KELAHIRAN SANG BODHISATTVA - SEJARAH, MITE, DAN LEGENDA
Alkisah
kira-kira lebih dari 2.700 tahun yang silam di Tanah Nepal pada anak benua
India, yang sekarang ini dinamakan Distrik Terai, para sesepuh yang
beranggotakan para petarung mulia dari kekerabatan Koliya memegang tampuk
kekuasaan di kota raja mereka, yakni di Devadaha atau Ramagrama. Pada masa itu
yang menjadi sang adipati adalah Añjana dan ia memiliki seorang permaisuri yang
bernama Yasodharā. Mereka dikaruniai dua orang putera dan dua orang
puteri.
Terai adalah
kawasan yang subur dan permai. Di musim panas suhu tidak melonjak ekstrim
seperti yang terjadi di sebagian besar Tanah India, dan di musim dingin hujan
salju pun tidak terlalu lebat. Namun di musim penghujan, air terkadang turun
dari langit tak henti-hentinya. Jika hari cerah tidak berawan, Himalaya, tempat
tertinggi di dunia, bisa terlihat jelas dengan puncak-puncaknya yang putih
keperakan diselimuti salju.
Puteri sulung
Añjana bernama Mahā Māyā dan saudari perempuannya dipanggil Mahā Pajāpatī.
Sedangkan saudara laki-laki Māyā bernama Dandapāni dan Suppabuddha.
Setelah Māyā mencapai masa akil balig, penampakannya pun berubah menjadi wanita
dewasa yang cantik rupawan. Kitab suci Lalitavistara Sutra menggambarkannya
sebagai berikut: "Kecantikannya memancar laksana sebongkah emas murni. Ia
memiliki rambut keriting yang wangi layaknya sekelompok kumbang besar hitam.
Kedua matanya seperti kuntum bunga teratai. Giginya menyerupai bintang-bintang
di langit."
Selain kualitas
lahiriah yang dimilikinya, yang tidak bisa disamai oleh orang lain pada
zamannya, Māyā mempunyai kualitas batin yang luar biasa pula. Sejak dilahirkan
ia menghindari pantangan utama, yakni menahan diri dari membunuh, dari
mengambil barang yang tak diberikan, dari perbuatan asusila, dari mengucapkan
perkataan yang tidak benar, dan dari pemanjaan menikmati olahan-fermentasi
anggur, tuak, dan minuman keras lainnya. Sumber-sumber yang belakangan
menyebutkan pula bahwa dia telah melatih dirinya guna mengembangkan
pāramī atau keutamaan selama seratus ribu kalpa,
Dalam usia
belia ia telah dipersunting oleh Suddodhana, putera pamannya sendiri, yang mana
sang paman merupakan pimpinan kaum ningrat Sakya. Bukan hanya dia yang
dipersunting oleh putera pamannya itu, adiknya, Mahā Pajāpatī, juga turut
menjadi isteri Suddodhana. Setelah tiba saatnya sang paman lengser dari tampuk
kekuasaannya, Suddodhana pun mengambil alih pimpinan dan ia menjadi pengayom
para ksatria kekerabatan Sakya. Namun sampai sekian lama kedua kakak beradik
ini menikahi sang penguasa, mereka berdua belum juga memiliki keturunan. Para
cerdik-pandai yang menjadi penasihat sang penguasa mengetahui, bahwa Māyā
memiliki kualitas yang diperlukan untuk menjadi ibu seorang manusia agung.
Manusia agung adalah makhluk yang amat langka, yang mana ia berpotensi untuk
menjadi seorang penguasa dunia.
Kemudian
kejadian yang ditunggu-tunggu oleh kalangan keluarganya pun terjadilah. Pada
saat itu sedang berlangsung perayaan Uttarāsālhanakkhatta, yakni sebuah
rangkaian upacara keagamaan yang berlangsung selama tujuh hari. Māyā turut serta
dalam perayaan keagamaan ini, dan untuk bisa ikut dalam upacara itu ia mesti
melakukan puasa penuh. Salah satu pantangannya adalah tidak berhubungan dengan
suaminya. Pada malam harinya ternyata ia mulai mengandung janin yang nantinya
akan menjadi manusia agung atau Bodhisattva yang kita kenal. Peristiwa ia mulai
mengandung itu ditandai oleh sebuah mimpi dalam tidurnya,
Malam saat
peristiwa penting itu, terjadi di musim panas ketika bulan purnama sedang
berlangsung, Māyā setelah melakukan ritual keagamaan, pada malam harinya tidur
di istananya. Dalam tidurnya ia bermimpi didatangi oleh Empat Raja Dewa. Mereka
langsung menjemputnya ketika ia masih berada di atas pembaringannya, lalu ia
dibawa terbang ke Himavā dan ditempatkan di bawah sebatang pohon sāla di
Manosilātala. Kemudian para dewi, yakni isteri Empat Raja Dewa, datang dan
memandikannya di Danau Anotatta yang berada di Pegunungan Himalaya.
Setelah selesai memandikannya, para dewi mengenakan sepotong gaun surgawi ke
tubuh Māyā dan mendandaninya dengan bunga-bunga dewata. Mereka kemudian
membawanya ke sebuah istana emas dan membaringkannya pada sebuah tempat tidur
surgawi. Di sana Sang Bodhisattva kita yang menjelma dalam rupa seekor gajah
putih, datang menghampirinya sambil membawa sekuntum bunga teratai putih dengan
belalainya yang berkilauan. Sang gajah putih lalu mengelilingi Māyā sebanyak
tiga putaran, serta akhirnya memasuki rahimnya dari sisi sebelah kanan.
Sejak Sang
Bodhisattva berada dalam kandungan ibunya ia selalu dijaga oleh Empat Raja Dewa.
Sang ibundanya pun tidak memiliki keinginan terhadap laki-laki lain, seperti
yang bisa kita baca dari kitab Majhhima Nikaya: "Ketika Sang Bodhisatta
turun memasuki rahim ibunya, empat dewata agung datang guna melindunginya dari
empat penjuru, sehingga tidak ada makhluk manusia atau makhluk bukan-manusia
atau siapa pun yang dapat membahayakan Sang Bodhisatta atau ibunya. ... Ketika
Sang Bodhisatta telah turun memasuki rahim ibunya, tidak ada pikiran seorang
laki-laki yang bersentuhan dengan lima untaian keinginan inderawi datang
menghampiri ibunya sedikit pun jua, dan ia juga tidak bisa dimasuki oleh
laki-laki mana pun jua yang pikirannya penuh dengan nafsu indera." (M.
123).
Kurang lebih
ratusan tahun setelah wafatnya Sang Buddha kita bisa membaca dalam kitab
Mahāvastu satu pernyataan bahwa "tubuh Sang Bodhisattva itu suci sejak
berada dalam kandungan ibunya" (na
ca maithuna-sambhūtaṃ sugatasya
samucchritaṃ) atau dengan
kata lain bahwa Sang Bodhisattva mempunyai kelahiran yang perawan. Jika kita
menelusuri asal mula gagasan ini pada naskah-naskah Kanonik Pali, kita temukan
bahwasanya ibunda Sang Bodhisattva tidak memiliki pikiran apa pun tentang seks
setelah ia mengandung jabang bayi Bodhisattva, yang secara historis hal ini
mungkin terjadi. Apa yang dinyatakan pada kitab Mahāvastu itu memang sepenuhnya
benar.
Anda pembaca
mungkin menjadi bingung dengan pernyataan-pernyataan yang disebutkan di atas.
Penulis mencoba menjelaskan apa yang dimaksud dengan kelahiran yang perawan
itu. Seperti yang diterangkan di atas adalah benar bahwa Mahā Māyā telah
menjadi isteri dari Suddodhana selama bertahun-tahun, namun sampai sedemikian
lamanya mereka hidup bersama, keduanya tidak berhasil mendapatkan keturunan.
Hingga beberapa hari sebelum ia mengandung, ia telah ikut serta dalam satu
perayaan keagamaan yang mewajibkan dirinya untuk berpuasa. Berpuasa di sini
bermakna ia melakukan selibat atau menjalankan delapan sila, yang mana ia
berpantang untuk berhubungan dengan suaminya. Jadi bagaimana bisa ia sampai
hamil, padahal selama ini otak kita sudah dijejali dengan pengetahuan bahwa
janin-bayi tidak akan terbentuk jika ayah dan ibu tidak bertemu. Dengan
demikian janin Sang Bodhisattva dikandung oleh ibunya tidak secara kodrati,
melainkan secara adikodrati. Atau dia tidak dikandung secara natural, tetapi
muncul dalam rahim ibunya secara supranatural.
Peristiwa sang
gajah putih yang masuk ke sisi sebelah kanan rahim ibunya juga disebutkan dalam
kitab Majhhima Nikaya: "Dengan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan Sang
Bodhisatta wafat dari Surga Kesukacitaan dan turun ke rahim ibunya." Lalu
siapa gerangan Sang Bodhisatta atau Bodhisattva itu? Jelas ia bukan makhluk
sembarangan, karena sebelumnya ia adalah sesosok dewata yang hidup di Surga
Kesukacitaan. Dewata ini adalah makhluk yang istimewa, yang dalam berbagai
penjelmaan selama kurun waktu yang tak-terhingga, telah secara konsisten
berdedikasi untuk mencapai Pencerahan. Dewata atau Sang Bodhisattva ini, yang
belakangan dikenal sebagai Buddha kita.
Di samping
kelahirannya yang perawan, dikisahkan pula oleh kitab suci bahwa kehadiran Sang
Bodhisattva di dunia ini ditandai dengan peristiwa-peristiwa yang menakjubkan,
yang oleh orang awam dikenal sebagai mukjizat. Diceritakan bahwa selama
kehamilannya Ibunda Sang Bodhisattva tidak menderita keletihan atau kesakitan,
serta ia pun mampu melihat langsung ke dalam rahimnya, menatap tubuh mungil
bayinya lengkap dengan semua anggota tubuhnya yang tengah mendekam sempurna. Ia
melahirkan setelah mengandung bayinya genap sepuluh bulan, dan sang ibunda
melahirkan bayinya selagi ia sedang dalam posisi berdiri. Segera setelah Sang
Bodhisattva dilahirkan, ia langsung berdiri dengan kedua kakinya di atas tanah.
Kemudian ia berjalan tujuh langkah ke utara, dan di tanah yang dipijak oleh
telapak kakinya tumbuh masing-masing sebuah kuntum teratai.
Anda para
pembaca yang terhormat, mungkin akan berkomentar bahwa kisah yang penulis
utarakan itu semuanya bersumber dari mite dan legenda. Beberapa diantara kita
mungkin merasa bahwa jika kita berada lebih dekat dengan zaman ketika Buddha
hidup, kita akan memiliki kesempatan yang lebih baik dalam memahami fakta-fakta
sejarah tentang diri beliau. Di samping fakta sejarah tentang kehidupan Sang
Bodhisattva yang sesungguhnya, imajinasi para pengikutnya turut membentuk kisah
kelahiran dan kehidupan beliau, bahwa Sang Guru adalah tokoh yang luar biasa
yang tidak bisa disamakan dengan kita-kita ini. Imajinasi manusia agaknya
bekerja dalam cara yang nyaris mirip dengan apa yang terjadi pada beberapa
kisah tokoh pahlawan dalam sejarah dunia.
Kita akan
mengambil beberapa contoh untuk melihatnya sebagai bahan pembanding. Rakyat
Jepang lewat kepercayaan agama Shinto memiliki keyakinan bahwa Dewi Matahari
merupakan Dewata (Kami) yang utama dalam sistem kepercayaan mereka. Dewi
Matahari yang dikenal sebagai Amaterasu-Ōmikami dipercaya sebagai penguasa
surga Takamagahara. Selanjutnya Amaterasu memiliki keturunan yang bernama
Ninigi, yakni cucu laki-lakinya. Ninigi ini diyakini merupakan leluhur dari
Kaisar Jepang. Dengan demikian Kaisar Jepang yang sekarang pun sesungguhnya
masih keturunan dari Amaterasu-Ōmikami.
Di
negara-negara Buddhis di Asia Tengah, sejak lebih dari seribu tahun yang lalu
Avalokiteśvara Sang Bodhisattva yang maha welas-asih, telah memiliki relasi
khusus dengan rakyat Tibet. Di Indonesia Bodhisattva Avalokiteśvara lebih
populer dengan sebutan "Mak Kwan Im". Diperkenalkan sejak abad
ketujuh Masehi, Avalokiteśvara menjadi tokoh dewata yang secara langsung
mempengaruhi nasib rakyat Tibet. Sang Bodhisattva ber-reinkarnasi dalam diri
seorang guru spiritual sekaligus pemimpin masyarakat Tibet. Menurut Buku
Kadam, yang merupakan rujukan utama Sekte Kadampa, Dalai Lama yang pertama
yakni Gendun Drup, diyakini merupakan reinkarnasi dari Bodhisattva
Avalokiteśvara. Karena Dalai Lama yang kedua hingga yang keempat belas (Dalai
Lama yang sekarang yang bernama Tenzin Gyatso), adalah tulku atau reinkarnasi dari Dalai Lama yang
pertama, maka beliau tidak lain merupakan perwujudan dari Bodhisattva
Avalokiteśvara.
Beberapa tahun
yang lalu, penulis berkesempatan mengikuti pujabakti di sebuah vihara di
Jakarta, yang menghadirkan sosok bhikkhu terkenal dari Negara Gajah Putih.
Beliau adalah Luangpu Inthawai Santussako, seorang bhikkhu hutan yang
terkemuka, murid senior dari Luangta Maha Bua Yanasampanno. Dalam kesempatan
yang langka itu Bhante hanya berpesan agar umat menjalankan lima sila dengan
sungguh-sungguh. Bhante juga menguraikan metode melaksanakan meditasi
pernapasan dengan cara yang mudah, terutama ditujukan bagi para meditator
pemula. Dengan penampilan yang kharismatik namun sederhana Luangpu merupakan
figur yang sangat dihormati di negaranya.
Adalah menarik
untuk mengikuti asal usulnya. Beliau dilahirkan dalam satu keluarga sederhana
di pedesaan Thailand dan sejak masih kanak-kanak diangkat sebagai anak dari Mae
Chee Kaew Sianglam. Siapa itu Mae Chee Kaew? Dia adalah biarawati yang sejak
muda memiliki bakat bermeditasi hingga mencapai tingkatan yang tinggi. Walaupun
mengalami tantangan hidup berkeluarga, ia kemudian memiliki kesempatan emas
untuk menjadi biarawati, bertemu dan dibimbing langsung oleh Luangta Maha Bua.
Konon dikisahkan sekali waktu ia mendapat wangsit akan melahirkan seorang
putera dari Dewa Indra (dikenal juga sebagai Sakka, raja para dewa). Kaget
mendengar berita itu dan sempat menolaknya karena ia telah menjadi biarawati,
belakangan diketahui seorang kerabatnya melahirkan seorang anak laki-laki. Anak
lelaki itu pun diangkat sebagai putera angkatnya dan sejak dini ia sudah
menjadi samanera dan hidup di vihara. Ketika usianya genap dua-puluh tahun ia
menjalani hidup kebhikkhuan dan dikenal kelak sebagai Luangpu Inthawai. Adapun
Mae Chee Kaew sendiri diyakini orang telah mencapai tingkat Arahanta, dan
beliau tutup usia pada 1991,
Setelah melihat
beberapa contoh di atas, Anda bisa melihat bagaimana para pengikut satu agama
atau satu sistem kepercayaan meyakini bahwa tokoh panutan, guru, dan pemimpin
mereka adalah makhluk yang luar biasa. Luar biasa karena asal-usulnya, yang
bukan berasal dari leluhur manusia kebanyakan, melainkan diyakini berasal dari
dewa dan makhluk suci lainnya. Pandangan seperti ini bukan saja dimonopoli oleh agama Buddha, tetapi juga
terjadi pada agama-agama besar lainnya.
Sebaliknya
sebagian umat atau penganut yang kritis menganggap bahwa kita sebaiknya hanya
berpegang pada kebenaran sejarah yang telah diverifikasikan. Dengan demikian
kita tidak berkewajiban meyakini mite dan legenda tadi. Kebenaran-kebenaran
dalam Buddha Dharma mampu bertahan atau justru runtuh, semata-mata bergantung
pada Ajaran yang mengandung pernyataan-pernyataan. Pernyataan mana dapat
diverifikasi sebagai benar serta itulah kebenaran Buddha Dharma, dan maka dari itu tidak tergantung pada apa yang
diungkapkan dalam kepercayaan legendaris tentang kelahiran dan asal-usul Sang
Buddha.
sdjn/dharmaprimapustaka/210127
Tidak ada komentar:
Posting Komentar