Rabu, 27 Januari 2021

KELAHIRAN SANG BODHISATTVA - SEJARAH, MITE, DAN LEGENDA

 KELAHIRAN SANG BODHISATTVA - SEJARAH, MITE, DAN LEGENDA

 

 



Alkisah kira-kira lebih dari 2.700 tahun yang silam di Tanah Nepal pada anak benua India, yang sekarang ini dinamakan Distrik Terai, para sesepuh yang beranggotakan para petarung mulia dari kekerabatan Koliya memegang tampuk kekuasaan di kota raja mereka, yakni di Devadaha atau Ramagrama. Pada masa itu yang menjadi sang adipati adalah Añjana dan ia memiliki seorang permaisuri yang bernama Yasodharā. Mereka dikaruniai dua orang putera dan dua orang puteri.

 

Terai adalah kawasan yang subur dan permai. Di musim panas suhu tidak melonjak ekstrim seperti yang terjadi di sebagian besar Tanah India, dan di musim dingin hujan salju pun tidak terlalu lebat. Namun di musim penghujan, air terkadang turun dari langit tak henti-hentinya. Jika hari cerah tidak berawan, Himalaya, tempat tertinggi di dunia, bisa terlihat jelas dengan puncak-puncaknya yang putih keperakan diselimuti salju.

 

Puteri sulung Añjana bernama Mahā Māyā dan saudari perempuannya dipanggil Mahā Pajāpatī. Sedangkan saudara laki-laki Māyā bernama Dandapāni dan Suppabuddha. Setelah Māyā mencapai masa akil balig, penampakannya pun berubah menjadi wanita dewasa yang cantik rupawan. Kitab suci Lalitavistara Sutra menggambarkannya sebagai berikut: "Kecantikannya memancar laksana sebongkah emas murni. Ia memiliki rambut keriting yang wangi layaknya sekelompok kumbang besar hitam. Kedua matanya seperti kuntum bunga teratai. Giginya menyerupai bintang-bintang di langit."

 

Selain kualitas lahiriah yang dimilikinya, yang tidak bisa disamai oleh orang lain pada zamannya, Māyā mempunyai kualitas batin yang luar biasa pula. Sejak dilahirkan ia menghindari pantangan utama, yakni menahan diri dari membunuh, dari mengambil barang yang tak diberikan, dari perbuatan asusila, dari mengucapkan perkataan yang tidak benar, dan dari pemanjaan menikmati olahan-fermentasi anggur, tuak, dan minuman keras lainnya. Sumber-sumber yang belakangan menyebutkan pula bahwa dia telah melatih dirinya guna mengembangkan pāramī atau keutamaan selama seratus ribu kalpa,

 

Dalam usia belia ia telah dipersunting oleh Suddodhana, putera pamannya sendiri, yang mana sang paman merupakan pimpinan kaum ningrat Sakya. Bukan hanya dia yang dipersunting oleh putera pamannya itu, adiknya, Mahā Pajāpatī, juga turut menjadi isteri Suddodhana. Setelah tiba saatnya sang paman lengser dari tampuk kekuasaannya, Suddodhana pun mengambil alih pimpinan dan ia menjadi pengayom para ksatria kekerabatan Sakya. Namun sampai sekian lama kedua kakak beradik ini menikahi sang penguasa, mereka berdua belum juga memiliki keturunan. Para cerdik-pandai yang menjadi penasihat sang penguasa mengetahui, bahwa Māyā memiliki kualitas yang diperlukan untuk menjadi ibu seorang manusia agung. Manusia agung adalah makhluk yang amat langka, yang mana ia berpotensi untuk menjadi seorang penguasa dunia.

 

Kemudian kejadian yang ditunggu-tunggu oleh kalangan keluarganya pun terjadilah. Pada saat itu sedang berlangsung perayaan Uttarāsālhanakkhatta, yakni sebuah rangkaian upacara keagamaan yang berlangsung selama tujuh hari. Māyā turut serta dalam perayaan keagamaan ini, dan untuk bisa ikut dalam upacara itu ia mesti melakukan puasa penuh. Salah satu pantangannya adalah tidak berhubungan dengan suaminya. Pada malam harinya ternyata ia mulai mengandung janin yang nantinya akan menjadi manusia agung atau Bodhisattva yang kita kenal. Peristiwa ia mulai mengandung itu ditandai oleh sebuah mimpi dalam tidurnya,

 

Malam saat peristiwa penting itu, terjadi di musim panas ketika bulan purnama sedang berlangsung, Māyā setelah melakukan ritual keagamaan, pada malam harinya tidur di istananya. Dalam tidurnya ia bermimpi didatangi oleh Empat Raja Dewa. Mereka langsung menjemputnya ketika ia masih berada di atas pembaringannya, lalu ia dibawa terbang ke Himavā dan ditempatkan di bawah sebatang pohon sāla di Manosilātala. Kemudian para dewi, yakni isteri Empat Raja Dewa, datang dan memandikannya di Danau Anotatta yang berada di Pegunungan Himalaya. Setelah selesai memandikannya, para dewi mengenakan sepotong gaun surgawi ke tubuh Māyā dan mendandaninya dengan bunga-bunga dewata. Mereka kemudian membawanya ke sebuah istana emas dan membaringkannya pada sebuah tempat tidur surgawi. Di sana Sang Bodhisattva kita yang menjelma dalam rupa seekor gajah putih, datang menghampirinya sambil membawa sekuntum bunga teratai putih dengan belalainya yang berkilauan. Sang gajah putih lalu mengelilingi Māyā sebanyak tiga putaran, serta akhirnya memasuki rahimnya dari sisi sebelah kanan.

 

Sejak Sang Bodhisattva berada dalam kandungan ibunya ia selalu dijaga oleh Empat Raja Dewa. Sang ibundanya pun tidak memiliki keinginan terhadap laki-laki lain, seperti yang bisa kita baca dari kitab Majhhima Nikaya: "Ketika Sang Bodhisatta turun memasuki rahim ibunya, empat dewata agung datang guna melindunginya dari empat penjuru, sehingga tidak ada makhluk manusia atau makhluk bukan-manusia atau siapa pun yang dapat membahayakan Sang Bodhisatta atau ibunya. ... Ketika Sang Bodhisatta telah turun memasuki rahim ibunya, tidak ada pikiran seorang laki-laki yang bersentuhan dengan lima untaian keinginan inderawi datang menghampiri ibunya sedikit pun jua, dan ia juga tidak bisa dimasuki oleh laki-laki mana pun jua yang pikirannya penuh dengan nafsu indera." (M. 123).

 

Kurang lebih ratusan tahun setelah wafatnya Sang Buddha kita bisa membaca dalam kitab Mahāvastu satu pernyataan bahwa "tubuh Sang Bodhisattva itu suci sejak berada dalam kandungan ibunya" (na ca maithuna-sambhūtaṃ sugatasya samucchritaṃ) atau dengan kata lain bahwa Sang Bodhisattva mempunyai kelahiran yang perawan. Jika kita menelusuri asal mula gagasan ini pada naskah-naskah Kanonik Pali, kita temukan bahwasanya ibunda Sang Bodhisattva tidak memiliki pikiran apa pun tentang seks setelah ia mengandung jabang bayi Bodhisattva, yang secara historis hal ini mungkin terjadi. Apa yang dinyatakan pada kitab Mahāvastu itu memang sepenuhnya benar.

 

Anda pembaca mungkin menjadi bingung dengan pernyataan-pernyataan yang disebutkan di atas. Penulis mencoba menjelaskan apa yang dimaksud dengan kelahiran yang perawan itu. Seperti yang diterangkan di atas adalah benar bahwa Mahā Māyā telah menjadi isteri dari Suddodhana selama bertahun-tahun, namun sampai sedemikian lamanya mereka hidup bersama, keduanya tidak berhasil mendapatkan keturunan. Hingga beberapa hari sebelum ia mengandung, ia telah ikut serta dalam satu perayaan keagamaan yang mewajibkan dirinya untuk berpuasa. Berpuasa di sini bermakna ia melakukan selibat atau menjalankan delapan sila, yang mana ia berpantang untuk berhubungan dengan suaminya. Jadi bagaimana bisa ia sampai hamil, padahal selama ini otak kita sudah dijejali dengan pengetahuan bahwa janin-bayi tidak akan terbentuk jika ayah dan ibu tidak bertemu. Dengan demikian janin Sang Bodhisattva dikandung oleh ibunya tidak secara kodrati, melainkan secara adikodrati. Atau dia tidak dikandung secara natural, tetapi muncul dalam rahim ibunya secara supranatural.

 

Peristiwa sang gajah putih yang masuk ke sisi sebelah kanan rahim ibunya juga disebutkan dalam kitab Majhhima Nikaya: "Dengan penuh perhatian dan penuh kewaspadaan Sang Bodhisatta wafat dari Surga Kesukacitaan dan turun ke rahim ibunya." Lalu siapa gerangan Sang Bodhisatta atau Bodhisattva itu? Jelas ia bukan makhluk sembarangan, karena sebelumnya ia adalah sesosok dewata yang hidup di Surga Kesukacitaan. Dewata ini adalah makhluk yang istimewa, yang dalam berbagai penjelmaan selama kurun waktu yang tak-terhingga, telah secara konsisten berdedikasi untuk mencapai Pencerahan. Dewata atau Sang Bodhisattva ini, yang belakangan dikenal sebagai Buddha kita.

 

Di samping kelahirannya yang perawan, dikisahkan pula oleh kitab suci bahwa kehadiran Sang Bodhisattva di dunia ini ditandai dengan peristiwa-peristiwa yang menakjubkan, yang oleh orang awam dikenal sebagai mukjizat. Diceritakan bahwa selama kehamilannya Ibunda Sang Bodhisattva tidak menderita keletihan atau kesakitan, serta ia pun mampu melihat langsung ke dalam rahimnya, menatap tubuh mungil bayinya lengkap dengan semua anggota tubuhnya yang tengah mendekam sempurna. Ia melahirkan setelah mengandung bayinya genap sepuluh bulan, dan sang ibunda melahirkan bayinya selagi ia sedang dalam posisi berdiri. Segera setelah Sang Bodhisattva dilahirkan, ia langsung berdiri dengan kedua kakinya di atas tanah. Kemudian ia berjalan tujuh langkah ke utara, dan di tanah yang dipijak oleh telapak kakinya tumbuh masing-masing sebuah kuntum teratai.

 

Anda para pembaca yang terhormat, mungkin akan berkomentar bahwa kisah yang penulis utarakan itu semuanya bersumber dari mite dan legenda. Beberapa diantara kita mungkin merasa bahwa jika kita berada lebih dekat dengan zaman ketika Buddha hidup, kita akan memiliki kesempatan yang lebih baik dalam memahami fakta-fakta sejarah tentang diri beliau. Di samping fakta sejarah tentang kehidupan Sang Bodhisattva yang sesungguhnya, imajinasi para pengikutnya turut membentuk kisah kelahiran dan kehidupan beliau, bahwa Sang Guru adalah tokoh yang luar biasa yang tidak bisa disamakan dengan kita-kita ini. Imajinasi manusia agaknya bekerja dalam cara yang nyaris mirip dengan apa yang terjadi pada beberapa kisah tokoh pahlawan dalam sejarah dunia.

 

Kita akan mengambil beberapa contoh untuk melihatnya sebagai bahan pembanding. Rakyat Jepang lewat kepercayaan agama Shinto memiliki keyakinan bahwa Dewi Matahari merupakan Dewata (Kami) yang utama dalam sistem kepercayaan mereka. Dewi Matahari yang dikenal sebagai Amaterasu-Ōmikami dipercaya sebagai penguasa surga Takamagahara. Selanjutnya Amaterasu memiliki keturunan yang bernama Ninigi, yakni cucu laki-lakinya. Ninigi ini diyakini merupakan leluhur dari Kaisar Jepang. Dengan demikian Kaisar Jepang yang sekarang pun sesungguhnya masih keturunan dari Amaterasu-Ōmikami.

 

Di negara-negara Buddhis di Asia Tengah, sejak lebih dari seribu tahun yang lalu Avalokiteśvara Sang Bodhisattva yang maha welas-asih, telah memiliki relasi khusus dengan rakyat Tibet. Di Indonesia Bodhisattva Avalokiteśvara lebih populer dengan sebutan "Mak Kwan Im". Diperkenalkan sejak abad ketujuh Masehi, Avalokiteśvara menjadi tokoh dewata yang secara langsung mempengaruhi nasib rakyat Tibet. Sang Bodhisattva ber-reinkarnasi dalam diri seorang guru spiritual sekaligus pemimpin masyarakat Tibet. Menurut Buku Kadam, yang merupakan rujukan utama Sekte Kadampa, Dalai Lama yang pertama yakni Gendun Drup, diyakini merupakan reinkarnasi dari Bodhisattva Avalokiteśvara. Karena Dalai Lama yang kedua hingga yang keempat belas (Dalai Lama yang sekarang yang bernama Tenzin Gyatso), adalah tulku atau reinkarnasi dari Dalai Lama yang pertama, maka beliau tidak lain merupakan perwujudan dari Bodhisattva Avalokiteśvara.

 

Beberapa tahun yang lalu, penulis berkesempatan mengikuti pujabakti di sebuah vihara di Jakarta, yang menghadirkan sosok bhikkhu terkenal dari Negara Gajah Putih. Beliau adalah Luangpu Inthawai Santussako, seorang bhikkhu hutan yang terkemuka, murid senior dari Luangta Maha Bua Yanasampanno. Dalam kesempatan yang langka itu Bhante hanya berpesan agar umat menjalankan lima sila dengan sungguh-sungguh. Bhante juga menguraikan metode melaksanakan meditasi pernapasan dengan cara yang mudah, terutama ditujukan bagi para meditator pemula. Dengan penampilan yang kharismatik namun sederhana Luangpu merupakan figur yang sangat dihormati di negaranya.

 

Adalah menarik untuk mengikuti asal usulnya. Beliau dilahirkan dalam satu keluarga sederhana di pedesaan Thailand dan sejak masih kanak-kanak diangkat sebagai anak dari Mae Chee Kaew Sianglam. Siapa itu Mae Chee Kaew? Dia adalah biarawati yang sejak muda memiliki bakat bermeditasi hingga mencapai tingkatan yang tinggi. Walaupun mengalami tantangan hidup berkeluarga, ia kemudian memiliki kesempatan emas untuk menjadi biarawati, bertemu dan dibimbing langsung oleh Luangta Maha Bua. Konon dikisahkan sekali waktu ia mendapat wangsit akan melahirkan seorang putera dari Dewa Indra (dikenal juga sebagai Sakka, raja para dewa). Kaget mendengar berita itu dan sempat menolaknya karena ia telah menjadi biarawati, belakangan diketahui seorang kerabatnya melahirkan seorang anak laki-laki. Anak lelaki itu pun diangkat sebagai putera angkatnya dan sejak dini ia sudah menjadi samanera dan hidup di vihara. Ketika usianya genap dua-puluh tahun ia menjalani hidup kebhikkhuan dan dikenal kelak sebagai Luangpu Inthawai. Adapun Mae Chee Kaew sendiri diyakini orang telah mencapai tingkat Arahanta, dan beliau tutup usia pada 1991,

 

Setelah melihat beberapa contoh di atas, Anda bisa melihat bagaimana para pengikut satu agama atau satu sistem kepercayaan meyakini bahwa tokoh panutan, guru, dan pemimpin mereka adalah makhluk yang luar biasa. Luar biasa karena asal-usulnya, yang bukan berasal dari leluhur manusia kebanyakan, melainkan diyakini berasal dari dewa dan makhluk suci lainnya. Pandangan seperti ini bukan saja dimonopoli oleh agama Buddha, tetapi juga terjadi pada agama-agama besar lainnya.

 

Sebaliknya sebagian umat atau penganut yang kritis menganggap bahwa kita sebaiknya hanya berpegang pada kebenaran sejarah yang telah diverifikasikan. Dengan demikian kita tidak berkewajiban meyakini mite dan legenda tadi. Kebenaran-kebenaran dalam Buddha Dharma mampu bertahan atau justru runtuh, semata-mata bergantung pada Ajaran yang mengandung pernyataan-pernyataan. Pernyataan mana dapat diverifikasi sebagai benar serta itulah kebenaran Buddha Dharma, dan maka dari itu tidak tergantung pada apa yang diungkapkan dalam kepercayaan legendaris tentang kelahiran dan asal-usul Sang Buddha.

 

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/210127

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar