Mungkin Anda pernah mendengar sebuah lagu Barat, yang meskipun telah diperkenalkan untuk pertama kalinya 65 tahun yang silam, tetapi masih tetap populer hingga hari ini. Lirik lagu itu berbunyi: "When I was just a little girl I asked my mother, what will I be. Will I be pretty. Will I be rich", yang jika diindonesiakan akan berbunyi, "Ketika aku masih gadis cilik aku bertanya kepada ibuku. Akankah aku cantik nanti, akankah aku kaya-raya kelak."
Untunglah ibunya seorang yang bijaksana. Ia menjawab kegundahan puteri
kesayangannya dengan kata-kata: "Here's what she
said to me. Que sera, sera. Whatever will be, will be. The future's not
ours to see. Que sera, sera. What will be, will be." Terjemahannya:
"Inilah jawaban ibuku. Que sera, sera. Apa pun yang akan terjadi,
terjadilah. Masa depan tidak mampu kita lihat. Que sera, sera. Apa yang akan
terjadi, terjadilah."
Que sera adalah petikan dalam
bahasa Spanyol yang berarti "Apa yang akan terjadi", sedangkan sera kurang lebih bermakna
"terjadilah". Jadi kedua frasa itu dialihbahasakan secara kata per
kata dan akhirnya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris: "apa yang akan
terjadi, terjadilah." Lagu itu dipopulerkan oleh Almarhumah Doris Day pada
1956. Syair lagu itu dilanjutkan dengan pertanyaan kedua kepada calon suaminya,
apakah keduanya dalam perkawinan mereka kelak akan dihiasi dengan
pelangi-kehidupan, dan pertanyaan ketiga justru diajukan oleh putera si gadis
kecil tadi, berupa pertanyaan yang persis sama ketika ia mengajukannya dulu
kepada ibunya.
Apa yang bisa
kita pelajari dari lirik lagu itu? Anak kecil itu, si gadis ingusan, dalam
benaknya sudah memiliki harapan dan cita-cita. Semoga setelah dewasa nanti ia
bisa menjadi seorang wanita cantik dan kaya. Pendidikan dan lingkungan
memberikan andil bahwa nilai-nilai itu layak untuk dikejar dan diwujudkan.
Kalau sudah cantik apalagi kaya tentu yang lain akan menyusul, bukankah
demikian? Popularitas, ketenaran, nama baik, kehormatan, dan mungkin juga
kekuasaan, akan lebih mudah diraih, dibandingkan oleh mereka yang tidak cantik
juga tidak kaya.
Bicara tentang
harapan dan cita-cita, menarik untuk mengkajinya lebih jauh. Seorang remaja
pria yang duduk di kelas terakhir Sekolah Lanjutan Tingkat Atas ditanya oleh
seorang psikolog, perihal apa yang sedang dan akan dilakukan oleh dia, dan
berikut ini berlangsung rangkaian tanya-jawab sebagai berikut. "Mengapa
engkau bersekolah di sini?" tanya sang psikolog. "Supaya saya lulus
pada ujian akhir." "Jika engkau dinyatakan lulus pada ujian akhir,
untuk apa kelulusan itu?" "Setelah lulus, saya bisa kuliah dan
menjadi mahasiswa di jurusan yang saya sukai." "Lalu apa tujuanmu
kuliah di sana?" "Tujuan saya kuliah supaya saya bisa mendapatkan
gelar sarjana." "Kemudian setelah menjadi sarjana, apa tujuan
berikutnya?" "Dengan gelar sarjana di tangan, saya akan lebih mudah
mendapat pekerjaan yang saya idam-idamkan." "Dan setelah engkau
mendapat pekerjaan idaman, apa lagi yang engkau akan kerjakan." Si remaja
mulai kebingungan, namun ia menjawab, "Saya akan bekerja lebih keras lagi
untuk mencapai posisi manajer atau bahkan jika mungkin sampai tingkat
direksi." "Ya, katakanlah engkau bisa menduduki jabatan direktur,
lalu untuk apa jabatan direktur itu?" Sampai dengan pertanyaan ini si remaja
itu mati kutu dan tidak bisa menjawab pertanyaan terakhir itu.
Bermula pada
dalil bahwa segala sesuatu memiliki satu tujuan, filsuf besar Aristoteles
mengemukakan, bahwa tujuan terakhir bagi manusia adalah sesuatu yang kita
inginkan demi dirinya sendiri dan bukan demi hal lain. Kembali kepada
pertanyaan remaja pria itu. "Aku ingin mendapatkan pekerjaan, kalau bisa
menjadi seorang manajer atau direktur di satu perusahaan." "Mengapa
engkau membutuhkan semuanya itu?" Jawaban yang tepat adalah: "Semua
yang akan kulakukan itu bertujuan untuk membuat aku bahagia."
"Mengapa engkau ingin bahagia?" Pada titik ini si remaja pria itu
menyadari bahwa tidak diperlukan pertanyaan lanjutan. "Engkau ingin
bahagia demi kebahagiaan itu sendiri, dan bukan demi hal lain." Dalam Buku
Kesatu Aristoteles yang berjudul Etika,
sang filsuf memikirkan jawaban atas pertanyaan yang paling menantang bagi umat
manusia. Aristoteles mengemukakan bahwa segala sesuatu memiliki tujuan atau
sasaran, dan tujuan itu adalah mencapai kebaikan. "Kebaikan Utama"
bagi umat manusia adalah tujuan dimana semua tindakan manusia dilakukan.
Aristoteles percaya bahwa Kebaikan Utama bagi umat manusia adalah Eudaimonia yang sering diterjemahkan
sebagai "Kebahagiaan."
Sewaktu orang
bertanya apa itu kebahagiaan, pertanyaan yang sama juga telah diajukan oleh
manusia selama ribuan tahun. Kebahagiaan adalah cita-cita yang selalu dikejar
oleh manusia semasa hidupnya. Ada banyak rumusan tentang kebahagiaan, dan
setiap agama memiliki teorinya sendiri-sendiri. Menurut ajaran Hindu yang
dimuat dalam Advaita Vedanta, tujuan hidup manusia tidak lain mencapai
kebahagiaan. Kebahagiaan yang paling tinggi dicapai saat Atman (yakni diri
kita) telah menyatu dengan Brahman. Menurut ajaran Konfusius, seperti yang
dikatakan oleh Mencius, kegembiraan yang luar biasa dicapai ketika seseorang
merayakan praktik kebajikan agung. Menurut Taoisme, kebahagiaan itu tidak lain
mencintai kehidupan dengan menjaga kesehatan tubuh dan mental, agar bersesuaian
dengan alam, selalu puas, tenang, dan sadar-diri. "Hidup sesuai dengan Tao
dan menjadi yang-kekal" merupakan kepercayaan utamanya. Kebahagiaan
merupakan topik utama ajaran Buddhisme. Kebahagiaan adalah bebas dari segala
penderitaan, dan dengan bantuan Jalan Mulia Beruas Delapan akan membawa seorang
praktisi pada Nibbāna atau Nirvāna. Kita tidak
akan membahas kebahagiaan dalam konteks ajaran agama-agama besar itu dalam
tulisan ini.
Kita kembali
kepada si gadis ingusan dan remaja pria di atas. Si gadis cilik yang
beraspirasi mencapai kebahagiaan, dengan menjadi wanita dewasa yang cantik dan
kaya. Remaja pria yang juga bercita-cita di masa depan guna mewujudkan
realisasi-diri, dengan menjadi manajer atau direktur. Dari dua contoh ini kita
mendapatkan gambaran bahwa kebahagiaan itu akan diraih di masa depan, bukan
sekarang. Bukan hanya dua orang itu, bahkan banyak dari kita yang menganut
keyakinan semacam itu. Betapa dulu sewaktu kita masih kanak-kanak atau remaja
kita memiliki mimpi, bahwa jika kita telah dewasa kita akan bahagia. Namun setelah
kita dewasa, bahkan setelah berkeluarga dan memiliki pekerjaan yang baik,
kebahagiaan itu belum datang juga, dan kita masih berharap bahwa nanti sewaktu
kita sudah setengah baya atau telah memasuki usia lanjut kita akan bahagia.
Sungguh celaka, bahwasanya banyak dari kita yang sudah memasuki usia tua dan
mendapatkan kenyataan, diri kita pun belum juga bahagia! Apakah kita pantas
berpikir bahwa nanti setelah kita mati baru kita akan bahagia?
Kisah berikut
mungkin pernah Anda baca di media sosial, yaitu percakapan seorang nelayan
dengan seorang usahawan kaya raya. Di satu siang di tepi pantai seorang
usahawan kaya menjumpai seorang nelayan yang sedang bermalas-malasan di samping
perahunya. Dengan enaknya si nelayan tidur-tiduran menikmati sebatang rokok
sambil mulutnya mendendangkan sebuah lagu dangdut. "Mengapa engkau tidak
melaut dan menangkap ikan? Bukankah hari masih terang?" Sang nelayan
menjawab, "Aku sudah berangkat melaut sebelum subuh, dan menjelang tengah
hari aku telah kembali. Ikan hasil tangkapanku langsung dibeli oleh pengepul,
dan uang yang aku kumpulkan sudah lebih dari cukup untuk membiayai kebutuhan
kami sekeluarga. Bahkan aku masih sempat menjemput anak-anak pulang dari
sekolah, menikmati santap tengah hari, dan tidur-siang barang sejenak. Nanti
malam aku bisa minum-minum di kedai kopi bersama teman-temanku sambil bernyanyi
karaoke."
Sang usahawan
menggeleng-gelengkan kepalanya dan ia berkomentar, "Engkau masih muda,
Bung, dan engkau masih cukup kuat. Saat tengah hari bolong begini engkau malah
santai dan tidur-tiduran. Bukankah sebaiknya engkau melaut dan menangkap ikan
lebih banyak lagi?" "Untuk apa?" sang nelayan bertanya.
"Dengan menangkap ikan lebih banyak, engkau dapat mengumpulkan uang lebih
banyak lagi. Dan dengan uang itu engkau bisa membeli motor-tempel, yang mana
perahumu bisa melaut lebih jauh dari pantai, serta di sana engkau bisa
mendapatkan tangkapan lebih banyak lagi." Si nelayan belum mudeng dan ia bertanya lebih lanjut,
"Lalu setelah itu?" "Engkau dapat mengumpulkan uang lebih banyak
lagi. Dengarlah baik-baik, aku dulu juga membangun usahaku dari nol sampai
menjadi seorang hartawan. Dengan uang yang engkau peroleh semakin banyak,
engkau dapat membeli kapal motor yang lebih besar dilengkapi dengan pukat
nilon. Selanjutnya engkau akan mempekerjakan lebih banyak anak buah, sehingga
tangkapanmu lebih banyak, alhasil uangmu pun semakin banyak. Nah, lama kelamaan
dengan uang yang semakin banyak, engkau dapat membeli kapal ikan lagi, dua
buah, tiga buah, bahkan lebih dari itu. Setelah itu engkau dirikan pabrik
pengolahan ikan dilengkapi dengan cold
storage, dan mempekerjakan karyawan lebih banyak lagi untuk memproses hasil
tangkapanmu. Bahkan produk ikanmu bisa dijadikan komoditi ekspor."
"Selanjutnya
aku mesti berbuat apa?" potong si nelayan. "Sekarang engkau menjadi
bos besar yang memiliki uang banyak. Engkau bisa beristirahat dan menikmati
hidup," jawab sang usahawan puas setelah selesai memberikan kuliahnya.
"Lalu berapa lama aku bisa menjadi bos besar yang kaya-raya, dan pekerjaan
apa lagi yang masih harus kujalani saat itu?" tanya si nelayan penuh rasa
ingin tahu. Sang usahawan menjawab, "Jika engkau rajin dan tekun, paling
tidak dua-puluh hingga tiga-puluh tahun lagi engkau bisa menjadi seorang
usahawan perikanan yang mumpuni. Engkau masuk kantor setiap hari cukup sampai
tengah hari, guna memastikan semua anak buahmu menjalankan perusahaanmu dengan
benar. Siang hari engkau sudah bisa bertemu dengan keluargamu di rumah,
bersenda gurau dengan mereka, menyantap makan siang dan pergi tidur. Malamnya
engkau bisa bernyanyi di pusat-karaoke dan bersenang-senang hingga tengah
malam," sang usahawan menjawab dengan sunggingan senyum kemenangan.
