Rabu, 28 Desember 2022

TAHUN BARU DAN KALENDER



Sewaktu penulis menyusun artikel ini, beberapa hari lagi kita akan merayakan Tahun Baru. Apa itu Tahun Baru? Tahun Baru adalah waktu atau saat ketika tahun-kalender yang baru dimulai, dan secara otomatis orang menyatakan bahwa tahun-kalender yang kita pakai akan bertambah satu. Terjadinya tahun baru hanya berlaku pada penanggalan yang kita anut – dan pada saat yang sama – belum tentu terjadi tahun baru di sistem penanggalan yang lain. Bagian terbesar umat manusia memakai penanggalan Masehi, dan tahun baru berlangsung pada tanggal 1-Januari. Hari sebelumnya adalah hari terakhir tahun lama yakni tanggal 31 Desember, dan malam terakhir di tahun tersebut dinamakan Malam Tahun Baru.

 

Penanggalan Masehi adalah kalender surya atau solar calendar, artinya penanggalan yang dibuat berdasarkan pergerakan matahari di langit. Kalender ini diciptakan oleh bangsa Romawi, dan menurut catatan sejarah diciptakan oleh Romulus, pendiri Roma, pada abad kedelapan sebelum Masehi.

 

Untuk memahami kurun waktu selama "satu tahun", yang menjadi dasar pembuatan kalender surya, kita harus memahami dahulu apa yang dinamakan "ekuinoks" (equinox, Ingg.). Ekuinoks matahari adalah momen ketika matahari melintasi ekuator bumi atau garis khatulistiwa, yakni berada tepat di atas ekuator, bukan di sisi utara atau sisi selatan khatulistiwa. Pada hari ekuinoks, matahari tampak terbit persis "di timur" dan terbenam "di barat". Ini hanya terjadi dua kali setiap tahunnya, sekitar tanggal 20 Maret dan 23 September. Pada hari ekuinoks, panjangnya siang dan malam kira-kira sama di seluruh planet kita ini. Manusia sudah mengenal fenomena alam ini sejak zaman purba. Budaya khatulistiwa primitif mencatat hari istimewa ini, ketika matahari terbit persis di ufuk timur dan terbenam di ufuk barat; dan ini terjadi pada hari yang paling dekat dengan peristiwa yang ditentukan secara astronomis. Berdasarkan piranti kuno yang dibuat manusia pada zaman itu, yakni jam-matahari (sundial, Ingg.), durasi siang hari adalah tepat 12 jam.

 

Jika orang dengan teliti mengamati pergerakan matahari di langit setiap waktu, maka terlihat jalur lintasannya berbeda setiap harinya. Sebenarnya lintasan matahari di langit adalah gerak semu, karena bumi yang sesungguhnya berputar mengelilingi matahari dengan sudut yang berubah-ubah. Selanjutnya kita akan mengenal istilah berikutnya, yakni solstice atau "titik balik". Solstice adalah peristiwa yang terjadi ketika matahari tampaknya mencapai sisi paling utara dan sisi paling selatan, relatif terhadap ekuator pada bola langit. Jadi matahari seolah-olah bergerak di atas ekuator menuju utara hingga mencapai titik balik utara, kemudian bergeser kembali ke arah selatan hingga tiba lagi di ekuator. Lalu matahari terus bergerak ke arah selatan hingga mencapai titik balik selatan. Setelah itu sang surya pun kembali ke ekuator, dan siklus itu berulang kembali. Perjalanan matahari hingga tiba kembali di ekuator selama satu siklus penuh itu, yang kita sebut berlangsung satu tahun tropis.

 

Dua titik balik matahari terjadi setiap tahun, yakni sekitar tanggal 21 Juni dan 22 Desember. Di belahan bumi utara, ekuinoks Maret disebut "ekuinoks musim semi", sedangkan ekuinoks September disebut "ekuinoks musim gugur". Di belahan bumi selatan justru keadaannya terbalik. Tepat di saat titik balik matahari terjadi fenomena alam yang menarik. Pada sekitar tanggal 21 Juni belahan bumi utara mendapatkan sinar matahari terbanyak dalam setahun, pula durasi siang paling lama dalam setahun itu (otomatis durasi malam paling pendek). Dikatakan pada hari itu belahan bumi utara berada pada "titik balik musim panas". Sebaliknya pada 22 Desember terjadi "titik balik musim dingin", dengan durasi siang paling pendek dalam setahun.

 

Kita kembali meninjau kalender Masehi. Dikisahkan bahwa Romulus, raja pertama Romawi, menciptakan kalender awal yang menjadi cikal bakal penanggalan yang kita pakai sekarang. Kalender Romawi awal hanya terdiri dari 10 bulan dan 304 hari, dengan setiap tahun baru dimulai pada saat terjadinya ekuinoks musim semi. Penerus Romulus, yakni Numa Pompilius, menambahkan bulan Januarius dan Februarius, sehingga satu tahun menjadi 12 bulan. Selama berabad-abad, kalender tidak sinkron dengan pergerakan matahari, dan pada tahun 46 seb.M., saat itu penguasa Romawi, Julius Caesar (13-Jul-100 - 14-Mar-44 seb.M.), memutuskan untuk memecahkan masalah tersebut. Dia mengundang para astronom dan matematikawan paling terkemuka pada masanya untuk menyempurnakan kalender yang selama itu dipergunakan oleh bangsa Romawi. Kalender yang direvisi oleh Julius ini kelak dinamakan sebagai "Kalender Julian".

 

Sebagai bagian dari reformasinya, Caesar menetapkan 1 Januari sebagai hari pertama tahun yang baru. Hari tersebut dimaksudkan untuk menghormati nama bulan itu: Janus, dewa permulaan Romawi yang memiliki dua wajah. Janus mampu melihat ke belakang ke masa lalu, serta menatap maju ke masa depan. Sebelumnya bangsa Romawi merayakan tahun baru pada saat ekuinoks musim semi, tetapi dengan adanya perubahan tersebut 1 Januari ditetapkan sepuluh hari setelah titik balik musim dingin. Masih ada sistem penanggalan lain yang menetapkan tahun baru pada saat berlangsungnya ekuinoks musim semi. Salah satunya adalah kalender umat Hindu Bali, yang menetapkan Tahun Baru Saka pada saat bulan-mati di dekat berlangsungnya ekuinoks musim semi.

 

Jika Januari dikaitkan dengan Janus, dewa bangsa Romawi, maka Februari berasal dari Februus, yaitu dewa penyucian dalam mitologi Etruria. Selanjutnya Maret asalnya dari Martius atau Dewa Mars, yang dianggap sebagai nenek moyang bangsa Romawi. Menurut legenda, Mars adalah ayah dari Romulus dan Remus, keduanya penguasa awal Romawi. Dengan kedudukannya yang terhormat, Mars atau Maret pada awalnya dijadikan sebagai bulan pertama dalam kalender. April nama yang cukup sulit untuk dilacak; namun kemungkinan berasal dari Aphrilis, yang diturunkan dari kata Yunani Aphrodite, yang berarti "Dewi Cinta". Sampai sekarang "April" masih populer dipakai sebagai nama orang. Seterusnya Mei berasal dari Maia (ini bukan nama biduan kita!), yakni sesosok dewi Yunani, yang merupakan ibunda dari Hermes (ini juga bukan merk tas mahal!). Hermes dikenal sebagai kurir para dewa. Selanjutnya Juni, berasal dari Juno. Siapa dia gerangan? Juno adalah sosok dewi Yunani yang penting. Juno merupakan pelindung kota Roma, sekaligus dia itu permaisuri Jupiter, ratu para dewa.

 

Bulan ketujuh, kedelapan, kesembilan, dan kesepuluh, tetap berasal dari penamaan awal yang digagas oleh Romulus. September dari bahasa Latin septem, artinya "tujuh". Karena adanya dua bulan tambahan di awal tahun, September kemudian dinobatkan menjadi bulan kesembilan. Seterusnya Oktober berasal dari bahasa Latin octo, maknanya "delapan". Mestinya Oktober adalah bulan kedelapan, tetapi karena ada dua bulan tambahan, Oktober kini menjadi bulan kesepuluh. Selebihnya para pembaca bisa menebak sendiri. November asalnya dari kata Latin novem atau "sembilan", sedangkan Desember berasal dari kata decem, yang maknanya "sepuluh".

 

Bulan setelah Juni dinamakan Quinctilis atau Quintilis, bulan "kelima". Belakangan nama bulan ini berubah menjadi Iulius atau Julius untuk menghormati Julius Caesar. Sekarang kita menyebut bulan ketujuh ini sebagai "Juli" atau July (Ingg.). Setelah Quintilis, urutan berikutnya adalah Sextilis atau "keenam"  Setelah reformasi kalender yang menghasilkan setahun terdiri dari dua belas bulan, Sextilis menjadi bulan kedelapan, tetapi belakangan penguasa Kekaisaran Romawi mengganti namanya menjadi "Agustus". Penggantian nama ini untuk memberikan penghormatan kepada Octavianus Agustus (23-Sep-63 seb.M. - 19-Agu-14 M.). Siapa Agustus itu? Agustus adalah orang yang mengubah Kerajaan Romawi menjadi Kekaisaran Romawi, sekaligus menjabat sebagai kaisar yang pertama. Di bawah kepemimpinan Agustus, kerajaan Romawi berhasil memperluas wilayah kekuasaannya. Agustus pun dikenal sebagai pimpinan yang cakap, dan tidak ada satu pun penerusnya yang bisa menyamai prestasinya.

 

Seperti yang telah disebutkan di atas kalender Romawi awal hanya terdiri dari 10 bulan, yang sama dengan 304 hari. Oleh Numa Pompilius ditambahkan dua bulan, sehingga satu tahun menjadi dua-belas bulan, kurang-lebih sama dengan 365 hari. Dengan bantuan para astronom dan matematikawan, Julius Caesar telah menyimpulkan bahwa satu tahun sama dengan 365 plus seperempat hari. Mereka pun telah membagi satu tahun menjadi dua-belas bagian yang kurang lebih sama dan mendekati sempurna. Adapun pembagiannya sebagai berikut: (1) Bulan ganjil seperti Januari dan Maret memiliki 31 hari; (2) Bulan genap seperti Februari dan April mempunyai 30 hari. Dengan demikian dalam satu tahun ada 6 × 31 ditambah 6 × 30, sama dengan 366 hari. Aturan itu berlaku untuk tahun-panjang atau tahun kabisat. Untuk tahun-biasa, pada bulan genap yang pertama yakni Februari, jumlah harinya dikurangi satu; sehingga Februari bisa berisi 30 hari atau 29 hari. Kemudian perubahan terjadi lagi sewaktu Sextilis ditetapkan menjadi "Agustus". Semula Agustus karena merupakan bulan genap, hanya terdiri dari 30 hari. Lalu sementara orang melakukan protes, mengapa banyaknya hari pada bulan Agustus lebih sedikit dibandingkan bulan Juli. Padahal Kaisar Agustus lebih mulia dibandingkan Julius Caesar. Orang kita bilang hal ini bo ceng lie alias "tidak patut". Jadi diputuskan agar banyaknya hari di bulan Agustus ditambahkan menjadi 31. Kelebihan satu hari dalam setahun dikompensasikan dengan mengurangi banyaknya hari di bulan Februari. Sekarang Februari memiliki 29 hari di tahun kabisat dan 28 hari pada tahun-biasa. Lalu September diubah menjadi 30 hari, karena sudah ada dua bulan sebelumnya yang memiliki 31 hari. Demikian juga perubahan dilakukan pada Oktober, November, dan Desember.

 

Selanjutnya kita bahas penentuan tahun Masehi. Setelah agama Kristen dianut oleh bangsa Eropa, otorisasi untuk urusan publik yang penting – termasuk kalender – dilakukan oleh pimpinan gereja tertinggi yakni Paus. Penentuan permulaan kalender, yakni tahun 1 Masehi, mengacu pada tahun kelahiran Jesus Kristus. Jadi 1 Januari Tahun 1 M. merupakan awal penanggalan kita. Hari-hari selanjutnya hingga hari ini kita memasuki Anno Domini atau AD, yang artinya "Tahun Tuhan Kita". Sedangkan masa sebelumnya dalam bahasa Inggris dinamakan Before Christ disingkat BC, diindonesiakan "sebelum Masehi". Perlu Anda sekalian ketahui, penanggalan kita dimulai dari Tahun "1" dan bukan dari Tahun "0". Jadi malam tahun baru permulaan penanggalan kita adalah 31-Desember Tahun 1 sebelum Masehi.

 

Kalender Julian yang memuat 365 hari di tahun biasa dan 366 hari di tahun kabisat, dengan tahun kabisat terjadi empat tahun sekali (dipilih pada angka tahun yang habis dibagi empat), cukup akurat untuk dipakai di Kekaisaran Romawi. Namun kenyataannya setelah berabad-abad, Kalender Julian melenceng juga. Hal ini terjadi karena peredaran bumi mengitari matahari untuk satu putaran penuh – yakni kurun waktu genap satu tahun lamanya – bukanlah 365,25 hari, tetapi tepatnya 365,2425463 hari. Angka ini termasuk bilangan irasional, bukan bilangan pecahan biasa. Anda mungkin mengira selisih antara keduanya kecil, jadi bisa diabaikan. Namun ternyata tahun Julian lebih panjang dari tahun tropis (atau tahun sesungguhnya); rata-rata sekitar 11,3 menit, atau 1 hari dalam 128 tahun. Selama berabad-abad penyimpangan ini cukup mengganggu. Misalnya pada tahun 300 M ekuinoks musim semi terjadi pada sekitar 21 Maret, namun pada tahun 1580-an peristiwa tersebut maju ke 11 Maret. Mengapa hal itu terjadi? Karena adanya tahun kabisat yang berkelebihan selama 13 abad.

 

Penyimpangan ini mendorong Paus Gregorius XIII (pemegang tahta suci: 13-Mei-1572 - 10-Apr-1585), untuk melakukan koreksi terhadap kalender Julian yang selama ini dipakai di Eropa. Sri Paus ingin mengembalikan momen perayaan Paskah, yang tanggalnya sudah bergeser jauh dari saat ekuinoks musim semi pada masa itu. Dengan melakukan pembetulan kalender, dia berusaha agar saat penentuan Paskah di zaman dia hidup dan di masa depan, kalender akan menunjukkan tanggal yang sama.

 

Tersebutlah seorang dokter, merangkap astronom dan sekaligus filsuf yang telah menghitung kesalahan yang terjadi pada kalender Julian. Dia adalah Aloysius Lilius alias Luigi Lilio (1510 - 1576). Dalam proposalnya yang disampaikan kepada Sri Paus, Lilius mengusulkan untuk mengurangi jumlah tahun kabisat dari 100 menjadi 97 setiap kurun waktu 400 tahun. Dia juga mengusulkan bahwa pergeseran 10 hari harus diperbaiki, dengan cara menghapus hari kabisat pada sepuluh kali kemunculannya, selama periode empat puluh tahun.

 

Atas dasar perhitungan yang dilakukan oleh Lilius, Paus Gregorius XIII pada tahun 1582 melakukan perubahan kalender Julian, yang telah berlangsung sejak ditetapkan oleh Julius Caesar. Beliau menetapkan Kamis, 4-Oktober-1582 diteruskan ke hari Jumat, 15-Oktober-1582. Dengan demikian tanggal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13. dan 14 Oktober 1582 tidak pernah ada dalam sejarah umat manusia. Oktober 1582 pun hanya terdiri dari 21 hari, alih-alih 31 hari. Namun urutan hari tidak mengalami perubahan, yakni dari Kamis menjadi Jumat. Sri Paus juga menetapkan untuk tahun yang dua digit terakhirnya 00, tahun kabisat diberlakukan jika tahun tersebut habis dibagi 400. Jadi tahun 1600 merupakan tahun kabisat, tetapi tahun 1700 atau 1800 ditetapkan sebagai tahun biasa (yakni tahun yang bulan Februari-nya hanya sampai tanggal 28).

 

Setelah dilakukan revisi oleh Paus Gregorius XIII, kalender ini sanggup memberikan kepastian dan ketelitian; sehingga antara tahun tropis dengan tahun kalender, akan sinkron sampai beberapa ribu tahun ke depan. Hingga tiba satu saat terjadi penyimpangan lagi. Apakah ada di antara Anda yang ingin melakukan koreksi lebih lanjut? Atas jasa-jasa Sri Paus, kalender yang kita pakai sekarang dinamakan Kalender Gregorian, atau Kalender Julian-Gregorian.

 

Selain kalender surya atau solar calendar kita mengenal pula kalender candra atau luni calendar. Kalender candra adalah sistem penanggalan yang didasarkan atas perhitungan fase bulan, dengan setiap hari dalam kalender ini menandakan satu penampakan bulan yang dilihat orang di bumi. Kalender bulan yang sepenuhnya didasarkan pada fase bulan ini adalah Kalender Hijriah dan Kalender Jawa-Islam. Kedua kalender ini terdiri dari 12 bulan dan biasanya memiliki 354 atau 355 hari setiap tahunnya. Kalender Hijriah memulai tahun barunya pada tanggal 1 bulan Muharam. Karena banyaknya hari dalam Kalender Hijriah hanya 354 hari sedangkan pada Kalender Gregorian jumlah harinya 356 hari, maka pada setiap periodenya Tahun Baru Hijriah maju sebanyak 11 sampai 12 hari relatif terhadap penanggalan Masehi.

 

Kalender candra atau disebut pula kalender qamariyah, didasarkan atas perhitungan fase bulan. Saat bulan tidak terlihat sama sekali dari bumi dijadikan patokan sebagai tanggal 1, dan pada waktu purnama raya ditetapkan sebagai tanggal 15. Seperti juga peredaran bumi terhadap matahari dalam satu periode penuh merupakan bilangan irasional, demikian juga revolusi bulan mengelilingi bumi. Lamanya bulan mengedari bumi adalah 29,53059 hari atau kira-kira dua-puluh-sembilan tambah setengah hari. Dengan demikian jika kita perhatikan penanggalan bulan dalam kalender mana pun, banyaknya hari dalam sebulan 29 atau 30 hari, tidak lebih tidak kurang.

 

Mayoritas kalender candra adalah kalender yang bukan murni mendasarkan perhitungan pada fase bulan saja, melainkan juga memperhitungkan pergantian musim yang dipengaruhi oleh peredaran bumi terhadap matahari. Kalender jenis ini disebut sebagai kalender lunisolar atau kalender surya-candra. Banyaknya hari dalam penanggalan surya-candra berkisar antara 354 hari sampai 384 hari per tahunnya. Salah satu contoh kalender kalender lunisolar yang terkenal adalah Kalender Tionghoa, yang termasuk satu penanggalan tertua di dunia yang masih dipakai orang hingga hari ini. Seperti yang kita tahu bagi orang Tionghoa kalender ini sudah mandarah-daging sejak masa purbakala. Setiap tanggal 1 ketika bulan mati dan saat bulan purnama-sempurna (yakni tanggal 15), adalah hari beribadah yang tidak boleh dilewatkan begitu saja. Dengan demikian kalender ini dijadikan acuan mutlak, dan penanggalan ini bisa dipercaya karena ketepatan dan ketelitiannya yang luar biasa. Tetapi selama dua-belas bulan banyaknya hari hanya 354 atau 355 hari, dan kurun waktu ini belum genap satu tahun tropis. Untuk mengakalinya, para pembuat kalender menambahkan "bulan kabisat". Bulan kabisat ini merupakan bulan-ganda yang bisa disisipkan misalnya di bulan kedelapan atau di bulan lainnya; sedemikian sehingga muncul 7 bulan-ganda setiap 19 tahun. Setiap pergantian tahun, ada tahun baru yang dinamakan "Tahun Baru Imlek" (jatuh pada tanggal 1 bulan 1), dan tahun Tionghoa pun bertambah satu. Dilihat dari kalender Gregorian, Tahun Baru Imlek jatuh pada tanggal yang berbeda setiap tahunnya, tetapi tidak di luar periode antara tanggal 21 Januari sampai 20 Februari.

