Rabu, 30 November 2022

TUHAN DALAM AGAMA ORANG TIONGHOA



Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada agama-agama yang berasal dari Tiongkok, pernah dipertanyakan oleh misionaris Barat. Didasari oleh motif mereka untuk menyebarluaskan ajaran yang mereka bawa, dimulailah upaya-upaya untuk mereduksi peran agama-agama asli di sana yang sudah berakar selama ribuan tahun. Seperti yang ada pada Rú Jiào yang berasal dari ajaran Nabi Kǒng Zǐ. Menurut propaganda mereka, dikatakan bahwa kepercayaan Rú itu hanyalah ajaran filsafat semata – bukan agama yang menekankan praktik bakti seorang anak terhadap orang tuanya.

 

Agama asli Tiongkok adalah Konfusianisme dan Taoisme. Keduanya memenuhi syarat untuk disebut sebagai agama. Apalagi jika kita mengacu pada kriteria yang berlaku di Indonesia, bahwa satu ajaran bisa disebut sebagai agama; jika mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa, ada nabi yang mengajarkan doktrin agama tersebut, ada kitab sucinya, ada sistem peribadatannya, dan tentu saja memiliki penganut dalam jumlah yang memadai. Herbert Giles, seorang sinolog dan diplomat Inggris yang berkarya pada permulaan abad lalu, dalam bukunya The Civilization of China (1911), mengatakan bahwa orang Tionghoa percaya pada Tuhan Yang Maha Esa.

 

Tuhan Yang Esa dalam bahasa Mandarin disebut atau Tiān. Tiān bisa pula berarti Surga, dan merupakan penggabungan dari aksara Dà () dan Yī (). Dà berarti 'besar', 'agung', atau 'akbar', sedangkan Yī  bermakna 'satu' atau 'tunggal'. Rakyat jelata umumnya memanggil Tuhan dengan sebutan 天公 atau Tiān Gōng, atau dalam bahasa Hokkian disebut Thi-kong. Thi-kong kurang lebih maknanya: 'Kakek Surga' atau 'Adipati Surga'.

 

Saudara-saudara kita umat Islam, jika mendapatkan berkah atau keberuntungan, akan mengucapkan 'alhamdulillah'. Alhamdulillah bermakna "segala puji bagi Allah"; lazim diungkapkan ketika orang bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah SWT. Orang Nasrani juga demikian; mereka selalu mengucapkan "puji Tuhan" atau "syukur kepada Tuhan". Kita sebagai orang Tionghoa pun punya ungkapan tersendiri, dengan menyebutkan: "terima kasih, Thi-kong" atau "kamsia, Thi-kong".

 

Tuhan atau Tiān dalam pengertian orang Tionghoa, merujuk pada sosok Yù Huáng Dà Dì (玉皇大帝) atau Giok Hong Tay Te (Hokkian). Sebutan lainnya adalah Yù Huáng Shàng Dì (玉皇上帝) atau Giok Hong Siong Te (Hokkian). Diindonesiakan sebagai Kaisar Agung Giok, Kaisar Pualam, atau Kaisar Kemala. Selanjutnya kita akan pakai nama yang terakhir ini. Lalu pertanyaannya, siapa gerangan Kaisar Kemala ini? Ada beberapa cerita dalam mitologi Tiongkok yang mengisahkan keberadaannya. Penulis akan memilih salah satu di antaranya.

 

Alkisah di satu masa yang sangat purba, ada satu kerajaan yang bernama Negeri Elok Bercahaya Terang Benderang yang dipenuhi Kesukacitaan (光嚴妙樂, Guāng Yán Miào Lè). Pemimpinnya adalah Sang Raja Dermawan Suci Murni (淨德國王, Jìng Dé Guó Wáng) dan isterinya bernama Sang Permaisuri Cahaya Rembulan Elok (寶月光王后, Bǎo Yuè Guāng Wáng Hòu). Negeri tersebut masih berada di Daratan Tiongkok. Dikatakan kerajaan tersebut makmur dan rakyatnya hidup bahagia; serta apa pun yang dikehendaki oleh mereka pasti akan terkabulkan.

 

Demikianlah saat Sang Raja dan Sang Permaisuri telah memerintah sekian lama, hingga mereka berdua berusia lanjut, tetapi sayangnya mereka belum memiliki putera sebagai penyambung keturunan. Keduanya gundah memikirkan siapa orang yang kelak akan melanjutkan tahta kerajaan. Selama bertahun-tahun mereka selalu berharap dan berdoa kepada Tuhan atau Tiān, hingga suatu malam sang permaisuri bermimpi. Dalam mimpinya dia bertemu dengan Tài Shàng Lǎo Jūn (太上老君) yang sedang mengendarai kereta naga emas miliknya. Sang Maha Dewa sedang menggendong seorang anak kecil yang bercahaya. Sang permaisuri memohon agar bayi itu diserahkan kepadanya. Tài Shàng Lǎo Jūn mengabulkannya, dan tak lama kemudian sang permaisuri pun hamil. Genap sembilan bulan kemudian sang permaisuri melahirkan seorang putera. Anak lelaki itu dinamakan Yù Huáng (玉皇).

 

Saat sang putera mahkota lahir, dia memancarkan cahaya menakjubkan, yang sinarnya terlihat memenuhi seantero kerajaan. Sang pewaris tahta yang masih berusia amat muda, ternyata seorang yang baik hati, cerdas, dan bijaksana. Dia mengabdikan seluruh masa kecilnya untuk membantu mereka yang membutuhkan. Lagi pula sang putera mahkota menunjukkan rasa hormat kepada orang yang lebih tua. Dia pun memiliki welas-asih yang tinggi kepada manusia dan semua makhluk. Setelah ayahnya meninggal, dia naik tahta. Dia memastikan bahwa setiap orang di kerajaannya menemukan kedamaian dan kepuasan. Setelah itu, dia memberi tahu para abdinya bahwa dia ingin mengembangkan Tao (Sang Jalan) di 'Tebing Terang dan Harum'. Setelah 1.750 kalpa, dengan setiap kalpa berlangsung selama 129.600 tahun (satu kalpa sama dengan 3.602 kuadrat tahun), ia mencapai tataran Kedewaan-Emas. Setelah seratus juta tahun pengembangan-diri lanjutan, dia akhirnya mencapai kesempurnaan. Dengan menghitung angka-angka yang diberikan, periode untuk mencapai kesempurnaan berlangsung selama sekitar 327 juta tahun.

 

Pada saat Huáng mengembangkan diri, entitas jahat yakni sesosok makhluk asura sedang berupaya untuk berkuasa. Asura alias raksasa yang tidak kasat mata ini amat kuat, memiliki ambisi untuk menaklukkan para dewa di surga, serta selanjutnya ingin menyatakan kedaulatan atas seluruh alam semesta. Entitas jahat ini juga melakukan pengasingan-diri, bertapa, dan bermeditasi untuk mengembangkan kekuatannya, yang walaupun lebih lambat daripada yang dijalankan oleh Huáng, pada akhirnya dia berhasil mencapai tataran kesaktian yang tinggi. Dia melewati 300 ujian, dengan setiap tahapan menuju kesempurnaan berlangsung sekitar 3 juta tahun. Setelah uji coba terakhirnya, dia merasa yakin bahwa tidak ada yang bisa mengalahkannya. Setelah menobatkan dirinya menjadi raja asura, dia merekrut pasukan asura untuk menjadi bala tentaranya, dengan tujuan menyerang para dewa dan menguasai tahta surga.

 

Para dewata yang berada di surga menyadari ancaman itu, yang lalu mereka menghimpun kekuatan dan bersiap untuk perang. Dalam pertempuran melawan bala tentara asura para dewa tidak dapat menghentikan kekuatan jahat yang amat perkasa, dan mereka semua dapat ditaklukkan. Huáng baru saja menyelesaikan pengembangan dirinya, saat perang antara dewa dan asura sedang berlangsung. Ketika dia sedang mengubah tanah agar lebih layak huni bagi manusia dengan cara memukul mundur berbagai makhluk jahat yang berkuasa di atas bumi, dia melihat cahaya jahat memancar dari surga. Dia segera menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres terjadi di sana. Dia pun naik ke surga dan melihat bahwa entitas jahat terlalu kuat untuk dihentikan oleh para dewa. Dia menantangnya, dan mereka lalu bertarung. Gunung-gunung berguncang, sungai-sungai meluap, serta lautan pun menjadi kacau. Karena tingkat pengembangan dirinya yang lebih matang dan lebih luhur, Yù Huáng memenangkan pertempuran. Setelah sang raja asura dikalahkan, bala tantara asura pun tercerai-berai dikalahkan oleh para dewa. Atas jasa-jasanya para dewa kemudian memproklamirkan Yù Huáng sebagai penguasa tertinggi di surga, dan sejak saat itu dia dikenal sebagai Kaisar Kemala.

 

Apakah benar ada sosok dewata yang bernama Kaisar Kemala? Konon seorang penguasa dari Dinasti Sòng (960 - 1279 M) pernah menyaksikannya. Kaisar Zhēnzōng (真宗, 23-Des-968 – 23-Mar-1022) yang merupakan kaisar ketiga dalam Dinasti Sòng, mengklaim telah melihat sosok dewa tersebut, dalam sebuah penampakan di satu malam tertentu di tahun 1007 Masehi. Sosok Kaisar Kemala sebagai raja para dewa ini mirip dengan kisah Dewa Sakka (Pali) atau Śakra (Sanskerta), sebagai julukan Dewa Indra yang ditemukan pula dalam beberapa ayat kitab suci Rg Veda. Dalam naskah-naskah Buddhis dikatakan bahwa Sakka atau Śakra sering bertemu dan berdiskusi dengan Sang Buddha, untuk membahas berbagai masalah moralitas. Di Tiongkok Śakra dikenal sebagai Dì Shì Tiān (帝釋天) atau Shì Tí Huán Yīn (釋提桓因). Śakra juga dikenal sebagai penguasa Surga Tāvatiṃsa (atau Trāyastriṃśa), yang merupakan salah satu surga dalam kosmologi Buddhis. Dalam Mantra Śūraṅgama, penghormatan terhadap Śakra diucapkan sebagai "Nán wú yīn tuó luó yé", atau 南 無 因 陀 羅 耶," yang merupakan pelafalan dari penggalan mantra "Namo Indra Ya."

 

Dari cerita Huáng yang kemudian menjadi Kaisar Kemala, para pembaca yang kritis akan bertanya, berarti sebelum ada penguasa di Surga terdapat penguasa kahyangan yang sebelumnya? Kaisar Kemala sendiri suatu saat nanti akan digantikan oleh  Sang Fajar Kemala Surgawi dari Pintu Emas (金闕玉晨天尊, Jīn Què Yù Chén Tiān Zūn). Dalam kisah Sakka sang raja dewa – seperti yang dikisahkan pula dalam beberapa cerita Jataka – jika seorang raja dewa yang berkuasa mangkat, maka dia juga akan digantikan oleh Sakka yang berikutnya. Padahal kita dari kecil sudah dicekoki oleh doktrin bahwa Tuhan itu adalah kekal, tidak berawal, dan juga tidak berakhir?

 

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita akan meninjau Konsep Trinitas dalam ajaran Agama Tao. Tiga Yang Suci atau  三清 dibaca Sānqīng, merupakan tiga dewa tertinggi dalam ajaran Tao. Yang pertama dari Tiga Yang Suci adalah 元始天尊 atau Yuán Shǐ Tīan Zūn; adalah salah satu dewa tertinggi Taoisme. Dia adalah yang tertinggi dari Tiga Yang Suci. Yuán Shǐ Tīan Zūn sebenarnya tanpa-awal dan tanpa-akhir, serta yang paling tinggi dari semua makhluk. Dia bukanlah pribadi, walaupun merupakan representasi dari prinsip semua makhluk. Dari dia segala sesuatu muncul. Dia abadi, tidak terbatas, dan tanpa bentuk. Yang kedua dari Tiga Yang Suci adalah 靈寶天尊 atau Líng Bǎo Tiānzūn. Sedangkan yang ketiga dari Tiga Yang Suci adalah 道德天尊 atau Dào Dé Tiān Zūn, atau dikenal pula sebagai 太上老君 atau Tài Shàng Lǎo Jūn, yakni 'Tuan Penatua Tertinggi'. Kaisar Agung Giok atau Kaisar Kemala adalah salah satu representasi dewa pertama. Dalam teologi Taois dia adalah asisten Yuán Shǐ Tīan Zūn, yang merupakan salah satu dari Tiga Yang Suci, tiga emanasi primordial Dào. Anda, para pembaca, bisa menyimak kembali tulisan penulis sebelumnya yang berjudul: 'Trinitas'.

 

Dalam perwujudan seni khas Tiongkok, Kaisar Kemala paling sering digambarkan sebagai pria setengah baya berambut panjang dan berkumis. Dia divisualisasikan sedang duduk di atas singgasana dengan mengenakan kostum kekaisaran lengkap – jubah panjang bersulam naga dan topi dengan tiga-belas jumbai yang dirangkai mutiara – dan di tangannya dia memegang sebuah tablet seremonial kekaisaran.

 

Namun di tempat pemujaan berupa kuil atau bio yang ada di mancanegara dan juga di Indonesia, biasanya tidak terdapat gambar atau arca Kaisar Kemala. Pengelola kuil biasanya hanya menyediakan sebuah pedupaan besar di halaman depan yang lapang, hingga orang bisa bersembahyang menghadap langit terbuka. Pedupaan ini berbentuk guci besar berkaki tiga, dan dinamakan Tiān Gōng Lú (天公爐) atau orang Hokkian menyebutnya sebagai Hiolo Thi-Kong. Pada saat melakukan persembahyangan di Kuil, pertama kali umat berdoa kepada Thi-Kong dengan membakar dupa dan menancapkannya di hiolo tersebut, dilanjutkan dengan melakukan persembahan kepada para dewata lainnya. Pemujaan Yù Huáng Dà Dì mulai popular di kuil-kuil di Daratan Tiongkok, setelah Kaisar Zhēnzōng memerintahkan rakyatnya untuk menyembah Penguasa Surga, dengan menetapkan Kaisar Kemala sebagai dewa yang disponsori oleh negara.

 

Hari ulang tahun Kaisar Kemala dilangsungkan pada hari kesembilan bulan pertama menurut Kalender Tionghoa. Pada hari besar itu kuil-kuil Tao mengadakan upacara Bài Tiān Gōng (拜天公), yang secara harafiah diterjemahkan sebagai 'Menyembah Kakek Surga'. Para biarawan dan umat melakukan puja-bakti, membakar dupa, dan mempersembahkan makanan. Jika dirunut upacara ini mulanya bersumber dari 'Pemujaan Alam Semesta' atau sembahyang kepada Sang Pencipta Alam. Dalam pandangan nenek moyang orang Tionghoa, alam semesta terdiri atas Tiga Alam, yaitu Langit atau Tiān, Bumi (, Dì), dan Air (水, Shuǐ), dengan masing-masing memiliki penguasanya sendiri-sendiri. Baru sejak diterbitkannya maklumat oleh Kaisar Zhēnzōng, 'Pemujaan Alam Semesta' digabungkan menjadi satu, yakni pemujaan kepada Maha Dewa yang paling tinggi kedudukannya di seluruh alam semesta, Yù Huáng Dà Dì.

 

Salah satu ritual pemujaan terhadap Kaisar Kemala yang belakangan dijadikan tradisi oleh orang Tionghoa adalah sembahyang King Thi-Kong atau Jìng Tiān Gōng (敬天公). Perayaan ini digelar dalam suasana perayaan Tahun Baru Imlek yang secara tradisional berlangsung selama 15 hari. Sembahyang King Thi-Kong diadakan pada hari kesembilan bulan ke satu, disebut pula sebagai Tahun Barunya orang Hokkian. Konon dikisahkan bahwa sembahyang ini mulai popular sejak pertengahan abad ke-17, yakni pada awal berdirinya Dinasti Qīng (1636-1912 M), ketika sisa-sisa bala tentara Hokkian yang masih setia kepada Dinasti Míng bertahan habis-habisan melawan gempuran pasukan Dinasti Qīng. Persembahyangan King Thi-Kong ini dikenal pula dengan sebutan 'Sembahyang Tebu', dan sekarang bukan hanya dilakukan oleh orang Hokkian saja, tapi sudah menyebar ke suku-suku Tionghoa lainnya. Untuk melakukan upacara ini diperlukan sebuah meja-sembahyang yang ditinggikan, yang diletakkan di depan rumah. Sepasang rumpun tebu diikatkan di sisi kiri dan kanan meja, disertai persembahan sepasang lilin merah ukuran besar. Seperti yang dilakukan pada sesajian sembahyang leluhur, disediakan pula aneka kue, sayuran, dan kertas-uang. Seluruh anggota keluarga wajib bersembahyang dengan takzim, dengan cara berlutut tiga kali dan menyentuhkan kepala ke tanah sebanyak sembilan kali di hadapan altar. Upacara ini diselenggarakan menjelang tengah-malam tanggal 8 hingga memasuki dinihari tanggal 9 bulan pertama.

 

Demikian sekilas pemujaan masyarakat Tionghoa terhadap sosok yang dinamakan Tuhan atau Tiān, yang berbeda sekali dengan yang dilakukan oleh umat agama lain. Selain itu Kaisar Kemala yang berkuasa di Istana Langit memiliki mesin birokrasi sendiri, yang tidak dikenal dalam kepercayaan mana pun. Kita akan membahas Kekaisaran Langit ini dalam tulisan yang berikutnya.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/221130



Rabu, 16 November 2022

ĀNANDA


 

Anda sekalian yang sering membaca naskah-naskah Buddhis tentu sering menemukan nama Ānanda. Ya, Ānanda dalam aksara Devanagari Pāli maupun Sanskerta ditulis: आनन्द, yang bermakna kebahagiaan, kegembiraan, atau kesukacitaan; sedangkan dalam aksara Mandarin Ānanda dikenal dengan nama Ā Nán (阿難). Konon, ketika Ānanda lahir, para sanak keluarganya merasakan kegembiraan yang luar biasa. Merujuk pada tarikh aliran Buddha Selatan, Ānanda hidup antara tahun 623 - 503 seb.M. Ānanda pun memiliki julukan lain, yakni 'Videhamuni' yang berarti Sang Bijak dari klen Videha, dan juga 'Dhamma-bhaṇḍāgārika' yang bermakna Sang Bendahara Dhamma.

 

Menurut teks-teks Pali, takdir Ānanda bahkan telah ditentukan sebelum kelahirannya. Ānanda lahir ke dunia ini dengan cara yang sama, seperti yang terjadi pada diri Sang Bodisattva Pangeran Siddhartha. Dia bertumimbal-lahir dari Surga Tusita, dan ajaibnya dia juga dilahirkan pada hari yang sama dengan Sang Manusia Agung tersebut. Mereka berdua terlahir dalam kasta yang sama, yakni kasta para petarung dalam lingkungan keluarga kerajaan Sakya. Ayahnya, Amitodana, adalah adik laki-laki dari ayah Pangeran Siddhartha, Suddhodana. Ibunya bernama Mrgī. Dengan demikian hubungan antara keduanya adalah saudara sepupu, dan mereka tumbuh bersama di kotaraja Sakya, Kapilavatthu. Amitodana juga ayah dari Anuruddha, yang kelak dia pun menjadi salah satu siswa agung Sang Buddha. Antara Ānanda dan Anuruddha adalah saudara seayah, tetapi mungkin ibu mereka berbeda.

 

Ketika dia berusia tiga puluh tujuh tahun, Ānanda bersama dengan enam orang kerabatnya, di antaranya Anuruddha, Devadatta, dan empat orang pangeran Sakya lainnya serta tukang cukur mereka yang bernama Upāli, melakukan desersi dari tugas-tugas mereka sebagai bangsawan Sakya yang masih aktif. Saat itu mereka melarikan diri dengan melintasi perbatasan negeri dengan tujuan menjadi petapa. Sang Buddha kemudian menahbiskan mereka bertujuh, dan sejak saat itu mereka semua menjadi bhikkhu. Ānanda kemudian dibimbing olah Yang Mulia Belaṭṭhasīsa, seorang Arahant, yang mulai memperkenalkan dan mengarahkannya pada kehidupan kebhikkhuan. Ānanda membuktikan dirinya sebagai seorang siswa yang rajin dan tekun. Selanjutnya di bawah bimbingan Yang Mulia Puṇṇa Mantāniputta, salah satu eksponen Dhamma yang luar biasa, Ānanda mencapai buah pemasuk-arus atau meraih tingkat kesucian pertama. Ānanda selalu puas dengan kehidupannya sebagai seorang bhikkhu. Dia merasakan berkah atas pelepasan keduniawiannya, dan secara bertahap memasuki jalan menuju pembebasan.

