Rabu, 09 Februari 2022

ANAGĀRIKA DHARMAPĀLA DAN KEBANGKITAN BUDDHISME DI CEYLON



"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan." Kutipan preambul Undang-Undang Dasar 1945 itu didasarkan pada kisah hidup para founding father atau pendiri republik kita. Kisah tentang penjajahan lebih banyak menggambarkan betapa kelam dan pahitnya satu bangsa yang terjajah, tanpa memandang penduduk mana yang mengalaminya dan pada zaman kapan penjajahan itu terjadi.

 

Di tenggara anak benua India terdapat pulau permai yang sejak zaman kuno disebut Sailan atau Ceylon. Peradaban negeri pulau ini dikenal sejak abad ke-6 seb.M. sejak Kerajaan Tambapanni berkuasa, dan berdasarkan catatan sejarah penguasa pertama Ceylon adalah Pandukabhaya dari Kerajaan Anuradhapura pada abad ke-4 seb.M. Agama Buddha diperkenalkan oleh Arahant Mahinda (putera dari Kaisar Ashoka) pada abad ke-3 seb.M. Intervensi asing pernah terjadi ketika orang Tamil dari India Selatan menginvasi Ceylon pada abad ketiga. Kemudian Portugis menaklukkan sebagian besar pulau itu pada akhir abad ke-16. Sedikit lebih dari satu abad kemudian, giliran Belanda mengalahkan Portugis di Eropa dan negeri kincir angin ini ganti menduduki Ceylon. Selanjutnya Belanda ditaklukkan oleh Imperium Britania dan Ceylon dijadikan koloni mahkotanya pada 1798, serta seluruh pulau dikuasai Inggris tahun 1815, sekaligus menandai berakhirnya garis kuno raja-raja Sinhala yang selama hampir 2.500 tahun menguasai Ceylon. Imperialis Inggris kemudian mendirikan perkebunan karet, teh, dan kopi; juga memperkenalkan sekolah misionaris dan perguruan tinggi kepada rakyat Ceylon.

 

Prospek warga asli Sinhala (Penulis memakai istilah "Sinhala" untuk merujuk pada etnis, budaya, dan bahasa mayoritas orang Ceylon), serta masyarakat minoritas Tamil di pertengahan abad ke-19 untuk maju memang gelap. Kondisi warga asli Ceylon sendiri bercirikan masyarakat feodal setelah berabad-abad dipimpin oleh beberapa kerajaan. Masyarakatnya hanya menyisihkan segelintir golongan ningrat dan pengusaha, serta mayoritas sisanya rakyat jelata. Mereka kebanyakan tidak berpendidikan dan menganut agama Buddha dan Hindu. Gelombang invasi Portugis, Belanda, dan Inggris yang berturut-turut telah menyapu banyak budaya tradisional negara itu. Para misionaris telah turun ke Mutiara Samudera Hindia itu seperti awan belalang. Sekolah-sekolah Kristen dari setiap denominasi yang mungkin telah dibuka, di mana anak laki-laki dan perempuan Buddhis dan Hindu dijejali dengan teks-teks Alkitab dan diajarkan untuk malu terhadap agama mereka, budaya mereka, bahasa mereka, ras mereka, dan warna kulit mereka.

 

Di seluruh wilayah di bawah pendudukan Belanda, warga pribumi telah dipaksa untuk menyatakan diri mereka sebagai orang Barat dengan nama kebarat-baratan atau kekristenan, dan selama periode pemerintahan Inggris hukum ini diberlakukan selama tujuh puluh tahun, yang baru disudahi pada tahun 1884. Pada saat itu mayoritas dari mereka malu atau takut untuk menyatakan diri mereka Buddhis, dan hanya di desa-desa di pedalaman, Dhamma Sang Bhagavā masih menyisakan popularitas dan kejayaan dari zaman silam. Meskipun demikian di sini pun mereka tidak bebas dari serangan para katekis, yang siap merekrut antek-antek penjajah dengan upah dua-puluh rupee sebulan, yang siap berkampanye mengolok-olok serta menghina budaya dan agama nenek moyang mereka. Anggota Sangha, dengan beberapa pengecualian, secara intelektual dan spiritual hampir mati, disiplin monastik lemah, dan praktik meditasi telah diabaikan dan dilupakan orang. Bagi mereka dari ras Sinhala yang benar-benar mencintai Buddha, Dhamma, dan Sangha, serta kenangan manis selama lebih dari dua-puluh abad yang gemilang; mereka sepertinya ditakdirkan untuk "dibuang seperti sampah ke dalam kehampaan dan disapu ke perairan biru Laut Arab" oleh legiun penjajah yang militan. Akankah harkat dan harga diri mereka bisa terangkat ke posisi, yang bahkan lebih tinggi daripada posisi mereka sekarang?