 

Di dunia ini ada banyak sistem penanggalan yang masih dipakai orang. Tentu ada keuntungan dan kerugiannya jika banyak macam kalender yang dipakai. Namun jika setiap orang menggunakan kalender yang berbeda-beda, komunikasi akan berjalan tidak lancar. Seperti kita memakai sistem ukuran yang berbeda. Misalnya yang satu mengukur panjang satu barang sepanjang 3,0 cm, yang lain menyebutnya 1,2 inch. Ini karena yang pertama menggunakan sistem metrik sedangkan yang kedua memakai satuan Inggris, padahal panjangnya sama. Kedua ukuran itu bisa dikonversikan, tetapi toh kita kehilangan banyak waktu. Demikian juga jika dua orang bicara tentang satu peristiwa di masa lalu. Yang satu menceritakan dengan acuan Kalender Tionghoa sedangkan yang kedua memakai penanggalan Hindu Bali, pasti sulit kita membayangkan kapan peristiwa itu sebenarnya terjadi. Untuk itu diperlukan kalender yang dipakai oleh mayoritas umat manusia di dunia ini. Dan penanggalan yang sekarang paling banyak dipakai adalah Kalender Gregorian.

 

Bangsa Belanda mengakui dan menggunakan Kalender Gregorian sejak tahun 1582. Dengan demikian Indonesia yang dulunya bernama Nusantara juga mengikuti kalender yang sama, karena Belanda selama lebih dari tiga abad menjajah Nusantara. Negara-negara di Eropa menerima Kalender Gregorian juga tidak serentak, tetapi belakangan semua negara di Benua Biru itu telah menerimanya. Tiongkok mengganti penanggalan Tionghoa dan mengadopsi Sistem Gregorian pada tahun 1912. Arab Saudi mengganti penanggalan Hijriah, dengan menerapkan Kalender Gregorian mulai tahun 2016 yang lalu.

 

Ada cerita menarik di Tiongkok pada saat dilakukan penerapan Kalender Gregorian di sana. Menurut Nio Joe Lan dalam bukunya, Peradaban Tionghoa Selayang Pandang, Gramedia, 2002, bahkan rezim yang berkuasa saat itu sampai melarang rakyatnya merayakan Tahun Baru Imlek. Mereka meminta agar masyarakat merayakan Tahun Baru Masehi, karena Tahun Baru Imlek dianggap sudah usang. Tetapi dalam perjalanan sejarah ternyata Tahun Baru Imlek tidak mudah dihapus begitu saja. Tentu saja ketika ada pelarangan itu, rakyat tidak berani menantang Pemerintah secara terang-terangan. Dengan demikian berbagai akal dan cara digunakan untuk tetap menjalankan tradisi yang telah mengakar sejak zaman nenek moyang mereka. Misalnya perusahaan surat-kabar harian saat menjelang Imlek, mereka menggunakan alasan untuk berlibur. Mereka menyatakan bahwa mesin cetak mereka sedang mengalami kerusakan. Dengan demikian butuh waktu beberapa hari untuk memperbaiki kerusakan mesin tersebut, dan koran pun tidak terbit. He-he-he! Jadi bisa dikatakan bahwa sampai tahun 1949, Tahun Baru Imlek tetap dirayakan oleh rakyat Tiongkok secara diam-diam. Setelah rezim Sun Yat Sen runtuh, Republik Rakyat Tiongkok tetap menggunakan tarikh Masehi, namun rakyat tidak dilarang merayakan Imlek.

 

Sekarang kita sudah berada di penghujung tahun. Penulis mengucapkan Selamat Tahun Baru 2023 kepada segenap Pembaca. Semoga di tahun yang baru kita akan lebih maju dibandingkan tahun sebelumnya.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/221228

 

Rabu, 14 Desember 2022

DEWA KOTA, DEWA BUMI, DAN DEWA DAPUR




Pada artikel yang lalu kita telah membahas Kaisar Langit atau Kaisar Kemala, atau Yù Huáng Dà Dì, sebagai sosok Tuhan dalam agama orang Tionghoa, dan dia adalah penguasa puncak alam semesta. Alam semesta menurut kepercayaan kosmologi Tiongkok Kuno terdiri dari tiga ranah (atau domain), yakni Surga, Bumi, dan Dunia Bawah. Setiap ranah dikuasai dan diperintah oleh sejumlah besar dewa dan dewi. Ranah Surgawi diperintah oleh Kaisar Kemala sendiri, yang memimpin kerajaan langit dengan dibantu oleh sejumlah dewa-dewi utama. Sedangkan di Bumi diperintah oleh dewa-dewa lokal, yang merupakan perwakilan kekuasaan Kaisar Langit. Di dunia-bawah pengelolaannya dipercayakan kepada Dewa Yama, yang dibantu oleh sepuluh Raja-Kematian. Khusus untuk dunia-bawah para pembaca bisa melihat kembali artikel kami yang lalu, yang berjudul "Dunia Bawah."

 

Jika kita mempelajari sejarah peradaban manusia, kita tahu bahwa manusia purba hidup secara berkelompok di alam bebas. Lama-kelamaan dengan berkembangnya peradaban, manusia tinggal di dusun-dusun, kemudian belakangan mereka mulai mendiami kota-kota. Mirip dengan kepercayaan Yunani Kuno, orang Tionghoa mempercayai keberadaan dewa-dewa penjaga, yang mengawasi masing-masing kota. Dewa lokal atau dewa kota yang dikenal dalam masyarakat Tiongkok dinamakan Chéng Huáng Yé (城隍爺). Secara harfiah Chéng (城) adalah tembok yang mengelilingi kota dan Huáng (隍) tidak lain parit kering di luar tembok; Yé (爺) adalah kakek atau tuan terhormat. Chéng Huáng Yé secara keseluruhan memiliki arti 'Kakek Pelindung Kota'.

 

Mungkin ada pembaca yang bertanya-tanya, mengapa dewa kota menjaga parit dan tembok? Kita harus melihat apa yang dilakukan oleh nenek moyang bangsa Tionghoa sewaktu mereka memutuskan untuk bertempat tinggal di sebuah dusun. Di zaman itu manusia hidup berkelompok dengan membangun rumah-rumah di satu lokasi tertentu. Untuk melindungi diri dari ancaman binatang buas atau pencuri yang akan mengambil harta benda, mereka membangun tembok yang kokoh dan tinggi, agar para pengganggu tidak bisa menerobos masuk. Di bagian depan pemukiman itu mereka membangun sebuah pintu gerbang, yang selalu dikunci atau dijaga oleh seorang petugas. Lama kelamaan ukuran dusun bertambah besar, atau dusun menjelma menjadi sebuah kota. Tembok tinggi dan kokoh tidak memadai lagi, apalagi saat seorang penguasa atau raja berkuasa di dalam kota. Kota perlu dilengkapi dengan para penjaga yang bersenjata. Para penjaga ini secara berkala berpatroli di bagian dalam tembok, untuk memastikan tidak ada penyusup yang bisa masuk. Guna memudahkan pengawasan mereka membangun parit yang lebar di sekeliling tembok bagian luar. Parit ini bisa berisi air, atau dibiarkan kering begitu saja. Anda yang pernah mengunjungi kastil di Eropa mungkin pernah melihat bahwa kastil dikelilingi dinding tinggi dan ada parit lebar di depannya. Di beberapa bagian tembok sisi dalam ditempatkan pos-pos pengintaian. Demikianlah gambaran kota di zaman kuno, yang amat berbeda dengan kota-kota yang kita huni kini. Inilah asal muasal dewa yang bertugas melindungi kota, yang mana mereka sedianya bertugas di parit dan tembok yang membentengi kota.

 

Dewa Kota adalah dewa lokal yang sehari-harinya bertugas di kota itu, dan dia tunduk serta bertanggung jawab kepada Sang Kaisar Kemala. Sama halnya dengan pejabat daerah di satu kota yang mendapat kepercayaan langsung dari Kaisar Tiongkok, demikian juga kedudukan sesosok dewa kota. Dengan demikian dunia para dewa serupa dengan dunia manusia. Berdasarkan logika seperti itu, dewa kota pun memiliki istananya sendiri. Istana itu berbentuk kuil dewa kota, dan di banyak kota di Negara Tiongkok didirikan kuil khusus untuk menyembah Chéng Huáng Yé.

 

Di kuil yang didirikan oleh warga kota untuk menyembah Chéng Huáng Yé, selain ada patung atau rupang yang menggambarkan dewa kota tersebut, kerap ada arca dewa lainnya yang menjadi pujaan penduduk kota itu. Misalnya di sana ada patung Dewa Guān Yǔ dan Dewi Māzǔ. Dalam pemahaman masyarakat di sana mereka tahu bahwa Dewa Guān Yǔ (atau Koan Kong) dan Dewi Māzǔ berkedudukan di istana Kaisar Langit, bukan di kota atau distrik mereka. Namun demi memudahkan mereka menyembah keduanya, mereka dapat bersembahyang dan mempersembahkan dupa di kuil yang sama. Namun masyarakat di sana pun tahu bahwa hanya ada satu dewa utama yang menjadi pengayom dan pelindung kota tersebut.

 

Dewa Kota menurut pengertian masyarakat Tionghoa bukanlah sosok dewa yang sama, karena setiap sosok dewa kota ganti-bertugas setiap tiga tahun sekali. Kurun waktu ini sama seperti seorang penguasa-kota, yang berganti jabatan setiap tiga tahun. Baik penguasa-kota maupun dewa kota memegang kekuasaan atas wilayah administratif yang sama. Penguasa-kota menangani urusan-urusan duniawi, sedangkan dewa kota mengurus hal-hal gaib. Penguasa-kota memberikan penghormatan formal kepada Chéng Huáng Yé dan menyembahnya. Dia pun mengharapkan bantuan supranatural dari Dewa Kota selama terjadi krisis yang bersumber pada kekuatan di luar wilayah kekuasaannya; seperti saat kota menghadapi kekeringan, banjir, atau bencana alam lainnya. Di antara tugas lainnya, dewa kota juga memiliki tanggung jawab untuk mengirim jiwa orang mati – yang meninggal dunia di wilayahnya – ke Dunia Bawah. Jika sosok dewa kota selalu mengalami pergantian secara periodik, siapa gerangan yang dapat menjadi dewa kota? Dewa kota biasanya berasal dari inkarnasi seorang manusia saleh, yang pernah menjadi pejabat di masa lampau.

 

Masyarakat dari perkotaan dan pedesaan sekitarnya yang pergi ke kuil dan bersembahyang kepada Chéng Huáng , boleh mengajukan permintaan khusus seperti memohon agar menjadi orang kaya, meminta jodoh, atau segera diberikan keturunan. Permintaan yang paling umum tidak lain agar mereka diberikan kesehatan dan keselamatan. Hari ulang tahun Chéng Huáng dirayakan masyarakat perkotaan secara megah dan biasanya mampu mendatangkan kehadiran banyak orang. Pada saat istimewa itu diadakan pertunjukan teater drama, basar makanan dan minuman, pertunjukan petasan dan kembang api, pagelaran barongsai, serta kemeriahan masal yang ditunjukkan dengan asap dupa yang pekat di kuil. Pada perayaan tersebut juga diadakan upacara mengusung arca Chéng Huáng Yé ke jalan-jalan di sekitar kuil, dengan tema "Chéng Huáng Yé sedang menginspeksi rakyatnya."

 

Orang biasa selain menjalin hubungan dengan dewa kota, juga berkomunikasi dengan dewa-dewi lainnya secara personal. Mereka berinteraksi dengan berbagai cara, dan di Ranah Bumi dewa-dewi yang ada di sana cukup banyak. Makhluk surgawi ini antara lain berwujud dewa bumi, dewa rejeki, dan dewa dapur.

 

Dewa penting lainnya dari Wilayah Bumi adalah Dewa Bumi atau Tǔdì Gōng (土地公)yang bermakna "Penguasa Lahan dan Tanah" atau Thó-tī-kong (Hokkian). Dewa Bumi dinamakan pula Tǔdì Shén (土地神 atau 'Dewa Tanah'), yang merupakan dewa pelindung suatu wilayah dan komunitas manusia di dalamnya. Dewa Bumi adalah bawahan Dewa Kota. Setiap dusun memiliki dewa buminya sendiri-sendiri, demikian pula setiap lingkungan bahkan keluarga terpandang memiliki dewa bumi masing-masing.

 

Contoh paling jelas peran Tǔdì Gōng sebagai penguasa tanah atau lahan kerap kita temukan di lokasi kuburan cina. Di samping makam leluhur orang Tionghoa kita sering melihat bangunan rumah-rumahan kecil, tempat kita mempersembahkan lilin, dupa, teh, dan manisan kepada dewa bumi. Pada bagian atas altar ditulis aksara Fú Shén (福神) atau Hòu Tǔ (后土). Pada saat perayaan Ceng Beng, Anda diwajibkan untuk bersembahyang kepada Dewa Bumi terlebih dahulu, sebagai penghormatan dan memohon izin Beliau. Baru setelah selesai ritual ini, Anda boleh melakukan puja bakti kepada para leluhur. Tǔdì Gōng yang berkuasa di kuburan berfungsi sebagai pelindung untuk mengusir roh-roh jahat, yang mungkin mengganggu arwah leluhur yang dimakamkan di sana.

 

Karena dewa bumi ini dipercaya orang sebagai penguasa tanah, altar untuk Tǔdì Gōng selalu diletakkan sejajar dengan lantai atau tanah. Di pedesaan, dia terkadang didampingi isterinya, Tǔdì Pó (土地婆,'Nenek Lahan dan Tanah'), yang ditempatkan di sebelahnya di atas altar. Tǔdì Pó dapat dipandang sebagai dewi yang adil dan baik hati pada peringkat yang sama dengan suaminya, atau sebagai wanita tua yang enggan menahan berkah dari suaminya. Dewa bumi konon merupakan golongan yang paling rendah dalam 'Tata Birokrasi Kerajaan Langit', tetapi dewa bumi hidup berdampingan dan paling dekat dengan manusia, dibandingkan kelompok dewa lainnya.

 

Tǔdì Gōng sering dikacaukan dengan Dà Bógōng  (大伯公). Dà Bógōng disebut oleh etnis Hakka sebagai Thai-Phak-Kung, sedangkan orang Hokkian menamakannya Tōa-Peh-Kong, atau diindonesiakan sebagai Tepekong. Dà Bógōng sebenarnya adalah sosok dewa dalam jajaran agama rakyat Tionghoa Peranakan di Malaysia, Singapura, dan sebagian Indonesia. Dia dikenal sebagai Dewa Air yang dipuja semenjak zaman Dinasti Sòng oleh para pelaut, demi mendapatkan keselamatan dalam pelayaran mereka. Para imigran Tionghoa yang bekerja di perkebunan lada di Semenanjung Malaya mulai memujanya pada awal abad ke-19. Diyakini bahwa keberadaan Dà Bógōng di Penang dimulai sekitar 40 tahun sebelum kedatangan Kapten Francis Light, tepatnya pada tahun 1746 (Francis Light adalah orang Inggris yang pada tahun 1786 mendirikan Penang).

 

Salah kaprah penyebutan ini sering terjadi dalam percakapan sehari-hari. Misalnya: "saya hendak pergi ke bio untuk minta berkah pada Tepekong," padahal maksudnya: "saya akan pergi ke bio untuk bersembahyang dan memohon kepada Dewa / Dewi." Contoh lainnya: "rangkaian ritual Tahun Baru Imlek diakhiri dengan digelarnya gotong tepekong", seharusnya: "rangkaian ritual Tahun Baru Imlek diakhiri dengan digelarnya arak-arakan arca dewa-dewi di atas tandu"

 

Seperti yang dikatakan di atas ciri utama dari Tǔdì Gōng adalah batasan yurisdiksinya yang mengacu pada satu tempat, misalnya, jembatan, jalan, kuil, bangunan umum, rumah pribadi, atau lapangan. Tetapi Tǔdì Gōng mana pun tunduk pada atasannya, yakni Chéng Huáng Yé. Dalam lingkup rumah pribadi, Tǔdì Gōng sering diidentikkan dengan dewa kekayaan atau dewa rejeki. Dewa Kekayaan atau Cái Shén (財神) atau 財神爺 (Cái Shén Yé) atau Cai Sin Ya (Hokkian), adalah dewa yang menguasai kekayaan, harta, atau rezeki dalam kepercayaan orang Tionghoa. Altar untuknya, selain terdapat di kuil-kuil, juga dipuja dalam lingkungan rumah tangga. Dewa Kekayaan sangat banyak macamnya, yang diwujudkan dalam bentuk patung atau gambar, Di Tiongkok Kuno, kalangan pedagang percaya bahwa Dewa Kekayaan adalah dewa yang bisa memberikan mereka keuntungan ribuan kali lipat, membuat orang menjadi sangat kaya, atau membuat usaha mereka tidak merugi. Atas dasar kepercayaan tersebut, mereka akan menempelkan gambar dewa atau meletakkan arcanya di ruangan toko, memujanya, dan melengkapinya dengan sebuah altar persembahan.

 

Terakhir, dalam Ranah Bumi ini ada dewa-dewi yang sangat akrab dengan manusia, baik dari segi kedekatan maupun pola hidupnya. Dewa ini dikenal sebagai Dewa Dapur. Zào Jūn (灶君) atau Tuan Dapur atau Chàu-kun (Hokkian); biasa pula dipanggil sebagai Zào Shén (灶神) atau Dewa Dapur atau Chàu-sîn (Hokkian). Sering pula dipanggil sebagai Zào Jūn Gōng (灶君公) atau Chàu-kun-kong (Hokkian). Dewa Dapur terkadang disebut sebagai Dewa Tungku, dan ini menunjukkan pentingnya dewa ini bagi kehidupan keluarga, karena dapur atau tungku dianggap mewakili kesatuan keluarga. Setiap keluarga memiliki dewa dapurnya sendiri, yang dianggap sebagai wali keluarga tersebut. Dewa dapur adalah perantara utama dalam sebuah keluarga dengan dewa-dewa penting lainnya.

 

Dewa dapur dulunya berasal dari manusia biasa, yang kemudian ber-reinkarnasi menjadi dewa. Meskipun ada beberapa versi, penulis memilih satu kisah yang paling populer, yang berasal dari sekitar abad ke-2 seb.M. Zào Jūn awalnya adalah manusia fana yang hidup di bumi dan dia bernama Zhang Lang. Setelah cukup umur dia menikah dengan wanita yang berbudi luhur. Tetapi Zhang tidak setia dalam perkawinannya, malahan belakangan dia jatuh cinta dan berselingkuh dengan seorang wanita yang lebih muda. Dia lalu meninggalkan isterinya untuk hidup bersama dengan wanita itu. Sebagai hukuman atas ketidaksetiaan dan tindakan perzinahan ini, Surga membalasnya dan Zhang Lang menemui nasib buruknya. Dia belakangan menjadi buta, dan kekasih mudanya meninggalkan dia. Dalam kemalangannya dia hidup terlunta-lunta, sampai dia terpaksa mengemis untuk menghidupi dirinya sendiri.

 

Suatu ketika, saat mengemis sedekah, Zhang kebetulan melintasi rumah mantan isterinya. Menjadi buta, dia tidak sadar siapa yang ada di hadapannya. Terlepas dari perlakuan buruk yang pernah dialaminya, sang mantan isteri alih-alih mendendam, dia malahan mengasihani Zhang dan mengundangnya masuk. Dia lalu memasak makanan yang luar biasa untuk mantan suaminya, dan merawatnya dengan penuh kasih sayang. Zhang kemudian menceritakan kisah hidupnya kepadanya. Saat itulah Zhang Lang diliputi rasa bersalah, dan dia menangis sejadi-jadinya menyesali perbuatan buruknya. Setelah mendengar dia meminta maaf, mantan isteri Zhang menyuruhnya untuk membuka matanya, dan mendadak penglihatan Zhang pulih kembali. Menyadari bahwa mantan isterinya yang tanpa pamrih telah menolong dirinya hingga dia dapat melihat kembali, Zhang merasa sangat malu. Dia dengan tergesa-gesa melarikan diri dan melemparkan tubuhnya ke tungku dapur, tidak menyadari bahwa perapian itu masih menyala. Mantan isterinya berusaha menyelamatkannya, tetapi yang berhasil dia selamatkan hanyalah salah satu kakinya.

 

Wanita yang berbakti itu kemudian membuat sebuah meja-pemujaan untuk mantan suaminya di atas tungku, yang mempelopori interaksi Zào Jūn dengan tungku di rumah-rumah orang Tionghoa. Sampai hari ini, sekop-api terkadang disebut sebagai 'Kaki Zhang Lang'.

 

Dewa Dapur sering digambarkan sendirian atau bersama isterinya. Replika-kertas-dewa ditempelkan di tempat pemujaan di atas tungku keluarga. Diyakini oleh masyarakat Tionghoa bahwa setahun sekali, tepat seminggu sebelum Tahun Baru Imlek, Dewa Dapur akan pergi ke Surga untuk melaporkan segala kegiatan keluarga sepanjang tahun itu, kepada Kaisar Kemala. Keluarga si empunya tungku "mengutus" Dewa Dapurnya ke Surga dengan cara menurunkan replika-kertas-dewa dari tempat pemujaan, lalu melengkapinya dengan topi, sepatu, dan surat jalan – semuanya terbuat dari kertas – agar sang dewa tak menemui hambatan selama melakukan perjalanannya. Setelah itu baru replika-kertas-dewa dan perlengkapan lainnya dibakar, serta sejumlah petasan turut dinyalakan agar sang dewa buru-buru berangkat. Tetapi untuk memastikan agar Sang Dewa Dapur melaporkan hal yang baik-baik saja di hadapan Kaisar Langit, sedikit madu akan dioleskan pada bibir dewa-kertas, sehingga dia hanya akan mengatakan hal-hal yang manis saja kepada Sang Kaisar (atau agar madu itu membuat lengket bibirnya dan mencegahnya membuka mulut, jadi tidak ada kabar buruk yang bisa disampaikannya).

 

Dari sini muncul kepercayaan bahwa Sang Kaisar Langit akan mengganjar perbuatan keluarga itu berdasarkan laporan Dewa Dapurnya. Jika laporannya bagus, Kaisar akan memberikan pahala kepada keluarga tersebut, namun jika laporannya buruk Penguasa Surga itu akan menjatuhkan hukumannya. Pada hari keempat di tahun yang baru, Sang Dewa Dapur kembali ke keluarga tersebut, dan replika-kertas-dewa yang baru ditempel kembali di tempat pemujaannya. Barang persembahan dan dupa dipersembahkan kembali untuk menyambut Sang Dewa yang baru pulang dari Surga, dan siklus itu pun berulang kembali.

 

Rumah tradisional Tionghoa mencerminkan kepercayaan penghuninya dalam sistem keagamaan yang kompleks. Sebagian besar penduduknya, terutama yang tinggal di Tiongkok Selatan, memiliki altar rumah tangga Penguasa Bumi atau Tǔdì Gōng di lantai di sisi luar pintu, kemudian meja altar untuk Pejabat Surgawi di atasnya, serta tempat untuk pemujaan Zào Jūn di atas tungku. Dewa Kekayaan mungkin berada di aula depan rumah. Tetapi titik fokus kehidupan religius di hampir setiap rumah orang Tionghoa ada di altar leluhur, yang terletak di ruang utama.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/221214


Rabu, 30 November 2022

TUHAN DALAM AGAMA ORANG TIONGHOA



Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada agama-agama yang berasal dari Tiongkok, pernah dipertanyakan oleh misionaris Barat. Didasari oleh motif mereka untuk menyebarluaskan ajaran yang mereka bawa, dimulailah upaya-upaya untuk mereduksi peran agama-agama asli di sana yang sudah berakar selama ribuan tahun. Seperti yang ada pada Rú Jiào yang berasal dari ajaran Nabi Kǒng Zǐ. Menurut propaganda mereka, dikatakan bahwa kepercayaan Rú itu hanyalah ajaran filsafat semata – bukan agama yang menekankan praktik bakti seorang anak terhadap orang tuanya.

 

Agama asli Tiongkok adalah Konfusianisme dan Taoisme. Keduanya memenuhi syarat untuk disebut sebagai agama. Apalagi jika kita mengacu pada kriteria yang berlaku di Indonesia, bahwa satu ajaran bisa disebut sebagai agama; jika mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa, ada nabi yang mengajarkan doktrin agama tersebut, ada kitab sucinya, ada sistem peribadatannya, dan tentu saja memiliki penganut dalam jumlah yang memadai. Herbert Giles, seorang sinolog dan diplomat Inggris yang berkarya pada permulaan abad lalu, dalam bukunya The Civilization of China (1911), mengatakan bahwa orang Tionghoa percaya pada Tuhan Yang Maha Esa.

 

Tuhan Yang Esa dalam bahasa Mandarin disebut atau Tiān. Tiān bisa pula berarti Surga, dan merupakan penggabungan dari aksara Dà () dan Yī (). Dà berarti 'besar', 'agung', atau 'akbar', sedangkan Yī  bermakna 'satu' atau 'tunggal'. Rakyat jelata umumnya memanggil Tuhan dengan sebutan 天公 atau Tiān Gōng, atau dalam bahasa Hokkian disebut Thi-kong. Thi-kong kurang lebih maknanya: 'Kakek Surga' atau 'Adipati Surga'.

 

Saudara-saudara kita umat Islam, jika mendapatkan berkah atau keberuntungan, akan mengucapkan 'alhamdulillah'. Alhamdulillah bermakna "segala puji bagi Allah"; lazim diungkapkan ketika orang bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah SWT. Orang Nasrani juga demikian; mereka selalu mengucapkan "puji Tuhan" atau "syukur kepada Tuhan". Kita sebagai orang Tionghoa pun punya ungkapan tersendiri, dengan menyebutkan: "terima kasih, Thi-kong" atau "kamsia, Thi-kong".

 

Tuhan atau Tiān dalam pengertian orang Tionghoa, merujuk pada sosok Yù Huáng Dà Dì (玉皇大帝) atau Giok Hong Tay Te (Hokkian). Sebutan lainnya adalah Yù Huáng Shàng Dì (玉皇上帝) atau Giok Hong Siong Te (Hokkian). Diindonesiakan sebagai Kaisar Agung Giok, Kaisar Pualam, atau Kaisar Kemala. Selanjutnya kita akan pakai nama yang terakhir ini. Lalu pertanyaannya, siapa gerangan Kaisar Kemala ini? Ada beberapa cerita dalam mitologi Tiongkok yang mengisahkan keberadaannya. Penulis akan memilih salah satu di antaranya.

 

Alkisah di satu masa yang sangat purba, ada satu kerajaan yang bernama Negeri Elok Bercahaya Terang Benderang yang dipenuhi Kesukacitaan (光嚴妙樂, Guāng Yán Miào Lè). Pemimpinnya adalah Sang Raja Dermawan Suci Murni (淨德國王, Jìng Dé Guó Wáng) dan isterinya bernama Sang Permaisuri Cahaya Rembulan Elok (寶月光王后, Bǎo Yuè Guāng Wáng Hòu). Negeri tersebut masih berada di Daratan Tiongkok. Dikatakan kerajaan tersebut makmur dan rakyatnya hidup bahagia; serta apa pun yang dikehendaki oleh mereka pasti akan terkabulkan.

 

Demikianlah saat Sang Raja dan Sang Permaisuri telah memerintah sekian lama, hingga mereka berdua berusia lanjut, tetapi sayangnya mereka belum memiliki putera sebagai penyambung keturunan. Keduanya gundah memikirkan siapa orang yang kelak akan melanjutkan tahta kerajaan. Selama bertahun-tahun mereka selalu berharap dan berdoa kepada Tuhan atau Tiān, hingga suatu malam sang permaisuri bermimpi. Dalam mimpinya dia bertemu dengan Tài Shàng Lǎo Jūn (太上老君) yang sedang mengendarai kereta naga emas miliknya. Sang Maha Dewa sedang menggendong seorang anak kecil yang bercahaya. Sang permaisuri memohon agar bayi itu diserahkan kepadanya. Tài Shàng Lǎo Jūn mengabulkannya, dan tak lama kemudian sang permaisuri pun hamil. Genap sembilan bulan kemudian sang permaisuri melahirkan seorang putera. Anak lelaki itu dinamakan Yù Huáng (玉皇).

 

Saat sang putera mahkota lahir, dia memancarkan cahaya menakjubkan, yang sinarnya terlihat memenuhi seantero kerajaan. Sang pewaris tahta yang masih berusia amat muda, ternyata seorang yang baik hati, cerdas, dan bijaksana. Dia mengabdikan seluruh masa kecilnya untuk membantu mereka yang membutuhkan. Lagi pula sang putera mahkota menunjukkan rasa hormat kepada orang yang lebih tua. Dia pun memiliki welas-asih yang tinggi kepada manusia dan semua makhluk. Setelah ayahnya meninggal, dia naik tahta. Dia memastikan bahwa setiap orang di kerajaannya menemukan kedamaian dan kepuasan. Setelah itu, dia memberi tahu para abdinya bahwa dia ingin mengembangkan Tao (Sang Jalan) di 'Tebing Terang dan Harum'. Setelah 1.750 kalpa, dengan setiap kalpa berlangsung selama 129.600 tahun (satu kalpa sama dengan 3.602 kuadrat tahun), ia mencapai tataran Kedewaan-Emas. Setelah seratus juta tahun pengembangan-diri lanjutan, dia akhirnya mencapai kesempurnaan. Dengan menghitung angka-angka yang diberikan, periode untuk mencapai kesempurnaan berlangsung selama sekitar 327 juta tahun.

