Rabu, 21 April 2021

JADI BHIKKHU




Waktu itu hari Minggu sekitar pukul sebelas siang bertempat di sebuah vihara di Bogor, dan pujabakti untuk umum baru saja usai. Penulis dan beberapa sahabat lama berbincang-bincang melepas rasa kangen setelah bertahun-tahun kami tidak saling berjumpa. Pembicaraan akhirnya menjurus pada apa yang mesti kami kerjakan di sisa usia ini. Maklumlah kami sudah tidak muda lagi, dan rata-rata telah berusia di atas kepala lima atau enam.

 

Salah satu sahabat perumah tangga yang berusia lebih dari enam puluh tahun, yang isterinya telah meninggal dunia, mengemukakan aspirasinya untuk memasuki hidup kebhikkhuan. Ada sahabat lainnya yang juga berminat mengikuti jejak kawannya, tetapi ia khawatir tidak diizinkan oleh keluarganya. Penulis lalu teringat, pernah membaca di sebuah majalah-dinding yang terdapat di sebuah vihara, bahwa untuk mengikuti penahbisan samanera – yakni calon bhikkhu (bukan bhikkhu) – peserta harus memenuhi beberapa persyaratan. Salah satu persyaratan antara lain umur calon samanera paling tua adalah lima puluh tahun. Setelah penulis kemukakan, bahwa di Sangha anu berlaku persyaratan tersebut, sahabat yang pertama tadi langsung mengungkapkan kekecewaannya. "Mengapa ada persyaratan seperti itu?" tanyanya agak sewot. "Bukankah di zaman Sang Buddha, umur berapa pun orang itu, jika ia bertekad dengan tulus, selalu diterima oleh Beliau untuk ditahbiskan menjadi seorang bhikkhu?" Penulis lalu menenangkan sang sahabat itu, namun merasa tidak berwenang untuk menjelaskan perihal batasan umur tersebut. "Jika you ingin tahu mengapa ada persyaratan batas usia, sebaiknya ditanyakan langsung saja kepada Sangha yang bersangkutan.

 

Memasuki hidup-kebhikhuan atau menjadi biarawan bagi seorang laki-laki, dilihat dari pandangan agama Buddha, adalah satu pilihan hidup yang mulia. Dalam tradisi Thailand, seorang pria Buddhis terbiasa menjalani kehidupan kebhikhuan ketika usianya mencapai dua puluh tahun, guna membalas jasa terhadap kebajikan orang tua mereka. Hidup-membiara ini dijalankan oleh para pria muda tersebut untuk beberapa hari, dua minggu, sebulan, tiga bulan, bahkan sebagian dari mereka menjalaninya untuk kurun waktu yang lebih lama.

 

Seperti yang kita ketahui masyarakat Buddhis dapat dibagi menjadi dua golongan, yakni golongan biarawan dan umat awam (disebut juga perumah tangga). Golongan biarawan terdiri dari bhikkhu, bhikkhuni, samanera, dan samaneri. Perumah tangga bisa memasuki kehidupan kebhikkhuan, jika ia memenuhi persyaratan dan menjalani upacara penahbisan; sebaliknya biarawan atau biarawati dapat menjadi umat awam dengan melepaskan jubahnya. Setelah kita menyimak kasus teman penulis di atas sekarang muncul pertanyaan, kapan idealnya seseorang memasuki kehidupan-membiara. Apakah sebaiknya dilakukan menjelang masa kedewasaan yakni sekitar usia dua-puluh tahunan, atau ketika seseorang itu sudah matang dalam menjalani kehidupan, atau setelah ia berusia lanjut?

 

Sekarang coba kita simak dulu petikan yang kami ambil dari kitab Vinaya Pitaka, yang bercerita tentang delapan permohonan Visākhā kepada Sang Buddha. Visākhā adalah seorang hartawan ternama di negeri Kosala, yang menjadi penyokong utama pada saat Sang Buddha mencapai usia paruh baya. Sekali waktu Visākhā memohon agar diberikan kesempatan berdana kepada komunitas bhikkhu dan bhikkhuni di Sāvatthī. Pemberian yang akan diberikan berupa (1) jas hujan untuk para bhikkhu, (2) makanan untuk bhikkhu tamu, (3) makanan untuk bhikkhu yang akan pergi mengembara, (4) makanan untuk bhikkhu yang sedang sakit, (5) makanan untuk bhikkhu yang merawat rekannya yang sedang sakit, (6) obat-obatan, (7) bubur nasi untuk sarapan pagi, dan (8) jubah-mandi untuk Sangha Bhikkhuni. Delapan permintaan itu kemudian disetujui oleh Sang Buddha dan sejak itu para penyokong yang lain pun berlomba-lomba untuk berdana delapan macam pemberian tersebut, yang pada akhirnya memberikan kesejahteraan yang lebih baik untuk Sangha Bhikkhu maupun Sangha Bhikkhuni.

 

Berikut ini diberikan dialog antara Visākhā dengan Sang Buddha khusus untuk permohonan yang kedelapan:  "Sekarang, Yang Mulia, para bhikkhuni mandi telanjang pada tempat mandi yang sama di Sungai AciravatI, sebagaimana yang sering digunakan oleh para pelacur. Mereka acapkali mencandai para bhikkhuni, dengan berkata: 'Mengapa kalian mempraktikkan kehidupan suci ketika kalian masih muda, wahai para rahib? Bukankah kesenangan-inderawi seharusnya dinikmati? Kalian dapat menjalani kehidupan suci ketika kalian sudah tua. Dengan demikian kalian akan mendapat manfaat dari keduanya.' Ketika para pelacur mencandai mereka seperti itu, para bhikkhuni menjadi mati kutu. Ketelanjangan bagi wanita itu tidak sepatutnya, Yang Mulia, itu menjijikkan dan memalukan. Inilah manfaat yang aku lihat-kedepan dalam keinginanku, untuk menyediakan jubah-mandi bagi para bhikkhuni, selama aku masih hidup." (Vin. Mv. 8:15)

 

Dari petikan di atas kita dapat melihat bahwa pada zaman itu sudah ada pendapat, bahwa orang sebaiknya menjalani kehidupan-membiara setelah ia lanjut usia, dengan pertimbangan masa mudanya bisa dilewati dengan bersenang-senang. Kita akan mencoba melihat pandangan hidup orang India mengenai empat tingkatan kehidupan manusia. Angka empat bagi orang India merupakan angka bagus, seperti ada Empat Veda yang berarti terdapat empat kitab suci, ada Empat Varna yang bermakna manusia bisa digolongkan menjadi empat varna atau empat kasta. Empat tingkatan hidup atau empat siklus kehidupan manusia dinamakan Catur Asrama (Dewanagari: चतुराश्रम;  caturāśrama); yang mana catur itu artinya empat dan asrama berarti tingkatan atau jenjang kehidupan.

 

Sistem Empat Asrama merupakan satu konsep dharma dalam ajaran Hindu. Sistem ini juga berfungsi membentuk teori moralitas dalam filsafat India. Empat asrama ini berhubungan pula dengan Puruṣārtha (Sanskerta: पुरुषार्थ) yang secara harfiah berarti "obyek pengejaran manusia". Puruṣārtha juga merupakan konsep kunci dalam ajaran Hinduisme, serta mengacu pada sasaran yang lazim dituju oleh umat manusia. Ada empat puruṣārtha, yakni dharma (kebenaran, nilai-nilai moral), artha (kesejahteraan, nilai-nilai ekonomis), kama (kesenangan, cinta, nilai-nilai psikologis), dan moksha (kebebasan, nilai-nilai spiritual). Dengan demikian sasaran dari masing-masing periode kehidupan tidak lain pengembangan dan pencapaian individual. Ajaran Empat Asrama ini tertera pada Ashrama Upanishad dan Vaikhanasa Dharmasutra dalam naskah klasik, serta tercantum pula dalam Dharmashastra yang ditulis belakangan.

 

Asrama pertama dalam sistem empat asrama itu adalah Brahmacari, yakni masa hidup awal yang ditujukan untuk mencari ilmu pengetahuan. Masa Brahmacari mirip dengan apa yang kita alami saat kita menginjakkan kaki di bangku sekolah, mulai dari tingkat PAUD, sekolah dasar, sekolah menengah, dan perguruan tinggi. Dalam masa menuntut ilmu ini para peserta wajib menguasai keterampilan dasar seperti membaca, menulis, berhitung, serta mempelajari naskah-naskah agama. Selain itu juga diberikan pendidikan kejuruan yang berguna bagi mereka di masa depan. Dulu peserta Brahmacari wajib melakukan upacara Upanayana pada permulaan masa studi serta diakhiri dengan pengakuan dan pemberian Samawartana  atau pemberian ijazah. Brahmacari ini berlangsung hingga seseorang berusia 25 tahun.

 

Selama mereka menuntut ilmu para siswa harus taat terhadap segala peraturan yang diberlakukan, bahkan pada zaman kuno mereka harus tinggal di pedepokan milik sang guru. Pada masa itu tradisi ini dinamakan gurukula-shishya, dengan kula artinya rumah dan shishya maknanya murid, jadi gurukula-shishya memiliki pengertian bahwa murid tinggal serumah dengan gurunya. Di samping menuntut ilmu, para murid juga melakukan tugas-tugas rumah tangga, sehingga kegiatan belajar-mengajar dapat berjalan dengan lancar. Pada zaman modern para Brahmacari harus menetap di asrama untuk memudahkan pengawasan, pula dimaksudkan agar mereka lebih berkonsentrasi dalam menerima pelajaran. Selama menjadi Brahmacari mereka wajib mengendalikan nafsu keduniawian, terutama nafsu seksual. Segala daya upaya dan pikirannya benar- benar ditujukan untuk mempelajari ilmu pengetahuan serta keterampilan yang dibutuhkan pada tahap kehidupan selanjutnya.

 

Tahap kehidupan selanjutnya adalah Grihasta, yang secara harfiah berarti "berada atau dilingkupi oleh rumah atau keluarga". Pada tahap ini seseorang memasuki kehidupan perkawinan, dengan tugas merawat rumah tangga, membesarkan keluarga, mendidik anak-anaknya, serta memimpin satu keluarga dan menjalani kehidupan sosial secara dharma.

 

Menurut naskah-naskah kuno dari abad pertengahan, tahap Grihasta adalah yang paling penting dari empat tahap kehidupan yang ada, karena sebagai manusia ia tidak melulu mengejar kehidupan yang bajik tetapi juga memproduksi makanan dan kekayaan. Dengan adanya makanan dan kekayaan yang berlimpah ia bisa menyokong tiga tahap kehidupan lainnya, serta mempunyai keturunan yang akan menjamin keberlangsungan umat manusia. Menurut filsafat India, tahap perumah tangga ditandai pula dengan keterikatan fisik, seksual, emosional, dan sosial yang paling tinggi; juga saat berlangsungnya pengerahan tenaga yang intens terhadap pekerjaan dan pengumpulan kekayaan. Tahap Grihasta ini berlangsung dari umur 25 hingga 48 tahun.

 

Selain mengejar pengumpulan kekayaan dan materi, seorang lelaki dan seorang perempuan yang memasuki tahap Grihasta setelah melangsungkan upacara perkawinan secara Hindu, mereka akan membangun rumah tangga, berkeluarga, mencari kekayaan, membesarkan anak, dan menikmati kehidupan duniawi; mereka juga mengembangkan kehidupan spiritual. Kehidupan spiritual tidak lain memberikan donasi kepada orang-orang yang membutuhkan, serta menyelenggarakan lima kurban besar (panch yajna). Yajna itu meliputi : (1) Brahma yajna, yaitu studi Veda, meditasi, dan doa; (2) Deva yajna, yakni persembahan ghee atau mentega murni dalam api; (3) Pitri yajna, yaitu perawatan orang tua dan kaum lansia; (4) Bhuta yajna, yakni pelayanan terhadap orang miskin, penyandang disabilitas, dan hewan; dan (5) Atithi yajna, yaitu penghormatan terhadap tamu dan orang bijak atau orang suci.

 

Tahapan hidup berikutnya adalah Vanaprastha, yang secara harfiah bermakna "pensiun ke hutan" atau dapat diartikan "orang yang telah meninggalkan hidup keduniawian". Vanaprastha sebetulnya tidak lain masa peralihan dari tahap perumah tangga yang masih intens mengejar artha dan kama menuju tahap kehidupan yang menyasar pada moksha. Vanaprastha berlangsung antara usia 48 sampai 72 tahun.

 

Memasuki tahap transisi Vanaprastha umumnya orang telah memiliki cucu. Dan sebagai pencari nafkah, sang perumah tangga sudah mulai mengalihkan tanggung jawab usahanya ke generasi yang lebih muda. Mereka juga mulai memfokuskan diri pada aktivitas sosial dan pencarian spiritual. Dari pandangan sebagian orang, Vanaprastha dalam praktiknya bukan bermakna si perumah tangga benar-benar meninggalkan segalanya dan langsung pergi mengembara ke hutan, tetapi lebih merupakan satu pedoman atau metafora. Ia masih tinggal dalam komunitas keluarga besarnya, namun lebih banyak bertindak sebagai penasihat. Dengan begitu ia menjadi tokoh panutan yang disegani oleh kelompoknya.

 

Tahap keempat atau tahap terakhir dalam sistem empat asrama adalah Sannyasa, yang secara literal berarti "penyucian dari segala hal". Sannyasa bisa ditemukan pengertiannya pada kitab Samhita, Aranyaka, dan Brahmana. Sannyasa sebetulnya adalah kehidupan membiara, kehidupan pelepasan, atau kehidupan petapaan. Mereka yang telah memasuki tahap terakhir ini tidak lagi memiliki ketertarikan terhadap kehidupan duniawi, namun lebih memilih untuk mengejar kehidupan yang damai, penuh cinta kasih kepada semua makhluk, dan menyukai kesederhanaan. Ia hanya berfokus pada pencapaian moksha atau pembebasan. Tahap ini bisa dimulai secara teoritis pada umur 72+ atau kurang dari itu.

 

Seseorang yang memasuki kehidupan ini dikenal sebagai "Sannyasi" untuk laki-laki dan "Sannyasini" untuk perempuan. Dalam tradisi Monastisisme mereka dinamakan pula "Sadhu" dan "Sadhvi", sedangkan dalam tradisi Buddhisme disebut sebagai bhikkhu dan bhikkhuni.

 

Dalam memahami empat asrama itu, Anda jangan sampai terjebak dalam pemahaman bahwa setiap orang akan memulai kehidupannya dari tahap pertama, lalu melangkah ke tahap kedua, kemudian ke tahap ketiga, dan terakhir menuju tahap keempat. Seseorang yang mulai dari Brahmacari selanjutnya boleh mengabaikan tahap Grihasta, dan langsung menuju tahap Vanaprastha dan tidak lama berselang memasuki tahap Sannyasa.

 

Jika Anda bukan penganut agama Hindu, tidak ada salahnya kita mengambil pelajaran tentang empat asrama ini. Banyak nilai-nilai mulia yang bisa diterapkan dalam kehidupan kita. Dari tahap Brahmacari orang dituntut untuk sepenuhnya fokus dalam menuntut ilmu dan tidak tergoda untuk menikah di usia muda. Sewaktu berkiprah dalam masa Grihasta, walaupun ia sibuk bekerja dan berkarier, tetapi kewajiban untuk memberikan donasi sesuai dengan tuntutan agama jangan sampai dilupakan. Sewaktu menginjak tahap Sannyasa, orang dididik untuk mempersiapkan masa tua dengan sebaik-baiknya, yakni dengan mendelegasikan usaha mencari nafkah kepada kerabat sendiri sebagai penerusnya. Dan saat menghadapi masa tua, inilah saatnya kita melepas apa pun yang kita miliki, dengan menjalani hidup secara ugahari dan hanya memfokuskan diri pada urusan-urusan spiritual.

 

Kita kembali kepada teman penulis yang beraspirasi menjalani kehidupan kebhikkhuan. Menjadi bhikkhu atau biarawan di usia lanjut ternyata sesuai dengan model yang diajarkan oleh sistem empat asrama itu. Begitu memasuki usia pensiun, teman tadi menganggap inilah kesempatan emas guna mengembangkan diri sepenuhnya. Jika diri ini sudah benar-benar siap, menjadi biarawan adalah pilihan yang paling ideal. Jika tidak bisa dihabiskan sebagai bhikkhu, karena ada syarat administratif – yakni batasan usia – dengan masih menyandang jabatan perumah tangga ia bisa menghabiskan waktunya dengan lebih banyak tinggal di lingkungan rumah ibadah. Dengan lebih banyak waktu dihabiskan di rumah ibadah, ada peluang untuk terlibat dalam kegiatan sosial; seperti membantu kegiatan bakti-sosial, mempersiapkan penyelenggaraan upacara keagamaan, membacakan paritta atau keng untuk orang sakit dan orang yang telah meninggal, dan lain sebagainya. Berlatih meditasi secara intensif dalam program retret untuk kurun waktu yang cukup panjang dengan bimbingan ahli meditasi yang piawai, adalah aktivitas yang bisa ia lakukan untuk menyalurkan aspirasinya.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/210421

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar