Rabu, 23 Februari 2022

JAYAPRANA DAN LAYONSARI


 

Pada zaman dahulu kala di sebelah utara Pulau Bali ada sebuah kerajaan kecil yang dinamakan Kerajaan Wanekeling Kalianget. Di sana hiduplah satu keluarga sederhana, terdiri dari suami istri serta tiga anaknya, dua laki-laki dan satu perempuan. Ketika wabah penyakit menyerang kerajaan itu banyak orang tewas, baik dari kalangan kerajaan maupun rakyat jelata. Keluarga itu pun tidak luput dari keganasan wabah, dengan empat orang meninggal dalam tempo singkat dan hanya menyisakan satu orang yang selamat, yakni I Nyoman Jayaprana, si anak bungsu.

 

Raja Kalianget juga merasakan duka yang mendalam atas banyaknya warga yang meninggal, sehingga Raja memutuskan untuk mengunjungi rakyatnya. Sewaktu menjenguk mereka yang tertimba musibah, pandangan Raja tertuju pada Jayaprana yang tengah menangisi kematian kedua orang tua dan kedua saudaranya. Raja merasa iba dan setelah dibujuk olehnya, Jayaprana pun dibawanya pulang ke istana. Karena hidup sebatang kara, Jayaprana memohon agar dapat mengabdikan dirinya pada kerajaan, yang mana permintaan itu disetujui oleh Sang Raja. Meski sudah bekerja di istana, Jayaprana tetap tinggal di rumah peninggalan orang tuanya. Dia seorang abdi yang baik dan sangat rajin. Pagi-pagi sekali dia sudah berangkat ke istana untuk menjalankan tugas-tugasnya, sehingga tidak mengherankan jika dia menjadi abdi kesayangan sang raja.

 

Jayaprana tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan. Dirinya pun menjadi idola dayang-dayang istana. Suatu ketika, Raja Kalianget pun menitahkan Jayaprana untuk memilih seorang di antaranya untuk dijadikan istri. Namun, rupanya Jayaprana lebih memilih untuk mencari calon istri dari luar istana. "Ampun, Baginda. Hamba bukan bermaksud menolak titah Baginda. Hamba ingin menikah, tapi bukan dengan dayang-dayang istana. Jika diperkenankan, izinkanlah hamba mencari calon istri di luar istana ini," kata Jayaprana. "Baiklah Jayaprana, jika itu yang menjadi keinginanmu. Aku pun tidak akan menghalangimu engkau memilih calon istri yang sesuai dengan pilihan hatimu," jawab Raja Kalianget.

Satu hari ketika Jayaprana berjalan-jalan ke pasar di dekat istana, dia melihat para gadis berlalu-lalang di sana. Sekonyong-konyong matanya terpukau pada seorang gadis jelita, yang sedang membantu orang tuanya menjual bunga. Gadis itu mengenakan pakaian yang sederhana dan dia sedang sibuk melayani para pembeli. Dia memiliki paras cantik serta senyum yang manis mempesona. Keelokan gadis itu benar-benar memikat hati Jayaprana. Pandangannya terus diarahkan kepadanya, sementara si gadis cantik yang merasa terus diperhatikan tiba-tiba mengalihkan pandangannya kepada Jayaprana. Sepasang mata pun beradu-pandang seakan saling menyapa dan saling bicara. Walaupun tak ada kata-kata yang terungkap, keduanya berbicara dengan bahasa cinta. Maka ketika Jayaprana melemparkan senyum kepada gadis itu, sang dara pun membalas dengan senyuman manis. Dalam kisaran waktu yang pendek itu, gayung bersambut dan kata pun berjawab. Sang gadis merasa jengah, dan setelah meminta izin dari orang tuanya, dia pun menghilang dari pandangan Jayaprana.

 

Jayaprana segera mencari informasi perihal gadis itu kepada orang-orang di sekitarnya. Gadis itu ternyata bernama Ni Komang Layonsari, puteri Jero Bendesa dari Banjar Sekar. Jayaprana selanjutnya melaporkan kepada Sang Raja bahwa dia telah mendapatkan tambatan hatinya. Mendengar kabar itu, Raja Kalianget pun segera menulis sepucuk surat kepada Jero Bendesa. "Besok pagi-pagi kamu antar surat ini ke rumah orang tua gadis itu," titah Sang Raja. Setelah Jero Bendesa menerima surat lamaran itu, dia kemudian bertanya kepada puterinya. "Bagaimana puteriku, apakah kamu bersedia menikah dengan Jayaprana?" Layonsari hanya tersenyum malu-malu. Walaupun tak terucap sepatah kata dari mulut sang gadis pujaan, namun Jayaprana memahami cintanya tidak bertepuk sebelah tangan.

 

Setelah itu, Jayaprana memohon diri kembali ke istana untuk menyampaikan berita gembira itu kepada Raja Kalianget. Setelah meminta nasihat dari pandita dan penasihatnya, Raja mengumumkan pada segenap hadirin bahwa pada hari Selasa-Legi Wuku Kuningan, sang raja akan menyelenggarakan upacara perkawinan Jayaprana dengan Layonsari. Raja pun memerintahkan kepada segenap perbekel, agar mereka menyiapkan perlengkapan pernikahan yakni untuk upacara dan dekorasinya. Menjelang hari perkawinan semua persiapan sudah selesai dikerjakan secara gotong royong. Di depan gerbang sudah berdiri angkul-angkul yang siap menerima kedatangan tamu, disertai dua buah penjor di kiri-kanannya. Setiap tiang bangunan sudah diselimuti oleh kain-poleng, dan sepasang tedung (payung) yang terbuat dari kain yang elok pun sudah terpasang di kiri kanan pelaminan. Gebogan yang merupakan sesaji berisi aneka buah-buahan pun sudah disiapkan sebagai pelengkap upacara.

 

Saat hari pesta perkawinan itu tiba, Jayaprana bersama para punggawa istana, abdi dalem, dan warga sedesanya menuju ke rumah Jero Bendesa untuk menjemput mempelai perempuan. Setelah melalui berbagai macam upacara di rumah itu, kedua pengantin kemudian diangkut ke istana dengan menggunakan joli. Ketika rombongan pengantin itu tiba di depan istana, kedua mempelai turun dari atas joli untuk memohon doa restu dari Raja Kalianget. Saat kedua mempelai memberi hormat di hadapannya, sang raja hanya membisu. Ia terpana dan terperanjat melihat kecantikan Layonsari.

 

Setelah pesta perkawinan usai dan hingga beberapa lama kemudian, Sri Baginda Paduka Wanekeling Kalianget, lebih banyak berdiam diri dan tidak ingin menerima orang yang ada di sekitarnya. Dia merasa serba salah, makan pun tak enak, tidur pun tak nyenyak. Masih terbayang dengan jelas di hadapannya pasangan Jayaprana dan Layonsari. Yang laki-laki sangat gagah dan tampan dan yang perempuan begitu molek dan amat jelita. "Sungguh keduanya merupakan perwujudan Dewa Semarajaya dan Dewi Semararatih yang baru turun dari kahyangan ke bumi. Betapa bodoh dan teledornya aku! Sang bidadari dari Banjar Sekar, yang hanya sepelemparan batu dari istanaku, selama ini luput dari pengamatanku." Ya, tanpa bisa disembunyikan lagi ternyata sang raja sudah jatuh cinta kepada Layonsari. Demikianlah ketika rasa iri dan dengki sang raja berkelebat sehingga mengaburkan hati dan pikirannya, disusul keinginannya untuk memiliki isteri dari abdinya sendiri!

 

Kemudian sang raja memanggil orang-orang kepercayaannya untuk berembuk. Rasa cintanya pada Layonsari mengalahkan akal sehatnya, padahal sebelumnya dia dikenal sebagai tokoh yang bijaksana. Tanpa malu-malu lagi dia berkata, "jika Layonsari tidak segera menjadi permaisuriku, maka aku akan menjadi gila." Patih yang bernama I Saunggaling memberikan saran, agar raja menitahkan Jayaprana pergi ke Celuk Terima untuk menyelidiki insiden perahu yang hancur, dan kasus orang-orang Bajo yang berburu hewan di Kawasan Pengulan. Rencana ini sebetulnya merupakan siasat untuk menghabisi nyawa Jayaprana, tanpa sepengetahuan orang lain termasuk Layonsari.

 

Setelah mempersiapkan rencana jahat itu hingga matang, beberapa hari kemudian sang raja memanggil Jayaprana agar menghadap ke paseban. Jayaprana pun segera menghadap raja yang teramat dihormatinya. "Ampun, Baginda. Ada apa gerangan hamba diminta untuk menghadap?" tanya Jayaprana. "Ada tugas penting untukmu. Besok pagi engkau didampingi oleh Patih Saunggaling dan sepasukan prajurit, harus berangkat ke Celuk Terima untuk menyelidiki perahu yang kandas, serta mengatasi kekacauan-kekacauan yang terjadi di sana," titah sang raja.

 

Tanpa merasa curiga sedikit pun, sesampainya di rumah Jayaprana menceritakan perintah yang diberikan oleh sang raja. Mendengar kabar itu, Layonsari dengan penuh rasa khawatir berkata kepada suaminya,  "Memang sri baginda raja telah memerintahkan, kakanda harus berangkat untuk menumpas gerombolan pengacau di wilayah yang jauh, namun hati kecilku berkata lain. Adinda tadi malam bermimpi rumah kita dihanyutkan oleh banjir besar dan kita berdua terbawa air bah. Bisakah kakanda Jayaprana membatalkan saja keberangkatan ke Celuk Terima? Bukankah mimpi itu pertanda bahwa kita berdua akan terkena marabahaya?" Sambil sesenggukan menahan tangisnya Layonsari menambahkan: "Tadi sore adinda melihat dan mendengar burung gagak tua berkaok-kaok dekat rumah kita; dan anjing melolong bagaikan melihat ada sesuatu yang seram dimana-mana. Mungkinkah anak buah Dewa Yama sedang mengintai sasarannya. Akankah mereka mencabut nyawa kita berdua?"

 

Jayaprana tersenyum membesarkan hati istrinya Layonsari, "Adinda, kanda tidak takut pada kematian. Kehidupan ini selalu diikuti oleh kematian. Hidup dan mati pun berada di tangan Sang Hyang Widhi Wasa. Seandainya kakanda gugur dalam menjalankan tugas negara, percayalah sukma kita berdua akan bersatu kembali di kehidupan yang akan datang."

 

Pagi harinya Jayaprana pun berangkat ke Celuk Terima, meninggalkan istrinya yang sedang bersedih. Sepanjang perjalanan Jayaprana merasakan firasat yang tidak beres, perasaannya mengatakan bahwa dia akan dibinasakan tapi dia malahan bersikap acuh tak acuh. Sesampainya di tengah hutan Patih Saunggaling dengan sedih dan berat hati menyerahkan sepucuk surat dari sang raja kepada Jayaprana. Surat itu bertuliskan: "Hai engkau Jayaprana; Manusia tidak tahu membalas budi; Berjalanlah engkau ke hutan; Aku menyuruh membunuh engkau; Dosamu sangat besar; Kau melampaui tingkah raja; Istrimu sungguh milik orang besar; Kuambil kujadikan istri raja; Serahkanlah jiwamu sekarang; Janganlah engkau melawan; Layonsari jangan kau kenang; Kuperistri hingga akhir zaman."

 

Jayaprana menangis sesenggukan membaca surat tersebut, lalu dia berkata, "lakukanlah Patih, jika ini memang titah Raja. Hamba siap dicabut nyawanya demi kepentingannya. Dahulu Raja yang merawat dan membesarkan hamba; kini dia pula yang ingin mencabut nyawa hamba." Setelah itu Patih Saunggaling mencabut keris yang berada di pinggangnya, menghunus senjata itu, dan menusukkannya ke ulu hati Jayaprana. Jayaprana pun tewas dengan tubuh bersimbah darah.

 

Jayaprana boleh mati berkalang tanah, tetapi alam pun menangisi kepergiannya. Jasadnya mengeluarkan aroma harum semerbak, dan pohon-pohon di hutan itu pun menggugurkan bunga-bunganya seolah-olah menyatakan rasa dukacita mereka. Para prajurit yang ikut dalam rombongan itu terpana menyaksikan Jayaprana, sahabat setia mereka telah tewas mengenaskan dengan sebuah keris tertancap di tubuhnya. Setelah itu Patih Saunggaling memerintahkan mereka untuk menguburkan jenazah Jayaprana di tempat itu juga. Kemudian di tengah situasi yang mencekam itu, mereka semua diperintahkan untuk kembali ke istana. Mereka berpandangan satu sama lain namun tidak berani berkata sepatah pun; bukankah kepergian mereka semula itu hendak menumpas pemberontakan?

 

Rombongan itu pun segera meninggalkan tempat itu dengan hati sedih dan diliputi rasa penasaran. Ada apa gerangan di balik pembunuhan Jayaprana oleh pimpinan mereka sendiri? Mereka sadar ada kejahatan yang hendak ditutup-tutupi. Seperti yang dikatakan oleh Hyang Buddha, 'Jika manusia berbuat jahat, maka benda langit pun akan melenceng dari orbitnya.' Alam pun murka. Tidak berapa jauh dari tempat itu, seekor harimau putih menerkam Patih Saunggaling dan meninggalkan tubuhnya yang sudah tercabik-cabik. Sang patih pun tewas mengenaskan. Selama kepulangan rombongan itu ada saja kejadian yang menghambat perjalanan mereka. Dua orang mati dipagut ular berbisa, sebagian lagi hanyut terbawa arus sungai, beberapa orang keracunan makanan, dan sebagian lagi tersesat tidak kembali lagi. Dari dua-puluh-empat orang yang turut serta dalam rombongan semula, hanya tersisa tujuh orang yang berhasil selamat.

 

Rombongan yang tersisa pun bergegas ke istana. Namun sebelum sampai ke sana satu di antara mereka kesurupan. Dalam keadaan setengah sadar, orang ini membuka kisah duka Jayaprana. Warga pun gempar mendengar kisah pembunuhan ini, sekaligus mengutuk kebejatan yang dilakukan oleh sang penguasa negeri. Berita duka itu pun sampai ke telinga Layonsari, dan dia pun menangis sejadi-jadinya. Apa yang pernah dikhawatirkan ternyata benar-benar terjadi. Alangkah malangnya sang pengantin baru ini!

 

Setelah menerima kabar tentang kematian Jayaprana dan Saunggaling, keesokan harinya, Raja Kalianget memerintahkan agar Layonsari diundang ke istana. Di hadapan isteri abdinya itu, dia berpura-pura sedih atas kematian Jayaprana. Setelah itu raja mencoba merayu agar Layonsari bersedia menjadi permaisurinya. Namun, Layonsari menolaknya dengan kata-kata halus, "maafkan hamba, Baginda. Hamba belum bisa melupakan suami hamba," jawab Layonsari. Mendengar penolakan itu, raja jahat itu menjadi murka. Dia langsung meraih dan menarik lengan perempuan muda itu agar ikut bersamanya. Layonsari berteriak-teriak dan meronta-ronta dalam dekapan orang yang sangat dibencinya itu. Pada saat yang kritis itulah, Layonsari mencabut keris yang terselip di pinggang sang raja. "Lebih baik hamba mati daripada harus menikah dengan orang yang telah membunuh suamiku,” ucap Layonsari seraya menikam dirinya sendiri dengan keris itu.

 

Raja Kalianget buru-buru mencegah perempuan itu berlaku nekat seperti itu, namun terlambat. Tubuh Layonsari telah tergeletak di lantai bersimbah darah. Melihat Layonsari tengah meregang nyawa, sang raja pun :

 

Tersinggung, cintanya pada seorang gadis desa ditolak mentah-mentah,

Jatuh harga dirinya, dihina perempuan jelata.

Sesal tanpa bisa dicegah, pusaka berharga pun lenyap dalam sekejap;

Kecewa setelah seluruh upaya jahatnya kandas sia-sia.

 

Belum lama sang raja pernah mengungkapkan, "jika Layonsari tidak segera menjadi permaisuriku, maka aku akan menjadi gila." Sungguh ucapan itu seperti doa, dan doanya langsung dikabulkan oleh dewata. Ya Sang Paduka Wanekeling Kalianget benar-benar menjadi gila!! Seketika itu juga dicabutnya keris pusaka yang masih menancap di tubuh Layonsari. Lalu dengan senjata terhunus orang-orang di sekitarnya ditusuk oleh keris bertuah itu satu-per-satu. Dalam sekejap istana pun menjadi ladang pembantaian. Tubuh-tubuh para punggawa dan abdi-istana yang tak-berdosa bergelimpangan tanpa daya memenuhi balairung istana. Dan sang angkara-murka baru usai, setelah sang raja yang gelap mata itu menusukkan kerisnya ke tubuhnya sendiri.

 

Setelah peristiwa tragis itu, warga kerajaan membawa jasad Layonsari untuk ditempatkan di sebelah jasad Jayaprana, agar sepasang kekasih ini dapat selalu bersama. Di tempat kematian Jayaprana kemudian dibangun sebuah monumen tanda cinta mereka, lengkap dengan patung Jayaprana dan Layonsari, serta sebuah tempat pemujaan. Celuk Terima kini ramai dikunjungi dan diziarahi oleh mereka yang merindukan cinta sejati

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/220223 

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar