SINGA
Singa, hewan
besar perkasa yang dijuluki si raja rimba, siapa yang tidak kenal? Sejak
anak-anak balita kita memasuki PAUD atau Pendidikan Anak Usia Dini, mereka
telah diperkenalkan oleh gurunya pada hewan besar yang mirip kucing ini. Namun
benarkah singa itu si raja rimba?
Untuk melihat
tempat tinggal hewan besar ini kita perlu meninjau ke habitat singa yang
terbesar di dunia, yang terletak di Afrika timur. Habitat ini bernama Ekosistem
Serengeti yang membentang di Tanzania bagian utara dan memanjang ke barat daya
Kenya, serta mencakup wilayah seluas 30.000 kilometer persegi. Bagian Serengeti
yang masuk ke wilayah Kenya dinamakan Maasai Mara. Serengeti adalah sebuah dataran
yang sangat luas dengan sebagian besar berupa padang rumput dan padang sabana,
dan sebagian lagi berupa rawa, sungai dan hutan di sepanjang bantarannya, bukit
kecil, dan hutan akasia. Atraksi yang paling menarik sepanjang tahun di
Serengeti adalah migrasi besar-besaran mamalia besar herbivora, yang bergerak
dalam jumlah ratusan ribu ekor mengikuti musim hujan untuk mencari pakan rumput
dan dedaunan yang segar. Singa yang jumlahnya bisa mencapai ribuan – populasi terbesar
di dunia – mendiami Serengeti. Singa adalah predator puncak di dataran luas
ini, dan singa tidak pernah hidup di lingkungan hutan-hujan atau rimba
belantara seperti anggapan kita selama ini.
Singa dengan
nama Latin panthera leo hanya hidup
di benua Afrika dan sebagian kecil lainnya yakni singa-asia masih hidup dalam
jumlah terbatas di Cagar Alam Gir di Gujarat, India. Singa jantan mudah
dibedakan dengan singa betina, dengan adanya surai atau rambut lebat yang
tumbuh di sekitar kepala dan lehernya. Inilah ciri unik yang mudah dilihat,
serta tidak bisa didapatkan pada spesies kucing besar lainnya. Singa jantan
dewasa panjang tubuh rata-ratanya 3 meter dan berat 200 kg (betina 2,5 m, 150
kg) melebihi ukuran macan tutul atau citah, dan dalam perkelahian antar kucing
besar singa umumnya unggul. Namun kelemahannya, singa tidak bisa memanjat pohon
dan ia takut air.
Berbeda dengan
harimau yang hidup soliter, singa umumnya hidup dalam kawanan. Satu kawanan
biasanya terdiri dari dua jantan dewasa dan beberapa betina dewasa disertai
dengan anak-anaknya. Jumlah kawanan biasa rata-rata beranggotakan lima belas
ekor singa. Namun pernah ditemukan kawanan super yang beranggotakan hingga tiga
puluh ekor singa. Singa bisa berlari cepat tetapi tidak bisa dilakukan dalam
tempo yang lama, karena ia mudah lelah terutama di saat cuaca panas. Perburuan
mangsanya dilakukan ketika hari menjelang gelap dan mereka lebih aktif pada
malam hari. Singa umumnya menghabiskan tiga jam sehari untuk berburu, satu jam
untuk makan, dan selebihnya dimanfaatkan untuk tidur dan bermalas-malasan.
Dalam menangkap
mangsanya para singa betina melakukannya secara efektif dengan cara
mengepungnya. Korban biasanya adalah hewan yang terpisah dari kelompoknya, yang
sedang tersesat atau terluka, yang mudah disergap oleh singa-singa betina.
Hewan yang menjadi mangsanya adalah mamalia besar dengan berat 50 sampai 500
kg, dan korban dibunuh dengan cara dicekik atau diputuskan saluran napasnya.
Singa jantan jarang melakukan perburuan, dan hanya sesekali membantu untuk
menjatuhkan dan melumpuhkan mangsa besar seperti kerbau. Setelah hewan
korbannya terbunuh, para singa betina menyerahkan karkas hewan buruannya kepada
singa jantan agar menyantapnya terlebih dahulu. Perilaku ini mirip dengan yang
terjadi pada sebagian bangsa manusia. Lalu bagian mana yang biasanya disukai
untuk disantap terlebih dahulu? Singa jantan umumnya memilih bagian isi perut
atau jeroan sebagai makanan favoritnya. Bagian karkas ini memang lezat dan
memiliki kandungan air yang banyak. Setelah jantan selesai makan barulah para
betina mendapatkan gilirannya. Namun terkadang ketika suasana hatinya sedang
galau, singa jantan mengangkangi makanannya sendiri dan tidak mengizinkan
anggota lainnya untuk ikut menikmatinya. Kalau situasinya sudah seperti ini,
para singa betina tidak kehilangan akal. Mereka lalu mengajak anak-anak singa
yang masih imut-imut untuk ikut
makan. Singa jantan sangat sayang pada anaknya sendiri dan membiarkan mereka
ikut makan. He he he!
Jika singa
jantan menyerahkan tugas mencari makan kepada betinanya, lalu apa pekerjaan
mereka? Singa jantan berdua atau bertiga melakukan patroli di wilayah
kekuasaannya. Mereka menandai teritorinya lewat lengkingan atau auman suaranya,
menggesekkan tubuhnya pada pepohonan, dan membuang kotorannya. Sesekali singa
jantan terlibat perkelahian dengan jantan asing lainnya yang ingin menyusup.
Jantan penyusup yang biasanya terdiri dari dua jantan pengembara ini sangat
berbahaya bagi kelangsungan kawanan ini. Mereka akan mengambil alih kekuasaan
dan membunuh anak-anak singa. Tujuannya agar singa-singa betina berhenti
menyusui dan memasuki masa birahi kembali, sehingga bisa dikawini oleh para
jantan penyusup ini.
Pada saat musim
kawin sepasang singa melakukan kopulasi selama kurang lebih 20 detik dan dalam
sehari mereka bisa berhubungan badan sampai 50 kali. Tujuannya agar pembuahan
bisa berhasil dan selama masa kawin ini keduanya akan kehilangan nafsu makan.
Setelah singa betina bunting, ia akan melahirkan anaknya dalam waktu 110 hari.
Anak yang dilahirkan sebanyak satu hingga enam ekor. Induk yang akan melahirkan
biasanya mengasingkan diri dari kawanannya. Agar anaknya bisa bertahan dan
selamat dari pemangsa, induknya bisa beberapa kali memindahkan lokasi
sarangnya. Caranya dengan menggendong anaknya pada tengkuknya, agar pemangsa tidak
mengendus bau anaknya. Perilaku induk singa memindahkan anaknya persis sama
seperti kelakuan kucing beranak di rumah kita. Induk singa menyusui anaknya
hingga 10 bulan, dan mereka tidak keberatan menyusui bayi singa yang bukan anak
kandungnya. Jadi dalam satu kawanan para singa betina akan mengatur, agar masa
kehamilan mereka bisa berlangsung secara berbarengan.
Singa dapat
hidup di alam bebas selama 14 tahun, dan jika dipelihara di kebun binatang bisa
mencapai 20 tahun. Tentu saja masih banyak cerita kehidupan singa di habitatnya
yang menarik untuk diketahui, namun kita akan beralih ke topik lain, yakni
bagaimana singa berpengaruh pada kebudayaan Tiongkok.
Seperti yang
kita baca tentang keberadaan kucing besar di dunia, macan tutul bisa ditemukan
di daratan Tiongkok, namun singa adalah satwa asing di negeri ini. Penguasa di
Iran dan Afganistan pada ratusan tahun yang lalu menghadiahkan singa hidup
kepada Kaisar Tiongkok untuk dipelihara di lingkungan istana. Hadiah ini
dipersembahkan sebagai balas jasa atas dibukanya akses perdagangan
internasional melalui Jalan Sutera yang legendaris itu. Setelah orang Tionghoa
melihat keberadaan hewan perkasa ini, timbul imajinasi mereka bahwa kekuatan
singa menyamai sang naga, hewan mitologis yang telah berjaya semenjak Tiongkok
mengenal peradaban.
Alkisah di satu
dusun, satu makhluk aneh dan mengerikan tiba-tiba muncul dan ia mulai memangsa
orang dan hewan buas lainnya. Makhluk mengerikan itu dinamakan nien (yang jika dilafalkan mirip dengan
kata Mandarin lainnya yang berarti "tahun"), begitu lincah dan ganas,
bahkan banteng dan harimau tidak dapat bertahan menghadapinya. Dalam
keputusasaan mereka, orang dusun lalu memanggil singa untuk membantu mereka.
Segera setelah melihat makhluk yang mengerikan itu, singa langsung menyergap
dan menerkamnya, yang membuat nien
tersebut lari tunggang langgang dan berteriak-teriak, "awas kalian! Aku
akan datang lagi lain kali dan aku akan menuntut balas."
Setahun
kemudian nien yang sama datang lagi
ke tempat tinggal mereka untuk membalas dendam. Singa yang diminta
pertolongannya saat itu sedang sibuk dengan tugas barunya, yakni menjaga pintu
gerbang istana kaisar sehingga ia tidak dapat memberikan bantuan. Penduduk
dusun tidak kehilangan akal. Mereka dengan tergesa-gesa mengambil batang bambu,
memotong dan menghaluskannya, membentuk sebuah kerangka kepala hewan,
menutupinya dengan sehelai kain, dan melukis wajah garang singa jantan di
permukaan kain. Dua orang lelaki merangkak ke bawah kain panjang itu, seorang
di depan menggerakkan kepalanya dan seorang lagi mengikutinya mewakili tubuh
bagian belakang dan ekor singa. Mereka berdua lalu menggerakkan kepala dan
tubuh bagian belakang, lalu disertai dengan tiruan lolongan dan auman singa,
keduanya merangsek maju menghadapi makhluk mengerikan itu. Berhadapan dengan
makhluk singa-singaan ini nien
terkejut dan ia kembali melarikan diri. Penduduk dusun pun bersyukur dan mereka
semua selamat.
Gerakan dua
penari di bawah selubung topeng singa ini menggambarkan keberanian, stabilitas,
dan keunggulan; dikenal sebagai tarian singa atau lion dance , dan di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan atraksi
barongsai. Tarian singa yang biasanya dilakukan pada masa peringatan Tahun Baru
Imlek, dimaksudkan untuk mengusir hantu dan iblis jahat seperti halnya nien, yang juga takut jika mendengar
suara keras. Selama tarian berlangsung, mimik wajah dan gerakan tubuh sang
singa, mewakili hewan perkasa ini yang sedang bertarung melawan makhluk jahat.
Selama pertunjukan berlangsung, bunyi dentuman tambur mengikuti gerak singa,
sedangkan gong dan simbal mengikuti irama tambur. Tarian singa bermula dan
berakhir di kuil, tempat singa memberikan penghormatan kepada kuil dan para
dewata juga ke aula tempat para leluhur disembahyangi. Prosesi tarian singa ini
berlanjut ke jalan raya tempat tinggal penduduk, serta mampu memberikan
kegembiraan dan kesukacitaan kepada mereka semua.
Berbicara
mengenai keagungan singa kita pasti teringat pada Kaisar Asoka, yang berjasa
mengembangkan agama Buddha hingga ke mancanegara. Pada masa pemerintahannya
Asoka mendirikan prasasti dan monumen berupa tiang batu yang megah dan indah.
Pada satu monumen yang berada di Sarnath, tempat Sang Buddha untuk pertama kali
memutar Roda Dharma, ada satu tiang batu yang masih terawat dengan baik. Bagian
atas atau hulu tiang terdapat patung empat ekor singa-asia yang berdiri saling
membelakangi. Di bawah kaki singa ini digambarkan sebuah dharma-cakra atau roda-dharma yang sedang berputar. Patung yang
dibentuk dan diukir secara indah ini dibuat sekitar tahun 250 seb.M. Tugu
batunya masih berdiri di tempat asalnya, tetapi hulu tiang telah dipindahkan
untuk dipelihara dan dipamerkan di Museum Sarnath, negeri bagian Uttar Pradesh,
India.
Empat singa
yang saling membelakangi dimaknai sebagai empat nilai yang sama pentingnya.
Singa banyak dipergunakan sebagai lambang Buddha, seperti yang terdapat pada
stupa-stupa di Sanchi. Sedangkan angka empat merujuk pada Empat Kesunyataan
Mulia. Istilah "Shakyasimha" atau "Sakyasenge" dalam bahasa
Tibet, mengacu pada kata Sanskerta "simha" yang berarti singa. Singa
dianggap sebagai raja dari semua binatang. Jadi Shakyasimha adalah "Singa
dari Klan Sakya" alias Sang Buddha itu sendiri. Selain Buddha sendiri,
Padmasambhava dalam kepercayaan Tibet dianggap sebagai Buddha kedua dan ia
dipanggil juga sebagai Shakyasimha. Kembali pada peninggalan berharga empat
singa pada hulu tiang Asoka, komite yang mempersiapkan kemerdekaan India
membuat gambar dua dimensi, sehingga hanya tampak tiga singa (singa yang di
belakang tidak terlihat). Gambar tiga ekor singa-asia ini kemudian dijadikan
Lambang Negara India sejak tanggal 26 Januari 1950. Di bawah lambang itu
tertulis "Satyameva Jayate" dalam aksara Dewanagari yang bermakna
'Hanya Kebenaran yang Berjaya'. Lambang negara India ini setara dengan yang
kita miliki: Garuda Pancasila dengan Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam salah
satu risalahnya, Bhikkhu Nanamoli mengungkapkan "Auman Singa" dalam The Lion's Roar : "Diantara kawanan
hewan yang menjelajah alam liar, entah itu di hutan, di bukit, atau di lapangan
luas, singa secara universal dikenal sebagai sang pemimpin. Pengejawantahan
kekuatan yang berasal dari dalam, bahwa ia adalah yang paling agung dalam sikap
dan perilaku, yang terkuat, terunggul dari segi kecepatan, paling berani, dan
pemegang kekuasaan. Ekspresi supremasi singa terdapat pada aumannya. Auman yang
mampu membungkam tangisan, lolongan, jeritan, lenguhan, gonggongan, dan geraman
hewan lain yang lebih rendah. Ketika singa keluar dari sarangnya dan
menyuarakan aumannya, semua hewan lain pun bungkam dan mau tidak mau mereka
semua turut mendengarkannya. Pada momen seperti itu tidak ada satu pun dari
mereka yang mampu membuka mulutnya lagi, apalagi datang ke tempat terbuka untuk
menantang raungan tak-tertandingi dari sang singa yang berwajah emas."
Dalam beberapa
Sutta pada Kanon Pali, terkadang ditemukan citra kehidupan hewan yang terdapat
di belantara India yang memiliki keanekaragaman satwa-satwa yang mengagumkan.
Dalam berbagai perumpamaan, Sang Buddha merujuk pada dirinya sendiri, yang mana
ia memilih singa yang agung untuk mewakili dirinya. Dalam ranah spiritual,
auman singa jantan menggambarkan proklamasi Dhamma yang berani dan menggelegar.
Seperti contohnya dalam kitab Majjhima Nikāya, ada dua Sutta yakni pada No. 11
dan 12 yang menggunakan metafora auman singa. No. 11 dinamakan "Wejangan
Pendek tentang Auman Singa" dan No. 12 diberi judul "Wejangan Panjang
tentang Auman Singa". Anda yang berminat untuk membaca dan mempelajarinya
lebih jauh, bisa merujuknya langsung pada kitab suci yang dimaksud di atas.
sdjn/dharmaprimapustaka/210310
Tidak ada komentar:
Posting Komentar