Pada satu ketika, Sang Buddha sedang berdiam di kota Anupiya yang
merupakan tempat bermukimnya suku Mallia. Pada saat yang sama banyak pangeran
Sakya yang terkemuka telah meninggalkan kehidupan-berumah menuju kehidupan
tanpa-rumah di bawah naungan Yang Terberkahi. Tetapi ada dua orang kakak
beradik, Mahānāma dan Anuruddha, putera Sakya yang masih menjalani kehidupan
sebagai keluarga raja. Anuruddha tumbuh dewasa dalam keadaan yang menyenangkan.
Dia memiliki tiga istana, satu untuk musim panas, satu untuk musim hujan, dan
satu untuk musim dingin. Selama empat bulan ia akan dihibur di dalam istana
musim hujan oleh para penghibur yang tidak ada seorang lelaki pun diantara
mereka, serta selama waktu itu ia tidak pernah beranjak ke istana yang letaknya
lebih rendah.
Hal ini terjadi pada Mahānāma: "Sekarang banyak pangeran Sakya yang terkemuka telah
meninggalkan kehidupan-berumah menuju kehidupan tanpa-rumah di bawah naungan
Yang Terberkahi. Adalah baik jika aku pergi menuju kehidupan tanpa-rumah, atau
barangkali Anuruddha?"
Kemudian ia pergi menemui Anuruddha dan menceritakan apa yang
selama ini dipikirkannya. Anuruddha berkata: "Tetapi aku tumbuh dewasa
dalam keadaan yang menyenangkan. Aku tidak dapat pergi meninggalkan
kehidupan-berumah menuju kehidupan tanpa-rumah. Engkau saja yang sebaiknya
pergi ke kehidupan tanpa-rumah."
"Ayolah, Anuruddha, aku akan mengajarkanmu kehidupan seorang
perumah tangga. Sekarang sawah harus dibajak. Lalu bibit harus ditaburkan.
Setelah itu air harus dialirkan ke dalamnya. Kemudian sawah harus dikeringkan.
Selanjutnya sawah harus disiangi, lalu tanaman harus dipotong. Setelah itu
tanaman harus dikumpulkan, lalu tanaman harus ditumpuk. Selanjutnya tanaman itu
harus dirangket, lalu jeraminya disingkirkan. Kemudian gabah harus ditampi.
Lalu gabah harus diayak, dan kemudian disimpan di luar. Sekarang ketika
semuanya selesai dikerjakan, pekerjaan yang sama harus pula diulang untuk tahun
depan, serta untuk tahun yang sesudahnya. Pekerjaan itu tidak akan pernah
selesai. Tidak ada akhir dari pekerjaan itu."
"Lalu kapankah ada akhir dari pekerjaan itu? Kapan kita punya
waktu luang untuk memuaskan lima untaian keinginan-keinginan inderawi yang kita
bisa penuhi dan lengkapi dengannya?"
"Saudaraku sayang Anuruddha, pekerjaan itu tidak akan pernah
selesai. Tidak ada akhir dari pekerjaan itu. Ayah kita dan kakek kita keduanya
meninggal selagi mereka melakukan pekerjaan yang masih belum selesai. Jadi
sekarang giliran bagimu untuk belajar tentang kehidupan berumah tangga. Aku
akan pergi dari kehidupan-berumah ke kehidupan tanpa-rumah."
Dialog kakak beradik itu sengaja penulis ambil untuk kita
renungkan lebih jauh. Kita petik kalimat di atas : "Sekarang ketika
semuanya selesai dikerjakan, pekerjaan yang sama harus pula diulang untuk tahun
depan, serta untuk tahun yang sesudahnya. Pekerjaan itu tidak akan pernah
selesai. Tidak ada akhir dari pekerjaan itu." Apa itu pekerjaan yang tidak
akan pernah selesai? Dalam contoh di atas pekerjaan itu adalah bertani,
bercocok tanam, dengan menumbuhkan padi di sawah. Mulai dari membajak sawah sampai
didapatkan gabah yang akan disimpan dalam lumbung, inilah yang dinamakan satu
siklus bertani-padi, yang akan diulang pada musim atau tahun berikutnya. Kita
bisa mengatakan kepada Pak Tani atau Bu Tani, seperti yang dikatakan oleh
Mahānāma kepada saudaranya, bahwa pekerjaan itu tidak akan pernah selesai.
Tetapi bukankah sebagian besar dari kita juga melakukan hal yang sama di
kehidupan modern ini? Para karyawan mulai berangkat pagi hari ke kantor atau
pabrik atau unit usaha, lalu di sana mereka disibukkan dengan berbagai
pekerjaan yang itu-itu saja, hingga sore hari mereka pulang ke rumah dan
beristirahat. Lalu esok hari pekerjaan itu diulangi kembali, dari hari Senin
sampai Jumat atau Sabtu. Minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, dan
tahun berganti tahun; dan pekerjaan itu tidak pernah berakhir. Ayah kita dan
kakek kita keduanya meninggal selagi mereka melakukan pekerjaan yang masih
belum selesai.
Penulis ingin mengajak para pembaca untuk memahami dan mendalami
gagasan yang dikemukakan oleh Mahānāma di atas. Adalah Albert Camus (7-Nov-1913
– 4-Jan-1960), seorang filsuf, penulis, dan wartawan berkebangsaan Perancis,
yang mencetuskan filsafat absurdisme. Albert Camus (dibaca : albɛʁ kamy) sendiri mendapat hadiah Nobel Kesusastraan pada tahun 1957 atas
karya-karya tulisnya yang luar biasa. Salah satu bukunya yang akan kita bahas
adalah Le Mythe de Sisyphe (1942), atau diindonesiakan sebagai Mitos
Sisifus. Siapa gerangan Sisifus itu?
Sisifus adalah seorang tokoh dalam mitologi Yunani Kuno, seorang
putera Raja Korintus atau Dewa Angin. Diceritakan bahwa Sisifus tidak lain
seorang tokoh licik, tamak, dan jahat, yang menciptakan hal-hal yang mengerikan
bagi rakyatnya. Tidak sampai di situ saja, Sisifus berkali-kali membangkang
terhadap perintah para dewa, serta membuat dosa yang paling besar dengan
membocorkan rahasia Dewa Zeus, raja para dewa. Mempertimbangkan bahwa Sisifus
terlalu keji untuk disebut sebagai manusia, Dewa Zeus mencampakkan Sisifus dari
bumi ini dan melemparkannya ke dunia bawah. Di kerak neraka Sisifus ditugaskan
untuk mendorong sebuah batu besar menuju ke atas puncak bukit. Setelah sempat
merasakan kelegaan dan kemenangan – karena batu besar itu telah sampai di
puncak bukit – batu besar yang goyah di tempat barunya lalu menggelinding ke
bawah. Sisifus pun turun kembali ke dasar neraka, mengulangi pekerjaannya
mendorong batu besar yang serupa dengan yang sebelumnya, dan setelah sampai di
puncak bukit, batu besar itu pun menggelinding kembali ke bawah.
Karena dikutuk oleh para dewa dan menuruti obsesinya sendiri,
Sisifus bukan hanya mengulang pekerjaan yang tampaknya sia-sia itu dua atau
tiga kali, tetapi selamanya. Mengerikan mendengar kisah Sisifus ini sesungguhnya,
atau Anda para pembaca punya pendapat yang lain?
Sesungguhnya tiada hukuman yang lebih mengerikan daripada suatu
"pekerjaan yang sia-sia dan tanpa harapan" (le travail inutile et sans espoir), demikianlah ujar Albert Camus
dalam bukunya. Mendorong batu ke atas puncak bukit lalu menyaksikan batu yang
sama kembali ke tempatnya semula, serta hal itu dilakukan berulang-ulang tanpa
henti, inilah yang dinamakan sebagai "absurd". Dalam bahasa Indonesia
pengertian "absurd" antara lain : konyol, yang bukan-bukan, tidak
masuk akal, mustahil, lucu, menggelikan.
Lalu siapa itu Sisifus? Sisifus adalah kita-kita ini, termasuk
saya. Penulis ingat masa sekolah atau saat menuntut ilmu. Bangun pagi-pagi,
siap-siap sekolah atau kuliah sampai siang bahkan sore hari, belajar di rumah
dan mengerjakan PR hingga malam hari. Selebihnya bermain dan bersosialisasi
dengan teman-teman atau sekedar melepas lelah. Meskipun terkadang ada jeda
libur panjang, tetapi kewajiban bersekolah tetap dilakukan paling sedikit
tujuh-belas tahun lamanya. Setelah lulus kuliah dilanjutkan dengan mencari
nafkah seperti yang diceritakan di atas. Jadi sejak masih balita kita sudah
mendorong batu kita masing-masing, dan mengulanginya terus-menerus. Oleh karena
itu kita sesungguhnya menanggung kutukan Sisifus selama kita hidup.
Sesuatu yang tidak dapat disangkal kita punya tujuan yang jelas,
entah dalam jangka pendek atau jangka panjang, dan kita akan berjuang untuk
mencapainya. Inilah yang dimaksud dengan mendorong batu besar ke puncak bukit.
Kemudian setelah kita berhasil sampai di puncak, apa yang akan kita kerjakan?
Meraih satu tujuan atau sasaran bukanlah satu akhir, walaupun kita merasa lega
untuk sementara dan merasakan kemenangan. Setelah itu kita tidak akan berpangku
tangan, karena sifat manusia yang tidak kenal puas. Kita akan memasang target
yang lebih tinggi dan tujuan yang lebih jauh lagi. Jadi kita harus turun lagi
ke dasar dan mulai mendorong batu yang lain lagi. Lalu setelah giliran batu ini
selesai, apakah kita akan berdiam diri? Pasti tidak, dan kita akan mendorong
batu yang lain lagi. Lagi dan lagi, hingga kita mati. Inilah yang namanya
absurditas.
Manusia adalah Sisifus yang memiliki sendiri masing-masing batunya
dan memiliki hasrat untuk mendorongnya ke puncak, sampai dia melihat sendiri
bahwa batunya menggelinding ke bawah. Lalu mengapa masih ada hasrat untuk
mendorongnya kembali ke puncak? Camus menjawab inilah ketidakbermaknaan hidup.
Kesadaran bahwa hidup adalah sebuah perjalanan yang harus ditempuh, dan bahwa
hidup sejatinya berjalan begitu adanya. Banyak orang menganggap absurdisme
Camus terkesan sedih, tanpa harapan, tak-bermakna, dan pesimistis. Namun Camus
menolak anggapan itu dengan menyatakan bahwa Sisifus itu sebetulnya bahagia.
"Perjuangan menuju puncak itu sendiri, sudah cukup mengisi hati manusia.
Orang harus membayangkan Sisifus itu bahagia." (La lutte elle-même vers les sommets suffit à remplir un coeur d’homme;
il faut imaginer Sisyphe heureux.) Jadi Sisifus senang mendorong batu. Memang
dalam kenyataannya banyak orang di dunia ini senang mengejar pencapaian
duniawi.
Mendorong batu adalah hobi Sisifus karena dia senang melakukannya,
apakah berarti Sisifus berbahagia? Namun bagi beberapa dari kita pasti merasa
lelah terjebak dalam kutukan yang tak-berkesudahan ini. Bukankah tumbuhan atau
hewan hidup monoton dengan melakukan kegiatan berulangnya untuk bertumbuh-kembang,
bertahan hidup, berkembang biak, dan melestarikan spesiesnya? Absurdisme
Sisifus itulah cerminan sebenarnya hidup kita. Kutukan untuk selalu terobsesi
mencapai sasaran yang tidak berkesudahan menjangkiti kita semua, dan mendorong
batu terus-menerus adalah bentuk penyiksaan yang mengerikan, serta itulah hidup
yang kita jalani.
“Bagi
kebanyakan orang yang berpikir sekarang, tidak ada lagi pertanyaan untuk
mendamaikan teologi dengan kenyataan. Namun,
tidak banyak yang memiliki keberanian untuk menghadapi fakta dan mengatakan,
dengan kaum Eksistensialis, bahwa 'alam
semesta itu absurd, karena tidak ada alasan untuk keberadaannya – tidak ada
Tuhan yang menciptakannya untuk menyatakan kemuliaanNya atau berfungsi sebagai
tempat tinggal – tempat
untuk makhluknya – dan karena tidak ada sesuatu pun di dalamnya yang memiliki
fungsi khusus untuk dipenuhi. Manusia tidak
memiliki takdir atau posisi istimewa, dan bahkan kesadaran, yang ia miliki
tentang dirinya sendiri, tidak dapat menyelamatkannya dari absurditas universal
semua makhluk ciptaan.' " (Jean-Paul
Sartre: A Literary and Political Study,
by Philip Thody, 1960)
Sebelum menutup tulisan ini Penulis ingin menyitir sebuah lagu yang
dinyanyikan oleh Andy Lau. Judul lagu yang populer dan liriknya enak didengar
berjudul 今生要回家 atau Jīnshēng yào huí jiā.
Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai : "Aku ingin pulang dalam
hidup ini." Selanjutnya dengan lirik yang sama persis, syair lagu ini
diubah menjadi "Sukacita Melafal Amituofo", yang isinya :
"Anak-anakku tidak patuh,
Stres
menghadapi pekerjaan;
Tidak
terhindar kita dari saling-mengelabui dan saling-curiga,
Tidak
jelas pula mana yang benar dan yang salah.
Marilah
menyedu seteko teh,
Lepaskanlah
segala beban pikiran;
Dengarkan
wejangan guru dengan saksama,
Berhasil
dan gagal, untung dan rugi, biarkan saja apa adanya.
Buddha
Amitabha memanggilku,
Kehidupan
manusia singkat dan penuh derita;
Janganlah
engkau menyia-nyiakan waktu.
Segala
sesuatu yang tidak-kekal dan berubah-ubah,
Mesti
diikhlaskan dan dilepaskan:
Hati
yang suci memekarkan Bunga Teratai,
Ternyata
mencerahkan diri sendiri juga mencerahkan orang lain.
Tumimbal
lahir sungguh mengerikan,
Pada
masa kehidupan ini mesti pulang ke Alam Sukhavati;
Mari
bersama melafal Amituofo,
Kampung
halamanku yang bahagia indah sempurna."
Jika
hidup ini tidak memuaskan, jika hidup ini absurd; mengapa tidak kita ikuti
nasihat Mahānāma kepada Anuruddha, untuk pergi meninggalkan hidup-berumah ke
kehidupan tanpa-rumah? Lalu bukankah Buddha Amitabha telah memanggil agar kita
segera pulang? Kemana? Ya, ke Surga Sukhavati, kampung
halaman kita yang bahagia, indah, dan sempurna.
sdjn/dharmaprimapustaka/220309
Tidak ada komentar:
Posting Komentar