UPOSATHA
Titik-titik cahaya yang kita lihat dari angkasa bersumber
dari lampu-lampu listrik yang menerangi kompleks perumahan, jalan raya, dan
fasilitas publik. Pemandangan seperti itu pun baru berlangsung sekitar seratus
dua puluh tahun terakhir ini. Sebelum tenaga listrik bisa dimanfaatkan secara
masif untuk penerangan, pencahayaan di malam hari hanyalah berasal dari lampu
minyak dan lilin. Jadi jika saat itu kita sudah mampu terbang tinggi ke
angkasa, pada saat menatap ke bawah hanyalah hitam pekat kegelapan yang tampak
sejauh mata memandang.
Bagaimana pemandangan yang akan nampak di bumi setelah
sang surya telah sepenuhnya tenggelam? Anggaplah kita berada di zaman sebelum
tenaga listrik bisa dimanfaatkan secara besar-besaran. Mereka yang suka camping di alam terbuka pasti ingat kiat
manusia agar bisa bertahan dengan aman dan nyaman dalam situasi dan kondisi
seperti itu. Saat senja mulai temaram, kemah atau pernaungan sementara harus
sudah didirikan dan api unggun telah dinyalakan. Setelah hari semakin gelap
obor atau pelita-minyak dipersiapkan agar kita mudah beraktivitas di sisa malam
itu.
Demikianlah suasana malam hari yang dialami seorang
petualang-alam sejak sang mentari telah sepenuhnya tenggelam di ufuk cakrawala
hingga fajar mulai menyingsing. Malam penuh kegelapan persis sama dengan yang
dialami oleh orang kebanyakan pada zaman kuno. Jika cuaca tak-berawan, langit
malam akan dihiasi oleh jutaan bintang, yang beberapa konfigurasinya akan
berpola seperti biduk, kalajengking, pencedok, atau tanda salib. Namun malam
tidak selalu gelap gulita, karena berangsur-angsur suasana mulai sedikit terang
karena sang rembulan mulai menampakkan diri di langit. Dan terangnya malam
mencapai puncak kecerahannya pada hari keempat-belas atau kelima-belas. Pada
saat itu di kubah-langit sang rembulan menciptakan penampilan dirinya yang
terelok, bundar sempurna seperti piring yang bersinar keperakan.
Setelah mencapai puncaknya, penampilan sang pelita-malam
pun dari hari ke hari mulai surut, dan setelah empat-belas hari kemudian ia tak
tampak lagi. Namun tiga hari kemudian ia mulai menampakkan diri lagi dalam bentuk
siluet sabit tipis di langit malam, serta siklus penampilannya kembali
berulang. Nenek moyang kita belajar dengan mengamati siklus pasang-surutnya
penampilan bulan. Mereka paham malam-malam gelap tidak ada bulan adalah saat
yang terbaik untuk memancing ikan di laut maupun di sungai. Sedangkan saat
bulan terang sempurna adalah masa ketika udang dan cumi-cumi melimpah memenuhi
permukaan laut.
Dari ketiadaan malam tanpa bulan, disusul munculnya bulan
sabit, terjadinya purnama raya, dilanjutkan dengan surutnya penampakan bulan,
hingga sang pelita malam tidak kelihatan lagi, nenek moyang kita belajar bahwa
kehidupan ini adalah sebuah siklus. Mircea Eliade dalam bukunya The Sacred and the Profane menyebutkan
bahwa orang kuno telah mengenal lunar
symbolism atau simbolisme bulan. Mereka sadar manusia muncul dari janin,
kemudian terlahir sebagai bayi, bertumbuh kembang menjadi kanak-kanak dan
remaja, lalu mencapai kedewasaan dan menikmati puncak hidupnya. Selanjutnya
kehidupan manusia pun niscaya mengalami masa surutnya, ditandai dengan fisiknya
yang semakin lemah dan menua, lalu diakhiri dengan kematian. Namun seperti
halnya bulan mati yang akan muncul kembali, kematian bukanlah akhir dari
segalanya, karena setelah kematian akan disusul dengan kebangkitan atau
kelahiran-kembali.
Dari simbolisme bulan mereka juga menyadari bahwa bukan
saja alam semesta beserta segenap isinya yang senantiasa berubah dan mengikuti
siklus tertentu, tetapi hal yang sama terjadi pula pada kesuburan tanaman dan
wanita. Dua hal itu memegang peranan penting dalam keberlangsungan hidup umat
manusia. Kesuburan tanaman penting bagi ketersediaan pangan guna bertahan
hidup, sedangkan kesuburan wanita harus senantiasa terjaga agar ras manusia
tidak punah ditelan waktu. Entah kebetulan atau bukan kesuburan wanita pun
mengikuti siklus bulanan, dan peristiwa menstruasi yang terjadi pada wanita
digunakan sebagai tolak ukur untuk menghitung masa subur, yang berguna untuk
merencanakan kelahiran keturunannya. Dalam kosakata kita kejadian itu dinamakan
"datang bulan", karena ia hadir dalam siklus sebulan sekali,
Dari pasang-surutnya penampakan bulan di langit-malam,
nenek moyang kita menyusun sistem penanggalan atau kalender. Mereka menamakan
saat bulan sedang tenggelam total sebagai permulaan penanggalan atau tanggal
"1". Sedangkan saat bulan purnama, mereka menamakannya sebagai tanggal
"15". Karena peredaran bulan mengedari bumi setiap siklusnya
berlangsung kurang lebih 29,5 hari, terkadang satu bulan akan berlangsung 30
hari, dan lain kali satu bulan hanya akan berlangsung 29 hari saja.
Di Tiongkok semenjak zaman kuno masyarakat di sana memaknai
hari saat bulan gelap (tanggal 1) dan saat bulan terang (tanggal 15) sebagai
hari dilakukannya persembahyangan. Sembahyang tanggal 1 dalam bahasa Hokian
disebut "Ce It" sedangkan pada tanggal 15 dinamakan sebagai "Cap
Go". Pada pagi dan sore hari orang terbiasa menyiapkan sesajian di meja
abu leluhur. Sesajian yang lazim disediakan di meja abu atau altar keluarga
antara lain tiga atau lima cangkir teh dan buah-buahan. Selain itu sepasang
lampu pelita atau lilin dinyalakan sebelum persembahyangan dimulai.
Kepala keluarga memulai persembahyangan dengan membakar
dupa atau hio dengan disertai harapan
agar para leluhur mendapatkan keberkahan dan kebahagiaan di alam sana. Kemudian
pembakaran dupa dilakukan pula oleh anggota keluarga lainnya. Selain
persembahyangan yang dilakukan di meja abu leluhur, persembahyangan dilakukan
pula di kuil. Di kuil yang dikenal pula sebagai kelenteng umat awam membawa
sesajian dari rumah. Selain buah-buahan terkadang mereka membawa pula kue-kue
yang akan dipersembahkan di sana. Tata cara persembahyangan di kuil ini pun
sama, dengan ditandai persembahan sesajian dan pembakaran lilin dan dupa. Namun
alih-alih persembahan ditujukan kepada para leluhur, di kuil persembahyangan
ditujukan kepada para dewa. Setiap kuil memiliki dewa-dewa tertentu yang dipuja
oleh umatnya, dan susunan dewa antara satu kuil dengan kuil yang lain tidaklah
sama. Dengan bersembahyang di kuil setiap orang bisa berinteraksi dan
bersosialisasi dengan umat lainnya.
Kita juga mengetahui posisi keberadaan bulan mempengaruhi
pasang-surut air laut. Pada saat bulan mati dan bulan purnama pasang air laut
di pantai akan mencapai ketinggian maksimum. Orang zaman kuno telah mengamati
fenomena ini, dan mereka menengarai pergerakan bulan akan berpengaruh pada
kondisi tubuh manusia. Sewaktu berlangsung bulan purnama (purnima), seseorang cenderung gelisah, mudah tersinggung, dan
bersifat pemarah. Sejak ribuan tahun yang lampau kaum brahmana di India percaya
bahwa adalah baik bagi rakyat untuk melakukan puasa selama sehari pada saat
bulan gelap dan bulan purnama. Setelah berpuasa dianjurkan agar orang hanya
mengkonsumsi makanan yang sifatnya ringan guna mengurangi keasaman pada sistem
tubuh, yang akan mengurangi laju metabolisme dan meningkatkan ketahanan tubuh.
Melaksanakan upacara persembahyangan pun diyakini membantu untuk menaklukkan
emosi buruk dan mengendalikan amarah, yang pada sore harinya diikuti dengan
berendam dan mandi di sungai.
Pada saat bulan baru atau Amavasya selain dilakukan puasa juga dilakukan persembahan makanan
kepada para leluhur, yang diyakini akan datang kepada keturunan mereka. Pada
saat Amavasya itu para leluhur akan
mengambil bagian dalam upacara itu dan jika persembahan itu tidak tersedia
mereka akan kecewa. Banyak hari perayaan, seperti Diwali, akan jatuh pada saat bulan gelap, karena Amavasya dianggap mewakili saat permulaan.
Para penganut berjanji untuk memulai sesuatu yang baru dengan penuh rasa
optimis, seperti halnya bulan baru memberikan fajar kehidupan yang baru pula.
Bagaimana masyarakat di zaman hidup Sang Buddha menyikapi
saat terjadinya malam bulan-mati dan bulan purnama? Dari kitab Vinaya Pitaka
(Vin.Mv. 2:1-2) diceritakan bahwa Seniya Bimbisara, Raja Magadha yang menjadi
penganut dan penyokong Sang Buddha, sekali waktu memohon kepada Beliau, agar
para bhikkhu memanfaatkan malam saat bulan-gelap dan bulan purnama untuk
berkumpul. Raja mendapatkan gagasan itu setelah ia melihat para petapa
pengembara berkumpul pada dua kesempatan ini di malam hari. Para petapa
pengembara membabarkan ajaran mereka dan penduduk yang dikunjungi bisa
mendengarkan dan menyimak pengajaran mereka. Masyarakat bertumbuh
kegandrungannya mendengarkan ajaran-ajaran dari berbagai sekte, dan mereka
percaya pada doktrin yang diajarkan oleh para petapa. Dengan begitu para petapa
pengembara mendapat dukungan langsung dari umat.
Usulan dari sang raja disetujui oleh Sang Buddha dan ia
menitahkan para siswanya untuk selalu berkumpul pada dua kesempatan itu. Pada
mulanya mereka hanya duduk bermeditasi bersama tanpa mengeluarkan sepatah kata
pun. Umat awam pun terheran-heran menyaksikan para bhikkhu duduk berdiam diri
semalaman layaknya kumpulan sapi bisu. Setelah mereka memprotes, Sang Buddha
mengizinkan mereka untuk membabarkan Dharma. Pada hari itu pun para bhikkhu
akan melakukan pembacaan-ulang Patimokkha
atau aturan kebhikkhuan. Sang Buddha pun menetapkan saat hari bulan-mati dan
bulan purnama sebagai hari besar untuk para bhikkhu, dan kita mengenalnya
sebagai hari Uposatha.
Peringatan hari Uposatha yang diadakan dalam siklus
empat-belas hingga lima-belas hari sekali dirasakan terlalu lama bagi sebagian
umat. Dalam masyarakat agraris tradisional, hari Uposatha juga dianggap sebagai
hari besar atau hari melaksanakan peribadatan. Belakangan mereka menyelipkan
hari Uposatha-tambahan, yakni satu hari di pertengahan antara hari bulan-mati
dan bulan-sempurna. Hari Uposatha tambahan ditetapkan pada hari kedelapan atau
plus tujuh hari setelah Uposatha bulan-gelap dan Uposatha bulan-sempurna.
Dengan begitu umat dapat melaksanakan Uposatha kurang lebih seminggu sekali,
sama seringnya seperti kita mengadakan puja bakti di rumah ibadah pada zaman
sekarang.
Dalam menentukan kapan jatuhnya hari Uposatha, umat
berpega
ng pada kalender Tionghoa atau kalender Buddhis. Sekarang apa relevansi
hari Uposatha bagi kita umat awam di zaman sekarang ini? Bagi kita hari Uposatha
seyogianya dijalankan berbeda dibandingkan saat kita melewatkan hari-hari
biasa. Inilah saatnya kita melaksanakan lelaku-spiritual, yang tidak sama
dengan menjalani rutinitas sehari-hari. Mulai dari menyediakan barang
persembahan di altar pemujaan keluarga, bersembahyang dengan menyalakan pelita
dan membakar dupa, berpuasa dengan tidak makan lagi setelah pukul dua-belas
siang, berpantang makan daging, menambah porsi pembacaan paritta atau keng, berlatih meditasi dengan lebih
intens, dan lain-lain. Sebagai penganut yang ingin melestarikan kebiasaan para
pendahulu kita, marilah kita melaksanakan ibadah di hari-hari Uposatha
berlandaskan tekad untuk memperbaiki diri, sesuai dengan kapasitas kita
masing-masing.
sdjn/dharmaprimapustaka/210113
Tidak ada komentar:
Posting Komentar