Jika orang bertanya sejak kapan manusia
mengenal kepercayaan terhadap kekuasaan supranatural, maka penemuan berikut ini
barangkali bisa menjawab pertanyaan itu. Kira-kira lebih dari seratus tahun
yang lalu, antara 1912 hingga 1914, tiga bersaudara, Max, Jacques, dan Louis Bégouën,
bersama ayah mereka Comte Henri Bégouën, menemukan
sebuah goa di Montesquieu-Avantès, Ariège, Perancis. Kelak goa ini dikenal
dengan nama The Sanctuary (maknanya: "tempat perlindungan"),
di Goa Trois Frères berarti Goa Tiga Bersaudara. Eksplorasi goa
yang cukup rumit ini terganggu karena bertepatan dengan meletusnya Perang Dunia
ke-1 (1914-1918), dan baru dilanjutkan pada tahun 1918. Dua tahun kemudian
(1920), H. Bégouën dan H. Breuil menerbitkan gambar The Sorcerer untuk
pertama kalinya. The Sorcerer artinya "Sang Penyihir". Setelah
diinvestigasi menggunakan penanggalan radiokarbon, keberadaan goa itu berasal
dari tahun 13.000 sebelum Masehi (atau lima-belas ribu tahun yang lalu).
Goa itu memiliki lukisan dinding yang
berisi begitu banyak gambar, dengan banyak fragmen yang saling terkait secara
kompleks, sehingga studi mereka memakan waktu beberapa dekade. Breuil
menunjukkan bahwa Max Bégouën pertama kali melihat dan memotret lukisan itu.
Breuil menulis: "Pertama-tama, 'sang dewa' pertama yang disebut 'Sang
penyihir' oleh Count Bégouën dan aku, satu-satunya sosok yang dilukis dengan
warna hitam dari semua pahatan dan ukiran di Tempat Perlindungan ini, empat
meter di atas lantai dalam posisi yang tampaknya tidak dapat diakses, dan hanya
bisa dicapai lewat sebuah koridor rahasia yang perlu dipanjat melalui sebuah lorong
berliku-liku. Jelas, dia memimpin semua hewan itu, yang telah dikumpulkan dalam
jumlah yang fantastis, dan mereka dibiarkan begitu saja dalam
tumpukan-tumpukan. Tingginya 75 cm dan lebar 50 cm, dia sepenuhnya terpahat
tetapi lukisan itu terdistribusi secara tidak merata. Kepalanya hanya berupa
jejak, yakni pada mata, hidung, dahi, dan telinga kanan. Kepalanya membentuk
wajah penuh dengan mata bundar beserta bola-matanya. Di antara mata ada garis
untuk hidung, yang berakhir dengan sebuah lengkungan kecil. Telinga yang
ditusuk mirip dengan kuping seekor rusa jantan. Dari bando yang dicat hitam di
bagian dahi muncul dua buah tanduk tebal besar. Sosok ini tidak memiliki mulut
tetapi mempunyai jenggot yang panjang dan jatuh di dada. ... 'Sang Penyihir'
ini jelas laki-laki dan dia berdiri walaupun tidak tegak, dengan tubuh condong
berat ke belakang namun telah berkembang dengan baik, serta di bawahnya ada
ekor lebat seekor Serigala atau Kuda dengan jumbai di ujungnya. Begitulah sosok
Magdalenian (budaya Paleolitik Muda di Eropa Barat) yang paling penting
dalam kehidupan di goa, dan sosok Roh yang mengendalikan ekspedisi berburu demi
mendapatkan hasil buruan yang melimpah."
Lima-belas ribu tahun silam dikenal
sebagai zaman prasejarah, ketika nenek moyang kita menjadi pemburu-pengumpul
untuk memenuhi kebutuhan pangannya, kehidupan mereka sangat tergantung pada
hasil perburuan. Sebagai tempat perlindungan sehari-hari mereka tinggal di
goa-goa. Tidak adanya pasokan daging buruan dalam jumlah yang memadai untuk seluruh
anggota komunitas, bisa mengancam kelangsungan hidup kelompok tersebut. Namun
tidak setiap kali mereka melakukan perburuan hewan, akan mendapatkan hasil yang
berlimpah. Jadi muncul kepercayaan bahwa kekuatan supranatural mampu membantu
mereka mendapatkan tangkapan yang berlimpah.
Kita
kembali kepada The Sorcerer atau Sang Penyihir, yang
merupakan nama yang diberikan untuk lukisan gua misterius itu. Signifikansi
sosok itu tidak diketahui, tetapi biasanya diartikan sebagai semacam roh agung
atau penguasa hewan. Sifat tidak biasa dari dekorasi The Sanctuary
mungkin juga mencerminkan praktik upacara magis di ruangan tersebut. Dalam
sketsa seni guanya, Henri Breuil menggambar batang tubuh humanoid bertanduk,
dan publikasi gambar ini pada tahun 1920-an mempengaruhi banyak teori
selanjutnya tentang sosok tersebut.
Margaret Murray, seorang arkeolog dan
antropolog Inggris yang terkenal, setelah melihat gambar yang dipublikasikan,
menyebut gambar Breuil sebagai "penggambaran pertama dewa di Bumi".
Pendapat ini kemudian diadopsi oleh Breuil dan para ahli lainnya. Jika benar
lukisan itu menggambarkan sesosok roh agung, sesosok dewa yang memastikan agar
upaya perburuan menghasilkan panen yang berlimpah. Dia digambarkan sebagai
sesosok makhluk Antropomorfik, dengan lengan manusia, kaki beruang, ekor kuda,
tanduk rusa manjangan, janggut bison, dan mata burung-hantu. Antropomorfik
berasal dari kata 'antropomorfisme', yang berarti atribusi sifat manusia,
emosi, atau niat untuk entitas non-manusia.
Ini dianggap sebagai kecenderungan
bawaan dari psikologi manusia. Selain antropomorfisme dikenal pula
istilah 'personifikasi', yakni atribusi terkait
bentuk dan karakteristik manusia dengan konsep abstrak seperti negara, emosi,
dan kekuatan alam, seperti musim dan cuaca.
Keduanya memiliki akar kuno sebagai
alat penceritaan dan penciptaan seni manusia purba; dan ternyata sebagian besar
budaya memiliki dongeng tradisional dengan hewan Antropomorfik sebagai
karakternya. Orang-orang juga secara rutin mengaitkan emosi dan perilaku
manusia, serupa dengan yang terjadi pada hewan liar dan binatang peliharaan.
Kita cukupkan dulu perbincangan perihal kepercayaan dan ritus-ritus
permohonan manusia terhadap dewa pada masa prasejarah. Kita coba meneliti kasus
yang sama pada masa yang lebih kemudian, dan untuk contohnya penulis
mengambilnya dari peradaban Helenestik atau Yunani Kuno. Orang Yunani percaya
pada dewa dan dewi, yang menurut mereka, memiliki kendali atas setiap aspek
kehidupan manusia. Mereka percaya bahwa manusia harus berdoa kepada para dewa
untuk meminta bantuan dan perlindungan, karena jika para dewa tidak senang
dengan seseorang, maka mereka akan menghukumnya. Mereka membuat tempat khusus
di rumah dan di kuil, tempat mereka bisa bersembahyang di hadapan patung dewa,
dan meletakkan persembahan atau hadiah bagi entitas yang mereka puja.
Sekitar 700 seb.M., sang penyair Hesiod menulis Theogonía (artinya
'silsilah atau kelahiran para dewa') dalam dialek Epik Yunani Kuno, yang berisi
1022 baris puisi. Inilah kosmogoni tertulis pertama dalam mitologi Yunani, yang
menceritakan asal mula alam semesta dari ketiadaan atau chaos
(kekacauan, kehampaan) menjadi segala yang ada. Theogonía merinci pula
silsilah dewa dan dewi yang rumit, yang be-revolusi dari chaos lalu
turun ke Gaia (Bumi), Ouranos (Langit), Pontos (Samudera),
dan Tartaros (Dunia Bawah). Pada pusat mitologi Yunani terdapat jajaran
dewa dan dewi yang dikatakan tinggal di Gunung Olympus, gunung tertinggi
di Yunani. Dari tempat bertengger mereka yang tinggi, mereka menguasai setiap
aspek kehidupan manusia. Dewa dan dewi Olympian tampak seperti pria dan
wanita, walaupun mereka dapat mengubah-diri mereka menjadi hewan dan benda
lainnya.
Dewa dan dewi itu disembah oleh orang Yunani Kuno, masing-masing dengan
kepribadian dan ranah kekuasaan yang berbeda. Mitologi Yunani menjelaskan asal
usul para dewa dan hubungan individual mereka dengan umat manusia. Seni Yunani
Kuno dan Klasik mengilustrasikan banyak episode mitologis, termasuk ikonografi
mapan atribut yang mengidentifikasi setiap dewa. Ada dua belas dewa utama dalam
panteon Yunani. Yang terpenting adalah Zeus, dewa langit dan pimpinan
para dewa, yang disucikan oleh lembu dan pohon ek, serta kedua saudara
laki-lakinya, Hades dan Poseidon, masing-masing memerintah Dunia
Bawah dan Samudera. Hera, saudara perempuan dan isteri Zeus,
adalah ratu para dewa, dan dia sering digambarkan mengenakan mahkota yang
tinggi.
Orang Yunani memiliki dewa yang berbeda untuk hampir semua hal. Mereka
membayangkan bahwa para dewa hidup bersama, sebagai satu keluarga, di puncak
Gunung Olympus. Mitologi kuno sering merepresentasikan kedewataan dengan
bentuk dan kualitas manusia. Mereka menyerupai manusia tidak hanya dalam
penampilan dan kepribadian; mereka menunjukkan banyak aspek kehidupan manusia
untuk menjelaskan fenomena alam, penciptaan, dan peristiwa sejarah. Para dewa
jatuh cinta, menikah, punya anak, berperang, menggunakan senjata, serta
menunggang kuda dan kereta. Mereka berpesta sajian khusus, dan kadang-kadang
membutuhkan pengurbanan makanan, minuman, dan benda suci yang dipersembahkan
oleh manusia. Beberapa dewa antropomorfik menerangkan misteri kehidupan manusia
yang tidak bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan pada saat itu, seperti cinta,
perang, kesuburan, keindahan, atau musim. Dewa Antropomorfik memperlihatkan
kualitas-kualitas yang ada pada manusia seperti kecantikan, kebijaksanaan, dan
kekuatan; serta terkadang kelemahan manusia seperti keserakahan, kebencian,
kecemburuan, dan kemarahan yang tidak terkendali. Dewa Yunani seperti Zeus
dan Apollo sering digambarkan dalam bentuk manusia yang menunjukkan
sifat manusia yang terpuji atau tercela. Antropomorfisme dalam hal ini lebih
spesifik dinamakan sebagai 'antropoteisme'.
Beberapa agamawan, cendekiawan, dan filsuf Yunani Kuno keberatan dengan konsep
dewa Antropomorfik yang digambarkan oleh Hesiod. Kritik paling awal datang dari
filsuf Yunani Xenophanes (570–480 seb.M.) yang mengamati bahwa manusia
mencontohkan dewa-dewa mereka menurut gambaran diri mereka sendiri. Dia
menentang konsepsi dewa sebagai entitas-antropomorfik. Dia berkata bahwa "dewa
terbesar" menyerupai manusia "baik dalam bentuk maupun pikiran",
seperti yang diutarakan dalam kritiknya:
"Tetapi jika
sapi, kuda, dan singa memiliki tangan,
Atau bisa melukis dengan tangan mereka dan membuat karya seperti yang
dilakukan oleh manusia,
Kuda seperti kuda; dan lembu seperti lembu;
Juga akan menggambarkan bentuk para dewa dan menjadikan tubuh mereka,
Semacam itu seperti bentuk yang mereka miliki sendiri.
… … …
Orang Etiopia mengatakan bahwa dewa mereka berhidung pesek dan berkulit
hitam;
Orang _Thracia_ menceritakan bahwa dewa mereka pucat dan berambut merah."
Ternyata bukan hanya orang Yunani Kuno yang memandang dewa-dewi mereka
seperti manusia, bahkan di Tiongkok pun orang menganggap Kaisar Langit (atau
Kaisar Kemala) atau Yù Huáng Dà Dì
(玉皇大帝), memerintah kerajaan kahyangan
layaknya seorang kaisar Tiongkok.
Antropomorfisme bukan saja
terjadi pada penggambaran sosok dewa, tetapi juga dalam fabel. Fabel (fable,
Inggr.) adalah genre sastra: cerita fiksi ringkas dalam bentuk prosa atau
sajak, yang menampilkan hewan, makhluk legendaris, tumbuhan, benda mati, atau
kekuatan alam yang antropomorfik. Pencipta fabel bertujuan menyampaikan atau
mengajarkan pesan moral tertentu. Selain fabel ada juga dongeng, yang merupakan
salah satu bentuk sastra rakyat yang paling bertahan lama, yang tersebar dalam literatur
hampir di setiap negara. Fabel dan dongeng sudah sedemikian tuanya dan bermula
dari tradisi lisan. Sekarang tradisi mendongeng digiatkan kembali dalam
pendidikan anak-anak di Indonesia, karena cerita-cerita yang membawa pesan
moral ini masih membekas dalam ingatan, ketika sang anak telah beranjak dewasa.
Salah satu tokoh yang terkenal dalam sejarah penciptaan cerita fabel adalah
Aesop, yaitu seorang budak Yunani yang hidup pada abad ke-6 sebelum masehi.
Aesop terkenal karena kumpulan cerita fabelnya berjudul Fables yang
memiliki lebih dari 700 cerita pendek.
Cerita-cerita fabel Aesop terinspirasi dari kehidupan sehari-hari
masyarakat Yunani Kuno, dan dianggap sebagai karya sastra yang paling penting
dalam sejarah fabel. Selain itu, fabel juga menjadi populer di kalangan
filsuf-filsuf Yunani Kuno seperti Plato dan Aristoteles, yang memanfaatkan
fabel untuk mengilustrasikan konsep-konsep filosofis.
Dalam
tradisi Buddhis, kita mengenal cerita Jātaka, Jātaka artinya 'Kisah
Kelahiran', merupakan
kumpulan literatur asli India yang jumlahnya cukup banyak, yang berkaitan
dengan kehidupan Buddha Gautama pada kelahiran-kelahiran yang lampau. Kehidupan
sebelumnya dari Sang Buddha lebih dikenal sebagai Sang Bodhisattva (Sansk.)
atau Bodhisatta (Pāli) artinya 'Calon Buddha'. Nah dalam cerita Jātaka, Sang Bodhisattva ini kerap menjelma dalam wujud
manusia, hewan, atau dewa. Penulis akan mengambil satu contoh, yang isinya akan
diceritakan di sini. Jātaka yang dipilih adalah Latukika Jātaka, yang
terdaftar sebagai Jātaka No. 357.
Sang Bodhisattva dalam salah satu kehidupannya yang lampau terlahir sebagai
seekor gajah. Dia tinggal di Himalaya bersama dengan delapan puluh ribu
kawanan, dan kelompok gajah itu menunjuk dia sebagai pemimpin mereka. Seekor
burung puyuh bertelur di tempat para gajah mencari makan, dan beberapa
tukik-puyuh baru saja keluar dari cangkangnya ketika kawanan itu tiba. Khawatir
kawanan gajah akan menginjak anak-anaknya, burung puyuh itu berdiri di depan
Sang Bodhisattva dan memintanya untuk melindungi mereka. Dia mengabulkan
permintaan induk burung itu, dengan berdiri di atas sarang-burung demi
melindungi anak-anak burung itu, sampai seluruh kawanan hewan raksasa itu lewat
dari sana. Sebelum dia meninggalkan tempat itu, Sang Bodhisattva memperingatkan
induk burung puyuh, bahwa seekor gajah yang keji sedang berjalan di belakang
mereka, jadi induk burung perlu berbicara dengannya juga.
Ketika gajah yang keji itu tiba, burung puyuh kembali mengajukan permintaan
yang sama kepadanya. Tapi gajah ini jahat, dia malahan dengan sengaja
menginjak-injak anak-burung, dan mengencingi jasad mereka yang telah hancur
itu. Burung puyuh mengutuk sang gajah jahat dan bersumpah akan membalas dendam;
dengan menyatakan bahwa pikiran yang terpusat lebih kuat daripada tubuh yang kekar.
Segera setelah anak-anaknya mati, sang burung puyuh menanam perbuatan jasa
dengan memberi bantuan kepada burung gagak, lalat, dan katak. Waktu pun berlalu
dengan cepat. Ketika saatnya sudah tepat, dia meminta bantuan mereka untuk
memberikan pelajaran pada sang gajah yang keji itu. Burung gagak mulai beraksi
dengan mematuk kedua mata gajah sehingga makhluk jahat itu menjadi buta.
Kemudian lalat bertelur di rongga matanya, dan ketika telur-telurnya menetas
menjadi belatung, gajah yang kesakitan berupaya mencuci matanya dengan air.
Didengarnya di tempat dia berdiri ada suara katak, jadi gajah buta itu mengira
di dekat situ pasti ada sebuah kolam. Sang katak memperdaya makhluk raksasa itu
dengan menggiringnya ke tepi sebuah jurang yang dalam. Gajah yang kejam itu
terus mengikuti suara katak, dengan perkiraan katak berada di dekat air. Pada
saat gajah mendekati bibir jurang, sang katak dengan gesit menjauh dari tebing
dan berkokok nyaring. Gajah malang itu pun tertipu dan serta merta jatuh ke
jurang hingga tewas. Sang burung puyuh yang gembira melakukan tarian kemenangan
di atas bangkai gajah, sebelum terbang menjauh.
Sang gajah jahat adalah Devadatta pada kelahiran sebelumnya. Devadatta yang
menjadi siswa Sang Buddha, belakangan melawannya dan berupaya membunuh sang
guru. Ternyata sejak dulu Devadatta sudah menjadi musuh bebuyutan Sang
Bodhisattva. Suatu hari Sang Buddha dilaporkan oleh beberapa muridnya, tentang
bagaimana Devadatta berlaku kejam, bengis, dan keji kepada bhikkhu lainnya;
bahkan tanpa sedikit pun empati terhadap orang lain. Sang Guru menceritakan
kisah ini kepada mereka, sehingga mereka paham bahwa Devadatta pernah berperilaku
sejahat itu di masa lampaunya.
Dulu ketika penulis masih duduk di bangku Sekolah Dasar, percaya pada
cerita bahwa semut dapat mengalahkan gajah. Strateginya? Semut masuk ke telinga
gajah dan mulai menggigit organ-dalam telinga makhluk raksasa itu hingga dia
kesakitan. Sang gajah mengamuk dengan membentur-benturkan telinganya, namun
usahanya tidak membuahkan hasil. Hewan malang itu lalu mengamuk dengan
menabrakkan kepalanya ke batu hingga akhirnya dia tewas. Dan semut menang dalam
pertempuran melawan gajah. Tentu itu ilusi seorang anak yang mungkin terjadi
pada banyak orang seusia dia. Namun setelah bertahun-tahun belajar di bangku
sekolah, kita memahami, adalah mustahil semut bisa menang melawan gajah. Dalam
fabel di atas, termasuk dalam cerita Jātaka, dikisahkan bahwa hewan yang
berbeda spesies dapat saling berkomunikasi, entah dengan menggunakan bahasa
apa. Hewan juga bisa berpikir dan menyusun strategi seperti yang dilakukan oleh
manusia. Hewan yang berbeda jauh, dilihat dari bentuk, ukuran, dan habitat
tempat hidupnya, pun dalam fabel bisa saling berkawan dengan akrab dan
bersama-sama mereka merancang sebuah rencana yang brilian. Inilah yang
dinamakan hewan berpikir, berbicara, dan bertindak seperti halnya manusia. Jadi
fabel adalah salah satu produk antropomorfisme.
Pertanyaannya sekarang, mengapa Sang Buddha memanfaatkan fabel untuk menarasikan
kisah-kisah kehidupannya yang lampau? Keberadaan dongeng dan fabel sudah ada
jauh sebelum Sang Buddha lahir. Cerita dongeng dan fabel begitu populer di
kalangan rakyat Jambudvipa, karena mudah dicerna oleh orang kebanyakan.
Dengan menceritakan fabel yang menarik, Sang Buddha berlaku seperti yang
dilakukan oleh filsuf Yunani ternama, memanfaatkan cerita dongeng untuk
menyampaikan pesan Dharma. Bagi kita umat Buddha tidaklah penting apakah Jātaka
itu hanyalah sekedar dongeng. Semua ilustrasi di dalam Jātaka sebenarnya
merefleksikan bekerjanya hukum Karma dan Tumimbal-lahir.
sdjn/dharmaprimapustaka/230322