"Kalau itu tujuan, yang Tuan sebutkan, bukankah aku sudah mendapatkan
semua kenikmatan itu sekarang. Tidak perlu aku menunggu hingga dua-puluh atau
tiga-puluh tahun lagi." Sang usahawan pun kaget dan terperangah serta di
dalam hatinya ia membenarkan pernyataan sang nelayan itu.
Cerita di atas
memberikan pencerahan kepada kita bahwa kebahagiaan itu harus ditumbuhkan untuk
dinikmati sekarang. Bukan besok, bulan depan, tahun depan, atau jauh di masa
yang akan datang. Jika saja sang nelayan harus menunggu selama dua-puluh hingga
tiga-puluh tahun lagi, hilang juga waktu berharganya sekarang untuk memperhatikan
anak-anaknya ketika mereka masih kecil. Dua puluh lima tahun kemudian, mereka
semua sudah dewasa dan hilang juga kebersamaan dengan anak-anak yang
dicintainya. Kemudian yang lebih penting lagi, apa mungkin rentang waktu
puluhan tahun bisa menjamin sang nelayan yang berpikiran sederhana untuk
menjadi usahawan yang kaya-raya? Bukankah kita sudah tahu jawabannya dari awal
tulisan ini, Que sera, sera. Apa pun
yang akan terjadi, terjadilah. Tidak ada yang bisa memastikannya.
Jika kita
bertanya konsep kebahagiaan menurut teori "keinginan" versus "kebutuhan", kita dapat
membaginya menjadi tiga pandangan. Yang pertama berangkat dari Sensualisme.
Kebahagiaan tidak lain diperoleh dengan mengejar kenikmatan inderawi, yang
menjurus pada tuntutan agar "keinginan" lebih besar daripada
"kebutuhan." Di sini keinginan-keinginan perlu dituruti dan
dipuaskan, dan paham ini berujung pada hedonisme. Yang kedua berangkat dari
paham Asketisme yang membawa pada tuntutan agar "keinginan" lebih kecil
daripada "kebutuhan." Jadi kebahagiaan itu dicari dengan menolak
kenikmatan dan orang cenderung menjalani hidup kepetapaan.
Pandangan
ketiga pasti Anda bisa menebaknya. Betul, pandangan ini merupakan jalan tengah
dari kedua pandangan di atas yang memang sah menurut perspektif orang awam,
bukan dianut oleh mereka yang telah meninggalkan keduniawian. Di sini berlaku
bahwa "keinginan" diatur agar sama besar dengan
"kebutuhan." Pandangan ini merupakan rasionalisasi untuk
menyeimbangkan diantara "yang diminta" dengan "yang
didapatkan". Berarti masing-masing individu harus selalu bersikap menerima
antara yang ia peroleh dengan yang ia inginkan. Jika sampai ada keinginan untuk
mendapatkan lebih, keinginan itu harus diperkecil sehingga tetap seimbang
dengan apa yang telah diperoleh. Inilah satu keadaan, yang orang awam
menyebutnya sebagai berpuas-diri atau bersyukur. Jika seseorang merasa
puas-diri atau bersyukur, maka dipastikan ia akan bahagia.
Setelah kita
mengupas konsep kebahagiaan menurut keinginan yang dilawankan dengan kebutuhan,
marilah kita simpulkan pembahasan tentang kebahagiaan. Jadi kebahagiaan itu
bukanlah soal kaya atau miskin, melainkan satu sikap mental menerima keadaan
diri sendiri sebagai mana adanya. Kebahagiaan itu terpancar dengan dilandasi
sikap berpuas-diri atau bersyukur. Kebahagiaan bukan diraih nanti di masa depan
yang jauh, tetapi kebahagiaan ditumbuhkan sekarang dan terus-menerus. Dan
terakhir kebahagiaan itu bukanlah nasib, tetapi kebahagiaan itu adalah pilihan.
Anda harus memilih mau bahagia atau tidak, semuanya terserah Anda.
sdjn/dharmaprimapustaka/210324
Tidak ada komentar:
Posting Komentar