Sabtu, 14 Desember 2024

KISAH SANG PENENUN DAN SANG PENGGEMBALA



Alkisah pada zaman dahulu kala di Tiongkok ada seorang anak laki-laki yang sejak kecil sudah yatim-piatu. Anak itu tinggal bersama kakak lelakinya dan kakak iparnya. Isteri kakaknya itu sangat tidak suka dengan kehadiran adik iparnya, yang terpaksa harus tinggal serumah dengan mereka. Dia sering menghardik si bocah kecil itu. Si kecil tumbuh menjadi pribadi yang pendiam dan penyendiri. Kesibukannya sehari-hari hanya menggembalakan seekor lembu tua yang dimiliki keluarga tersebut. Nama si bocah itu tidak banyak diketahui oleh orang dusun itu, dan dia sering dipanggil sebagai sang penggembala sapi atau Niú Láng (牛郎).

 

Niú Láng tidak punya sahabat atau orang yang bisa diajak berteman. Satu-satunya makhluk yang bisa diajak bicara tidak lain si lembu tua. Bila ada masalah dia mulai bercakap-cakap dengan hewan piaraannya. Lucunya sang lembu sepuh menanggapinya dengan menggerak-gerakkan mulutnya atau memainkan ekor. Agaknya hewan itu mengerti apa yang menjadi kegundahan majikannya. Niú Láng sangat menyayangi sapinya, dengan selalu memberikan rumput segar dan hijau, serta disediakannya air bersih dari mata air dekat rumahnya. Di musim dingin dia akan membangun naungan sederhana agar hewan kesayangannya tidak kedinginan, dan di musim panas lembunya akan digiring ke padang yang diteduhi pepohonan.

 

Ketidaksukaan sang kakak ipar terhadap si bocah disadari oleh suaminya, yang juga tidak berdaya menghadapi perilaku isterinya yang semena-mena. Niú Láng hanya diberi makan seadanya, dan pakaian yang dikenakannya hanyalah pakaian bekas yang telah usang. Sejak lama si kakak ipar sebenarnya ingin sekali mengusir anak itu dari rumah mereka, tetapi dia selalu bisa mengurungkan niat buruknya itu, karena dia tidak ingin digunjingkan oleh para penduduk di dusun itu. Sampai akhirnya Niú Láng mencapai kedewasaan.

 

Suatu hari abangnya memanggilnya, "Sekarang engkau sudah besar. Sudah waktunya hidup sendiri. Tugasku sebagai kakak telah selesai." Dengan wajah ketakutan karena sejak tadi dia diawasi oleh isterinya, sang kakak melanjutkan: "Sebelum engkau pergi, kamu boleh mengambil salah satu peninggalan almarhum ayah kita." Si kakak ipar yang sedang panas hatinya langsung berseru: "Buat apa meminta dia memilih barang warisan? Anak macam itu tidak berguna. Kita berdua sudah memelihara dan merawatnya sejak kecil, tetapi apa balas budinya? Jika engkau mau memberikan warisan kepadanya, serahkan saja lembu tua itu. Lalu enyahkan dia segera dari rumah kita."

 

Niú Láng hanya bisa mengelus dada mendengar ucapan kakak iparnya. Pikirnya, "Asalkan aku diizinkan pergi dari rumah ini bersama lembu tua itu, kami berdua sudah merasa senang. Kami akan hidup bersama-sama." Setelah berpamitan dengan keduanya, Niú Láng dengan menggiring hewan piaraannya segera meninggalkan dusun itu. Mereka pergi jauh, hingga akhirnya berhenti di sebuah kaki bukit. Di tempat itu Niú Láng membangun gubuk kecil beserta kandang ternak secara sederhana. Dia dituntut untuk bekerja keras agar bisa mandiri di tempat tinggalnya yang baru. Hari-harinya dihabiskan untuk membuka ladang, bercocok tanam, dan melakukan pekerjaan rumah; hanya dengan ditemani sang lembu sepuh.

 

Pada suatu malam ketika Niú Láng bersiap-siap untuk tidur, sekonyong-konyong telinganya mendengar ada seseorang yang memanggil namanya. Dengan terheran-heran, karena dia hanya tinggal sendirian di tempat terpencil itu, Niú Láng pun segera mencari asal suara panggilan itu. Betapa terkejutnya dia setelah tahu suara yang mirip ucapan manusia itu ternyata berasal dari mulut lembunya. Sang sapi sepuh ternyata bisa bicara!! "Besok senja di tepi telaga sana, sekelompok wanita muda akan mandi di air yang jernih itu. Jika engkau tertarik dengan salah satu di antara mereka, engkau bisa menjadikan dia sebagai isterimu. Cukup engkau ambil gaunnya dan sembunyikanlah benda berharga tersebut." Niú Láng tertegun beberapa saat. Dia menyadari usianya sudah cukup untuk berkeluarga. Namun siapa gerangan wanita yang mau menjadi pasangannya. Dia sendiri hidup sebatang kara dan tidak memiliki kekayaan apa pun.

 

Keesokan harinya dengan hati berdebar-debar, dia sudah mengendap-endap di tepi telaga yang berada tidak jauh dari gubuknya. Sore itu cuaca amat cerah dan angin berhembus semilir. Telaga bagaikan permandian-surgawi, yang di satu sisinya dibatasi oleh bukit tinggi yang menjulang kehijauan. Burung-burung hinggap di pepohonan dan mereka semua menyanyikan cericit merdunya. Niú Láng sengaja menyembunyikan dirinya agar tidak terlihat oleh siapa pun.

 

Benar saja perkataan sang lembu sepuh! Beberapa saat kemudian tujuh bidadari turun dari langit dan mereka semua turun ke tepi telaga. Mereka semua sangat rupawan. Masing-masing mengenakan gaun-surgawi yang berwarna putih, merah, kuning, abu-abu, hijau, biru, dan ungu. Seperti yang dilakukan oleh perempuan manusia, mereka bertujuh menanggalkan busananya dan segera menceburkan diri ke air yang jernih itu. Niú Láng menatap pada tujuh peri itu dengan perasaan takjub. Hatinya terguncang melihat kecantikan mereka. Dia pun langsung jatuh cinta kepada sang bidadari yang tadinya mengenakan gaun merah.

 

Dengan sembunyi-sembunyi Niú Láng mendekati tempat para peri itu meletakkan pakaian mereka. Segera diambilnya gaun-surgawi yang berwarna merah, lalu dimasukkannya ke dalam kantung yang dibawanya. Belum pernah seumur hidupnya sang penggembala melihat dan memegang gaun merah, yang terbuat dari kain sutera-surgawi itu. Lalu dengan secepat kilat Niú Láng pun segera membawa lari kantung berisi busana peri itu ke sebuah tempat rahasia di ladangnya.

 

Setelah puas mandi dan berenang di telaga, para bidadari pun menepi untuk mengambil busana mereka. Alangkah kagetnya sang peri yang semula mengenakan gaun merah, ketika mendapatkan busananya hilang. Mereka semua menyisir bantaran telaga itu, namun usaha mereka tidak membuahkan hasil. Karena hari menjelang gelap enam bidadari yang telah mengenakan busananya segera meninggalkan telaga, dengan terbang kembali ke kahyangan. Si peri yang tadinya mengenakan gaun merah tidak bisa terbang, dan makhluk kahyangan yang malang itu pun hanya bisa tinggal di tempat sambil menangis tersedu-sedu.

 

Dengan berpura-pura iba Niú Láng menemui sang peri yang malang itu. Dia menawarkan jubah luarnya untuk dipakai oleh sang bidadari. Karena terpaksa dia pun menerima tawaran pemuda itu. Keduanya pun segera pulang ke gubuk sang penggembala. Lama kelamaan tumbuh rasa cinta dan sayang di antara keduanya. Mereka pun akhirnya menikah sebagai pasangan suami-isteri. Belakangan sang peri bercerita bahwa dia adalah salah satu puteri dari Sang Ibunda Ratu dari Barat atau Xī Wáng Mǔ (西王母). Sang Ibu Suri ini masih kerabat dari Kaisar Kemala atau Yù Huáng Dà Dì (玉皇大帝).

 

Sang peri yang suka mengenakan gaun merah ini dikenal sebagai Sang Gadis Penenun atau Zhī Nǚ (織女). Sejak kecil dia ditugaskan oleh ibunya untuk menenun awan guna mendekorasi langit. Setiap hari dia melakukan tugasnya dengan rajin. Pagi hari dia menenun awan putih, sedangkan di saat senja sang peri membuat awan lembayung. Waktu pun berlalu dengan cepat. Keluarga Niú Láng dan Zhī Nǚ tambah sejahtera. Dengan keterampilannya menenun, sekarang Zhī Nǚ dapat dengan mudah membuat kain sutera yang indah. Sedangkan Niú Láng tetap mengerjakan ladang dan bercocok tanam. Mereka pun sudah memiliki seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan.

 

Pada suatu hari ketika Niú Láng sedang memberi makan hewan piaraannya, tiba-tiba lembu itu menangis. Niú Láng merasa heran dan bertanya kepadanya: "Wahai lembu sepuh. Mengapa engkau menangis?" Sambil menghela napas panjang si sapi berkata: "Engkau sudah bersikap baik selama ini kepadaku. Tetapi aku tidak bisa menemanimu selamanya. Ajalku sudah dekat. Setelah aku mati, ambillah kulitku. Jahitlah menjadi sebuah pakaian. Jika engkau terdesak, engkau langsung bisa memakai gaun kulit sapi itu, dan benda ini akan membantumu." Segera setelah sapi tua itu mati, suami-isteri itu segera menguliti jasad hewan itu. Sisa tubuhnya dikuburkan dan kulitnya dibuat menjadi sebuah gaun.

 

Waktu di bumi sudah berjalan sekitar tujuh tahun, tetapi di kahyangan waktu baru beringsut satu minggu. Sang Ibunda Ratu baru sadar, salah satu puterinya selama ini belum pulang ke kahyangan. Dengan penuh rasa penasaran dia meminta bawahannya, sesosok dewa, untuk mencari puterinya. Setelah mencarinya di bumi, dewa itu menemukan sang peri, yang ternyata sudah menikah dengan seorang manusia. Ibunda Ratu menjadi murka dan bersama dengan beberapa pengawalnya, dia pun segera turun ke bumi.

 

Rombongan dewata pun segera menerobos rumah Zhī Nǚ. Kebetulan saat itu Niú Láng sedang berada di ladang. Tanpa berkata panjang lebar Sang Ibunda Ratu langsung menangkap Zhī Nǚ, agar bisa dibawa dan diadili di kahyangan. Kedua anaknya sambil menangis berupaya memegang gaun ibunya. Sang Ibunda Ratu langsung melepaskan cengkraman kedua anak kecil itu dan mendorong mereka ke belakang. Dari ketinggian, Zhī Nǚ yang melihat anak-anaknya menangis dan menjerit-jerit, segera berteriak: "Cepat panggil ayahmu dan minta dia segera menyusulku."

 

Tatkala Niú Láng kembali ke rumah beserta kedua anaknya, tempat tinggal mereka sudah porak poranda, dan Zhī Nǚ sudah menghilang di balik awan. Dua anak itu menangis terus dan Niú Láng bingung harus berbuat apa. Sekonyong-konyong dia teringat pada pesan si lembu tua. Segera dimasukkan kedua anaknya ke dalam keranjang. Lalu diikatkan kedua wadah itu ke tubuhnya. Kemudian mereka bertiga menyelimuti sekujur tubuh mereka dengan gaun kulit sapi itu. Ajaib!! Tubuh Niú Láng mendadak menjadi ringan dan dia dengan mudah melesat ke angkasa. Tubuh Niú Láng bergerak makin cepat dan diperkirakan sebentar lagi dia bisa menyusul Zhī Nǚ. Niú Láng pun berteriak: "Zhī Nǚ, jangan khawatir, sebentar lagi aku akan menjemputmu!" Sang Ibunda Ratu geram mendengar teriakan itu. Dilihatnya ke belakang, Niú Láng hampir menyusul mereka.

 

Pada saat yang kritis itu Sang Ibunda Ratu mencabut sebuah tusuk konde kemala dari gelungan rambutnya. Lalu dilemparkannya benda pusaka itu ke arah Niú Láng. Dalam sekejap tiba-tiba muncullah sebuah sungai yang terbentang di hadapan Niú Láng. Sungai itu sangatlah lebar dan arusnya amatlah derasnya. Betapa pun keras usaha Niú Láng untuk menyeberangi sungai itu, tetaplah dia tidak dapat berbuat banyak. Bapak dengan kedua anaknya hanya bisa menatap air sungai yang bergelora. Niú Láng bersumpah – apa pun yang terjadi dia harus bertemu dengan Zhī Nǚ.

 

Mitologi Tiongkok Kuno ini bisa ditelusuri sebelum masa Dinasti Han. Jika orang pada zaman kuno memandang langit (di bumi belahan utara), mereka akan melihat Niú Láng di sebelah barat sebagai bintang Altair dan Zhī Nǚ di sisi timur sebagai bintang Vega. Keduanya dipisahkan oleh sungai deras di langit, yakni Galaksi Bima Sakti. Kedua bintang itu akan berdekatan sekitar tanggal tujuh bulan tujuh menurut penanggalan Tionghoa; atau antara akhir bulan Juli hingga akhir Agustus. Jika langit cerah tak berawan orang dapat melihatnya dengan jelas. Biasanya pada musim tersebut, sekawanan burung murai yang tidak terhitung banyaknya, akan terbang melintasi Bima Sakti dan membentuk sebuah jembatan. Di tengah jembatan ini dipercaya Niú Láng dan Zhī Nǚ akan bertemu. Setiap kali bertemu, pertemuan keduanya bagai diselimuti kegembiraan sekaligus kesedihan. Rasanya sulit untuk menahan jatuhnya air mata. Konon pada malam harinya, jika seseorang bersembunyi di bawah belukar pohon anggur, dia akan mendengar suara Niú Láng dan Zhī Nǚ yang sedang berbincang-bincang. Keduanya saling mengutarakan kerinduannya setelah setahun mereka tidak berjumpa.

 

Itulah asal mula Festival Qī Xì (七夕) atau Perayaan Hari Ketujuh-Bulan-Ketujuh atau Perayaan Malam Serba-Tujuh; juga dinamakan Qǐ Qiǎo (乞巧) atau diindonesiakan sebagai "Perayaan Sang Pengrajin yang Putus Asa". Malam pertemuan antara Niú Láng dan Zhī Nǚ dikenal oleh masyarakat Tionghoa dan Diasporanya di mancanegara sebagai "Hari Valentine Tionghoa", atau "Hari Kasih Sayang Tionghoa".

 

 

 

sdjn/dpn/241214


Jumat, 29 November 2024

KISĀ GOTAMĪ


 

Hari masih pagi ketika Kisā Gotamī, seorang ibu muda, sedang bermain-main di pekarangan bersama dengan putera semata wayangnya, Rajesh. Ibu dan anak itu bergembira di hari yang cerah, serta sang surya pun memancarkan cahaya bening dan lembutnya. Rajesh yang berumur hampir dua tahun itu sedang lucu-lucunya, dan dia melangkah dengan tertatih-tatih mengikuti ibunya yang berjalan beberapa depa di mukanya. Namun siapa yang bisa menduganya, kegembiraan ibu dan anak itu dalam sekejap mata bisa menjadi awal dukacita yang mendalam? Sekonyong-konyong tubuh kecil yang limbung itu tersandung gundukan semak yang ada di hadapannya. Rajesh kecil yang malang! Tubuhnya terayun ke depan dan seketika kepalanya terantuk membentur bumi. Gotamī yang berjalan pelan dan kepalanya sedang menengok ke belakang, tiba-tiba terperanjat menyaksikan putera kesayangannya terjatuh.

 

Dihampirinya, dibangunkannya, dan digendong kembali anaknya. Gotamī pun memanggil-manggil namanya: "Rajesh! Rajesh!" Tetapi anak kecil itu tidak meresponnya. Dia masih terdiam tak berdaya. Gotamī menjadi panik dan dia menjerit-jerit, minta bantuan pada orang-orang yang ada di sekitar tempat itu. Orang-orang dusun segera berkerumun. Sebagian dari mereka mencoba memijat tengkuk dan kepala bocah itu, yang lain mencoba menghembuskan udara melalui mulut anak itu, namun Rajesh tetap bergeming. Tangis Gotamī semakin menjadi-jadi. Seorang ibu tua mengusulkan, "panggil pak Tabib!" Tidak beberapa lama kemudian sang tabib pun datang. Dia memeriksa tubuh kaku itu dengan teliti, mendengarkan sisa napasnya, dan meraba urat nadinya. Sesaat kemudian dia berucap: "Anak ini sudah meninggal."

 

Pecah tangis Gotamī. Tak disangka bahwa putera kesayangannya akan berpisah begitu cepat dengan dirinya. Padahal kelahiran puteranya ini telah mengubah jalan hidupnya ke arah keberuntungan. Gotamī yang dulunya miskin dan papa bisa mendapatkan suami yang terpandang. Menjadi isteri orang pun tidak serta-merta membuatnya bahagia. Dia masih disepelekan dan dihina oleh famili suaminya. Barulah setelah Rajesh lahir, keluarga suaminya menghormati dirinya. Jika sekarang dia tidak punya Rajesh lagi, entah perlakuan buruk apa yang akan menimpanya kelak. Tidak bisa menerima kematian puteranya, Gotamī pun mulai menyangkal. Digendongnya anak itu dan dia menganggap Rajesh masih pingsan.

 

Sambil membopong anaknya yang terkulai di pundaknya, Gotamī meninggalkan kerumunan orang dusun itu, beserta sang Tabib yang masih berusaha mengingatkannya. Namun perempuan muda itu tidak peduli. Dia pergi meninggalkan desanya, berkelana untuk mendapatkan obat yang sekiranya mampu menghidupkan kembali putera kesayangannya. Sepanjang perjalanan jika dia bertemu dengan orang asing, dia akan menanyakan siapa yang memiliki ramuan yang bisa membuat anaknya sadar atau siuman kembali. Sebagian dari mereka malahan mencibir, melecehkan, dan bahkan menghinanya; menganggap Gotamī sudah gila. Namun ada juga yang merasa iba dan menasehatinya, agar dia mengikhlaskan kepergian puteranya.

 

Matahari sudah condong ke barat sewaktu Gotamī bertemu dengan seorang petani tua di sebuah pondok di tepi jalan. Keheranan melihat ada perempuan asing yang berjalan dengan ringkih sambil menggendong anaknya, sang petani menanyakan ikhwal sang pengelana itu. Setelah mendengar ceritanya, sang petani berkata: "Ketahuilah anakku, seorang Buddha telah muncul di dunia ini. Beliau memiliki pengetahuan dan kesaktian yang sangat tinggi. Cobalah engkau memohon pertolongan kepadanya. Semoga puteramu dapat diselamatkan." - "Dimanakah beliau tinggal? Aku akan meminta bantuannya." - "Di luar kotaraja Srāvastī. Di tempat tetirah beliau yang bernama Kuil Jetavana." - "Jika demikian, aku akan segera berangkat ke sana." – "Mohon jangan pergi sekarang. Sebentar lagi hari sudah beranjak gelap. Engkau boleh pergi ke sana esok subuh." - "Baiklah, kakek." Petani tua yang baik hati segera menyediakan makan malam dan tumpangan untuk perempuan muda yang malang itu.

 

Keesokan harinya pagi-pagi buta, Gotamī sambil menggendong anaknya berpamitan kepada kakek petani, dan dia segera menuju kotaraja Srāvastī. Setelah bertanya kepada penduduk setempat, dia berhasil mencapai Kuil Jetavana. Saat itu masih pagi dan para bhiksu sedang memulai aktivitas mereka di komplek kuil, ketika Kisā Gotamī memasuki tempat itu sambil menggendong jasad anak kesayangannya. Yang Mulia Ānanda mengantarkannya menghadap Sang Buddha. Sang Guru sedang duduk di atas sebuah dipan. Seorang Manusia Agung dengan kulit tubuh keemasan dan di sekeliling kepalanya dipenuhi oleh aura putih yang bersinar cemerlang.

 

Dengan takjub Kisā Gotamī memandang Sang Buddha yang tepat berada di hadapannya. Dia meletakkan jasad anaknya dengan hati-hati di depan dipan Sang Guru. Seraya melakukan penghormatan layaknya seorang yang berkedudukan lebih rendah, perempuan muda itu pun bersimpuh di hadapan Sang Guru. "Wahai Tabib Agung. Aku mohon agar anakku dapat hidup kembali. Tolong berikan aku obat atau ramuan yang mujarab." Sang Guru dengan penuh welas asih menatap perempuan itu, yang sedang mengharapkan mukjizat yang bisa membuat anaknya hidup kembali. "Baiklah, Gotamī. Aku dapat membangunkan anakmu kembali. Bawakanlah aku segenggam biji lada.“

 

Bak disambar petir wajah Gotamī dalam sekejap menjadi sumringah. Pikirnya: "Ternyata obatnya mudah saja. Hanya segenggam biji lada." Tetapi Sang Buddha menambahkan: "Wahai, Gotamī. Lada itu harus engkau dapatkan dari seseorang yang belum pernah kehilangan sanak saudaranya." Masih berpikir optimistis, Gotamī pun berpamitan kepada Sang Buddha sambil membawa jasad anaknya.

 

Setelah berjalan beberapa saat perempuan muda itu mendapati sebuah rumah seorang ibu paruh baya. Gotamī meminta segenggam biji lada kepada perempuan setengah umur itu. Dengan tatapan penuh iba, dia lalu mengajak Gotamī pergi ke dapurnya yang berada di belakang pondoknya. Dari dalam sebuah almari dikeluarkannya sejumlah buli-buli yang terbuat dari keramik. Lalu perempuan setengah baya itu membuka wadah-wadah tembikar itu. Di dalamnya bisa ditemukan lada putih, lada hitam, cengkeh, kapulaga, jinten, kayu manis, biji dan bunga pala kering, dan masih banyak rempah-rempah lainnya. Bahkan di satu wadah ada saffron yang berwarna merah. Semua bumbu masak itu banyak tersedia di Jambudvipa pada masa itu, dan penduduk menggunakannya untuk memasak kari. Si ibu tua itu kemudian mengambil sejumput lada putih, lalu dia memasukkannya ke dalam kantung kecil yang terbuat dari kulit domba. Gotamī dengan gembira menerima kantung berisi biji lada putih itu, namun tiba-tiba dia teringat pesan Sang Buddha. "Apakah Ibu memiliki sanak saudara yang telah meninggal dunia?" Ibu itu menjawab: "Benar, suamiku tercinta wafat setengah tahun yang lalu." Mendengar jawaban itu, Gotamī pun menjadi lemas dan kecewa. "Maafkan aku, Ibu. Aku tidak bisa menerima pemberianmu." Dia pun meninggalkan pondok itu dan meneruskan perjalanannya.

 

Di sepanjang jalan yang dia tempuh, Gotamī mengemis segenggam biji lada dari rumah ke rumah. Orang banyak dengan senang hati memberikan barang yang dimintanya. Namun begitu perempuan malang itu bertanya, apakah si empunya biji lada itu belum pernah kehilangan sanak saudaranya, jawaban yang sama yang selalu didapatkannya. "Oh, orang tuaku telah tiada lima tahun berselang," Kakak lelakiku sudah berpulang kemarin dulu," "Anak perempuanku telah meninggal dunia tahun yang lalu."

 

Matahari sudah hampir menuju peraduannya dan lembayung senja menyinari angkasa dengan semburat jingganya. Gotamī yang kelelahan terkulai lemah di bawah sebatang pohon, di tepi jalan besar di luar kotaraja Srāvastī. Seberkas cahaya menerangi batinnya:

 

"Sesungguhnya lebih banyak orang mati di dunia ini,

Dibandingkan dengan mereka yang masih bertahan hidup;

Manusia yang ada di sekelilingku,

Tak ada satu pun yang belum pernah kehilangan sanak keluarganya."

 

Dipandangi, diciumi, dan dipeluknya jasad Rajesh, puteranya yang tercinta. Lalu dibungkusnya jasad si kecil yang selama ini menjadi pendamping hidupnya. Dengan sisa-sisa tenaganya Gotamī pun menguburkan putera kesayangannya.

 

Keesokan harinya Gotamī sudah kembali ke Kuil Jetavana. Dia tidak ingin kembali ke kediaman suaminya. Sang Buddha bertanya kepadanya: "Wahai, Gotamī. Apakah engkau sudah mendapatkan biji lada yang aku minta kemarin?" "Biji lada dengan mudah bisa aku dapatkan, tetapi mustahil aku peroleh dari orang yang tidak pernah kehilangan sanak saudaranya. Sekarang aku punya permintaan lain, wahai Tabib Agung." - "Apa itu Gotamī?" - "Aku ingin menjadi siswa Yang Mulia." Sang Buddha menyetujui dengan berdiam diri. Lalu beliau memerintahkan agar Ānanda memfasilitasi keinginan mulia Kisā Gotamī.

 

 

sdjn/dpn/241129


Jumat, 15 November 2024

SÌ MIÀN FÓ



Hari Sabtu tanggal 9 November 2024 bukan saja menjadi hari istimewa bagi para pemuja Sì Miàn Fó (四面佛) atau dialihbahasakan sebagai Buddha Berwajah Empat. Hari itu juga bertepatan dengan hari kebesarannya, yang dirayakan setiap tahun. Sì Miàn Fó dalam bahasa Thai dinamakan Phra Phrom, atau Vara Brahma. Dipuja sebagai dewa, mungkin lebih cocok kita namakan sosok ini sebagai Sì Miàn Shén (四面神), atau Dewa Berwajah Empat. Sì Miàn Fó selain dipuja oleh masyarakat Thailand, juga tidak asing bagi Diaspora Tionghoa yang berdominsili di Hongkong, Makau, dan Taiwan.

 

Di Asia Tenggara, terutama Thailand, Sì Miàn Fó dianggap sebagai dewa yang memiliki kekuatan tak terbatas dan mengendalikan kejayaan serta kekayaan dunia ini. Altar Buddha Berwajah Empat di Bangkok, merupakan salah satu tempat ibadah paling populer di Thailand. Altar ini terletak di persimpangan Jalan Ratchadamri dan Jalan Phloen Chit di Erawan, pusat kota Bangkok, dekat dengan Hotel Grand Hyatt dan Sogo Department Store. Arca ini diabadikan dalam kuil granit yang terbuka setinggi 4 meter yang didesain dengan sangat indah. Patung ini duduk tegak di tengah-tengahnya dengan tubuh berwarna emas, dan wajah serta postur yang sama di keempat sisinya.

 

Sì Miàn Fó memiliki empat wajah, delapan telinga, delapan lengan, dan delapan tangan. Masing-masing wajah tersebut menghadap ke empat arah mata angin. Masing-masing wajah tersebut melambangkan cinta kasih universal, welas-asih, simpati, dan ketenangseimbangan. Para peziarah biasanya memberikan persembahan yang terdiri dari 12 batang dupa, 1 buah lilin, dan 4 buah karangan bunga. Masing-masing tiga batang dupa dan sebuah karangan bunga ditempatkan di hadapan wajah arca Sì Miàn Fó. Konon, dewa ini bertanggung jawab atas semua urusan manusia, dan keempat sisinya memiliki tuah yang berbeda. Sisi depan untuk memohon agar bisnis berjalan dengan lancar, sisi kiri untuk memperoleh jodoh atau pernikahan yang bahagia, sisi kanan diperuntukkan untuk mendapatkan kesehatan, dan sisi belakang khusus permohonan guna mendapatkan kekayaan.

 

Banyak wisatawan melakukan perjalanan bolak-balik ke Thailand hingga berkali-kali untuk mengucapkan ikrar dan memenuhi keinginan mereka di hadapan Sì Miàn Fó, terutama di hari kebesarannya. Para bintang film Hong Kong dan Taiwan datang ke Thailand setiap tahun untuk memuja Buddha Berwajah Empat, yang memperlihatkan pesonanya yang begitu kuat. Misalnya, bintang film Deborah, Tony Leung, Sammo Hung, dan Nicholas Tse.

 

Mungkin ada di antara pembaca yang bertanya, mengapa bisa ada kultus pemujaan Sì Miàn Fó di Thailand yang mayoritas penduduknya beragama Buddha Theravada? Semuanya ini bermula di tahun 1951. Saat itu ada proyek pembangunan hotel baru di pusat kota Bangkok yang dinamakan Erawan (yang menjadi pendahulu Hotel Grand Hyatt). Sebutan itu adalah nama gajah surgawi yang merupakan tunggangan Dewa Indra, yakni raja para dewa. Arca Dewa Indra yang sedang menunggang hewan peliharaannya ditempatkan di pojok sebelah depan hotel. Proyek pembangunan hotel tersebut sudah berjalan selama empat tahun, tetapi bangunannya tidak selesai juga. Malahan banyak terjadi kecelakaan kerja di proyek konstruksi tersebut.

 

Pemilik hotel kemudian mengundang Mayor Jenderal Luang Suvitsanpai, yang konon memiliki mata batin dan kemampuan cenayang yang mumpuni. Beliau lalu menginspeksi dan menemukan, bahwa arca Dewa Indra yang sedang menunggang gajah Erawan tidak memadai untuk dijadikan perlindungan. Beliau menganjurkan agar dihadirkan lagi sosok dewa yang lebih perkasa dibandingkan Dewa Indra. Pilihannya jatuh pada sosok yang lebih tinggi daripada Dewa Indra, yakni Dewa Brahma. Ada berbagai perwujudan Dewa Brahma dalam bentuk arca. Kebetulan pada kepercayaan Buddhis ada konsep Empat Brahma Vihara, maka dibuatlah patung Brahma yang berwajah empat. Perwujudan arca Brahma sebetulnya berasal dari keyakinan Hinduisme. Selanjutnya patung Dewa Brahma yang memiliki empat wajah itu didesain dan dibuat oleh para pengrajin. Setelah selesai arca itu ditempatkan di atas sebuah altar di depan hotel. Saat itu dimulai kembali pemujaan Brahma di Thailand, yang sempat padam selama berabad-abad.

 

Minggu lalu ada kabar gembira bagi para pemuja Sì Miàn Fó. Tepatnya di Kawasan Pantai Indah Kapuk, di Simpang Empat Riverwalk Island, sudah diresmikan arca yang serupa dengan yang terdapat di Bangkok. Adalah grup usaha Agung Sedayu Group (ASG), yang telah merintis pengadaannya sejak beberapa waktu sebelumnya. Sebelumnya telah ada tim yang melakukan perjalanan ke Thailand guna mengikuti proses pembuatan patung serta mahkota dan pilar yang dibuat secara handmade. Demikian yang penulis kutip dari laporan Nabila Els di detik.com. (Catat Tanggalnya! Buddha 4 Wajah Hadir di PIK2, 16-Jun-2023).

 

Arca Sì Miàn Fó yang hadir di PIK2 dibuat khusus oleh pengrajin ahlinya, Puan Sarunee Sangsee. Patung berlapis emas ini membutuhkan waktu berbulan-bulan hingga mencapai bentuk akhirnya. Belum lagi bagian pedestal dan atapnya yang dibuat di daerah Suphan Buri, Thailand. Bagian dasar, atap, dan tiang penyangga pada seluruh permukaannya ditutupi oleh potongan-potongan kaca warna-warni yang disusun secara artistik. Setelah keseluruhan arca dan bagian pendukungnya rampung, masih ada inspeksi ketat dari Kementerian Kebudayaan Thailand. Seluruh karya seni ini adalah buatan tangan dan merupakan keunikan tersendiri.

Semoga dengan telah diresmikan dan dibukanya keberadaan Sì Miàn Fó di PIK2, properti yang dipersembahkan oleh Agung Sedayu Group ini, dapat dijadikan tempat beribadah yang baru bagi umat Buddha dan Tridharma di Indonesia.

 

 

sdjn/dpn/241111

  

Kamis, 16 Mei 2024

ZAMAN AKSIAL



Manusia modern atau dinamakan homo sapiens, yang kita kenal sekarang sudah ada sejak kurang lebih 300 ribu tahun yang silam. Dalam kurun waktu yang sedemikian panjang makhluk paling cerdas di bumi ini dikenal sebagai pemburu-pengumpul. Baru kira-kira 13 ribu tahun yang lalu homo sapiens mengenal cara bercocok tanam dan mereka mulai bermukim di satu tempat, alih-alih berpindah-pindah. Beranjak dari apa yang kita namakan sebagai Zaman Batu, ketika manusia mengenal perkakas dan alat bantu dari batu, perlahan-lahan mereka mulai mengenal penggunaan logam. Pengetahuan tentang metalurgi dimulai sejak 6000 tahun yang lalu.

 

Demikianlah setelah itu peradaban manusia mulai meningkat secara berangsur-angsur, dan kebudayaan tumbuh secara ajeg. Tidak ada kemajuan berarti dalam masa waktu enam milenia itu. Kemudian, hanya dalam kurun waktu enam abad terjadi sesuatu yang luar biasa. Satu ledakan pemikiran yang sangat revolusioner terjadi. Dari sekitar tahun 800 hingga tahun 200 sebelum Masehi, beberapa peradaban besar melahirkan orang-orang yang luar biasa, pula dengan gagasan-gagasan yang tidak pernah ada sebelumnya.

 

Periode enam abad ini dikenal dengan sebutan "Zaman Aksial", atau bisa juga disebut "Zaman Poros". Ini mengacu pada satu periode ketika, kira-kira pada waktu yang bersamaan di sebagian wilayah; sistem intelektual, filosofis, dan keagamaan besar lahir di dunia ini. Nama Zaman Aksial berasal dari bahasa Jerman, yaitu Achsenzeit, yang diperkenalkan oleh filsuf dan psikiater Jerman, Karl Jaspers (1883-1969). Istilah ini mengacu pada perubahan yang besar dan drastis dalam pemikiran keagamaan dan filosofis, yang terjadi di berbagai lokasi. Kejadian yang tidak biasa ini belum pernah terjadi pada masa sebelumnya, dan itulah alasannya Jaspers menyebutnya sebagai Zaman Poros, dimana Poros berarti "garis pemisah". Ada masa sebelumnya, dan ada zaman sesudahnya.

