Rabu, 24 Februari 2021

DICELA?, MENGAPA HARUS RISAU?

 

DICELA?, MENGAPA HARUS  RISAU?

 

 



Kejadian ini dialami oleh penulis sendiri. Tentu berlangsung jauh sebelum ada pandemi Covid-19, yang memporakporandakan kehidupan manusia di berbagai belahan dunia. Seorang kawan baik dari isteri penulis mengundang kami ke resepsi pernikahan anaknya yang dilangsungkan pada satu akhir pekan di Jakarta. Kawan yang mengundang kami sudah lama dikenal sebagai orang berada, seorang pengusaha yang telah lama berkecimpung di bisnis pertambangan.

 

Resepsi perkawinan diselenggarakan di sebuah ballroom hotel berbintang lima di kawasan Jakarta Pusat. Memasuki lokasi perhelatan, para tamu disambut oleh belasan gadis muda cantik yang mengenakan gaun pesta model-kemben berwarna merah-muda. Bersolek dengan menambahkan pupur di pipi, ditambah dengan alis dan bulu mata yang lentik, serta bibir dengan gincu nan merah merona, mereka bak bidadari yang turun dari kahyangan. Mereka dengan cekatan melayani para undangan, mempersilahkan agar buku-tamu diisi, dan tak lupa menerima angpao yang segera dimasukkan ke dalam kotak.

 

Begitu masuk ke ruangan resepsi yang lapang dan berhawa sejuk, barisan kerabat kedua mempelai berpakaian jas dan gaun pesta menyambut kedatangan kami untuk bersalaman. Kami semua terpesona melihat keasrian dan mewahnya dekorasi aula, baik itu panggung pelaminan, lorong setapak bagi prosesi kedua pengantin, maupun tatanan meja dan pondok tempat meletakkan berbagai hidangan. Seluruh dekorasi ditata dengan apik dan nyaris sempurna, dengan memakai ratusan bunga-petik asli yang masih segar dan bukan tersusun dari bunga-bunga plastik. Sebuah layar-LED raksasa terpasang di dinding dan kamera-mobile yang digerakkan di ketinggian, mampu merekam episode penting selama jalannya acara.

 

Para hadirin langsung berdiri dan bertepuk tangan ketika kedua mempelai melakukan prosesi memasuki aula resepsi menuju pelaminan. Tampak dua sejoli bak raja-sehari dengan wajah berseri-seri menebar senyum kepada para hadirin. Yang laki-laki berwajah tampan memakai setelan lengkap dengan jas berwarna gelap, sedangkan yang perempuan begitu rupawan dengan gaun pengantin berwarna putih dengan rok yang menjuntai menyapu lantai. Setelah ritual potong kue pengantin, bersulang minuman, ucapan terima kasih dari keluarga, dan doa syukur usai, pesta pun dimulai. Suasana menjadi semakin meriah, ketika seorang biduan wanita ternama beserta awak band mulai mendendangkan lagu-lagu Barat, Mandarin, dan Indonesia populer.

 

Sebagian undangan bergegas menuju pelaminan guna menghaturkan ucapan selamat kepada kedua mempelai dan orang tua mereka, sedangkan hadirin yang lain langsung menyerbu dan menyantap hidangan yang telah disediakan. Bukan main berlimpahnya makanan dan minuman yang disediakan oleh pengantin baru dan keluarganya itu untuk menjamu tamunya yang hampir berjumlah seribu orang. Mulai dari salad bar dan aneka sup, hidangan prasmanan, hingga buah-buahan dan hidangan-penutup; yang semuanya merupakan menu pilihan yang diolah dari bahan-bahan terbaik. Makanan dan minuman yang disediakan di berbagai pondok-saji pun tidak biasa ditemukan di acara resepsi kebanyakan. Ada udang-karang besar yang ditumis lengkap dengan kentang dan sayuran, iga sapi panggang impor, pie ikan salmon dengan sausnya, nasi hainam dengan bebek-peking, dan konter minuman keras. Rasanya? tidak usah ditanya, pokoknya semuanya maknyuz!

 

Para pembaca, itulah gambaran umum yang sekarang ini terjadi pada perhelatan kaum kaya sewaktu mereka menikahkan anak-anak mereka. Dalam tempo yang hanya berlangsung dua hingga tiga jam, semua kenikmatan duniawi seolah disuguhkan untuk memanjakan para tamu undangan. Para tamu dan tuan rumah yang semuanya berbusana necis dan wangi, suasana pesta dalam lingkungan yang mewah dan menawan, hiburan musik yang mewartakan kesukacitaan, dan pelbagai hidangan yang lezat dan istimewa. Tentu saja pesta mewah semacam itu menyesuaikan dengan kondisi zamannya. Dulu orang tua kita bercerita perhelatan perkawinan orang besar di zaman kolonial, paling tidak berlangsung selama tiga hari tiga malam.

 

Menarik untuk menyimak apa kesan para tamu undangan beberapa hari setelah perhelatan akbar itu usai. Sebagian besar memuji dan berterima kasih kepada keluarga pengantin. Namun ada segelintir dari mereka yang nyinyir atau berkomentar sinis. "Dasar orang kaya!", "Sok pamer!", dan sejumlah komentar negatif lainnya. Alih-alih bermudita-cita atau turut berbahagia terhadap kesuksesan keluarga yang mengundang, malah iri hati yang diungkapkan. "Mestinya pestanya diselenggarakan dengan sederhana!" komentar yang lain. Aneh juga mendengar orang yang memiliki jalan pikiran seperti itu. Orang kaya dan terpandang menyelenggarakan perhelatan yang sederhana dan biasa-biasa saja, tentu akan menjadi bahan olok-olokan dan gunjingan para kolega dan kerabatnya. Orang kaya yang berpura-pura miskin mungkin hanya ada di layar kaca Sinetron Indonesia atau Drama Korea.

 

Pernah juga penulis menghadiri resepsi perkawinan di tempat lain. Pada saat itu tetangga di kompleks tempat kami tinggal menyampaikan undangan pernikahan puteranya. Kami datang ke tempat pesta yang kebetulan diadakan di sebuah balai-pertemuan pada sebuah kompleks Kementerian. Kebetulan si bapak mempelai pria berdinas di Kementerian tersebut. Resepsi pernikahan berjalan lancar seperti lazimnya dan dihadiri kurang lebih tiga ratus lima puluh undangan. Ruang pesta berupa aula yang biasa dipakai untuk penyelenggaraan seminar, dan di sana ada panggung pelaminan yang didekor seadanya. Di tengah ruangan ada dua deret meja-panjang, tempat penyelenggara meletakkan pelbagai hidangan, dan di pojok masih ada sebuah meja besar tempat menaruh buah-buahan dingin.

 

Para tamu setelah menyampaikan ucapan selamat langsung menikmati hidangan prasmanan dan mengambil buah-potong yang disediakan. Setelah bersilaturahmi dengan para undangan yang kami kenal, dan mengambil foto bersama kedua mempelai, kami pun pulang. Nah, Anda pingin tahu komentar para tamu? Ya, sebagian besar oke-oke saja, tetapi ada juga yang tidak puas. "Payah, masa makan di kondangan cuma segitu. Tidak ada pondok-makanan sama sekali?" Kita yang sudah diundang untuk berbagi kebahagiaan – bukan untuk berwisata kuliner – hanya bisa geleng-geleng kepala saja. Bukankah tidak setiap orang mampu menyelenggarakan perhelatan dengan hidangan yang serba lengkap dan bervariasi?

 

Pengalaman lain didapat sewaktu kami menghadiri upacara perkawinan puteri seorang sahabat, yang dilangsungkan di sebuah vihara. Setelah rentetan upacara telah berlangsung menurut urut-urutan yang telah ditetapkan, pada bagian penghujung upacara, romo pandita yang bertugas memimpin upacara memberikan petuah-petuah kepada kedua mempelai. Petuah berupa wejangan bahwa perkawinan bukan saja merupakan keterikatan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, melainkan satu ikatan-sakral antara suami dan isteri berdasarkan ajaran agama Buddha. Romo pandita juga menasehati agar kedua insan yang baru menikah ini dapat membentuk keluarga yang harmonis dan bahagia. Dalam ajaran Islam keluarga ideal ini, populer disebut sebagai "keluarga sakinah". Kita juga di lingkungan Buddhis punya istilah sendiri, yakni "keluarga hitta-sukhaya".

 

Demikianlah upacara perkawinan sahabat kami telah selesai dilangsungkan di vihara, dan resepsi perkawinan baru diadakan dua minggu kemudian. Kebahagiaan memancar dari wajah kedua pengantin baru dan keluarganya. Hanya karena ada halangan, pihak pengantin laki-laki hanya mengirimkan saksi sebagai pengganti kehadiran orang tuanya. Keduanya sejak hari itu sudah sah sebagai suami-isteri, hanya tinggal menunggu resepsi pernikahan, namun rumor iseng beredar di luaran. Gosip mengatakan: "Kayaknya orang tua mempelai pria tidak menyetujui perkawinan mereka!"  Memang desas-desus itu begitu kejam menghakimi seseorang, tanpa mau menyelidiki fakta di baliknya. Kami yang mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya hanya bisa mengelus dada. Faktanya, orang tua mempelai pria yang tinggal di luar pulau berhalangan hadir, semata-mata karena alasan kesehatan.

 

Demikianlah pembaca yang budiman. Dari ketiga contoh kasus di atas kita dapat melihat, betapa pun orang sudah begitu baik dan sempurna menyelenggarakan acara perkawinan, masih saja ada orang yang mengkritik dan mencela mereka. Sekarang bagaimana kejadiannya kalau seseorang tahu-tahu sudah menikah, tetapi temannya tidak diundang?

 

Beberapa belas tahun yang lalu sewaktu surat kabar masih berjaya dan banyak pembacanya, iklan-keluarga lazim ditempatkan di lembar tersendiri. Iklan-keluarga biasanya berupa berita duka cita dan ada kalanya memuat iklan "kawin-tamasya". Dengan "kawin-tamasya" sepasang pengantin yang baru berumah tangga mengumumkan kepada khalayak yang mereka kenal, bahwasanya mereka telah menikah. Jadi artinya perkawinan secara agama atau adat telah dilangsungkan, namun ritual itu hanya disaksikan oleh keluarga terdekat saja. Tidak ada keramaian atau pesta untuk merayakannya. Alasan utama mereka tidak menggelar resepsi tidak lain menghindari keluarnya biaya yang tidak sedikit. Dengan demikian dana yang sedianya ditujukan untuk mengadakan perhelatan dialihkan menjadi dana untuk bertamasya, baik untuk berbulan-madu di dalam negeri atau pun di luar negeri.

 

Sekarang di zaman yang dikuasai oleh media sosial, tidak perlu kita memasang iklan "kawin-tamasya" tentunya. Kita cukup mengabarkan pernikahan kita kepada teman-teman kita dengan mengubah status di akun media sosial yang kita miliki. Praktis dan tidak mengeluarkan biaya sepeser pun, bukankah begitu? Begitu status lajang Anda berubah menjadi "telah menikah", maka dapat dipastikan ucapan selamat akan membanjiri akun media sosial Anda. Namun seperti yang bisa diduga, masih ada orang di luar sana yang tetap nyinyir. Bahkan ada yang berkomentar: "Keduanya tidak mengundang kita, mungkin malu karena mempelai wanitanya sudah hamil duluan!" Tanggapan miring itu membuat kita menggumam, "Astagfirullah!", tapi Anda sadar beginilah kita melakoni hidup di dunia ini.

 

Ada kisah menarik yang patut kita simak untuk melengkapi cerita di atas itu, yang berasal dari masa ketika Buddha kita hidup. Alkisah seorang pengikut awam Beliau yang bernama Atula sekali waktu bersama dengan sekumpulan sahabatnya bermaksud menambah wawasan pengetahuan mereka tentang Dhamma. Di satu lokasi petapaan mereka menemui seorang bhikkhu senior yang bernama Bhikkhu Revata. Sang bhikkhu senior adalah siswa yang memiliki kepakaran dalam bidang meditasi, dan ia sehari-hari menghabiskan waktunya hanya untuk bermeditasi di tempat tinggalnya. Begitu mereka menemuinya Atula dan para sahabatnya langsung menanyakan satu subyek perihal ajaran Sang Guru. Namun sang bhikkhu yang ditanya hanya berdiam tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Setelah melakukan penghormatan mereka pun undur diri dari sana.

 

Kecewa mendapatkan kenyataan ini, Atula dan para sahabatnya lalu menjumpai Yang Mulia Sariputta, siswa kepala Sang Buddha, bhikkhu yang paling pintar dalam hal penguasaan materi Dhamma. Sang bhikkhu kepala menerima mereka dengan gembira, dan selanjutnya ia membabarkan ajaran secara rinci dan panjang-lebar. Setelah pembabaran usai mereka pun lalu berpamitan. Mendengarkan pembabaran ajaran sambil terkantuk-kantuk mereka pun mencela, karena ajaran yang diberikan terlalu panjang dan bertele-tele.

 

Selanjutnya mereka menemui Bhikkhu Ananda, bhikkhu pengawal dan asisten pribadi Sang Guru. Yang Mulia Ananda menjawab pertanyaan yang sama itu dengan jawaban yang ringkas namun padat. Setelah mereka pamit pada sang bhikkhu, Atula dan para sahabatnya masih tetap kecewa dan mereka menyebut ajaran yang baru disampaikan itu terlalu ringkas dan tidak lengkap. Selanjutnya mereka menghadap Sang Guru dan menceritakan kejadian yang baru mereka alami.

 

Sang Guru menerima keluhan mereka, dan ia bersabda: "Wahai Atula, hal ini telah ada sejak zaman dahulu, bukan hanya terjadi pada masa sekarang. Mereka mencela orang yang duduk diam, mereka mencela orang yang banyak bicara, dan mereka juga mencela orang yang sedikit bicara.Tak ada seorang pun di dunia ini yang tidak dicela." Dicela dan dipuji adalah dua sisi mata uang yang pasti dialami setiap manusia dalam hidupnya.

 

Jadi demikianlah kenyataannya, dicela dan dipuji menurut ajaran agama Buddha adalah dua dari delapan kondisi duniawi, yang pasti dialami seseorang. Jika keduanya tidak bisa dihindari, adalah bijak jika kita melatih diri dengan mengembangkan ketenangseimbangan, seperti yang ditorehkan oleh untaian kata di bawah ini:

 

"Dicela dan dicaci-maki tidak bakal menjadi kotoran;

Dipuji dan diagung-agungkan tak akan menjelma menjadi rembulan;

Tak usahlah meradang ketika kita menerima celaan;

Tak perlu pula melambung saat kita menuai pujian,"

 

Sewaktu kita menerima pujian kita dapat menerimanya dengan hati berbunga-bunga, tetapi saat kita dicela kita cenderung menjadi kecil hati. Namun saat kita dicela, seyogianya kita dapat memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mencari kelemahan yang ada di dalam diri kita sendiri, yang selama ini tidak kita sadari. Sebagai penutup buah pena ini, penulis meminta Anda untuk merenungkan kutipan berikut ini, yang merupakan satu petuah dari Nabi Lao Zi: "Kata yang jujur tidaklah indah, kata yang indah tidaklah jujur."

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/210224

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar