Rabu, 10 Februari 2021

LELUHUR

 

LELUHUR

 



 

Peristiwanya terjadi beberapa tahun yang lalu. Saat itu penulis diminta untuk memberikan ceramah Dharma kepada umat vihara, yang mana mayoritas dari mereka adalah anak-anak yang masih menuntut ilmu di bangku sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Pembicaraan beralih pada keberadaan meja-abu leluhur kami dari garis keturunan bapa, yang sewaktu penulis masih kecil berada di rumah Tuape atau paman (kakak dari ayah). Pada dinding di bagian atas meja-abu terpasang potret hitam-putih leluhur keluarga kami, diantaranya engkong atau kakek dan ema atau nenek yang telah meninggal dunia.

 

Penulis iseng-iseng bertanya kepada para hadirin, "Kalian tentu semua memiliki kakek dan nenek. Coba hitung ada berapa kakek dan nenek?" Sebagian dari mereka masih keliru menjawabnya, dengan mengatakan hanya memiliki satu kakek dan satu nenek, padahal kenyataannya ada dua kakek dan dua nenek. Berikutnya penulis mengajukan pertanyaan lanjutan kepada mereka, "Sekarang coba hitung ada berapa kakek-buyut dan nenek-buyut yang kalian miliki?" Mulut anak-anak sebagian berkomat-kamit dan setelah diberi penjelasan, akhirnya mereka paham bahwa kakek-buyut adalah ayah dari kakek dan nenek mereka. Anak yang cerdas langsung menjawab dan berkata bahwa ia punya masing-masing empat orang kakek-buyut dan nenek-buyut.

 

Keberadaan empat pasang kakek-nenek-buyut mungkin di luar batas pemahaman kita sehari-hari, karena hanya sedikit dari kita yang masih sempat berjumpa dan memiliki kenangan tentang sosok kakek dan nenek kita sendiri. Jika kita pernah bertemu dengan salah satu dari nenek-buyut kita, peristiwa itu pasti merupakan kejadian langka yang terjadi sewaktu kita masih kanak-kanak.

 

Saya ingin mengajak Anda sekalian, para pembaca yang terhormat, untuk merenungkan sebentar mengenai keberadaan leluhur kita. Empat pasang kakek dan nenek buyut ada di generasi ketiga sebelum kita. Pernahkah kita menghitung ada berapa banyak leluhur kita pada generasi kesepuluh sebelum kita? Jika kita menghitungnya maka ada 512 pasangan suami-isteri nun jauh di masa silam yang merupakan leluhur kita langsung. Berarti ada seribu-dua-puluh-empat orang yang terlibat dalam keberadaan kita di masa kini. Jika ada satu saja diantara mereka itu tidak terlibat dalam perkawinan dan tidak mendapatkan keturunan, maka kita dan saudara-sekandung kita tidak akan pernah hadir di muka bumi ini.

 

Lalu ada pertanyaan seberapa jauhkah generasi kesepuluh sebelum kita ini. Dengan hitungan kasar, keberadaan mereka ada sekitar 250 hingga 300 tahun sebelum era kita, atau antara tahun 1720 hingga tahun 1770 (yakni pada abad ke-18!). Padahal kita mengetahui dari asal-usul manusia modern (yang dinamakan homo sapiens), keberadaan nenek moyang kita di bumi ini sudah berlangsung selama empat puluh ribu tahun. Jadi jika kita merunut leluhur-jauh kita, entah sudah berapa banyak orang yang terlibat, sehingga mereka beranak-pinak dan akhirnya memastikan eksistensi kita sebagai manusia.

 

Pentingnya leluhur dan jasa mereka bagi kita sekalian telah disadari oleh nenek moyang kita. Pada suku-suku primitif pemujaan pada leluhur menjadi ritual dan agama yang mereka anut dan mereka jalani selama hidup mereka. Di dunia ini, bangsa yang masih setia menjalankan ritual dan agama yang memuja peran leluhur tidak lain adalah bangsa Tionghoa, yang diakulturasikan dalam bentuk agama orang Tionghoa.

 

Setelah buyut, kakek-nenek, dan kedua orang tua kita telah tiada mereka tetap dihormati dan dipuja oleh keturunannya. Keberadaan meja-abu di rumah keturunan mereka menjadi sebuah medium, tempat yang masih hidup berinteraksi dengan yang telah mati. Meja-abu leluhur biasanya berfungsi sebagai altar, tempat meletakkan sebuah wadah-abu atau hiolau yang berisikan abu dupa sisa pembakaran, sepasang lilin atau pelita, dan sisanya yang masih luas untuk meletakkan barang sesajian. Di sekitar meja-abu yang masih dalam ruang-sembahyang, dipasang pula potret leluhur serta papan bertuliskan huruf kanji yang memuat nama leluhur, pesan harapan atau pujian.

 

Di rumah tempat meja-abu diletakkan merupakan ruang privat, yang mana para keturunan mereka yang masih hidup melaksanakan pujabakti terhadap arwah leluhur. Dalam setahun paling tidak ada empat kali sembahyang besar, tiga kali sembahyang kecil, dan sembahyang-reguler yang dilaksanakan setiap tanggal 1 dan 15 menurut penanggalan bulan. Pada setiap perayaan altar akan dipenuhi dengan berbagai macam sesajian dan perlengkapan sembahyang, sesuai dengan tema pujabakti apa yang sedang dirayakan. Ruang sembahyang tempat interaksi dengan leluhur, adalah ruangan yang terbaik dalam sebuah rumah. Ruang sembahyang ini tidak lazim ditempatkan di ruang tamu, di kamar tidur, dekat WC, atau di sebelah dapur, melainkan di ruang keluarga sebelah dalam dan jika memungkinkan memiliki pintu di sisi kiri dan kanannya.

 

Menurut ajaran kuno yang jauh berakar di masa lalu dan kemudian diajarkan pula oleh Guru Kong (551-479 s.M.), yakni pendiri agama Konghucu, leluhur merupakan pihak yang paling dihormati. Kemudian semua orang yang lebih muda harus bersikap hormat terhadap orang yang lebih tua. Dan seorang anak wajib berbakti kepada orang tuanya. Pengertian yang cocok untuk menggambarkan bakti ini terdapat dalam istilah mandarin xiào, yang terpampang pada sisi kiri gambar yang menyertai artikel ini (lihat gambar di atas). Xiào ini dalam bahasa Hokian dilafalkan sebagai hàu. Xiào diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai filial piety dan dialihbahasakan sebagai "kesalehan-anak". Menarik untuk menyimak asal mula kata xiào ini, yang merupakan perpaduan antara aksara lao (tua) di atas aksara  zi (putera), yang bermakna orang tua dan leluhur ditopang oleh generasi yang lebih muda.

 

Di atas disebutkan bahwa di dunia ini hanya bangsa Tionghoa yang masih memuja leluhurnya dengan lebih intens dibandingkan bangsa-bangsa lainnya. Bagaimana tidak intens? Setiap bulan paling tidak dalam dua kesempatan ia menghampiri meja-abu leluhurnya, membersihkannya, menyediakan barang sesajian, menyalakan lilin dan mempersembahkan dupa, serta dari mulutnya dilantunkan doa-doa yang mengharapkan agar semua leluhurnya hidup sejahtera dan bahagia di alam sana. Sewaktu seorang Tionghoa yang masih muda lulus dalam ujian sekolah, maka yang pertama dilakukannya adalah membakar dupa di meja-abu dan bersujud-syukur di depan leluhurnya. Demikian laku yang sama dipertunjukkannya pula sewaktu ia mendapatkan kenaikan pangkat, mengikat janji sehidup-semati dengan pasangannya, dan memperoleh kesuksesan besar dalam hidupnya.

 

Inilah yang membedakan antara orang Tionghoa dengan katakanlah orang Barat atau orang bule. Orang Barat barangkali memiliki Tuhan di hatinya, tetapi melupakan dan tidak langsung melibatkan leluhurnya dalam penghayatan sehari-hari. Jadi dimana letak perbedaannya? Dapat ditegaskan dalam hati orang Tionghoa yang saleh, yakni ia yang masih berkiblat dan memuja leluhurnya, merasakan bahwa nenek moyangnya selalu hadir di dalam hatinya, dan dengan demikian dirinya pun tetap hidup dalam hati anak-anak dan keturunannya. "Tidak ada leluhur, tidak ada pula kita. Tidak ada kita, tidak ada anak-anak dan keturunan kita." Begitu polos dan sederhananya prinsip ini.

 

Dalam Sabrahmaka Sutta (Itivuttaka, 206), Sang Buddha bersabda: "Ayah dan ibu disebut Brahma, guru awal dan pantas dipuja, ... ." Siapa itu Brahma? Mungkin ada yang ingat pelajaran di sekolah dulu, bahwasanya dalam kepercayaan India Kuno ada tiga-serangkai, yakni Brahma-Vishnu-Shiva. Brahma dikenal sebagai Pencipta, Vishnu Sang Pemelihara, dan Shiva Sang Penghancur. Jadi jelas Brahma adalah pencipta manusia dan alam semesta. Tanpa ada Brahma tidak ada manusia. Jadi tanpa ada ibu dan ayah tidak akan ada kita sebagai anak-anaknya. Begitu tinggi kedudukan Brahma, yang membuat orang India menyembah dan memujanya.

 

Kesalehan-anak diuraikan Konfusius dalam bukunya Buku Klasik tentang Kesalehan-Anak atau Xiaojing, yang di dalamnya berisi dialog antara Konfusius dengan siswanya Zengzi. Buku panduan ini digunakan dalam pendidikan dasar sejak zaman Dinasti Han di Tiongkok untuk mata pelajaran etika. Ada sebuah kutipan yang cukup terkenal: "Ketika mereka melayani ayah mereka, pun mereka melayani ibu mereka, jadi anak-anak mencintai keduanya sama-rata. Dengan berbakti seperti itu, mereka melayani pimpinannya, dan menghormatinya dengan setara" (Legge, James, The Classic of Filial Piety). Dimulai dari lingkup keluarga, dan jika semua anak melakukan bakti terhadap kedua orang tuanya, berarti ia melayani dan menghormati pimpinannya, yang pada akhirnya akan mewujudkan keharmonisan dalam masyarakatnya.

 

Kesalehan anak adalah sebuah konsep yang di dalamnya termasuk mengasihi dan menghormati orang tuanya, yang diungkapkan dalam tingkah laku dan kebiasaan sehari-hari. Anda para pembaca yang aktif di media sosial mungkin pernah melihat sebuah video, yang menggambarkan bagaimana seorang anak mengungkapkan cinta dan rasa hormatnya kepada orang tuanya. Dalam video itu digambarkan suasana pedesaan di Thailand. Seorang pemuda yang berpakaian seragam layaknya seorang kadet di sebuah instansi pemerintah turun dari bus yang membawanya hingga ke depan rumahnya. Sang kadet yang mungkin baru mendapat cuti dari dinasnya, bergegas memasuki halaman rumahnya, tempat orang-orang sekampungnya sedang beraktivitas di luar ruangan. Pertama yang dilakukannya adalah mencari ibunya, mengambil air di baskom, lalu bersimpuh di hadapan ibundanya. Selanjutnya ia mencuci kedua kaki ibunya, lalu mengeringkannya dengan sepotong handuk. Sang ibu yang melihat putera kesayangannya, kemudian membangunkannya, memeluk, serta menciumnya. Setelah ibu mendapatkan ungkapan-cinta dan penghormatan dari puteranya, kemudian giliran sang ayah mendapatkan perlakuan yang sama pula.

 

Sebagian anak muda terutama mereka yang kini tinggal di perkotaan menilai apa yang dilakukan pemuda desa itu sebagai hal yang lebai alias berlebihan. Namun apa yang dilakukan pemuda itu adalah merupakan kebiasaan dan kearifan-lokal yang tidak dibuat-buat. Begitulah adat dan tradisi keluarganya. Kita boleh meniru dan mengajarkan anak-anak kita, agar paling tidak dalam kesempatan istimewa seperti Hari Ibu, Tahun Baru Imlek, atau ketika mereka menikah, untuk melakukan ritual cuci-kaki atau mempersembahkan minuman teh kepada kedua orang tuanya.

 

Ungkapan kasih sayang anak kepada orang tua juga dicontohkan pula dalam naskah-naskah kuno. Konon di zaman dahulu kala, semasa kekuasaan Dinasti Han Timur (Th 25-220), ada seorang anak laki-laki yang bernama Huang Xiang. Sungguh malang nasib Xiang karena ia telah ditinggal mati oleh ibunya sejak ia berusia sembilan tahun. Setelah ibunya meninggal dunia, ayahnya bekerja keras membanting tulang agar keluarganya bisa bertahan hidup. Pembaca harus paham bahwa cerita ini berlangsung di Tiongkok, yang musim dinginnya sangat menusuk tulang dan ketika musim panas udaranya membuat semua orang seperti terbakar. Nah, si Xiang ternyata seorang anak kecil yang memiliki hàu yang tinggi, yang senantiasa berupaya meringankan penderitaan ayahnya. Di musim panas, tanpa diketahui ayahnya, ia mengipasi kasur dan bantal tempat tidur, hingga ayahnya bisa langsung tertidur di atas pembaringan yang kini menjadi lebih sejuk. Di musim dingin saat kasur menjadi tempat yang sedingin es, Xiang tidur dulu di atasnya sambil menyelimuti dirinya, dan setelah tempat tidur itu menjadi hangat ia mempersilahkan ayahnya untuk tidur di sana. Kisah Xiang itu masih membekas di benak penulis, padahal cerita itu disampaikan oleh almarhumah Tuako (bibi dari pihak ayah) ketika penulis masih kanak-kanak. Kisah ini sendiri bisa dibaca pada naskah aslinya: Shàn Zhěn Wēn Qīn (Ia Mengipasi Kasur dan Menghangatkan Selimut).

 

Setelah kita membicarakan panjang lebar tentang leluhur dan ajaran xiào, pelajaran apa yang bisa kita ambil? Ajaran tentang rasa cinta, bakti, dan penghormatan merupakan warisan nenek moyang kita yang adiluhung, yang masih layak diteladani oleh kita sekalian, untuk diungkapkan kepada orang tua kita sendiri. Tentu tidak terbatas kepada orang tua kandung, tetapi juga terhadap mertua perempuan dan laki-laki, serta kerabat yang usianya lebih tua dari kita. Di samping itu perhatian yang sama patut pula kita tujukan kepada orang tua dan leluhur kita yang telah meninggal dunia. Lakukanlah pujabakti dan persembahyangan secara berkala, kemudian perbanyaklah perbuatan baik serta diikuti oleh ketulusan, agar jasa-jasa yang kita tanam melimpah kepada para leluhur. Setelah para leluhur memperoleh kebahagiaan, kita sebagai keturunannya akan dilindungi oleh mereka semua. Semoga hal itu terjadi sesuai hukum alam.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/210210

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar