Alkisah di zaman dahulu kala di sebuah pulau
yang bernama Aolai di lepas pesisir Benua Timur, seekor kera batu dilahirkan
atas Kuasa Surga dan Bumi. Di pulau gunung yang ditempatinya si
kera segera mampu berlari dan melompat, makan dari tetumbuhan dan pepohonan,
minum dari anak sungai dan mata air, memetik bunga gunung dan mencari
buah-buahan. Dia berkawan dengan serigala, bepergian dengan harimau dan macan
tutul, bersahabat dengan rusa, dan berteman dengan sesama bangsa kera.
Pada satu hari si kera batu
mendapatkan tantangan dari kawan-kawannya, yakni menemukan asal-muasal aliran
air hingga bisa mencapai sungai tempat mereka mandi. Barang siapa yang bisa
menemukan jawabannya, dia akan diangkat sebagai raja. Memang sudah jadi takdir
si kera batu, yang dengan modal keberanian dan kecerdikannya, dia melompat dan
berhasil menerobos guyuran-deras air terjun hingga ia mencapai sebuah goa
misterius di dalamnya. Bukan saja goa tersembunyi yang ditemukannya, melainkan
sebuah istana batu yang megah, lengkap dengan perabotannya. Tempat itu
dinamakan "Goa Tirai Air di Gunung Bunga dan Buah."
Singkat cerita semua bangsa kera di
pulau itu diajaknya menempati goa beserta istana batu yang baru ditemukannya.
Di saat mereka masih dihinggapi eforia kegembiraan, si kera batu berseru, "mengapa
kalian belum menjadikan aku raja?" Mendengar ucapan ini semua kera
membungkuk dan bersujud, tak berani mereka melawan titahnya. Selanjutnya mereka
berbaris rapi dalam kelompok juga dalam urutan umur, seperti layaknya dalam
sebuah sidang resmi. Dengan rasa hormat mereka semua menobatkan si kera batu
sebagai "Raja Agung Seribu Tahun". Dia kemudian mengambil mahkota,
menetapkan kata "batu" sebagai tabu, dan menyebut dirinya sendiri
"Raja Kera Tampan."
Mengendalikan seluruh kerajaan kera,
monyet, gorila, siamang, beruk, lutung, makaka, dan lainnya. Si Raja Kera
Tampan membagi mereka menjadi penguasa dan bawahan, pembantu dan pelaksana. Di
pagi hari mereka berkelana di Gunung Bunga dan Buah, di sore hari mereka pulang
dan melewatkan malamnya di Goa Tirai Air.
Mereka semua sepakat tidak bergabung lagi dengan kawanan burung atau
bepergian dengan hewan buas. Mereka memiliki raja mereka sendiri, serta mereka
menikmati dunianya sendiri.
Semangat si Raja Kera Tampan yang
menggebu-gebu dengan polosnya ternyata tidak berlangsung lama. Pada suatu hari
ia seketika merasa tertekan sewaktu melakukan perjamuan dengan segenap
rakyatnya, dan ia mulai menangis tersedu-sedu. Para kera yang terkejut
mengelilingi sang raja serta bertanya, "Ada apa Paduka?" "Walaupun
aku sekarang ini bahagia," tukas Raja Kera, "Aku khawatir akan masa
depan. Ini yang membuatku tertekan." Kera-kera yang lain tertawa dan berkata,
"Paduka ini tamak. Kita semua berpesta-pora setiap hari; kita hidup dalam
sebuah gunung-firdaus, dalam sebuah goa kuno di benua yang hebat. Kita
dijauhkan dari penguasaan kaum kuda bertanduk satu, diluar dominasi para
burung-api, dan tak terjangkau oleh pengekangan raja manusia. Kita bebas
melakukan apa yang kita mau. Kita ini sungguh-sungguh beruntung. Mengapa
membuat diri Paduka sendiri mengkhawatirkan masa depan?"
Menanggapi ini si Raja Kera
mengutarakan, "Ya, semua yang
kalian katakan itu benar. Tetapi akan tiba waktunya ketika kita menjadi tua dan
lemah, serta dunia-bawah dikuasai oleh si Raja Neraka. Pada saat waktunya kita
mati, kita tidak hidup lagi diantara Yang Terberkahi, dan hidup kita semua akan
sia-sia belaka." Semua kera menutup wajah mereka dan setiap kera menangis
ketika memikirkan tentang kematian. Tiba-tiba seekor siamang menyeruak dari
tempat duduknya dan berkata dengan lantang, "Jika Yang Mulia berpikir
sedemikian jauh, inilah saatnya permulaan pencerahan. Sekarang dari Lima
Makhluk Hidup, hanya ada tiga yang tidak berada dibawah penguasaan si Raja
Neraka."
"Apakah engkau tahu siapa yang
tiga itu?" tanya si Raja Kera. "Ya," jawab si siamang.
"Yang tiga itu adalah para Buddha, kelompok Yang Kekal, dan para Suciwan
(Yang Kekal atau 仙 xiān adalah orang
yang telah mencapai "keabadian" menurut ajaran Tao). Mereka semua bebas dari Roda Reinkarnasi.
Mereka tidak dilahirkan dan mereka tidak akan mati. Mereka abadi seperti Surga
dan Bumi, juga seperti gunung dan sungai." "Dimana mereka tinggal?"
si Raja Kera bertanya. "Hanya di dunia manusia," si beruk menyahut,
"di goa-goa kuno pada gunung-gunung ajaib." Si Raja Kera sangat
senang mendengar kabar ini.
"Aku akan meninggalkan kalian
besok," ia berkata "Jika demikian jalannya, aku akan berkelana hingga
ke ujung lautan dan pergi ke tepi langit guna menemukan tiga jenis makhluk itu.
Setelah itu akan kita dapatkan kemudaan abadi sekaligus mampu membebaskan kita
dari ancaman sang Raja Neraka untuk selamanya." Inilah letak kebaikannya!
Cukup dengan kata-kata ini, ia belajar bagaimana ia bisa bebas dari Roda
Reinkarnasi dan menjadi Suciwan Agung Menyamai Surga.
Selanjutnya si Raja Kera selama
bertahun-tahun setelah meninggalkan pulau kediamannya, mengembara di Benua
Timur yang maha-luas itu. Tak peduli ia sedang sarapan pagi atau saat pergi
tidur di malam hari ia selalu bertanya tentang Buddha, Yang Kekal, dan Suciwan,
serta mencari rahasia kemudaan abadi. Ia mengamati bahwasanya orang-orang di
dunia terlalu peduli dan sibuk pada kekayaan dan kemasyhuran, yang selalu
mereka kejar.
Jadi kapan waktunya perjuangan bagi
keberuntungan dan ketenaran akan berakhir?
Membanting tulang dari subuh hingga
malam, tak akan menyenangkan hatimu.
Mereka yang menunggang keledai
memimpikan mengendarai kuda jantan,
Sang perdana menteri selalu ingin
menjadi pangeran.
Kegelisahan mereka untuk
menghentikan pekerjaan hanya ketika mereka harus makan atau berpakaian;
Mereka tidak pernah takut bahwa si
Raja Neraka akan menjemput mereka.
Ketika mereka berusaha memastikan
anak atau cucu mereka mewarisi kekayaan dan kekuasaan mereka,
Mereka tidak punya waktu sedikit pun
untuk berhenti dan berpikir.
Kita tinggalkan dulu si Raja Kera
yang sedang mencari Tiga Makhluk Agung itu. Sekarang kita beralih pada dunia
yang diperuntukkan bagi mereka yang sibuk mencari kekayaan dan kemasyhuran.
Kita akan menuju Metropolis Tokyo, ibukota paling besar sedunia, rumah bagi
tiga-puluh-dua juta orang. Di satu sudut Tokyo yang paling gemerlap, Ginza,
kawasan perbelanjaan yang paling top, berjejer butik kelas atas, gerai
perhiasan mewah, bar koktail dan kedai sushi yang menyediakan kudapan yang
lezat. Pada akhir pekan, jalan utama Chuo Dori merupakan jalur pedestrian
paling trendi, yang dipenuhi oleh pencari kesenangan dan turis mancanegara. Bukan
saja di akhir pekan, ketika waktu sudah larut malam pun Ginza masih dipadati
pekerja Jepang yang baru pulang dari kantor mereka, dan banyak diantara mereka
enggan untuk pulang ke rumahnya.
Jika kita meninggalkan Tokyo
menyeberangi samudera terluas di dunia sejauh hampir sebelas ribu kilometer ke
timur, kita akan mencapai New York, metropolis terkemuka di dunia selain Tokyo.
Di kota-mega yang tidak pernah tidur ini, ada lagi satu lokasi yang dapat
dipertimbangkan untuk dikunjungi. Satu persimpangan komersial utama, tujuan
favorit turis, yang merupakan perpotongan diantara Broadway dan Seventh Avenue,
yang dikenal sebagai Times Square. Pada gedung-gedung yang tinggi menjulang,
dindingnya dipenuhi papan billboard
dan reklame raksasa. Saking terkenalnya, lokasi ini dinamakan pula
"Crossroads of the World". Times Square tidak pernah sepi. Di hari
biasa tiga-ratus hingga empat-ratus ribu orang singgah di sini. Di malam Tahun
Baru lebih dari setengah juta orang berkumpul untuk merayakan malam pergantian
tahun.
Ginza dan Times Square adalah ikon
peradaban modern yang gemerlap, yang tidak akan dilupakan oleh para pelancong
dan penikmat kesenangan. Perjalanan berikutnya, penulis akan mengajak para
pembaca ke lokasi yang sangat berbeda. Jika kita sekarang meninggalkan New York
ke arah timur hingga mencapai kira-kira dua-belas ribu kilometer, kita akan
mencapai Varanasi di India. Ini adalah sebuah kota berukuran kecil yang luasnya
hanya seperempat DKI Jakarta, serta tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan
dua metropolis yang disebutkan di atas. Juga kalah jauh dibandingkan dengan
Delhi, Mumbai, Bangalore, Chennai, Hyderabad, atau Kolkata. Varanasi bukanlah
lokasi yang menyenangkan bagi turis mancanegara untuk berpesiar. Seperti yang
terjadi di banyak kota di India, kesan semrawut dan kumuh tampak di sebagian
area kotanya. Keadaannya bahkan lebih kotor daripada daerah slum di ibukota Indonesia. Sapi, hewan
yang dianggap suci di India, bebas berkeliaran di jalan dan membuang hajat dimana saja. Di bulan April hingga Juni yang merupakan musim panas di India,
suhu di siang hari bisa mencapai 45 derajat Celcius. Kita yang tinggal di
Jakarta saja sudah amat gerah pada temperatur 30 derajat lebih di siang hari.
Jadi apa yang hendak ditonjolkan di
sini? Ini bukanlah sembarang lokasi di muka bumi ini. Varanasi adalah kota suci
bagi umat Hindu dan penganut Jainisme, yang setara dengan Mekkah bagi umat
Islam. Sebagian kota ini terletak di bantaran utara Sungai Gangga. Varanasi
adalah kota tua yang paling tidak telah berusia tiga ribu tahun dan merupakan
kota budaya di India. Bukan itu saja, kurang lebih sepuluh kilometer di sebelah
timur-laut pusat kota Varanasi terletak Sarnath, tempat Buddha Gautama memutar
roda-dharma 2600 tahun yang lalu. Terlepas dari semua kelebihannya, yang paling
istimewa adalah Varanasi menjadi tempat tujuan kematian, atau dengan kata lain
menjadi tempat kematian idaman.
Tentu Anda bertanya, mengapa kota
itu menjadi tempat kematian idaman? Bagi mereka yang percaya, mati di
sini dan sesaat kemudian jasad mereka akan dibawa dan disemayamkan di
Manikarnika Ghat atau Harishchandra Ghat. Kedua Ghat tersebut adalah undakan
batu berbentuk anak-tangga yang berada persis di bantaran Sungai Gangga. Di
sinilah jenazah mereka diberi tumpukan kayu bakar dan langsung dikremasikan.
Seiring dengan melelehnya daging-manusia yang dimakan api, dengan diiringi doa
dan pembacaan mantram suci oleh rohaniwan dan keluarganya, abu jenazahnya akan
tertiup angin dan dibawa oleh arus Sungai Gangga. Tirta-suci akan
membasuh sisa jasmani orang mati itu dan membebaskannya dari Roda Reinkarnasi,
bahkan bagi orang yang jahat sekali pun. Agar bisa mati di Varanasi mereka
harus menunggu kematian di rumah singgah, yang dinamakan bhawan. Ada beberapa bhawan
yang disediakan dan bisa ditempati oleh mereka yang berniat menunggu
kematiannya.
Demikianlah sedikit kisah tentang
Varanasi sebagai tempat yang dipilih oleh mereka yang ingin bebas dari
kelahiran-kembali dan moksa pun
dicapai pada akhirnya. Bagi mereka yang masih tinggal di bhawan sambil menantikan momen penting itu, kematian bukanlah hal yang menakutkan. Mereka tidak
lagi gentar pada Sang Raja Neraka yang akan menjemput mereka.
Demikianlah
ketika segelintir orang bersiap-siap menanti ajal yang akan menjemput mereka,
mayoritas manusia acuh tak acuh dan menganggap tabu membicarakan perihal
kematian, yang tanpa ampun akan merenggut nyawa mereka. Berkaca dari pengalaman
Si Raja Kera, yang melihat bahwasanya orang-orang di dunia
ini terlalu peduli dan sibuk pada kekayaan dan kemasyhuran ...
sdjn/dharmaprimapustaka/210728