika hendak melangkah ke luar dari pintu gerbang rumah sakit Suhu melihat ada bercak darah di lantai, dan Suhu mendapat informasi bahwa beberapa saat sebelumnya ada wanita dari ras Polinesia yang mengalami pendarahan karena keguguran. Wanita itu terpaksa pulang kembali setelah ditolak untuk berobat, karena keluarganya tidak dapat menyerahkan uang jaminan sebesar NT $ 8.000 (sama dengan Rp 75 ribu, pada masa itu). Sambil memandangi bercak darah tersebut, hati Suhu merasa pilu karena nyawa manusia sebenarnya lebih berharga daripada uang sejumlah itu. Jadi bertambah kuat tekad dan keinginannya untuk membantu kaum papa.

 

Tidak lama setelah kejadian itu tiga orang suster Katolik datang mengunjungi Suhu di pondok belakang vihara. Mereka adalah Betty (貝蒂, Bèidì) yang berasal dari Belgia, Huángxuěwén ( 黃雪文), dan Gāolíngxiá (高凌霞) dari Sekolah Menengah Guru Hǎixīng (海星中學老師, Hǎixīng Zhōngxué Lǎoshī). Ketiganya telah mendengar cita-cita Suhu yang luhur, tetapi nampaknya dia berjalan di organisasi yang keliru. Terjadi diskusi yang panjang. Para suster itu berargumen bahwa umat Katolik telah mendirikan banyak rumah sakit, sekolah, dan organisasi amal; tetapi mereka tidak pernah mendengar ada upaya dari organisasi keagamaan umat Buddha yang pernah membangun usaha sosial seperti itu. Mereka menyebutkan bahwa umat Buddha hanyalah sekumpulan orang pasif, yang tidak berkontribusi apa pun terhadap masyarakat. Perkataan Suster Betty itu mengejutkan Suhu Zhèng Yán; dan kami kutip berikut ini: "Fójiào xìntú zhème duō, lìliàng zhème dà. Rúguǒ zuò shèhuì fúwù de gōngzuò, yǐngxiǎng huì gèng dà." ("佛教信徒這麼多, 力量這麼大. 如果做社會服務的工作, 影響會更大; Ada begitu banyak pemeluk Buddha, dan begitu banyak sumber daya. Jika Anda melakukan pekerjaan pelayanan sosial, dampaknya akan lebih besar lagi.") Suhu lalu merefleksikan apa yang telah dilakukannya selama dia menjadi rohaniwan, dan dia menyadari betapa pengabdiannya tidak berarti untuk menolong semua makhluk yang menderita. Kebetulan pada masa itu dia ditawari oleh Master Yìn Shùn untuk mengabdikan diri di sebuah vihara besar di Chiayi, di sebuah kota di selatan Pulau Formosa. Ketika penduduk Hualien mendengar bahwa Suhu akan meninggalkan kota mereka, orang-orang datang kepadanya dan memohon agar Suhu tetap tinggal di sana.

 

Suhu Zhèng Yán terinspirasi dengan sosok Bodhisattva Avalokitesvara, yang dalam satu perwujudannya menampakkan diri sebagai sosok yang memiliki seribu tangan dan seribu mata. Di hadapan para pengikutnya dia berkata: "Kitalah yang akan menjadi mata Bodhisattva Avalokitesvara yang penuh perhatian dan tangannya yang penuh manfaat. Lalu dunia tak akan pernah lagi menyebut kita sebagai kelompok Buddhis yang pasif." Selama Suhu tetap bersedia tinggal di Hualien, mereka akan melakukan apa saja untuk beliau. Namun Suhu tidak meminta banyak kepada para pengikutnya, yang kebanyakan terdiri dari ibu rumah tangga. Beliau menyarankan agar setiap orang menyisihkan NT $ 0,50 (Rp 125) dari uang belanja mereka, untuk dimasukkan ke dalam celengan bambu. Ketika ada yang mengusulkan, mengapa tidak menabung sekaligus NT $ 15 sebulan setiap awal atau akhir bulan. Suhu menjawab: "Karena berdana adalah suatu kebahagiaan. Dengan begitu Anda dapat berbuat kebajikan setiap hari, bukan hanya sebulan sekali." Pada mulanya upaya mengumpulkan lima-puluh sen setiap harinya hanya ditujukan kepada 30 orang ibu rumah tangga yang menjadi pengikut langsung Suhu, ditambah dengan enam orang yang tinggal di pondok belakang vihara. Lama kelamaan semakin banyak orang yang berpartisipasi dalam kegiatan menghimpun dana dalam celengan bambu ini.

 

Mengenai pondok mungil yang ada di belakang Vihara Pǔ Míng ada kisah unik tersendiri. Pada tahun-tahun awal pondok itu berdiri, tiba-tiba pada suatu hari tanpa ada alasan yang jelas, pihak Kepolisian Hualien memutuskan untuk membersihkan wilayah puncak bukit dan membongkar tempat tinggal mereka. Instalasi listrik dicabut dan petugas mulai menggali tanahnya. Kemudian saat para petugas melanjutkan pekerjaan mereka, sekonyong-konyong cuaca berubah drastis. Awan gelap menutupi sang mentari dan angin kencang menderu memecahkan keheningan. Suasana cerah mendadak menjadi gelap dan tak seorang pun bisa membuka mata mereka dan bernapas dengan lega. Penduduk dusun dan juga para petugas menjadi ketakutan. Para petugas meninggalkan bukit itu dengan segera, dan mereka menghadap mandor yang mengepalai mereka. Sang mandor yang keras kepala itu tetap memerintahkan agar mereka tetap melanjutkan pekerjaan, tetapi tidak ada yang menggubrisnya. Selanjutnya dia masih meminta seorang bawahannya mengendarai sebuah truk ke atas bukit. Namun ketika kendaraan itu menyusuri jalan pegunungan, truk dibelokkan oleh kekuatan yang tidak terlihat, lalu terguling dan hancur berantakan. Beruntunglah si sopir tidak mendapat cidera yang serius. Tim yang ditugaskan untuk membongkar pondok mulai menyadari bahwa perubahan cuaca yang mendadak dan hancurnya kendaraan mereka tidak bisa dijelaskan dengan alasan yang logis, dan mereka memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Malam harinya meskipun listrik sudah diputus, penduduk dusun bisa melihat cahaya terang menyinari sekeliling pondok itu. Mereka beranggapan Suhu dan para siswanya dianggap sebagai titisan Dewa.

 

Setelah mendapat komitmen dari 30 ibu rumah tangga, pada tanggal 24 bulan ketiga di tahun 1966 menurut penanggalan Imlek, Suhu Zhèng Yán mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama 'Yayasan Buddha Tzu Chi'. 'Tzu' sendiri bermakna 'cinta-kasih dan kebajikan' dan 'Chi' berarti 'welas-asih'. Dalam bahasa Mandarin, yayasan ini dikenal dengan sebutan 佛教慈濟慈善事業基金會 (Fójiào cí jì císhàn shìyè jījīn huì). Sebelumnya Suhu berpegang pada aturan bahwasanya dia hanya akan menerima bhiksuni, dengan tidak menerima pengikut awam. Tetapi belakangan demi membantu perkembangan yayasan, beliau berubah pikiran. Lalu diterbitkanlah aturan, bahwa siapa pun yang memohon untuk menjadi pengikutnya, wajib menjadi anggota Tzu Chi. Dan sekali dia menjadi anggota, dia tidak hanya tercantum sebagai nama tok di organisasi tersebut, namun dia juga harus memberikan waktu, uang, dan tenaganya.

 

Karena kharisma Suhu yang luar biasa, keanggotaan Yayasan Buddha Tzu Chi meningkat pesat dengan kecepatan yang tidak dapat dipercaya. Pada akhir tahun 1967 jumlah anggota yang memberikan donasi secara teratur telah mencapai 300 orang, dan badan amal itu memerlukan tempat berkumpul yang lebih besar untuk menampung seluruh kegiatan mereka. Namun demikian Suhu dan lima siswa utamanya tetap bersahaja. Sejak awal dana yayasan selalu terpisah dengan dana operasional pondok kecil di belakang Vihara Pǔ Míng. Pada tahun 1967 ibunda Suhu, yakni Nyonya Wang, memberikan sejumlah uang agar yayasan bisa membeli tanah. Namun ternyata uang tersebut tidak memadai karena mereka masih perlu meminjam NT $ 31.000 di bank. Mereka lebih giat bekerja hingga membuka sawah, merajut, menjahit, membuat lilin, merangkai bunga plastik, semuanya ada 21 jenis pekerjaan yang dilakukan. Meskipun telah bekerja keras mereka masih terlilit utang, hingga Nyonya Wang turun tangan lagi dengan menyumbang NT $ 200.000. Setelah ada suntikan dana ini mereka pun mulai membangun markas besar Tzu Chi. Namun ternyata untuk membangun sebuah gedung yang layak, dana sebesar itu belum mencukupi. Akhirnya Kontraktor yang membangunnya – kebetulan dia juga merupakan pengikut Suhu bersedia menalanginya. Gedung markas besar Tzu Chi dikenal sebagai Griya Jìng Sī ( 靜思精舍, Jìng Sī Jīng Shě), selesai dibangun pada 24 Maret 1969, tiga tahun setelah pendirian yayasan. Sampai sekarang Griya Jìng Sī di Hualien telah berkembang menjadi rumah spiritual bagi semua anggota Tzu Chi di seluruh dunia.

 

Seperti disebutkan di atas keanggotaan Buddha Tzu Chi meningkat dengan pesat. Pada tahun 1995 saja Yayasan Tzu Chi di Taiwan saja telah memiliki lebih dari tiga-juta donatur dan dari jumlah ini terdapat lima-ribu komite. Relawan komite merupakan figur sentral yang mengumpulkan dana amal, melakukan kunjungan kasih, serta membuat laporan kasus mengenai orang-orang miskin dan menderita yang perlu dibantu. Organisasi Tzu Chi memiliki motto: "Empat usaha, delapan jejak kaki" (四大志業, 八大腳印, Sì dàzhì yè, bādà jiǎoyìn). Empat fokus perhatian itu adalah amal sosial, kesehatan, pendidikan, dan budaya humanis. Setiap relawan bergabung dalam satu tim, menuju cita-cita yang sudah digariskan oleh Suhu, yakni "satu mata mengamati bagaikan seribu mata, dan satu tangan berbuat laksana seribu tangan."

 

Berikut ini penulis ceritakan kisah penuh perjuangan untuk membangun rumah sakit Tzu Chi yang pertama. Tersebutlah Dokter Wen-Ping Tseng yang bekerja sebagai Wakil Kepala Rumah Sakit di RS Universitas Nasional Taiwan yang berkedudukan di Taipei. Pada Mei 1979 Dokter Tseng dihubungi oleh Suhu Zhèng Yán, yang menyatakan bahwa beliau ingin membangun sebuah rumah sakit di Hualien. Dokter Tseng menanggapi, bahwa adalah tidak mudah membangun sebuah rumah sakit, dan meskipun sudah selesai didirikan, itu hanyalah bagian termudah dibandingkan kesulitan-kesulitan lain yang segera akan menghadangnya. Sampai tiga kali Suhu menemui Dokter, dan dia kagum pada tekad dan kegigihan bhiksuni bertubuh ringkih ini, yang beratnya tak lebih dari 45 kg dan tingginya kurang dari 150 cm. Kemudian selama empat tahun berikutnya, Suhu dan para relawan Tzu Chi bekerja tak kenal lelah menggalang dana, dan sang dokter menghubungi sebanyak mungkin koleganya untuk berpartisipasi.

 

Pada akhir tahun keempat Tzu Chi berhasil mengumpulkan pundi-pundinya sebanyak NT $ 700 juta atau setara Rp 680 milyar, dan sudah ada kalangan dokter yang siap membantu. Pada Februari 1983 dilakukan upacara peletakan batu pertama di atas sebidang tanah di lokasi yang bagus. Pembangunan sudah berjalan dua bulan, namun kemudian digugat oleh otoritas militer karena alasan keamanan. Hal itu hampir membuat mereka frustasi, tetapi Suhu tetap berpegang teguh pada keyakinannya. Lalu diperlukan satu tahun lagi untuk menemukan lokasi yang baru, dan pada April 1984 diselenggarakan peletakan batu pertama di lokasi tersebut. Master Yìn Shùn pun turut mendukung pembangunan rumah sakit tersebut, dan pada Agustus 1986 sebuah rumah sakit lima lantai dibuka untuk khalayak umum. Selama dua-belas hari pertama RS Tzu Chi menawarkan pengobatan medis gratis baik rawat-jalan maupun rawat-inap. Ratusan pasien berdatangan dan ada di antara mereka yang baru pertama kalinya bertemu dengan dokter dan paramedis. Semula hanya ada 20 orang dokter yang bertugas di sana dan jelas mereka keteteran. Suhu pun menjenguk para pasien di sana setiap harinya. Karena banyaknya orang yang berobat ke rumah sakit, dalam waktu singkat tempat ini sudah tidak memadai lagi, sehingga pada Desember 1987 pembangunan tahap kedua dimulai. Bangunan baru bertingkat sebelas dan memiliki luas 640 ribu kaki-persegi (hampir 60 ribu meter-persegi) ini, diresmikan pada bulan Mei tahun 1990. Fasilitas yang baru ini memiliki 24 departemen dan dilengkapi dengan 750 tempat tidur.

 

Untuk mengisi kebutuhan pelayanan rumah sakitnya, Suhu Zhèng Yán yang sekarang dipanggil Master Zhèng Yán, mendirikan Akademi Keperawatan Tzu Chi pada tanggal 17 September 1989. Dibuka dalam dua program, dengan yang pertama berupa pendidikan selama dua tahun bagi lulusan SMK, dan yang kedua program lima tahun untuk lulusan SMP. Bahkan pada tahun 1991 dibuka lagi program sekolah malam, baik untuk siswa reguler maupun untuk kelas karyawan. Selanjutnya pada Maret 1992 mulai dirintis Universitas Kedokteran Tzu Chi yang berada di sebuah bangunan yang megah dan berdiri di atas tanah seluas 15 hektar, yang kemudian diresmikan pada musim panas 1994. Lama pendidikan di sini adalah tujuh tahun dan mereka menerima mahasiswa dari lulusan sekolah menengah atas. Dua tahun pertama dihabiskan untuk pendidikan dasar kedokteran, dan dilanjutkan lagi selama lima tahun dengan spesialisasi kedokteran umum, kesehatan masyarakat, dan riset.

 

Salah satu aksi badan amal Tzu Chi yang cukup terkenal adalah tanggap bencana alam yang terjadi tahun 1991 di Tiongkok Timur. Saat itu dataran luas itu tergenang banjir bandang dan 220 juta penduduk terkena imbasnya. Ketika Tzu Chi berencana mengirim bantuan ke sana, Master mendapat kritik pedas dari beberapa orang di Taiwan. "Tiongkok adalah musuh kita! Mengapa menolong seteru, ketika saudara-saudara kita di Taiwan masih banyak yang membutuhkan bantuan?" Walaupun mendapat tantangan dari kalangan internal, akhirnya Master memutuskan untuk menyalurkan bantuan. Kelompok pertama relawan Tzu Chi hanya terdiri dari enam orang, dan mereka pergi menemui Pemerintah Tiongkok agar Tzu Chi diizinkan untuk menolong korban banjir. Setelah mengatasi segala rintangan mereka mulai melakukan survei, dan mendapatkan bahwa lebih dari 5.000 keluarga yang tinggal di 22 kota yang berbeda, berada dalam kondisi memprihatinkan dan memerlukan bantuan segera. Kelompok yang melakukan survei tersebut kemudian pulang dan melaporkan apa yang mereka saksikan kepada Master. Lalu sejak Agustus 1991 para relawan Tzu Chi mulai bekerja keras mengumpulkan dana. Para pengusaha tidak hanya menyumbang dana dalam jumlah besar, tetapi mereka juga turun ke jalan untuk mengumpulkan sumbangan dari orang-orang yang lewat. Para wanita kaya juga bersiaga di pusat keramaian, menjajakan bunga melati yang mereka tanam sendiri. Pada Februari 1992, hanya dalam waktu enam bulan, yayasan berhasil mengumpulkan dana NT $ 412 juta (setara dengan Rp 760 milyar). Setelah mereka membelanjakan uang tersebut dengan barang-barang yang dibutuhkan oleh korban bencana, para relawan dalam jumlah yang lebih besar berangkat ke Tiongkok untuk menyalurkan bantuan.

 

Apa yang menjadi filosofi kehidupan bagi seorang Master Zhèng Yán? Menurut beliau kehidupan tidak ada bedanya dengan sebuah perjalanan dengan menggunakan kereta api. Ketika kita lahir itu menandakan kita baru saja menaiki kereta, dan saat kita turun dari kereta itu sama dengan kematian kita. Sesungguhnya kehidupan manusia itu berlangsung singkat, jadi kita seolah-olah sedang menaiki kereta api ekspres. Satu-satunya hal yang bermakna selama kita dalam perjalanan, tidak lain menunjukkan kasih sayang dan berwelas-asih kepada semua penumpang, karena kita tidak tahu di stasiun mana kita akan turun. Ada satu lagu sederhana yang liriknya digubah oleh Master, yang berbunyi:

 

"Di dunia ini tiada yang tak kukasihi,

Di dunia ini tiada yang tak kupercaya,

Di dunia ini tiada yang tak kumaafkan,

Lepaskan risau gelisah, bergembiralah,

Kasih sayang tak terbatas dan abadi."

 

Setelah melakukan operasi tanggap bencana di Tiongkok pada tahun 1991, Tzu Chi terus-menerus terlibat dalam upaya bantuan bencana ke berbagai negara di dunia. Salah satu hal yang membedakan Tzu Chi dengan organisasi sejenis, adalah para relawannya tidak hanya memberikan bantuan jangka pendek, tetapi juga turut mengambil bagian dalam proyek jangka panjang untuk membangun kembali masyarakat terdampak. Tzu Chi sering membangun rumah, sekolah, rumah sakit, dan tempat ibadah baru (termasuk gereja dan masjid untuk non-Buddha) bagi para korban setelah kebencanaan usai. Hingga tahun 2015, Tzu Chi telah memberikan bantuan penanggulangan bencana ke lebih dari 85 negara di seluruh dunia. Mungkin dunia tidak akan menyangka sosok bhiksuni bertubuh kecil dan rapuh, yang telah menggerakan sebuah badan amal yang ikonik dalam tiga-puluh tahun terakhir ini. Zhèng Yán, dialah Sang Bodhisattva hidup yang hadir di zaman kita.

 

 

(Tamat)

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/230308




Tidak ada komentar:

Posting Komentar