Rabu, 09 Maret 2022

ABSURDITAS



Pada satu ketika, Sang Buddha sedang berdiam di kota Anupiya yang merupakan tempat bermukimnya suku Mallia. Pada saat yang sama banyak pangeran Sakya yang terkemuka telah meninggalkan kehidupan-berumah menuju kehidupan tanpa-rumah di bawah naungan Yang Terberkahi. Tetapi ada dua orang kakak beradik, Mahānāma dan Anuruddha, putera Sakya yang masih menjalani kehidupan sebagai keluarga raja. Anuruddha tumbuh dewasa dalam keadaan yang menyenangkan. Dia memiliki tiga istana, satu untuk musim panas, satu untuk musim hujan, dan satu untuk musim dingin. Selama empat bulan ia akan dihibur di dalam istana musim hujan oleh para penghibur yang tidak ada seorang lelaki pun diantara mereka, serta selama waktu itu ia tidak pernah beranjak ke istana yang letaknya lebih rendah.

 

Hal ini terjadi pada Mahānāma: "Sekarang banyak pangeran Sakya yang terkemuka telah meninggalkan kehidupan-berumah menuju kehidupan tanpa-rumah di bawah naungan Yang Terberkahi. Adalah baik jika aku pergi menuju kehidupan tanpa-rumah, atau barangkali Anuruddha?"

 

Kemudian ia pergi menemui Anuruddha dan menceritakan apa yang selama ini dipikirkannya. Anuruddha berkata: "Tetapi aku tumbuh dewasa dalam keadaan yang menyenangkan. Aku tidak dapat pergi meninggalkan kehidupan-berumah menuju kehidupan tanpa-rumah. Engkau saja yang sebaiknya pergi ke kehidupan tanpa-rumah."

 

"Ayolah, Anuruddha, aku akan mengajarkanmu kehidupan seorang perumah tangga. Sekarang sawah harus dibajak. Lalu bibit harus ditaburkan. Setelah itu air harus dialirkan ke dalamnya. Kemudian sawah harus dikeringkan. Selanjutnya sawah harus disiangi, lalu tanaman harus dipotong. Setelah itu tanaman harus dikumpulkan, lalu tanaman harus ditumpuk. Selanjutnya tanaman itu harus dirangket, lalu jeraminya disingkirkan. Kemudian gabah harus ditampi. Lalu gabah harus diayak, dan kemudian disimpan di luar. Sekarang ketika semuanya selesai dikerjakan, pekerjaan yang sama harus pula diulang untuk tahun depan, serta untuk tahun yang sesudahnya. Pekerjaan itu tidak akan pernah selesai. Tidak ada akhir dari pekerjaan itu."

 

"Lalu kapankah ada akhir dari pekerjaan itu? Kapan kita punya waktu luang untuk memuaskan lima untaian keinginan-keinginan inderawi yang kita bisa penuhi dan lengkapi dengannya?"

 

"Saudaraku sayang Anuruddha, pekerjaan itu tidak akan pernah selesai. Tidak ada akhir dari pekerjaan itu. Ayah kita dan kakek kita keduanya meninggal selagi mereka melakukan pekerjaan yang masih belum selesai. Jadi sekarang giliran bagimu untuk belajar tentang kehidupan berumah tangga. Aku akan pergi dari kehidupan-berumah ke kehidupan tanpa-rumah."

 

Dialog kakak beradik itu sengaja penulis ambil untuk kita renungkan lebih jauh. Kita petik kalimat di atas : "Sekarang ketika semuanya selesai dikerjakan, pekerjaan yang sama harus pula diulang untuk tahun depan, serta untuk tahun yang sesudahnya. Pekerjaan itu tidak akan pernah selesai. Tidak ada akhir dari pekerjaan itu." Apa itu pekerjaan yang tidak akan pernah selesai? Dalam contoh di atas pekerjaan itu adalah bertani, bercocok tanam, dengan menumbuhkan padi di sawah. Mulai dari membajak sawah sampai didapatkan gabah yang akan disimpan dalam lumbung, inilah yang dinamakan satu siklus bertani-padi, yang akan diulang pada musim atau tahun berikutnya. Kita bisa mengatakan kepada Pak Tani atau Bu Tani, seperti yang dikatakan oleh Mahānāma kepada saudaranya, bahwa pekerjaan itu tidak akan pernah selesai. Tetapi bukankah sebagian besar dari kita juga melakukan hal yang sama di kehidupan modern ini? Para karyawan mulai berangkat pagi hari ke kantor atau pabrik atau unit usaha, lalu di sana mereka disibukkan dengan berbagai pekerjaan yang itu-itu saja, hingga sore hari mereka pulang ke rumah dan beristirahat. Lalu esok hari pekerjaan itu diulangi kembali, dari hari Senin sampai Jumat atau Sabtu. Minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun; dan pekerjaan itu tidak pernah berakhir. Ayah kita dan kakek kita keduanya meninggal selagi mereka melakukan pekerjaan yang masih belum selesai.

 

Penulis ingin mengajak para pembaca untuk memahami dan mendalami gagasan yang dikemukakan oleh Mahānāma di atas. Adalah Albert Camus (7-Nov-1913 – 4-Jan-1960), seorang filsuf, penulis, dan wartawan berkebangsaan Perancis, yang mencetuskan filsafat absurdisme. Albert Camus (dibaca albɛʁ kamy) sendiri mendapat hadiah Nobel Kesusastraan pada tahun 1957 atas karya-karya tulisnya yang luar biasa. Salah satu bukunya yang akan kita bahas adalah Le Mythe de Sisyphe (1942), atau diindonesiakan sebagai Mitos Sisifus. Siapa gerangan Sisifus itu?

 

Sisifus adalah seorang tokoh dalam mitologi Yunani Kuno, seorang putera Raja Korintus atau Dewa Angin. Diceritakan bahwa Sisifus tidak lain seorang tokoh licik, tamak, dan jahat, yang menciptakan hal-hal yang mengerikan bagi rakyatnya. Tidak sampai di situ saja, Sisifus berkali-kali membangkang terhadap perintah para dewa, serta membuat dosa yang paling besar dengan membocorkan rahasia Dewa Zeus, raja para dewa. Mempertimbangkan bahwa Sisifus terlalu keji untuk disebut sebagai manusia, Dewa Zeus mencampakkan Sisifus dari bumi ini dan melemparkannya ke dunia bawah. Di kerak neraka Sisifus ditugaskan untuk mendorong sebuah batu besar menuju ke atas puncak bukit. Setelah sempat merasakan kelegaan dan kemenangan – karena batu besar itu telah sampai di puncak bukit – batu besar yang goyah di tempat barunya lalu menggelinding ke bawah. Sisifus pun turun kembali ke dasar neraka, mengulangi pekerjaannya mendorong batu besar yang serupa dengan yang sebelumnya, dan setelah sampai di puncak bukit, batu besar itu pun menggelinding kembali ke bawah.

 

Karena dikutuk oleh para dewa dan menuruti obsesinya sendiri, Sisifus bukan hanya mengulang pekerjaan yang tampaknya sia-sia itu dua atau tiga kali, tetapi selamanya. Mengerikan mendengar kisah Sisifus ini sesungguhnya, atau Anda para pembaca punya pendapat yang lain?

 

Sesungguhnya tiada hukuman yang lebih mengerikan daripada suatu "pekerjaan yang sia-sia dan tanpa harapan" (le travail inutile et sans espoir), demikianlah ujar Albert Camus dalam bukunya. Mendorong batu ke atas puncak bukit lalu menyaksikan batu yang sama kembali ke tempatnya semula, serta hal itu dilakukan berulang-ulang tanpa henti, inilah yang dinamakan sebagai "absurd". Dalam bahasa Indonesia pengertian "absurd" antara lain : konyol, yang bukan-bukan, tidak masuk akal, mustahil, lucu, menggelikan.

 

Lalu siapa itu Sisifus? Sisifus adalah kita-kita ini, termasuk saya. Penulis ingat masa sekolah atau saat menuntut ilmu. Bangun pagi-pagi, siap-siap sekolah atau kuliah sampai siang bahkan sore hari, belajar di rumah dan mengerjakan PR hingga malam hari. Selebihnya bermain dan bersosialisasi dengan teman-teman atau sekedar melepas lelah. Meskipun terkadang ada jeda libur panjang, tetapi kewajiban bersekolah tetap dilakukan paling sedikit tujuh-belas tahun lamanya. Setelah lulus kuliah dilanjutkan dengan mencari nafkah seperti yang diceritakan di atas. Jadi sejak masih balita kita sudah mendorong batu kita masing-masing, dan mengulanginya terus-menerus. Oleh karena itu kita sesungguhnya menanggung kutukan Sisifus selama kita hidup.

 

Sesuatu yang tidak dapat disangkal kita punya tujuan yang jelas, entah dalam jangka pendek atau jangka panjang, dan kita akan berjuang untuk mencapainya. Inilah yang dimaksud dengan mendorong batu besar ke puncak bukit. Kemudian setelah kita berhasil sampai di puncak, apa yang akan kita kerjakan? Meraih satu tujuan atau sasaran bukanlah satu akhir, walaupun kita merasa lega untuk sementara dan merasakan kemenangan. Setelah itu kita tidak akan berpangku tangan, karena sifat manusia yang tidak kenal puas. Kita akan memasang target yang lebih tinggi dan tujuan yang lebih jauh lagi. Jadi kita harus turun lagi ke dasar dan mulai mendorong batu yang lain lagi. Lalu setelah giliran batu ini selesai, apakah kita akan berdiam diri? Pasti tidak, dan kita akan mendorong batu yang lain lagi. Lagi dan lagi, hingga kita mati. Inilah yang namanya absurditas.

 

Manusia adalah Sisifus yang memiliki sendiri masing-masing batunya dan memiliki hasrat untuk mendorongnya ke puncak, sampai dia melihat sendiri bahwa batunya menggelinding ke bawah. Lalu mengapa masih ada hasrat untuk mendorongnya kembali ke puncak? Camus menjawab inilah ketidakbermaknaan hidup. Kesadaran bahwa hidup adalah sebuah perjalanan yang harus ditempuh, dan bahwa hidup sejatinya berjalan begitu adanya. Banyak orang menganggap absurdisme Camus terkesan sedih, tanpa harapan, tak-bermakna, dan pesimistis. Namun Camus menolak anggapan itu dengan menyatakan bahwa Sisifus itu sebetulnya bahagia. "Perjuangan menuju puncak itu sendiri, sudah cukup mengisi hati manusia. Orang harus membayangkan Sisifus itu bahagia." (La lutte elle-même vers les sommets suffit à remplir un coeur d’homme; il faut imaginer Sisyphe heureux.)  Jadi Sisifus senang mendorong batu. Memang dalam kenyataannya banyak orang di dunia ini senang mengejar pencapaian duniawi.

 

Mendorong batu adalah hobi Sisifus karena dia senang melakukannya, apakah berarti Sisifus berbahagia? Namun bagi beberapa dari kita pasti merasa lelah terjebak dalam kutukan yang tak-berkesudahan ini. Bukankah tumbuhan atau hewan hidup monoton dengan melakukan kegiatan berulangnya untuk bertumbuh-kembang, bertahan hidup, berkembang biak, dan melestarikan spesiesnya? Absurdisme Sisifus itulah cerminan sebenarnya hidup kita. Kutukan untuk selalu terobsesi mencapai sasaran yang tidak berkesudahan menjangkiti kita semua, dan mendorong batu terus-menerus adalah bentuk penyiksaan yang mengerikan, serta itulah hidup yang kita jalani.

 

“Bagi kebanyakan orang yang berpikir sekarang, tidak ada lagi pertanyaan untuk mendamaikan teologi dengan kenyataan. Namun, tidak banyak yang memiliki keberanian untuk menghadapi fakta dan mengatakan, dengan kaum Eksistensialis, bahwa 'alam semesta itu absurd, karena tidak ada alasan untuk keberadaannya – tidak ada Tuhan yang menciptakannya untuk menyatakan kemuliaanNya atau berfungsi sebagai tempat tinggal – tempat untuk makhluknya – dan karena tidak ada sesuatu pun di dalamnya yang memiliki fungsi khusus untuk dipenuhi. Manusia tidak memiliki takdir atau posisi istimewa, dan bahkan kesadaran, yang ia miliki tentang dirinya sendiri, tidak dapat menyelamatkannya dari absurditas universal semua makhluk ciptaan.' " (Jean-Paul Sartre: A Literary and Political Study, by Philip Thody, 1960)

 

 

Sebelum menutup tulisan ini Penulis ingin menyitir sebuah lagu yang dinyanyikan oleh Andy Lau. Judul lagu yang populer dan liriknya enak didengar berjudul 今生要回家 atau Jīnshēng yào huí jiā. Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai : "Aku ingin pulang dalam hidup ini." Selanjutnya dengan lirik yang sama persis, syair lagu ini diubah menjadi "Sukacita Melafal Amituofo", yang isinya :

 

"Anak-anakku tidak patuh,

Stres menghadapi pekerjaan;

Tidak terhindar kita dari saling-mengelabui dan saling-curiga,

Tidak jelas pula mana yang benar dan yang salah.

 

Marilah menyedu seteko teh,

Lepaskanlah segala beban pikiran;

Dengarkan wejangan guru dengan saksama,

Berhasil dan gagal, untung dan rugi, biarkan saja apa adanya.

 

Buddha Amitabha memanggilku,

Kehidupan manusia singkat dan penuh derita;

Janganlah engkau menyia-nyiakan waktu.

 

Segala sesuatu yang tidak-kekal dan berubah-ubah,

Mesti diikhlaskan dan dilepaskan:

Hati yang suci memekarkan Bunga Teratai,

Ternyata mencerahkan diri sendiri juga mencerahkan orang lain.

 

Tumimbal lahir sungguh mengerikan,

Pada masa kehidupan ini mesti pulang ke Alam Sukhavati;

Mari bersama melafal Amituofo,

Kampung halamanku yang bahagia indah sempurna."

 

 

Jika hidup ini tidak memuaskan, jika hidup ini absurd; mengapa tidak kita ikuti nasihat Mahānāma kepada Anuruddha, untuk pergi meninggalkan hidup-berumah ke kehidupan tanpa-rumah? Lalu bukankah Buddha Amitabha telah memanggil agar kita segera pulang? Kemana? Ya, ke Surga Sukhavati, kampung halaman kita yang bahagia, indah, dan sempurna.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/220309 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar