Kamis, 30 Desember 2021

LOTERE



"Aku sengsara karena judi; Aku melarat karena judi; Banyak utangku karena judi; Judi yang membawaku mati. Mati akal dan fikiranku; Tak dapat berfikir tenang; Anak istriku jadi korban; Menanggung malu pada orang; Mungkinkah insaf terlambat?; Uang dan harta tertambat; Anak, istriku melarat. Karena judi keparat; Ya Allah, aku bertobat; Tak akan perbuat lagi." Inilah sebuah lirik lagu dangdut yang dinyanyikan dan dipopulerkan oleh H. Rhoma Irama pada tahun 1987, yang berjudul "Karena Judi". Lagu itu menurut pencipta dan penyanyinya sengaja diluncurkan, sebagai kritik sosial terhadap kegilaan masyarakat terhadap judi yang semakin menjadi-jadi yang berlangsung sejak akhir dekade 70-an.

 

Apa itu judi, atau gambling dalam sebutan bahasa Inggrisnya? Judi atau kerap dinamakan "taruhan" adalah mempertaruhkan sesuatu yang bernilai, yang mengacu pada satu peristiwa di masa depan dengan hasil yang tidak pasti, dengan tujuan untuk memenangkannya. Sesuatu yang bernilai itu dinamakan "taruhannya". Perjudian dengan demikian memiliki tiga unsur yang mutlak harus ada, yakni: (1) pertimbangan atas harta milik sendiri yang bisa hilang, (2) peluang dan sekaligus risikonya, dan (3) taruhannya atau hadiah yang bakal diperolehnya. Contoh perjudian yang hasilnya bisa segera diketahui antara lain, melakukan satu lemparan dadu, menjatuhkan sebuah bola pada piringan roulette, atau menjatuhkan pilihan nomor pada sekelompok penunggang kuda yang sedang berlaga dalam sebuah arena pacuan.

 

Benda yang dipakai untuk dijadikan tebak-tebakan adalah dadu. Dadu cukup dilempar dan setelah mendarat di lantai atau meja dapat langsung diketahui angka berapa yang ditunjukkan. Dari penggalian arkeologi didapatkan dadu yang paling tua diperkirakan berumur 8000 tahun, sedangkan dadu pertama dibuat oleh orang Mesopotamia kira-kira tujuh ribu tahun yang lalu. Mereka memodifikasi astragali dan menjadikan wujudnya berbentuk kubus. Dadu pertama dipahat dan diukir dari batu, gading gajah, atau tulang ikan paus; serta dimanfaatkan pertama kali oleh para dukun atau paranormal untuk meramalkan masa depan. Sekitar tiga ribu tahun yang lalu dadu mulai diperkenalkan ke Yunani, India, dan Tiongkok. Dadu modern umumnya terbuat dari bahan plastik, dan hampir serupa dengan dadu pada zaman kuno. Dengan adanya enam sisi pada sebuah dadu, masing-masing sisi ditulisi dengan angka 1 hingga angka 6. Sisi angka 1 biasanya berhadapan dengan sisi angka 6, sisi angka 2 dengan angka 5, dan sisi angka 3 dengan angka 4.

 

Permainan judi dengan melemparkan dadu dan menebak angka yang akan ke luar adalah bentuk taruhan yang sudah berusia ribuan tahun. Dengan melempar sebuah dadu ada peluang salah satu antara angka 1 sampai angka 6 yang muncul. Untuk memperbanyak peluang, orang biasanya menggunakan dua buah dadu sekaligus dalam satu kali lemparan, dan menjumlahkan dua angka yang ditunjukkan oleh kedua dadu tersebut. Dalam kitab Mahabharata dikisahkan Duryodana mengundang Yudistira untuk main dadu. Yudistira yang gemar main dadu tidak menolak undangan tersebut dan bersedia datang ke Hastinapura. Duryodana diwakili oleh Sangkuni sebagai bandar-dadu, yang memiliki kesaktian untuk mengendalikan angka dadu yang ke luar sesuai dengan kehendaknya. Jelas Yudistira yang lugu dapat diperdaya dengan mudah, yang pada kesempatan pertama dia kalah dalam mempertaruhkan segala harta yang dimilikinya. Pada kesempatan kedua kembali Yudistira kalah telak. Dia beserta empat saudara kandungnya mendapatkan hukuman, yakni dibuang selama dua-belas tahun ke pengasingan.

 

Di zaman Sang Buddha permainan tebak-tebakan dengan melempar dadu sudah dikenal secara luas oleh masyarakat India. Dalam Brahmajāla Sutta yakni salah satu sutta dalam Dīgha Nikāya disebutkan: "Atau dia akan berkata: 'Ketika beberapa petapa dan brahmana yang terhormat, yang menjalani penghidupan dengan mendapatkan makanan yang dipersembahkan oleh perumah tangga yang berbakti, mereka masih saja melempar dadu (khalika) untuk bermain tebak-tebakan demi kesenangan dan memanjakan dirinya.' Tetapi petapa Gotama telah terbebas dari permainan dan hiburan semacam itu."

 

Permainan melempar dadu baik untuk mengisi waktu luang atau pun berjudi lama kelamaan digantikan dengan permainan lain yang lebih menarik. Penemuan Kartu Remi atau disebut pula playing cards, yang juga amat populer di Indonesia. Kartu Remi memiliki empat seri kartu yang masing-masing terdiri dari 13 buah kartu dan dua kartu Joker. Dengan berbekal kartu Remi kita bisa membuat 1001 permainan, yang bisa dimainkan sendirian, berdua, bertiga, bahkan lebih dari empat orang. Setiap negara memiliki permainan tradisionalnya masing-masing. Sebenarnya melemparkan dadu untuk menjalankan permainan "Ular-tangga" atau memanfaatkan kartu Remi untuk main "Bridge" guna mengisi waktu luang tentu boleh-boleh saja, tetapi menggunakan keduanya untuk bertaruh dengan bertukar barang berharga atau uang, itulah yang dikecam oleh agama dan dilarang oleh negara.

 

Jika taruhan itu melibatkan orang banyak maka mesti dipilih satu cara yang membuat taruhan itu bisa diterima oleh para peserta. Cara itu tidak lain menyelenggarakan lotere. Berbeda dengan taruhan yang menggunakan lemparan dadu atau kartu Remi, lotere memiliki peluang menang amat kecil tetapi hadiahnya sangat besar. Lho bagaimana ini, katanya judi dilarang oleh negara tetapi bisa diselenggarakan? Begini kisahnya. Ada satu masa ketika Indonesia membutuhkan dana besar untuk penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) yang pada waktu itu akan digelar di tahun 1969. Dalam keadaan keuangan yang cekak Pemda Jawa Timur yang bertindak sebagai tuan rumah wajib membiayai pesta olahraga itu, terpaksa mencari dana dari masyarakat. Caranya dengan menyelenggarakan "Lotto" alias "Lotere Totalisator". Walaupun banyak mendapat kritik "Lotto" tetap dijalankan, dan akhirnya Pemda bisa mendirikan stadion, membangun jalan protokol, dan menyelenggarakan PON dengan sukses. Selesai dengan "Lotto", Pemerintah Pusat tidak menghentikannya, malahan menggantinya dengan "Nalo" alias "Nasional Lotere" dengan penyelenggara Kementerian Sosial.

 

Setelah "Nalo" ada lagi "SDSB" yang merupakan kependekan dari "Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah". Menilik namanya para pembaca jangan sampai terkecoh. Kata "Sumbangan" dipakai untuk menghilangkan kesan taruhan atau judi. Lalu ada "Dermawan". Janganlah diartikan seperti Anda sekalian yang sering memberikan dana ke rumah ibadah atau menyelenggarakan baksos. Mana ada dermawan yang masih mengharapkan iming-iming hadiah? Baik "Lotto", "Nalo", atau pun "SDSB" diperjualbelikan dalam bentuk kupon. Kupon-kupon ini adalah unik dan masing-masing memiliki nomor yang paling tidak berisi enam digit angka. Pengumuman pemenang lotere dilakukan seminggu sekali dengan cara diundi. Misalnya pada minggu ini nomor yang ke luar adalah "654321". Hadiah utama atau jackpot adalah kupon yang bernomor persis sama seperti di atas. Penyelenggara pintar, untuk memperbesar kemungkinan menang maka pemilik kupon-kupon yang bernomor "X54321", "XX4321", "XXX321", dan"XXXX21", juga mendapatkan hadiah namun besarannya makin lama makin kecil.

 

"Lotto", "Nalo", atau pun "SDSB" diselenggarakan oleh Menteri Sosial, namun untuk pelaksanaannya diserahkan kepada swasta yakni Pengusaha Toto. Belakangan ada penawaran lain bagi penggemar lotere, yaitu undian yang dinamakan "Togel" kependekan dari "Toto Gelap". "Togel" ini seperti namanya adalah ilegal dan diselenggarakan oleh bandar judi setempat. Jika kupon lotere resmi harganya standar dan sudah tercetak nomornya pada lembar kupon, pada "Togel" nomor atau rangkaian angka bisa dipilih sesuka hati oleh peserta, dan besar taruhannya juga demikian. Biasanya tebakan yang dipilih adalah dua digit terakhir atau tiga digit terakhir. Inilah yang membuat "Togel" disebut judi-buntut, yakni peserta menebak dua digit angka terakhir yang akan ke luar. Dua angka terakhir ini ditentukan berdasarkan nomor lotere resmi yang diundi setiap minggunya.

 

Para pembaca tentu ingin mengetahui berapa harga sebuah kupon undian. Kupon SDSB dijual dalam dua seri, yaitu Seri A dengan nominal Rp 5.000,00 dan Seri B dihargai Rp1.000,00. Seri A diterbitkan sebanyak 1 juta lembar dan Seri B 29 juta lembar. Tentu saja Seri B dijual lebih banyak karena diperuntukkan bagi golongan menengah ke bawah. Harga beras pada saat itu sekitar Rp 500,00 per kilo, jadi mereka yang hendak membeli selembar kupon harus merelakan nilai uang setara dua kilogram beras. Bagi masyarakat kelas bawah program SDSB tampaknya merupakan harapan atas belas kasih Pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Contohnya, seorang tukang becak yang menarik becak-sewaan menyisihkan sedikit dari penghasilan mingguannya untuk membeli sehelai Kupon Seri B, dengan harapan bisa tembus empat angka buntut dan mendapatkan hadiah Rp 2,5 juta. Dengan uang hadiah itu dia berharap bisa memiliki becak sendiri. Tetapi harapan tetaplah harapan, karena masih jauh panggang dari api. Andaikata dia sanggup membeli 100 kupon per minggu seumur hidupnya, peluang untuk mendapatkan hadiah yang diimpikan itu masih terlampau kecil.

 

Karena diiming-imingi dengan imbal-hasil yang besar banyak orang terbuai dan kecanduan "Togel" pada masa itu. Tebak buntut dua angka, yakni menebak dua digit terakhir pada nomor undian yang akan ke luar setiap minggunya, adalah momen yang ditunggu-tunggu oleh mereka. Jika tebakan mereka tepat, peserta akan mendapatkan imbal-hasil atau hadiah 70 kali lipat. Jadi jika Anda membeli (istilahnya "memasang") nomor keberuntungan itu sebesar Rp 10 ribu, bandar akan membayar Rp 700 ribu rupiah. Dengan mengorbankan 10 ribu namun akan memperoleh 700 ribu, tentu hadiah ini amat menggoda dan menggiurkan bagi mereka. Tetapi masalahnya sekarang, bagaimana menebak angka atau nomor keberuntungan itu. Pada tebakan dua nomor buntut ada 100 kemungkinan, yaitu mulai dari angka "00" hingga "99". Untuk meningkatkan peluang menang taruhan, para pembeli "Togel" tidak hanya memasang satu nomor saja, tetapi beberapa nomor. Semakin banyak nomor dipasang, tentu peluang menang bertambah, tetapi uang yang dikeluarkan juga semakin banyak.

 

Menyiasati mendapatkan nomor keberuntungan perlu perjuangan ekstra. Para agen penjual "Togel" akan membantu para petaruh dengan membagikan "Kode Togel" pada hari pertama penjualan kupon. Di atas selembar kertas Kode ada kumpulan angka, gambar, dan kalimat tertentu. Namanya juga Kode, jadi tidak akan diberikan nomor keberuntungan begitu saja. Para peserta harus mengolah sendiri kumpulan angka itu, entah mau ditambah, dikurangi, dikali, atau dibagi. Hasilnya dijadikan nomor keberuntungan dan akan ditulis di atas kupon. Cara lain adalah mengingat mimpi yang baru dialami semalam. Misalnya kita bermimpi bertemu dengan orang buta. Nah selanjutnya kita membuka "Buku Tafsir Mimpi" (bisa beli di Toko Buku), dan dicocokkan. Ternyata "orang buta" ada di nomor "34", berarti kita harus memasang "34" sebagai angka keberuntungan. Kreativitas para petaruh tidak sampai di situ saja. Jika ada selebriti atau tokoh masyarakat yang meninggal pasti ditanya umur berapa dia tutup usia. Misalnya tokoh tersebut tutup usia pada 81 tahun, maka nomor keberuntungan menjadi "81". Untuk jaga-jaga perlu "dibalik", sehingga perlu ditambahkan satu lagi, yakni nomor "18". Dalam aritmetika para petaruh ada lagi satu operasi yang dinamakan "di-mistik", yaitu angka "0" menjadi "1" ("2" <> "5", "3" <> "8", "4" <> "7", dan "6" <> "9"). Jadi "81" di-mistik jadi "30", dan jika dibalik, yaitu "18" di-mistik menjadi "03". Sekarang hasil akhir angka keberuntungan kita menjadi empat nomor, yakni "81", "18", "30", dan "03". Empat nomor itu wajib dipasang.

 

Menebak Kode-buntut rupanya bukan saja merupakan monopoli bagi masyarakat Indonesia di zaman Orde Baru, tetapi juga terjadi di masyarakat Thailand yang notabene merupakan satu negara Buddhis. Bedanya mereka mencari nomor keberuntungan dengan menanyakannya langsung kepada para bhikkhu.

 

Demikianlah para pembaca, cerita mengenai lotere di masa lampau di negara kita. Alih-alih mendapatkan rejeki nomplok dengan memasang angka-angka keberuntungan pada kupon "Togel", kehidupan para petaruh justru semakin terpuruk. Karena terbuai oleh keinginan untuk menjadi kaya secara mendadak, mereka lupa menjalani kehidupan yang benar dengan cara bekerja keras. Jadi bagaimana kita bisa mendapatkan keuntungan dari lotere? Penulis akan memberikan advis yang jitu kepada mereka yang masih berminat. Mau untung dalam bisnis lotere? Itu mudah. Jadilah bandar lotere!!!  Itu pun jika kita masih mau menikmati rejeki di atas kesusahan dan penderitaan orang lain.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/211229

 


Kamis, 16 Desember 2021

TRINITAS


 

Akhir tahun 2016 silam warganet di Tanah Air dihebohkan oleh satu tayangan video yang diunggah ke media sosial lewat salah satu akun Twitter dan lainnya melalui akun Instagram. Tayangan itu memperlihatkan Habib Rizieq, Imam besar Front Pembela Islam (FPI), dalam salah satu ceramah keagamaan di hadapan umatnya mengeluarkan pernyataan: "Kalau Tuhan beranak, yang jadi bidannya siapa?" Ucapan Rizieq sontak mendapat kecaman keras dari kalangan Kristiani. Dengan pernyataannya dia diduga melecehkan umat Kristen, dan buntut dari postingan di media sosial itu, Rizieq dilaporkan ke polisi.

 

Kita bahas dulu konteks pemuka agama mengisi khotbahnya dengan materi bahasan perbandingan ajaran yang dianutnya dengan doktrin agama lain. Adalah hal biasa dalam diskursus keagamaan seorang ahli agama menjelaskan ajaran agamanya, dengan mencari padanan atau kesamaan yang terdapat pada ajaran agama lain. Ada kalanya umatnya sendiri yang mengajukan pertanyaan, mengapa pada Agama "X" ada doktrin yang mirip dengan ajaran yang dianutnya. Kita tahu ajaran agama-agama besar berbeda satu sama lain. Jangankan antar agama, antar mazhab juga berbeda. Satu mazhab tapi lain sekte, juga terdapat perbedaan. Satu sekte namun dari garis tradisi yang lain, juga terdapat penekanan atau prioritas yang berbeda. Jadi dalam menjalankan tugas membimbing umatnya, pemuka agama sedikit banyak mesti memiliki pengetahuan yang memadai tentang perbedaan-perbedaan tersebut.

 

Sewaktu kita membandingkan agama lain dengan agama yang kita anut, pertama-tama yang kita lakukan adalah meninggalkan perspektif agama kita. Seperti contoh di atas seorang muslim yang hendak memahami agama Kristen, seyogianya menanggalkan dahulu perspektif keislamannya, tetapi bukan berarti meninggalkan keyakinan agamanya. Kemudian setelah menerima pengetahuan tentang ajaran agama lain, terimalah hal itu sebagai fakta dan bukan menilai apakah doktrin itu benar atau salah. Mempelajari ilmu perbandingan agama harus didasari rasa ingin tahu yang jujur, bukan dengan rasa kebencian, sehingga kita dapat mengetahui inti dari ajaran tersebut.

 

Kembali kepada subyek yang dibicarakan oleh Rizieq dalam ceramahnya, yang dimaksud dengan anak dari Tuhan itu tidak lain Yesus Kristus. Dalam iman atau kepercayaan seorang Kristen atau Nasrani, Yesus adalah Putera Allah. Dari perspektif Agama Kristen Tuhan itu Maha Kuasa, sehingga tiada yang mustahil bagiNya.  Jadi Tuhan bisa menjelma menjadi apa pun, termasuk menjadi manusia. Menyangkal bahwa Tuhan bisa menjelma menjadi manusia, berarti tidak mengakui Kemahakuasaan Tuhan. Untuk memahami Yesus itu Putera Allah kita bisa meninjau doktrin Kristiani tentang "Trinitas" atau diindonesiakan sebagai Tritunggal. Trinitas berasal dari kata Latin "trinus" yang artinya tiga serangkai atau rangkap tiga. Tiga serangkai itu adalah Allah Bapa, Allah Putera, dan Allah Roh Kudus. Namun bukan berarti Tuhan itu ada tiga. Tuhan itu tetap hanya satu.

 

Jika dalam agama Kristen ada konsep Tritunggal atau Trinitas, pada keyakinan Buddha Mahāyāna ada pula doktrin Trikaya. Istilah ini berasal dari bahasa Sanskerta, yang maknanya "Tiga Tubuh" atau "Tiga Raga". Tetapi sebenarnya Trikaya lebih tepat dikatakan sebagai "Tiga Modus Keberadaan". Tiga  modus keberadaan itu adalah: (1) Dharmakaya atau Tubuh Esensi; (2) Sambhogakaya  atau Tubuh Kenikmatan, yakni modus surgawi; dan (3) Nirmanakaya atau Tubuh Transformasi, yakni modus duniawi, saat Buddha muncul di bumi. Tubuh Kenikmatan dianggap sebagai antarmuka atau interface yang menjembatani Tubuh Esensi dengan Tubuh Transformasi.

 

Dengan cara pandang ini seorang Buddha menampilkan diri dalam tiga cara yang berbeda. Melalui tiga tubuh ini seorang Buddha secara berbarengan menjadi satu dengan Yang Mutlak, selagi dia muncul dalam dunia yang relatif atau bersyarat untuk kepentingan makhluk-makhluk yang menderita. Dalam pengertian ini, yakni "mutlak" dan "relatif" menyentuh doktrin Dua Kebenaran pada Buddhisme Mahāyāna, yang akan dijelaskan secara ringkas berikut ini. Kebenaran Relatif atau Kebenaran Konvensional adalah dunia yang kita alami sehari-hari, sebuah tempat yang penuh dengan keberagaman dan perbedaan-perbedaan. Sebaliknya pada Kebenaran Mutlak tidak ada itu keberagaman dan perbedaan-perbedaan.

 

Kebenaran Mutlak itu adalah Dharmakaya. Dharmakaya berarti "tubuh sejati". Dharmakaya berada di luar keberadaan maupun ketiadaan, dan di luar konsep. Almarhum Chogyam Trungpa menyebut Dharmakaya sebagai "dasar dari ketidaklahiran yang sesungguhnya." Dharmakaya bukanlah tempat khusus di mana hanya Buddha yang pergi. Dharmakaya kadang-kadang diidentikkan dengan Sifat Buddha, yang dalam Buddhisme Mahayana merupakan sifat dasar semua makhluk. Dalam Dharmakaya, tidak ada perbedaan antara Buddha dan orang lain. Dharmakaya identik dengan pencerahan sempurna, melampaui semua bentuk persepsi. Karena itu juga kadang-kadang identik dengan sunyata, atau "kekosongan".

 

Sampai di sini para pembaca, semoga Anda tidak menjadi bingung. Uraian mengenai Trikaya ini memang harus dibaca berulang-ulang untuk dipahami.

 

Adalah menarik bahwa konsep Dharmakaya pernah dicoba untuk dijadikan konsep Ketuhanan dalam Agama Buddha. Adalah Y.A. Mahawiku Dharma-aji Uggadhammo (10-Feb-1918 – 19-Mei-1987) dari Sangha Agung Indonesia, yang pernah memformulasikan Ketuhanan YME dalam agama Buddha. Kejadiannya sudah lama sekali yakni akhir dekade 70-an hingga awal 80-an. Penulis kenal secara pribadi dengan Bhante Uggadhammo, dan bahkan sering berdiskusi di dalam kuti kediamannya di Vihara Dhanagun, Bogor. Meskipun tidak selalu sependapat dengan beliau, Bhante kerap kali membagikan karyanya berupa tulisan beliau sendiri. Sayang sekali tulisan beliau tidak dapat ditemukan lagi dalam koleksi buku pribadi penulis. Jika ada Pembaca yang tertarik untuk membaca dan mengkaji buah penanya, mungkin bisa mencarinya di Perpustakaan Sangha Agung Indonesia.

 

Doktrin Trikaya sendiri pernah penulis tanyakan dan diskusikan dengan Bapak Cornelis Wowor, M.A. (5-Des-1948 – 1-Mar-2018), seorang mantan bhikkhu Theravāda, dosen ilmu perbandingan agama, dan pernah menjabat sebagai Direktur Urusan Agama Buddha Departemen Agama RI. Ketika itu antara tahun 2013-2014, penulis mengikuti acara Kelas-Dhamma di Vihara Buddha Sasana, Kelapa Gading. Cornelis Wowor, biasa kami sapa dengan sebutan pak Wowor, sudah dianggap sebagai guru oleh penulis sendiri. Nah, apa pendapat pak Wowor tentang doktrin Trikaya ini? Menurut beliau, konsep Trikaya berasal dari kitab Saddharma Puṇḍarīka Stra, yang dikenal dalam bahasa Indonesia sebagai Sutra Bunga Teratai. Uraian tentang Trikaya tidak tercantum pada Sutra itu sendiri, tetapi dicantumkan dalam catatan kaki, atau pada Komentar tentang Sutra tersebut. Menurut pak Wowor, jika konsep Trikaya bukan didapat pada naskah utama Sutra, layakkah ajaran ini dijadikan sebagai acuan?

 

Konsep Trinitas ini tidak hanya dikenal dalam Agama Kristen dan Agama Buddha Mahāyāna saja, tetapi dianut pula oleh ajaran Agama Tao. Tiga Yang Suci atau  三清 dibaca Sānqīng (The Three Pure Ones, Ingg), adalah Trinitas Tao, tiga dewa tertinggi dalam jajaran Tao. Mereka dianggap sebagai manifestasi murni dari Tao dan asal mula semua makhluk hidup. Dari Kitab Tao Te Ching, dinyatakan bahwa: "Tao menghasilkan Satu; Satu menghasilkan Dua; Dua menghasilkan Tiga; Tiga menghasilkan Segala sesuatu." Secara umum disepakati oleh para cendekiawan Tao bahwa Tao menghasilkan Satu berarti Wuji menghasilkan Taiji, dan Satu menghasilkan Dua berarti Taiji menghasilkan Yin dan Yang. Namun, subjek tentang bagaimana Dua menghasilkan Tiga tetap menjadi perdebatan populer di kalangan Cendekiawan Tao. Kebanyakan sarjana percaya bahwa itu mengacu pada Interaksi antara Yin dan Yang, dengan kehadiran Chi, atau energi-kehidupan.

 

Yang pertama dari Tiga Yang Suci adalah 元始天尊 atau Yuánshǐ Tīanzūn, diterjemahkan sebagai "Yang Mulia Surgawi dari Awal Primordial" atau "Penguasa Langit Purba", adalah salah satu dewa tertinggi Taoisme. Dia adalah yang tertinggi dari Tiga Yang Suci, dan dikenal pula sebagai 玉清 atau Yùqīng ,artinya "Yang Suci Kemala". Diyakini bahwa dia muncul di awal alam semesta sebagai hasil dari penggabungan napas murni. Dia kemudian menciptakan Langit (Surga) dan Bumi.

 

Yuanshi Tianzun sebenarnya tanpa-awal dan tanpa-akhir, serta yang paling tinggi dari semua makhluk. Dia sebenarnya adalah representasi dari prinsip semua makhluk. Dari dia segala sesuatu muncul. Dia abadi, tidak terbatas, dan tanpa bentuk. Penting untuk dicatat bahwa pada awalnya Yuanshi Tianzun tidak pernah diwakili dengan gambar atau patung. Belakangan, di bangunan tengah Kuil Surga, dalam sebuah struktur yang disebut "Kubah Kekaisaran Surga", sebuah papan-arwah bertuliskan nama Yuanshi Tianzun disimpan di atas takhta.

 

Yang kedua dari Tiga Yang Suci adalah 靈寶天尊 atau Língbǎo Tiānzūn, diterjemahkan sebagai "Yang Mulia Kahyangan dari Harta Terhormat",  juga dikenal sebagai 上清 atau Shàngqīng , artinya "Yang Suci Agung". Lingbao Tianzun dikaitkan dengan Yin dan Yang , dan dengan munculnya Shàngqīng juga menandakan ekspansi besar ciptaan, sehingga membentuk alam semesta seperti yang terlihat sekarang.

 

Yang ketiga dari Tiga Yang Suci adalah 道德天尊 atau Dàodé Tiānzūn, diterjemahkan sebagai "Penguasa Jalan dan Kebajikannya", juga dikenal sebagai 太清 atau Tàiqīng yakni  "Yang Agung Murni", atau dikenal pula sebagai 太上老君 atau Tàishàng Lǎojūn  yakni "Tuan Penatua Tertinggi". Diyakini bahwa Daode Tianzun memanifestasikan dirinya dalam wujud Nabi Lao Zi. Daode Tianzun juga merupakan “Bendahara Roh”, yang dikenal sebagai Penguasa Manusia yang merupakan pendiri Taoisme. Dia adalah yang paling terkemuka, seorang penguasa sepuh. Itulah sebabnya dia adalah satu-satunya dari Tiga Yang Suci yang  digambarkan dengan rambut putih-bersih dan berjanggut putih pula.

 

Setelah kita mempelajari konsep Trinitas dalam beberapa agama, kita bisa melihat benang merah dari ajaran-ajaran agama besar yang ada di dunia pada saat ini. Jika kita membandingkan antara Buddhisme Mahāyāna dengan Taoisme, Anda bisa melakukan perbandingan dan pengkajian antara Dharmakaya dengan Yuanshi Tianzun, pula antara Sambhogakaya dengan Lingbao Tianzun, dan Nirmanakaya dengan Daode Tianzun. Memang menarik untuk mempelajari ilmu perbandingan agama. Jadi apakah Anda para pembaca berniat untuk mendalaminya juga?

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/211215

 


Kamis, 02 Desember 2021

FANGSHENG


 

Sekali waktu penulis berkunjung ke sebuah rumah ibadah umat Buddha dan Konghucu yang sedang menyelenggarakan persembahyangan akbar tahunan. Saat itu tinggal beberapa hari menjelang peringatan Tahun Baru Imlek. Lilin-lilin merah berukuran setinggi orang dewasa sedang dipersiapkan di depan altar utama. Sebagian umat sedang mencuci buah-buahan yang baru mereka beli, yang lalu ditata dengan rapi di atas piring untuk dipersembahkan di meja sembahyang. Asap dupa berkepul-kepul memenuhi ruangan dan membuat mata kita terasa pedih, sementara umat yang lain sambil memegang hio berdoa di hadapan rupang-rupang dewa yang ada di sana. Ada ritual lain yang menarik di vihara ini setelah puja-bakti perseorangan usai, terutama bagi mereka yang mau melakukannya. Ritual itu berupa melepas burung ke alam bebas.

 

Penulis melihat di sekeliling pekarangan rumah ibadah itu sudah diisi oleh beberapa pedagang burung. Burung pipit yang berukuran kecil bercicit di dalam sangkar-sangkar ukuran besar dan sedang. Pada setiap sangkar besar mungkin ada lebih dari dua ratus ekor yang dijejalkan di dalamnya. Burung-burung itu dijual seharga dua ribu sampai tiga ribu rupiah per ekor. Ada umat yang membeli lima ekor, dua puluh ekor, bahkan lebih dari seratus ekor. Setelah burung dibeli dan berpindah tangan, burung-burung itu dilepaskan oleh si pembeli dengan cara membuka pintu kandang disertai doa dan harapan pembelinya. Iseng-iseng penulis menghampiri seorang wanita paruh baya yang sedang memegang sebuah kandang burung kecil dan bersiap-siap untuk melaksanakan ritual tersebut. Dia baru saja membeli 20 ekor seharga Rp 50 ribu rupiah. "Apa maksudnya Ibu sampai melepas burung?" sapa penulis. Wanita itu menjawab, "saya melaksanakan ajaran agama. Kasihan makhluk-makhluk kecil ini. Ketimbang dikurung, bukankah lebih baik jika mereka dibiarkan bebas?" Seorang anak muda laki-laki di dekatnya baru saja selesai melepaskan burung yang dibelinya. Dia bercerita baru saja menebus 50 ekor burung seharga Rp 100 ribu. Pemuda itu memiliki alasan tersendiri, "melepas burung itu dimaksudkan untuk 'membuang sial', apalagi sebentar lagi sudah ganti tahun."

 

Seorang rekan penulis yang beragama lain dan pernah menyaksikan acara pelepasan burung bertanya kepada penulis. "Saya heran melihat orang di tempat ibadah itu yang melepaskan burung-burung ke angkasa. Hewan tersebut sebetulnya merupakan hasil tangkapan dari alam, yang kemudian oleh pemburu dan pengepulnya dijual kembali di vihara. Saya pikir ini merupakan praktik yang absurd." Penulis hanya bisa termanggu-manggu, tidak bisa menjawab pertanyaan itu dengan didasari argumentasi yang masuk akal. Adalah memang benar ada pemburu burung di desa, yang menangkap burung dengan memakai perekat dan umpan, atau dengan menggunakan jaring halus. Selanjutnya ada pengepul burung yang tugasnya membeli hasil buruan dari masing-masing penangkap individu dengan harga murah, dan selanjutnya dikumpulkan menjadi banyak dalam sejumlah kandang besar. Setelah terkumpul burung dalam jumlah besar, sang pengepul menjualnya kepada juragan-burung di kota besar. Juragan lalu mengupah orang – biasanya para pekerja serabutan – untuk menjajakan burung di vihara. Juragan-burung paham benar kapan sebaiknya dia menjajakan barang dagangannya di rumah ibadah, agar jualannya laku laris manis. Dalam proses yang bermula sejak burung ditangkap sampai hewan yang malang itu dijajakan di halaman vihara, entah sudah berapa banyak burung yang tewas karena stress, terluka, berdesak-desakan, kelaparan, terguncang-guncang dalam perjalanan, dan oleh sebab-sebab lainnya.

 

Praktik melepas burung atau makhluk hidup lainnya dikenal sebagai fangsheng. Istilah ini berasal dari bahasa Mandarin 放生 atau fàngshēng dengan makna literalnya "membebaskan makhluk yang terancam hidupnya" (life release dalam bahasa Inggris). Fangsheng merupakan sebuah tradisi kuno yang berasal dari Buddhisme Tiongkok sekitar abad keenam Masehi. Konon menurut asal-usulnya di satu vihara para bhikshu memprakarsai, agar pada waktu tertentu umat diminta melepaskan ikan dan kura-kura ke kolam yang ada di halaman rumah ibadah tersebut. Ikan dan kura-kura yang dibebaskan tersebut sebelumnya merupakan hewan tangkapan yang hendak disembelih guna dikonsumsi oleh manusia. Namun praktik melepaskan makhluk hidup di Tiongkok sudah berlangsung lebih dari 2300 tahun yang lalu, artinya jauh sebelum ajaran Buddha masuk ke Tiongkok. Pada masa Dinasti Han (206 seb.M 220 M) ada ritual minta hujan dengan cara melepaskan anak katak diiringi doa-doa tertentu, dan upaya ini ternyata manjur mendatangkan hujan. Jadi sejak zaman kuno diyakini membebaskan makhluk hidup yang terancam akan menghasilkan berkah bagi mereka yang melakukannya.

 

Jika kita meneliti Kanon Pali, sepengetahuan penulis, tidak pernah ada anjuran dari Sang Buddha kepada para pengikutnya untuk melakukan ritual pelepasan makhluk hidup. Di negara-negara Buddhis yang menganut paham Theravada, praktik fangsheng tidaklah populer, tetapi anehnya ada vihara Theravada di Indonesia yang secara reguler mengajak umatnya melakukan ritual fangsheng. Di Tiongkok Daratan pun praktik ini mengalami pasang surutnya. Selama Revolusi Kebudayaan antara tahun 1960-an sampai 70-an Tiongkok di bawah kepemimpinan Mao Zedong, praktik fangsheng sempat dilarang, karena dianggap sebagai takhyul yang sudah ketinggalan zaman. Namun, tradisi fangsheng masih banyak dipercayai dan dipraktikkan oleh Diaspora Tionghoa di mancanegara.

 

Kita kembali pada kasus fangsheng dengan cara membebaskan burung di halaman vihara atau kelenteng, yang menurut pandangan sebagian orang merupakan tindakan blunder, yang awalnya dipandang mendatangkan karma-baik alih-alih kemudian menciptakan lahan bisnis bagi segelintir orang untuk mengeksploitasi hewan-hewan yang tidak berdaya. Ternyata tidak hanya burung yang menjadi obyek fangsheng, tetapi ada juga ikan, penyu, ular, bahkan serangga (serangga misalnya jengkerik, yang biasanya dijual untuk pakan burung atau ikan). Salah satu praktik fangsheng yang berujung pada tuntutan hukum terjadi di tahun 2017 silam, akan penulis ceritakan kembali kepada pembaca sekalian terutama ditujukan kepada para praktisi fangsheng. Dari kisah ini kita belajar bahwa niat baik saja tidaklah cukup, tetapi harus dibekali oleh pengetahuan dan dalam eksekusinya diperhitungkan dengan saksama, agar tujuan praktik fangsheng yang mulia bisa tercapai dengan baik.

 

Berawal dari imbauan Guru Hai Tao yang mengunjungi sebuah komunitas Buddhis binaannya pada tahun 2015 di Inggris, lebih dari seratus orang pengikutnya, berniat menghormati ajaran pimpinan mereka dengan mempraktikkan fangsheng. Hai Tao sendiri dikenal sebagai pendiri Compassion for Life Organization, satu yayasan yang mempromosikan kesejahteraan hewan. Di tahun 2017 kelompok itu membeli krustasea dalam berbagai jenis di pasar hewan laut setempat. Sesampainya di Marina Brighton mereka menyewa tiga perahu, kemudian setelah perahu menempuh jarak sejauh satu mil dari lepas pantai, mereka melepaskan semua hewan yang diangkutnya ke dalam laut. Mereka kembali ke pantai dengan perasaan lega dan terhibur karena telah melakukan karma baik.

 

Namun ritual pelepasan hewan yang di Indonesia mungkin dianggap sebagai perkara yang sepele, berakibat fatal jika dilakukan di negara maju yang kesadaran pada pelestarian lingkungan sangatlah tinggi. Pelepasan ratusan lobster dan kepiting asing ke laut lepas Brighton telah membawa petaka pada fauna lokal di sana. Pelepasan hewan asing ke area yang bukan merupakan habitat asalnya membawa lebih banyak bahaya ketimbang kemaslahatannya. Praktik fangsheng yang dilakukan oleh komunitas Buddhis dari London ini diketahui oleh masyarakat dan kasus ini berujung ke ranah hukum. Dua orang yang bertanggung jawab pada kegiatan tersebut, yakni Zhixiong Li, 30, dan Ni Li, 33, didakwa oleh Pengadilan Brighton karena melanggar Undang-Undang Margasatwa dan Pedesaan 1981. Tuduhannya melepaskan spesies non-asli ke alam liar dan menyebabkan “kerusakan yang tak terhitung” pada kehidupan laut. Keduanya diperintahkan untuk membayar denda dan kompensasi total lebih dari £28.000 (sekitar Rp 535 juta).

 

Para pemrakarsa fangsheng adalah orang yang berpikir sederhana. "Ayo kita lepas burung!" Lalu burung-burung beterbangan di angkasa. Urusan pun beres. Lain kali mereka mencoba pada hewan lain, "ayo, kita lepas ikan air tawar di Danau Sunter!" Ikan-ikan pun dibebaskan dan berenang di perairan umum. Urusan pun beres. Namun apakah segalanya beres? Nyatanya tidak. Kita tinjau kasus burung yang dijajakan di pekarangan vihara. Anda tahu burung pipit yang imut-imut itu adalah burung yang hidup di areal persawahan. Makanannya adalah bijih-bijihan dan mereka hidup bergerombol pada pohon yang tumbuh dekat pematang sawah. Sekarang burung malang itu dilepas di tengah hutan beton di Jakarta. Mereka kebingungan harus mencari makan dimana, karena sawah tidak dapat lagi ditemukan di kota metropolitan ini. Masih beruntung jika hewan ini menemukan tempat sampah untuk mencari remah-remah sisa makanan manusia. Di tempat lain umat Buddha yang sedang melakukan fangsheng di Danau Sunter menarik perhatian beberapa pemancing ikan, yang sedang memasang umpan di kail pancingan mereka. "Wah, ini sudah menjadi rejeki kita. Besok saja kita kembali ke sini dan ajak teman-teman lain untuk memancing. Pasti ikannya sudah bertambah banyak." Memang naas nian ikan yang baru di-fangsheng. Baru keluar dari mulut harimau, sekarang malah masuk ke mulut buaya.

 

Dari penuturan di atas sebagian dari Anda mungkin berpikir penulis adalah orang yang tidak suka atau anti terhadap praktik fangsheng. Anda keliru, penulis setuju fangsheng tetap dilakukan oleh umat Buddha atau Konghucu, namun pelepasan makhluk ini dilakukan dengan cerdas agar tujuan mulia kita tercapai. Kita harus berpikir jauh dengan mengkaji: (1) Apakah hewan yang kita lepas memiliki masa depan yang baik di tempat tinggalnya yang baru? (2) Apakah kehadiran binatang ini tidak mengancam kehidupan satwa asli di sana, atau apakah mereka kelak justru menjadi predator di lingkungannya yang baru? Jadi pemrakarsa fangsheng haruslah orang yang memiliki wawasan yang luas dan dibekali pengetahuan biologi dan ekologi yang memadai.

 

Penulis kenal sekelompok aktivis vihara yang secara reguler melakukan kegiatan fangsheng. Dalam setiap kegiatannya mereka mengajak anak-anak dan remaja. Pada kesempatan itu anak-anak melepas sendiri ikan dan bulus (kura-kura bercangkang lunak) ke danau atau sungai. Kegiatan ini selain menghibur juga menanamkan cinta kasih kepada hewan. Anak-anak kita tidak mudah lagi terpengaruh oleh temannya yang suka menganiaya satwa.

 

Sebelum menutup tulisan ini, penulis ingin membagikan kisah pelepasliaran tukik alias anak penyu yang dilakukan di pinggir Pantai Ketapang Indah, Banyuwangi, yang diadakan pada bulan Juli 2019 yang lalu. Kegiatan ini diprakarsai oleh umat Tridharma Banyuwangi dengan Banyuwangi Sea Turtle Foundation (BSTF), sebuah yayasan nirlaba yang peduli dengan konservasi penyu endemik Selat Bali. Kita mungkin pernah menyaksikan film dokumenter tentang bagaimana berat dan berbahayanya induk penyu yang hendak bertelur di pantai berpasir. Setelah telur-telur itu menetas, kita saksikan ratusan tukik bergegas dan berpacu dari sarang mereka menuju laut lepas. Selama perjalanan tidak sedikit tukik yang dimangsa oleh burung, reptilia, dan mamalia yang berkeliaran di pantai. Sekarang berkat campur tangan manusia, induk penyu bisa bertelur dengan aman di pantai, telur-telurnya dijaga sebelum menetas, dan semua tukik diantarkan dengan selamat ke tepi samudera.

 

Sebagai yayasan nirlaba BSTF memerlukan dana dari masyarakat. Sekarang bagaimana jika umat yang ingin melakukan fangsheng menyumbangkan uangnya ke yayasan ini, lalu pimpinan mengorganisir umatnya untuk menghadiri dan ikut-serta sewaktu tukik dilepaskan ke laut? Bukankah dengan demikian umat bisa melakukan fangsheng dengan cara yang cerdas? Semoga apa yang dilakukan oleh umat Tridharma Banyuwangi bisa dijadikan model pelaksanaan ritual fangsheng di masa mendatang.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/211201