 

Ketika Sang Buddha mencapai usia lima-puluh-lima tahun, Beliau mengadakan pertemuan dengan para bhikkhu dan berkata: "Dalam dua-puluh tahun pertama saya memegang kendali pimpinan Sangha. Saya telah memilih dan menunjuk sejumlah bhikkhu-pengiring, yang memiliki karakter yang berbeda-beda. Namun tidak ada satu pun dari mereka yang benar-benar bisa memenuhi amanat jabatan itu dengan sempurna. Bahkan banyak dari mereka yang mengecewakan. Sekarang saya telah mencapai usia lima-puluh-lima tahun, dan saya perlu memiliki sosok pelayan yang dapat dipercaya dan bisa diandalkan." Seketika semua siswa mulia Sang Guru mengangkat tangan, menawarkan jasa mereka, tetapi Sang Buddha tidak berkenan terhadap mereka semua. Kemudian para bhikkhu berpaling kepada Ānanda, yang dengan rendah hati tPuetap bergeming dengan sikap berdiam-diri.

 

Karena perilakunya yang sempurna sebagai seorang bhikkhu, Ānanda tampaknya memang ditakdirkan untuk mengemban jabatan tersebut. Ketika ditanya mengapa dia satu-satunya orang yang tidak menawarkan jasanya, dia menjawab bahwa Sang Buddha adalah orang yang paling tahu, siapa yang cocok untuk menjadi pelayannya. Dia sangat percaya kepada Yang Terberkahi, sehingga tidak terpikir olehnya untuk mengungkapkan keinginannya sendiri, walaupun dia sesungguhnya ingin menjadi pelayan atau pengiring Sang Guru. Kemudian Sang Buddha menanggapinya, bahwa jika Ānanda bersedia, dia adalah orang terbaik untuk memegang jabatan tersebut. Ānanda sama sekali tidak menunjukkan rasa bangganya, ketika Sang Guru lebih memilih dia dibandingkan siswa-siswa utama lainnya.

 

Ānanda malahan meminta jika Sang Buddha menginginkan dirinya menjadi bhikkhu pengiring atau pembantu, dia meminta ada delapan syarat yang harus dipenuhi. Jika Buddha menyetujuinya, baru dia bersedia menerimanya. Apakah delapan persyaratan itu?

 

Empat yang pertama bersifat negatif: Pertama, jika Guru menerima hadiah jubah, barang itu tidak boleh diberikan kepadanya. Kedua, Sang Guru tidak boleh berbagi makanan-sedekah dengan dia, jika pada hari itu dia telah mendapatkannya dari perumah-tangga lainnya. Ketiga, setelah Guru menerima tempat naungan, dia tidak boleh memberikan tempat tinggal itu kepadanya. Keempat, dia tidak boleh diikusertakan pada undangan pribadi yang mana pun (seperti pada kesempatan untuk mengajarkan Dhamma, ketika makanan akan dipersembahkan). Ānanda menjelaskan alasannya, bahwa jika dia tidak mengajukan empat syarat tersebut; maka orang akan mengatakan bahwa dia mau menerima jabatan pengiring atau pelayan, karena ingin mendapatkan keuntungan materi saat dia hidup begitu dekat dengan Gurunya.

 

Empat yang berikutnya bersifat positif: Pertama, jika Ānanda diundang menghadiri jamuan makan, dia meminta hak untuk mentransfer undangan ini kepada Sang Buddha. Kedua, jika orang-orang datang dari daerah terpencil, dia meminta hak istimewa untuk memimpin mereka menghadap Sang Buddha. Ketiga, jika dia memiliki keraguan atau pertanyaan tentang Dhamma, dia meminta hak untuk menanyakannya kapan saja kepada Gurunya. Keempat, jika Sang Buddha memberikan wejangan saat Ānanda tidak menghadirinya, maka dia memiliki hak istimewa untuk meminta mengulangi apa yang pernah disampaikannya itu. Dengan adanya empat permintaan positif ini, dapat dikatakan bahwa dia memenuhi tugas sesuai dengan jabatan yang diembannya, tanpa mempedulikan kemajuannya sendiri dalam pelatihan Dhamma. Alih-alih berkeberatan dengan delapan persyaratan yang diminta oleh Ānanda, Sang Buddha mengabulkan permintaan yang sangat masuk akal ini, yang ternyata senafas dengan anjuran Dhamma itu sendiri.

 

Setelah mendapatkan persetujuan dari Gurunya, sejak itu pula Ānanda resmi menjadi bhikkhu pengiring atau bhikkhu pembantu Sang Buddha. Hingga akhir hayat Yang Tercerahkan, menurut teks-teks kuno yang kita ketahui, pengabdian Ānanda kepada Gurunya itu tanpa jeda, tak-terputus, dan tak pernah tergantikan oleh orang lain! Sebagai ilustrasi, berikut ini adalah tugas-tugas rutin Ānanda sehari-hari: Ānanda membawakan air untuk mencuci muka Gurunya, serta menyiapkan kayu-gigi untuk membersihkan giginya. Ānanda mengatur tempat duduknya, membasuh kakinya, memijat punggungnya, mengipasi tubuhnya, menyapu tenda-tidurnya, dan memperbaiki jubahnya. Sepanjang malam dia tidur di dekatnya, agar bisa bersiap jika Gurunya membutuhkan sesuatu. Dia juga orangnya yang menemani Sang Guru berkeliling vihara, dan setelah acara pertemuan dia akan memeriksa untuk melihat apakah ada bhikkhu atau umat awam yang meninggalkan barang milik mereka. Dia membawa pesan Sang Buddha kepada orang luar, dan dia juga yang memanggil para bhikkhu untuk berkumpul bersama, bahkan tugas itu kadang-kadang dilakukan pada tengah malam sekali pun. Ketika Sang Buddha sakit, dia mencarikan obat dan sekaligus memberikan perawatan yang terbaik. Dengan cara ini Ānanda melakukan banyak tugas hari-hari demi menjaga kesehatan fisik saudara sepupunya; layaknya seorang ibu yang merawat puteranya, atau seorang isteri yang melayani suaminya dengan penuh rasa bakti.

 

Salah satu kebajikan Ānanda yang membuat dirinya tenar adalah jabatannya sebagai upaṭṭhāka Buddha, pelayan pribadinya. Sang Buddha berkata tentang dia, bahwa Ānanda adalah yang terbaik dari semua pelayan, yang paling terkemuka dari semua bhikkhu yang pernah mengisi jabatan ini (Anguttara Nikāya 1, Bab 14). Istilah 'pelayan' di Indonesia mungkin dianggap sebelah mata, bawahan, subordinat, yang dipandang rendah di masyarakat kita. Orang Indonesia lebih suka menyebut orang yang membantu seorang tokoh dengan sebutan 'ajudan' atau 'sekretaris', tetapi istilah ini menunjukkan formalitas hubungan dan menghilangkan aspek keintiman sebuah relasi. Yang Mulia Ānanda sekaligus adalah seorang pembantu, pelayan, pengiring, ajudan, dan sekretaris Sang Buddha. Dalam lingkup Sangha dengan Sang Buddha sebagai pemimpinnya, tak berlebihan jika Ānanda dianggap sebagai sekretaris atau ajudan sang pimpinan puncak. Dia ikut mengatur jadwal sang pemimpin, kapan Buddha bisa bertemu dengan para pengikutnya, mendokumentasikan hasil pembicaraan dan pertemuan, yang akan kita lihat dalam peran Ānanda yang selanjutnya.

 

Pada satu bait syair dalam Theragāthā (1041–43), Ānanda meringkas cara dia melayani Sang Buddha selama kurun waktu sepertiga terakhir hidupnya:

 

Selama dua puluh lima tahun,

Aku melayani Yang Terberkahi;

Yang aku perlakukan dengan penuh cinta kasih,

Diriku bagaikan bayangannya, yang tidak pernah meninggalkan tubuhnya.

 

Jika kita melihat dalam literatur dunia perihal contoh orang yang dipercaya untuk menemani seorang pria hebat terus-menerus tanpa jeda, mungkin tidak akan kita temukan orang yang pengabdiannya sedemikian tulus, yang pernah dilakukan oleh Ānanda. Bukan itu saja. Satu ketika Devadatta melepaskan seekor gajah liar untuk membunuh Sang Buddha di satu ruas jalan di Rājagaha. Ānanda yang sedang mengiringi tuannya, tanpa berpikir panjang lagi segera berlari melewati Gurunya, siap untuk mati daripada membiarkan Sang Bhagavā terbunuh atau terluka. Tiga kali Sang Buddha memintanya untuk mundur, tetapi dia tidak menurutinya. Hanya ketika Sang Guru dengan kekuatan adibiasa-nya menaklukkan gajah liar itu, barulah dia dapat dibujuk untuk tidak mengorbankan nyawanya sendiri.

 

Di antara para siswa utama yang dinyatakan unggul oleh Sang Buddha, Yang Mulia Ānanda memiliki keistimewaan unik, yakni kemampuan untuk mengingat sesuatu yang baru terjadi. Ānanda memiliki kemampuan ini sampai tingkat yang fenomenal. Dia bisa langsung mengingat semuanya secara lengkap, walaupun dia hanya mendengarnya sekali saja. Dia dapat mengulang khotbah Sang Buddha dengan sempurna hingga enam-puluh-ribu kata, tanpa melupakan satu suku kata pun. Dia juga mampu melafalkan hingga lima-belas-ribu -stansa, dengan masing-masing stansa terdiri dari empat baris-bait syair. Tradisi Buddhis menentukan jumlah unit bacaan, yakni dhammakkhandha atau 'kelompok Dhamma' dalam seluruh ajaran sebanyak delapan puluh empat ribu subyek. Dalam salah satu syairnya, Ānanda mengklaim telah menerima semuanya:

 

"Aku telah menerima dari Sang Buddha sebanyak 82.000,

Dan dari para bhikkhu lainnya ada 2.000 lebih;

Jadi ada 84.000 subyek,

Ajaran yang digerakkan."

 

Karena watak baik yang alami dan welas asihnya yang begitu besar, ada satu jasa besar Ānanda yang tidak bisa kita lupakan. Tanpa Ānanda persekutuan-rahib Buddhis mungkin hanya diisi oleh kaum pria saja. Demikianlah kisahnya. Ketika banyak bangsawan suku Sakya telah meninggalkan kehidupan berumah tangga menuju kehidupan tanpa-rumah, beberapa wanita Sakya di bawah bimbingan Mahāpajāpati Gotamī, yakni ibu tiri Sang Bodhisattva, mendekati Sang Buddha dan memintanya agar mereka diizinkan untuk memasuki kehidupan tanpa-rumah. Tiga kali Mahāpajāpati mengajukan permintaannya, namun tiga kali pula Sang Buddha menolaknya. Ānanda yang belakangan mendengar keluhan itu memutuskan untuk menengahinya. Dia menghadap Sang Guru dan mengulangi permintaannya sampai tiga kali, tetapi tiga kali pula Sang Buddha menolaknya mentah-mentah: "Jangan berharap, Ānanda, agar wanita diizinkan untuk menjalankan kehidupan tanpa-rumah dalam Dhamma dan Aturan yang dibabarkan oleh Sang Tathāgata."

 

Kemudian Ānanda memutuskan untuk mencari cara lain. Dia lalu bertanya kepada Sang Guru: "Yang Mulia, apakah wanita mampu setelah menerima penahbisan, meraih buah seorang pemasuk-arus, atau buah yang kembali-sekali-lagi, atau buah yang-tidak-pernah-kembali, atau buah Arahant; jika dia meninggalkan kehidupan-berumah dan memasuki kehidupan tanpa-rumah dalam Dhamma dan Aturan yang dibentuk oleh Sang Tathāgata?" "Mereka bisa meraihnya, Ānanda."

 

"Jika demikian, Yang Mulia. Karena Mahāpajāpati Gotamī telah sangat berjasa kepada Yang Terberkahi, sewaktu adik-perempuan-ibunya yang memelihara dan merawatnya, juga sekaligus ibu tirinya, juga sekaligus ibu-susunya – dia yang merawat Yang Terberkahi ketika ibu kandungnya wafat – karena itulah, Yang Mulia, akan baik jika wanita dapat memperoleh penahbisan untuk pergi dari kehidupan-berumah menuju kehidupan tanpa-rumah, dalam Dhamma dan Aturan Sang Tathāgata." Menanggapi argumen-argumen tersebut, Sang Buddha akhirnya menyetujui pendirian sebuah ordo bhikkhunī, asalkan ada aturan tambahan yang diberlakukan untuk Sangha Bhikkhunī.

 

Pangabdian panjang Ānanda mencapai penghujungnya, saat hidup Sang Guru mendekati detik-detik terakhir. Dikuasai oleh kesedihan, Ānanda menyingkir, dan sambil menggenggam sebuah kusen pintu, dia menangis tersedu-sedu. Ānanda sadar bahwa dia masih harus berjuang untuk mencapai tingkatan Arahanta, namun Sang Guru tercinta akan segera meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya. Inilah adegan yang sangat menyayat hati bagi orang awam yang melihatnya. "Aku ini masih seorang pelajar dengan begitu banyak tugas yang belum kurampungkan. Dan Guruku sebentar lagi akan mencapai Nibbāna-akhir. Oh, Guruku yang begitu berwelas-asih kepadaku!"

 

Ketika Sang Buddha tidak melihat Ānanda dan bertanya di mana siswanya berada, Beliau memanggilnya lalu berkata kepadanya: "Jangan bersedih, Ānanda. Bukankah sudah berkali-kali kukatakan kepadamu bahwa segala sesuatu yang berubah pada satu waktu akan lenyap? Bagaimana mungkin sesuatu yang selalu-menjadi tidak akan musnah? Untuk waktu yang lama, Ānanda, engkau telah memperhatikan Sang Tathāgata, dengan perbuatan yang didasari cinta-kasih, penuh-pertolongan, dengan sukacita, dengan tulus, tanpa pamrih, dan tak kenal kompromi. Ānanda, engkau telah melakukan jasa besar. Teruslah berjuang dan engkau segera akan bebas dari noda-noda." Ia kemudian menceritakan sebuah kejadian di masa lalu, di kehidupan lampau, di mana Ānanda telah melayaninya, dan pengabdiannya itu membuahkan banyak jasa duniawi.

 

Perjuangan Ānanda untuk mencapai tingkat kesucian tertinggi akhirnya tercapai pada satu malam, sebelum Pasamuan Agung yang pertama dimulai. Perhelatan Agung tersebut diadakan di Rājagaha, tiga bulan setelah Sang Buddha mangkat. Setelah Pasamuan Agung itu usai, Yang Mulia Mahā Kassapa sebagai pimpinan Pasamuan tersebut, dianggap sebagai penerus Sang Buddha (atau disebut sebagai Sang Patriark pertama). Tidak lama setelah Mahā Kassapa wafat, Ānanda menjadi sesepuh terkemuka pertama, orang suci pertama yang paling dihormati, yang ditunjuk untuk menjaga Sangha.

 

Ānanda ternyata berumur panjang. Setelah Sang Buddha wafat, Ānanda masih hidup hingga empat puluh tahun lagi. Praktis Ānanda memimpin Sangha sampai empat puluh tahun setelah kemangkatan Gurunya. Ketika Ānanda berusia 120 tahun, ia merasa bahwa ajalnya sudah dekat. Ia pun melakukan ziarah, mulai dari Rājagaha menuju Vesālī, seperti yang pernah dilakukan oleh Gurunya dulu. Ketika Raja Magadha dan para pangeran Vesālī mendengar bahwa Yang Mulia Ānanda akan segera mencapai Nibbāna-akhir, mereka bergegas menemuinya dari kedua arah untuk mengucapkan selamat jalan. Untuk memberikan keadilan bagi kedua belah pihak, Ānanda menerbangkan tubuhnya ke angkasa melalui kekuatan adibiasa-nya, serta membiarkan tubuhnya dilahap oleh unsur api. Relik Ānanda pun berjatuhan ke tanah, dan mereka membagi dua relik tersebut. Kemudian stupa-stupa didirikan, dan orang banyak memuliakan sisa-sisa jasmani Yang Mulia Ānanda.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/221116

 

Rabu, 02 November 2022

KONG KAUW HWEE

 


Seperti yang disebutkan pada tulisan kami yang terdahulu, memasuki abad ke-19 kristenisasi mulai digalakkan oleh Pemerintah Kolonial, sejalan dengan misi penjajahan itu sendiri. Program ini pun mulai menyasar komunitas Tionghoa terutama pada masyarakat perkotaan; padahal orang Tionghoa telah memiliki kepercayaan dan agama yang dibawa oleh leluhur mereka. Para misionaris Kristen dan Katolik dengan segala cara berupaya menyebarkan agama yang mereka bawa dari Eropa, dan aparat pemerintahan pun mendukung upaya para zending, dengan menjalankan politik diskriminatif.

 

Seperti yang dijelaskan dalam tulisan kami sebelumnya, sejak VOC dan Kerajaan Belanda menguasai Nusantara mereka telah menciptakan tatanan sosial berdasarkan pada struktur rasial dan sosial yang kaku; dengan para elit Belanda berada di puncak hierarki dan di bawahnya ada golongan Timur Asing dan Bumiputera. Belakangan menurut Algemene Bepalingen van Wetgeving yang diperbaharui pada tahun 1848, terutama berkaitan dengan pasal 6-10, ditegaskan bahwa rakyat Hindia Belanda dibagi menjadi dua golongan yaitu Eropa dan Bumiputera. Mereka yang tidak mau berpindah agama dan memeluk agama Kristen, dimasukkan ke dalam golongan Bumiputera yang beragama Islam. Sebaliknya orang yang berasal dari Timur Asing atau Bumiputera yang telah memeluk agama Kristen, disetarakan kedudukannya sama dengan golongan Eropa. Jadi agama dijadikan ukuran untuk menentukan golongan seseorang. Walaupun di tahun 1854 Pemerintah Kolonial mengeluarkan Regerings Reglement, yang mana dalam pasal 109 agama tidak lagi menjadi ukuran, kebijakan diskriminatif itu masih membekas hingga zaman kita ini. Masih tersisa anggapan semu pada sementara orang Tionghoa, bahwa setelah mereka berpindah keyakinan menjadi penganut agama Kristen, status sosial mereka pun menjadi terangkat.

 

Justru dengan adanya kebijakan yang diskriminatif itu muncul perlawanan dari beberapa tokoh Tionghoa, untuk menggali kembali agama dan ajaran leluhur mereka. Selama ini mereka hanya mengikuti tradisi dengan melakukan persembahyangan di meja abu keluarga atau melakukan puja bakti di bio mengikuti penanggalan lunar. Jadi mereka hanya mengikuti ritual keagamaan secara turun-temurun, tanpa mengetahui makna dibalik upacara-upacara tersebut. Jika membandingkan dengan ibadah yang diajarkan oleh para misionaris kristiani, ritual saat mereka bersembahyang amatlah berbeda. Jadi ada desakan untuk mempelajari ajaran agama orang Tionghoa untuk memahami makna di balik ritual-ritual yang biasa mereka lakukan; serta menurut pengertian mereka semua ajaran leluhur itu berasal dari doktrin yang diajarkan oleh Konghucu (atau Kǒng Zǐ).

 

Kristenisasi pada abad ke-19 bukan hanya terjadi di Hindia Belanda, tetapi juga melanda Tiongkok. Saat itu Tiongkok di bawah Dinasti Qīng kedatangan bangsa-bangsa Barat, yang sedang melakukan ekspansi guna memperluas wilayah jajahan mereka. Dua tokoh yang mempelopori kebangkitan ajaran Khonghucu adalah Zéng Guó Fān dan Kāng Yǒu Wéi. Tentu saja tidak mungkin menceritakan peran mereka secara lengkap dalam tulisan kita kali ini. Zéng Guó Fān (曾国藩, 26-Nov-1811 - 12-Mar-1872) menjadi terkenal karena dia membesarkan dan mengorganisir Tentara Xiang untuk membantu militer Qīng dalam menekan Pemberontakan Taiping dan memulihkan stabilitas kekaisaran. Bersama dengan tokoh-tokoh terkemuka lainnya pada masanya, Zéng memprakarsai Restorasi Tongzhi, sebuah upaya untuk menahan kemunduran Dinasti Qing. Zéng memiliki keterampilan administratif serta mempunyai kepribadian mulia dalam mempraktikkan Konfusianisme. Kāng Yǒu Wéi (康有為, 19-Mar-1858 - 31-Mar-1927) adalah seorang pemikir dan pembaharu politik terkemuka di Tiongkok pada akhir dinasti Qīng. Kedekatan dan pengaruhnya yang besar terhadap Kaisar Guangxu, menjadikannya seorang tokoh reformasi dalam kebangkitan Tiongkok yang modern, pencetus identitas Ketionghoaan, dan pelopor kebangkitan Konfusianisme. Selain terkenal di Tiongkok, Kāng juga populer di kalangan diaspora Tionghoa di mancanegara.

 

Jika dirunut menurut sejarah perkembangan agama Konghucu di Tanah Air, kita tidak boleh melupakan peran Kelenteng Boen Bio (terletak di Jalan Kapasan No. 131), yang merupakan "benteng terakhir pertahanan" agama Konghucu di Surabaya. Awalnya kelenteng ini bernama Boen Thjiang Soe (atau Wén Chāng Cí, 文昌祠), yang dibangun pada tahun 1883. Orang Belanda menyebutnya "Gredja Boen Bio" atau Gredja Khonghoetjoe (de kerk van Confucius). Kuil yang megah untuk ukuran zaman itu sangat disayangkan jika berlokasi di dalam kampung. Kemudian pada 1903, setelah Kāng Yǒu Wéi berkunjung ke Surabaya, dia mengusulkan untuk memindahkannya ke tepi jalan besar. Setelah mendapat sumbangan tanah seluas sekitar 500 meter persegi dari Mayor The Toan Ing, pengurus lalu memulai pembangunan dan relokasi. Biayanya ditutup dari sumbangan uang hasil denda, yang diperoleh para saudagar Tionghoa setelah memenangkan perkara HVA (Handels Vereeniging Amsterdam) di pengadilan. Pemugaran kembali akhirnya selesai tahun 1906.

 

Orang-orang Tionghoa yang terpanggil untuk membenahi agama dan kepercayaannya, terutama berasal dari kalangan cendekiawan, mulai mencari buku-buku yang berasal dari Nabi Kǒng Zǐ. Tersebutlah seorang perintis Sastra Melayu Tionghoa merangkap penulis yang bernama Lie Kim Hok atau Lǐ Jīn Fú (李金福, 1-Nov-1853 - 6-Mei-1912), pada  tahun 1897 memulai penerbitan sebuah buku mengenai kehidupan Nabi Kǒng Zǐ. Buku tersebut berbahasa Melayu, ditulis dengan memanfaatkan sumber-sumber dari kepustakaan Eropa, bukan dari bahasa Mandarin! Lie adalah seorang peranakan yang sempat mengenyam pendidikan di sekolah zending, yang misi utamanya adalah mengkristenkan rakyat Hindia Belanda. Pada masa itu amat jarang seorang Tionghoa bisa masuk ke sekolah belanda. Lie Kim Hok termasuk siswa yang cerdas, dan dia memiliki hubungan yang akrab dengan para gurunya, seperti C. Albers dan D.J. van der Linden. Lie Kim Hok bahkan pernah bekerja pada percetakan zending yang khusus menerbitkan buku-buku Kristen. Tapi Lie Kim Hok tidak pernah menjadi Kristen, bahkan kelak tercatat sebagai pembela agama Khonghucu yang pertama dari serangan pendeta Kristen. Buku yang dikarang Lie adalah Hikajat Khonghoetjoe, G. Kolff & Co, Batavia, 1897 (92 halaman dalam 1 jilid).

 

Pada awal tahun 1900, Sukabumische Snelpers Drukkerij di Sukabumi telah menerbitkan terjemahan bahasa Melayu dari kitab Thay Hak (Dà Xué, 大學) atau "Ajaran Besar" dan Tiong Yong (Zhōng Yōng, 中庸) atau "Tengah Sempurna", yang di kerjakan oleh Tan Ging Tiong dengan dibantu oleh Yoe Tjai Siang. Dalam kata pengantar tertanggal 24 Februari 1900 yang terdapat dalam kedua kitab terjemahan itu, Tan Ging Tiong menulis sebagai berikut : "Pada tanggal 24 Desember 1899 kami telah menemui Tuan Liem Boen Keng di Singapura. Dalam pertemuan itu, tuan Liem Boen Keng yang telah mendirikan Kong Kauw Hwee (Perhimpunan Agama Konghucu) di Singapura dan Malaka, mengatakan bahwa hingga kini belum ada seorang pun yang sanggup menerjemahkan kitab Thay Hak dan Tiong Yong ke dalam bahasa Melayu dengan sempurna. Karena itu Tuan Liem mengharap jika terjemahan kami sudah selesai dicetak, dia berharap agar dia dikirimkan satu eksemplar untuk dapat diperiksa oleh perkumpulan Kong Kauw Hwee yang didirikannya."

 

Di Ambon, Njio Tjoen Ean (15-Jul-1860 - 15-Agu-1925) mengikuti jejak ayahnya Njio Tjang Tjoan sebagai Kapiten Tionghoa (1856-1891). Meskipun berpendidikan Belanda, Tjoen Ean sangat berminat terhadap kebudayaan dan filsafat Tionghoa. Dari sini, dia mulai menerjemahkan buku-buku Tionghoa ke Bahasa Melayu. Buku-buku klasik Tionghoa yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu, dilakukan hampir bersamaan waktu dengan kegiatan serupa di Batavia oleh Lie Kim Hok. Apa yang dilakukannya di Ambon, ternyata tiga tahun lebih dulu ketimbang yang dirintis oleh Tan Ging Tiong dan Joe Tjai Siang di Jawa.  Atas dasar itulah, dia disebut sebagai penerjemah pertama karya-karya klasik Khonghucu ke dalam Bahasa Melayu. Pada tahun 1897 Njio menerbitkan Soe Sie (Sì Shū, 四書) atau "Empat Kitab". Setelah terbitnya Thay Hak, Tiong Yong, dan Soe Sie, maka sebagian Kanon Konfusius dalam bahasa Melayu telah terbentuk.

 

Dalam artikel yang lalu, penulis menyebutkan bahwa komunitas Tionghoa Peranakan berasal dari perantau lelaki muda Tionghoa yang berasal dari Tiongkok Daratan, yang kemudian mengawini perempuan bumiputera dan kemudian keturunan mereka dinamakan 'peranakan'. Seperti yang mungkin para pembaca ketahui, sebelum abad ke-19 kita mengenal istilah 'perbudakan'. Perbudakan yang paling terkenal di zaman modern terjadi ketika orang kulit putih mendatangkan pekerja-pekerja kulit hitam dari Benua Afrika, untuk mengeksplorasi Dunia Baru atau Benua Amerika. Perbudakan bukan saja terjadi di Dunia Baru, tetapi juga pernah terjadi di Batavia. Batavia yang merupakan pintu utama bangsa Tionghoa masuk ke Jawa, di zaman itu pernah menjadi pusat perbudakan. Budak-budak didatangkan dari pelbagai penjuru Nusantara terutama dari Bali dan Sulawesi. Budak-budak dari suku bangsa Bali, Bugis, Ambon, Timor, baik laki-laki maupun perempuan, biasa dilelang di 'Pasar Budak', layaknya pedagang biasa melelang kuda. Banyak di antara budak-budak perempuan itu dibeli oleh saudagar Tionghoa dan sebagian dari mereka dijadikan gundik atau isteri muda.

 

Saudagar Tionghoa ini jelas memiliki status yang lebih tinggi daripada gundiknya. Para saudagar ini hidup berkecukupan, namun pada paruh kedua abad ke-19 pendidikan bukanlah hal yang menjadi perhatian mereka. Kepala keluarga peranakan ini jika mereka sadar akan pentingnya pendidikan, maka anak laki-lakinya akan diberikan pelajaran bahasa Mandarin, dengan jalan memanggil seorang guru-les guna memberikan pelajaran privat. Nasib anak perempuan mereka malah tidak diperhatikan sama sekali, karena mereka berpikir para gadis ini kelak akan dijadikan isteri orang dan hanya akan berkutat di urusan rumah tangga saja. Lalu soal kebiasaan yang diturunkan kepada pasangan peranakan itu pun, tidak sepenuhnya anak-anak diajarkan adat istiadat dan kesopanan ala Tionghoa Totok. Di bawah asuhan ibunya yang berasal dari komunitas bumiputera, mereka pun mendidik anak-anaknya dengan cara-cara dan sopan santun layaknya orang bumiputera. Jadi anak-anak peranakan bahkan sampai ke cucu dan cicit mereka mengadopsi budaya campuran Tionghoa-Bumiputera.

 

Dari sudut pandang orang Tionghoa Totok mereka melihat satu budaya gado-gado. Kwee Tek Hoay dalam tulisannya, Hikajat THHK, dalam Moestika Romans 1933, menulis dalam upacara kematian pun tidak sedikit adat kebiasaan bumiputera yang masuk dalam tradisi kebiasaan para Tionghoa Peranakan itu. Contohnya diletakkannya bunga kamboja di atas peti mati, pula saat peti mati sudah ada di dalam lubang lalu diadakan acara membelah sebutir buah kelapa, serta diteruskan dengan memutuskan sepotong rotan di pinggir lubang makam. Selanjutnya selain melakukan upacara sembahyang yang biasa dilakukan berdasarkan peredaran musim menurut Kalender Tionghoa, peranakan Tionghoa di Jawa juga melakukan sembahyang sedekah pada hari Maulud Nabi Muhammad dan hari-hari lainnya, yang menjadi kebiasaan umat beragama Islam. Bahkan seringkali upacara sembahyang ini justru merupakan itikad dan niat dari nyonya rumah yang merupakan seorang perempuan peranakan, yang sejak kecil melakukan hal itu berdasarkan ajaran ibu atau neneknya yang merupakan perempuan bumiputera.

 

Yoe Tjai Siang bersama Tan Ging Tiong, yang membantu penyusunan buku Thay Hak dan Tiong Yong, dalam kata pengantar yang tertanggal 15 Januari 1900, menganjurkan agar tokoh Tionghoa Peranakan di Jawa juga mendirikan satu perkumpulan yang bertujuan mempelajari agama Khonghucu. Anjuran ini dapat dilihat dalam catatannya sebagai berikut : " … Maka untuk dapat memperdalam agama Khonghucu sebaiknya didirikan sebuah organisasi lengkap dengan para pengurusnya. Semua orang yang ingin bergabung dalam organisasi ini harus dipandang sebagai orang yang sungguh-sungguh mempunyai keinginan untuk belajar." Para tokoh Tionghoa yang cukup terpelajar mulai menyadari bahwa kekacauan budaya yang terjadi selama ini adalah karena lemahnya agama yang dianut oleh komunitas Tionghoa Peranakan itu sendiri. Mereka merasa perlu adanya satu agama atau satu pelajaran moral yang kokoh – seperti yang ada dalam agama Islam atau Kristen - agar dapat digunakan sebagai pedoman hidup dan pelatihan batin sekaligus.

 

Selanjutnya dalam waktu yang tidak terlalu lama, gerakan reformasi yang dilakukan oleh Kāng Yǒu Wéi di Tiongkok, mulai terdengar sampai ke Hindia Belanda. Beberapa orang Tionghoa Peranakan yang cukup terpelajar dan berwawasan luas mulai memikirkan untuk melakukan reformasi di kalangan komunitas Tionghoa itu sendiri. Bahkan ada beberapa di antara mereka yang berpikiran radikal, yang bercita-cita ingin memurnikan adat istiadat Tionghoa dari anasir-anasir yang keliru. Pemurnian adat dan agama ini berpedoman pada ajaran Nabi Besar Kǒng Zǐ. Akhirnya satu kelompok intelektual dan tokoh Tionghoa Peranakan di Batavia yang beranggotakan Phoa Keng Hek, Lie Hin Liam, Lie Kim Hok, Khoe A Fan, Khouw Kim An, Khoe Siauw Eng, Khouw Lam Tjiang dan lain-lain sebanyak 20 orang, sepakat membentuk satu perkumpulan sosial yang dinamakan 'Tiong Hoa Hwee Kwan', disingkat 'THHK', atau 'Roemah Perkumpulan Tionghoa'. Organisasi ini didirikan tanggal 17 Maret 1900, dan diakui sah melalui surat penetapan Gubernur Jendral tertanggal 3 Juni 1900.

 

Phoa Keng Hek atau Pān Jǐng Hè (潘景赫, 21-Sep-1857 - 19-Jul-1937) adalah pebisnis dan ditunjuk sebagai presiden pertama THHK. Phoa memiliki tingkat intelektual yang tinggi dan bisa bergaul secara luas di kalangan orang Eropa. Beliau juga punya kapasitas untuk mendapatkan segala informasi yang dibutuhkan dalam membentuk satu organisasi modern, guna melakukan reformasi. Belakangan Phoa turut andil dalam melakukan debat intelektual dengan Pendeta L. Tiemersma guna membela kelurusan doktrin Rú Jiào terhadap serangan ajaran Kristen. Dia menjabat presiden sejak THHK didirikan hingga tahun 1923. Phoa tercatat pula sebagai penerima Ridder van Oranye Nassau Orde.

 

Setelah THHK didirikan, para pengurusnya berupaya menampung Tionghoa Peranakan dari berbagai suku untuk ikut ambil bagian. Mereka menekankan bahwa tujuan pendirian THHK ini sangat berbeda jauh dengan segala macam kongsi rahasia, yang menampung tukang berkelahi yang sudah ada di Batavia pada masa itu. Tetapi niat baik itu tidak diindahkan, hingga kedatangan Kāng Yǒu Wéi pada tahun 1903. Ketika datang di Batavia, tokoh karismatik dari Tiongkok ini mampu mengundang begitu banyak orang sehingga gedung THHK dan lapangannya tidak mampu menampung pengunjung yang membludak. Orang banyak berdesak-desakan untuk melihat sendiri tokoh yang dikagumi ini. Ajaib! Setelah pertemuan akbar itu usai, hasilnya sungguh di luar dugaan. Sejak itu di antara pelbagai perkumpulan Tionghoa di Batavia tidak pernah terdengar saling bermusuhan, apalagi sampai berkelahi (Kwee Tek Hoay, Hikajat THHK, Moestika Romans, 1933).

 

Setelah berdirinya THHK, barulah komunitas Tionghoa di Hindia Belanda yang masih menganut agama dan adat istiadat Tionghoa mendapatkan pencerahan kembali, dan bersamaan dengan itu dimulailah satu periode zaman baru dalam sejarahnya. Beberapa tahun kemudian muncul perkumpulan lainnya seperti Kong Kauw Hwee, Siang Hwee, Shiong Thi Hui, Chung Hsioh, Hoa Chiao, Tsing Nien Hui dan lain sebagainya, yang mana mereka bergerak dalam lingkup keagamaan, ekonomi, sosial, pendidikan dan lain-lain. Khusus untuk Kong Kauw Hwee yakni Perkumpulan Agama Konghucu, inilah yang kelak akan melahirkan Kong Kauw Tjong Hwee (atau Kǒng Jiào Zǒng Huì, 孔教總會) pada tahun 1923. Belakangan Kong Kauw Tjong Hwee berubah menjadi 'Matakin' atau 'Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia'.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/221102