Rabu, 13 Januari 2021

UPOSATHA

 UPOSATHA

 



Seperti apakah penampakan bumi dilihat dari angkasa di malam hari? Anda yang suka naik pesawat bisa mengamatinya saat Anda akan lepas landas atau mendarat melalui jendela. Dari ketinggian tertentu tampak titik-titik cahaya di tengah gelap-gulitanya malam hari. Jauh di sekelilingnya yang ada hanyalah kegelapan belaka. Apa yang kita lihat itu boleh dikatakan setali tiga uang jika kita naik lebih tinggi lagi. Para astronot yang mengendarai wahana antariksa pun saat mengamati sisi permukaan bumi yang tidak diterangi oleh matahari, juga mendapatkan bagian bumi gelap gulita. Titik-titik cahaya berwarna putih-kekuningan pada daerah tertentu menandakan bahwa tempat itu adalah kota besar.

 

Titik-titik cahaya yang kita lihat dari angkasa bersumber dari lampu-lampu listrik yang menerangi kompleks perumahan, jalan raya, dan fasilitas publik. Pemandangan seperti itu pun baru berlangsung sekitar seratus dua puluh tahun terakhir ini. Sebelum tenaga listrik bisa dimanfaatkan secara masif untuk penerangan, pencahayaan di malam hari hanyalah berasal dari lampu minyak dan lilin. Jadi jika saat itu kita sudah mampu terbang tinggi ke angkasa, pada saat menatap ke bawah hanyalah hitam pekat kegelapan yang tampak sejauh mata memandang.

 

Bagaimana pemandangan yang akan nampak di bumi setelah sang surya telah sepenuhnya tenggelam? Anggaplah kita berada di zaman sebelum tenaga listrik bisa dimanfaatkan secara besar-besaran. Mereka yang suka camping di alam terbuka pasti ingat kiat manusia agar bisa bertahan dengan aman dan nyaman dalam situasi dan kondisi seperti itu. Saat senja mulai temaram, kemah atau pernaungan sementara harus sudah didirikan dan api unggun telah dinyalakan. Setelah hari semakin gelap obor atau pelita-minyak dipersiapkan agar kita mudah beraktivitas di sisa malam itu.

 

Demikianlah suasana malam hari yang dialami seorang petualang-alam sejak sang mentari telah sepenuhnya tenggelam di ufuk cakrawala hingga fajar mulai menyingsing. Malam penuh kegelapan persis sama dengan yang dialami oleh orang kebanyakan pada zaman kuno. Jika cuaca tak-berawan, langit malam akan dihiasi oleh jutaan bintang, yang beberapa konfigurasinya akan berpola seperti biduk, kalajengking, pencedok, atau tanda salib. Namun malam tidak selalu gelap gulita, karena berangsur-angsur suasana mulai sedikit terang karena sang rembulan mulai menampakkan diri di langit. Dan terangnya malam mencapai puncak kecerahannya pada hari keempat-belas atau kelima-belas. Pada saat itu di kubah-langit sang rembulan menciptakan penampilan dirinya yang terelok, bundar sempurna seperti piring yang bersinar keperakan.

 

Setelah mencapai puncaknya, penampilan sang pelita-malam pun dari hari ke hari mulai surut, dan setelah empat-belas hari kemudian ia tak tampak lagi. Namun tiga hari kemudian ia mulai menampakkan diri lagi dalam bentuk siluet sabit tipis di langit malam, serta siklus penampilannya kembali berulang. Nenek moyang kita belajar dengan mengamati siklus pasang-surutnya penampilan bulan. Mereka paham malam-malam gelap tidak ada bulan adalah saat yang terbaik untuk memancing ikan di laut maupun di sungai. Sedangkan saat bulan terang sempurna adalah masa ketika udang dan cumi-cumi melimpah memenuhi permukaan laut.

 

Dari ketiadaan malam tanpa bulan, disusul munculnya bulan sabit, terjadinya purnama raya, dilanjutkan dengan surutnya penampakan bulan, hingga sang pelita malam tidak kelihatan lagi, nenek moyang kita belajar bahwa kehidupan ini adalah sebuah siklus. Mircea Eliade dalam bukunya The Sacred and the Profane menyebutkan bahwa orang kuno telah mengenal lunar symbolism atau simbolisme bulan. Mereka sadar manusia muncul dari janin, kemudian terlahir sebagai bayi, bertumbuh kembang menjadi kanak-kanak dan remaja, lalu mencapai kedewasaan dan menikmati puncak hidupnya. Selanjutnya kehidupan manusia pun niscaya mengalami masa surutnya, ditandai dengan fisiknya yang semakin lemah dan menua, lalu diakhiri dengan kematian. Namun seperti halnya bulan mati yang akan muncul kembali, kematian bukanlah akhir dari segalanya, karena setelah kematian akan disusul dengan kebangkitan atau kelahiran-kembali.

 

Dari simbolisme bulan mereka juga menyadari bahwa bukan saja alam semesta beserta segenap isinya yang senantiasa berubah dan mengikuti siklus tertentu, tetapi hal yang sama terjadi pula pada kesuburan tanaman dan wanita. Dua hal itu memegang peranan penting dalam keberlangsungan hidup umat manusia. Kesuburan tanaman penting bagi ketersediaan pangan guna bertahan hidup, sedangkan kesuburan wanita harus senantiasa terjaga agar ras manusia tidak punah ditelan waktu. Entah kebetulan atau bukan kesuburan wanita pun mengikuti siklus bulanan, dan peristiwa menstruasi yang terjadi pada wanita digunakan sebagai tolak ukur untuk menghitung masa subur, yang berguna untuk merencanakan kelahiran keturunannya. Dalam kosakata kita kejadian itu dinamakan "datang bulan", karena ia hadir dalam siklus sebulan sekali,

 

Dari pasang-surutnya penampakan bulan di langit-malam, nenek moyang kita menyusun sistem penanggalan atau kalender. Mereka menamakan saat bulan sedang tenggelam total sebagai permulaan penanggalan atau tanggal "1". Sedangkan saat bulan purnama, mereka menamakannya sebagai tanggal "15". Karena peredaran bulan mengedari bumi setiap siklusnya berlangsung kurang lebih 29,5 hari, terkadang satu bulan akan berlangsung 30 hari, dan lain kali satu bulan hanya akan berlangsung 29 hari saja.

 

Di Tiongkok semenjak zaman kuno masyarakat di sana memaknai hari saat bulan gelap (tanggal 1) dan saat bulan terang (tanggal 15) sebagai hari dilakukannya persembahyangan. Sembahyang tanggal 1 dalam bahasa Hokian disebut "Ce It" sedangkan pada tanggal 15 dinamakan sebagai "Cap Go". Pada pagi dan sore hari orang terbiasa menyiapkan sesajian di meja abu leluhur. Sesajian yang lazim disediakan di meja abu atau altar keluarga antara lain tiga atau lima cangkir teh dan buah-buahan. Selain itu sepasang lampu pelita atau lilin dinyalakan sebelum persembahyangan dimulai.

 

Kepala keluarga memulai persembahyangan dengan membakar dupa atau hio dengan disertai harapan agar para leluhur mendapatkan keberkahan dan kebahagiaan di alam sana. Kemudian pembakaran dupa dilakukan pula oleh anggota keluarga lainnya. Selain persembahyangan yang dilakukan di meja abu leluhur, persembahyangan dilakukan pula di kuil. Di kuil yang dikenal pula sebagai kelenteng umat awam membawa sesajian dari rumah. Selain buah-buahan terkadang mereka membawa pula kue-kue yang akan dipersembahkan di sana. Tata cara persembahyangan di kuil ini pun sama, dengan ditandai persembahan sesajian dan pembakaran lilin dan dupa. Namun alih-alih persembahan ditujukan kepada para leluhur, di kuil persembahyangan ditujukan kepada para dewa. Setiap kuil memiliki dewa-dewa tertentu yang dipuja oleh umatnya, dan susunan dewa antara satu kuil dengan kuil yang lain tidaklah sama. Dengan bersembahyang di kuil setiap orang bisa berinteraksi dan bersosialisasi dengan umat lainnya.

 

Kita juga mengetahui posisi keberadaan bulan mempengaruhi pasang-surut air laut. Pada saat bulan mati dan bulan purnama pasang air laut di pantai akan mencapai ketinggian maksimum. Orang zaman kuno telah mengamati fenomena ini, dan mereka menengarai pergerakan bulan akan berpengaruh pada kondisi tubuh manusia. Sewaktu berlangsung bulan purnama (purnima), seseorang cenderung gelisah, mudah tersinggung, dan bersifat pemarah. Sejak ribuan tahun yang lampau kaum brahmana di India percaya bahwa adalah baik bagi rakyat untuk melakukan puasa selama sehari pada saat bulan gelap dan bulan purnama. Setelah berpuasa dianjurkan agar orang hanya mengkonsumsi makanan yang sifatnya ringan guna mengurangi keasaman pada sistem tubuh, yang akan mengurangi laju metabolisme dan meningkatkan ketahanan tubuh. Melaksanakan upacara persembahyangan pun diyakini membantu untuk menaklukkan emosi buruk dan mengendalikan amarah, yang pada sore harinya diikuti dengan berendam dan mandi di sungai.

 

Pada saat bulan baru atau Amavasya selain dilakukan puasa juga dilakukan persembahan makanan kepada para leluhur, yang diyakini akan datang kepada keturunan mereka. Pada saat Amavasya itu para leluhur akan mengambil bagian dalam upacara itu dan jika persembahan itu tidak tersedia mereka akan kecewa. Banyak hari perayaan, seperti Diwali, akan jatuh pada saat bulan gelap, karena Amavasya dianggap mewakili saat permulaan. Para penganut berjanji untuk memulai sesuatu yang baru dengan penuh rasa optimis, seperti halnya bulan baru memberikan fajar kehidupan yang baru pula.

 

Bagaimana masyarakat di zaman hidup Sang Buddha menyikapi saat terjadinya malam bulan-mati dan bulan purnama? Dari kitab Vinaya Pitaka (Vin.Mv. 2:1-2) diceritakan bahwa Seniya Bimbisara, Raja Magadha yang menjadi penganut dan penyokong Sang Buddha, sekali waktu memohon kepada Beliau, agar para bhikkhu memanfaatkan malam saat bulan-gelap dan bulan purnama untuk berkumpul. Raja mendapatkan gagasan itu setelah ia melihat para petapa pengembara berkumpul pada dua kesempatan ini di malam hari. Para petapa pengembara membabarkan ajaran mereka dan penduduk yang dikunjungi bisa mendengarkan dan menyimak pengajaran mereka. Masyarakat bertumbuh kegandrungannya mendengarkan ajaran-ajaran dari berbagai sekte, dan mereka percaya pada doktrin yang diajarkan oleh para petapa. Dengan begitu para petapa pengembara mendapat dukungan langsung dari umat.

 

Usulan dari sang raja disetujui oleh Sang Buddha dan ia menitahkan para siswanya untuk selalu berkumpul pada dua kesempatan itu. Pada mulanya mereka hanya duduk bermeditasi bersama tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Umat awam pun terheran-heran menyaksikan para bhikkhu duduk berdiam diri semalaman layaknya kumpulan sapi bisu. Setelah mereka memprotes, Sang Buddha mengizinkan mereka untuk membabarkan Dharma. Pada hari itu pun para bhikkhu akan melakukan pembacaan-ulang Patimokkha atau aturan kebhikkhuan. Sang Buddha pun menetapkan saat hari bulan-mati dan bulan purnama sebagai hari besar untuk para bhikkhu, dan kita mengenalnya sebagai hari Uposatha.

 

Peringatan hari Uposatha yang diadakan dalam siklus empat-belas hingga lima-belas hari sekali dirasakan terlalu lama bagi sebagian umat. Dalam masyarakat agraris tradisional, hari Uposatha juga dianggap sebagai hari besar atau hari melaksanakan peribadatan. Belakangan mereka menyelipkan hari Uposatha-tambahan, yakni satu hari di pertengahan antara hari bulan-mati dan bulan-sempurna. Hari Uposatha tambahan ditetapkan pada hari kedelapan atau plus tujuh hari setelah Uposatha bulan-gelap dan Uposatha bulan-sempurna. Dengan begitu umat dapat melaksanakan Uposatha kurang lebih seminggu sekali, sama seringnya seperti kita mengadakan puja bakti di rumah ibadah pada zaman sekarang.

 

Dalam menentukan kapan jatuhnya hari Uposatha, umat berpega
ng pada kalender Tionghoa atau kalender Buddhis. Sekarang apa relevansi hari Uposatha bagi kita umat awam di zaman sekarang ini? Bagi kita hari Uposatha seyogianya dijalankan berbeda dibandingkan saat kita melewatkan hari-hari biasa. Inilah saatnya kita melaksanakan lelaku-spiritual, yang tidak sama dengan menjalani rutinitas sehari-hari. Mulai dari menyediakan barang persembahan di altar pemujaan keluarga, bersembahyang dengan menyalakan pelita dan membakar dupa, berpuasa dengan tidak makan lagi setelah pukul dua-belas siang, berpantang makan daging, menambah porsi pembacaan paritta atau keng, berlatih meditasi dengan lebih intens, dan lain-lain. Sebagai penganut yang ingin melestarikan kebiasaan para pendahulu kita, marilah kita melaksanakan ibadah di hari-hari Uposatha berlandaskan tekad untuk memperbaiki diri, sesuai dengan kapasitas kita masing-masing.

 

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/210113

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar