Rabu, 23 Maret 2022

Legenda Miao Shan


 

Di masa lalu ada seorang raja yang bernama Miào-zhuāng wáng atau  妙庄王, yang berkuasa di Negeri Xing Lin, kira-kira pada akhir masa kekuasaan Dinasti Zhou pada abad ke-3 seb.M. Permaisurinya bernama Pao Ying. Dari perkawinan itu sang raja dikaruniai tiga orang puteri. Yang pertama bernama Miao Shu, yang kedua dipanggil Miao Yin, dan yang bungsu dinamakan Miào Shàn atau 妙善.

 

Pada malam saat sang puteri bungsu mulai dikandung oleh ibunya, sang permaisuri dalam tidurnya bermimpi, bahwa secara ganjil dia berhasil menelan sang rembulan. Ketika waktunya tiba bagi sang bayi untuk dilahirkan, bumi pun bergetar dengan lembutnya, bunga-bunga di seantero negeri bermekaran di saat yang berbarengan, dan kembang-kembang surgawi berjatuhan dari angkasa, menciptakan aroma harum semerbak di mana-mana. Orang-orang di negeri itu tercengang menyaksikan keajaiban yang terjadi dalam seketika. Saat bayi itu lahir ke dunia tubuhnya nampak bersih dan segar, walaupun dia belum sempat dimandikan. Sekujur badannya dilingkupi oleh awan-awan yang berwarna-warni. Orang-orang pintar dan bijaksana setelah menafsirkan tanda-tanda yang dibawa oleh sang bayi mengatakan, bahwa sang puteri tidak lain merupakan wujud-inkarnasi dari orang suci. Meskipun ayahnya menyaksikan anaknya yang baru lahir ini luar biasa, namun temperamen dan watak sang raja yang buruk, membuat dia enggan untuk mengakuinya.

 

Sang puteri bungsu pun hidup dalam keadaan berkecukupan dan berkemewahan di dalam istana ayahnya. Dia bertumbuh kembang dan beranjak dewasa laksana puteri raja yang cantik rupawan dan dimanjakan oleh kehidupan duniawi. Namun tidak seperti kebanyakan anak raja, sang puteri bungsu hanya mau mengenakan busana yang sederhana, dan dia pun hanya menyantap makanannya satu kali sehari. Sang puteri pun dikenal oleh rakyatnya sebagai wanita yang lembut, halus, dan penyayang. Di lingkungan istana dia dikenal sebagai "gadis berhati emas." Karena terbawa oleh aura dan perilakunya yang baik dan penyayang, para inang-pengasuhnya pun ikut terpengaruh. Semuanya memiliki moralitas yang tinggi dan sedikit demi sedikit mereka berlatih melepaskan diri dari berbagai keinginan duniawi.

 

Ketika sang puteri sudah melewati masa akil-balig, ayahnya sang raja bermaksud mencarikan seorang suami bagi Miao Shan. Namun secara halus dia menolak untuk dicarikan pasangan hidup, seraya berkata: "Kekayaan dan kehormatan tidak akan berlangsung untuk selamanya. Kemuliaan dan kemegahan ibarat gelembung sabun, terbentuk seketika dan kemudian lenyap. Segala kebesaran duniawi hanyalah ilusi belaka. Bahkan jika Yang Mulia memaksaku untuk melakukan pekerjaan kasar, aku tidak akan pernah berpaling dari tekadku untuk tetap menapaki kehidupan suci."

 

Ketika raja dan permaisuri memanggil Miao Shan keduanya mencoba untuk membujuknya, namun dia berkata: "Aku akan mematuhi perintah Yang Mulia jika hal itu dapat mencegah tiga kemalangan. Sang raja bertanya, "apa yang dimaksud dengan tiga kemalangan itu?" Miao Shan menyebutkan: "Yang pertama adalah kasus seperti ini: saat laki-laki masih berusia muda, wajahnya bundar seelok bulan-pualam, yang membuat langit malam menjadi cerah. Tetapi ketika lelaki itu beranjak menua, rambut mereka berubah menjadi putih, dan wajah mereka pun berkeriput dan berkerut-kerut. Sewaktu mereka bergerak atau beristirahat, dipandang dari segi mana pun, mereka lebih buruk ketimbang ketika mereka masih muda. Yang kedua adalah hal berikut ini: anggota tubuh seorang pria mungkin prima, bertenaga, dan bersemangat. Dia mungkin bergerak dengan lincah, seolah-olah dia sedang terbang di angkasa. Namun ketika tiba-tiba penyakit datang menghampirinya, dia hanya bisa berbaring di tempat tidurnya tanpa bisa mendapatkan kesenangan sedikit pun dalam hidup ini. Yang ketiga adalah kasus seperti ini: seorang pria memiliki banyak kerabat, mungkin dikelilingi oleh orang-orang terdekat dan tersayangnya, tetapi tiba-tiba suatu hari semuanya berakhir, dengan tibanya hari kematiannya. Meskipun ayahnya atau anaknya adalah kerabat dekatnya, dia tidak dapat meminta satu dari mereka untuk menggantikannya atau mewakilkannya menghadapi kematian. Jika Yang Mulia dapat mencegah tiga kemalangan ini, maka Paduka akan memenangkan persetujuanku untuk menikah. Jika tidak, aku lebih memilih pensiun untuk mengejar kehidupan religius. Ketika seseorang memperoleh pemahaman penuh tentang batin asali, semua kemalangan atas kemauannya sendiri tidak akan ada lagi.”

 

Mendengar kata-kata itu sang raja amat murka. Dia memaksa Miao Shan untuk bekerja di kebun serta mengurangi jatah makanan dan minumannya. Bahkan kedua kakak perempuannya membujuk dan merayunya agar dia berubah pikiran, tetapi Miao Shan memegang teguh pendiriannya dan tidak mau berkompromi barang sedikit pun juga. Ketika sang permaisuri secara pribadi mendekati dan menegurnya, Miao Shan berkata: "Dalam semua keterikatan dan kemelekatan emosional, di antara sesama saudara dan kerabat di dunia ini, tidak dikenal istilah pelepasan spiritual. Jika saudara atau pun kerabat dekat bersatu dalam hidup ini, suatu saat mereka pasti akan terpisah dan tercerai-berai pula. Bebaskanlah pikiran Ibunda dari beban ini. Beruntunglah, Yang Mulia masih memiliki dua anak perempuan, yang akan merawat Paduka di hari tua. Tidak usahlah mengkhawatirkan Miao Shan."

 

Sang permaisuri dan kedua saudara perempuan Miao Shan meminta sang raja untuk membebaskannya, agar dia bisa mengikuti keinginannya, namun sang raja menolak mentah-mentah. Raja bermaksud membuang puteri bungsunya ke sebuah biara di negeri itu. Dia memanggil para biarawati di Biara "Burung Pipit Putih", lalu dia memerintahkan agar Miao Shan diperlakukan secara keras dan kasar selama dia tinggal di kuil itu. Upaya itu dimaksudkan agar sang puteri akan berubah pikiran. Para biarawati diintimidasi agar Miao Shan setiap hari ditugaskan untuk menangani pekerjaan berat, seperti mengambil kayu dan air di hutan, bekerja dengan alu dan lesung, serta mengelola kebun dapur. Seolah tahu bahwa Miao Shan sengaja dibuat susah dalam menjalani hidupnya, alam pun tidak tinggal diam. Belum berapa lama dia tinggal di biara itu, tanaman sayur tumbuh dengan subur di pekarangan kuil, bahkan tumbuhan itu hidup selama musim dingin. Sebuah mata air tiba-tiba muncul dan mengalirkan air jernihnya di samping dapur biara.

 

Waktu pun berlalu dengan cepatnya namun Miao Shan masih tetap teguh menjalani hidupnya sesuai dengan aspirasinya. Ketika ayahnya mendengar kabar tentang keajaiban sayuran dan mata air, maka dipicu oleh kedengkian dan kebencian terhadap puteri bungsunya, dia menjadi sangat gusar. Dia lalu mengirimkan bala tentara serta memerintahkan mereka agar membawa kepala puterinya, sekaligus pula menghabisi para biarawati. Sungguh penguasa yang kejam, yang hendak menghukum orang-orang yang tidak bersalah! Saat pasukan itu mendekati kuil, sekonyong-konyong gumpalan awan dan kabut yang misterius tiba-tiba muncul, yang membuat semua yang ada di sana menjadi gelap. Ketika awan dan kabut itu lenyap dan pasukan itu menyerbu kuil, Miao Shan adalah satu-satunya orang yang tidak dapat mereka temukan. Kemana Miao Shan pergi? Dia ternyata telah diungsikan oleh sesosok roh ke sebuah tebing. Roh itu kemudian berkata: "Tanah di sini terlalu tandus untuk menopang kehidupan." Dia pun memindahkan Miao Shan hingga tiga kali, sebelum mereka mencapai Gunung Harum atau Xiāng Shān. Miao Shan selanjutnya memilih bertempat tinggal di sana, makan dari apa yang didapatnya di pepohonan, dan minum dari sungai jernih yang mengalir di gunung itu. Selama sembilan tahun Miao Shan bertapa di Gunung Harum untuk melatih berbagai keutamaan.

 

Waktu terus berlalu, dan raja lalim itu kini mendapat musibah. Dia terjangkit penyakit kuning yang membuat seluruh tubuhnya rusak dan bernanah, dan dia tidak bisa lagi tidur atau makan. Tidak ada tabib yang bisa menyembuhkannya. Ketika sang raja hampir mati seorang rahib datang menemuinya, mengatakan bahwa dia mampu menyembuhkannya hingga tuntas. Namun untuk bisa melakukannya sang rahib membutuhkan organ-lengan dan organ-mata dari seseorang yang telah bebas dari kemarahan. Raja menganggap syarat yang diminta mustahil untuk dipenuhi. Tetapi sang rahib berkata: “Di Gunung Harum, di daerah barat-daya dari wilayah yang dikuasai oleh Yang Mulia, ada seorang dewi welas-asih yang sedang mengembangkan praktik keagamaannya. Jika Paduka mengirim seorang utusan untuk menyampaikan permintaan kepadanya, Yang Mulia dapat mengandalkannya untuk mendapatkan bahan bagi pembuatan ramuan berharga itu.”

 

Sang raja tidak punya pilihan selain memerintahkan pasukan istana untuk pergi dan menyampaikan pesannya. Sesampainya di sana Miao Shan berkata: "Ayahku tidak menunjukkan rasa hormatnya pada Tiga Harta Karun, dan dia menganiaya Doktrin Sejati yang tertindas, tambahan lagi dia mengeksekusi para biarawati yang tidak bersalah. Ini menuntut pembalasan." Kemudian dia dengan senang hati memotong matanya dan lengannya, lalu menyerahkannya kepada utusan itu. Dia memberikan instruksi untuk disampaikan kepada sang raja, agar sang penguasa kembali kepada ajaran yang baik, dan tidak lagi tertipu oleh doktrin palsu. Ketika dua bagian-tubuh yang diminta itu diserahkan kepadanya, sang rahib kemudian mengolahnya menjadi ramuan obat. Sang raja meminumnya dan ajaib!!  Sedikit demi sedikit penyakit yang dideritanya berangsur-angsur lenyap. Dengan murah hati dia menghadiahi tabib-rahib itu emas dan perak. Tetapi rahib itu malah berkata: "Mengapa Paduka berterima kasih kepadaku? Yang Mulia seharusnya berterima kasih kepada orang yang menyediakan organ-lengan dan organ-mata itu." Setelah mengucapkan kata-kata itu sang rahib pergi begitu saja. Raja tersadar bahwa dia baru saja diselamatkan oleh pertolongan dewata. Selanjutnya dia memerintahkan seorang penunjuk jalan, agar membawanya beserta sang permaisuri dan dua puterinya ke Gunung Harum, untuk berterima kasih kepada sang dewi welas-asih itu.

 

Mereka akhirnya bertemu, dan sebelum kata-kata diucapkan, sang permaisuri sudah mengenalinya. Orang yang mereka cari tidak lain adalah Miao Shan. Mereka semua terperanjat, dan air mata membanjiri pipi empat orang itu. Miao Shan berkata: "Apakah Yang Mulia masih mengingat Miao Shan? Mengenang cinta ayahku, aku telah membalasnya dengan lengan dan mataku sendiri." Mendengar kata-katanya, raja dan permaisuri bermaksud memeluknya, dan keduanya menangis tersedu-sedu. Baru saja Permaisuri hendak menjamah wajah puteri bungsunya, namun alamak! Sebelum dia bisa melakukannya, awan keberuntungan segera menyelimuti Gunung Harum, musik surgawi terdengar dari atas langit, bumi berguncang, dan bunga-bunga menghujani mereka. Dan kemudian manifestasi suci dari Sang Dewi dengan Seribu Lengan dan Seribu Mata terungkap dengan jelas, dan dia melayang dengan anggunnya di tengah angkasa. Suara-suara yang menyuarakan welas-asih kembali bergema mengguncang gunung dan lembah. Lalu selang sekejap kemudian, Sang Dewi Welas-asih perlahan-lahan meninggalkan tempat itu. Raja, permaisuri, dan dua saudara perempuan dalam dukacita mereka berlutut dan menyembah sang dewi yang berangsur-angsur lenyap. Selanjutnya mereka membangun sebuah tempat pemujaan untuk mengenang jasa sang dewi welas-asih. Sebagai penghormatan kepada Miao Shan mereka semua mengikuti ajaran luhurnya, yang dijadikan panutan oleh sang puteri bungsu semasa hidupnya.

 

Legenda Puteri Miao Shan di atas menarik minat masyarakat sejak Zaman Kuno. “Gulungan Mestika Gunung Harum” atau "Xiāngshān bǎo juàn atau 香山寶卷", menceritakan bagaimana Puteri Miao Shan yang dipercaya orang sebagai manifestasi dari Bodhisattva Guanyin. Cerita Gulungan Mestika Gunung Harum bermuasal dari Biara Xiangshan (atau Xiāng Shānsì) atau 香山寺 di Rǔ zhōu ( 汝州). Kuil itu adalah tempat pemujaan Guanyin, dan kepala biara yang bernama Huái zhòu atau 懷晝 memberikan tulisan kisah Puteri Miao Shan pada pejabat kota Ruzhou yang bernama Jiǎngzhīqí atau 蔣之奇 (1031-1104), pada masa pemerintahan Dinasti Song Utara (960-1127). Dari situlah Legenda Guanyin sebagai puteri Miao Shan meluas dan menyebar hingga dikenal sampai sekarang. Jika kita merunut kisah itu sejak akhir masa pemerintahan Dinasti Zhou, sampai akhirnya dituliskan dalam manuskrip berbentuk gulungan kertas, diperlukan waktu sekitar 1.400 tahun. Tidak heran jika Anda membacanya dari sumber lain terdapat berbagai variasi dalam jalan ceritanya, walaupun kisah Miao Shan sebagai dewi welas-asih tetaplah serupa.

 

Jika benar bahwa Miao Shan adalah puteri seorang raja lokal di Tiongkok pada abad ke-3 seb.M., jelas pada masa ini agama Buddha belum masuk ke Tiongkok. Dengan demikian kepercayaan dan pemujaan terhadap dewi welas-asih jelas berasal dari agama asli orang Tionghoa itu sendiri. Di lain pihak narasi Guanyin sebagai sesosok bodhisattva, mencapai puncak popularitasnya di Asia Timur antara abad kedua-belas sampai abad kesembilan-belas. Pada saat itu muncul kepercayaan bahwa inkarnasi terakhir Sang Bodhisattva tidak lain Puteri Miao Shan. Hari lahir tanggal 19 bulan kedua, hari mendapatkan Sang Jalan tanggal 19 bulan keenam, dan hari memperoleh Kesempurnaan tanggal 19 bulan kesembilan, semuanya mengacu pada kalender Tionghoa, dirayakan oleh pengikutnya setiap tahun. Boleh dikatakan Guanyin merupakan sosok bodhisattva yang paling dikenal.

 

Membaca legenda Miao Shan, penulis pribadi memiliki pandangan tersendiri. Bukan saja sekali, tetapi dua sampai tiga kali Miao Shan menolak untuk menikah. Padahal sang raja tidak memiliki anak laki-laki dan dia memiliki kepentingan agar keturunannya kelak bisa meneruskan tahtanya. Miao Shan berdiri teguh melawan ayahnya dan lebih radikal lagi dia melawan konvensi, jadi Miao Shan ini seorang pemberontak. Apalagi sang puteri dibesarkan dalam kentalnya budaya berbakti terhadap orang tua dan leluhur, tradisi mana yang lebih dikenal sebagai atau Xiào atau hàu. Adalah hal yang melegakan pada akhirnya, bahwa Miao Shan benar dan menang. Dalam budaya patriarkhal yang kuat seperti yang dianut dalam masyarakat Tionghoa, adanya Guanyin sebagai sosok dewi welas asih yang dipuja secara luas tentu merupakan hal yang luar biasa.

 

Di penghujung hidupnya pada gunung yang disucikan, Miao Shan selama sembilan tahun bermeditasi, melantunkan mantram, memasuki keadaan mistik secara mendalam. Dia mengasah batin dan tubuhnya, mengembangkan kejernihan pikirannya, menumbuhkan kesadarannya atas saling-kebergantungannya dengan alam semesta, serta memupuk welas-asih tanpa dasar untuk semua makhluk. Seperti yang diceritakan dalam legenda itu, akhirnya dia menjelma menjadi Sang Avalokitesvara berlengan seribu, bermata seribu, bodhisattva yang maha welas-asih. Mendengar bahwa sang raja sangat menderita, dia cukup menawarkan sebuah lengan dan sebuah matanya untuk menyembuhkannya. Dan mengapa lengan dan mata? Sementara Miao Shan, dalam tubuh fisiknya, hanya memiliki dua lengan dan dua mata. Di sinilah misteri ini terungkap, bahwa bukan Miao Shan sebagai manusia fana yang melakukannya, melainkan Sang Bodhisattva Avalokitesvara yang menyerahkan salah satu dari seribu lengan dan seribu mata yang dimilikinya.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/220323 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar