Anda yang
pernah berkunjung ke kelenteng untuk bersembahyang atau sekedar melihat-lihat
keadaan di sana, mungkin pernah mendengar sosok dewa yang paling banyak dipuja
oleh masyarakat. Sosok dewa ini tidak lain dewa bumi. Sesungguhnya ada dua
sosok dewa yang berbeda, dengan yang pertama dinamakan Fu De Zheng
Shen atau Hok Tek Ceng Sin, dan yang kedua adalah Tu Di Gong atau Tho Ti
Kong. Yang membedakan keduanya, Hok Tek Ceng Sin merupakan satu tokoh dewa yang
arcanya diletakkan pada altar yang sama tingginya dengan dewa-dewa lain,
sedangkan Tho Ti Kong merujuk pada dewa lokal atau dewa setempat dan altarnya
diposisikan dekat dengan tanah. Dengan demikian ada banyak Tho Ti Kong, yang
masing-masing berkuasa di wilayah kekuasaannya; seperti ada Tho Ti Kong Bogor,
Tho Ti Kong Sukabumi, Tho Ti Kong Tangerang, dan lain sebagainya.
Hok Tek Ceng
Sin yang banyak dipuja di banyak kelenteng, sebetulnya siapa dia gerangan?
Cerita asal-usulnya cukup banyak dan beragam, namun versi yang lebih banyak
dipercaya orang berasal dari sebuah kisah di zaman Dinasti Zhou. Alkisah pada
tahun 1134 seb.M. pada pemerintahan Kaisar Zhou Wu Wang, tepatnya pada tanggal
2 bulan kedua menurut penanggalan Tionghoa lahir seorang anak laki-laki yang
bernama Zhang Fu De atau Ceng Hok Tek. Sejak masih kanak-kanak telah bisa
dilihat bahwa Hok Tek adalah seorang anak yang pintar dan berwatak mulia, dan
sejak usia dini ia telah mempelajari sastra Tionghoa kuno dan menerima
pendidikan formal yang baik. Menginjak usia 36 tahun, Hok Tek dipercaya
memangku jabatan menteri urusan perpajakan. Ia terkenal sebagai seorang pejabat
negara yang bijaksana juga memiliki kualitas kebajikan tertentu. Bagi rakyat
yang kekurangan ia tidak menarik pajak yang berlebihan, sehingga rakyat tidak
terbebani. Bahkan ia sering memberikan bagian hartanya untuk menolong rakyat
miskin. Ia sangat dicintai rakyatnya dan setelah mengabdi cukup lama kepada
negerinya, ia wafat pada usia 102 tahun.
Setelah
wafatnya Ceng Hok Tek, Kaisar yang berkuasa menunjuk seorang penerusnya yang
bernama Wei Chao. Bertentangan seratus delapan puluh derajat dengan
pendahulunya, Wei Chao adalah seorang yang serakah, kejam, serta berwatak buruk,
Dalam menarik pajak, ia tidak pandang bulu dan tidak mengenal belas kasihan.
Demi menuruti ambisi yang akan membuat atasannya memberikan pangkat dan imbal
jasa yang besar, Wei Chao bertindak sewenang-wenang. Semua orang dikenai pajak
yang tinggi dan memberatkan, dan jika mereka tidak mampu membayar akan
dikenakan hukuman berat, sehingga masyarakat sangat menderita. Akhirnya karena
penderitaan hidup yang tak tertahankan, banyak penduduk yang pergi meninggalkan
kampung halaman mereka, dan membuat sawah-ladang di tempat asal mereka menjadi
terbengkalai. Dalam kesengsaraan dan ketertindasan mereka, rakyat mengingat
tokoh bijaksana seperti Ceng Hok Tek yang telah meninggal dunia.
Ada sebuah
keluarga yang hidupnya sehari-hari sudah kekurangan, kini semakin terpuruk
setelah menteri yang baru ini berkuasa. Keluarga ini mengenang kebaikan Ceng
Hok Tek dan mereka memimpikan ia kembali untuk memimpin negeri mereka. Keluarga
tersebut mengambil empat buah batu bata guna membentuk sebuah kuil
mini untuk menghormatinya; dengan tiga bata untuk dinding dan yang satu lagi
untuk atap, lalu menuliskan aksara "Ceng Hok Tek" di dalamnya.
Mereka juga meletakkan sebuah tempayan mungil yang telah pecah untuk tempat
membakar dupa. Setiap hari mereka bersembahyang di depan tempat pemujaan itu,
dan dalam doanya mereka mengharapkan pertolongan Ceng Hok Tek. Wei Chao yang
belakangan mengetahui ulah keluarga petani miskin itu, tertawa terbahak-bahak
dan mengejek mereka. Mungkin penguasa langit menjadi murka melihat kelakuan Wei
Chao yang sudah keterlaluan dan menjadi iba hati kepada keluarga miskin tadi,
yang membuat sang penguasa bertindak. Selang tempo tidak berapa lama kemudian,
keluarga miskin tersebut menjadi kaya. Seketika itu para tetangga mereka dan
penduduk di sekitarnya menjadi gempar, mendengar nasib keluarga papa yang
mendadak menjadi orang kaya. Mereka pun turut mempraktikkan pemujaan terhadap
arwah Ceng Hok Tek. Konon kabarnya nama Ceng Hok Tek begitu bertuah jika
dimintakan pertolongan oleh mereka yang hatinya bersih dan tulus. Petani yang
sungguh-sungguh bersujud dan memohon di hadapan Ceng Hok Tek mendapatkan hasil
panen yang banyak, orang yang pekerjaannya memelihara ternak mendapatkan
hewannya cepat besar dan beranak-pinak, serta pedagang yang menjual barang
dagangan ternyata cepat laris dan mendapat laba yang besar. Kata penganutnya,
itu semua karena jasa Ceng Hok Tek yang baik dan murah hati. Nama besar Ceng
Hok Tek menyebar ke seluruh negeri dan orang banyak pun mulai melakukan
pemujaan terhadapnya.
Seperti yang
terjadi bukan saja di Tiongkok Kuno, melainkan juga di bagian dunia yang lain,
Ceng Hok Tek boleh saja meninggal, tetapi jiwanya atau rohnya tetap hidup dalam
kepercayaan orang atau pengikutnya. Ceng Hok Tek kini telah menjelma menjadi
Hok Tek Ceng Sin atau Fu De Zheng Shen (福德正神 atau Fúdé
zhèngshén, pinyin). Kata 神 (shén atau “sin”, Hokian) bermakna
"dewa". Dari kata "Shen" muncul istilah baru:
"Shenisme" atau 神教 (pinyin: Shénjiào), yang jika
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sama dengan "pendewaan". Shenisme adalah label
yang digunakan untuk menggambarkan kumpulan tradisi sistem kepercayaan yang
berlangsung di masa Tiongkok Kuno, berupa pemujaan terhadap Shen. Istilah
"Shenisme" pertama kali digunakan oleh Allan J.A. Elliot pada tahun
1955.
Lebih lanjut dalam bahasa Mandarin ada tiga istilah yang berkaitan, yang
akan memperjelas makna Shenisme di atas. Anda mesti membedakan diantara 神 shén, 帝 dì, dan 仙 xiān. Walaupun
penggunaan dua istilah yang pertama kadang kala kabur, namun jika kita
melihatnya dalam konteks kebudayaan Barat, ada perbedaan pengertian diantara
"dewa" atau "god" dengan "deitas" atau
"deity". Shen menunjuk pada
Surga material, sedangkan di ditujukan pada sumber semesta. Di digambarkan sebagai inti buah yang
jatuh, lalu menghasilkan buah yang lain. Buah-buah yang lain ini adalah shen. Jadi di tingkatannya lebih tinggi daripada shen. Istilah yang ketiga 仙 xiān adalah orang yang telah mencapai
"yang kekal" (the immortal,
Ingg.) atau dalam bahasa kita mengacu pada gagasan "pahlawan". Konsep
"yang kekal" ini nantinya diadopsi oleh agama Tao. Dengan demikian
pada contoh kita di atas, Ceng Hok Tek telah menjelma menjadi sesosok shen sekaligus pula sesosok xian.
Shenisme telah menjadi sistem kepercayaan di Tiongkok sejak zaman kuno
hingga saat ini. Contoh shen yang
kita ambil di atas berasal dari masa Dinasti Zhou, dan pada zaman itu Buddha
Gautama, Guru Kong, dan Nabi Lao Zi semuanya belum lahir. Shenisme ini menjadi
pondasi yang membentuk agama orang Tionghoa atau disebut Chinese folk religion. Dari tiga ajaran, Buddhisme, Taoisme, dan
Konfusianisme, Shenisme ini paling dekat dengan ajaran Taoisme. Di Tiongkok
sendiri diperkirakan 30% dari penduduknya menganut Shenisme dan Taoisme, dan di
seluruh dunia kedua ajaran ini diperkirakan memiliki penganut hingga 454 juta
orang atau 6.6% dari penduduk dunia. Jumlah ini mendekati jumlah penganut agama
Buddha di dunia,
Sebagai shen atau dewa Fu De Zheng Shen
digambarkan sebagai seorang pria tua yang tersenyum ramah, berambut serta
berjanggut panjang berwana putih, dan sering kali digambarkan atau dipatungkan
dalam posisi duduk. Dikenang sebagai pejabat teladan semasa hidupnya, ia merupakan
pelindung masyarakat serta dianggap sebagai dewa bumi. Hok Tek Ceng Sin sendiri
secara harfiah berarti Dewa Bumi atas Kemakmuran dan Jasa. Belakangan seorang
penasihat agung kaisar bernama Ie In memberikan makna baru yang berkaitan
dengan pesta panen raya di Tiongkok pada istilah Fu De Zheng Shen, yang
berarti memperoleh rejeki (Hok / Fu) dalam kebajikan (Tek / De) dengan
tetap menegakkan (Ceng / Zheng) nilai-nilai rohani (Sin / Shen). Makna atau
istilah ini kemudian menjadi populer dan mengakibatkan munculnya pergeseran
peran, yaitu Fu De Zheng Shen kemudian menjadi dewa rejeki. Yang banyak
melakukan pemujaan biasanya kalangan pedagang dan tempat pemujaan pun berpindah
ke dekat pusat perniagaan atau pasar. Setelah agama Buddha Mahayana masuk ke Tiongkok,
tokoh Hok Tek Ceng Sin mendapat sebutan
baru, yakni Amurva Bhumi Bodhisattva. Bahkan setelah itu muncul tradisi
pembacaan mantra Amurva Bhumi sewaktu umat melaksanakan persembahyangan.
Tempat ibadah
agama orang Tionghoa dapat dibedakan menjadi "miao" (庙), atau dalam istilah Hokian menjadi
"bio", disebut juga "rumah dewata" dan
"ci" (祠) atau "aula leluhur", dan keduanya
sering dipertukarkan. Dalam bahasa Indonesia baik miao maupun ci lazim
disebut kuil. Bio, belakangan dinamakan
pula kelenteng, sering dikatakan sebagai rumah ibadah agama Konghucu, padahal
ini jelas keliru. Untuk umat Konghucu di Indonesia dikenal istilah
"litang", sedangkan bio itu sendiri sebenarnya adalah tempat pemujaan
Shen atau dewa. Kuil agama orang Tionghoa berbeda dengan kuil penganut
Tao 观 atau guan juga disebut
道观 atau daoguan dan vihara Buddhis 寺 atau si, yang mana bio dikelola oleh kepala
kuil dengan dibantu oleh beberapa anggota yang merupakan komunitas penganut
kepercayaan tersebut. Di dalam bio hanya ada sedikit orang yang menjadi
biarawan, dan bahkan sebagian rumah ibadah ini tidak memilikinya. Bio biasanya
berukuran kecil, tetapi penampilan di luar maupun di dalamnya amat
berwarna-warni, serta atap dan tiangnya kerap dihiasi dengan patung dan relief
berbentuk naga dan hewan mitologis lainnya.
Setelah kita
membahas riwayat Hok Tek Ceng Sin, shenisme atau pendewaan dalam konteks agama
orang Tionghoa, serta rumah ibadahnya, kini kita akan meninjau budaya pemujaan
Hok Tek Ceng Sin yang masih berlangsung hingga sekarang ini. Untuk itu penulis
akan mengambil contoh satu kuil yang terletak di kota Bogor, yang bernama Hok
Tek Bio (福德庙). Mungkin ada diantara Anda yang pernah mendengar atau bahkan pernah
berkunjung ke sana. Hok Tek Bio terletak di jantung kota Bogor di samping
gedung perbelanjaan yang menjulang tinggi. Letaknya tidak sampai seratus meter
diukur dari depan pintu gerbang utama Kebun Raya Bogor yang tersohor itu.
Konon rumah
ibadah ini mulai dibangun pada tahun 1672, yang berarti sudah berusia hampir
tiga setengah abad. Jika ini benar cikal bakal bio ini sudah muncul sebelum
pembangunan Istana Bogor yang terletak di dalam Kebun Raya (Istana Bogor
dibangun pada 1744). Memasuki bio kita dapat melihat sebuah rumah ibadah dengan
gaya arsitektur Tiongkok klasik, dengan warna bangunan dominan merah dan
kuning. Atapnya menyerupai busur dan di atas wuwungan ditambahkan hiasan hewan
mitologis, dan di pilarnya dilingkari relief naga yang elok. Di depan bio masih
tersedia halaman lapang yang berfungsi sebagai alun-alun. Dalam perjalanannya
dari sejak didirikan entah sudah berapa kali rumah ibadah ini mengalami
renovasi, dan kita menemui kesulitan melihat perkembangan bangunan ini karena
tidak ada catatan tertulisnya. Namun keotentikan bangunan ini tidak banyak
berubah sejak permulaan abad ke-20, yang membuat pemerintah menetapkan Hok Tek
Bio sebagai cagar budaya sejak tahun 2002. Pada masa Orde Baru rumah ibadah ini
pernah diganti namanya menjadi Vihara Dhanagun, namun sekarang ini orang boleh
menyebutnya lagi sebagai Hok Tek Bio.
Sesuai dengan namanya, pada altar utama bio ini
terdapat arca Hok Tek Ceng Sin yang ditata dalam ornamen kuil yang elok.
Pengunjung yang ingin melakukan persembahyangan biasanya membeli lilin merah,
sejumlah dupa-batang atau hio, dan
kertas-uang. Mereka berdoa dulu di depan gerbang dan memberikan persembahan
kepada langit, dan dilanjutkan dengan menyalakan lilin dan mempersembahkannya
di depan altar utama. Selanjutnya sambil memegang dupa-batang yang sudah
dinyalakan mereka berdoa mulai dari altar utama, lalu diteruskan ke altar yang
lain, dan setiap doa selesai mereka menancapkan dupa-batang ke guci-abu yang
telah disediakan. Persembahyangan dinyatakan selesai setelah mereka membakar
kertas-uang di halaman depan. Umat yang datang berharap mendapatkan rejeki dari
Hok Tek Ceng Sin. Pedagang memohon agar usaha mereka lancar dan semakin maju,
karyawan meminta pekerjaannya dimudahkan dan mereka cepat naik jabatan, serta
masyarakat umum mengharapkan kesejahteraan dan keselamatan dalam menjalani
hidup sehari-hari. Bio ini memiliki umat dan pendukung yang banyak, bahkan
sebagian dari mereka datang dari luar kota untuk bersembahyang di sana.
Sepanjang sejarahnya rumah ibadah ini disokong oleh masyarakat etnis Tionghoa,
yang kebanyakan diantara mereka adalah kaum pedagang di kota Bogor. Oleh karena
itu lokasi bio ini bersebelahan dengan pasar utama, dan sejak era kolonial
salah satu sisi rumah ibadah ini dilewati oleh Handelstraat alias Jalan Perniagaan.
Andre Ginting (2017), seorang peneliti, pernah
mengemukakan pendapatnya: "Observasi langsung mengungkapkan kejadian unik
di kuil ini, yang mana tokoh-tokoh keramat setempat diabadikan oleh para pemuja
Shenisme. Mereka adalah Raden Surya Kencana dan Mbah Bogor. Mereka dihormati
sebagai dewa. Praktik keagamaan ini bisa dianggap sebagai 'Sinisasi', yang
secara harfiah bermakna mendekatkan diri pada cita-cita agama orang
Tionghoa." Dengan demikian terjadi pragmatisme agama orang Tionghoa yang
mampu mengakomodir tokoh-tokoh masyarakat yang dihormati dan menjadikan mereka
sebagai suciwan yang patut disembah layaknya dewa. Dan memang benar pendapat
orang pribumi di Nusantara sejak dulu kala, bahwa agama orang Tionghoa itu
agama yang paling toleran yang pernah mereka temukan,
sdjn/dharmaprimapustaka/210407
Tidak ada komentar:
Posting Komentar