Rabu, 22 Maret 2023

ANTROPOMORFISME





Jika orang bertanya sejak kapan manusia mengenal kepercayaan terhadap kekuasaan supranatural, maka penemuan berikut ini barangkali bisa menjawab pertanyaan itu. Kira-kira lebih dari seratus tahun yang lalu, antara 1912 hingga 1914, tiga bersaudara, Max, Jacques, dan Louis Bégouën, bersama ayah mereka Comte Henri Bégouën, menemukan sebuah goa di Montesquieu-Avantès, Ariège, Perancis. Kelak goa ini dikenal dengan nama The Sanctuary (maknanya: "tempat perlindungan"), di Goa Trois Frères berarti Goa Tiga Bersaudara. Eksplorasi goa yang cukup rumit ini terganggu karena bertepatan dengan meletusnya Perang Dunia ke-1 (1914-1918), dan baru dilanjutkan pada tahun 1918. Dua tahun kemudian (1920), H. Bégouën dan H. Breuil menerbitkan gambar The Sorcerer untuk pertama kalinya. The Sorcerer artinya "Sang Penyihir". Setelah diinvestigasi menggunakan penanggalan radiokarbon, keberadaan goa itu berasal dari tahun 13.000 sebelum Masehi (atau lima-belas ribu tahun yang lalu).

 

Goa itu memiliki lukisan dinding yang berisi begitu banyak gambar, dengan banyak fragmen yang saling terkait secara kompleks, sehingga studi mereka memakan waktu beberapa dekade. Breuil menunjukkan bahwa Max Bégouën pertama kali melihat dan memotret lukisan itu. Breuil menulis: "Pertama-tama, 'sang dewa' pertama yang disebut 'Sang penyihir' oleh Count Bégouën dan aku, satu-satunya sosok yang dilukis dengan warna hitam dari semua pahatan dan ukiran di Tempat Perlindungan ini, empat meter di atas lantai dalam posisi yang tampaknya tidak dapat diakses, dan hanya bisa dicapai lewat sebuah koridor rahasia yang perlu dipanjat melalui sebuah lorong berliku-liku. Jelas, dia memimpin semua hewan itu, yang telah dikumpulkan dalam jumlah yang fantastis, dan mereka dibiarkan begitu saja dalam tumpukan-tumpukan. Tingginya 75 cm dan lebar 50 cm, dia sepenuhnya terpahat tetapi lukisan itu terdistribusi secara tidak merata. Kepalanya hanya berupa jejak, yakni pada mata, hidung, dahi, dan telinga kanan. Kepalanya membentuk wajah penuh dengan mata bundar beserta bola-matanya. Di antara mata ada garis untuk hidung, yang berakhir dengan sebuah lengkungan kecil. Telinga yang ditusuk mirip dengan kuping seekor rusa jantan. Dari bando yang dicat hitam di bagian dahi muncul dua buah tanduk tebal besar. Sosok ini tidak memiliki mulut tetapi mempunyai jenggot yang panjang dan jatuh di dada. ... 'Sang Penyihir' ini jelas laki-laki dan dia berdiri walaupun tidak tegak, dengan tubuh condong berat ke belakang namun telah berkembang dengan baik, serta di bawahnya ada ekor lebat seekor Serigala atau Kuda dengan jumbai di ujungnya. Begitulah sosok Magdalenian (budaya Paleolitik Muda di Eropa Barat) yang paling penting dalam kehidupan di goa, dan sosok Roh yang mengendalikan ekspedisi berburu demi mendapatkan hasil buruan yang melimpah."

 

Lima-belas ribu tahun silam dikenal sebagai zaman prasejarah, ketika nenek moyang kita menjadi pemburu-pengumpul untuk memenuhi kebutuhan pangannya, kehidupan mereka sangat tergantung pada hasil perburuan. Sebagai tempat perlindungan sehari-hari mereka tinggal di goa-goa. Tidak adanya pasokan daging buruan dalam jumlah yang memadai untuk seluruh anggota komunitas, bisa mengancam kelangsungan hidup kelompok tersebut. Namun tidak setiap kali mereka melakukan perburuan hewan, akan mendapatkan hasil yang berlimpah. Jadi muncul kepercayaan bahwa kekuatan supranatural mampu membantu mereka mendapatkan tangkapan yang berlimpah.

 

Kita  kembali kepada The Sorcerer atau Sang Penyihir, yang merupakan nama yang diberikan untuk lukisan gua misterius itu. Signifikansi sosok itu tidak diketahui, tetapi biasanya diartikan sebagai semacam roh agung atau penguasa hewan. Sifat tidak biasa dari dekorasi The Sanctuary mungkin juga mencerminkan praktik upacara magis di ruangan tersebut. Dalam sketsa seni guanya, Henri Breuil menggambar batang tubuh humanoid bertanduk, dan publikasi gambar ini pada tahun 1920-an mempengaruhi banyak teori selanjutnya tentang sosok tersebut.

 

Margaret Murray, seorang arkeolog dan antropolog Inggris yang terkenal, setelah melihat gambar yang dipublikasikan, menyebut gambar Breuil sebagai "penggambaran pertama dewa di Bumi". Pendapat ini kemudian diadopsi oleh Breuil dan para ahli lainnya. Jika benar lukisan itu menggambarkan sesosok roh agung, sesosok dewa yang memastikan agar upaya perburuan menghasilkan panen yang berlimpah. Dia digambarkan sebagai sesosok makhluk Antropomorfik, dengan lengan manusia, kaki beruang, ekor kuda, tanduk rusa manjangan, janggut bison, dan mata burung-hantu. Antropomorfik berasal dari kata 'antropomorfisme', yang berarti atribusi sifat manusia, emosi, atau niat untuk entitas non-manusia. Ini dianggap sebagai kecenderungan bawaan dari psikologi manusia. Selain antropomorfisme dikenal pula istilah 'personifikasi', yakni atribusi terkait bentuk dan karakteristik manusia dengan konsep abstrak seperti negara, emosi, dan kekuatan alam, seperti musim dan cuaca. Keduanya memiliki akar kuno sebagai alat penceritaan dan penciptaan seni manusia purba; dan ternyata sebagian besar budaya memiliki dongeng tradisional dengan hewan Antropomorfik sebagai karakternya. Orang-orang juga secara rutin mengaitkan emosi dan perilaku manusia, serupa dengan yang terjadi pada hewan liar dan binatang peliharaan.

 

 

Kita cukupkan dulu perbincangan perihal kepercayaan dan ritus-ritus permohonan manusia terhadap dewa pada masa prasejarah. Kita coba meneliti kasus yang sama pada masa yang lebih kemudian, dan untuk contohnya penulis mengambilnya dari peradaban Helenestik atau Yunani Kuno. Orang Yunani percaya pada dewa dan dewi, yang menurut mereka, memiliki kendali atas setiap aspek kehidupan manusia. Mereka percaya bahwa manusia harus berdoa kepada para dewa untuk meminta bantuan dan perlindungan, karena jika para dewa tidak senang dengan seseorang, maka mereka akan menghukumnya. Mereka membuat tempat khusus di rumah dan di kuil, tempat mereka bisa bersembahyang di hadapan patung dewa, dan meletakkan persembahan atau hadiah bagi entitas yang mereka puja.

 

Sekitar 700 seb.M., sang penyair Hesiod menulis Theogonía (artinya 'silsilah atau kelahiran para dewa') dalam dialek Epik Yunani Kuno, yang berisi 1022 baris puisi. Inilah kosmogoni tertulis pertama dalam mitologi Yunani, yang menceritakan asal mula alam semesta dari ketiadaan atau chaos (kekacauan, kehampaan) menjadi segala yang ada. Theogonía merinci pula silsilah dewa dan dewi yang rumit, yang be-revolusi dari chaos lalu turun ke Gaia (Bumi), Ouranos (Langit), Pontos (Samudera), dan Tartaros (Dunia Bawah). Pada pusat mitologi Yunani terdapat jajaran dewa dan dewi yang dikatakan tinggal di Gunung Olympus, gunung tertinggi di Yunani. Dari tempat bertengger mereka yang tinggi, mereka menguasai setiap aspek kehidupan manusia. Dewa dan dewi Olympian tampak seperti pria dan wanita, walaupun mereka dapat mengubah-diri mereka menjadi hewan dan benda lainnya.

 

Dewa dan dewi itu disembah oleh orang Yunani Kuno, masing-masing dengan kepribadian dan ranah kekuasaan yang berbeda. Mitologi Yunani menjelaskan asal usul para dewa dan hubungan individual mereka dengan umat manusia. Seni Yunani Kuno dan Klasik mengilustrasikan banyak episode mitologis, termasuk ikonografi mapan atribut yang mengidentifikasi setiap dewa. Ada dua belas dewa utama dalam panteon Yunani. Yang terpenting adalah Zeus, dewa langit dan pimpinan para dewa, yang disucikan oleh lembu dan pohon ek, serta kedua saudara laki-lakinya, Hades dan Poseidon, masing-masing memerintah Dunia Bawah dan Samudera. Hera, saudara perempuan dan isteri Zeus, adalah ratu para dewa, dan dia sering digambarkan mengenakan mahkota yang tinggi.

 

Orang Yunani memiliki dewa yang berbeda untuk hampir semua hal. Mereka membayangkan bahwa para dewa hidup bersama, sebagai satu keluarga, di puncak Gunung Olympus. Mitologi kuno sering merepresentasikan kedewataan dengan bentuk dan kualitas manusia. Mereka menyerupai manusia tidak hanya dalam penampilan dan kepribadian; mereka menunjukkan banyak aspek kehidupan manusia untuk menjelaskan fenomena alam, penciptaan, dan peristiwa sejarah. Para dewa jatuh cinta, menikah, punya anak, berperang, menggunakan senjata, serta menunggang kuda dan kereta. Mereka berpesta sajian khusus, dan kadang-kadang membutuhkan pengurbanan makanan, minuman, dan benda suci yang dipersembahkan oleh manusia. Beberapa dewa antropomorfik menerangkan misteri kehidupan manusia yang tidak bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan pada saat itu, seperti cinta, perang, kesuburan, keindahan, atau musim. Dewa Antropomorfik memperlihatkan kualitas-kualitas yang ada pada manusia seperti kecantikan, kebijaksanaan, dan kekuatan; serta terkadang kelemahan manusia seperti keserakahan, kebencian, kecemburuan, dan kemarahan yang tidak terkendali. Dewa Yunani seperti Zeus dan Apollo sering digambarkan dalam bentuk manusia yang menunjukkan sifat manusia yang terpuji atau tercela. Antropomorfisme dalam hal ini lebih spesifik dinamakan sebagai 'antropoteisme'.

