Rabu, 24 Maret 2021

KEBAHAGIAAN



Mungkin Anda pernah mendengar sebuah lagu Barat, yang meskipun telah diperkenalkan untuk pertama kalinya 65 tahun yang silam, tetapi masih tetap populer hingga hari ini. Lirik lagu itu berbunyi: "When I was just a little girl I asked my mother, what will I be. Will I be pretty. Will I be rich", yang jika diindonesiakan akan berbunyi, "Ketika aku masih gadis cilik aku bertanya kepada ibuku. Akankah aku cantik nanti, akankah aku kaya-raya kelak."

 

Untunglah ibunya seorang yang bijaksana. Ia menjawab kegundahan puteri kesayangannya dengan kata-kata: "Here's what she said to me. Que sera, sera. Whatever will be, will be. The future's not ours to see. Que sera, sera. What will be, will be." Terjemahannya: "Inilah jawaban ibuku. Que sera, sera. Apa pun yang akan terjadi, terjadilah. Masa depan tidak mampu kita lihat. Que sera, sera. Apa yang akan terjadi, terjadilah."

 

Que sera adalah petikan dalam bahasa Spanyol yang berarti "Apa yang akan terjadi", sedangkan sera kurang lebih bermakna "terjadilah". Jadi kedua frasa itu dialihbahasakan secara kata per kata dan akhirnya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris: "apa yang akan terjadi, terjadilah." Lagu itu dipopulerkan oleh Almarhumah Doris Day pada 1956. Syair lagu itu dilanjutkan dengan pertanyaan kedua kepada calon suaminya, apakah keduanya dalam perkawinan mereka kelak akan dihiasi dengan pelangi-kehidupan, dan pertanyaan ketiga justru diajukan oleh putera si gadis kecil tadi, berupa pertanyaan yang persis sama ketika ia mengajukannya dulu kepada ibunya.

 

Apa yang bisa kita pelajari dari lirik lagu itu? Anak kecil itu, si gadis ingusan, dalam benaknya sudah memiliki harapan dan cita-cita. Semoga setelah dewasa nanti ia bisa menjadi seorang wanita cantik dan kaya. Pendidikan dan lingkungan memberikan andil bahwa nilai-nilai itu layak untuk dikejar dan diwujudkan. Kalau sudah cantik apalagi kaya tentu yang lain akan menyusul, bukankah demikian? Popularitas, ketenaran, nama baik, kehormatan, dan mungkin juga kekuasaan, akan lebih mudah diraih, dibandingkan oleh mereka yang tidak cantik juga tidak kaya.

 

Bicara tentang harapan dan cita-cita, menarik untuk mengkajinya lebih jauh. Seorang remaja pria yang duduk di kelas terakhir Sekolah Lanjutan Tingkat Atas ditanya oleh seorang psikolog, perihal apa yang sedang dan akan dilakukan oleh dia, dan berikut ini berlangsung rangkaian tanya-jawab sebagai berikut. "Mengapa engkau bersekolah di sini?" tanya sang psikolog. "Supaya saya lulus pada ujian akhir." "Jika engkau dinyatakan lulus pada ujian akhir, untuk apa kelulusan itu?" "Setelah lulus, saya bisa kuliah dan menjadi mahasiswa di jurusan yang saya sukai." "Lalu apa tujuanmu kuliah di sana?" "Tujuan saya kuliah supaya saya bisa mendapatkan gelar sarjana." "Kemudian setelah menjadi sarjana, apa tujuan berikutnya?" "Dengan gelar sarjana di tangan, saya akan lebih mudah mendapat pekerjaan yang saya idam-idamkan." "Dan setelah engkau mendapat pekerjaan idaman, apa lagi yang engkau akan kerjakan." Si remaja mulai kebingungan, namun ia menjawab, "Saya akan bekerja lebih keras lagi untuk mencapai posisi manajer atau bahkan jika mungkin sampai tingkat direksi." "Ya, katakanlah engkau bisa menduduki jabatan direktur, lalu untuk apa jabatan direktur itu?" Sampai dengan pertanyaan ini si remaja itu mati kutu dan tidak bisa menjawab pertanyaan terakhir itu.

 

Bermula pada dalil bahwa segala sesuatu memiliki satu tujuan, filsuf besar Aristoteles mengemukakan, bahwa tujuan terakhir bagi manusia adalah sesuatu yang kita inginkan demi dirinya sendiri dan bukan demi hal lain. Kembali kepada pertanyaan remaja pria itu. "Aku ingin mendapatkan pekerjaan, kalau bisa menjadi seorang manajer atau direktur di satu perusahaan." "Mengapa engkau membutuhkan semuanya itu?" Jawaban yang tepat adalah: "Semua yang akan kulakukan itu bertujuan untuk membuat aku bahagia." "Mengapa engkau ingin bahagia?" Pada titik ini si remaja pria itu menyadari bahwa tidak diperlukan pertanyaan lanjutan. "Engkau ingin bahagia demi kebahagiaan itu sendiri, dan bukan demi hal lain." Dalam Buku Kesatu Aristoteles yang berjudul Etika, sang filsuf memikirkan jawaban atas pertanyaan yang paling menantang bagi umat manusia. Aristoteles mengemukakan bahwa segala sesuatu memiliki tujuan atau sasaran, dan tujuan itu adalah mencapai kebaikan. "Kebaikan Utama" bagi umat manusia adalah tujuan dimana semua tindakan manusia dilakukan. Aristoteles percaya bahwa Kebaikan Utama bagi umat manusia adalah Eudaimonia yang sering diterjemahkan sebagai "Kebahagiaan."

 

Sewaktu orang bertanya apa itu kebahagiaan, pertanyaan yang sama juga telah diajukan oleh manusia selama ribuan tahun. Kebahagiaan adalah cita-cita yang selalu dikejar oleh manusia semasa hidupnya. Ada banyak rumusan tentang kebahagiaan, dan setiap agama memiliki teorinya sendiri-sendiri. Menurut ajaran Hindu yang dimuat dalam Advaita Vedanta, tujuan hidup manusia tidak lain mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan yang paling tinggi dicapai saat Atman (yakni diri kita) telah menyatu dengan Brahman. Menurut ajaran Konfusius, seperti yang dikatakan oleh Mencius, kegembiraan yang luar biasa dicapai ketika seseorang merayakan praktik kebajikan agung. Menurut Taoisme, kebahagiaan itu tidak lain mencintai kehidupan dengan menjaga kesehatan tubuh dan mental, agar bersesuaian dengan alam, selalu puas, tenang, dan sadar-diri. "Hidup sesuai dengan Tao dan menjadi yang-kekal" merupakan kepercayaan utamanya. Kebahagiaan merupakan topik utama ajaran Buddhisme. Kebahagiaan adalah bebas dari segala penderitaan, dan dengan bantuan Jalan Mulia Beruas Delapan akan membawa seorang praktisi pada Nibbāna atau Nirvāna. Kita tidak akan membahas kebahagiaan dalam konteks ajaran agama-agama besar itu dalam tulisan ini.

 

Kita kembali kepada si gadis ingusan dan remaja pria di atas. Si gadis cilik yang beraspirasi mencapai kebahagiaan, dengan menjadi wanita dewasa yang cantik dan kaya. Remaja pria yang juga bercita-cita di masa depan guna mewujudkan realisasi-diri, dengan menjadi manajer atau direktur. Dari dua contoh ini kita mendapatkan gambaran bahwa kebahagiaan itu akan diraih di masa depan, bukan sekarang. Bukan hanya dua orang itu, bahkan banyak dari kita yang menganut keyakinan semacam itu. Betapa dulu sewaktu kita masih kanak-kanak atau remaja kita memiliki mimpi, bahwa jika kita telah dewasa kita akan bahagia. Namun setelah kita dewasa, bahkan setelah berkeluarga dan memiliki pekerjaan yang baik, kebahagiaan itu belum datang juga, dan kita masih berharap bahwa nanti sewaktu kita sudah setengah baya atau telah memasuki usia lanjut kita akan bahagia. Sungguh celaka, bahwasanya banyak dari kita yang sudah memasuki usia tua dan mendapatkan kenyataan, diri kita pun belum juga bahagia! Apakah kita pantas berpikir bahwa nanti setelah kita mati baru kita akan bahagia?

 

Kisah berikut mungkin pernah Anda baca di media sosial, yaitu percakapan seorang nelayan dengan seorang usahawan kaya raya. Di satu siang di tepi pantai seorang usahawan kaya menjumpai seorang nelayan yang sedang bermalas-malasan di samping perahunya. Dengan enaknya si nelayan tidur-tiduran menikmati sebatang rokok sambil mulutnya mendendangkan sebuah lagu dangdut. "Mengapa engkau tidak melaut dan menangkap ikan? Bukankah hari masih terang?" Sang nelayan menjawab, "Aku sudah berangkat melaut sebelum subuh, dan menjelang tengah hari aku telah kembali. Ikan hasil tangkapanku langsung dibeli oleh pengepul, dan uang yang aku kumpulkan sudah lebih dari cukup untuk membiayai kebutuhan kami sekeluarga. Bahkan aku masih sempat menjemput anak-anak pulang dari sekolah, menikmati santap tengah hari, dan tidur-siang barang sejenak. Nanti malam aku bisa minum-minum di kedai kopi bersama teman-temanku sambil bernyanyi karaoke."

 

Sang usahawan menggeleng-gelengkan kepalanya dan ia berkomentar, "Engkau masih muda, Bung, dan engkau masih cukup kuat. Saat tengah hari bolong begini engkau malah santai dan tidur-tiduran. Bukankah sebaiknya engkau melaut dan menangkap ikan lebih banyak lagi?" "Untuk apa?" sang nelayan bertanya. "Dengan menangkap ikan lebih banyak, engkau dapat mengumpulkan uang lebih banyak lagi. Dan dengan uang itu engkau bisa membeli motor-tempel, yang mana perahumu bisa melaut lebih jauh dari pantai, serta di sana engkau bisa mendapatkan tangkapan lebih banyak lagi." Si nelayan belum mudeng dan ia bertanya lebih lanjut, "Lalu setelah itu?" "Engkau dapat mengumpulkan uang lebih banyak lagi. Dengarlah baik-baik, aku dulu juga membangun usahaku dari nol sampai menjadi seorang hartawan. Dengan uang yang engkau peroleh semakin banyak, engkau dapat membeli kapal motor yang lebih besar dilengkapi dengan pukat nilon. Selanjutnya engkau akan mempekerjakan lebih banyak anak buah, sehingga tangkapanmu lebih banyak, alhasil uangmu pun semakin banyak. Nah, lama kelamaan dengan uang yang semakin banyak, engkau dapat membeli kapal ikan lagi, dua buah, tiga buah, bahkan lebih dari itu. Setelah itu engkau dirikan pabrik pengolahan ikan dilengkapi dengan cold storage, dan mempekerjakan karyawan lebih banyak lagi untuk memproses hasil tangkapanmu. Bahkan produk ikanmu bisa dijadikan komoditi ekspor."

 

"Selanjutnya aku mesti berbuat apa?" potong si nelayan. "Sekarang engkau menjadi bos besar yang memiliki uang banyak. Engkau bisa beristirahat dan menikmati hidup," jawab sang usahawan puas setelah selesai memberikan kuliahnya. "Lalu berapa lama aku bisa menjadi bos besar yang kaya-raya, dan pekerjaan apa lagi yang masih harus kujalani saat itu?" tanya si nelayan penuh rasa ingin tahu. Sang usahawan menjawab, "Jika engkau rajin dan tekun, paling tidak dua-puluh hingga tiga-puluh tahun lagi engkau bisa menjadi seorang usahawan perikanan yang mumpuni. Engkau masuk kantor setiap hari cukup sampai tengah hari, guna memastikan semua anak buahmu menjalankan perusahaanmu dengan benar. Siang hari engkau sudah bisa bertemu dengan keluargamu di rumah, bersenda gurau dengan mereka, menyantap makan siang dan pergi tidur. Malamnya engkau bisa bernyanyi di pusat-karaoke dan bersenang-senang hingga tengah malam," sang usahawan menjawab dengan sunggingan senyum kemenangan. "Kalau itu tujuan, yang Tuan sebutkan, bukankah aku sudah mendapatkan semua kenikmatan itu sekarang. Tidak perlu aku menunggu hingga dua-puluh atau tiga-puluh tahun lagi." Sang usahawan pun kaget dan terperangah serta di dalam hatinya ia membenarkan pernyataan sang nelayan itu.

 

Cerita di atas memberikan pencerahan kepada kita bahwa kebahagiaan itu harus ditumbuhkan untuk dinikmati sekarang. Bukan besok, bulan depan, tahun depan, atau jauh di masa yang akan datang. Jika saja sang nelayan harus menunggu selama dua-puluh hingga tiga-puluh tahun lagi, hilang juga waktu berharganya sekarang untuk memperhatikan anak-anaknya ketika mereka masih kecil. Dua puluh lima tahun kemudian, mereka semua sudah dewasa dan hilang juga kebersamaan dengan anak-anak yang dicintainya. Kemudian yang lebih penting lagi, apa mungkin rentang waktu puluhan tahun bisa menjamin sang nelayan yang berpikiran sederhana untuk menjadi usahawan yang kaya-raya? Bukankah kita sudah tahu jawabannya dari awal tulisan ini, Que sera, sera. Apa pun yang akan terjadi, terjadilah. Tidak ada yang bisa memastikannya.

 

Jika kita bertanya konsep kebahagiaan menurut teori "keinginan" versus "kebutuhan", kita dapat membaginya menjadi tiga pandangan. Yang pertama berangkat dari Sensualisme. Kebahagiaan tidak lain diperoleh dengan mengejar kenikmatan inderawi, yang menjurus pada tuntutan agar "keinginan" lebih besar daripada "kebutuhan." Di sini keinginan-keinginan perlu dituruti dan dipuaskan, dan paham ini berujung pada hedonisme. Yang kedua berangkat dari paham Asketisme yang membawa pada tuntutan agar "keinginan" lebih kecil daripada "kebutuhan." Jadi kebahagiaan itu dicari dengan menolak kenikmatan dan orang cenderung menjalani hidup kepetapaan.

 

Pandangan ketiga pasti Anda bisa menebaknya. Betul, pandangan ini merupakan jalan tengah dari kedua pandangan di atas yang memang sah menurut perspektif orang awam, bukan dianut oleh mereka yang telah meninggalkan keduniawian. Di sini berlaku bahwa "keinginan" diatur agar sama besar dengan "kebutuhan." Pandangan ini merupakan rasionalisasi untuk menyeimbangkan diantara "yang diminta" dengan "yang didapatkan". Berarti masing-masing individu harus selalu bersikap menerima antara yang ia peroleh dengan yang ia inginkan. Jika sampai ada keinginan untuk mendapatkan lebih, keinginan itu harus diperkecil sehingga tetap seimbang dengan apa yang telah diperoleh. Inilah satu keadaan, yang orang awam menyebutnya sebagai berpuas-diri atau bersyukur. Jika seseorang merasa puas-diri atau bersyukur, maka dipastikan ia akan bahagia.

 

Setelah kita mengupas konsep kebahagiaan menurut keinginan yang dilawankan dengan kebutuhan, marilah kita simpulkan pembahasan tentang kebahagiaan. Jadi kebahagiaan itu bukanlah soal kaya atau miskin, melainkan satu sikap mental menerima keadaan diri sendiri sebagai mana adanya. Kebahagiaan itu terpancar dengan dilandasi sikap berpuas-diri atau bersyukur. Kebahagiaan bukan diraih nanti di masa depan yang jauh, tetapi kebahagiaan ditumbuhkan sekarang dan terus-menerus. Dan terakhir kebahagiaan itu bukanlah nasib, tetapi kebahagiaan itu adalah pilihan. Anda harus memilih mau bahagia atau tidak, semuanya terserah Anda.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/210324

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar