Asia Selatan yang sekarang ini menjadi
negara India, Pakistan, dan Bangladesh, akan kita lihat keadaan dan situasinya
pada abad keenam sebelum Masehi. Abad ke-6 sampai abad ke-5 merupakan titik
balik utama dalam sejarah India Kuno. Dilihat dari sisi siapa yang berkuasa,
ada enam-belas negeri atau dinamakan pula 16 Mahājanapada. Sebagian dari negeri ini
ada yang berbentuk kerajaan dan ada pula yang
berupa republik oligarki. Mengapa dinamakan
titik balik? Pada masa ini nama tokoh-tokoh penting mulai dicatat setelah
sebelumnya peran mereka diabaikan secara pribadi, serta penulisan sejarah
memiliki pijakan yang pasti, tidak seperti yang terjadi pada zaman sebelumnya. Pada
masa sebelumnya penulisan sejarah bercampur dengan mitos, yang belum teruji
kebenarannya.
Dengan kemunculan enam-belas Mahājanapada tersebut, India mengalami
perubahan besar-besaran, setelah sebelumnya negeri akbar ini memiliki
"Peradaban Lembah Sungai Indus" yang termasyhur itu. Sejalan dengan
arus zaman, terjadi pula urbanisasi periode kedua – yakni perpindahan orang
dari desa ke kota –, serta munculnya kota-kota besar di India. Dari segi
kepercayaan, ortodoksi kaum Brahmana yang memegang teguh tradisi Veda sebagai
pedoman dasar kehidupan mereka, mulai terkikis dengan lahirnya gerakan Sramana. Pemikiran dan gagasan yang baru
ini, terutama dengan lahirnya Buddhisme dan Jainisme, mulai menggerus pengaruh
Brahmanisme yang selama lebih dari dua milenia telah berurat-akar dalam
masyarakat India Kuno.
Di antara enam belas negeri itu, kali
ini kita akan melihat salah satu negeri, yang ke depannya akan memberikan
kontribusi bagi munculnya kekaisaran agung di India pada zaman selanjutnya.
Negeri yang dimaksud adalah Magadha, yang berbentuk kerajaan. Jika mengacu pada
peta masa kini, Magadha kurang lebih mencakup distrik modern Patna dan Gaya di
selatan Negara Bagian Bihar, dan sebagian Bengal di timur. Kotaraja Pataliputra
di utara dibatasi oleh sungai Gangga, di timur oleh sungai Champa, di selatan
oleh pegunungan Vindhya, dan di barat oleh sungai Sona. Kotaraja yang paling
awal adalah Girivraja atau Rājagaha atau Rājagṛha, sekarang menjadi Rajgir
modern di distrik Nalanda, Negara Bagian Bihar.
Penguasa Kerajaan Magadha adalah
Dinasti Haryanka. Generasi keduanya dipegang oleh seorang raja yang bernama
Bhāttiya atau dipanggil Mahāpaduma. Lewat perkawinannya dengan permaisuri
Bimbī, lahirlah putera pertamanya yang diberi nama Bimbisāra (adalah lazim
seorang anak lelaki mengambil nama ibu kandungnya di India). Tokoh kita kali
ini, Bimbisāra lahir pada 558 seb.M., dan dia juga dikenal dengan nama
Shrenika. Di usianya yang ke-lima-belas dia sudah mewarisi tahta ayahnya, berarti
dia sudah menjadi raja pada tahun 543.