 

Beberapa agamawan, cendekiawan, dan filsuf Yunani Kuno keberatan dengan konsep dewa Antropomorfik yang digambarkan oleh Hesiod. Kritik paling awal datang dari filsuf Yunani Xenophanes (570–480 seb.M.) yang mengamati bahwa manusia mencontohkan dewa-dewa mereka menurut gambaran diri mereka sendiri. Dia menentang konsepsi dewa sebagai entitas-antropomorfik. Dia berkata bahwa "dewa terbesar" menyerupai manusia "baik dalam bentuk maupun pikiran", seperti yang diutarakan dalam kritiknya:

 

"Tetapi jika sapi, kuda, dan singa memiliki tangan,

Atau bisa melukis dengan tangan mereka dan membuat karya seperti yang dilakukan oleh manusia,

Kuda seperti kuda; dan lembu seperti lembu;

Juga akan menggambarkan bentuk para dewa dan menjadikan tubuh mereka,

Semacam itu seperti bentuk yang mereka miliki sendiri.

… … …

Orang Etiopia mengatakan bahwa dewa mereka berhidung pesek dan berkulit hitam;

Orang _Thracia_ menceritakan bahwa dewa mereka pucat dan berambut merah."

 

Ternyata bukan hanya orang Yunani Kuno yang memandang dewa-dewi mereka seperti manusia, bahkan di Tiongkok pun orang menganggap Kaisar Langit (atau Kaisar Kemala) atau Yù Huáng Dà Dì (玉皇大帝), memerintah kerajaan kahyangan layaknya seorang kaisar Tiongkok.

 

 

Antropomorfisme bukan saja terjadi pada penggambaran sosok dewa, tetapi juga dalam fabel. Fabel (fable, Inggr.) adalah genre sastra: cerita fiksi ringkas dalam bentuk prosa atau sajak, yang menampilkan hewan, makhluk legendaris, tumbuhan, benda mati, atau kekuatan alam yang antropomorfik. Pencipta fabel bertujuan menyampaikan atau mengajarkan pesan moral tertentu. Selain fabel ada juga dongeng, yang merupakan salah satu bentuk sastra rakyat yang paling bertahan lama, yang tersebar dalam literatur hampir di setiap negara. Fabel dan dongeng sudah sedemikian tuanya dan bermula dari tradisi lisan. Sekarang tradisi mendongeng digiatkan kembali dalam pendidikan anak-anak di Indonesia, karena cerita-cerita yang membawa pesan moral ini masih membekas dalam ingatan, ketika sang anak telah beranjak dewasa.

 

Salah satu tokoh yang terkenal dalam sejarah penciptaan cerita fabel adalah Aesop, yaitu seorang budak Yunani yang hidup pada abad ke-6 sebelum masehi. Aesop terkenal karena kumpulan cerita fabelnya berjudul Fables yang memiliki lebih dari 700 cerita pendek. 

Cerita-cerita fabel Aesop terinspirasi dari kehidupan sehari-hari masyarakat Yunani Kuno, dan dianggap sebagai karya sastra yang paling penting dalam sejarah fabel. Selain itu, fabel juga menjadi populer di kalangan filsuf-filsuf Yunani Kuno seperti Plato dan Aristoteles, yang memanfaatkan fabel untuk mengilustrasikan konsep-konsep filosofis. 

 

Dalam tradisi Buddhis, kita mengenal cerita Jātaka, Jātaka artinya 'Kisah Kelahiran', merupakan kumpulan literatur asli India yang jumlahnya cukup banyak, yang berkaitan dengan kehidupan Buddha Gautama pada kelahiran-kelahiran yang lampau. Kehidupan sebelumnya dari Sang Buddha lebih dikenal sebagai Sang Bodhisattva (Sansk.) atau Bodhisatta (Pāli) artinya 'Calon Buddha'. Nah dalam cerita Jātaka, Sang Bodhisattva ini kerap menjelma dalam wujud manusia, hewan, atau dewa. Penulis akan mengambil satu contoh, yang isinya akan diceritakan di sini. Jātaka yang dipilih adalah Latukika Jātaka, yang terdaftar sebagai Jātaka No. 357.

 

Sang Bodhisattva dalam salah satu kehidupannya yang lampau terlahir sebagai seekor gajah. Dia tinggal di Himalaya bersama dengan delapan puluh ribu kawanan, dan kelompok gajah itu menunjuk dia sebagai pemimpin mereka. Seekor burung puyuh bertelur di tempat para gajah mencari makan, dan beberapa tukik-puyuh baru saja keluar dari cangkangnya ketika kawanan itu tiba. Khawatir kawanan gajah akan menginjak anak-anaknya, burung puyuh itu berdiri di depan Sang Bodhisattva dan memintanya untuk melindungi mereka. Dia mengabulkan permintaan induk burung itu, dengan berdiri di atas sarang-burung demi melindungi anak-anak burung itu, sampai seluruh kawanan hewan raksasa itu lewat dari sana. Sebelum dia meninggalkan tempat itu, Sang Bodhisattva memperingatkan induk burung puyuh, bahwa seekor gajah yang keji sedang berjalan di belakang mereka, jadi induk burung perlu berbicara dengannya juga.

 

Ketika gajah yang keji itu tiba, burung puyuh kembali mengajukan permintaan yang sama kepadanya. Tapi gajah ini jahat, dia malahan dengan sengaja menginjak-injak anak-burung, dan mengencingi jasad mereka yang telah hancur itu. Burung puyuh mengutuk sang gajah jahat dan bersumpah akan membalas dendam; dengan menyatakan bahwa pikiran yang terpusat lebih kuat daripada tubuh yang kekar.

 

Segera setelah anak-anaknya mati, sang burung puyuh menanam perbuatan jasa dengan memberi bantuan kepada burung gagak, lalat, dan katak. Waktu pun berlalu dengan cepat. Ketika saatnya sudah tepat, dia meminta bantuan mereka untuk memberikan pelajaran pada sang gajah yang keji itu. Burung gagak mulai beraksi dengan mematuk kedua mata gajah sehingga makhluk jahat itu menjadi buta. Kemudian lalat bertelur di rongga matanya, dan ketika telur-telurnya menetas menjadi belatung, gajah yang kesakitan berupaya mencuci matanya dengan air. Didengarnya di tempat dia berdiri ada suara katak, jadi gajah buta itu mengira di dekat situ pasti ada sebuah kolam. Sang katak memperdaya makhluk raksasa itu dengan menggiringnya ke tepi sebuah jurang yang dalam. Gajah yang kejam itu terus mengikuti suara katak, dengan perkiraan katak berada di dekat air. Pada saat gajah mendekati bibir jurang, sang katak dengan gesit menjauh dari tebing dan berkokok nyaring. Gajah malang itu pun tertipu dan serta merta jatuh ke jurang hingga tewas. Sang burung puyuh yang gembira melakukan tarian kemenangan di atas bangkai gajah, sebelum terbang menjauh.

 

Sang gajah jahat adalah Devadatta pada kelahiran sebelumnya. Devadatta yang menjadi siswa Sang Buddha, belakangan melawannya dan berupaya membunuh sang guru. Ternyata sejak dulu Devadatta sudah menjadi musuh bebuyutan Sang Bodhisattva. Suatu hari Sang Buddha dilaporkan oleh beberapa muridnya, tentang bagaimana Devadatta berlaku kejam, bengis, dan keji kepada bhikkhu lainnya; bahkan tanpa sedikit pun empati terhadap orang lain. Sang Guru menceritakan kisah ini kepada mereka, sehingga mereka paham bahwa Devadatta pernah berperilaku sejahat itu di masa lampaunya.

 

Dulu ketika penulis masih duduk di bangku Sekolah Dasar, percaya pada cerita bahwa semut dapat mengalahkan gajah. Strateginya? Semut masuk ke telinga gajah dan mulai menggigit organ-dalam telinga makhluk raksasa itu hingga dia kesakitan. Sang gajah mengamuk dengan membentur-benturkan telinganya, namun usahanya tidak membuahkan hasil. Hewan malang itu lalu mengamuk dengan menabrakkan kepalanya ke batu hingga akhirnya dia tewas. Dan semut menang dalam pertempuran melawan gajah. Tentu itu ilusi seorang anak yang mungkin terjadi pada banyak orang seusia dia. Namun setelah bertahun-tahun belajar di bangku sekolah, kita memahami, adalah mustahil semut bisa menang melawan gajah. Dalam fabel di atas, termasuk dalam cerita Jātaka, dikisahkan bahwa hewan yang berbeda spesies dapat saling berkomunikasi, entah dengan menggunakan bahasa apa. Hewan juga bisa berpikir dan menyusun strategi seperti yang dilakukan oleh manusia. Hewan yang berbeda jauh, dilihat dari bentuk, ukuran, dan habitat tempat hidupnya, pun dalam fabel bisa saling berkawan dengan akrab dan bersama-sama mereka merancang sebuah rencana yang brilian. Inilah yang dinamakan hewan berpikir, berbicara, dan bertindak seperti halnya manusia. Jadi fabel adalah salah satu produk antropomorfisme.

 

Pertanyaannya sekarang, mengapa Sang Buddha memanfaatkan fabel untuk menarasikan kisah-kisah kehidupannya yang lampau? Keberadaan dongeng dan fabel sudah ada jauh sebelum Sang Buddha lahir. Cerita dongeng dan fabel begitu populer di kalangan rakyat Jambudvipa, karena mudah dicerna oleh orang kebanyakan. Dengan menceritakan fabel yang menarik, Sang Buddha berlaku seperti yang dilakukan oleh filsuf Yunani ternama, memanfaatkan cerita dongeng untuk menyampaikan pesan Dharma. Bagi kita umat Buddha tidaklah penting apakah Jātaka itu hanyalah sekedar dongeng. Semua ilustrasi di dalam Jātaka sebenarnya merefleksikan bekerjanya hukum Karma dan Tumimbal-lahir.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/230322


Rabu, 08 Maret 2023

SHÌ ZHÈNG YÁN DAN TZU CHI


 

 

 

(Bagian Kedua dari Dua Tulisan)

 

 

Pada bagian terdahulu diceritakan bahwa pada awal musim semi atau permulaan tahun 1963, Jǐn Yún yang saat itu berusia 26 tahun resmi ditahbiskan oleh Master Yìn Shùn menjadi seorang bhiksuni, dengan nama Dharma Zhèng Yán (lebih sering ditulis 'Cheng Yen'). Mulai hari itu dan selanjutnya selama 32 hari dia tinggal di Vihara Lin Ji, untuk mempelajari sila-sila dasar bagi seorang bhiksuni yang sudah ditahbiskan.

 

Setelah itu Bhiksuni Zhèng Yán pulang ke pondok mungil yang telah dibangun oleh Bapak Xǔ Cōng Mǐn, yang terletak di belakang Vihara Pǔ Míng. Di sana sampai Oktober 1963 dia membaca dan mempelajari Sutra Bunga Teratai. Karena dia menolak persembahan makanan dan keperluan sehari-hari, penghidupannya menjadi tidak mudah. Pada Oktober di tahun yang sama Zhèng Yán mulai mengajarkan Sutra Ksitigarbha di Kuil Tzu Shan, Hualien, selama sekitar delapan bulan. Yang menonjol dalam pengajarannya, dia menggunakan bahasa yang sederhana untuk menjelaskan Dharma yang sangat dalam maknanya, serta mengaitkannya dengan contoh permasalahan yang biasa dihadapi orang awam dalam kehidupan sehari-harinya. Pengikutnya bertambah dengan cepat dan dia segera mendapat sebutan 'Suhu Zhèng Yán'.

 

Meskipun baru berusia 26 tahun banyak pendengarnya yang langsung terpukau, ketika dia mengungkapkan filosofi dari India yang sudah berusia lebih dari 2.500 tahun. Setelah dia selesai berceramah, orang-orang terkesima, dan banyak di antara mereka yang bersedia menjadi pengikutnya. Ajarannya kemudian menjadi sangat populer di kalangan penduduk setempat, dan beberapa perempuan muda terinspirasi untuk menjadi muridnya. Salah satu yang berjodoh menjadi siswa pertamanya adalah Shì Dé Cí (釋德慈), selanjutnya kita panggil Suhu Cí, seorang perempuan lajang yang telah bertahun-tahun bercita-cita menjadi seorang bhiksuni. Setelah menetap selama delapan bulan di Kuil Tzu Shan, pertengahan tahun 1964 Suhu Zhèng Yán kembali ke Vihara Pǔ Míng, dan dia telah menerima empat orang siswa lagi.

 

Suhu Cí menulis: "Setelah itu selama beberapa tahun, kami berenam tinggal di sebuah pondok kecil di puncak bukit di belakang Vihara Pǔ Míng. (Master Cheng Yen: Teladan ..., hal. 82-83). Ruangannya berukuran kurang lebih 12 meter persegi. Kami berenam harus berdesak-desakan di dalamnya, saling berbagi dua buah selimut katun tebal pada malam hari." Sesuai dengan prinsip yang dianut Suhu Zhèng Yán, dia sendiri dan para pengikutnya harus hidup mandiri dengan bekerja untuk mencari nafkah, dan mereka menolak persembahan atau melakukan pelayanan ritual keagamaan demi mendapatkan uang. Suhu mempunyai prinsip: "sehari tidak kerja, sehari tidak makan." Pada siang hari mereka menangani berbagai pekerjaan seperti menanam kacang tanah dan sayur mayur, membuat kantung pakan ternak dari karung semen, merajut sweater, membuat sepatu bayi, dan lain sebagainya. Lalu pada malam harinya Suhu memerintahkan mereka semua belajar, dengan membaca bukan hanya Sutra-sutra Buddhis saja, melainkan juga Empat Buku Klasik Konfusius, dan buku-buku lainnya. Para siswa juga diwajibkan menyalin tulisan dari Kanon dan Sutra, guna meningkatkan tingkat intelektualitas mereka.

 

Waktu berjalan terus dan pada awal tahun 1966 saat Suhu Zhèng Yán mendekati usia 29 tahun, ada kejadian yang penting. Sekali waktu Suhu pergi ke sebuah rumah sakit swasta di kota Fenglin , sebuah kota kecil di dekat Hualien, untuk menjenguk salah satu kenalannya yang baru saja dioperasi. Seperti kebanyakan rumah sakit di sepanjang wilayah pantai timur pada masa itu yang memprihatinkan, cara mereka memperlakukan pasien membuat Suhu merasa sedih, dan dia berharap pada satu hari nanti dia dapat menolong orang miskin yang sakit. Ketika hendak melangkah ke luar dari pintu gerbang rumah sakit Suhu melihat ada bercak darah di lantai, dan Suhu mendapat informasi bahwa beberapa saat sebelumnya ada wanita dari ras Polinesia yang mengalami pendarahan karena keguguran. Wanita itu terpaksa pulang kembali setelah ditolak untuk berobat, karena keluarganya tidak dapat menyerahkan uang jaminan sebesar NT $ 8.000 (sama dengan Rp 75 ribu, pada masa itu). Sambil memandangi bercak darah tersebut, hati Suhu merasa pilu karena nyawa manusia sebenarnya lebih berharga daripada uang sejumlah itu. Jadi bertambah kuat tekad dan keinginannya untuk membantu kaum papa.

 

Tidak lama setelah kejadian itu tiga orang suster Katolik datang mengunjungi Suhu di pondok belakang vihara. Mereka adalah Betty (貝蒂, Bèidì) yang berasal dari Belgia, Huángxuěwén ( 黃雪文), dan Gāolíngxiá (高凌霞) dari Sekolah Menengah Guru Hǎixīng (海星中學老師, Hǎixīng Zhōngxué Lǎoshī). Ketiganya telah mendengar cita-cita Suhu yang luhur, tetapi nampaknya dia berjalan di organisasi yang keliru. Terjadi diskusi yang panjang. Para suster itu berargumen bahwa umat Katolik telah mendirikan banyak rumah sakit, sekolah, dan organisasi amal; tetapi mereka tidak pernah mendengar ada upaya dari organisasi keagamaan umat Buddha yang pernah membangun usaha sosial seperti itu. Mereka menyebutkan bahwa umat Buddha hanyalah sekumpulan orang pasif, yang tidak berkontribusi apa pun terhadap masyarakat. Perkataan Suster Betty itu mengejutkan Suhu Zhèng Yán; dan kami kutip berikut ini: "Fójiào xìntú zhème duō, lìliàng zhème dà. Rúguǒ zuò shèhuì fúwù de gōngzuò, yǐngxiǎng huì gèng dà." ("佛教信徒這麼多, 力量這麼大. 如果做社會服務的工作, 影響會更大; Ada begitu banyak pemeluk Buddha, dan begitu banyak sumber daya. Jika Anda melakukan pekerjaan pelayanan sosial, dampaknya akan lebih besar lagi.") Suhu lalu merefleksikan apa yang telah dilakukannya selama dia menjadi rohaniwan, dan dia menyadari betapa pengabdiannya tidak berarti untuk menolong semua makhluk yang menderita. Kebetulan pada masa itu dia ditawari oleh Master Yìn Shùn untuk mengabdikan diri di sebuah vihara besar di Chiayi, di sebuah kota di selatan Pulau Formosa. Ketika penduduk Hualien mendengar bahwa Suhu akan meninggalkan kota mereka, orang-orang datang kepadanya dan memohon agar Suhu tetap tinggal di sana.

 

Suhu Zhèng Yán terinspirasi dengan sosok Bodhisattva Avalokitesvara, yang dalam satu perwujudannya menampakkan diri sebagai sosok yang memiliki seribu tangan dan seribu mata. Di hadapan para pengikutnya dia berkata: "Kitalah yang akan menjadi mata Bodhisattva Avalokitesvara yang penuh perhatian dan tangannya yang penuh manfaat. Lalu dunia tak akan pernah lagi menyebut kita sebagai kelompok Buddhis yang pasif." Selama Suhu tetap bersedia tinggal di Hualien, mereka akan melakukan apa saja untuk beliau. Namun Suhu tidak meminta banyak kepada para pengikutnya, yang kebanyakan terdiri dari ibu rumah tangga. Beliau menyarankan agar setiap orang menyisihkan NT $ 0,50 (Rp 125) dari uang belanja mereka, untuk dimasukkan ke dalam celengan bambu. Ketika ada yang mengusulkan, mengapa tidak menabung sekaligus NT $ 15 sebulan setiap awal atau akhir bulan. Suhu menjawab: "Karena berdana adalah suatu kebahagiaan. Dengan begitu Anda dapat berbuat kebajikan setiap hari, bukan hanya sebulan sekali." Pada mulanya upaya mengumpulkan lima-puluh sen setiap harinya hanya ditujukan kepada 30 orang ibu rumah tangga yang menjadi pengikut langsung Suhu, ditambah dengan enam orang yang tinggal di pondok belakang vihara. Lama kelamaan semakin banyak orang yang berpartisipasi dalam kegiatan menghimpun dana dalam celengan bambu ini.

 

Mengenai pondok mungil yang ada di belakang Vihara Pǔ Míng ada kisah unik tersendiri. Pada tahun-tahun awal pondok itu berdiri, tiba-tiba pada suatu hari tanpa ada alasan yang jelas, pihak Kepolisian Hualien memutuskan untuk membersihkan wilayah puncak bukit dan membongkar tempat tinggal mereka. Instalasi listrik dicabut dan petugas mulai menggali tanahnya. Kemudian saat para petugas melanjutkan pekerjaan mereka, sekonyong-konyong cuaca berubah drastis. Awan gelap menutupi sang mentari dan angin kencang menderu memecahkan keheningan. Suasana cerah mendadak menjadi gelap dan tak seorang pun bisa membuka mata mereka dan bernapas dengan lega. Penduduk dusun dan juga para petugas menjadi ketakutan. Para petugas meninggalkan bukit itu dengan segera, dan mereka menghadap mandor yang mengepalai mereka. Sang mandor yang keras kepala itu tetap memerintahkan agar mereka tetap melanjutkan pekerjaan, tetapi tidak ada yang menggubrisnya. Selanjutnya dia masih meminta seorang bawahannya mengendarai sebuah truk ke atas bukit. Namun ketika kendaraan itu menyusuri jalan pegunungan, truk dibelokkan oleh kekuatan yang tidak terlihat, lalu terguling dan hancur berantakan. Beruntunglah si sopir tidak mendapat cidera yang serius. Tim yang ditugaskan untuk membongkar pondok mulai menyadari bahwa perubahan cuaca yang mendadak dan hancurnya kendaraan mereka tidak bisa dijelaskan dengan alasan yang logis, dan mereka memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Malam harinya meskipun listrik sudah diputus, penduduk dusun bisa melihat cahaya terang menyinari sekeliling pondok itu. Mereka beranggapan Suhu dan para siswanya dianggap sebagai titisan Dewa.

 

Setelah mendapat komitmen dari 30 ibu rumah tangga, pada tanggal 24 bulan ketiga di tahun 1966 menurut penanggalan Imlek, Suhu Zhèng Yán mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama 'Yayasan Buddha Tzu Chi'. 'Tzu' sendiri bermakna 'cinta-kasih dan kebajikan' dan 'Chi' berarti 'welas-asih'. Dalam bahasa Mandarin, yayasan ini dikenal dengan sebutan 佛教慈濟慈善事業基金會 (Fójiào cí jì císhàn shìyè jījīn huì). Sebelumnya Suhu berpegang pada aturan bahwasanya dia hanya akan menerima bhiksuni, dengan tidak menerima pengikut awam. Tetapi belakangan demi membantu perkembangan yayasan, beliau berubah pikiran. Lalu diterbitkanlah aturan, bahwa siapa pun yang memohon untuk menjadi pengikutnya, wajib menjadi anggota Tzu Chi. Dan sekali dia menjadi anggota, dia tidak hanya tercantum sebagai nama tok di organisasi tersebut, namun dia juga harus memberikan waktu, uang, dan tenaganya.

 

Karena kharisma Suhu yang luar biasa, keanggotaan Yayasan Buddha Tzu Chi meningkat pesat dengan kecepatan yang tidak dapat dipercaya. Pada akhir tahun 1967 jumlah anggota yang memberikan donasi secara teratur telah mencapai 300 orang, dan badan amal itu memerlukan tempat berkumpul yang lebih besar untuk menampung seluruh kegiatan mereka. Namun demikian Suhu dan lima siswa utamanya tetap bersahaja. Sejak awal dana yayasan selalu terpisah dengan dana operasional pondok kecil di belakang Vihara Pǔ Míng. Pada tahun 1967 ibunda Suhu, yakni Nyonya Wang, memberikan sejumlah uang agar yayasan bisa membeli tanah. Namun ternyata uang tersebut tidak memadai karena mereka masih perlu meminjam NT $ 31.000 di bank. Mereka lebih giat bekerja hingga membuka sawah, merajut, menjahit, membuat lilin, merangkai bunga plastik, semuanya ada 21 jenis pekerjaan yang dilakukan. Meskipun telah bekerja keras mereka masih terlilit utang, hingga Nyonya Wang turun tangan lagi dengan menyumbang NT $ 200.000. Setelah ada suntikan dana ini mereka pun mulai membangun markas besar Tzu Chi. Namun ternyata untuk membangun sebuah gedung yang layak, dana sebesar itu belum mencukupi. Akhirnya Kontraktor yang membangunnya – kebetulan dia juga merupakan pengikut Suhu bersedia menalanginya. Gedung markas besar Tzu Chi dikenal sebagai Griya Jìng Sī ( 靜思精舍, Jìng Sī Jīng Shě), selesai dibangun pada 24 Maret 1969, tiga tahun setelah pendirian yayasan. Sampai sekarang Griya Jìng Sī di Hualien telah berkembang menjadi rumah spiritual bagi semua anggota Tzu Chi di seluruh dunia.

 

Seperti disebutkan di atas keanggotaan Buddha Tzu Chi meningkat dengan pesat. Pada tahun 1995 saja Yayasan Tzu Chi di Taiwan saja telah memiliki lebih dari tiga-juta donatur dan dari jumlah ini terdapat lima-ribu komite. Relawan komite merupakan figur sentral yang mengumpulkan dana amal, melakukan kunjungan kasih, serta membuat laporan kasus mengenai orang-orang miskin dan menderita yang perlu dibantu. Organisasi Tzu Chi memiliki motto: "Empat usaha, delapan jejak kaki" (四大志業, 八大腳印, Sì dàzhì yè, bādà jiǎoyìn). Empat fokus perhatian itu adalah amal sosial, kesehatan, pendidikan, dan budaya humanis. Setiap relawan bergabung dalam satu tim, menuju cita-cita yang sudah digariskan oleh Suhu, yakni "satu mata mengamati bagaikan seribu mata, dan satu tangan berbuat laksana seribu tangan."

 

Berikut ini penulis ceritakan kisah penuh perjuangan untuk membangun rumah sakit Tzu Chi yang pertama. Tersebutlah Dokter Wen-Ping Tseng yang bekerja sebagai Wakil Kepala Rumah Sakit di RS Universitas Nasional Taiwan yang berkedudukan di Taipei. Pada Mei 1979 Dokter Tseng dihubungi oleh Suhu Zhèng Yán, yang menyatakan bahwa beliau ingin membangun sebuah rumah sakit di Hualien. Dokter Tseng menanggapi, bahwa adalah tidak mudah membangun sebuah rumah sakit, dan meskipun sudah selesai didirikan, itu hanyalah bagian termudah dibandingkan kesulitan-kesulitan lain yang segera akan menghadangnya. Sampai tiga kali Suhu menemui Dokter, dan dia kagum pada tekad dan kegigihan bhiksuni bertubuh ringkih ini, yang beratnya tak lebih dari 45 kg dan tingginya kurang dari 150 cm. Kemudian selama empat tahun berikutnya, Suhu dan para relawan Tzu Chi bekerja tak kenal lelah menggalang dana, dan sang dokter menghubungi sebanyak mungkin koleganya untuk berpartisipasi.

 

Pada akhir tahun keempat Tzu Chi berhasil mengumpulkan pundi-pundinya sebanyak NT $ 700 juta atau setara Rp 680 milyar, dan sudah ada kalangan dokter yang siap membantu. Pada Februari 1983 dilakukan upacara peletakan batu pertama di atas sebidang tanah di lokasi yang bagus. Pembangunan sudah berjalan dua bulan, namun kemudian digugat oleh otoritas militer karena alasan keamanan. Hal itu hampir membuat mereka frustasi, tetapi Suhu tetap berpegang teguh pada keyakinannya. Lalu diperlukan satu tahun lagi untuk menemukan lokasi yang baru, dan pada April 1984 diselenggarakan peletakan batu pertama di lokasi tersebut. Master Yìn Shùn pun turut mendukung pembangunan rumah sakit tersebut, dan pada Agustus 1986 sebuah rumah sakit lima lantai dibuka untuk khalayak umum. Selama dua-belas hari pertama RS Tzu Chi menawarkan pengobatan medis gratis baik rawat-jalan maupun rawat-inap. Ratusan pasien berdatangan dan ada di antara mereka yang baru pertama kalinya bertemu dengan dokter dan paramedis. Semula hanya ada 20 orang dokter yang bertugas di sana dan jelas mereka keteteran. Suhu pun menjenguk para pasien di sana setiap harinya. Karena banyaknya orang yang berobat ke rumah sakit, dalam waktu singkat tempat ini sudah tidak memadai lagi, sehingga pada Desember 1987 pembangunan tahap kedua dimulai. Bangunan baru bertingkat sebelas dan memiliki luas 640 ribu kaki-persegi (hampir 60 ribu meter-persegi) ini, diresmikan pada bulan Mei tahun 1990. Fasilitas yang baru ini memiliki 24 departemen dan dilengkapi dengan 750 tempat tidur.

 

Untuk mengisi kebutuhan pelayanan rumah sakitnya, Suhu Zhèng Yán yang sekarang dipanggil Master Zhèng Yán, mendirikan Akademi Keperawatan Tzu Chi pada tanggal 17 September 1989. Dibuka dalam dua program, dengan yang pertama berupa pendidikan selama dua tahun bagi lulusan SMK, dan yang kedua program lima tahun untuk lulusan SMP. Bahkan pada tahun 1991 dibuka lagi program sekolah malam, baik untuk siswa reguler maupun untuk kelas karyawan. Selanjutnya pada Maret 1992 mulai dirintis Universitas Kedokteran Tzu Chi yang berada di sebuah bangunan yang megah dan berdiri di atas tanah seluas 15 hektar, yang kemudian diresmikan pada musim panas 1994. Lama pendidikan di sini adalah tujuh tahun dan mereka menerima mahasiswa dari lulusan sekolah menengah atas. Dua tahun pertama dihabiskan untuk pendidikan dasar kedokteran, dan dilanjutkan lagi selama lima tahun dengan spesialisasi kedokteran umum, kesehatan masyarakat, dan riset.

 

Salah satu aksi badan amal Tzu Chi yang cukup terkenal adalah tanggap bencana alam yang terjadi tahun 1991 di Tiongkok Timur. Saat itu dataran luas itu tergenang banjir bandang dan 220 juta penduduk terkena imbasnya. Ketika Tzu Chi berencana mengirim bantuan ke sana, Master mendapat kritik pedas dari beberapa orang di Taiwan. "Tiongkok adalah musuh kita! Mengapa menolong seteru, ketika saudara-saudara kita di Taiwan masih banyak yang membutuhkan bantuan?" Walaupun mendapat tantangan dari kalangan internal, akhirnya Master memutuskan untuk menyalurkan bantuan. Kelompok pertama relawan Tzu Chi hanya terdiri dari enam orang, dan mereka pergi menemui Pemerintah Tiongkok agar Tzu Chi diizinkan untuk menolong korban banjir. Setelah mengatasi segala rintangan mereka mulai melakukan survei, dan mendapatkan bahwa lebih dari 5.000 keluarga yang tinggal di 22 kota yang berbeda, berada dalam kondisi memprihatinkan dan memerlukan bantuan segera. Kelompok yang melakukan survei tersebut kemudian pulang dan melaporkan apa yang mereka saksikan kepada Master. Lalu sejak Agustus 1991 para relawan Tzu Chi mulai bekerja keras mengumpulkan dana. Para pengusaha tidak hanya menyumbang dana dalam jumlah besar, tetapi mereka juga turun ke jalan untuk mengumpulkan sumbangan dari orang-orang yang lewat. Para wanita kaya juga bersiaga di pusat keramaian, menjajakan bunga melati yang mereka tanam sendiri. Pada Februari 1992, hanya dalam waktu enam bulan, yayasan berhasil mengumpulkan dana NT $ 412 juta (setara dengan Rp 760 milyar). Setelah mereka membelanjakan uang tersebut dengan barang-barang yang dibutuhkan oleh korban bencana, para relawan dalam jumlah yang lebih besar berangkat ke Tiongkok untuk menyalurkan bantuan.

 

Apa yang menjadi filosofi kehidupan bagi seorang Master Zhèng Yán? Menurut beliau kehidupan tidak ada bedanya dengan sebuah perjalanan dengan menggunakan kereta api. Ketika kita lahir itu menandakan kita baru saja menaiki kereta, dan saat kita turun dari kereta itu sama dengan kematian kita. Sesungguhnya kehidupan manusia itu berlangsung singkat, jadi kita seolah-olah sedang menaiki kereta api ekspres. Satu-satunya hal yang bermakna selama kita dalam perjalanan, tidak lain menunjukkan kasih sayang dan berwelas-asih kepada semua penumpang, karena kita tidak tahu di stasiun mana kita akan turun. Ada satu lagu sederhana yang liriknya digubah oleh Master, yang berbunyi:

 

"Di dunia ini tiada yang tak kukasihi,

Di dunia ini tiada yang tak kupercaya,

Di dunia ini tiada yang tak kumaafkan,

Lepaskan risau gelisah, bergembiralah,

Kasih sayang tak terbatas dan abadi."

 

Setelah melakukan operasi tanggap bencana di Tiongkok pada tahun 1991, Tzu Chi terus-menerus terlibat dalam upaya bantuan bencana ke berbagai negara di dunia. Salah satu hal yang membedakan Tzu Chi dengan organisasi sejenis, adalah para relawannya tidak hanya memberikan bantuan jangka pendek, tetapi juga turut mengambil bagian dalam proyek jangka panjang untuk membangun kembali masyarakat terdampak. Tzu Chi sering membangun rumah, sekolah, rumah sakit, dan tempat ibadah baru (termasuk gereja dan masjid untuk non-Buddha) bagi para korban setelah kebencanaan usai. Hingga tahun 2015, Tzu Chi telah memberikan bantuan penanggulangan bencana ke lebih dari 85 negara di seluruh dunia. Mungkin dunia tidak akan menyangka sosok bhiksuni bertubuh kecil dan rapuh, yang telah menggerakan sebuah badan amal yang ikonik dalam tiga-puluh tahun terakhir ini. Zhèng Yán, dialah Sang Bodhisattva hidup yang hadir di zaman kita.

 

 

(Tamat)

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/230308