Rabu, 29 Juni 2022

KONG ZI DAN RUISME



Anda para pembaca dan masyarakat Indonesia pada umumnya pasti mengenal Konghucu. Dia dikenal sebagai tokoh bijak, filsuf, atau nabi dari masa Tiongkok Kuno. Konghucu pun merupakan nama salah satu agama yang diakui di Indonesia. Tetapi siapakah Konghucu itu gerangan? Dalam tulisan perdana tentang Konghucu ini, penulis akan mencoba memperkenalkan tokoh yang dikenal oleh masyarakat dunia sejak ribuan tahun yang lampau.

 

Kǒng Fū Zǐ  atau , maknanya 'Guru Kǒng'; biasa dipanggil Kǒng Zǐ atau (Khóng-chú, Hokkian) atau Confucius (Ingg.), diperkirakan hidup antara  551 - 479 seb.M. Masa itu dalam sejarah Tiongkok diperiodisasi dari tahun 770 hingga 476 seb.M. termasuk era 'Musim Semi dan Musim Gugur', yakni nama sebuah kronik pada Negara Bagian (魯國 atau Lǔ Guó, 722 - 479 seb. M.). Dinasti Zhōu () sendiri adalah dinasti yang paling lama memerintah di Tiongkok, yakni antara 1067 - 221 seb.M., dan setelah itu akan dilanjutkan oleh Qín Shǐ Huáng. Selama periode ini, otoritas Kekaisaran Zhōu atas berbagai negara-bagian yang bercorak feodal semakin terkikis, karena banyak adipati dan marquise yang memperoleh otonomi daerah, dan mereka menentang kuasa kaisar di kotaraja Luò Yì (洛邑), serta mengobarkan perang di antara mereka sendiri.

 

Kǒng Zǐ diperkirakan lahir pada 28 September 551 seb.M. di Zōu atau , sekarang berada di Propinsi Shandong modern. Daerah itu secara langsung dikendalikan oleh Kaisar Zhōu tetapi secara efektif independen di bawah penguasa lokal , yang memerintah dari kota terdekat Qūfù. Ayahnya Kǒng Hé (孔紇) juga dikenal sebagai Shūliáng Hé (叔梁紇, 622 - 548 seb.M.), adalah seorang sarjana dan pejabat militer dari garnisun Lǔ setempat. Nenek moyangnya dapat ditelusuri kembali melalui Adipati Sòng () pada masa Dinasti Shāng (商朝, Shāng Cháo), yakni pendahulu Dinasti Zhōu. Isteri Kǒng Hé, yakni Nyonya Besar Shi, melahirkan sembilan anak dan semuanya perempuan. Di usia lanjut Kǒng Hé mengambil seorang selir dan mendapatkan seorang putera yang diberi nama Kǒng Pí (孔皮). Namun, karena ibu Kǒng Pí adalah seorang selir dan Pí sendiri memiliki cacat di kakinya, dia tidak bisa menjadi penerus ayahnya. Dengan demikian, Kǒng yang berusia lanjut tidak memiliki ahli waris, sampai dia mendekati dan berhasil membujuk Yán Xiāng (顏襄), ayah dari keluarga Yán untuk menikah dengan salah satu puterinya. Akhirnya dia menikahi Yán Zhǐ Zài (顏徵在), sang puteri ketiga dan bungsu. Ketika Shūliáng Hé menikah dengan Yán Zhǐ Zài, dia berusia 70 tahun sementara Yán baru berusia 18 tahun. Lewat perkawinannya dengan puteri bungsu Yán, lahirlah Kǒng Zǐ.

 

Kǒng Zǐ diberi nama Qiū (, yang berarti bukit) karena ibunya sering bersembahyang di Ní Qiūshān (尼丘山) dan dia juga dipanggil Zhòng Ní (仲尼),yang bermakna 'Putera Kedua dari Bukit Ní'. Pada saat Kǒng Qiū berusia tiga tahun ayahnya Kǒng Hé meninggal karena sakit. Setelah kematian ayahnya, Yán Zhǐ Zài diusir oleh Nyonya Besar Shi, jadi dia membawa Kǒng Pí dan Kǒng Zǐ ke Qūfù Quē Lǐ (曲阜) dan di sana mereka hidup dalam kemiskinan. Kǒng Zǐ dididik di sekolah untuk rakyat biasa, tempat dia belajar enam cabang ilmu pengetahuan. Dilihat dari keturunan ayahnya, dalam tatanan masyarakat zaman itu dia masuk dalam golongan Shì (), yakni jenjang antara golongan aristokrat dan rakyat jelata. Di usia enam tahun, Kǒng Zǐ telah menunjukkan kelebihannya; dia senang mengajak dan memimpin kawan-kawannya menirukan orang melakukan ibadah dan sembahyang. Setelah tumbuh menjadi remaja, meskipun Kǒng Zǐ baru berusia lima-belas tahun dia telah memiliki semangat belajar yang luar biasa. Pada saat usianya menginjak enam-belas tahun ibunda Kǒng Zǐ, Yán Zhǐ Zài, meninggal dunia dan dia melakukan perkabungan orang tuanya hingga tiga tahun. Setelah masa berkabung berakhir dan Kǒng Zǐ berusia 19 tahun, dia menikahi Qí Guān Shì (官氏), seorang puteri pejabat Kadipaten Sòng. Dengan demikian dia dapat sering kembali ke kampung halamannya untuk menyembah leluhurnya. Setahun setelah mereka menikah, isterinya melahirkan seorang putera yang diberi nama Kǒng Lǐ (孔鯉).

 

Setelah memiliki putera, Kǒng Qiū sangat peduli dengan peristiwa besar di dunia dan dia sering memikirkan berbagai masalah pemerintahan, serta sering mengungkapkan pendapat pribadinya. Pada usianya yang kedua-puluh, Kǒng Qiū mulai menjabat sebagai komisaris dengan mengelola gudang. Karena kondisi hidup semakin berat dia pun terlibat dalam pekerjaan kasar seperti mengelola ternak. Pada tahun 525 seb. M., dia membuka sebuah sekolah swasta dan mengajarkan siswa-siswanya secara langsung. Nama Kǒng Qiū sudah agak dikenal di usianya yang ketiga-puluh.

 

Tentu Anda bertanya-tanya, seperti apa sosok Kǒng Qiū ini?  Dikatakan oleh orang sezamannya, Kǒng Qiū adalah orang yang sangat baik, penyayang, suka menolong, tulus, dan murah hati. Dia juga dikagumi karena penguasaan ilmu dan kebijaksanaannya. "己所不欲,勿施于人" (Jǐ suǒ bù yù, Wù shī yú rén) atau diindonesiakan, "Jangan lakukan kepada orang lain, apa yang Anda tidak ingin lakukan pada diri Anda sendiri." Kata-kata ini merupakan 'Aturan Emas' dari Kǒng Zǐ. Seperti yang disebutkan di atas Kǒng Qiū adalah orang yang memiliki semangat belajar yang menggebu-gebu. Dia telah membaca dan mempelajari lima Naskah Klasik Tiongkok; dia juga turut bersumbangsih dengan menulis dan menyunting tulisan-tulisan klasik lainnya. Peninggalan Kǒng Zǐ yang banyak mengungkapkan pemikirannya sendiri dapat dibaca dalam kitab Analek atau Lúnyǔ (論語).

 

Kebajikan menurut pemikian Kǒng Zǐ adalah mewujudkan semangat kemanusiaan. Teori ritual Konfusius mewujudkan semangat etiket dan etika, yaitu ketertiban sistem dalam pengertian modern. Prinsip Kǒng Zǐ memiliki kesamaan dengan tradisi dan kepercayaan Tionghoa. Dengan berbakti, ia memperjuangkan kesetiaan keluarga yang kuat, pemujaan leluhur, penghormatan orang tua oleh anak-anak mereka, dan suami oleh isteri mereka; merekomendasikan keluarga sebagai dasar pemerintahan yang ideal. Kemanusiaan adalah tema abadi umat manusia, yang berlaku untuk setiap masyarakat, setiap era, dan setiap pemerintahan, serta melingkupi pula tatanan dan kelembagaan masyarakat. Semuanya adalah persyaratan dasar untuk pembentukan masyarakat umat manusia yang beradab. Semangat kemanusiaan dan ketertiban Kǒng Zǐ ini adalah inti dari pemikiran sosial dan politik Tiongkok Kuno.

 

Pemikiran politik Kǒng Zǐ didasarkan pada pemikiran etisnya. Dia berargumen bahwa pemerintah terbaik adalah yang memerintah melalui 'ritus' atau dan moralitas alami masyarakat, dan bukan dengan menggunakan suap dan paksaan. Dia menjelaskan bahwa ini adalah salah satu analogi yang paling penting: "Jika orang-orang dipimpin oleh hukum, dan keseragaman berusaha diberikan kepada mereka dengan hukuman, mereka akan mencoba untuk menghindari hukuman, tetapi tidak memiliki rasa malu. Jika mereka dipimpin dengan kebajikan, dan berusaha diberikan keseragaman kepada mereka dengan aturan kepatutan, mereka akan memiliki rasa malu, dan terlebih lagi akan menjadi baik." (Analek 2.3. terjm. Legge). 'Rasa malu' ini merupakan proses internalisasi-kewajiban, yang mana hukuman mendahului perbuatan jahat, bukan mengikutinya dalam bentuk undang-undang seperti yang dianut paham Legalisme. 'Rasa malu' ini mirip dengan ajaran Hiri dalam Buddhisme, yakni malu untuk berbuat jahat.

 

Nasib Kǒng Zǐ cukup mencengangkan. Pengetahuan moralnya sangat dihargai oleh orang-orang pada saat itu; ambisinya untuk berguna di dunia tidak pernah dilepaskannya. Setelah semua kegagalannya, Kǒng Zǐ juga tampaknya tidak berkecil hati tentang karir politiknya. Namun, dia tidak pernah ragu untuk mematuhi dan mewarisi apa yang diyakininya. Kǒng Zǐ tidak berhasil dalam menggapai jabatan publik yang mungkin masih diidamkannya, dan bahkan di usia tuanya, dia masih pergi ke mana-mana untuk mengkhotbahkan aturan moralitasnya. Pada usia lima puluh satu, dia mulai melayani masyarakat sebagai pejabat di Negara Bagian , dan pada puncaknya dia mendapat jabatan Dà Sīkòu (大司寇) yakni menteri besar kehakiman yang menjadi atasan semua hakim dan perangkat peradilan, dan berada dalam puncak hirarki untuk urusan hukum di negeri tersebut. Tetapi sayangnya, saat-saat indah itu hanya berumur pendek dan dia tidak dipekerjakan kembali. Dari usia lima puluh empat hingga enam puluh delapan tahun, dia mengembara ke negeri-negeri lainnya selama empat belas tahun lagi. Kemudian, dia kembali ke negara bagian . "Tapi tidak bisa 'menggunakan Kǒng Zǐ pada akhirnya,' karena persyaratan tidak cocok, serta Kǒng Zǐ juga tidak mencari posisi resmi.". (Jika Anda ingin tahu pendapat sejarawan ini, lihatlah lebih jauh pada http://www.xinhuanet.com).

 

Kǒng Zǐ mulai mengajar di tingkat pendidikan tinggi setelah dia berusia 30 tahun, dan dia mendidik lebih dari 3.000 siswa sepanjang hidupnya. Dari jumlah besar itu, sekitar 70 di antaranya dianggap istimewa atau luar biasa. Kǒng Zǐ tidak memungut biaya apa pun, dan hanya meminta hadiah simbolis berupa seikat daging kering dari calon siswa. Menurut muridnya Zigòng (子貢), gurunya memperlakukan murid-muridnya seperti dokter merawat pasien dan tidak menolak siapa pun. Kebanyakan dari mereka berasal dari , negara asal Kǒng Zǐ, sebanyak 43 orang. Dia pun menerima siswa dari seluruh Tiongkok, dan di antara siswa istimewa itu ada enam dari negara bagian Wèi (), tiga dari Qín (), masing-masing dua dari Chén Guó (陳國) dan Qí (), serta satu orang masing-masing dari Cài (), Chǔ (), dan Sòng (). Kǒng Zǐ menganggap latar belakang pribadi murid-muridnya tidak relevan, dan dia menerima mereka yang berasal dari kalangan bangsawan, rakyat jelata, dan bahkan mantan penjahat seperti Gōng Yě Zhǎng (公冶長). Siswa-siswanya dari keluarga kaya akan membayar jumlah yang sepadan dengan kekayaan mereka, yang dianggap sebagai sumbangan ritual. Kelak siswa-siswanya dari komunitas Kǒng Zǐ awal yang dia lahirkan, akan menjadi kekuatan intelektual yang paling berpengaruh pada masa selanjutnya, yaitu pada periode Negara-negara Berperang (475 - 221 seb.M.).

 

Murid favorit Kǒng Zǐ adalah Yán Huí (, kira-kira  521 - 481 seb.M.), kemungkinan besar dia salah satu yang paling miskin dari mereka semua. Di bawah ajaran Kǒng Zǐ, para murid menjadi terpelajar dalam prinsip dan metode pemerintahan. Dia sering terlibat dalam diskusi dan debat dengan murid-muridnya dan sangat mementingkan studi mereka dalam pengetahuan sejarah, puisi, musik, dan ritual. Kǒng Zǐ menganjurkan kesetiaan terhadap prinsip daripada kecerdasan individu, di mana reformasi harus dicapai dengan persuasi, alih-alih dilakukan dengan kekerasan. Meskipun Kǒng Zǐ mencela mereka karena praktik mereka yang terkadang melenceng dari ajarannya, para bangsawan selaku atasan mereka kemungkinan tertarik pada gagasan memiliki pejabat yang dapat dipercaya, yang karena keadaan zaman itu menuntut mereka untuk bertindak demikian.

 

Jika Kǒng Zǐ berhasil mendidik orang-orang hebat yang akan menjadi pengikut dan penerusnya di zaman yang sesudahnya, layakkah ajarannya disebut sebagai agama? Bukankah warisannya hanya menjadi satu pemikiran filsafat dan etika? Kǒng Zǐ sendiri menganggap dirinya sebagai pemancar untuk nilai-nilai periode sebelumnya yang dia klaim telah ditinggalkan pada masanya. Ajaran filosofisnya, yang disebut Ruisme, menekankan moralitas pribadi dan pemerintahan, keharmonisan hubungan sosial, keadilan, kebaikan, dan ketulusan.

 

Apakah itu Ruisme? Jika Anda mencari kata ini dalam mesin-pencari Google, selalu akan dirujuk pada Confusianism (Konfusianisme, Ind.). 儒家主 atau Rújiā Zhǔyì adalah Ruisme; atau 儒教 Rú Jiào, bermakna Agama Rú; 儒家信仰 atau Rújiā Xìnyǎng, berarti Keyakinan Rú. Jadi apa itu Rú? Rú, menurut Xú Zhōngshū (徐中舒) dalam  'Kamus Naskah Tulang Orakel atau 'Oracle Bone Script Dictionary' (甲骨文字典 atau Jiǎgǔwén Zìdiǎn) seperti seorang pria yang memandikan dirinya sendiri. Dalam agama primitif kuno sebelum pemuka agama mengadakan upacara kurban, para rohaniwan harus berpuasa dan mandi untuk menunjukkan kesungguhan mereka. Ini tidak hanya membuktikan argumen Húshì (胡适), bahwa Ruisme pada awalnya dijalankan oleh pendeta Yīn-Shāng (殷商), tetapi juga menemukan bukti bahwa Ruisme berfungsi sebagai agama kuno.

 

Lǐ Zéhòu (,13-Jun-1930 - 2-Nov-2021), seorang filsuf modern, juga percaya bahwa Ruisme berkembang dari kalangan penyihir. Kǒng Zǐ sendiri pernah berkata, "Aku serta Shǐ ( atau sejarah) dan Wū (,atau penyihir) dilukis bersama namun kembali secara terpisah." Tetapi pada saat yang sama, dia juga menunjukkan bahwa dia berbeda dari penyihir yang berspesialisasi dalam berkomunikasi dengan hantu dan dewa, "Saya hanya meminta kebajikan." Dimulai dengan Kǒng Zǐ, konsep "Ruisme" telah berubah, dan secara bertahap telah keluar dari ruang lingkup perdukunan dan ilmu sihir. Kǒng Zǐ adalah pendidik pertama dalam sejarah Tiongkok yang membuka sekolah swasta. Dia dikenal sebagai 'guru dari tiga ribu murid dan tujuh puluh dua orang bijak'. Dia dan murid-muridnya menyebarkan etika, ritual, dan berbagai pengetahuan yang selama itu telah dimonopoli oleh para aristokrat dari zaman kuno selama berabad-abad, dan secara bertahap membentuk sekolah Ruisme. Oleh karena itu, Ruisme telah mewarisi budaya sejarah ilmu sihir sejak zaman Dinasti Shāng, dan mengembangkan tradisi ritual dan musik pada masa Dinasti Zhōu Barat.

 

Setelah berusia 68 tahun Kǒng Zǐ  pulang ke kampung halamannya setelah menyelesaikan pengembaraan panjangnya. Pada tahun 483 seb.M. Kǒng Lǐ, putera semata wayangnya, meninggal dunia. Puteranya ini memang tidak secemerlang ayahnya. Beruntunglah Kǒng Zǐ bahwa putera Kǒng Lǐ yang bernama Kǒng Jí (孔伋) memiliki bakat seperti kakeknya, dan kelak dia berjasa meneruskan dan mengembangkan ajaran Kǒng Zǐ. Dua tahun setelah kematian puteranya, kembali Kǒng Zǐ ditimpa musibah. Yán Huí siswa favoritnya meninggal pada 481 seb.M. pada usia muda (40 tahun); padahal Yán Huí yang berbeda usia 30 tahun dari Kǒng Zǐ, dan dia diharapkan oleh sang guru untuk menjadi penerusnya. Akhirnya pada 479 seb.M. Kǒng Zǐ meninggal pada usia 71 atau 72 tahun karena sebab alami. Dia pun dimakamkan di Pemakaman Kǒng Lín (孔林) yang terletak di tempat bersejarah Qūfù di Propinsi Shandong. Makam asli yang didirikan di sana untuk mengenang Kǒng Zǐ di tepi Sungai Sìshuǐ () berbentuk kapak. Sampai sekarang banyak pengikutnya yang masih melakukan ziarah ke tempat persemayamannya.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/220629


Rabu, 15 Juni 2022

MAHAKASSAPA



Beberapa tahun sebelum Buddha kita lahir, di Negeri Magadha pada sebuah dusun yang bernama Mahātittha, lahirlah seorang anak lak-laki yang bernama Pipphali. Ayahnya adalah seorang brahmana yang dipanggil Kapila dan ibunya bernama Sumanādevī. Sebagai brahmana terpandang Kapila mendapat mandat untuk berkuasa di enam belas dusun, dan dia memerintah sebagai raja kecil. Pipphali sebagai anak kesayangan mereka berdua, tumbuh di lingkungan yang serba berkecukupan, bahkan berlimpah kemewahan.

 

Bertolak belakang dengan kebanyakan anak muda zaman sekarang yang memiliki orang tua kaya raya, Pipphali justru tidak menggubris harta duniawi yang akan diwarisinya, dan aspirasinya sejak muda dicurahkan untuk menjalani hidup-pertapaan dan pencarian spiritual. Setelah umurnya cukup kedua orang tuanya mendesaknya untuk segera mengambil seorang isteri, tetapi Pipphali berdalih tidak ingin hidup berkeluarga, dan dia berjanji akan menjaga ayah dan ibunya hingga akhir hayat mereka. Namun keduanya bersikeras bahwa dia harus mengambil seorang isteri. Akhirnya demi membalas jasa kebaikan keduanya terutama ibunya, Pipphali setuju untuk menikah, asalkan dia bisa mendapatkan seorang gadis yang sesuai dengan gambaran wanita yang menjadi idolanya.

 

Pipphali kemudian menugaskan beberapa pandai emas untuk membuatkan sebuah patung, yang menggambarkan sosok wanita sempurna sesuai imajinasinya. Setelah diberi pakaian boneka dan aksesori, patung emas kecil itu pun diperlihatkan kepada orang tuanya. "Jika ayah dan ibu dapat menemukan seorang gadis seperti ini untukku, aku akan tetap tinggal di rumah." Pipphali merasa menang, tetapi ibunya adalah seorang yang cerdas. Dia berpikir: "Pasti puteraku telah membuat jasa kebajikan di kehidupannya yang lampau, dan perempuan dalam gambaran-patung itu adalah orang yang dulu menjadi pasangannya, dan sekarang mungkin wanita ini pula yang akan menjadi jodohnya." Segera diutusnya delapan orang brahmana kepercayaannya, dan mereka diminta mencari perempuan muda yang sosoknya menyerupai patung emas itu. Mereka lalu pergi ke Daerah Madda yang menjadi gudang wanita cantik, dan di Sāgala para brahmana itu menemukan seorang gadis rupawan yang mirip dengan citra pada patung itu. Dia adalah Bhaddā Kapilānī, puteri seorang brahmana kaya yang berumur enam-belas tahun, empat tahun lebih muda dari Pipphali. Seolah-olah segalanya sudah diatur oleh semesta, orang tua gadis itu pun menyetujui lamaran yang diajukan oleh keluarga Kapila.

 

Menjelang Bhaddā Kapilānī dipertemukan dengan Pipphali, si gadis pun sebenarnya tidak ingin menikah. Si gadis bercita-cita menempuh kehidupan religius dan dia bertekad menjadi petapa wanita. Sekarang kedua orang muda itu berupaya menggagalkan kelanjutan hubungan mereka, tetapi upaya keduanya gagal. Keluarga Pipphali berhasil membawa Bhaddā ke Magadha, dan kedua mempelai itu segera dinikahkan di rumah Brahmana Kapila. Namun keduanya tetap bersepakat untuk mempertahankan kehidupan selibat. Untuk melaksanakan komitmen itu, setiap malam sebelum tidur keduanya akan meletakkan karangan bunga di tengah ranjang. Mereka bersumpah: "Jika salah satu sisi bunga itu layu, kita akan tahu bahwa orang yang berada di dekatnya, sudah dihinggapi oleh pikiran yang penuh nafsu." Akibatnya keduanya sering berbaring sambil terjaga sepanjang malam, karena takut melakukan kontak tubuh. Dan pada siang hari mereka bahkan tidak saling tersenyum. Kita mungkin heran kepura-puraan itu berjalan entah hingga hitungan tahun.

 

Selama orang tua mereka hidup, keduanya tetap menjauhkan diri mereka dari kesenangan duniawi, dan pasangan muda itu bahkan tidak perlu mengurus pertanian dan perkebunan yang dimiliki oleh orang tua mereka. Ketika orang tua Pipphali meninggal, pasangan itu mewarisi harta kekayaan yang luar biasa. Saat itulah keduanya merasakan dorongan untuk segera melakukan pelepasan keduniawian. Mereka pun meninggalkan rumah Brahmana Kapila, dengan masing-masing mengenakan jubah safron, membawa mangkuk tanah liat, lalu mencukur rambut di kepala satu sama lain. Dengan demikian mereka nampak seperti petapa pengelana, dan keduanya mengutarakan satu aspirasi: "Kami mendedikasikan kepergian kami kepada para Arahanta di dunia!" Ikrar itu agak janggal karena mereka bahkan belum pernah bertemu dengan Buddha atau pun mengenal ajarannya.

 

Saat mereka mengembara, Pipphali berjalan di depan sementara Bhaddā mengikuti di belakangnya. Kemudian Pipphali berpikir: "Sekarang Bhaddā mengikutiku dari belakang, dan dia adalah seorang wanita yang sangat cantik. Sementara orang mungkin akan berpendapat: 'Meskipun keduanya adalah pertapa, mereka tetap tidak dapat hidup terpisah satu sama lain! Apa yang mereka lakukan sungguh tidak pantas!' Jika ada orang yang berpikiran seperti itu lalu menyebarkan desas-desus miring, maka hal itu akan menyebabkan kerugian besar bagi orang tersebut. Jadi lebih baik kita berpisah." Selanjutnya ketika mereka tiba di perempatan jalan, Pipphali memberitahunya apa yang telah dia pikirkan dan berkata kepadanya: “Bhaddā, kamu ambil salah satu jalan ini, dan aku akan pergi ke arah yang lain." Anehnya Bhaddā pun dihinggapi pikiran serupa, dan sebagai isteri dia memberi hormat kepada suaminya dengan mengelilinginya tiga kali, bersimpuh pada kakinya, dan dengan telapak tangan tertangkup di depan dada dia berkata: "Persatuan dan persahabatan kita yang telah berlangsung selama masa lalu yang tak-terhitung berakhir hari ini. Silahkan ambil jalan ke kanan dan saya akan mengambil jalan lain." Demikianlah mereka berpisah dan menempuh jalan masing-masing, demi mencapai sasaran akhir kehidupan suci. Dikatakan bahwa bumi berguncang, guntur di langit bergemuruh, dan pegunungan di tepi sistem dunia bergema, karena kekuatan kebajikan keduanya.

 

Sepertinya kekuatan kebajikan itu langsung menghasilkan buahnya. Sang Buddha yang kebetulan berada tidak jauh dari tempat itu merasakan getaran bumi, dan dia memahami bahwa seorang murid yang luar biasa sedang dalam perjalanan menemuinya. Tanpa memberi tahu siapa pun, dia berangkat sendirian, menempuh jarak lima mil untuk menemui calon siswanya. Pipphali atau yang kemudian dipanggil sebagai Kassapa, belakangan hari menceritakan kisah berikut ini: "Sewaktu aku memulai kehidupan tanpa-rumah, ketika aku sedang melintasi jalan raya, aku melihat Yang Terberkahi diantara Rājagaha dan Nalanda sedang duduk di tempat pemujaan Bahuputta. Ketika aku melihatnya aku berpikir: 'Jika aku pernah mengakui seorang Guru, hendaklah aku hanya mengakui Yang Terberkahi. Jika aku pernah mengakui Yang Luhur, hendaklah aku hanya mengakui Yang Terberkahi. Jika aku pernah mengakui Yang Tercerahkan Sempurna, hendaklah aku hanya mengakui Yang Terberkahi.' ... Maka dari itu, wahai Kassapa, engkau harus berlatih sebagai berikut: "Dorongan kata hati dan rasa malu yang kuat seharusnya dimapankan dalam dirimu, dalam berhubungan dengan bhikkhu-bhikkhu sesepuh ..." Serta engkau seharusnya melatihnya sedemikian: "Aku akan mendengar Dhamma dengan telinga yang telah siap, dengan mendengarkannya dan menghadirinya dan mencurahkan seluruh batinku atas apa pun yang mendukung pada hal-hal yang bermanfaat." Serta engkau seharusnya melatihnya sedemikian: "Aku tidak akan pernah gagal untuk mempraktikkan kewaspadaan terhadap tubuh dengan sukacita." Engkau seharusnya melatih semuanya sedemikian.' Maka setelah Yang Terberkahi memberikan nasihatnya kepadaku, ia bangkit dari duduknya dan segera meninggalkan tempat itu."

 

"Aku menyantap dana makanan yang kuperoleh dari sedekah orang-orang selama tujuh hari sebagai utangku kepada mereka. Pada hari kedelapan pencerahan akhir muncul dalam diriku." Praktik kewaspadaan terhadap tubuh secara ketat dinamakan  dhutaṅga, yakni melakukan praktik pertapaan keras: hanya menggunakan tiga set jubah (dan menolak menggunakan jubah tambahan); hanya mengenakan jubah kain (dan menolak jubah yang ditawarkan oleh perumah tangga); hidup hanya dari makanan yang dikumpulkan dari sedekah (dan menolak undangan makan); hanya tinggal di hutan (dan menolak tinggal di biara kota); serta Kassapa menjalani praktik itu seumur hidupnya. Dalam kitab komentar – seperti dalam Visuddhimagga –  daftar praktik keras diperluas menjadi tiga belas aturan. Sekarang praktik dhutaṅga ini dijadikan tradisi bhikkhu-hutan di pedalaman Thailand.

 

"Kemudian Yang Terberkahi meninggalkan jalan raya dan pergi menuju sebuah akar pohon. Aku melipat jubah luarku yang berasal dari sepotong kain yang tak-terpakai menjadi empat lapis, dan aku berkata kepadanya: 'Yang Mulia, sudilah Yang Terberkahi duduk di atas kain ini, sehingga kelak akan membuahkan kesejahteraan dan kebahagiaan kepadaku untuk kurun waktu yang lama.' Yang Terberkahi lalu duduk di tempat yang telah disediakan. Kemudian ia berkata: 'Jubah luarmu yang berasal dari sepotong kain yang tak-terpakai ini lembut, Kassapa.' – 'Sudilah Yang Terberkahi menerima jubah luar yang berasal dari sepotong kain yang tak-terpakai ini dari aku, Yang Mulia, demi welas-asihnya kepadaku' – 'Tetapi maukah engkau memakai jubah-rami yang berasal dari sepotong kain yang tak-terpakai ini yang ingin aku singkirkan, wahai Kassapa?' " – " 'Yang Mulia, aku akan mengenakan jubah-rami yang berasal dari sepotong kain yang tak-terpakai milik Yang Terberkahi yang hendak dia singkirkan.' Demikianlah aku mempersembahkan kepada Yang Terberkahi jubah luarku yang berasal dari sepotong kain yang tak-terpakai, dan sebagai penukarnya aku menerima jubah-rami yang berasal dari sepotong kain yang tak-terpakai ini yang ingin dia singkirkan. Jika dapat dikatakan oleh seseorang: 'Dia adalah putera Yang Terberkahi sendiri, terlahir dari mulutnya, terlahir dari Dhamma, diciptakan oleh Dhamma, seorang ahli waris Dhamma, seorang penerima jubah-rami yang berasal dari sepotong kain yang tak-terpakai yang ingin ia singkirkan,' itulah aku sesungguhnya."

 

Peristiwa pertukaran jubah antara Sang Buddha dengan Kassapa inilah yang belakangan ditafsirkan orang sebagai isyarat bahwa Sang Guru menunjuk siswanya yang istimewa ini sebagai penerusnya. Pada kenyataannya selama hidupnya Sang Buddha hanya sekali melakukan kehormatan seperti itu. Walaupun sebelum kemangkatannya, Sang Buddha menolak untuk menunjuk seorang pengganti pribadi. Justru dia mendesak para bhikkhu untuk memandang Dhamma dan Vinaya – doktrin dan disiplin – sebagai pengganti dirinya.

 

Pada saat wafatnya Sang Buddha, hanya dua dari lima siswa paling terkemuka yang hadir, Ānanda dan Anuruddha. Sāriputta dan Mahāmoggallāna telah wafat pada awal tahun itu, dan Kassapa dengan sekelompok besar bhikkhu, sedang dalam perjalanan dari Pāvā ke Kusinārā. Saat berada di tengah perjalanan, dia melihat seorang petapa telanjang melewati jalan itu sambil memegang bunga pohon karang (mandarava), yang konon hanya tumbuh di alam para dewa. Ketika Kassapa melihat bunga karang itu, dia tahu bahwa sesuatu yang luar biasa telah terjadi. Dia bertanya kepada petapa itu apakah dia telah mendengar berita tentang gurunya, Sang Buddha. Petapa itu mengatakan kepadanya, "Petapa Gotama memasuki Nibbāna-akhir seminggu yang lalu. Bunga pohon karang ini aku ambil dari tempat kematiannya."

 

Mendengar kabar duka ini hanya mereka yang telah menjadi suciwan yang tetap tenang, yang lainnya menangis tersedu-sedu dan bergulingan ke tanah. Akan tetapi, ada seorang bhikkhu yang bernama Subhadda, yang ditahbiskan di usia tuanya, yang berkata: "Cukup, teman-teman! Jangan bersedih, jangan meratap. Kini kita sudah terbebas dari Sang Rahib Agung. Kita selama ini telah dibuat frustrasi dengan perkataannya: 'Hal ini tidak pantas bagi kalian, hal itu tidak diperbolehkan untuk kalian.' Namun sejak sekarang kita bisa melakukan apa yang kita suka, dan kita tidak perlu melaksanakan apa yang tidak kita inginkan." Sungguh kata-kata yang kurang ajar dan tidak berperasaan, mengingat jasad Sang Guru Agung pun belum selesai diperabukan. Tetapi Kassapa tidak menanggapinya, malahan dia berpikir bahwa inilah momen yang mendesak untuk melestarikan ajaran yang sejati.

 

Sementara itu para tetua dusun di Kusinārā belum berhasil menyulutkan api pada tumpukan kayu pemakaman Sang Buddha. Yang Mulia Anuruddha menjelaskan bahwa para dewa yang tidak-terlihat namun semuanya hadir, ingin menunda proses itu sampai Yang Mulia Kassapa datang dan memberikan penghormatan terakhirnya kepada jenazah Sang Guru. Ketika rombongan itu tiba, dia berjalan mengelilingi tumpukan kayu itu sebanyak tiga putaran, dengan takzim, dengan tangan tertangkup di depan dada, dan kemudian dengan kepala tertunduk melakukan sembah-sujud di kaki Yang Terberkahi. Setelah semua pengikutnya melakukan hal yang sama, tumpukan kayu itu terbakar dengan sendirinya. Jadi seolah-olah Sang Guru menunggu sampai siswa utamanya tiba di sana.

 

Tiga bulan setelah wafatnya Sang Buddha, Pasamuan Agung atau Konsili yang pertama diadakan di Rājagaha, atas prakarsa Yang Mulia Kassapa dengan disponsori oleh Raja Ajātasattu. Pada kesempatan itu Yang Mulia Ānanda membacakan semua wejangan yang sekarang ini termuat dalam Sutta Pitaka, sedangkan Yang Mulia Upāli mengulangi semua kode disiplin monastik yang kini tertuang dalam Vinaya Pitaka. Kassapa sendiri bertindak sebagai pimpinan, pengarah, dan moderator dalam sidang agung yang bersejarah itu. Setelah diadakannya Konsili Pertama, penghormatan yang tinggi terhadap Yang Mulia Mahākassapa semakin meningkat, dan dia dipandang sebagai pimpinan Sagha secara de fakto. Kita namakan dia Mahākassapa (Pāli) atau Mahākāśyapa (Sanskerta), maknanya 'Kassapa Agung', untuk membedakannya dari Kassapa lainnya.

 

Tidak ada laporan dalam literatur Pāli tentang wafatnya Mahākassapa, tetapi sebuah kronik Sansekerta tentang 'Para Ahli Hukum' mewartakan kita catatan yang aneh tentang akhir sang sesepuh agung menurut tradisi Buddhis Utara. Menurut catatan ini, setelah Konsili Pertama Mahākassapa menyadari bahwa dia telah memenuhi misinya dan memutuskan untuk mencapai Nibbāna-akhir. Sang Sesepuh memberikan penghormatan terakhirnya dengan berziarah ke tempat-tempat suci, lalu menemui Ānanda untuk menyerahkan mangkuk-sedekah milik Sang Buddha sebagai simbol pelestarian Dharma. Demikianlah Mahākassapa, yang secara umum telah diakui sebagai  pimpinan Sangha, memilih Ānanda sebagai yang paling berharga untuk menjadi penerusnya.

 

Selanjutnya Mahākassapa memasuki Rājagaha. Dia bermaksud memberi tahu Raja Ajātasattu tentang rencana kematiannya yang akan datang, tetapi raja sedang tidur dan dia tidak ingin membangunkannya. Demikianlah Mahākassapa mendaki puncak Gunung Kukkaṭapāda sendirian, duduk bersila di sebuah goa, dan mengumandangkan tekad-agung bahwa tubuhnya akan tetap utuh sampai kedatangan Buddha masa depan, Metteyya atau Maitreya. Kepada Maitreya-lah dia harus menyerahkan jubah Buddha Gotama, jubah kain yang sama dengan yang diberikan Yang Terberkahi kepadanya pada pertemuan pertama mereka. Tak lama kemudian Mahākassapa mencapai Nibbāna-akhir. Bumi pun berguncang, para dewa lalu menaburkan bunga-bunga di tubuhnya, dan gunung itu menutup-kembali.

 

Dalam banyak naskah Sanskerta India dan Asia Timur, sejak abad kedua Masehi, Mahākassapa dianggap sebagai Sang Patriakh Pertama dari garis keturunan yang mentransmisikan ajaran Sang Buddha, dengan Ānanda sebagai yang kedua. Tradisi Chán () atau Zen di Tiongkok dan Jepang juga menganggap Mahākassapa sebagai Sang Patriakh Pertama di India selepas kemangkatan Sang Buddha, dan dia dipanggil 摩訶迦葉 (Mó Hē Jiāyè). Sang Patriakh Pertama di Tiongkok adalah Bodhidharma (atau Dá Mó, 達摩,  440 - 528), dan Patriakh Keenam atau terakhir adalah Huì Néng (atau 惠能, 638–713).

 

Mungkin ada pembaca yang bertanya-tanya, bagaimana jalan hidup Bhaddā Kapilānī, mantan isteri dari Pipphali? Setelah perpisahan dengan suaminya, dia mengembara ke Sāvatthī, tempat dia mendengarkan khotbah Sang Buddha di Vihara Jetavana. Karena saat itu belum terbentuk Sangha Bhikkhunī, dia tinggal di sebuah biara petapa wanita non-buddhis tidak jauh dari sana. Di kota ini dia tinggal selama lima tahun sampai dia ditahbiskan sebagai bhikkhunī. Tidak lama kemudian dia pun mencapai tingkat Arahant.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/220615

 

Rabu, 01 Juni 2022

SAMAKAH KARMA DENGAN UTANG-PIUTANG?





Alkisah di zaman dahulu ada seorang tukang kayu yang hidup bersama isterinya di sebuah rumah sederhana di tepi rimba. Walaupun mereka sudah lama menikah, namun mereka belum mendapatkan keturunan. Pasangan itu sebenarnya sudah lama mendambakan kehadiran seorang anak.

 

Pada suatu hari, seperti yang biasa dilakukannya, si tukang kayu setelah menyiapkan peralatan kerjanya berangkat ke hutan. Dia mencari pohon kayu yang sudah cukup tua, merobohkan pohon yang dipilihnya dengan kapaknya, membuang ranting dan daun yang tidak terpakai, memotong-motong kayunya, menyusun dan mengikatnya lalu membawanya pulang. Sewaktu dia sedang memotong-motong dahan pohon yang besar itu, lamat-lamat didengarnya ada suara orang bercakap-cakap. Menilik dari nada bicaranya, bisa dipastikan suara-suara itu berasal dari percakapan dua anak kecil.

 

Coba kita dengarkan perbincangan dua anak kecil itu. Anak yang satu bertanya kepada kawannya, "hei, mau kemana engkau?" Anak yang lain menjawab, "saya mau ke rumah tukang kayu itu. Saya bermaksud untuk menagih karma. Kamu sendiri hendak pergi kemana?" Anak yang pertama tadi menjawab, "jika demikian tujuan kita sama. Saya juga mau pergi ke rumah tukang kayu itu. Tetapi tujuan saya ke sana bukan untuk menagih, justru saya akan membayar karma." Anak yang kedua pun berseru, "oh kalau begitu kita bisa pergi bersama-sama ke sana. Ayo kita bergandengan tangan."

 

Di siang bolong itu si tukang kayu terheran-heran, bagaimana bisa dia mampu menguping pembicaraan dua anak kecil itu yang tidak kasat mata itu, walaupun dia celingukan berusaha mencari asal-usul suara itu. Si tukang kayu melanjutkan pekerjaaannya dan setelah mengikat sejumlah kayu bakar, dia kemudian mengambil pikulannya, menyimpan kapak dan peralatan kerja lainnya, dan langsung pulang ke rumah. Sesampainya di rumah diceritakan pengalaman ganjilnya kepada isterinya, dan pasangan itu pun menebak apa makna di balik percakapan dua anak kecil yang misterius itu.

 

Hanya selang beberapa minggu setelah kejadian aneh itu, isteri si tukang kayu mendapati dirinya dalam keadaan hamil. Dan setelah mengandung selama sembilan bulan sepuluh hari, isteri tukang kayu itu pun melahirkan dua anak kembar laki-laki. Mereka berdua sangat bersyukur karena pasangan itu tidak muda lagi, dan mereka merasa mujur memperoleh dua anak lelaki sekaligus.

 

Waktu pun berjalan dengan cepat dan dua anak kembar itu pun tumbuh dengan sehat dan kuat. Sejak keduanya masih balita sudah tampak perbedaan yang mencolok di antara keduanya. Yang besar kita namakan si sulung tumbuh menjadi anak yang nakal dan pemalas, sedangkan adiknya atau si bungsu penurut dan rajin. Semakin tumbuh besar dan menjadi remaja, si sulung menjadi anak muda begajulan, yang sering membuat masalah dan kesusahan bagi keluarganya. Kedua orang tuanya pun lalu mengaitkan dengan pertanda ganjil yang muncul sebelum keluarga tukang kayu itu mendapatkan anak. Ayah dan ibunya berpendapat, "pasti si sulung ini anak yang datang untuk menagih karma, karena dia terus-menerus membuat masalah dan menyusahkan orang tuanya." Sampai satu ketika si sulung membuat lagi ulah yang memalukan, dan di mata ayahnya kali ini tak-termaafkan. Segera diusirnya anak itu dari rumah.

 

Sepeninggal si sulung sekarang di rumah itu hanya tersisa ayah, ibu, dan si bungsu. Keluarga itu pun hidup dengan tenang, tenteram, dan damai; tak ada lagi si pembuat onar. Ayah dan ibu sekarang mencurahkan kasih sayangnya kepada si bungsu, dan hanya kepada dia mereka akan menggantungkan hidup di hari tua. Tahun berganti tahun dan seiring dengan itu rasa sayang dan ketergantungan keduanya semakin besar. Namun malang tak dapat ditolak dan mujur tak dapat diraih, tiba-tiba si bungsu jatuh sakit. Tabib pun dipanggil, tetapi bukannya sembuh, sakit yang dideritanya bertambah parah. Sudah tak terhitung berapa banyak ahli pengobatan yang didatangkan, tetapi mereka semua tidak berdaya. Bukan itu saja harta mereka berupa ladang dan ternak sudah habis dijual, dan akhirnya si bungsu pun tidak terselamatkan.

 

Kesedihan dan keterpurukan melanda si tukang kayu dan isterinya. Sudah jatuh ditimpa tangga pula. Anak kesayangan sudah tiada dan mereka pun jatuh miskin. Mereka terhenyak dan baru menyadari, bahwa si bungsu ini ternyata anak yang menagih karma, dan itu bukan si sulung seperti yang mereka anggap sebelumnya. Setelah teringat pada anaknya yang lain, sang ayah merasa sangat menyesal.

 

Sementara itu si sulung setelah diusir oleh ayahnya, dia pergi meninggalkan dusunnya dan mengembara sampai jauh ke negeri orang. Dia sadar bahwa sekarang hidup dan masa depannya tergantung dari dirinya sendiri. Si sulung pun berubah, meninggalkan kebiasaan buruknya sewaktu dia masih tinggal di rumah orang tuanya. Sekarang dia bekerja dengan rajin dan mendapat kepercayaan dari majikannya. Bahkan setelah beberapa lama dia bisa menekuni usaha itu secara mandiri. Setelah mempunyai modal yang cukup dia berhenti dari pekerjaannya, dan bermaksud memulai usahanya di tempat yang baru. Dia teringat pada ayah dan ibunya dan dia merindukannya. Meskipun pernah diusir dari rumah, dia tidak menaruh dendam serta dia bermaksud pulang. Si sulung akhirnya pulang ke kampung halamannya, dan dia menyokong kehidupan orang tuanya, hingga mereka bertiga bisa berkumpul kembali. Ayah dan ibunya baru menyadari bahwa si sulunglah anak yang hadir untuk membayar karma.

 

 

Anda, para pembaca, mungkin pernah mengetahui cerita di atas. Sebelum kita membahas apa yang dimaksud dengan menagih karma dan membayar karma, marilah kita ikuti cerita kedua berikut ini.

 

 

Alkisah, pada suatu masa ada seorang pemuda yang amat frustrasi dan dia sudah sampai pada keinginan untuk bunuh diri. Anda mungkin bisa menebaknya. Ya, sang pemuda kita ini baru saja putus cinta. Kekasihnya, calon isterinya, tiba-tiba meninggalkan dirinya begitu saja tanpa alasan yang jelas. Padahal dia dan pacarnya sudah membina hubungan asmara selama lebih dari tiga tahun, dan mereka berdua telah sepakat untuk segera memasuki gerbang perkawinan.

 

Di tengah keputusasaannya dia bertemu dengan seorang rahib Buddhis alias bhikshu di sebuah biara. Rohaniwan ini bukan sembarang guru, tetapi si bhikshu telah mencapai tataran kemampuan batin yang tinggi. Sang pemuda yang sedang dilanda lara menghadap sang bhikshu untuk meminta petunjuk, dengan menyimpan keingintahuannya yang besar, mengapa cintanya bisa kandas di saat dia sudah sedikit lagi mengenyam kebahagiaan berumah tangga. Setelah mengetahui permasalahan yang dihadapi oleh si pemuda, sang rohaniwan berdiam diri, berkonsentrasi memusatkan pikirannya, batinnya menerawang menuju kehidupan lampau sang pemuda dan kekasihnya, dan setelah beberapa saat dia telah menemukan jawabannya.

 

Dalam penerawangan itu sang bhikshu nan waskita melihat seorang wanita muda yang telah meninggal dunia sedang terbaring di atas tanah di dekat pantai laut yang berombak tenang. Seorang pemuda yang kebetulan lewat di sana hanya memandang tanpa-empati ke arah jenazah itu, serta dia berlalu begitu saja meninggalkan tempat itu. Beberapa saat kemudian, datang lagi pemuda yang kedua. Berbeda dengan orang yang datang duluan, pemuda ini memandang tubuh tak-berdaya itu dengan perasaan iba, lalu dia melepaskan jaket yang sedang dikenakannya dan menutupi tubuh wanita yang malang itu. Segera setelah itu, dia pun melanjutkan perjalanannya. Kemudian setelah beberapa waktu, seorang pemuda lain seorang diri juga lewat di situ. Melihat ada mayat perempuan yang ditutupi jaket dan terlantar begitu saja, muncul rasa welas-asihnya. Dengan peralatan seadanya dia menggali sebuah lubang, memakaikan jaket itu ke tubuh jenazah itu, menyeretnya ke dalam lubang, menimbunnya dengan tanah, dan meletakkan sebuah batu besar di atasnya sebagai penanda. Sebelum meninggalkan tempat itu, si pria ketiga ini masih sempat mendoakan mendiang yang tidak dikenalnya itu.

 

Sang bhikshu setelah melihat kejadian yang berlangsung jauh di masa lalu, dia pun paham atas apa yang telah terjadi. Setelah itu diceritakanlah apa yang telah dilihatnya dalam penerawangan itu kepada sang pemuda. Sang bhikshu melanjutkan: "Wanita dalam kisah itu adalah kekasihmu, yang batal menikah denganmu. Pria yang pertama dalam kisah itu adalah salah satu teman wanita itu. Temannya ini pernah naksir perempuan itu, tetapi cintanya bertepuk sebelah tangan. Pria kedua yang menyerahkan jaketnya kepada wanita itu adalah engkau. Karena jasa baikmu, dia menemanimu selama tiga tahun untuk bersenang-senang denganmu. Tetapi pria ketiga yang telah mengubur jasadnya, dialah yang kini menjadi suami wanita itu." Sang pemuda pun manggut-manggut mendengar penjelasan sang bhikshu. Dia sekarang sadar dan menerima dengan sepenuh hati, bahwa mantan kekasihnya itu memang bukan jodohnya.

 

 

Dua cerita di atas menyingkapkan, betapa besar kekuatan perbuatan kita di masa kehidupan sebelumnya, guna menentukan siapa yang akan menjadi orang terdekat kita dalam kehidupan yang sekarang. Orang terdekat itu bisa suami atau isteri kita, ayah dan ibu kita, atau anak-anak kita. Bahkan orang terdekat itu bisa melebar kepada siapa pun yang akan menjadi famili kita, seperti saudara sekandung, kakek-nenek, cucu, mertua dan menantu, serta ikatan kekerabatan lainnya. Kekuatan perbuatan di masa lalu sering dikaitkan dengan utang-piutang karma. Ajaran ini populer dalam Buddhisme Tiongkok, namun tidak terasa gaungnya dalam Buddhisme Theravada.

 

Apa yang dimaksud dengan utang karma itu? Dalam kehidupan sehari-hari kita dikatakan berutang kepada seseorang, jika kita telah menerima satu barang atau jasa dari orang lain dan kita belum membayarnya. Pada saat kita membayarnya – biasanya dengan menyerahkan sejumlah uang – dikatakan kita sudah membayar utang atau utang itu telah dilunasi. Pada saat pelunasan utang sudah tidak ada lagi urusan gugat-menggugat, dan transaksi itu dinyatakan sudah selesai. Lalu apa itu piutang? Piutang adalah kita yang memberikan satu barang atau jasa dan orang yang menerimanya belum membayar atau melunasinya. Selanjutnya apa itu utang karma? Pada kisah yang kedua, wanita yang mati dikubur oleh pria ketiga itulah yang berutang karma. Dia melunasinya dengan mengawini pria itu dalam kehidupan yang sekarang. Jadi kalau begitu apakah utang karma berarti utang budi? Ya, bisa pula disebut demikian.

 

Dalam ajaran Buddhis hukum karma adalah salah satu dari hukum sebab-akibat. Apa artinya itu? Azas hukum ini berbunyi: 'dengan adanya ini, maka muncullah itu', atau dua kejadian yang berbeda secara waktu itu saling kait-mengait. Apa implikasi hukum sebab-akibat ini? Dengan adanya hukum ini segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini bukanlah bersifat kebetulan atau untung-untungan belaka.

 

Pernahkah Anda para pembaca memikirkan atau merenungkan, mengapa kita memiliki ayah dan ibu seperti yang kita kenal selama ini. Jika kita boleh memilih, mengapa kita tidak dilahirkan dari bapak dan ibu yang merupakan tokoh terkenal di republik ini, atau dari keluarga hartawan yang kaya raya? Kita dilahirkan oleh orang tua kita yang sekarang adalah sebuah takdir, sebuah keniscayaan, karena kita tidak bisa memilih orang yang akan menjadi orang tua kita. Orang sering mengaitkan keniscayaan ini dengan mengatakan, itu bisa terjadi karena kebetulan, atau terjadi secara acak begitu saja. Apakah Anda masih meyakini pendapat ini sebagai suatu kebenaran?

 

Lalu pernahkah Anda yang telah mempunyai pasangan berpikir, mengapa si A ini bisa menjadi suami atau isteri kita, dan bukan si B atau si C yang kita pernah bergaul dan mengenalnya lebih dekat? Dalam perjalanan hidup kita sejak kita masih kanak-kanak hingga seumur ini, entah sudah berapa banyak orang yang kita temui, namun mengapa si A yang akhirnya menjadi pasangan hidup kita? Ada sebuah petikan kuno yang mengatakan: "Dalam pertemuan sekilas antara dua insan berlainan jenis, hanya setelah seratus generasi kita dapat menyeberangi perahu bersama-sama, dan hanya setelah seribu kehidupan kita dapat tidur bersama. Pernikahan adalah kejadian yang sangat langka, yang bisa menyatukan dua orang." Mungkin sebelum Anda kawin dengan si A, Anda punya mantan – maksudnya mantan kekasih – tetapi mengapa hubungan kalian bisa kandas di tengah jalan? Seperti yang kita pelajari dari cerita yang kedua, bukan karena Anda berdua tidak cocok sehingga hubungan kalian putus, tetapi karena utang-piutang karma Anda dengan si A itu lebih kuat dibandingkan ikatan karma Anda dengan sang mantan. Logis bukan?

 

Selanjutnya kita lihat hubungan orang tua dengan anak. Orang tua berkorban untuk anak-anaknya; mulai dari melahirkan, membesarkan, menafkahi, dan mendidik mereka. Jasa orang tua terhadap anaknya tidak akan dan tidak bisa terbalaskan, seperti yang sering dikatakan orang: 'kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jalan.' Dengan demikian jika kita percaya adanya ikatan karma masa lalu, orang tua membayar utang karma kepada anak-anaknya, atau anak-anak memiliki piutang karma terhadap orang tuanya dan mereka menagihnya dalam kehidupan yang sekarang ini. Dalam kisah kita yang pertama, suami-isteri tukang kayu itu berutang karma sangat banyak kepada si bungsu, terbukti dia adalah anak yang menguras harta orang tuanya hingga ludes. Sebaliknya si sulung meskipun sudah menagih karma, dengan menjadi anak keluarga itu, tetapi dia mampu pula membayar utang karma masa lalunya kepada mereka berdua.

 

Ikatan karma masa lalu antara manusia satu dengan manusia lainnya tidaklah sesederhana itu. Tali temali utang piutang karma yang terjadi pada masa kehidupan lalu amatlah banyak, sehingga meninggalkan hubungan yang kompleks. Kita mungkin pernah menyaksikan video pendek tentang ikatan karma masa lampau, seperti kisah seorang ayah yang amat mencintai anak perempuannya. Bisa saja anak perempuan itu dulu adalah kekasihnya, dan sekarang mereka bisa mengungkapkan dan menuntaskan rasa cinta mereka. Jadi jika kita menilai apakah teori ini benar, kita boleh percaya bahwa hukum karma itu benar adanya.

 

Hidup sebagai suami atau isteri, menjadi anak, atau menjadi orang tua, haruslah kita jalani selama hidup di dunia ini. Kepada mereka yang telah memiliki pasangan hidup, apa pun yang telah terjadi seyogianya dijalani dengan penuh tanggung jawab. Banyak suami atau isteri yang mengeluh dan kecewa bahwa setelah membina rumah tangga hingga belasan atau puluhan tahun, mereka mendapatkan pasangan hidup mereka tidak seperti yang diimpikan atau dicita-citakan, seperti yang mereka harapkan sewaktu masa pacaran dulu. Namun haruslah diingat prinsip Tiongkok kuno berikut ini: 无债不来, 無緣不緊 (Wú zhài bù lái, Wú yuán bù jǐn), yang maknanya 'tidak ada utang-piutang, tidak ada pula takdir-hubungan'. Jadi walaupun Anda merasa tidak puas, tetaplah utang atau piutang harus diselesaikan hingga lunas. Tidak perlu ada penyesalan, bersabarlah, dan tunaikan apa yang menjadi kewajiban Anda sekarang, hingga semuanya terbayar lunas. Kapan utang-piutang itu lunas? Umumnya setelah satu pihak sudah meninggal dunia, utang-piutang karma ikut lunas, karena jarang terjadi orang yang menjadi isteri atau suami Anda sekarang akan terus menjadi pasangan hidup Anda lagi di kehidupan yang akan datang.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/220601