 

Pada saat Huáng mengembangkan diri, entitas jahat yakni sesosok makhluk asura sedang berupaya untuk berkuasa. Asura alias raksasa yang tidak kasat mata ini amat kuat, memiliki ambisi untuk menaklukkan para dewa di surga, serta selanjutnya ingin menyatakan kedaulatan atas seluruh alam semesta. Entitas jahat ini juga melakukan pengasingan-diri, bertapa, dan bermeditasi untuk mengembangkan kekuatannya, yang walaupun lebih lambat daripada yang dijalankan oleh Huáng, pada akhirnya dia berhasil mencapai tataran kesaktian yang tinggi. Dia melewati 300 ujian, dengan setiap tahapan menuju kesempurnaan berlangsung sekitar 3 juta tahun. Setelah uji coba terakhirnya, dia merasa yakin bahwa tidak ada yang bisa mengalahkannya. Setelah menobatkan dirinya menjadi raja asura, dia merekrut pasukan asura untuk menjadi bala tentaranya, dengan tujuan menyerang para dewa dan menguasai tahta surga.

 

Para dewata yang berada di surga menyadari ancaman itu, yang lalu mereka menghimpun kekuatan dan bersiap untuk perang. Dalam pertempuran melawan bala tentara asura para dewa tidak dapat menghentikan kekuatan jahat yang amat perkasa, dan mereka semua dapat ditaklukkan. Huáng baru saja menyelesaikan pengembangan dirinya, saat perang antara dewa dan asura sedang berlangsung. Ketika dia sedang mengubah tanah agar lebih layak huni bagi manusia dengan cara memukul mundur berbagai makhluk jahat yang berkuasa di atas bumi, dia melihat cahaya jahat memancar dari surga. Dia segera menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres terjadi di sana. Dia pun naik ke surga dan melihat bahwa entitas jahat terlalu kuat untuk dihentikan oleh para dewa. Dia menantangnya, dan mereka lalu bertarung. Gunung-gunung berguncang, sungai-sungai meluap, serta lautan pun menjadi kacau. Karena tingkat pengembangan dirinya yang lebih matang dan lebih luhur, Yù Huáng memenangkan pertempuran. Setelah sang raja asura dikalahkan, bala tantara asura pun tercerai-berai dikalahkan oleh para dewa. Atas jasa-jasanya para dewa kemudian memproklamirkan Yù Huáng sebagai penguasa tertinggi di surga, dan sejak saat itu dia dikenal sebagai Kaisar Kemala.

 

Apakah benar ada sosok dewata yang bernama Kaisar Kemala? Konon seorang penguasa dari Dinasti Sòng (960 - 1279 M) pernah menyaksikannya. Kaisar Zhēnzōng (真宗, 23-Des-968 – 23-Mar-1022) yang merupakan kaisar ketiga dalam Dinasti Sòng, mengklaim telah melihat sosok dewa tersebut, dalam sebuah penampakan di satu malam tertentu di tahun 1007 Masehi. Sosok Kaisar Kemala sebagai raja para dewa ini mirip dengan kisah Dewa Sakka (Pali) atau Śakra (Sanskerta), sebagai julukan Dewa Indra yang ditemukan pula dalam beberapa ayat kitab suci Rg Veda. Dalam naskah-naskah Buddhis dikatakan bahwa Sakka atau Śakra sering bertemu dan berdiskusi dengan Sang Buddha, untuk membahas berbagai masalah moralitas. Di Tiongkok Śakra dikenal sebagai Dì Shì Tiān (帝釋天) atau Shì Tí Huán Yīn (釋提桓因). Śakra juga dikenal sebagai penguasa Surga Tāvatiṃsa (atau Trāyastriṃśa), yang merupakan salah satu surga dalam kosmologi Buddhis. Dalam Mantra Śūraṅgama, penghormatan terhadap Śakra diucapkan sebagai "Nán wú yīn tuó luó yé", atau 南 無 因 陀 羅 耶," yang merupakan pelafalan dari penggalan mantra "Namo Indra Ya."

 

Dari cerita Huáng yang kemudian menjadi Kaisar Kemala, para pembaca yang kritis akan bertanya, berarti sebelum ada penguasa di Surga terdapat penguasa kahyangan yang sebelumnya? Kaisar Kemala sendiri suatu saat nanti akan digantikan oleh  Sang Fajar Kemala Surgawi dari Pintu Emas (金闕玉晨天尊, Jīn Què Yù Chén Tiān Zūn). Dalam kisah Sakka sang raja dewa – seperti yang dikisahkan pula dalam beberapa cerita Jataka – jika seorang raja dewa yang berkuasa mangkat, maka dia juga akan digantikan oleh Sakka yang berikutnya. Padahal kita dari kecil sudah dicekoki oleh doktrin bahwa Tuhan itu adalah kekal, tidak berawal, dan juga tidak berakhir?

 

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita akan meninjau Konsep Trinitas dalam ajaran Agama Tao. Tiga Yang Suci atau  三清 dibaca Sānqīng, merupakan tiga dewa tertinggi dalam ajaran Tao. Yang pertama dari Tiga Yang Suci adalah 元始天尊 atau Yuán Shǐ Tīan Zūn; adalah salah satu dewa tertinggi Taoisme. Dia adalah yang tertinggi dari Tiga Yang Suci. Yuán Shǐ Tīan Zūn sebenarnya tanpa-awal dan tanpa-akhir, serta yang paling tinggi dari semua makhluk. Dia bukanlah pribadi, walaupun merupakan representasi dari prinsip semua makhluk. Dari dia segala sesuatu muncul. Dia abadi, tidak terbatas, dan tanpa bentuk. Yang kedua dari Tiga Yang Suci adalah 靈寶天尊 atau Líng Bǎo Tiānzūn. Sedangkan yang ketiga dari Tiga Yang Suci adalah 道德天尊 atau Dào Dé Tiān Zūn, atau dikenal pula sebagai 太上老君 atau Tài Shàng Lǎo Jūn, yakni 'Tuan Penatua Tertinggi'. Kaisar Agung Giok atau Kaisar Kemala adalah salah satu representasi dewa pertama. Dalam teologi Taois dia adalah asisten Yuán Shǐ Tīan Zūn, yang merupakan salah satu dari Tiga Yang Suci, tiga emanasi primordial Dào. Anda, para pembaca, bisa menyimak kembali tulisan penulis sebelumnya yang berjudul: 'Trinitas'.

 

Dalam perwujudan seni khas Tiongkok, Kaisar Kemala paling sering digambarkan sebagai pria setengah baya berambut panjang dan berkumis. Dia divisualisasikan sedang duduk di atas singgasana dengan mengenakan kostum kekaisaran lengkap – jubah panjang bersulam naga dan topi dengan tiga-belas jumbai yang dirangkai mutiara – dan di tangannya dia memegang sebuah tablet seremonial kekaisaran.

 

Namun di tempat pemujaan berupa kuil atau bio yang ada di mancanegara dan juga di Indonesia, biasanya tidak terdapat gambar atau arca Kaisar Kemala. Pengelola kuil biasanya hanya menyediakan sebuah pedupaan besar di halaman depan yang lapang, hingga orang bisa bersembahyang menghadap langit terbuka. Pedupaan ini berbentuk guci besar berkaki tiga, dan dinamakan Tiān Gōng Lú (天公爐) atau orang Hokkian menyebutnya sebagai Hiolo Thi-Kong. Pada saat melakukan persembahyangan di Kuil, pertama kali umat berdoa kepada Thi-Kong dengan membakar dupa dan menancapkannya di hiolo tersebut, dilanjutkan dengan melakukan persembahan kepada para dewata lainnya. Pemujaan Yù Huáng Dà Dì mulai popular di kuil-kuil di Daratan Tiongkok, setelah Kaisar Zhēnzōng memerintahkan rakyatnya untuk menyembah Penguasa Surga, dengan menetapkan Kaisar Kemala sebagai dewa yang disponsori oleh negara.

 

Hari ulang tahun Kaisar Kemala dilangsungkan pada hari kesembilan bulan pertama menurut Kalender Tionghoa. Pada hari besar itu kuil-kuil Tao mengadakan upacara Bài Tiān Gōng (拜天公), yang secara harafiah diterjemahkan sebagai 'Menyembah Kakek Surga'. Para biarawan dan umat melakukan puja-bakti, membakar dupa, dan mempersembahkan makanan. Jika dirunut upacara ini mulanya bersumber dari 'Pemujaan Alam Semesta' atau sembahyang kepada Sang Pencipta Alam. Dalam pandangan nenek moyang orang Tionghoa, alam semesta terdiri atas Tiga Alam, yaitu Langit atau Tiān, Bumi (, Dì), dan Air (水, Shuǐ), dengan masing-masing memiliki penguasanya sendiri-sendiri. Baru sejak diterbitkannya maklumat oleh Kaisar Zhēnzōng, 'Pemujaan Alam Semesta' digabungkan menjadi satu, yakni pemujaan kepada Maha Dewa yang paling tinggi kedudukannya di seluruh alam semesta, Yù Huáng Dà Dì.

 

Salah satu ritual pemujaan terhadap Kaisar Kemala yang belakangan dijadikan tradisi oleh orang Tionghoa adalah sembahyang King Thi-Kong atau Jìng Tiān Gōng (敬天公). Perayaan ini digelar dalam suasana perayaan Tahun Baru Imlek yang secara tradisional berlangsung selama 15 hari. Sembahyang King Thi-Kong diadakan pada hari kesembilan bulan ke satu, disebut pula sebagai Tahun Barunya orang Hokkian. Konon dikisahkan bahwa sembahyang ini mulai popular sejak pertengahan abad ke-17, yakni pada awal berdirinya Dinasti Qīng (1636-1912 M), ketika sisa-sisa bala tentara Hokkian yang masih setia kepada Dinasti Míng bertahan habis-habisan melawan gempuran pasukan Dinasti Qīng. Persembahyangan King Thi-Kong ini dikenal pula dengan sebutan 'Sembahyang Tebu', dan sekarang bukan hanya dilakukan oleh orang Hokkian saja, tapi sudah menyebar ke suku-suku Tionghoa lainnya. Untuk melakukan upacara ini diperlukan sebuah meja-sembahyang yang ditinggikan, yang diletakkan di depan rumah. Sepasang rumpun tebu diikatkan di sisi kiri dan kanan meja, disertai persembahan sepasang lilin merah ukuran besar. Seperti yang dilakukan pada sesajian sembahyang leluhur, disediakan pula aneka kue, sayuran, dan kertas-uang. Seluruh anggota keluarga wajib bersembahyang dengan takzim, dengan cara berlutut tiga kali dan menyentuhkan kepala ke tanah sebanyak sembilan kali di hadapan altar. Upacara ini diselenggarakan menjelang tengah-malam tanggal 8 hingga memasuki dinihari tanggal 9 bulan pertama.

 

Demikian sekilas pemujaan masyarakat Tionghoa terhadap sosok yang dinamakan Tuhan atau Tiān, yang berbeda sekali dengan yang dilakukan oleh umat agama lain. Selain itu Kaisar Kemala yang berkuasa di Istana Langit memiliki mesin birokrasi sendiri, yang tidak dikenal dalam kepercayaan mana pun. Kita akan membahas Kekaisaran Langit ini dalam tulisan yang berikutnya.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/221130



Rabu, 16 November 2022

ĀNANDA


 

Anda sekalian yang sering membaca naskah-naskah Buddhis tentu sering menemukan nama Ānanda. Ya, Ānanda dalam aksara Devanagari Pāli maupun Sanskerta ditulis: आनन्द, yang bermakna kebahagiaan, kegembiraan, atau kesukacitaan; sedangkan dalam aksara Mandarin Ānanda dikenal dengan nama Ā Nán (阿難). Konon, ketika Ānanda lahir, para sanak keluarganya merasakan kegembiraan yang luar biasa. Merujuk pada tarikh aliran Buddha Selatan, Ānanda hidup antara tahun 623 - 503 seb.M. Ānanda pun memiliki julukan lain, yakni 'Videhamuni' yang berarti Sang Bijak dari klen Videha, dan juga 'Dhamma-bhaṇḍāgārika' yang bermakna Sang Bendahara Dhamma.

 

Menurut teks-teks Pali, takdir Ānanda bahkan telah ditentukan sebelum kelahirannya. Ānanda lahir ke dunia ini dengan cara yang sama, seperti yang terjadi pada diri Sang Bodisattva Pangeran Siddhartha. Dia bertumimbal-lahir dari Surga Tusita, dan ajaibnya dia juga dilahirkan pada hari yang sama dengan Sang Manusia Agung tersebut. Mereka berdua terlahir dalam kasta yang sama, yakni kasta para petarung dalam lingkungan keluarga kerajaan Sakya. Ayahnya, Amitodana, adalah adik laki-laki dari ayah Pangeran Siddhartha, Suddhodana. Ibunya bernama Mrgī. Dengan demikian hubungan antara keduanya adalah saudara sepupu, dan mereka tumbuh bersama di kotaraja Sakya, Kapilavatthu. Amitodana juga ayah dari Anuruddha, yang kelak dia pun menjadi salah satu siswa agung Sang Buddha. Antara Ānanda dan Anuruddha adalah saudara seayah, tetapi mungkin ibu mereka berbeda.

 

Ketika dia berusia tiga puluh tujuh tahun, Ānanda bersama dengan enam orang kerabatnya, di antaranya Anuruddha, Devadatta, dan empat orang pangeran Sakya lainnya serta tukang cukur mereka yang bernama Upāli, melakukan desersi dari tugas-tugas mereka sebagai bangsawan Sakya yang masih aktif. Saat itu mereka melarikan diri dengan melintasi perbatasan negeri dengan tujuan menjadi petapa. Sang Buddha kemudian menahbiskan mereka bertujuh, dan sejak saat itu mereka semua menjadi bhikkhu. Ānanda kemudian dibimbing olah Yang Mulia Belaṭṭhasīsa, seorang Arahant, yang mulai memperkenalkan dan mengarahkannya pada kehidupan kebhikkhuan. Ānanda membuktikan dirinya sebagai seorang siswa yang rajin dan tekun. Selanjutnya di bawah bimbingan Yang Mulia Puṇṇa Mantāniputta, salah satu eksponen Dhamma yang luar biasa, Ānanda mencapai buah pemasuk-arus atau meraih tingkat kesucian pertama. Ānanda selalu puas dengan kehidupannya sebagai seorang bhikkhu. Dia merasakan berkah atas pelepasan keduniawiannya, dan secara bertahap memasuki jalan menuju pembebasan.

 

Ketika Sang Buddha mencapai usia lima-puluh-lima tahun, Beliau mengadakan pertemuan dengan para bhikkhu dan berkata: "Dalam dua-puluh tahun pertama saya memegang kendali pimpinan Sangha. Saya telah memilih dan menunjuk sejumlah bhikkhu-pengiring, yang memiliki karakter yang berbeda-beda. Namun tidak ada satu pun dari mereka yang benar-benar bisa memenuhi amanat jabatan itu dengan sempurna. Bahkan banyak dari mereka yang mengecewakan. Sekarang saya telah mencapai usia lima-puluh-lima tahun, dan saya perlu memiliki sosok pelayan yang dapat dipercaya dan bisa diandalkan." Seketika semua siswa mulia Sang Guru mengangkat tangan, menawarkan jasa mereka, tetapi Sang Buddha tidak berkenan terhadap mereka semua. Kemudian para bhikkhu berpaling kepada Ānanda, yang dengan rendah hati tPuetap bergeming dengan sikap berdiam-diri.

 

Karena perilakunya yang sempurna sebagai seorang bhikkhu, Ānanda tampaknya memang ditakdirkan untuk mengemban jabatan tersebut. Ketika ditanya mengapa dia satu-satunya orang yang tidak menawarkan jasanya, dia menjawab bahwa Sang Buddha adalah orang yang paling tahu, siapa yang cocok untuk menjadi pelayannya. Dia sangat percaya kepada Yang Terberkahi, sehingga tidak terpikir olehnya untuk mengungkapkan keinginannya sendiri, walaupun dia sesungguhnya ingin menjadi pelayan atau pengiring Sang Guru. Kemudian Sang Buddha menanggapinya, bahwa jika Ānanda bersedia, dia adalah orang terbaik untuk memegang jabatan tersebut. Ānanda sama sekali tidak menunjukkan rasa bangganya, ketika Sang Guru lebih memilih dia dibandingkan siswa-siswa utama lainnya.

 

Ānanda malahan meminta jika Sang Buddha menginginkan dirinya menjadi bhikkhu pengiring atau pembantu, dia meminta ada delapan syarat yang harus dipenuhi. Jika Buddha menyetujuinya, baru dia bersedia menerimanya. Apakah delapan persyaratan itu?

 

Empat yang pertama bersifat negatif: Pertama, jika Guru menerima hadiah jubah, barang itu tidak boleh diberikan kepadanya. Kedua, Sang Guru tidak boleh berbagi makanan-sedekah dengan dia, jika pada hari itu dia telah mendapatkannya dari perumah-tangga lainnya. Ketiga, setelah Guru menerima tempat naungan, dia tidak boleh memberikan tempat tinggal itu kepadanya. Keempat, dia tidak boleh diikusertakan pada undangan pribadi yang mana pun (seperti pada kesempatan untuk mengajarkan Dhamma, ketika makanan akan dipersembahkan). Ānanda menjelaskan alasannya, bahwa jika dia tidak mengajukan empat syarat tersebut; maka orang akan mengatakan bahwa dia mau menerima jabatan pengiring atau pelayan, karena ingin mendapatkan keuntungan materi saat dia hidup begitu dekat dengan Gurunya.

 

Empat yang berikutnya bersifat positif: Pertama, jika Ānanda diundang menghadiri jamuan makan, dia meminta hak untuk mentransfer undangan ini kepada Sang Buddha. Kedua, jika orang-orang datang dari daerah terpencil, dia meminta hak istimewa untuk memimpin mereka menghadap Sang Buddha. Ketiga, jika dia memiliki keraguan atau pertanyaan tentang Dhamma, dia meminta hak untuk menanyakannya kapan saja kepada Gurunya. Keempat, jika Sang Buddha memberikan wejangan saat Ānanda tidak menghadirinya, maka dia memiliki hak istimewa untuk meminta mengulangi apa yang pernah disampaikannya itu. Dengan adanya empat permintaan positif ini, dapat dikatakan bahwa dia memenuhi tugas sesuai dengan jabatan yang diembannya, tanpa mempedulikan kemajuannya sendiri dalam pelatihan Dhamma. Alih-alih berkeberatan dengan delapan persyaratan yang diminta oleh Ānanda, Sang Buddha mengabulkan permintaan yang sangat masuk akal ini, yang ternyata senafas dengan anjuran Dhamma itu sendiri.

 

Setelah mendapatkan persetujuan dari Gurunya, sejak itu pula Ānanda resmi menjadi bhikkhu pengiring atau bhikkhu pembantu Sang Buddha. Hingga akhir hayat Yang Tercerahkan, menurut teks-teks kuno yang kita ketahui, pengabdian Ānanda kepada Gurunya itu tanpa jeda, tak-terputus, dan tak pernah tergantikan oleh orang lain! Sebagai ilustrasi, berikut ini adalah tugas-tugas rutin Ānanda sehari-hari: Ānanda membawakan air untuk mencuci muka Gurunya, serta menyiapkan kayu-gigi untuk membersihkan giginya. Ānanda mengatur tempat duduknya, membasuh kakinya, memijat punggungnya, mengipasi tubuhnya, menyapu tenda-tidurnya, dan memperbaiki jubahnya. Sepanjang malam dia tidur di dekatnya, agar bisa bersiap jika Gurunya membutuhkan sesuatu. Dia juga orangnya yang menemani Sang Guru berkeliling vihara, dan setelah acara pertemuan dia akan memeriksa untuk melihat apakah ada bhikkhu atau umat awam yang meninggalkan barang milik mereka. Dia membawa pesan Sang Buddha kepada orang luar, dan dia juga yang memanggil para bhikkhu untuk berkumpul bersama, bahkan tugas itu kadang-kadang dilakukan pada tengah malam sekali pun. Ketika Sang Buddha sakit, dia mencarikan obat dan sekaligus memberikan perawatan yang terbaik. Dengan cara ini Ānanda melakukan banyak tugas hari-hari demi menjaga kesehatan fisik saudara sepupunya; layaknya seorang ibu yang merawat puteranya, atau seorang isteri yang melayani suaminya dengan penuh rasa bakti.

 

Salah satu kebajikan Ānanda yang membuat dirinya tenar adalah jabatannya sebagai upaṭṭhāka Buddha, pelayan pribadinya. Sang Buddha berkata tentang dia, bahwa Ānanda adalah yang terbaik dari semua pelayan, yang paling terkemuka dari semua bhikkhu yang pernah mengisi jabatan ini (Anguttara Nikāya 1, Bab 14). Istilah 'pelayan' di Indonesia mungkin dianggap sebelah mata, bawahan, subordinat, yang dipandang rendah di masyarakat kita. Orang Indonesia lebih suka menyebut orang yang membantu seorang tokoh dengan sebutan 'ajudan' atau 'sekretaris', tetapi istilah ini menunjukkan formalitas hubungan dan menghilangkan aspek keintiman sebuah relasi. Yang Mulia Ānanda sekaligus adalah seorang pembantu, pelayan, pengiring, ajudan, dan sekretaris Sang Buddha. Dalam lingkup Sangha dengan Sang Buddha sebagai pemimpinnya, tak berlebihan jika Ānanda dianggap sebagai sekretaris atau ajudan sang pimpinan puncak. Dia ikut mengatur jadwal sang pemimpin, kapan Buddha bisa bertemu dengan para pengikutnya, mendokumentasikan hasil pembicaraan dan pertemuan, yang akan kita lihat dalam peran Ānanda yang selanjutnya.

 

Pada satu bait syair dalam Theragāthā (1041–43), Ānanda meringkas cara dia melayani Sang Buddha selama kurun waktu sepertiga terakhir hidupnya:

 

Selama dua puluh lima tahun,

Aku melayani Yang Terberkahi;

Yang aku perlakukan dengan penuh cinta kasih,

Diriku bagaikan bayangannya, yang tidak pernah meninggalkan tubuhnya.

 

Jika kita melihat dalam literatur dunia perihal contoh orang yang dipercaya untuk menemani seorang pria hebat terus-menerus tanpa jeda, mungkin tidak akan kita temukan orang yang pengabdiannya sedemikian tulus, yang pernah dilakukan oleh Ānanda. Bukan itu saja. Satu ketika Devadatta melepaskan seekor gajah liar untuk membunuh Sang Buddha di satu ruas jalan di Rājagaha. Ānanda yang sedang mengiringi tuannya, tanpa berpikir panjang lagi segera berlari melewati Gurunya, siap untuk mati daripada membiarkan Sang Bhagavā terbunuh atau terluka. Tiga kali Sang Buddha memintanya untuk mundur, tetapi dia tidak menurutinya. Hanya ketika Sang Guru dengan kekuatan adibiasa-nya menaklukkan gajah liar itu, barulah dia dapat dibujuk untuk tidak mengorbankan nyawanya sendiri.

 

Di antara para siswa utama yang dinyatakan unggul oleh Sang Buddha, Yang Mulia Ānanda memiliki keistimewaan unik, yakni kemampuan untuk mengingat sesuatu yang baru terjadi. Ānanda memiliki kemampuan ini sampai tingkat yang fenomenal. Dia bisa langsung mengingat semuanya secara lengkap, walaupun dia hanya mendengarnya sekali saja. Dia dapat mengulang khotbah Sang Buddha dengan sempurna hingga enam-puluh-ribu kata, tanpa melupakan satu suku kata pun. Dia juga mampu melafalkan hingga lima-belas-ribu -stansa, dengan masing-masing stansa terdiri dari empat baris-bait syair. Tradisi Buddhis menentukan jumlah unit bacaan, yakni dhammakkhandha atau 'kelompok Dhamma' dalam seluruh ajaran sebanyak delapan puluh empat ribu subyek. Dalam salah satu syairnya, Ānanda mengklaim telah menerima semuanya:

 

"Aku telah menerima dari Sang Buddha sebanyak 82.000,

Dan dari para bhikkhu lainnya ada 2.000 lebih;

Jadi ada 84.000 subyek,

Ajaran yang digerakkan."

 

Karena watak baik yang alami dan welas asihnya yang begitu besar, ada satu jasa besar Ānanda yang tidak bisa kita lupakan. Tanpa Ānanda persekutuan-rahib Buddhis mungkin hanya diisi oleh kaum pria saja. Demikianlah kisahnya. Ketika banyak bangsawan suku Sakya telah meninggalkan kehidupan berumah tangga menuju kehidupan tanpa-rumah, beberapa wanita Sakya di bawah bimbingan Mahāpajāpati Gotamī, yakni ibu tiri Sang Bodhisattva, mendekati Sang Buddha dan memintanya agar mereka diizinkan untuk memasuki kehidupan tanpa-rumah. Tiga kali Mahāpajāpati mengajukan permintaannya, namun tiga kali pula Sang Buddha menolaknya. Ānanda yang belakangan mendengar keluhan itu memutuskan untuk menengahinya. Dia menghadap Sang Guru dan mengulangi permintaannya sampai tiga kali, tetapi tiga kali pula Sang Buddha menolaknya mentah-mentah: "Jangan berharap, Ānanda, agar wanita diizinkan untuk menjalankan kehidupan tanpa-rumah dalam Dhamma dan Aturan yang dibabarkan oleh Sang Tathāgata."

 

Kemudian Ānanda memutuskan untuk mencari cara lain. Dia lalu bertanya kepada Sang Guru: "Yang Mulia, apakah wanita mampu setelah menerima penahbisan, meraih buah seorang pemasuk-arus, atau buah yang kembali-sekali-lagi, atau buah yang-tidak-pernah-kembali, atau buah Arahant; jika dia meninggalkan kehidupan-berumah dan memasuki kehidupan tanpa-rumah dalam Dhamma dan Aturan yang dibentuk oleh Sang Tathāgata?" "Mereka bisa meraihnya, Ānanda."

 

"Jika demikian, Yang Mulia. Karena Mahāpajāpati Gotamī telah sangat berjasa kepada Yang Terberkahi, sewaktu adik-perempuan-ibunya yang memelihara dan merawatnya, juga sekaligus ibu tirinya, juga sekaligus ibu-susunya – dia yang merawat Yang Terberkahi ketika ibu kandungnya wafat – karena itulah, Yang Mulia, akan baik jika wanita dapat memperoleh penahbisan untuk pergi dari kehidupan-berumah menuju kehidupan tanpa-rumah, dalam Dhamma dan Aturan Sang Tathāgata." Menanggapi argumen-argumen tersebut, Sang Buddha akhirnya menyetujui pendirian sebuah ordo bhikkhunī, asalkan ada aturan tambahan yang diberlakukan untuk Sangha Bhikkhunī.

 

Pangabdian panjang Ānanda mencapai penghujungnya, saat hidup Sang Guru mendekati detik-detik terakhir. Dikuasai oleh kesedihan, Ānanda menyingkir, dan sambil menggenggam sebuah kusen pintu, dia menangis tersedu-sedu. Ānanda sadar bahwa dia masih harus berjuang untuk mencapai tingkatan Arahanta, namun Sang Guru tercinta akan segera meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya. Inilah adegan yang sangat menyayat hati bagi orang awam yang melihatnya. "Aku ini masih seorang pelajar dengan begitu banyak tugas yang belum kurampungkan. Dan Guruku sebentar lagi akan mencapai Nibbāna-akhir. Oh, Guruku yang begitu berwelas-asih kepadaku!"

 

Ketika Sang Buddha tidak melihat Ānanda dan bertanya di mana siswanya berada, Beliau memanggilnya lalu berkata kepadanya: "Jangan bersedih, Ānanda. Bukankah sudah berkali-kali kukatakan kepadamu bahwa segala sesuatu yang berubah pada satu waktu akan lenyap? Bagaimana mungkin sesuatu yang selalu-menjadi tidak akan musnah? Untuk waktu yang lama, Ānanda, engkau telah memperhatikan Sang Tathāgata, dengan perbuatan yang didasari cinta-kasih, penuh-pertolongan, dengan sukacita, dengan tulus, tanpa pamrih, dan tak kenal kompromi. Ānanda, engkau telah melakukan jasa besar. Teruslah berjuang dan engkau segera akan bebas dari noda-noda." Ia kemudian menceritakan sebuah kejadian di masa lalu, di kehidupan lampau, di mana Ānanda telah melayaninya, dan pengabdiannya itu membuahkan banyak jasa duniawi.

 

Perjuangan Ānanda untuk mencapai tingkat kesucian tertinggi akhirnya tercapai pada satu malam, sebelum Pasamuan Agung yang pertama dimulai. Perhelatan Agung tersebut diadakan di Rājagaha, tiga bulan setelah Sang Buddha mangkat. Setelah Pasamuan Agung itu usai, Yang Mulia Mahā Kassapa sebagai pimpinan Pasamuan tersebut, dianggap sebagai penerus Sang Buddha (atau disebut sebagai Sang Patriark pertama). Tidak lama setelah Mahā Kassapa wafat, Ānanda menjadi sesepuh terkemuka pertama, orang suci pertama yang paling dihormati, yang ditunjuk untuk menjaga Sangha.

 

Ānanda ternyata berumur panjang. Setelah Sang Buddha wafat, Ānanda masih hidup hingga empat puluh tahun lagi. Praktis Ānanda memimpin Sangha sampai empat puluh tahun setelah kemangkatan Gurunya. Ketika Ānanda berusia 120 tahun, ia merasa bahwa ajalnya sudah dekat. Ia pun melakukan ziarah, mulai dari Rājagaha menuju Vesālī, seperti yang pernah dilakukan oleh Gurunya dulu. Ketika Raja Magadha dan para pangeran Vesālī mendengar bahwa Yang Mulia Ānanda akan segera mencapai Nibbāna-akhir, mereka bergegas menemuinya dari kedua arah untuk mengucapkan selamat jalan. Untuk memberikan keadilan bagi kedua belah pihak, Ānanda menerbangkan tubuhnya ke angkasa melalui kekuatan adibiasa-nya, serta membiarkan tubuhnya dilahap oleh unsur api. Relik Ānanda pun berjatuhan ke tanah, dan mereka membagi dua relik tersebut. Kemudian stupa-stupa didirikan, dan orang banyak memuliakan sisa-sisa jasmani Yang Mulia Ānanda.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/221116