Kamis, 29 Juli 2021

TAKUT MATI



 

Alkisah di zaman dahulu kala di sebuah pulau yang bernama Aolai di lepas pesisir Benua Timur, seekor kera batu dilahirkan atas Kuasa Surga dan Bumi. Di pulau gunung yang ditempatinya si kera segera mampu berlari dan melompat, makan dari tetumbuhan dan pepohonan, minum dari anak sungai dan mata air, memetik bunga gunung dan mencari buah-buahan. Dia berkawan dengan serigala, bepergian dengan harimau dan macan tutul, bersahabat dengan rusa, dan berteman dengan sesama bangsa kera.

 

Pada satu hari si kera batu mendapatkan tantangan dari kawan-kawannya, yakni menemukan asal-muasal aliran air hingga bisa mencapai sungai tempat mereka mandi. Barang siapa yang bisa menemukan jawabannya, dia akan diangkat sebagai raja. Memang sudah jadi takdir si kera batu, yang dengan modal keberanian dan kecerdikannya, dia melompat dan berhasil menerobos guyuran-deras air terjun hingga ia mencapai sebuah goa misterius di dalamnya. Bukan saja goa tersembunyi yang ditemukannya, melainkan sebuah istana batu yang megah, lengkap dengan perabotannya. Tempat itu dinamakan "Goa Tirai Air di Gunung Bunga dan Buah."

 

Singkat cerita semua bangsa kera di pulau itu diajaknya menempati goa beserta istana batu yang baru ditemukannya. Di saat mereka masih dihinggapi eforia kegembiraan, si kera batu berseru, "mengapa kalian belum menjadikan aku raja?" Mendengar ucapan ini semua kera membungkuk dan bersujud, tak berani mereka melawan titahnya. Selanjutnya mereka berbaris rapi dalam kelompok juga dalam urutan umur, seperti layaknya dalam sebuah sidang resmi. Dengan rasa hormat mereka semua menobatkan si kera batu sebagai "Raja Agung Seribu Tahun". Dia kemudian mengambil mahkota, menetapkan kata "batu" sebagai tabu, dan menyebut dirinya sendiri "Raja Kera Tampan."

 

Mengendalikan seluruh kerajaan kera, monyet, gorila, siamang, beruk, lutung, makaka, dan lainnya. Si Raja Kera Tampan membagi mereka menjadi penguasa dan bawahan, pembantu dan pelaksana. Di pagi hari mereka berkelana di Gunung Bunga dan Buah, di sore hari mereka pulang dan melewatkan malamnya di Goa Tirai Air.  Mereka semua sepakat tidak bergabung lagi dengan kawanan burung atau bepergian dengan hewan buas. Mereka memiliki raja mereka sendiri, serta mereka menikmati dunianya sendiri.

 

Semangat si Raja Kera Tampan yang menggebu-gebu dengan polosnya ternyata tidak berlangsung lama. Pada suatu hari ia seketika merasa tertekan sewaktu melakukan perjamuan dengan segenap rakyatnya, dan ia mulai menangis tersedu-sedu. Para kera yang terkejut mengelilingi sang raja serta bertanya, "Ada apa Paduka?" "Walaupun aku sekarang ini bahagia," tukas Raja Kera, "Aku khawatir akan masa depan. Ini yang membuatku tertekan." Kera-kera yang lain tertawa dan berkata, "Paduka ini tamak. Kita semua berpesta-pora setiap hari; kita hidup dalam sebuah gunung-firdaus, dalam sebuah goa kuno di benua yang hebat. Kita dijauhkan dari penguasaan kaum kuda bertanduk satu, diluar dominasi para burung-api, dan tak terjangkau oleh pengekangan raja manusia. Kita bebas melakukan apa yang kita mau. Kita ini sungguh-sungguh beruntung. Mengapa membuat diri Paduka sendiri mengkhawatirkan masa depan?"

 

Menanggapi ini si Raja Kera mengutarakan,  "Ya, semua yang kalian katakan itu benar. Tetapi akan tiba waktunya ketika kita menjadi tua dan lemah, serta dunia-bawah dikuasai oleh si Raja Neraka. Pada saat waktunya kita mati, kita tidak hidup lagi diantara Yang Terberkahi, dan hidup kita semua akan sia-sia belaka." Semua kera menutup wajah mereka dan setiap kera menangis ketika memikirkan tentang kematian. Tiba-tiba seekor siamang menyeruak dari tempat duduknya dan berkata dengan lantang, "Jika Yang Mulia berpikir sedemikian jauh, inilah saatnya permulaan pencerahan. Sekarang dari Lima Makhluk Hidup, hanya ada tiga yang tidak berada dibawah penguasaan si Raja Neraka."

 

"Apakah engkau tahu siapa yang tiga itu?" tanya si Raja Kera. "Ya," jawab si siamang. "Yang tiga itu adalah para Buddha, kelompok Yang Kekal, dan para Suciwan (Yang Kekal atau  xiān adalah orang yang telah mencapai "keabadian" menurut ajaran Tao).  Mereka semua bebas dari Roda Reinkarnasi. Mereka tidak dilahirkan dan mereka tidak akan mati. Mereka abadi seperti Surga dan Bumi, juga seperti gunung dan sungai." "Dimana mereka tinggal?" si Raja Kera bertanya. "Hanya di dunia manusia," si beruk menyahut, "di goa-goa kuno pada gunung-gunung ajaib." Si Raja Kera sangat senang mendengar kabar ini.

 

"Aku akan meninggalkan kalian besok," ia berkata "Jika demikian jalannya, aku akan berkelana hingga ke ujung lautan dan pergi ke tepi langit guna menemukan tiga jenis makhluk itu. Setelah itu akan kita dapatkan kemudaan abadi sekaligus mampu membebaskan kita dari ancaman sang Raja Neraka untuk selamanya." Inilah letak kebaikannya! Cukup dengan kata-kata ini, ia belajar bagaimana ia bisa bebas dari Roda Reinkarnasi dan menjadi Suciwan Agung Menyamai Surga.

 

Selanjutnya si Raja Kera selama bertahun-tahun setelah meninggalkan pulau kediamannya, mengembara di Benua Timur yang maha-luas itu. Tak peduli ia sedang sarapan pagi atau saat pergi tidur di malam hari ia selalu bertanya tentang Buddha, Yang Kekal, dan Suciwan, serta mencari rahasia kemudaan abadi. Ia mengamati bahwasanya orang-orang di dunia terlalu peduli dan sibuk pada kekayaan dan kemasyhuran, yang selalu mereka kejar.

 

 

Jadi kapan waktunya perjuangan bagi keberuntungan dan ketenaran akan berakhir?

Membanting tulang dari subuh hingga malam, tak akan menyenangkan hatimu.

Mereka yang menunggang keledai memimpikan mengendarai kuda jantan,

Sang perdana menteri selalu ingin menjadi pangeran.

Kegelisahan mereka untuk menghentikan pekerjaan hanya ketika mereka harus makan atau berpakaian;

Mereka tidak pernah takut bahwa si Raja Neraka akan menjemput mereka.

Ketika mereka berusaha memastikan anak atau cucu mereka mewarisi kekayaan dan kekuasaan mereka,

Mereka tidak punya waktu sedikit pun untuk berhenti dan berpikir.

 

 

Kita tinggalkan dulu si Raja Kera yang sedang mencari Tiga Makhluk Agung itu. Sekarang kita beralih pada dunia yang diperuntukkan bagi mereka yang sibuk mencari kekayaan dan kemasyhuran. Kita akan menuju Metropolis Tokyo, ibukota paling besar sedunia, rumah bagi tiga-puluh-dua juta orang. Di satu sudut Tokyo yang paling gemerlap, Ginza, kawasan perbelanjaan yang paling top, berjejer butik kelas atas, gerai perhiasan mewah, bar koktail dan kedai sushi yang menyediakan kudapan yang lezat. Pada akhir pekan, jalan utama Chuo Dori merupakan jalur pedestrian paling trendi, yang dipenuhi oleh pencari kesenangan dan turis mancanegara. Bukan saja di akhir pekan, ketika waktu sudah larut malam pun Ginza masih dipadati pekerja Jepang yang baru pulang dari kantor mereka, dan banyak diantara mereka enggan untuk pulang ke rumahnya.

 

Jika kita meninggalkan Tokyo menyeberangi samudera terluas di dunia sejauh hampir sebelas ribu kilometer ke timur, kita akan mencapai New York, metropolis terkemuka di dunia selain Tokyo. Di kota-mega yang tidak pernah tidur ini, ada lagi satu lokasi yang dapat dipertimbangkan untuk dikunjungi. Satu persimpangan komersial utama, tujuan favorit turis, yang merupakan perpotongan diantara Broadway dan Seventh Avenue, yang dikenal sebagai Times Square. Pada gedung-gedung yang tinggi menjulang, dindingnya dipenuhi papan billboard dan reklame raksasa. Saking terkenalnya, lokasi ini dinamakan pula "Crossroads of the World". Times Square tidak pernah sepi. Di hari biasa tiga-ratus hingga empat-ratus ribu orang singgah di sini. Di malam Tahun Baru lebih dari setengah juta orang berkumpul untuk merayakan malam pergantian tahun.

 

Ginza dan Times Square adalah ikon peradaban modern yang gemerlap, yang tidak akan dilupakan oleh para pelancong dan penikmat kesenangan. Perjalanan berikutnya, penulis akan mengajak para pembaca ke lokasi yang sangat berbeda. Jika kita sekarang meninggalkan New York ke arah timur hingga mencapai kira-kira dua-belas ribu kilometer, kita akan mencapai Varanasi di India. Ini adalah sebuah kota berukuran kecil yang luasnya hanya seperempat DKI Jakarta, serta tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan dua metropolis yang disebutkan di atas. Juga kalah jauh dibandingkan dengan Delhi, Mumbai, Bangalore, Chennai, Hyderabad, atau Kolkata. Varanasi bukanlah lokasi yang menyenangkan bagi turis mancanegara untuk berpesiar. Seperti yang terjadi di banyak kota di India, kesan semrawut dan kumuh tampak di sebagian area kotanya. Keadaannya bahkan lebih kotor daripada daerah slum di ibukota Indonesia. Sapi, hewan yang dianggap suci di India, bebas berkeliaran di jalan dan membuang hajat dimana saja. Di bulan April hingga Juni yang merupakan musim panas di India, suhu di siang hari bisa mencapai 45 derajat Celcius. Kita yang tinggal di Jakarta saja sudah amat gerah pada temperatur 30 derajat lebih di siang hari.

 

Jadi apa yang hendak ditonjolkan di sini? Ini bukanlah sembarang lokasi di muka bumi ini. Varanasi adalah kota suci bagi umat Hindu dan penganut Jainisme, yang setara dengan Mekkah bagi umat Islam. Sebagian kota ini terletak di bantaran utara Sungai Gangga. Varanasi adalah kota tua yang paling tidak telah berusia tiga ribu tahun dan merupakan kota budaya di India. Bukan itu saja, kurang lebih sepuluh kilometer di sebelah timur-laut pusat kota Varanasi terletak Sarnath, tempat Buddha Gautama memutar roda-dharma 2600 tahun yang lalu. Terlepas dari semua kelebihannya, yang paling istimewa adalah Varanasi menjadi tempat tujuan kematian, atau dengan kata lain menjadi tempat kematian idaman.

 

Tentu Anda bertanya, mengapa kota itu menjadi tempat kematian idaman? Bagi mereka yang percaya, mati di sini dan sesaat kemudian jasad mereka akan dibawa dan disemayamkan di Manikarnika Ghat atau Harishchandra Ghat. Kedua Ghat tersebut adalah undakan batu berbentuk anak-tangga yang berada persis di bantaran Sungai Gangga. Di sinilah jenazah mereka diberi tumpukan kayu bakar dan langsung dikremasikan. Seiring dengan melelehnya daging-manusia yang dimakan api, dengan diiringi doa dan pembacaan mantram suci oleh rohaniwan dan keluarganya, abu jenazahnya akan tertiup angin dan dibawa oleh arus Sungai Gangga. Tirta-suci akan membasuh sisa jasmani orang mati itu dan membebaskannya dari Roda Reinkarnasi, bahkan bagi orang yang jahat sekali pun. Agar bisa mati di Varanasi mereka harus menunggu kematian di rumah singgah, yang dinamakan bhawan. Ada beberapa bhawan yang disediakan dan bisa ditempati oleh mereka yang berniat menunggu kematiannya.

 

Demikianlah sedikit kisah tentang Varanasi sebagai tempat yang dipilih oleh mereka yang ingin bebas dari kelahiran-kembali dan moksa pun dicapai pada akhirnya. Bagi mereka yang masih tinggal di bhawan sambil menantikan momen penting itu, kematian bukanlah hal yang menakutkan. Mereka tidak lagi gentar pada Sang Raja Neraka yang akan menjemput mereka.

 

Demikianlah ketika segelintir orang bersiap-siap menanti ajal yang akan menjemput mereka, mayoritas manusia acuh tak acuh dan menganggap tabu membicarakan perihal kematian, yang tanpa ampun akan merenggut nyawa mereka. Berkaca dari pengalaman Si Raja Kera, yang melihat bahwasanya orang-orang di dunia ini terlalu peduli dan sibuk pada kekayaan dan kemasyhuran ...

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/210728

 


Kamis, 15 Juli 2021

SHANGRI-LA


 

Kisah kita kali ini menceritakan Robert Conway, seorang mantan tentara, penulis, dan diplomat Kerajaan Inggris. Sebelum kembali ke Inggris, Conway berkewajiban menyelesaikan tugasnya yang terakhir di tahun 1931 di India, yakni mengungsikan 90 orang warga kulit putih yang disandera di kota Baskul ke kota Peshawar. Setelah mengantarkan para sandera ke tempat yang aman, dengan meminjam pesawat pribadi Maharaja Chandapore, Conway kembali ke tempatnya bertugas bersama dengan bawahannya seorang kadet bernama Mallinson, disertai dua orang lain yaitu Nona Brinklow, seorang misionaris, dan seorang Amerika bernama Barnard.

 

Selang beberapa lama setelah pesawat lepas landas mereka baru menyadari ada yang tidak beres. Ternyata pilot membawa mereka ke arah lain, bukan ke tempat yang seharusnya dituju. Hari menjelang malam ketika pesawat mendarat di bandara yang asing dan sekelompok orang dari suku setempat menambah bahan bakar ke badan pesawat. Mallinson berinisiatif menyergap sang pilot, namun pilot mengacungkan sepucuk revolver, yang memaksa ia mengurungkan niatnya dan kembali ke bangku penumpang. Pesawat segera mengudara kembali dan tampaknya mereka terbang di atas pegunungan bersalju. Pesawat tiba-tiba menukik kehilangan tenaga dan pilot terpaksa mendaratkan pesawatnya di lahan datar yang bersalju. Perdaratan darurat membuat pesawat rusak berat, namun keempat penumpangnya selamat, walaupun kedapatan sang pilot misterius itu telah tewas.

 

Mallinson dan Conway berupaya memperkirakan lokasi jatuhnya pesawat, dan memperkirakan mereka berada di pegunungan Karakoram. Conway berspekulasi mereka terbang di atas Tibet. Sebagai orang yang terbiasa mendaki gunung, Conway menyadari lokasi mereka lebih terpencil ketimbang Gunung Everest yang terkenal itu. Nona Brinklow mulai cemas ketika mengingat cerita temannya sesama misionaris, bahwa penduduk Tibet itu merupakan orang-orang aneh. Mereka percaya manusia itu keturunan dari bangsa kera. Tentu saja ini hanya folklore setempat, bukan ajaran teori evolusi Darwin. Keempat penumpang pesawat naas itu amat khawatir atas keselamatan mereka. Udara semakin dingin dan kegelapan malam segera menyergap. Mereka putus asa dan tidak tahu harus berbuat apa.

 

Menjelang tengah malam belasan orang mendekati lokasi jatuhnya pesawat. Mereka mengusung sebuah tandu yang dinaiki seorang yang lebih tua yang mengenakan pakaian berwarna biru. Sewaktu mereka mendekat, Conway melihat orang yang ditandu itu ternyata pimpinannya, dan ia seorang Tionghoa yang mengenakan gaun sutera bersulam. Orang itu fasih berbahasa Inggris. Namanya Chang. Conway memperkenalkan dirinya dan teman-temannya.

 

Chang menawarkan dirinya sebagai penunjuk jalan. Mallinson minta Chang agar mereka ditunjukkan jalan ke dunia yang beradab. Chang malah balik bertanya apakah ia dan teman-temannya datang dari dunia yang tak-beradab. Orang-orang Tibet mengenakan pakaian dari kulit domba, topi dari bulu anjing-gunung, dan sepatu bot dari kulit yak. Mereka menawarkan anggur dan buah-buahan kepada Conway dan teman-temannya. Sepanjang perjalanan Chang dan Conway dengan akrabnya bercakap-cakap. Mereka membicarakan gunung elok berbentuk kerucut sempurna, yang oleh orang Tibet dinamakan Karakal.

 

Melalui perjalanan yang panjang dan berat, Chang membawa mereka melintasi pegunungan yang dingin dan bersalju. Setelah berjalan cukup jauh, di pagi harinya saat mentari baru saja menyinari bumi, keempat tokoh kita ini dihadapkan pada suatu lokasi yang sulit dipercaya. “Bagi Conway, yang melihatnya untuk pertama kali mungkin ini hanya khayalan belaka … . Tempat ini sungguh-sungguh aneh dengan pemandangan luar biasa. Sekelompok rumah indah berwarna-warni bertebaran di sisi gunung dengan … eloknya bunga-bunga yang bermekaran bersemai dengan latar tebing batu yang terjal. Lanskapnya luar biasa dan sangat permai. Tak kuat kita menahan rasa haru sewaktu mata kita memandang atap biru di atas bukit batu kelabu … . Jauh di seberang sana tampak sebuah piramida yang mempesona, dengan selimut salju menutupi Karakal”. Itulah kesan pertama Conway ketika melihat lokasi yang menakjubkan itu. Itulah Shangri-La, surga yang hilang.

 

Shangri-La merupakan biara Tibet atau kediaman Lama (Lama berarti biarawan atau rahib), yang terletak di sisi gunung sempurna yang dinamakan Rembulan Biru. Di lembah di bawah biara itu terhampar ladang yang subur dan juga rumah-rumah kediaman penduduknya. Conway dan teman-temannya tinggal di biara yang berwarna-warni dan mereka semua terkesima melihat kelengkapan yang ada di dalamnya. Biara dilengkapi dengan peralatan modern seperti bathtub, sistem pemanas sentral, sebuah perpustakaan yang besar dan lengkap, barang-barang keramik dari porselen-cina, sebuah grand piano, alat musik harpa, serta berlimpahnya makanan dan minuman yang berasal dari lembah subur di bawah sana. Conway bahkan membaca label pada bathtub porselen yang dipakainya : “Akron, Ohio”. Chang menerangkan para penjelajah datang dan pergi ke Shangri-La sambil membawa barang-barang itu.

 

Keempat tamu tenggelam dalam kehidupan rutin. Mereka bersyukur pada hangatnya siang dan dinginnya malam, menikmati jalan-jalan di taman yang tertata indah, memanfaatkan waktu luang yang panjang, mencicipi makanan dan minuman pilihan, meminjam buku dari perpustakaan, dan menikmati alunan musik Mozart. Sewaktu makan malam Conway menanyakan Chang apakah masyarakat di sana menerima pengunjung dari luar. Chang menjawab mereka jarang melakukan hal itu. Masyarakat di sana dapat bertahan tanpa tercemar dari dunia luar. Nona Brinklow bertanya berapa banyak rahib yang ada dan apa kebangsaan mereka. Chang menjawab masyarakat mereka hanya terdiri dari lima puluh orang dari berbagai bangsa, tetapi kebanyakan orang Tionghoa dan Tibet.

 

Chang dan Conway mendiskusikan falsafah yang dianut oleh Shangri-La, yang dijawab oleh Chang mereka menerapkan sikap tidak berlebih-lebihan atau sikap jalan tengah dalam segala hal. "Kami memimpin dengan menerapkan aturan yang tidak berlebihan, dan sebaliknya kami puas atas kepatuhan dalam skala menengah. Kami tidak memiliki hal yang kaku, atau aturan yang tidak dapat ditawar lagi. Kami kerjakan apa yang kami anggap pantas, yang sedikit hikmahnya kami peroleh dari masa lalu, tetapi lebih banyak kami ambil dari kebijaksanaan saat ini, serta tidak lupa ditambah dengan kemampuan cenayang kami untuk meneropong masa depan”.

 

Lama kelamaan Conway mendapatkan dirnya terbenam dalam ketenangan dan kedamaian Shangri-La. Ia kehilangan segala yang berkaitan dengan ambisi dan nafsu duniawi. Barnard merasa kerasan tinggal di Shangri-La dan tidak ingin kembali. Sesungguhnya Barnard masih dikejar-kejar oleh polisi karena terlibat kasus penipuan yang dilakukannya. Barnard minta kepada Chang agar ia diizinkan tinggal di Shangri-La selamanya. Nona Brinklow juga ingin tetap tinggal di Shangri-La. Ia ingin mendidik masyarakat setempat agar memeluk agama Kristen. Sekarang tinggal Mallinson yang makin lama makin merasa jenuh dan menggerutu setiap hari.

 

Chang memperkenalkan Conway pada seorang wanita Manchu yang bernama Lo-Tsen. Lo-Tsen seorang gadis cantik dengan umur sekitar dua puluhan dan mahir sekali memainkan harpa. Ia sama sekali tidak mengerti bahasa Inggris. Tertarik akan kepandaiannya memainkan musik dan kecantikannya, Conway jatuh cinta kepadanya. Chang menasehati Conway agar hubungan mereka berdua hendaknya bersifat spiritual. Chang agaknya pernah tersandung dengan kejadian serupa. Sejatinya Lo-Tsen sudah bermukim di Shangri-La dalam kurun waktu yang lama. Belakangan Mallinson pun jatuh cinta kepada perempuan Manchu ini.

 

Waktu terus berjalan, sampai tiba suatu saat Lama-Kepala berniat untuk bertemu dengan Conway. Melalui audiensi khusus, Lama-Kepala bercerita tentang sejarah Shangri-La. Beberapa ratus tahun yang lalu rahib Perrault datang dari Eropa ke Tibet dan kemudian mendirikan Shangri-La. Sang rahib sendiri dikabarkan menghilang sejak saat itu, dan Conway bisa menebak dengan jitu bahwa sesungguhnya Lama-Kepala tidak lain rahib Perrault sendiri. Lama-Kepala sendiri selama ini terbenam dalam meditasi yang khusuk. Ia sudah kehilangan gairah kemanusiaannya.

 

Chang terperanjat sewaktu Lama-Kepala minta bertemu dengan Conway untuk kedua kalinya. Chang sendiri hanya diizinkan untuk bertemu dengan Lama-Kepala paling tidak lima tahun sekali. Tidak seperti biasanya, Lama-Kepala meminta bertemu Conway tiga, empat, sampai lima kali. Lama-Kepala menjelaskan kedatangan Conway dan kawan-kawan bukanlah kebetulan belaka. Mereka berdua berdiskusi banyak hal tentang filsafat dan sejarah. Lama-Kepala yakin Conway memiliki kemampuan dan pengalaman yang mumpuni sampai ia dapat mengerti topik-topik ajaran yang sulit. Pada akhir pertemuan yang kelima Lama-Kepala menunjuk Conway sebagai penggantinya, dengan tugas melanjutkan kepemimpinan Shangri-La. Setelah pertemuan terakhir itu, Lama-Kepala wafat dengan tenang.

 

Conway menceritakan ikhwal pertemuannya dengan Lama-Kepala kepada ketiga temannya. Mallinson tidak mempercayai sejarah Shangri-La yang fantastik itu, juga berpendapat tidak mungkin orang dapat berusia ratusan tahun. Mallinson mengingatkan Conway -- atasannya yang lulusan Oxford yang begitu brilian, dan sekaligus dipuja sebagai pahlawan bagi korban penyanderaan di Baskul -- kini menjadi orang yang pasif dan nampak dungu. Ia berpendapat kondisi di sana begitu buruk, serta ia dan Lo-Tsen berencana untuk segera ke luar dari sana. Akhirnya keduanya mendapatkan beberapa pembawa barang yang kebetulan akan keluar dari Shangri-La. Conway diajak untuk mengikuti jejak mereka berdua. Setelah diliputi kebimbangan, akhirnya Conway memutuskan untuk menghantarkan kepergian mereka. Rencana Conway meninggalkan Shangri-La menimbulkan kegemparan masyarakat di sana. Hanya Chang yang berkata dengan penuh keyakinan bahwa Conway akan kembali.

 

Menyeberangi perbatasan ke dunia luar, angin kencang, udara dingin, dan alam yang ganas membuat Mallinson, Conway, Lo-Tsen dan para pengiringnya tertatih-tatih melewati pegunungan bersalju. Beberapa saat kemudian sesuatu yang menakjubkan terjadi. Lo-Tsen perlahan-lahan berubah wujud dari gadis cantik yang belia menjadi wanita dewasa, lalu menjelma menjadi wanita sepuh, dan akhirnya menjadi nenek tua-renta yang sekarat. Ternyata daya magis Shangri-La lenyap begitu mereka keluar dari firdaus itu. Daya magis yang selama ini membuat Lo-Tsen tampak belia, padahal sesungguhnya ia telah berusia ratusan tahun. Lo-Tsen jatuh ke tanah, mengerang, dan ajal segera menjemputnya. Mallinson begitu shock melihat orang yang menjadi kekasihnya berubah wujud dan meninggal mengenaskan. Dengan tubuh letih Mallinson pun jatuh di samping kekasihnya dan ia pun turut meregang nyawa. Conway terperanjat menyaksikan nasib kedua sahabatnya yang berakhir tragis.

 

Conway yang tertekan mendadak kehilangan ingatan. Ia meneruskan perjalanan sendirian sampai dirinya ditemukan regu penyelamat yang dikirim Pemerintah Inggris di India. Conway segera dirawat di sebuah rumah sakit di Chung-Kiang, sampai ia ditemukan Rutherford sahabat karibnya. Selama ditemani oleh Rutherford, Conway menceritakan seluruh kisah petualangannya di Shangri-La, dan Rutherford menuliskan menjadi manuskrip, hingga orang luar mengetahui keberadaan Shangri-La. Conway pun berangsur-angsur pulih, bersedia mengikuti sahabatnya yang akan berlayar ke Honolulu. Namun sesaat sebelum naik ke kapal, Conway membatalkan kepergiannya dan ia melanjutkan perjalanan seorang diri ke perbatasan Tibet. Otoritas setempat mencegah Conway yang akan melintasi pegunungan yang tidak bertuan itu, namun dia nekat melanjutkan perjalanannya. Sejak saat itu orang tidak tahu lagi ke mana Conway pergi. Konon kabarnya dia kembali ke Shangri-La guna menuntaskan takdirnya.

 

Mungkin Anda para pembaca mengira cerita di atas adalah sebuah kisah nyata. Fantastik memang, tetapi ini hanyalah kisah dalam sebuah novel laris yang dikarang oleh James Hilton pada tahun 1933. Judulnya: Lost Horizon, yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai "Surga yang Hilang." Dalam bahasa Tibet "Shangri-La" dinamakan pula "Shambala." Sebagai penutup, penulis mengajukan pertanyaan ini kepada pembaca sekalian, apakah Shangri-La tersembunyi ini sungguh-sungguh ada?

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/210714

 


Kamis, 01 Juli 2021

ANTARA “CEBONG” DAN “KAMPRET”



Sekarang kita berada di pertengahan tahun 2021. Mungkin belum hilang dari ingatan kita di Tanah Air peristiwa dua tahun yang lalu. Kala itu kejadian yang paling menonjol dan menarik perhatian masyarakat tidak lain diselenggarakannya pemilihan umum secara serentak. Hingar-bingar pemilihan anggota parlemen dan pemilihan presiden menyita waktu dan energi masyarakat, terutama untuk pemilihan kepala pemerintahan yang akan menentukan jalannya negeri ini hingga lima tahun ke depan.

 

Salah satu fenomena yang sangat familiar dan masih dikenang hingga hari ini tidak lain munculnya istilah "Cebong" dan "Kampret". Kedua istilah itu dimunculkan sebagai pesan komunikasi politik, dalam upaya memojokkan kelompok pihak lawan. Seperti yang kita sama-sama ketahui, "Cebong" ditujukan kepada pendukung militan Joko Widodo sebagai calon presiden nomor urut 01, sedangkan "Kampret" disematkan kepada pendukung militan Prabowo Subianto sebagai calon presiden dengan nomor urut 02. Sepintas orang beranggapan kedua julukan itu mewakili nama hewan dan digunakan untuk merendahkan pihak lawan.

 

Cebong atau kecebong adalah sebutan untuk anak katak atau anak kodok, yakni larva hewan amfibi atau disebut berudu (katak dan sejenisnya) yang hidup di air dan bernapas dengan insang, selalu berenang kian kemari dan memiliki ekor. Kata cebong konon berasal dari kisah pak Jokowi yang suka memelihara katak di kolam pekarangan Istana, sehingga oleh kubu oposisi para pendukung pak Jokowi dianggap sebagai anak katak dan dijuluki sebagai "cebong."

 

Lalu bagaimana dengan sebutan "kampret"? Kampret adalah sejenis kelelawar kecil pemakan serangga, sedangkan codot adalah kelelawar pemakan buah-buahan. Kampret juga sebutan untuk kelelawar dengan nada mengejek, setara dengan sebutan "monyet" jika dibandingkan dengan istilah "kera" yang lebih netral. Pihak oposisi diibaratkan sebagai kelelawar yang sewaktu tidur kepalanya menggantung ke bawah, merujuk pada otaknya yang terbalik, sebagai ungkapan kekesalan pendukung pak Jokowi. Itu karena mereka dianggap tidak mau menerima kebijakan Pemerintah, serta selalu melayangkan protes dan keberatan belaka.

 

Tidak jelas bagaimana mulainya, ketika salah satu pihak membagikan sebuah pernyataan yang mendukung pasangan yang diusungnya. Dukungan itu kemudian diunggah ke media sosial, seperti Twitter, dengan tidak lupa mengkritik pernyataan pihak lawan. Serangan itu memicu pihak lawan untuk membalas, mengolok-olok, dan mengejek. Belakangan sindir-menyindir, ejek-mengejek, hujat-menghujat, sudah menjadi hal yang biasa dan layak untuk dilontarkan. Kritik terhadap pandangannya di media sosial, tidak jarang dianggap sebagai kritik personal yang menyinggung perasaannya, yang kemudian menjadi bibit permusuhan. Persahabatan yang dibina dengan baik selama bertahun-tahun sekarang mendadak menjadi perseteruan. Sungguh sayang sebenarnya jika pertemanan menjadi rusak karena memaksakan kehendak dan menganggap orang yang tidak sependapat sebagai seteru. Media sosial yang memiliki jangkauan yang luas turut mempercepat proses dukung-mendukung ini secara masif, sehingga tercipta dua kubu besar yang mendukung pasangan calon presiden dan wakil-presiden masing-masing. Orang yang semula tidak peduli dengan urusan politik ikut terbawa-bawa dan terjebak dalam kegiatan dukung-mendukung ini. Polarisasi dalam masyarakat tak terhindarkan, dengan terbentuknya dua kubu, dan rakyat Indonesia pun terbelah.

 

Perseteruan diantara dua kelompok bukan saja terjadi di masa kini. Pertikaian sengit antara dua kubu terjadi sejak zaman dahulu kala. Ketika Buddha Gautama masih hidup pertikaian diantara para siswanya pun pernah terjadi. Seperti diceritakan dalam kitab Vinaya Pitaka, Sang Buddha menghabiskan masa musim hujan yang kesembilan di Kosambī. Kosambī adalah ibu negeri kerajaan kecil Vasa, yang daerah kekuasaannya terletak diantara Sungai Gangga dan Jumna. Rajanya, Udena, hampir tidak pernah disebut dalam Kanon Pali.

 

Peristiwa berikut ini terjadi di ibu negeri kerajaan Vasa. Agaknya ada dua bhikkhu dalam satu vihara, dengan salah satunya seorang yang ahli dalam Vinaya dan lainnya terampil dalam Sutta. Pada satu hari bhikkhu yang ahli dalam Sutta pergi ke jamban dan meninggalkan sisa air bekas-pakai dalam tempayan. Bhikkhu yang satu lagi masuk ke jamban itu dan mendapatkan ada air bekas-pakai dalam tempayan. Ia lantas bertanya kepada guru ahli-Sutta: "Apakah engkau meninggalkan air bekas-pakai dalam tempayan?" - "Ya." - "Apakah engkau tidak tahu, bahwasanya hal itu merupakan pelanggaran?" - "Tidak, aku tidak mengetahuinya." - "Hal itu merupakan satu pelanggaran, sahabat." - "Nanti aku akan menyelesaikannya." - "Namun jika engkau melakukannya tanpa-berkehendak dan di luar kelalaian, hal itu bukanlah pelanggaran." Sang guru ahli Sutta pergi keluar dengan perasaan bahwa ia tidak melakukan pelanggaran.

 

Seperti yang kita ketahui, dalam aturan monastik, pelanggaran atas apa yang telah digariskan tetap harus diselesaikan. Namun seperti yang dilontarkan oleh sang bhikkhu yang ahli dalam Vinaya jika dilakukan tanpa-kehendak itu bukanlah pelanggaran. Jadi ada ambiguitas dalam pernyataan ini; di satu sisi dia mengatakan ada pelanggaran, namun di sisi lain tidak ada karena tindakan itu tidak disengaja.

 

Bagaimana pun sang guru ahli Vinaya berkata kepada para siswanya : "Guru ahli Sutta tidak tahu bahwa ia melakukan satu pelanggaran." Mereka lalu bercerita kepada siswa-siswa lain guru: "Guru pembimbingmu telah melakukan satu pelanggaran, meskipun demikian ia berperasaan bahwa ia tidak melakukan pelanggaran." Ketika mereka menceritakan kabar ini kepada guru pembimbing mereka, sang guru ahli Sutta berkata: "Guru ahli Vinaya waktu itu berkata bahwa tidak ada pelanggaran, dan sekarang ia malahan berkata bahwa ada satu pelanggaran. Ia adalah seorang pembohong." Mereka lalu bercerita kepada siswa-siswa sang guru ahli Vinaya: "Guru pembimbing kalian adalah seorang pembohong." Jawaban ini memicu pertengkaran babak baru dan menangguhkan kasus sang guru ahli Sutta. Perselisihan sekarang melibatkan lebih banyak orang, karena kedua guru itu meminta dukungan para pengikutnya.

 

Sesungguhnya bhikkhu tersebut orang terpelajar. Ia mengetahui Kanon dan ahli dalam Dhamma, dan dalam Aturan, dan juga dalam Tata-tertib. Ia juga orang yang bijaksana, cerdas, pintar, rendah hati, dan bersemangat dalam pelatihan. Ia pergi ke bhikkhu-bhikkhu karib lainnya dan berkata: "Ini bukanlah pelanggaran, ini bukan satu pelanggaran, aku tidak pernah melanggar ... Aku sedang tidak ditangguhkan, aku telah ditangguhkan oleh satu tindakan yang keliru, yang tidak sah dan tidak berdasar. Hendaklah para yang mulia berdiri di satu pihak dalam Dhamma dan Vinaya." Ia menempatkan mereka dalam pihaknya, serta ia mengirimkan para kurir kepada sahabat-sahabatnya dan sejumlah perhimpunan di negeri itu. Sebaliknya para bhikkhu pengikut guru yang ahli dalam Vinaya pun melakukan upaya yang serupa. Sekarang perseturuan semakin membesar dan melibatkan sebagian besar komunitas bhikkhu di Kosambī dan di negeri Vasa

 

Kemudian salah seorang bhikkhu pergi menghadap Sang Buddha dan menceritakan kejadian ini. Sang Bhagavā lalu berkata: "Akan ada perpecahan dalam Sangha, akan ada perpecahan dalam Sangha." Ia bangkit dari duduknya dan pergi kepada para bhikkhu yang telah menangguhkan kasus ini. Ia duduk di tempat duduk yang telah disediakan serta berkata kepada mereka: "Wahai para bhikkhu, janganlah membayangkan bahwa seorang bhikkhu seperti ini dan seperti itu. ... 'Ia orang yang terpelajar dan bersemangat dalam pelatihan. Jika kita menangguhkannya tanpa melihat pelanggarannya, kita tidak akan bisa menjaga pelaksanaan hari suci Uposatha bersamanya, atau upacara Pavarana (Undangan untuk Mengkritisi) pada akhir musim hujan, atau menjalankan tindakan-tindakan Sangha, atau duduk berdampingan di kursi yang sama, atau sekedar berbagi bubur, atau kita berbagi ruang makan, atau tinggal di bawah atap yang sama, atau melakukan tindakan terpuji kepada para sesepuh, dengan bhikkhu tersebut. Begitulah jadinya kita akan melakukan semua kegiatan ini tanpa bhikkhu tersebut, karena munculnya pertengkaran, percekcokan, perselisihan, perdebatan dan akhirnya perpecahan, pemisahan, dan tindakan-tindakan ketidaksepakatan dalam Sangha.' "

 

Tetapi sekarang perselisihan, percekcokan, dan pertengkaran meletup tiba-tiba dalam lingkup Sangha itu sendiri, serta bhikkhu-bhikkhu saling melukai satu sama lain dengan melontarkan anak-panah kata-kata. Mereka tidak dapat lagi menempatkan diri secara adil dan tak berpihak. Seorang bhikkhu kemudian pergi menghadap Sang Bhagavā, dan setelah memberikan penghormatan kepadanya, ia berdiri di satu sisi. Ia mengulang kembali apa yang baru saja terjadi,dan ia menambahkan: "Yang Mulia, adalah baik jika Sang Bhagavā pergi menemui mereka demi welas-asih terhadap mereka semua." Sang Buddha menyetujuinya dengan berdiam diri. Kemudian ia pergi menemui para bhikkhu dan berkata kepada mereka: "Cukup, para bhikkhu. Jangan lagi ada pertengkaran, percekcokan, perselisihan, atau pun perdebatan." Ketika kata-kata ini dilontarkan, salah seorang bhikkhu berkata: "Yang Mulia, hendaklah Sang Bhagavā, Sang Guru Dhamma menunggu. Hendaklah Sang Bhagavā menghabiskan waktunya dengan bermukim di sini sekarang ini dengan penuh kenyamanan dan tidak perlu mempedulikan diri dengan urusan ini. Biarlah ini hanya kami yang mengurus pertengkaran, percekcokan, perselisihan, atau pun perdebatan ini." Lalu ia berpikir: "Orang-orang yang tersesat ini merasa diri mereka benar. Adalah mustahil membuat mereka semua sadar." Ia segera bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan tempat itu. Demikianlah Sang Bhagavā tidak berdaya, Sang Guru Dhamma pun bohuat:

 

Ketika banyak suara berteriak sekaligus,

Tidak ada satu pun yang berpikir dirinya adalah si dungu;

Sangha sedang terbelah, tak seorang pun yang berpikir:

Aku juga turut ambil bagian, aku membantunya seperti ini.'

Mereka melupakan kata-kata bijak, mereka bicara

Dengan pikiran yang dirasuki oleh kata-kata belaka;

Dengan mulut tak terkekang, mereka menjerit seenaknya,

Tak seorang pun tahu apa yang menuntunnya berbuat demikian.

(Vin. Mv. 10:3)

 

Anda para pembaca ingin mengetahui akhir kisah pertengkaran di Kosambī ini? Sementara para pengikut awam di Kosambī berpikir: "Yang mulia para bhikkhu Kosambī sangat merugikan kita. Mereka telah menyusahkan Sang Bhagavā sampai ia meninggalkan kita. Mari kita tidak lagi memberi penghormatan kepada mereka, atau sekedar bangkit berdiri untuk mereka, atau pun memberi mereka salam hormat, atau pun memperlakukan mereka dengan santun. Janganlah kita menghormati, menghargai, memuja, atau memuliakan mereka. Juga hendaklah kita tidak memberi mereka dana makanan lagi bahkan ketika mereka pantas untuk mendapatkannya. Jadi ketika mereka tidak lagi mendapat penghormatan, penghargaan, pemujaan, atau pemuliaan dari kami. Ketika mereka terus-menerus diabaikan, mereka akan pergi ke tempat lain atau meninggalkan Sangha, atau meminta pengampunan kepada Sang Bhagavā." Baru setelah mereka yang bertikai diboikot seperti itu, mereka sadar, lalu meminta pengampunan kepada Sang Guru Dhamma.

 

Kita kembali lagi pada pertikaian antara Cebong dan Kampret yang terjadi menjelang dan setelah pemilihan presiden. Waktu pun terus berjalan dan kita semua tahu pak Jokowi memenangkan pemilihan presiden. Setelah pemerintahan hasil pemilu dibentuk, Kabinet Indonesia Maju pun dibentuk, dan pak Prabowo diangkat menjadi salah satu menteri. Belakangan calon wakil presiden No. Urut 02 pun juga ikut bergabung dalam kabinet. Sekarang pimpinan dua kubu yang berseteru dalam pemilu yang lalu telah bersatu. Kini yang tersisa adalah kenangan pahit ketika Cebong dan Kampret saling berselisih satu sama lain. Kita kembali diingatkan pada kata bertuah khas Buddhis, “Ini pun akan berlalu”. Semoga kita sekalian hari ini bertambah bijak!  Sādhu.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/210630