Selama masa kecilnya, Bimbisāra
menyaksikan ayahnya melakukan peperangan melawan penguasa negeri tetangganya
yakni Anga. Anga adalah sebuah mahājanapada
yang letaknya di sebelah timur, dengan lokasi yang strategis karena memiliki
akses langsung ke Teluk Benggala. Raja Anga pada waktu itu adalah Brahmadatta,
ternyata sangat liat dan tidak dapat dikalahkan oleh Bhāttiya. Ketika Bimbisāra
naik tahta pemuda yang baru beranjak dewasa ini telah menjadi seorang jenderal
yang cakap dan terlatih untuk bertempur di medan perang India Kuno. Setelah
melakukan persiapan yang cukup, hal pertama yang dia lakukan adalah melanjutkan
cita-cita ayahnya yang belum tercapai. Ternyata di bawah kendali Bimbisāra pasukan
Magadha menundukkan bala tentara Anga dengan mudah. Selain menundukkan penguasa
negeri jirannya sebagai prestasi awal yang membanggakan, konon Bimbisāra juga
membangun kota Rājagaha di awal masa pemerintahannya. Rājagaha merupakan tempat
perlindungan yang nyaman karena di semua sisi ditutupi oleh lima bukit yang sekaligus
menciptakan benteng alami, dan kelak oleh Ajatashatru – putera Bimbisāra – celah
yang tersisa dapat ditutup dengan dinding batu.
Kesuksesan dan prestasi yang dicapai
oleh Bimbisāra bukan semata-mata karena dia merupakan seorang raja yang
berkuasa, melainkan juga karena insting, kecerdasan-bawaan, dan perilakunya
yang luhur. Dalam kitab Sutta Nipāta
diceritakan bagaimana Bimbisāra berkenalan dengan Sang Buddha (563 - 483
seb.M.). Pada saat itu Buddha yang masih berstatus sebagai Petapa Gotama dan ia
baru saja melakukan Pelepasan Agung atau meninggalkan istananya (Petapa Gotama
meninggalkan istananya ketika berusia 29 tahun). Diketahui Sang Buddha lebih
tua lima tahun dari Bimbisāra. Jadi peristiwa itu berlangsung pada tahun 534
seb.M., yakni sembilan tahun setelah Bimbisāra memegang tampuk kepemimpinan
Kerajaan Magadha. Dikisahkan Petapa Gotama saat itu sedang meminta-minta dan
mengumpulkan sedekah makanan di Rājagaha, dan setelah selesai dia lewat di
depan jendela istana sang raja. Terkesima, namun cukup dengan melihat ciri-ciri
fisik seorang manusia agung, Bimbisāra segera mengirim utusan untuk
mengejarnya. Mengetahui, bahwa sang petapa sedang beristirahat setelah makan
siang di Bukit Pandava di luar kota Rājagaha, Bimbisāra mengikutinya dan setelah
keduanya berbincang-bincang sang raja menawarkan satu jabatan tinggi di
kerajaannya. Dia bahkan meminta agar sang petapa mau memerintah bersama-sama,
yakni disertai tawaran agar Gotama menjadi penguasa negeri Anga. Namun permintaan
itu ditolak secara halus oleh sang petapa, karena dia justru meninggalkan hidup
sebagai perumah-tangga dengan maksud mencapai pencerahan. Tetapi Petapa Gotama
berjanji dan bersedia kembali ke Rājagaha setelah cita-citanya tercapai.
Enam tahun kemudian setelah Petapa
Gotama menjadi Buddha, dia ingat akan janjinya untuk menemui Bimbisāra di
Rājagaha. Dengan ditemani oleh dua-belas nahuta
perumah tangga, Bimbisāra pergi ke Supatittha Cetiya di dekat kotaraja untuk memberikan penghormatan kepadanya.
Sang Buddha kemudian membabarkan ajarannya kepada mereka semua. Setelah
wejangan Dharma itu usai, sebelas nahuta
dengan Bimbisāra sebagai pimpinan mereka, mencapai pencerahan. Sang Raja memperoleh
tingkat kesucian yang pertama. Dengan diperolehnya mata-dharma, sang raja mengakui
bahwa semenjak masih kanak-kanak dia mempunyai lima cita-cita; yaitu: (1) jika
sekali waktu dia dapat dinobatkan sebagai raja, (2) jika dalam kurun waktu
hidupnya dia bisa bertemu dengan seorang Arahant yang tercerahkan sempurna, (3)
jika dia bisa menghormati Yang Terberkahi, (4) jika Yang Terberkahi berkenan
mengajarkan dia Dharma, dan (5) jika dia bisa memahami Dharma Yang Terberkahi.
Bimbisāra pun dengan tulus bersedia menjadi pengikut awam Sang Buddha.
Pada hari berikutnya Sang Buddha dan
rombongan besar para bhikkhu menerima keramahan Bimbisāra. Sakka – Raja para
Dewa – yang menyamar sebagai seorang pemuda, mendahului mereka ke istana sambil
menyanyikan lagu-lagu kemuliaan untuk Sang Buddha. Di akhir acara jamuan-makan,
Bimbisāra menuangkan air dari tempayan emas ke tangan Sang Buddha, serta
mempersembahkan Hutan Bambu atau Veluvana, untuk digunakan oleh Sang Buddha dan
para pengikutnya.
Tidak saja berhubungan baik dengan
Buddhisme, Bimbisāra juga dekat dan menyokong Jainisme. Mahavira, atau dikenal
pula sebagai Vardhamana (599 - 527 seb.M.) – pendiri Jainisme – atau dalam teks
Buddhis lebih dikenal sebagai Nigaṇṭha Nātaputta
konon pernah bertemu dengan Bimbisāra. Kitab suci Jain menyebut Bimbisāra
sebagai Shrenika, dan dia sering mengunjungi para petapa Jain untuk berdiskusi.
Selain itu Bimbisāra juga mendukung para petapa lainnya dalam mengembangkan
ajaran mereka, tidak terkecuali kaum brahmana, sehingga dia mampu mengembangkan
toleransi yang begitu tinggi. Memang zaman itu merupakan masa keemasan bagi
bertumbuhkembangnya ajaran agama dan filsafat di India.
Setelah mencaplok Anga, Bimbisāra
mengalihkan perhatiannya pada kerajaan atau republik lainnya di anak benua itu.
Dia merupakan seorang ahli strategi dan jenderal militer yang ulung. Untuk
memperkuat kerajaannya, dia menyadari keterbatasan pasukannya melawan penguasa
yang lebih besar. Guna menjaga keselamatan negerinya Bimbisāra mendapatkan
jalan keluarnya, yakni dengan membentuk aliansi-perkawinan dengan para pemimpin
negeri jiran. Bimbisāra kemudian
meminang Puteri Kosaladevī, anak perempuan dari Sanjaya Mahākosala, yang juga
merupakan saudara kandung dari Pasenadi (atau Prasenajit). Nah Pasenadi ini
sepeninggal ayahnya, lalu dinobatkan sebagai Raja Kosala, sebuah negeri yang
luas dan maju yang letaknya berbatasan dengan Magadha. Pada hari pernikahannya,
Bimbisāra menerima bagian dari mas kawinnya, sebuah kota suci di Kāsi,
Tidak cukup dengan mengambil seorang
perempuan, Bimbisāra kemudian menikahi Puteri Chellana sebagai isteri kedua.
Chellana adalah seorang Puteri Licchavi dari Vaishali (atau Vesālī), dan
merupakan anak perempuan dari Raja Chetaka, pemimpin Konfederasi Vrijji atau
Vajji yang kuat. Menurut Indologis Hermann Jacobi, Trishala – ibunda dari Mahavira –
adalah saudara perempuan dari Chetaka. Dengan demikian Chellana dan Mahavira
merupakan saudara sepupu. Jadi tidak mengherankan Chellana menjadi seorang
penganut Jain yang soleh. Selanjutnya Bimbisāra juga mengambil Puteri Khemā
(atau Kshema), seorang Puteri yang amat jelita, anak dari kepala Wangsa Madra
dari Punjab, menjadi isterinya yang ketiga. Dikisahkan dalam literatur Buddhis,
Khemā pada awalnya bahkan tidak mau mengunjungi Sang Buddha. Namun sekali waktu
dia terpikat oleh cerita Bimbisāra tentang keindahan Veluvana. Belakangan Khemā
meninggalkan kehidupan berkeluarga dan menjadi seorang bhikkhuni. Selanjutnya
dia menjadi salah satu siswi Sang Buddha yang terkemuka.
Setelah mengamankan negerinya dari kemungkinan diserang atau diinvasi kekuatan luar, Magadha pun menjadi negeri yang stabil dan kuat di bawah kendali Bimbisāra. Negeri ini adalah salah satu mahājanapada yang paling menonjol dan makmur. Selain Rājagaha kota besar lainnya adalah Pataliputra, yang terletak di pertemuan sungai-sungai besar seperti Gangga, Putra, Punpun, dan Gandak. Dataran aluvial di wilayah ini dan kedekatannya dengan daerah kaya tembaga dan besi di Bihar serta Jharkhand, membantu rakyat Magadha menambang logam berharga ini. Penambangan ini mendukung pembuatan perkakas dan senjata yang berkualitas, serta mendukung ekonomi agraris bagi sebagian besar rakyatnya. Ditambah lagi dataran Gangga yang subur selalu memberikan hasil panen yang berlimpah, serta hutan di sekitarnya menyediakan kayu dan hewan buruan untuk dieksploitasi. Lokasi Magadha di pusat jalan raya perdagangan pada masa itu berkontribusi pula terhadap kekayaannya. Belum lagi penguasaannya pada Negeri Anga, memberikan Magadha akses ke rute laut, sehingga memperluas aktivitas perdagangan mereka hingga ke luar wilayah India
Jika kita menilai apa saja yang telah
dicapai oleh Bimbisāra, mungkin bisa disebutkan bahwa dia berhasil memperluas
wilayah kekuasaannya, menciptakan kestabilan politik dan keamanan selama masa
pemerintahannya, membawa kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyatnya, serta
memberikan dukungan moril dan material bagi berkembangnya agama orang India.
Sebenarnya warisan yang tidak kalah pentingnya adalah manajemen pemerintahan
dan sistem administrasi yang diterapkan di seluruh kerajaan. Bimbisāra
membentuk rantai komando yang jelas, yang memastikan pemungutan pajak yang
efisien dan pengawasan para pejabat di bawahnya. Magadha memiliki sekitar
80.000 dusun yang masing-masing dipimpin oleh seorang kepala-desa. Bimbisāra
juga mengangkat pejabat yang berkompeten di bidang keuangan, urusan sipil,
militer, dan pengadilan. Pejabat yang malas dan tidak becus segera diganti.
Bimbisāra juga memiliki menteri-menteri dan pejabat tinggi yang ahli di
bidangnya dan dapat dipercaya. Kelak sistem pemerintahan ini ditiru oleh
Dinasti yang menguasai seluruh wilayah India, di antaranya Dinasti Maurya dan
Dinasti Gupta.
Bimbisara dengan segala kecerdasan, insting, dan kebajikan luar biasa yang
dimilikinya, ternyata kecolongan juga. Saking terlalu percaya kepada putera
mahkotanya, Ajatashatru, dia secara sukarela menyerahkan tahtanya. Padahal jauh
sebelumnya, bahkan sebelum anaknya lahir, para cenayang istana telah meramalkan
bahwa sang putera yang masih dalam kandungan akan menjadi musuh besar ayahnya
sendiri. Setelah menjadi raja Ajatashatru malahan memenjarakan ayahnya sendiri.
Semua itu dilakukan atas hasutan Devadatta, saudara sepupu Sang Buddha yang
jahat. Riwayat Bimbisāra ternyata berakhir tragis; dia meninggal dunia dalam
tahanan puteranya sendiri pada tahun 491 seb.M. pada usia 67 tahun.
sdjn/dharmaprimapustaka/220406
Tidak ada komentar:
Posting Komentar