Rabu, 06 April 2022

BIMBISĀRA



Asia Selatan yang sekarang ini menjadi negara India, Pakistan, dan Bangladesh, akan kita lihat keadaan dan situasinya pada abad keenam sebelum Masehi. Abad ke-6 sampai abad ke-5 merupakan titik balik utama dalam sejarah India Kuno. Dilihat dari sisi siapa yang berkuasa, ada enam-belas negeri atau dinamakan pula 16 Mahājanapada. Sebagian dari negeri ini ada yang berbentuk kerajaan dan ada pula yang berupa republik oligarki. Mengapa dinamakan titik balik? Pada masa ini nama tokoh-tokoh penting mulai dicatat setelah sebelumnya peran mereka diabaikan secara pribadi, serta penulisan sejarah memiliki pijakan yang pasti, tidak seperti yang terjadi pada zaman sebelumnya. Pada masa sebelumnya penulisan sejarah bercampur dengan mitos, yang belum teruji kebenarannya.

 

Dengan kemunculan enam-belas Mahājanapada tersebut, India mengalami perubahan besar-besaran, setelah sebelumnya negeri akbar ini memiliki "Peradaban Lembah Sungai Indus" yang termasyhur itu. Sejalan dengan arus zaman, terjadi pula urbanisasi periode kedua – yakni perpindahan orang dari desa ke kota –, serta munculnya kota-kota besar di India. Dari segi kepercayaan, ortodoksi kaum Brahmana yang memegang teguh tradisi Veda sebagai pedoman dasar kehidupan mereka, mulai terkikis dengan lahirnya gerakan Sramana. Pemikiran dan gagasan yang baru ini, terutama dengan lahirnya Buddhisme dan Jainisme, mulai menggerus pengaruh Brahmanisme yang selama lebih dari dua milenia telah berurat-akar dalam masyarakat India Kuno.

 

Di antara enam belas negeri itu, kali ini kita akan melihat salah satu negeri, yang ke depannya akan memberikan kontribusi bagi munculnya kekaisaran agung di India pada zaman selanjutnya. Negeri yang dimaksud adalah Magadha, yang berbentuk kerajaan. Jika mengacu pada peta masa kini, Magadha kurang lebih mencakup distrik modern Patna dan Gaya di selatan Negara Bagian Bihar, dan sebagian Bengal di timur. Kotaraja Pataliputra di utara dibatasi oleh sungai Gangga, di timur oleh sungai Champa, di selatan oleh pegunungan Vindhya, dan di barat oleh sungai Sona. Kotaraja yang paling awal adalah Girivraja atau Rājagaha atau Rājagṛha, sekarang menjadi Rajgir modern di distrik Nalanda, Negara Bagian Bihar.

 

Penguasa Kerajaan Magadha adalah Dinasti Haryanka. Generasi keduanya dipegang oleh seorang raja yang bernama Bhāttiya atau dipanggil Mahāpaduma. Lewat perkawinannya dengan permaisuri Bimbī, lahirlah putera pertamanya yang diberi nama Bimbisāra (adalah lazim seorang anak lelaki mengambil nama ibu kandungnya di India). Tokoh kita kali ini, Bimbisāra lahir pada 558 seb.M., dan dia juga dikenal dengan nama Shrenika. Di usianya yang ke-lima-belas dia sudah mewarisi tahta ayahnya, berarti dia sudah menjadi raja pada tahun 543.

 

Selama masa kecilnya, Bimbisāra menyaksikan ayahnya melakukan peperangan melawan penguasa negeri tetangganya yakni Anga. Anga adalah sebuah mahājanapada yang letaknya di sebelah timur, dengan lokasi yang strategis karena memiliki akses langsung ke Teluk Benggala. Raja Anga pada waktu itu adalah Brahmadatta, ternyata sangat liat dan tidak dapat dikalahkan oleh Bhāttiya. Ketika Bimbisāra naik tahta pemuda yang baru beranjak dewasa ini telah menjadi seorang jenderal yang cakap dan terlatih untuk bertempur di medan perang India Kuno. Setelah melakukan persiapan yang cukup, hal pertama yang dia lakukan adalah melanjutkan cita-cita ayahnya yang belum tercapai. Ternyata di bawah kendali Bimbisāra pasukan Magadha menundukkan bala tentara Anga dengan mudah. Selain menundukkan penguasa negeri jirannya sebagai prestasi awal yang membanggakan, konon Bimbisāra juga membangun kota Rājagaha di awal masa pemerintahannya. Rājagaha merupakan tempat perlindungan yang nyaman karena di semua sisi ditutupi oleh lima bukit yang sekaligus menciptakan benteng alami, dan kelak oleh Ajatashatru – putera Bimbisāra – celah yang tersisa dapat ditutup dengan dinding batu.

 

Kesuksesan dan prestasi yang dicapai oleh Bimbisāra bukan semata-mata karena dia merupakan seorang raja yang berkuasa, melainkan juga karena insting, kecerdasan-bawaan, dan perilakunya yang luhur. Dalam kitab Sutta Nipāta diceritakan bagaimana Bimbisāra berkenalan dengan Sang Buddha (563 - 483 seb.M.). Pada saat itu Buddha yang masih berstatus sebagai Petapa Gotama dan ia baru saja melakukan Pelepasan Agung atau meninggalkan istananya (Petapa Gotama meninggalkan istananya ketika berusia 29 tahun). Diketahui Sang Buddha lebih tua lima tahun dari Bimbisāra. Jadi peristiwa itu berlangsung pada tahun 534 seb.M., yakni sembilan tahun setelah Bimbisāra memegang tampuk kepemimpinan Kerajaan Magadha. Dikisahkan Petapa Gotama saat itu sedang meminta-minta dan mengumpulkan sedekah makanan di Rājagaha, dan setelah selesai dia lewat di depan jendela istana sang raja. Terkesima, namun cukup dengan melihat ciri-ciri fisik seorang manusia agung, Bimbisāra segera mengirim utusan untuk mengejarnya. Mengetahui, bahwa sang petapa sedang beristirahat setelah makan siang di Bukit Pandava di luar kota Rājagaha, Bimbisāra mengikutinya dan setelah keduanya berbincang-bincang sang raja menawarkan satu jabatan tinggi di kerajaannya. Dia bahkan meminta agar sang petapa mau memerintah bersama-sama, yakni disertai tawaran agar Gotama menjadi penguasa negeri Anga. Namun permintaan itu ditolak secara halus oleh sang petapa, karena dia justru meninggalkan hidup sebagai perumah-tangga dengan maksud mencapai pencerahan. Tetapi Petapa Gotama berjanji dan bersedia kembali ke Rājagaha setelah cita-citanya tercapai.

 

Enam tahun kemudian setelah Petapa Gotama menjadi Buddha, dia ingat akan janjinya untuk menemui Bimbisāra di Rājagaha. Dengan ditemani oleh dua-belas nahuta perumah tangga, Bimbisāra pergi ke Supatittha Cetiya di dekat kotaraja untuk memberikan penghormatan kepadanya. Sang Buddha kemudian membabarkan ajarannya kepada mereka semua. Setelah wejangan Dharma itu usai, sebelas nahuta dengan Bimbisāra sebagai pimpinan mereka, mencapai pencerahan. Sang Raja memperoleh tingkat kesucian yang pertama. Dengan diperolehnya mata-dharma, sang raja mengakui bahwa semenjak masih kanak-kanak dia mempunyai lima cita-cita; yaitu: (1) jika sekali waktu dia dapat dinobatkan sebagai raja, (2) jika dalam kurun waktu hidupnya dia bisa bertemu dengan seorang Arahant yang tercerahkan sempurna, (3) jika dia bisa menghormati Yang Terberkahi, (4) jika Yang Terberkahi berkenan mengajarkan dia Dharma, dan (5) jika dia bisa memahami Dharma Yang Terberkahi. Bimbisāra pun dengan tulus bersedia menjadi pengikut awam Sang Buddha.

 

Pada hari berikutnya Sang Buddha dan rombongan besar para bhikkhu menerima keramahan Bimbisāra. Sakka – Raja para Dewa – yang menyamar sebagai seorang pemuda, mendahului mereka ke istana sambil menyanyikan lagu-lagu kemuliaan untuk Sang Buddha. Di akhir acara jamuan-makan, Bimbisāra menuangkan air dari tempayan emas ke tangan Sang Buddha, serta mempersembahkan Hutan Bambu atau Veluvana, untuk digunakan oleh Sang Buddha dan para pengikutnya.

 

Tidak saja berhubungan baik dengan Buddhisme, Bimbisāra juga dekat dan menyokong Jainisme. Mahavira, atau dikenal pula sebagai Vardhamana (599 - 527 seb.M.) – pendiri Jainisme – atau dalam teks Buddhis lebih dikenal sebagai Nigaṇṭha Nātaputta konon pernah bertemu dengan Bimbisāra. Kitab suci Jain menyebut Bimbisāra sebagai Shrenika, dan dia sering mengunjungi para petapa Jain untuk berdiskusi. Selain itu Bimbisāra juga mendukung para petapa lainnya dalam mengembangkan ajaran mereka, tidak terkecuali kaum brahmana, sehingga dia mampu mengembangkan toleransi yang begitu tinggi. Memang zaman itu merupakan masa keemasan bagi bertumbuhkembangnya ajaran agama dan filsafat di India.

 

Setelah mencaplok Anga, Bimbisāra mengalihkan perhatiannya pada kerajaan atau republik lainnya di anak benua itu. Dia merupakan seorang ahli strategi dan jenderal militer yang ulung. Untuk memperkuat kerajaannya, dia menyadari keterbatasan pasukannya melawan penguasa yang lebih besar. Guna menjaga keselamatan negerinya Bimbisāra mendapatkan jalan keluarnya, yakni dengan membentuk aliansi-perkawinan dengan para pemimpin negeri jiran.  Bimbisāra kemudian meminang Puteri Kosaladevī, anak perempuan dari Sanjaya Mahākosala, yang juga merupakan saudara kandung dari Pasenadi (atau Prasenajit). Nah Pasenadi ini sepeninggal ayahnya, lalu dinobatkan sebagai Raja Kosala, sebuah negeri yang luas dan maju yang letaknya berbatasan dengan Magadha. Pada hari pernikahannya, Bimbisāra menerima bagian dari mas kawinnya, sebuah kota suci di Kāsi,

 

Tidak cukup dengan mengambil seorang perempuan, Bimbisāra kemudian menikahi Puteri Chellana sebagai isteri kedua. Chellana adalah seorang Puteri Licchavi dari Vaishali (atau Vesālī), dan merupakan anak perempuan dari Raja Chetaka, pemimpin Konfederasi Vrijji atau Vajji yang kuat. Menurut Indologis Hermann Jacobi, Trishala – ibunda dari Mahavira – adalah saudara perempuan dari Chetaka. Dengan demikian Chellana dan Mahavira merupakan saudara sepupu. Jadi tidak mengherankan Chellana menjadi seorang penganut Jain yang soleh. Selanjutnya Bimbisāra juga mengambil Puteri Khemā (atau Kshema), seorang Puteri yang amat jelita, anak dari kepala Wangsa Madra dari Punjab, menjadi isterinya yang ketiga. Dikisahkan dalam literatur Buddhis, Khemā pada awalnya bahkan tidak mau mengunjungi Sang Buddha. Namun sekali waktu dia terpikat oleh cerita Bimbisāra tentang keindahan Veluvana. Belakangan Khemā meninggalkan kehidupan berkeluarga dan menjadi seorang bhikkhuni. Selanjutnya dia menjadi salah satu siswi Sang Buddha yang terkemuka.

 

Setelah mengamankan negerinya dari kemungkinan diserang atau diinvasi kekuatan luar, Magadha pun menjadi negeri yang stabil dan kuat di bawah kendali Bimbisāra. Negeri ini adalah salah satu mahājanapada yang paling menonjol dan makmur. Selain Rājagaha kota besar lainnya adalah Pataliputra, yang terletak di pertemuan sungai-sungai besar seperti Gangga, Putra, Punpun, dan Gandak. Dataran aluvial di wilayah ini dan kedekatannya dengan daerah kaya tembaga dan besi di Bihar serta Jharkhand, membantu rakyat Magadha menambang logam berharga ini. Penambangan ini mendukung pembuatan perkakas dan senjata yang berkualitas, serta mendukung ekonomi agraris bagi sebagian besar rakyatnya. Ditambah lagi dataran Gangga yang subur selalu memberikan hasil panen yang berlimpah, serta hutan di sekitarnya menyediakan kayu dan hewan buruan untuk dieksploitasi. Lokasi Magadha di pusat jalan raya perdagangan pada masa itu berkontribusi pula terhadap kekayaannya. Belum lagi penguasaannya pada Negeri Anga, memberikan Magadha akses ke rute laut, sehingga memperluas aktivitas perdagangan mereka hingga ke luar wilayah India

 

Jika kita menilai apa saja yang telah dicapai oleh Bimbisāra, mungkin bisa disebutkan bahwa dia berhasil memperluas wilayah kekuasaannya, menciptakan kestabilan politik dan keamanan selama masa pemerintahannya, membawa kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyatnya, serta memberikan dukungan moril dan material bagi berkembangnya agama orang India. Sebenarnya warisan yang tidak kalah pentingnya adalah manajemen pemerintahan dan sistem administrasi yang diterapkan di seluruh kerajaan. Bimbisāra membentuk rantai komando yang jelas, yang memastikan pemungutan pajak yang efisien dan pengawasan para pejabat di bawahnya. Magadha memiliki sekitar 80.000 dusun yang masing-masing dipimpin oleh seorang kepala-desa. Bimbisāra juga mengangkat pejabat yang berkompeten di bidang keuangan, urusan sipil, militer, dan pengadilan. Pejabat yang malas dan tidak becus segera diganti. Bimbisāra juga memiliki menteri-menteri dan pejabat tinggi yang ahli di bidangnya dan dapat dipercaya. Kelak sistem pemerintahan ini ditiru oleh Dinasti yang menguasai seluruh wilayah India, di antaranya Dinasti Maurya dan Dinasti Gupta.

 

Bimbisara dengan segala kecerdasan, insting, dan kebajikan luar biasa yang dimilikinya, ternyata kecolongan juga. Saking terlalu percaya kepada putera mahkotanya, Ajatashatru, dia secara sukarela menyerahkan tahtanya. Padahal jauh sebelumnya, bahkan sebelum anaknya lahir, para cenayang istana telah meramalkan bahwa sang putera yang masih dalam kandungan akan menjadi musuh besar ayahnya sendiri. Setelah menjadi raja Ajatashatru malahan memenjarakan ayahnya sendiri. Semua itu dilakukan atas hasutan Devadatta, saudara sepupu Sang Buddha yang jahat. Riwayat Bimbisāra ternyata berakhir tragis; dia meninggal dunia dalam tahanan puteranya sendiri pada tahun 491 seb.M. pada usia 67 tahun.


 

sdjn/dharmaprimapustaka/220406


Tidak ada komentar:

Posting Komentar