 

Di antara beberapa keluarga kaya yang masih berdiri teguh dan tanpa rasa takut menganut kepercayaan leluhur mereka adalah keluarga Hewavitarne dari Matara di Ceylon Selatan. Hewavitarne Dingiri Appuhamy, anggota pertama dari keluarga ini termasuk dalam kelas goigama atau kultivator yang agung dan dihormati. Dia memiliki dua putera, dan keduanya menunjukkan pengabdian yang sama pada Dhamma seperti ayah mereka. Salah satu dari mereka menjadi seorang bhikkhu yang dikenal sebagai Hittatiye Atthadassi Thera dan yang kedua adalah Don Carolis Hewavitarne. Sang adik bermigrasi ke Kolombo dan mendirikan bisnis manufaktur furnitur di daerah Pettah. Di sana dia menikahi Mallikā Dharmagunawardene, anak perempuan Andris Perera, saudagar terkaya di Ceylon saat itu.

 

Setiap pagi sebelum matahari terbit, pengantin muda yang baru melepaskan masa remajanya, akan mempersembahkan sebaki bunga vihara berkelopak-lima yang harum bersama dengan lampu minyak-kelapa dan dupa, di kaki patung Buddha di cetiya keluarga. Keduanya berdoa kepada para dewa agar Mallikā bisa melahirkan seorang putera yang akan menyalakan kembali pelita-Dhamma di tanah yang gelap. Mallikā, sangat menginginkan seorang putera, dan ketika mereka tahu bahwa seorang anak akan lahir bagi mereka, kegembiraan mereka pun meluap-luap. Saat waktunya semakin dekat, para bhikkhu diundang ke rumah, dan pada malam bulan purnama selama tiga bulan berturut-turut, atmosfer tempat tinggal mereka dipenuhi dengan getaran teks-teks suci Pali, yang didaraskan dari senja hingga fajar. Kemudian, pada malam 17 September 1864, di distrik Pettah, Kolombo, tempat budaya dan agama nasional telah jatuh ke tingkat kemerosotan terendah, lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama David Hewavitarne muda.

 

David, demikian panggilannya, tumbuh dalam suasana kesalehan tradisional Sinhala. Setiap hari, pagi dan sore, ia akan berlutut di cetiya bersama ayah dan ibunya, berlindung pada Sang Tiga Permata dan berjanji untuk menjalankan Lima Sila, seraya melantunkan syair-syair pemujaan yang pernah dilakukan pula oleh jutaan leluhurnya selama abad-abad yang telah lewat. Penerapan praktis Dhamma juga tidak dilupakan, karena dengan manis dan masuk akal ibunya akan menunjukkan kepadanya setiap pelanggaran sila, dan dengan lembut menegurnya agar mematuhi semuanya dengan cermat. Kehidupan seperti itulah yang ditanamkan kepada David cilik, yang mungkin diragukan kelayakannya untuk membesarkan anak-anak Buddhis dalam suasana tradisional. Tanpa pelatihan agama awal itu, David Hewavitarne muda mungkin telah tumbuh dengan mengenakan topi dan celana panjang, berbicara bahasa Inggris kepada keluarganya dan bahasa Sinhala kepada para pelayannya, seperti ribuan orang sezamannya.

 

Setelah David berumur lima tahun dia dimasukkan ke Sekolah Sinhala, tempat dia mempelajari bahasa dan budaya leluhurnya. Bahkan ketika berumur sembilan tahun ayahnya mengantarkan ke penahbisan praktik brahmacarya yang mengajarkan para siswanya mengikuti hidup kepetapaan. David muda juga dikirim ke sekolah misionaris untuk pendidikan dasar dan menengah, yaitu ke Sekolah Anglikan Saint Benedictus dan kemudian Kolese Saint Thomas. Masuk institusi ini nilai-nilai Kekristenan ditekankan dan pelajaran agama serta kehadiran di gereja diharuskan. David yang sejak kanak-kanak dididik seperti pribumi Sinhala sekarang harus menuntut ilmu di sekolah yang diasuh oleh kaum penjajah, dampaknya tentu bisa diterka akan seperti apa. Anda mungkin pernah membaca cerita tentang Mahatma Gandhi sebagai seorang mahasiswa yang dipandang rendah oleh salah satu dosennya, Profesor Peters dari College of London. Sang profesor yang merasa dirinya superior memandang mahasiswanya dengan hina dan malahan menyindirnya sebagai "babi". Di Kolose sekolah menengah itu pemimpinnya adalah Warden Miller, yang terkenal keras dan disiplin. Sekali waktu David yang sudah remaja meminta izin untuk pulang ke rumah guna beribadah memperingati hari Waisak di rumahnya. Tercengang atas permintaan siswanya yang kurus kering itu, Miller melarangnya dan Institusi sekolah itu tidak mengakui perayaan keagamaan kafir seperti itu. Sang pemberontak David tidak mematuhi larangannya dan dengan membawa payung serta bukunya dia pun membolos. Keesokan harinya David pun mendapat hukuman caci maki dan beberapa pukulan rotan di kakinya di hadapan teman sekelasnya. Tetapi si pemberontak itu tidak kapok, karena di tahun berikutnya dia mengulangi pembangkangan itu.

 

Setiap hari dalam perjalanannya ke Kolese David biasa melewati Kuil Kotahena. Kepala biaranya adalah Megettuvatte Guṇānanda, orator dan pendebat terbesar Ceylon di zaman modern. Pada Sabtu malam, selama dekade 70-an hingga awal 80-an di abad ke-19, tempat itu akan dipenuhi umat. Pada saat itu orator yang kharismatik itu akan menyerang doktrin penciptaan sambil menguji nalar orang Ceylon, lalu lain kali kritiknya mengarah pada kepercayaan jiwa individu yang kekal, dan dogma-dogma yang diajarkan oleh para misionaris. Merasa kuping mereka panas, para misionaris bertekad membungkam antagonis yang begitu tangguh itu, sekali dan untuk selamanya. Akhirnya pada tahun 1873 diadakan pertemuan publik besar-besaran di Pānadura, sebuah lokasi dekat Kolombo, dan Guṇānanda ditantang untuk bertemu dalam debat terbuka. Sendirian tetapi tidak gentar, ia menghadapi kesatuan kekuatan ortodoksi Kristen, dan begitu mengesankan kefasihannya, begitu kuat argumen dan alasannya, sehingga Debat Pānadura, yang semula dimaksudkan untuk mendiskreditkan penganut Buddhis, malah membunyikan lonceng kematian pengaruh Nasrani di negeri Ceylon. Dampaknya, tidak pernah lagi dogmatisme Katolik atau Protestan berani bersilangan dengan kebijaksanaan Buddhis. Anda para pembaca yang berminat mengetahui isi perdebatan itu dapat mencarinya di internet dengan kata kunci: "Panadura Debate".

 

Pada bulan Maret 1878 kerusuhan terjadi ketika prosesi Buddhis yang sedang melakukan arak-arakan keagamaan melewati Gereja St. Lucia di Kotahena. Prosesi damai itu tiba-tiba diserang secara brutal oleh massa yang datang dari gereja tersebut. Ayah David yang marah tidak lagi mengizinkan anaknya belajar di sekolah Anglikan, meskipun David belum lulus. Anehnya pada saat ke luar dari sekolahnya, Warden Miller memberinya sertifikat yang sangat baik; mungkin dia kagum atas kejujuran anak didiknya itu. Beberapa bulan berikutnya David menghabiskan waktunya dengan penuh semangat melahap buku-buku di Perpustakaan Pettah, tempat dia menjadi anggotanya. Meskipun David putus sekolah, anak ini sudah nampak kejeniusannya. Dia mampu menghafal separuh isi Alkitab, menguasai bahasa Inggris dengan sangat baik, dan pandai menulis. Minat studinya pun sangat luas meliputi etika, filsafat, psikologi, biografi, dan sejarah.

 

Seperti yang disebutkan sebelumnya, kakek David dari pihak ibu, Andris Perera jauh sebelumnya telah menyumbangkan sebidang tanah di Maligakanda, yang di atasnya kelak didirikan Vidyodaya Pirivena atau perguruan tinggi monastik Buddhis pertama di Ceylon, dan membawa seorang bhikkhu dari desa terpencil Hikkaduwa untuk menjadi rektornya. Bhikkhu kepala yang sangat terpelajar ini kelak menjadi orang terkenal di Ceylon dengan nama Hikkaduwa Siri Sumaṅgala Mahā Nāyaka Thera. Di bawah asuhan Siri Sumaṅgala dan Guṇānanda, David pun memperluas cakrawala pengetahuannya. Berlawanan dengan keinginan ayahnya namun sejalan dengan aspirasi ibunya, David tidak berniat meneruskan usaha dagang keluarganya. Menjelang usia kedewasaannya dia sangat terkesan dengan gaya hidup kedua gurunya itu. Tidak ingin menikah tapi juga tidak berminat untuk menjadi biarawan. David pun mengambil ketetapan untuk tetap berselibat, melaksanakan delapan sila dalam kesehariannya, memakai jubah layaknya seorang bhikkhu tetapi dia tidak mencukur rambutnya. Orang kemudian mengenalnya sebagai Anagārika Dharmapāla, dengan "Dharmapāla" diartikan sebagai "Pengawal Dharma."

 

Dampak dari perdebatan bersejarah di Pānadura ternyata lebih besar daripada yang pernah dibayangkan oleh Guṇānanda, dan pastilah sangat mengejutkan dan menyenangkan bagi umat Buddha di Ceylon. Beberapa tahun kemudian, dia menerima surat dari seorang kolonel Amerika dan seorang wanita bangsawan Rusia yang menyatakan kepuasan atas kemenangannya, dan memperkenalkan dia dengan pembentukan Theosophical Society di New York pada tahun 1875. Dengan surat itu datang pula dua bundel besar makalah berjudul Isis Unveiled. Guṇānanda segera mengadakan korespondensi reguler dengan dua simpatisan asing tersebut, serta dia mulai menerjemahkan surat-surat mereka, kemudian menerbitkan makalah itu kembali ke dalam bahasa Sinhala.

 

David Hewavitarne termasuk di antara mereka yang melompat kegirangan setelah mendengar sokongan yang tak terduga ini, dan pada tahun 1879 penantiannya terpuaskan setelah mendengar kabar gembira dari gurunya. Pendiri Theosophical Society telah tiba di Mumbai dan bahwa mereka akan segera datang ke Ceylon untuk membantu kebangkitan Buddhisme. Mei 1880, kedua pendiri akhirnya tiba di Ceylon dari India. Setelah berabad-abad penganiayaan dan penindasan Barat, umat Buddha di Ceylon hampir tidak percaya bahwa Kolonel Olcott orang Amerika yang bermartabat itu, dengan janggut abu-abu, dahi yang tinggi, hidung bengkok, dan mata biru yang cerdas, serta Mme. Blavatsky, Wanita Rusia dengan jari-jarinya yang bercincin, pipi besar, dan tatapan yang menghipnotis. Merupakan hal yang luar biasa ada anggota ras kulit putih yang berkuasa, datang ke Ceylon bukan untuk menyerang Dhamma, seperti yang telah dilakukan ribuan misionaris, tetapi untuk membela dan mendukung mereka. Bahwa mereka datang bukan sebagai musuh atau penakluk, tetapi sebagai sahabat dan saudara. Puncaknya pada 21 Mei yang tak terlupakan itu, ribuan umat Buddha berbondong-bondong dari desa-desa sekitar ke Galle, dan melihat keduanya berlutut di depan Siri Sumaṅgala. Mereka mendengar keduanya mengucapkan ikrar Tiga Perlindungan dan Lima Sila, hal yang belum pernah dilakukan orang Barat sebelumnya.

 

Penindasan terhadap warga terjajah pun berangsur-angsur pudar, setelah Kol. Olcott membuat representasi kepada Sekretaris Negara untuk Koloni di London, hukum bahwa penduduk lokal menjadi orang Kristen dibatalkan pada tahun 1884. David pun giat membantu Olcott membuka banyak sekolah Buddhis di Ceylon. David dengan keahliannya sebagai penulis dan wartawan menjadi penerjemah untuk buku panduan Buddhis yang ditulis oleh Olcott. Keduanya pun mencari dana untuk membiayai kebangkitan atau kelahiran agama Buddha di Ceylon. Tentu menarik untuk mencari tahu apa itu Thesophical Society, misi dan sumbangsihnya untuk rakyat Ceylon. David yang kelak dikenal sebagai Anagārika Dharmapāla masih berkiprah membangkitkan kembali Buddhisme di tanah asalnya yakni di India, dan kemudian memperkenalkannya ke dunia barat. Kita akan membahas Theosophical Society ini serta kiprah Sang Pengawal Dharma ini dalam artikel yang akan datang.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/220209 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar