"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai
dengan perikemanusiaan dan perikeadilan." Kutipan preambul Undang-Undang
Dasar 1945 itu didasarkan pada kisah hidup para founding father atau pendiri republik kita. Kisah tentang
penjajahan lebih banyak menggambarkan betapa kelam dan pahitnya satu bangsa
yang terjajah, tanpa memandang penduduk mana yang mengalaminya dan pada zaman
kapan penjajahan itu terjadi.
Di tenggara anak benua India terdapat pulau permai yang sejak zaman kuno
disebut Sailan atau Ceylon. Peradaban negeri pulau ini dikenal sejak abad ke-6
seb.M. sejak Kerajaan Tambapanni berkuasa, dan berdasarkan catatan sejarah
penguasa pertama Ceylon adalah Pandukabhaya dari Kerajaan Anuradhapura pada
abad ke-4 seb.M. Agama Buddha diperkenalkan oleh Arahant Mahinda (putera dari
Kaisar Ashoka) pada abad ke-3 seb.M. Intervensi asing pernah terjadi ketika
orang Tamil dari India Selatan menginvasi Ceylon pada abad ketiga. Kemudian
Portugis menaklukkan sebagian besar pulau itu pada akhir abad ke-16. Sedikit
lebih dari satu abad kemudian, giliran Belanda mengalahkan Portugis di Eropa
dan negeri kincir angin ini ganti menduduki Ceylon. Selanjutnya Belanda ditaklukkan
oleh Imperium Britania dan Ceylon dijadikan koloni mahkotanya pada 1798, serta
seluruh pulau dikuasai Inggris tahun 1815, sekaligus menandai berakhirnya garis
kuno raja-raja Sinhala yang selama hampir 2.500 tahun menguasai Ceylon.
Imperialis Inggris kemudian mendirikan perkebunan karet, teh, dan kopi; juga
memperkenalkan sekolah misionaris dan perguruan tinggi kepada rakyat Ceylon.
Prospek warga asli Sinhala (Penulis memakai istilah "Sinhala"
untuk merujuk pada etnis, budaya, dan bahasa mayoritas orang Ceylon), serta
masyarakat minoritas Tamil di pertengahan abad ke-19 untuk maju memang gelap.
Kondisi warga asli Ceylon sendiri bercirikan masyarakat feodal setelah berabad-abad
dipimpin oleh beberapa kerajaan. Masyarakatnya hanya menyisihkan segelintir
golongan ningrat dan pengusaha, serta mayoritas sisanya rakyat jelata. Mereka
kebanyakan tidak berpendidikan dan menganut agama Buddha dan Hindu. Gelombang
invasi Portugis, Belanda, dan Inggris yang berturut-turut telah menyapu banyak
budaya tradisional negara itu. Para misionaris telah turun ke Mutiara Samudera
Hindia itu seperti awan belalang. Sekolah-sekolah Kristen dari setiap
denominasi yang mungkin telah dibuka, di mana anak laki-laki dan perempuan
Buddhis dan Hindu dijejali dengan teks-teks Alkitab dan diajarkan untuk malu
terhadap agama mereka, budaya mereka, bahasa mereka, ras mereka, dan warna
kulit mereka.
Di seluruh wilayah di bawah pendudukan Belanda, warga pribumi telah dipaksa
untuk menyatakan diri mereka sebagai orang Barat dengan nama kebarat-baratan
atau kekristenan, dan selama periode pemerintahan Inggris hukum ini
diberlakukan selama tujuh puluh tahun, yang baru disudahi pada tahun 1884. Pada
saat itu mayoritas dari mereka malu atau takut untuk menyatakan diri mereka
Buddhis, dan hanya di desa-desa di pedalaman, Dhamma Sang Bhagavā masih
menyisakan popularitas dan kejayaan dari zaman silam. Meskipun demikian di sini
pun mereka tidak bebas dari serangan para katekis, yang siap merekrut
antek-antek penjajah dengan upah dua-puluh rupee sebulan, yang siap berkampanye
mengolok-olok serta menghina budaya dan agama nenek moyang mereka. Anggota
Sangha, dengan beberapa pengecualian, secara intelektual dan spiritual hampir
mati, disiplin monastik lemah, dan praktik meditasi telah diabaikan dan
dilupakan orang. Bagi mereka dari ras Sinhala yang benar-benar mencintai
Buddha, Dhamma, dan Sangha, serta kenangan manis selama lebih dari dua-puluh
abad yang gemilang; mereka sepertinya ditakdirkan untuk "dibuang seperti
sampah ke dalam kehampaan dan disapu ke perairan biru Laut Arab" oleh
legiun penjajah yang militan. Akankah harkat dan harga diri mereka bisa
terangkat ke posisi, yang bahkan lebih tinggi daripada posisi mereka sekarang?
Di antara beberapa keluarga kaya yang masih berdiri teguh dan tanpa rasa
takut menganut kepercayaan leluhur mereka adalah keluarga Hewavitarne dari
Matara di Ceylon Selatan. Hewavitarne Dingiri Appuhamy, anggota pertama dari
keluarga ini termasuk dalam kelas goigama
atau kultivator yang agung dan dihormati. Dia memiliki dua putera, dan keduanya
menunjukkan pengabdian yang sama pada Dhamma seperti ayah mereka. Salah satu
dari mereka menjadi seorang bhikkhu yang dikenal sebagai Hittatiye Atthadassi
Thera dan yang kedua adalah Don Carolis Hewavitarne. Sang adik bermigrasi ke
Kolombo dan mendirikan bisnis manufaktur furnitur di daerah Pettah. Di sana dia
menikahi Mallikā Dharmagunawardene, anak perempuan Andris Perera, saudagar
terkaya di Ceylon saat itu.
Setiap pagi sebelum matahari terbit, pengantin muda yang baru melepaskan
masa remajanya, akan mempersembahkan sebaki bunga vihara berkelopak-lima yang
harum bersama dengan lampu minyak-kelapa dan dupa, di kaki patung Buddha di
cetiya keluarga. Keduanya berdoa kepada para dewa agar Mallikā bisa melahirkan
seorang putera yang akan menyalakan kembali pelita-Dhamma di tanah yang gelap. Mallikā,
sangat menginginkan seorang putera, dan ketika mereka tahu bahwa seorang anak
akan lahir bagi mereka, kegembiraan mereka pun meluap-luap. Saat waktunya
semakin dekat, para bhikkhu diundang ke rumah, dan pada malam bulan purnama
selama tiga bulan berturut-turut, atmosfer tempat tinggal mereka dipenuhi
dengan getaran teks-teks suci Pali, yang didaraskan dari senja hingga fajar.
Kemudian, pada malam 17 September 1864, di distrik Pettah, Kolombo, tempat
budaya dan agama nasional telah jatuh ke tingkat kemerosotan terendah, lahirlah
seorang anak laki-laki yang diberi nama David Hewavitarne muda.
David, demikian panggilannya, tumbuh dalam suasana kesalehan tradisional
Sinhala. Setiap hari, pagi dan sore, ia akan berlutut di cetiya bersama ayah
dan ibunya, berlindung pada Sang Tiga Permata dan berjanji untuk menjalankan
Lima Sila, seraya melantunkan syair-syair pemujaan yang pernah dilakukan pula
oleh jutaan leluhurnya selama abad-abad yang telah lewat. Penerapan praktis
Dhamma juga tidak dilupakan, karena dengan manis dan masuk akal ibunya akan
menunjukkan kepadanya setiap pelanggaran sila, dan dengan lembut menegurnya
agar mematuhi semuanya dengan cermat. Kehidupan seperti itulah yang ditanamkan
kepada David cilik, yang mungkin diragukan kelayakannya untuk membesarkan
anak-anak Buddhis dalam suasana tradisional. Tanpa pelatihan agama awal itu,
David Hewavitarne muda mungkin telah tumbuh dengan mengenakan topi dan celana
panjang, berbicara bahasa Inggris kepada keluarganya dan bahasa Sinhala kepada
para pelayannya, seperti ribuan orang sezamannya.
Setelah David berumur lima tahun dia dimasukkan ke Sekolah Sinhala, tempat
dia mempelajari bahasa dan budaya leluhurnya. Bahkan ketika berumur sembilan
tahun ayahnya mengantarkan ke penahbisan praktik brahmacarya yang mengajarkan para siswanya mengikuti hidup
kepetapaan. David muda juga dikirim ke sekolah misionaris untuk pendidikan
dasar dan menengah, yaitu ke Sekolah Anglikan Saint Benedictus dan kemudian
Kolese Saint Thomas. Masuk institusi ini nilai-nilai Kekristenan ditekankan dan
pelajaran agama serta kehadiran di gereja diharuskan. David yang sejak
kanak-kanak dididik seperti pribumi Sinhala sekarang harus menuntut ilmu di
sekolah yang diasuh oleh kaum penjajah, dampaknya tentu bisa diterka akan
seperti apa. Anda mungkin pernah membaca cerita tentang Mahatma Gandhi sebagai
seorang mahasiswa yang dipandang rendah oleh salah satu dosennya, Profesor
Peters dari College of London. Sang profesor yang merasa dirinya superior
memandang mahasiswanya dengan hina dan malahan menyindirnya sebagai
"babi". Di Kolose sekolah menengah itu pemimpinnya adalah Warden
Miller, yang terkenal keras dan disiplin. Sekali waktu David yang sudah remaja
meminta izin untuk pulang ke rumah guna beribadah memperingati hari Waisak di
rumahnya. Tercengang atas permintaan siswanya yang kurus kering itu, Miller
melarangnya dan Institusi sekolah itu tidak mengakui perayaan keagamaan kafir
seperti itu. Sang pemberontak David tidak mematuhi larangannya dan dengan
membawa payung serta bukunya dia pun membolos. Keesokan harinya David pun
mendapat hukuman caci maki dan beberapa pukulan rotan di kakinya di hadapan
teman sekelasnya. Tetapi si pemberontak itu tidak kapok, karena di tahun
berikutnya dia mengulangi pembangkangan itu.
Setiap hari dalam perjalanannya ke Kolese David biasa melewati Kuil
Kotahena. Kepala biaranya adalah Megettuvatte Guṇānanda, orator dan pendebat
terbesar Ceylon di zaman modern. Pada Sabtu malam, selama dekade 70-an hingga
awal 80-an di abad ke-19, tempat itu akan dipenuhi umat. Pada saat itu orator
yang kharismatik itu akan menyerang doktrin penciptaan sambil menguji nalar
orang Ceylon, lalu lain kali kritiknya mengarah pada kepercayaan jiwa individu
yang kekal, dan dogma-dogma yang diajarkan oleh para misionaris. Merasa kuping
mereka panas, para misionaris bertekad membungkam antagonis yang begitu tangguh
itu, sekali dan untuk selamanya. Akhirnya pada tahun 1873 diadakan pertemuan
publik besar-besaran di Pānadura, sebuah lokasi dekat Kolombo, dan Guṇānanda
ditantang untuk bertemu dalam debat terbuka. Sendirian tetapi tidak gentar, ia
menghadapi kesatuan kekuatan ortodoksi Kristen, dan begitu mengesankan
kefasihannya, begitu kuat argumen dan alasannya, sehingga Debat Pānadura, yang
semula dimaksudkan untuk mendiskreditkan penganut Buddhis, malah membunyikan
lonceng kematian pengaruh Nasrani di negeri Ceylon. Dampaknya, tidak pernah
lagi dogmatisme Katolik atau Protestan berani bersilangan dengan kebijaksanaan
Buddhis. Anda para pembaca yang berminat mengetahui isi perdebatan itu dapat
mencarinya di internet dengan kata kunci: "Panadura Debate".
Pada bulan Maret 1878 kerusuhan terjadi ketika prosesi Buddhis yang sedang
melakukan arak-arakan keagamaan melewati Gereja St. Lucia di Kotahena. Prosesi
damai itu tiba-tiba diserang secara brutal oleh massa yang datang dari gereja
tersebut. Ayah David yang marah tidak lagi mengizinkan anaknya belajar di
sekolah Anglikan, meskipun David belum lulus. Anehnya pada saat ke luar dari
sekolahnya, Warden Miller memberinya sertifikat yang sangat baik; mungkin dia
kagum atas kejujuran anak didiknya itu. Beberapa bulan berikutnya David
menghabiskan waktunya dengan penuh semangat melahap buku-buku di Perpustakaan
Pettah, tempat dia menjadi anggotanya. Meskipun David putus sekolah, anak ini
sudah nampak kejeniusannya. Dia mampu menghafal separuh isi Alkitab, menguasai
bahasa Inggris dengan sangat baik, dan pandai menulis. Minat studinya pun sangat
luas meliputi etika, filsafat, psikologi, biografi, dan sejarah.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, kakek David dari pihak ibu, Andris
Perera jauh sebelumnya telah menyumbangkan sebidang tanah di Maligakanda, yang
di atasnya kelak didirikan Vidyodaya Pirivena atau perguruan tinggi monastik
Buddhis pertama di Ceylon, dan membawa seorang bhikkhu dari desa terpencil
Hikkaduwa untuk menjadi rektornya. Bhikkhu kepala yang sangat terpelajar ini
kelak menjadi orang terkenal di Ceylon dengan nama Hikkaduwa Siri
Sumaṅgala Mahā Nāyaka Thera. Di bawah
asuhan Siri Sumaṅgala dan Guṇānanda,
David pun memperluas cakrawala pengetahuannya. Berlawanan dengan keinginan
ayahnya namun sejalan dengan aspirasi ibunya, David tidak berniat meneruskan
usaha dagang keluarganya. Menjelang usia kedewasaannya dia sangat terkesan
dengan gaya hidup kedua gurunya itu. Tidak ingin menikah tapi juga tidak
berminat untuk menjadi biarawan. David pun mengambil ketetapan untuk tetap
berselibat, melaksanakan delapan sila dalam kesehariannya, memakai jubah
layaknya seorang bhikkhu tetapi dia tidak mencukur rambutnya. Orang kemudian
mengenalnya sebagai Anagārika Dharmapāla, dengan "Dharmapāla"
diartikan sebagai "Pengawal Dharma."
Dampak dari perdebatan bersejarah di Pānadura ternyata lebih besar daripada
yang pernah dibayangkan oleh Guṇānanda, dan pastilah sangat mengejutkan dan
menyenangkan bagi umat Buddha di Ceylon. Beberapa tahun kemudian, dia menerima
surat dari seorang kolonel Amerika dan seorang wanita bangsawan Rusia yang
menyatakan kepuasan atas kemenangannya, dan memperkenalkan dia dengan pembentukan
Theosophical Society di New York pada tahun 1875. Dengan surat itu datang pula
dua bundel besar makalah berjudul Isis
Unveiled. Guṇānanda segera mengadakan korespondensi reguler dengan dua
simpatisan asing tersebut, serta dia mulai menerjemahkan surat-surat mereka,
kemudian menerbitkan makalah itu kembali ke dalam bahasa Sinhala.
David Hewavitarne termasuk di antara mereka yang melompat kegirangan
setelah mendengar sokongan yang tak terduga ini, dan pada tahun 1879
penantiannya terpuaskan setelah mendengar kabar gembira dari gurunya. Pendiri
Theosophical Society telah tiba di Mumbai dan bahwa mereka akan segera datang
ke Ceylon untuk membantu kebangkitan Buddhisme. Mei 1880, kedua pendiri
akhirnya tiba di Ceylon dari India. Setelah berabad-abad penganiayaan dan
penindasan Barat, umat Buddha di Ceylon hampir tidak percaya bahwa Kolonel
Olcott orang Amerika yang bermartabat itu, dengan janggut abu-abu, dahi yang
tinggi, hidung bengkok, dan mata biru yang cerdas, serta Mme. Blavatsky, Wanita
Rusia dengan jari-jarinya yang bercincin, pipi besar, dan tatapan yang
menghipnotis. Merupakan hal yang luar biasa ada anggota ras kulit putih yang
berkuasa, datang ke Ceylon bukan untuk menyerang Dhamma, seperti yang telah
dilakukan ribuan misionaris, tetapi untuk membela dan mendukung mereka. Bahwa
mereka datang bukan sebagai musuh atau penakluk, tetapi sebagai sahabat dan
saudara. Puncaknya pada 21 Mei yang tak terlupakan itu, ribuan umat Buddha
berbondong-bondong dari desa-desa sekitar ke Galle, dan melihat keduanya
berlutut di depan Siri Sumaṅgala. Mereka
mendengar keduanya mengucapkan ikrar Tiga Perlindungan dan Lima Sila, hal yang
belum pernah dilakukan orang Barat sebelumnya.
Penindasan terhadap warga terjajah pun berangsur-angsur pudar, setelah Kol.
Olcott membuat representasi kepada Sekretaris Negara untuk Koloni di London,
hukum bahwa penduduk lokal menjadi orang Kristen dibatalkan pada tahun 1884. David
pun giat membantu Olcott membuka banyak sekolah Buddhis di Ceylon. David dengan
keahliannya sebagai penulis dan wartawan menjadi penerjemah untuk buku panduan Buddhis
yang ditulis oleh Olcott. Keduanya pun mencari dana untuk membiayai kebangkitan
atau kelahiran agama Buddha di Ceylon. Tentu menarik untuk mencari tahu apa itu
Thesophical Society, misi dan sumbangsihnya untuk rakyat Ceylon. David yang
kelak dikenal sebagai Anagārika Dharmapāla masih berkiprah membangkitkan
kembali Buddhisme di tanah asalnya yakni di India, dan kemudian
memperkenalkannya ke dunia barat. Kita akan membahas Theosophical Society ini
serta kiprah Sang Pengawal Dharma ini dalam artikel yang akan datang.
sdjn/dharmaprimapustaka/220209
Tidak ada komentar:
Posting Komentar