LELUHUR
Peristiwanya
terjadi beberapa tahun yang lalu. Saat itu penulis diminta untuk memberikan
ceramah Dharma kepada umat vihara, yang mana mayoritas dari mereka adalah
anak-anak yang masih menuntut ilmu di bangku sekolah dasar dan sekolah menengah
pertama. Pembicaraan beralih pada keberadaan meja-abu leluhur kami dari garis
keturunan bapa, yang sewaktu penulis masih kecil berada di rumah Tuape atau paman (kakak dari ayah). Pada
dinding di bagian atas meja-abu terpasang potret hitam-putih leluhur keluarga
kami, diantaranya engkong atau kakek
dan ema atau nenek yang telah
meninggal dunia.
Penulis
iseng-iseng bertanya kepada para hadirin, "Kalian tentu semua memiliki
kakek dan nenek. Coba hitung ada berapa kakek dan nenek?" Sebagian dari
mereka masih keliru menjawabnya, dengan mengatakan hanya memiliki satu kakek
dan satu nenek, padahal kenyataannya ada dua kakek dan dua nenek. Berikutnya
penulis mengajukan pertanyaan lanjutan kepada mereka, "Sekarang coba
hitung ada berapa kakek-buyut dan nenek-buyut yang kalian miliki?" Mulut
anak-anak sebagian berkomat-kamit dan setelah diberi penjelasan, akhirnya
mereka paham bahwa kakek-buyut adalah ayah dari kakek dan nenek mereka. Anak
yang cerdas langsung menjawab dan berkata bahwa ia punya masing-masing empat
orang kakek-buyut dan nenek-buyut.
Keberadaan
empat pasang kakek-nenek-buyut mungkin di luar batas pemahaman kita
sehari-hari, karena hanya sedikit dari kita yang masih sempat berjumpa dan
memiliki kenangan tentang sosok kakek dan nenek kita sendiri. Jika kita pernah
bertemu dengan salah satu dari nenek-buyut kita, peristiwa itu pasti merupakan
kejadian langka yang terjadi sewaktu kita masih kanak-kanak.
Saya ingin
mengajak Anda sekalian, para pembaca yang terhormat, untuk merenungkan sebentar
mengenai keberadaan leluhur kita. Empat pasang kakek dan nenek buyut ada di
generasi ketiga sebelum kita. Pernahkah kita menghitung ada berapa banyak
leluhur kita pada generasi kesepuluh sebelum kita? Jika kita menghitungnya maka
ada 512 pasangan suami-isteri nun jauh di masa silam yang merupakan leluhur
kita langsung. Berarti ada seribu-dua-puluh-empat orang yang terlibat dalam
keberadaan kita di masa kini. Jika ada satu saja diantara mereka itu tidak
terlibat dalam perkawinan dan tidak mendapatkan keturunan, maka kita dan saudara-sekandung
kita tidak akan pernah hadir di muka bumi ini.
Lalu ada
pertanyaan seberapa jauhkah generasi kesepuluh sebelum kita ini. Dengan
hitungan kasar, keberadaan mereka ada sekitar 250 hingga 300 tahun sebelum era
kita, atau antara tahun 1720 hingga tahun 1770 (yakni pada abad ke-18!).
Padahal kita mengetahui dari asal-usul manusia modern (yang dinamakan homo sapiens), keberadaan nenek moyang
kita di bumi ini sudah berlangsung selama empat puluh ribu tahun. Jadi jika
kita merunut leluhur-jauh kita, entah sudah berapa banyak orang yang terlibat,
sehingga mereka beranak-pinak dan akhirnya memastikan eksistensi kita sebagai
manusia.
Pentingnya
leluhur dan jasa mereka bagi kita sekalian telah disadari oleh nenek moyang
kita. Pada suku-suku primitif pemujaan pada leluhur menjadi ritual dan agama
yang mereka anut dan mereka jalani selama hidup mereka. Di dunia ini, bangsa
yang masih setia menjalankan ritual dan agama yang memuja peran leluhur tidak
lain adalah bangsa Tionghoa, yang diakulturasikan dalam bentuk agama orang
Tionghoa.
Setelah buyut,
kakek-nenek, dan kedua orang tua kita telah tiada mereka tetap dihormati dan
dipuja oleh keturunannya. Keberadaan meja-abu di rumah keturunan mereka menjadi
sebuah medium, tempat yang masih hidup berinteraksi dengan yang telah mati.
Meja-abu leluhur biasanya berfungsi sebagai altar, tempat meletakkan sebuah
wadah-abu atau hiolau yang berisikan
abu dupa sisa pembakaran, sepasang lilin atau pelita, dan sisanya yang masih
luas untuk meletakkan barang sesajian. Di sekitar meja-abu yang masih dalam
ruang-sembahyang, dipasang pula potret leluhur serta papan bertuliskan huruf
kanji yang memuat nama leluhur, pesan harapan atau pujian.
Di rumah tempat
meja-abu diletakkan merupakan ruang privat, yang mana para keturunan mereka
yang masih hidup melaksanakan pujabakti terhadap arwah leluhur. Dalam setahun
paling tidak ada empat kali sembahyang besar, tiga kali sembahyang kecil, dan sembahyang-reguler
yang dilaksanakan setiap tanggal 1 dan 15 menurut penanggalan bulan. Pada
setiap perayaan altar akan dipenuhi dengan berbagai macam sesajian dan
perlengkapan sembahyang, sesuai dengan tema pujabakti apa yang sedang
dirayakan. Ruang sembahyang tempat interaksi dengan leluhur, adalah ruangan
yang terbaik dalam sebuah rumah. Ruang sembahyang ini tidak lazim ditempatkan
di ruang tamu, di kamar tidur, dekat WC, atau di sebelah dapur, melainkan di
ruang keluarga sebelah dalam dan jika memungkinkan memiliki pintu di sisi kiri
dan kanannya.
Menurut ajaran
kuno yang jauh berakar di masa lalu dan kemudian diajarkan pula oleh Guru Kong
(551-479 s.M.), yakni pendiri agama Konghucu, leluhur merupakan pihak yang
paling dihormati. Kemudian semua orang yang lebih muda harus bersikap hormat
terhadap orang yang lebih tua. Dan seorang anak wajib berbakti kepada orang
tuanya. Pengertian yang cocok untuk menggambarkan bakti ini terdapat dalam
istilah mandarin xiào, yang
terpampang pada sisi kiri gambar yang menyertai artikel ini (lihat gambar di
atas). Xiào ini dalam bahasa
Hokian dilafalkan sebagai hàu. Xiào diterjemahkan dalam bahasa Inggris
sebagai filial piety dan
dialihbahasakan sebagai "kesalehan-anak". Menarik untuk menyimak asal
mula kata xiào ini, yang merupakan
perpaduan antara aksara lao (tua)
di atas aksara zi (putera),
yang bermakna orang tua dan leluhur ditopang oleh generasi yang lebih muda.
Di atas
disebutkan bahwa di dunia ini hanya bangsa Tionghoa yang masih memuja
leluhurnya dengan lebih intens dibandingkan bangsa-bangsa lainnya. Bagaimana
tidak intens? Setiap bulan paling tidak dalam dua kesempatan ia menghampiri
meja-abu leluhurnya, membersihkannya, menyediakan barang sesajian, menyalakan
lilin dan mempersembahkan dupa, serta dari mulutnya dilantunkan doa-doa yang
mengharapkan agar semua leluhurnya hidup sejahtera dan bahagia di alam sana.
Sewaktu seorang Tionghoa yang masih muda lulus dalam ujian sekolah, maka yang
pertama dilakukannya adalah membakar dupa di meja-abu dan bersujud-syukur di
depan leluhurnya. Demikian laku yang sama dipertunjukkannya pula sewaktu ia
mendapatkan kenaikan pangkat, mengikat janji sehidup-semati dengan pasangannya,
dan memperoleh kesuksesan besar dalam hidupnya.
Inilah yang
membedakan antara orang Tionghoa dengan katakanlah orang Barat atau orang bule.
Orang Barat barangkali memiliki Tuhan di hatinya, tetapi melupakan dan tidak
langsung melibatkan leluhurnya dalam penghayatan sehari-hari. Jadi dimana letak
perbedaannya? Dapat ditegaskan dalam hati orang Tionghoa yang saleh,
yakni ia yang masih berkiblat dan memuja leluhurnya, merasakan bahwa nenek
moyangnya selalu hadir di dalam hatinya, dan dengan demikian dirinya pun tetap
hidup dalam hati anak-anak dan keturunannya. "Tidak ada leluhur, tidak ada
pula kita. Tidak ada kita, tidak ada anak-anak dan keturunan kita." Begitu
polos dan sederhananya prinsip ini.
Dalam Sabrahmaka Sutta (Itivuttaka, 206), Sang
Buddha bersabda: "Ayah dan ibu disebut Brahma, guru awal dan pantas
dipuja, ... ." Siapa itu Brahma? Mungkin ada yang ingat pelajaran di
sekolah dulu, bahwasanya dalam kepercayaan India Kuno ada tiga-serangkai, yakni
Brahma-Vishnu-Shiva. Brahma dikenal sebagai Pencipta, Vishnu Sang Pemelihara,
dan Shiva Sang Penghancur. Jadi jelas Brahma adalah pencipta manusia dan alam
semesta. Tanpa ada Brahma tidak ada manusia. Jadi tanpa ada ibu dan ayah tidak
akan ada kita sebagai anak-anaknya. Begitu tinggi kedudukan Brahma, yang
membuat orang India menyembah dan memujanya.
Kesalehan-anak
diuraikan Konfusius dalam bukunya Buku
Klasik tentang Kesalehan-Anak atau Xiaojing,
yang di dalamnya berisi dialog antara Konfusius dengan siswanya Zengzi. Buku
panduan ini digunakan dalam pendidikan dasar sejak zaman Dinasti Han di
Tiongkok untuk mata pelajaran etika. Ada sebuah kutipan yang cukup terkenal:
"Ketika mereka melayani ayah mereka, pun mereka melayani ibu mereka, jadi
anak-anak mencintai keduanya sama-rata. Dengan berbakti seperti itu, mereka
melayani pimpinannya, dan menghormatinya dengan setara" (Legge, James, The Classic of Filial Piety). Dimulai
dari lingkup keluarga, dan jika semua anak melakukan bakti terhadap kedua orang
tuanya, berarti ia melayani dan menghormati pimpinannya, yang pada akhirnya
akan mewujudkan keharmonisan dalam masyarakatnya.
Kesalehan anak
adalah sebuah konsep yang di dalamnya termasuk mengasihi dan menghormati orang
tuanya, yang diungkapkan dalam tingkah laku dan kebiasaan sehari-hari. Anda
para pembaca yang aktif di media sosial mungkin pernah melihat sebuah video,
yang menggambarkan bagaimana seorang anak mengungkapkan cinta dan rasa hormatnya
kepada orang tuanya. Dalam video itu digambarkan suasana pedesaan di Thailand.
Seorang pemuda yang berpakaian seragam layaknya seorang kadet di sebuah
instansi pemerintah turun dari bus yang membawanya hingga ke depan rumahnya.
Sang kadet yang mungkin baru mendapat cuti dari dinasnya, bergegas memasuki
halaman rumahnya, tempat orang-orang sekampungnya sedang beraktivitas di luar
ruangan. Pertama yang dilakukannya adalah mencari ibunya, mengambil air di
baskom, lalu bersimpuh di hadapan ibundanya. Selanjutnya ia mencuci kedua kaki
ibunya, lalu mengeringkannya dengan sepotong handuk. Sang ibu yang melihat
putera kesayangannya, kemudian membangunkannya, memeluk, serta menciumnya.
Setelah ibu mendapatkan ungkapan-cinta dan penghormatan dari puteranya, kemudian
giliran sang ayah mendapatkan perlakuan yang sama pula.
Sebagian anak
muda terutama mereka yang kini tinggal di perkotaan menilai apa yang dilakukan
pemuda desa itu sebagai hal yang lebai
alias berlebihan. Namun apa yang dilakukan pemuda itu adalah merupakan
kebiasaan dan kearifan-lokal yang tidak dibuat-buat. Begitulah adat dan tradisi
keluarganya. Kita boleh meniru dan mengajarkan anak-anak kita, agar paling
tidak dalam kesempatan istimewa seperti Hari Ibu, Tahun Baru Imlek, atau ketika
mereka menikah, untuk melakukan ritual cuci-kaki atau mempersembahkan minuman
teh kepada kedua orang tuanya.
Ungkapan kasih
sayang anak kepada orang tua juga dicontohkan pula dalam naskah-naskah kuno.
Konon di zaman dahulu kala, semasa kekuasaan Dinasti Han Timur (Th 25-220), ada
seorang anak laki-laki yang bernama Huang Xiang. Sungguh malang nasib Xiang
karena ia telah ditinggal mati oleh ibunya sejak ia berusia sembilan tahun.
Setelah ibunya meninggal dunia, ayahnya bekerja keras membanting tulang agar
keluarganya bisa bertahan hidup. Pembaca harus paham bahwa cerita ini
berlangsung di Tiongkok, yang musim dinginnya sangat menusuk tulang dan ketika
musim panas udaranya membuat semua orang seperti terbakar. Nah, si Xiang
ternyata seorang anak kecil yang memiliki hàu
yang tinggi, yang senantiasa berupaya meringankan penderitaan ayahnya. Di musim
panas, tanpa diketahui ayahnya, ia mengipasi kasur dan bantal tempat tidur,
hingga ayahnya bisa langsung tertidur di atas pembaringan yang kini menjadi
lebih sejuk. Di musim dingin saat kasur menjadi tempat yang sedingin es, Xiang
tidur dulu di atasnya sambil menyelimuti dirinya, dan setelah tempat tidur itu
menjadi hangat ia mempersilahkan ayahnya untuk tidur di sana. Kisah Xiang itu
masih membekas di benak penulis, padahal cerita itu disampaikan oleh almarhumah
Tuako (bibi dari pihak ayah) ketika
penulis masih kanak-kanak. Kisah ini sendiri bisa dibaca pada naskah aslinya: Shàn Zhěn Wēn Qīn (Ia Mengipasi Kasur dan Menghangatkan Selimut).
Setelah kita
membicarakan panjang lebar tentang leluhur dan ajaran xiào, pelajaran apa yang bisa kita ambil? Ajaran tentang rasa
cinta, bakti, dan penghormatan merupakan warisan nenek moyang kita yang
adiluhung, yang masih layak diteladani oleh kita sekalian, untuk diungkapkan
kepada orang tua kita sendiri. Tentu tidak terbatas kepada orang tua kandung,
tetapi juga terhadap mertua perempuan dan laki-laki, serta kerabat yang usianya
lebih tua dari kita. Di samping itu perhatian yang sama patut pula kita tujukan
kepada orang tua dan leluhur kita yang telah meninggal dunia. Lakukanlah
pujabakti dan persembahyangan secara berkala, kemudian perbanyaklah perbuatan
baik serta diikuti oleh ketulusan, agar jasa-jasa yang kita tanam melimpah
kepada para leluhur. Setelah para leluhur memperoleh kebahagiaan, kita sebagai
keturunannya akan dilindungi oleh mereka semua. Semoga hal itu terjadi sesuai
hukum alam.
sdjn/dharmaprimapustaka/210210
Tidak ada komentar:
Posting Komentar