(Bagian Kedua dari Dua Tulisan)
Pada bagian terdahulu diceritakan bahwa
pada awal musim semi atau permulaan tahun 1963, Jǐn Yún yang saat itu berusia
26 tahun resmi ditahbiskan oleh Master Yìn Shùn menjadi seorang bhiksuni,
dengan nama Dharma Zhèng Yán (lebih sering ditulis 'Cheng Yen'). Mulai hari itu
dan selanjutnya selama 32 hari dia tinggal di Vihara Lin Ji, untuk
mempelajari sila-sila dasar bagi seorang bhiksuni yang sudah ditahbiskan.
Setelah itu Bhiksuni Zhèng Yán pulang
ke pondok mungil yang telah dibangun oleh Bapak Xǔ Cōng Mǐn, yang terletak di
belakang Vihara Pǔ Míng. Di sana sampai Oktober 1963 dia membaca dan
mempelajari Sutra Bunga Teratai. Karena dia menolak persembahan makanan
dan keperluan sehari-hari, penghidupannya menjadi tidak mudah. Pada Oktober di
tahun yang sama Zhèng Yán mulai mengajarkan
Sutra Ksitigarbha di Kuil Tzu Shan, Hualien, selama
sekitar delapan bulan. Yang menonjol dalam pengajarannya, dia menggunakan
bahasa yang sederhana untuk menjelaskan Dharma yang sangat dalam maknanya,
serta mengaitkannya dengan contoh permasalahan yang biasa dihadapi orang awam
dalam kehidupan sehari-harinya. Pengikutnya bertambah dengan cepat dan dia
segera mendapat sebutan 'Suhu Zhèng Yán'.
Meskipun baru berusia 26 tahun banyak
pendengarnya yang langsung terpukau, ketika dia mengungkapkan filosofi dari
India yang sudah berusia lebih dari 2.500 tahun. Setelah dia selesai
berceramah, orang-orang terkesima, dan banyak di antara mereka yang bersedia
menjadi pengikutnya. Ajarannya kemudian menjadi sangat populer di kalangan
penduduk setempat, dan beberapa perempuan muda terinspirasi untuk menjadi
muridnya. Salah satu yang berjodoh menjadi siswa pertamanya adalah Shì Dé Cí (釋德慈), selanjutnya
kita panggil Suhu Cí, seorang perempuan lajang yang telah bertahun-tahun
bercita-cita menjadi seorang bhiksuni. Setelah menetap selama delapan bulan di Kuil
Tzu Shan, pertengahan tahun 1964 Suhu Zhèng Yán kembali ke Vihara Pǔ
Míng, dan dia telah menerima empat orang siswa lagi.
Suhu Cí menulis: "Setelah itu
selama beberapa tahun, kami berenam tinggal di sebuah pondok kecil di puncak
bukit di belakang Vihara Pǔ Míng. (Master Cheng Yen: Teladan ..., hal.
82-83). Ruangannya berukuran kurang lebih 12 meter persegi. Kami berenam harus
berdesak-desakan di dalamnya, saling berbagi dua buah selimut katun tebal pada
malam hari." Sesuai dengan prinsip yang dianut Suhu Zhèng Yán, dia sendiri
dan para pengikutnya harus hidup mandiri dengan bekerja untuk mencari nafkah,
dan mereka menolak persembahan atau melakukan pelayanan ritual keagamaan demi
mendapatkan uang. Suhu mempunyai prinsip: "sehari tidak kerja, sehari
tidak makan." Pada siang hari mereka menangani berbagai pekerjaan seperti
menanam kacang tanah dan sayur mayur, membuat kantung pakan ternak dari karung
semen, merajut sweater, membuat sepatu bayi, dan lain sebagainya. Lalu
pada malam harinya Suhu memerintahkan mereka semua belajar, dengan membaca
bukan hanya Sutra-sutra Buddhis saja, melainkan juga Empat Buku Klasik
Konfusius, dan buku-buku lainnya. Para siswa juga diwajibkan menyalin tulisan
dari Kanon dan Sutra, guna meningkatkan tingkat intelektualitas mereka.
Waktu berjalan terus dan pada awal
tahun 1966 saat Suhu Zhèng Yán mendekati usia 29 tahun, ada kejadian yang
penting. Sekali waktu Suhu pergi ke sebuah rumah sakit swasta di kota Fenglin
, sebuah kota kecil di dekat Hualien, untuk menjenguk salah satu kenalannya
yang baru saja dioperasi. Seperti kebanyakan rumah sakit di sepanjang wilayah
pantai timur pada masa itu yang memprihatinkan, cara mereka memperlakukan
pasien membuat Suhu merasa sedih, dan dia berharap pada satu hari nanti dia
dapat menolong orang miskin yang sakit. Ketika hendak melangkah ke luar dari
pintu gerbang rumah sakit Suhu melihat ada bercak darah di lantai, dan Suhu
mendapat informasi bahwa beberapa saat sebelumnya ada wanita dari ras Polinesia
yang mengalami pendarahan karena keguguran. Wanita itu terpaksa pulang kembali setelah ditolak untuk berobat, karena keluarganya
tidak dapat menyerahkan uang jaminan sebesar NT $ 8.000 (sama dengan Rp 75
ribu, pada masa itu). Sambil memandangi bercak darah tersebut, hati Suhu merasa
pilu karena nyawa manusia sebenarnya lebih berharga daripada uang sejumlah itu.
Jadi bertambah kuat tekad dan keinginannya untuk membantu kaum papa.
Tidak lama setelah kejadian itu tiga
orang suster Katolik datang mengunjungi Suhu di pondok belakang vihara. Mereka
adalah Betty (貝蒂, Bèidì) yang berasal dari Belgia, Huángxuěwén ( 黃雪文), dan Gāolíngxiá (高凌霞) dari Sekolah
Menengah Guru Hǎixīng (海星中學老師, Hǎixīng Zhōngxué Lǎoshī). Ketiganya
telah mendengar cita-cita Suhu yang luhur, tetapi nampaknya dia berjalan di
organisasi yang keliru. Terjadi diskusi yang panjang. Para suster itu
berargumen bahwa umat Katolik telah mendirikan banyak rumah sakit, sekolah, dan
organisasi amal; tetapi mereka tidak pernah mendengar ada upaya dari organisasi
keagamaan umat Buddha yang pernah membangun usaha sosial seperti itu. Mereka
menyebutkan bahwa umat Buddha hanyalah sekumpulan orang pasif, yang tidak
berkontribusi apa pun terhadap masyarakat. Perkataan Suster Betty itu
mengejutkan Suhu Zhèng Yán; dan kami kutip berikut ini: "Fójiào xìntú
zhème duō, lìliàng zhème dà. Rúguǒ zuò shèhuì fúwù de gōngzuò, yǐngxiǎng huì
gèng dà." ("佛教信徒這麼多, 力量這麼大. 如果做社會服務的工作, 影響會更大; Ada begitu
banyak pemeluk Buddha, dan begitu banyak sumber daya. Jika Anda melakukan
pekerjaan pelayanan sosial, dampaknya akan lebih besar lagi.") Suhu lalu
merefleksikan apa yang telah dilakukannya selama dia menjadi rohaniwan, dan dia
menyadari betapa pengabdiannya tidak berarti untuk menolong semua makhluk yang
menderita. Kebetulan pada masa itu dia ditawari oleh Master Yìn Shùn untuk
mengabdikan diri di sebuah vihara besar di Chiayi, di sebuah kota di
selatan Pulau Formosa. Ketika penduduk Hualien mendengar bahwa Suhu akan
meninggalkan kota mereka, orang-orang datang kepadanya dan memohon agar Suhu
tetap tinggal di sana.
Suhu Zhèng Yán terinspirasi dengan
sosok Bodhisattva Avalokitesvara, yang dalam satu perwujudannya menampakkan
diri sebagai sosok yang memiliki seribu tangan dan seribu mata. Di hadapan para
pengikutnya dia berkata: "Kitalah yang akan menjadi mata Bodhisattva
Avalokitesvara yang penuh perhatian dan tangannya yang penuh manfaat. Lalu
dunia tak akan pernah lagi menyebut kita sebagai kelompok Buddhis yang
pasif." Selama Suhu tetap bersedia tinggal di Hualien, mereka akan
melakukan apa saja untuk beliau. Namun Suhu tidak meminta banyak kepada para
pengikutnya, yang kebanyakan terdiri dari ibu rumah tangga. Beliau menyarankan
agar setiap orang menyisihkan NT $ 0,50 (Rp 125) dari uang belanja mereka,
untuk dimasukkan ke dalam celengan bambu. Ketika ada yang mengusulkan, mengapa
tidak menabung sekaligus NT $ 15 sebulan setiap awal atau akhir bulan. Suhu
menjawab: "Karena berdana adalah suatu kebahagiaan. Dengan begitu Anda
dapat berbuat kebajikan setiap hari, bukan hanya sebulan sekali." Pada
mulanya upaya mengumpulkan lima-puluh sen setiap harinya hanya ditujukan kepada
30 orang ibu rumah tangga yang menjadi pengikut langsung Suhu, ditambah dengan
enam orang yang tinggal di pondok belakang vihara. Lama kelamaan semakin banyak
orang yang berpartisipasi dalam kegiatan menghimpun dana dalam celengan bambu
ini.
Mengenai pondok mungil yang ada di
belakang Vihara Pǔ Míng ada kisah unik tersendiri. Pada tahun-tahun awal
pondok itu berdiri, tiba-tiba pada suatu hari tanpa ada alasan yang jelas,
pihak Kepolisian Hualien memutuskan untuk membersihkan wilayah puncak bukit dan
membongkar tempat tinggal mereka. Instalasi listrik dicabut dan petugas mulai
menggali tanahnya. Kemudian saat para petugas melanjutkan pekerjaan mereka,
sekonyong-konyong cuaca berubah drastis. Awan gelap menutupi sang mentari dan
angin kencang menderu memecahkan keheningan. Suasana cerah mendadak menjadi
gelap dan tak seorang pun bisa membuka mata mereka dan bernapas dengan lega.
Penduduk dusun dan juga para petugas menjadi ketakutan. Para petugas
meninggalkan bukit itu dengan segera, dan mereka menghadap mandor yang
mengepalai mereka. Sang mandor yang keras kepala itu tetap memerintahkan agar
mereka tetap melanjutkan pekerjaan, tetapi tidak ada yang menggubrisnya.
Selanjutnya dia masih meminta seorang bawahannya mengendarai sebuah truk ke
atas bukit. Namun ketika kendaraan itu menyusuri jalan pegunungan, truk
dibelokkan oleh kekuatan yang tidak terlihat, lalu terguling dan hancur
berantakan. Beruntunglah si sopir tidak mendapat cidera yang serius. Tim yang
ditugaskan untuk membongkar pondok mulai menyadari bahwa perubahan cuaca yang
mendadak dan hancurnya kendaraan mereka tidak bisa dijelaskan dengan alasan
yang logis, dan mereka memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Malam harinya
meskipun listrik sudah diputus, penduduk dusun bisa melihat cahaya terang menyinari
sekeliling pondok itu. Mereka beranggapan Suhu dan para siswanya dianggap
sebagai titisan Dewa.
Setelah mendapat komitmen dari 30 ibu
rumah tangga, pada tanggal 24 bulan ketiga di tahun 1966 menurut penanggalan
Imlek, Suhu Zhèng Yán mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama 'Yayasan
Buddha Tzu Chi'. 'Tzu' sendiri bermakna 'cinta-kasih dan kebajikan' dan 'Chi'
berarti 'welas-asih'. Dalam bahasa Mandarin, yayasan ini dikenal dengan sebutan
佛教慈濟慈善事業基金會 (Fójiào cí jì císhàn shìyè jījīn huì). Sebelumnya Suhu
berpegang pada aturan bahwasanya dia hanya akan menerima bhiksuni, dengan tidak
menerima pengikut awam. Tetapi belakangan demi membantu perkembangan yayasan,
beliau berubah pikiran. Lalu diterbitkanlah aturan, bahwa siapa pun yang
memohon untuk menjadi pengikutnya, wajib menjadi anggota Tzu Chi. Dan sekali
dia menjadi anggota, dia tidak hanya tercantum sebagai nama tok di
organisasi tersebut, namun dia juga harus memberikan waktu, uang, dan
tenaganya.
Karena kharisma Suhu yang luar biasa,
keanggotaan Yayasan Buddha Tzu Chi meningkat pesat dengan kecepatan yang tidak
dapat dipercaya. Pada akhir tahun 1967 jumlah anggota yang memberikan donasi
secara teratur telah mencapai 300 orang, dan badan amal itu memerlukan tempat
berkumpul yang lebih besar untuk menampung seluruh kegiatan mereka. Namun
demikian Suhu dan lima siswa utamanya tetap bersahaja. Sejak awal dana yayasan
selalu terpisah dengan dana operasional pondok kecil di belakang Vihara Pǔ
Míng. Pada tahun 1967 ibunda Suhu, yakni Nyonya Wang, memberikan sejumlah
uang agar yayasan bisa membeli tanah. Namun ternyata uang tersebut tidak
memadai karena mereka masih perlu meminjam NT $ 31.000 di bank. Mereka lebih
giat bekerja hingga membuka sawah, merajut, menjahit, membuat lilin, merangkai
bunga plastik, semuanya ada 21 jenis pekerjaan yang dilakukan. Meskipun telah
bekerja keras mereka masih terlilit utang, hingga Nyonya Wang turun tangan lagi
dengan menyumbang NT $ 200.000. Setelah ada suntikan dana ini mereka pun mulai
membangun markas besar Tzu Chi. Namun ternyata untuk membangun sebuah gedung
yang layak, dana sebesar itu belum mencukupi. Akhirnya Kontraktor yang
membangunnya – kebetulan dia juga
merupakan pengikut Suhu – bersedia menalanginya. Gedung markas besar Tzu Chi
dikenal sebagai Griya Jìng Sī ( 靜思精舍, Jìng Sī Jīng Shě), selesai dibangun pada 24
Maret 1969, tiga tahun setelah pendirian yayasan. Sampai sekarang Griya Jìng Sī
di Hualien telah berkembang menjadi rumah spiritual bagi semua anggota Tzu Chi
di seluruh dunia.
Seperti disebutkan di atas keanggotaan
Buddha Tzu Chi meningkat dengan pesat. Pada tahun 1995 saja Yayasan Tzu Chi di
Taiwan saja telah memiliki lebih dari tiga-juta donatur dan dari jumlah ini
terdapat lima-ribu komite. Relawan komite merupakan figur sentral yang
mengumpulkan dana amal, melakukan kunjungan kasih, serta membuat laporan kasus
mengenai orang-orang miskin dan menderita yang perlu dibantu. Organisasi Tzu
Chi memiliki motto: "Empat usaha, delapan jejak kaki" (四大志業, 八大腳印, Sì dàzhì yè, bādà jiǎoyìn). Empat fokus
perhatian itu adalah amal sosial, kesehatan, pendidikan, dan budaya humanis.
Setiap relawan bergabung dalam satu tim, menuju cita-cita yang sudah digariskan
oleh Suhu, yakni "satu mata mengamati bagaikan seribu mata, dan satu
tangan berbuat laksana seribu tangan."
Berikut ini penulis ceritakan kisah
penuh perjuangan untuk membangun rumah sakit Tzu Chi yang pertama. Tersebutlah
Dokter Wen-Ping Tseng yang bekerja sebagai Wakil Kepala Rumah Sakit di RS
Universitas Nasional Taiwan yang berkedudukan di Taipei. Pada Mei 1979 Dokter
Tseng dihubungi oleh Suhu Zhèng Yán, yang menyatakan bahwa beliau ingin
membangun sebuah rumah sakit di Hualien. Dokter Tseng menanggapi, bahwa adalah
tidak mudah membangun sebuah rumah sakit, dan meskipun sudah selesai didirikan,
itu hanyalah bagian termudah dibandingkan kesulitan-kesulitan lain yang segera
akan menghadangnya. Sampai tiga kali Suhu menemui Dokter, dan dia kagum pada
tekad dan kegigihan bhiksuni bertubuh ringkih ini, yang beratnya tak lebih dari
45 kg dan tingginya kurang dari 150 cm. Kemudian selama empat tahun berikutnya,
Suhu dan para relawan Tzu Chi bekerja tak kenal lelah menggalang dana, dan sang
dokter menghubungi sebanyak mungkin koleganya untuk berpartisipasi.
Pada akhir tahun keempat Tzu Chi
berhasil mengumpulkan pundi-pundinya sebanyak NT $ 700 juta atau setara Rp 680
milyar, dan sudah ada kalangan dokter yang siap membantu. Pada Februari 1983
dilakukan upacara peletakan batu pertama di atas sebidang tanah di lokasi yang
bagus. Pembangunan sudah berjalan dua bulan, namun kemudian digugat oleh
otoritas militer karena alasan keamanan. Hal itu hampir membuat mereka
frustasi, tetapi Suhu tetap berpegang teguh pada keyakinannya. Lalu diperlukan
satu tahun lagi untuk menemukan lokasi yang baru, dan pada April 1984
diselenggarakan peletakan batu pertama di lokasi tersebut. Master Yìn Shùn pun
turut mendukung pembangunan rumah sakit tersebut, dan pada Agustus 1986 sebuah
rumah sakit lima lantai dibuka untuk khalayak umum. Selama dua-belas hari
pertama RS Tzu Chi menawarkan pengobatan medis gratis baik rawat-jalan maupun
rawat-inap. Ratusan pasien berdatangan dan ada di antara mereka yang baru
pertama kalinya bertemu dengan dokter dan paramedis. Semula hanya ada 20 orang
dokter yang bertugas di sana dan jelas mereka keteteran. Suhu pun menjenguk
para pasien di sana setiap harinya. Karena banyaknya orang yang berobat ke
rumah sakit, dalam waktu singkat tempat ini sudah tidak memadai lagi, sehingga
pada Desember 1987 pembangunan tahap kedua dimulai. Bangunan baru bertingkat
sebelas dan memiliki luas 640 ribu kaki-persegi (hampir 60 ribu meter-persegi)
ini, diresmikan pada bulan Mei tahun 1990. Fasilitas yang baru ini memiliki 24
departemen dan dilengkapi dengan 750 tempat tidur.
Untuk mengisi kebutuhan pelayanan rumah
sakitnya, Suhu Zhèng Yán yang sekarang dipanggil Master Zhèng Yán, mendirikan
Akademi Keperawatan Tzu Chi pada tanggal 17 September 1989. Dibuka dalam dua
program, dengan yang pertama berupa pendidikan selama dua tahun bagi lulusan
SMK, dan yang kedua program lima tahun untuk lulusan SMP. Bahkan pada tahun
1991 dibuka lagi program sekolah malam, baik untuk siswa reguler maupun untuk
kelas karyawan. Selanjutnya pada Maret 1992 mulai dirintis Universitas
Kedokteran Tzu Chi yang berada di sebuah bangunan yang megah dan berdiri di
atas tanah seluas 15 hektar, yang kemudian diresmikan pada musim panas 1994.
Lama pendidikan di sini adalah tujuh tahun dan mereka menerima mahasiswa dari
lulusan sekolah menengah atas. Dua tahun pertama dihabiskan untuk pendidikan
dasar kedokteran, dan dilanjutkan lagi selama lima tahun dengan spesialisasi
kedokteran umum, kesehatan masyarakat, dan riset.
Salah satu aksi badan amal Tzu Chi yang
cukup terkenal adalah tanggap bencana alam yang terjadi tahun 1991 di Tiongkok
Timur. Saat itu dataran luas itu tergenang banjir bandang dan 220 juta penduduk
terkena imbasnya. Ketika Tzu Chi berencana mengirim bantuan ke sana, Master
mendapat kritik pedas dari beberapa orang di Taiwan. "Tiongkok adalah musuh
kita! Mengapa menolong seteru, ketika saudara-saudara kita di Taiwan masih
banyak yang membutuhkan bantuan?" Walaupun mendapat tantangan dari
kalangan internal, akhirnya Master memutuskan untuk menyalurkan bantuan.
Kelompok pertama relawan Tzu Chi hanya terdiri dari enam orang, dan mereka
pergi menemui Pemerintah Tiongkok agar Tzu Chi diizinkan untuk menolong korban
banjir. Setelah mengatasi segala rintangan mereka mulai melakukan survei, dan
mendapatkan bahwa lebih dari 5.000 keluarga yang tinggal di 22 kota yang
berbeda, berada dalam kondisi memprihatinkan dan memerlukan bantuan segera.
Kelompok yang melakukan survei tersebut kemudian pulang dan melaporkan apa yang
mereka saksikan kepada Master. Lalu sejak Agustus 1991 para relawan Tzu Chi
mulai bekerja keras mengumpulkan dana. Para pengusaha tidak hanya menyumbang
dana dalam jumlah besar, tetapi mereka juga turun ke jalan untuk mengumpulkan
sumbangan dari orang-orang yang lewat. Para wanita kaya juga bersiaga di pusat
keramaian, menjajakan bunga melati yang mereka tanam sendiri. Pada Februari
1992, hanya dalam waktu enam bulan, yayasan berhasil mengumpulkan dana NT $ 412
juta (setara dengan Rp 760 milyar). Setelah mereka membelanjakan uang tersebut
dengan barang-barang yang dibutuhkan oleh korban bencana, para relawan dalam
jumlah yang lebih besar berangkat ke Tiongkok untuk menyalurkan bantuan.
Apa yang menjadi filosofi kehidupan
bagi seorang Master Zhèng Yán? Menurut beliau kehidupan tidak ada
bedanya dengan sebuah perjalanan dengan menggunakan kereta api. Ketika kita
lahir itu menandakan kita baru saja menaiki kereta, dan saat kita turun dari
kereta itu sama dengan kematian kita. Sesungguhnya kehidupan manusia itu berlangsung
singkat, jadi kita seolah-olah sedang menaiki kereta api ekspres. Satu-satunya
hal yang bermakna selama kita dalam perjalanan, tidak lain menunjukkan kasih
sayang dan berwelas-asih kepada semua penumpang, karena kita tidak tahu di
stasiun mana kita akan turun. Ada satu lagu sederhana yang liriknya digubah
oleh Master, yang berbunyi:
"Di dunia ini
tiada yang tak kukasihi,
Di dunia ini tiada yang tak kupercaya,
Di dunia ini tiada yang tak kumaafkan,
Lepaskan risau gelisah, bergembiralah,
Kasih sayang tak terbatas dan abadi."
Setelah melakukan operasi tanggap bencana di Tiongkok pada tahun
1991, Tzu Chi terus-menerus
terlibat dalam upaya bantuan bencana ke berbagai negara di dunia. Salah satu hal yang
membedakan Tzu Chi dengan organisasi sejenis, adalah para relawannya tidak hanya memberikan bantuan jangka pendek, tetapi juga turut mengambil bagian dalam proyek jangka panjang
untuk membangun kembali masyarakat terdampak. Tzu Chi sering membangun rumah, sekolah, rumah
sakit, dan tempat ibadah baru (termasuk gereja dan masjid untuk non-Buddha)
bagi para korban setelah kebencanaan usai. Hingga tahun 2015, Tzu Chi telah memberikan bantuan
penanggulangan bencana ke lebih dari 85 negara di seluruh dunia.
Mungkin dunia tidak akan menyangka sosok bhiksuni bertubuh kecil dan rapuh,
yang telah menggerakan sebuah badan amal yang ikonik dalam tiga-puluh tahun
terakhir ini. Zhèng Yán,
dialah Sang Bodhisattva hidup yang hadir di zaman kita.
(Tamat)
sdjn/dharmaprimapustaka/230308
Tidak ada komentar:
Posting Komentar