 

Zaman Aksial memberi kita gagasan bahwa ada hal-hal dalam hidup yang jauh lebih penting daripada urusan duniawi yang sepele. Menurut Jaspers, selama periode ini, cara berpikir universalis muncul di Persia, India, Tiongkok, Levant, dan kawasan Yunani-Romawi. Semua pemikiran ini berkembang secara paralel, tanpa terjadinya percampuran yang kentara, di antara budaya-budaya yang berbeda ini. Jaspers mengidentifikasi para pemikir kunci pada zaman tersebut akan memiliki pengaruh besar pada filsafat dan agama di masa sesudahnya. Jaspers pun mengidentifikasi karakteristik-karakteristik yang umum, pada setiap bidang asal mula para pemikir tersebut.

 

"Banyak perkembangan luar biasa yang terjadi di era ini. Di Tiongkok hiduplah Konfusius dan Lao-tse, dan munculnya semua kecenderungan filosofis Tiongkok yang khas; para pemikir seperti Mòzǐ, Chuang-tze, Lia Dsi, dan banyak pemikir aktif lainnya. Di India berlangsung periode Upanishad, periode Buddha, dan seperti halnya di Tiongkok, setiap pemikian filosofis kemudian dikembangkan, termasuk skeptisisme, materialisme, sophistri, dan nihilisme. Di Persia, Zoroaster mengajarkan kosmologi dramatis tentang perjuangan antara Kebaikan dan Kejahatan. Di Palestina dan Israel memasuki zaman para Nabi, ditandai kelahiran Elia sampai Yesaya, Yeremia, hingga Deutero-Yesaya. Di Yunani merupakan zaman Homer, dan juga para filsuf seperti: Parmenides, Heraclitus, dan Plato; disusul pula oleh para dramawan, dari Thucydides dan Archimedes. Semua perkembangan besar yang ditunjukkan oleh nama-nama ini terjadi dalam beberapa abad tersebut – dan hampir bersamaan di Tiongkok, di India, dan di Barat. Walaupun demikian tidak satu pun dari ketiga dunia ini yang menyadari perkembangan di dunia lainnya." (Karl Jaspers, The Axial Age of Human History: A Base for the Unity of Mankind, dalam Commentary Magazine, November 1948).

 

Lebih lanjut Jaspers menjelaskan: "Hal baru yang muncul pada zaman ini adalah manusia menjadi sadar akan keberadaannya secara keseluruhan, akan dirinya sendiri, dan akan keterbatasannya. Dia mengalami kehebatan dunia dan kelemahan dirinya sendiri. Dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan radikal dan, dalam usahanya untuk mencapai pembebasan dan penebusan, dia berhadapan dengan jurang yang dalam. Seraya menyadari keterbatasannya sendiri, dia telah menetapkan tujuan tertinggi untuk dirinya sendiri. Dia mengalami kemutlakan dalam kedalaman-kedirian, serta dalam kejelasan transendensi."

 

Jika dilihat dari dekat, para pemikir ini bisa terlihat sama berbedanya, seperti yang terjadi ketika kita membandingkan misalnya, perbedaan di antara sebatang kapur dengan sepotong keju. Apa persamaan antara Dao karya Lao Tzu dan Eudaimonia karya Aristoteles? Apa pula persamaan di antara Yahwe dan Brahman? Bagi Jaspers, jika Anda memperkecil tampilannya dan melihat para pemikir ini secara keseluruhan, ada banyak kesamaan yang dapat ditemukan. Yang terbesar adalah gerakan menuju apa yang disebut "universalisme". Kebenaran universal, agama universal, dan moral universal. Ini adalah gagasan bahwa ada nilai dan aturan tertentu yang harus diterapkan pada semua orang, di mana pun, apa pun kondisinya.

 

Kemudian mengenai "Transendensi". Transendensi secara harafiah berarti "melampaui". Dalam kasus "revolusi" Zaman Aksial sepanjang pemikiran manusia tentang dunia, "melampaui" memiliki beberapa arti. Menurut filsuf dan sosiolog Kanada Charles Taylor, di antaranya adalah pergeseran cara berpikir tentang alam semesta dan cara bekerjanya, dibandingkan dengan menganggap remeh bahwa alam semesta berjalan begitu saja secara serampangan. Munculnya pemikiran tingkat kedua tentang cara-cara manusia berpikir dan memahami alam semesta. Hal tersebut, beralih dari sekadar mendamaikan dewa-dewa suku atau masyarakat (yang disebut Taylor sebagai "memberi makan para dewa"); serta menuju spekulasi tentang nasib umat manusia, tentang hubungan manusia dengan kosmos, tentang "Yang Baik, dan bagaimana caranya manusia bisa menjadi "baik".

 

Para pemikir Zaman Aksial menunjukkan orisinalitas yang luar biasa, namun menunjukkan kesamaan yang mengejutkan sehubungan dengan keprihatinan mereka yang utama. Para pemikir India mulai memikirkan karma, akibat sisa dari tindakan masa lalu, yang mempunyai dampak langsung terhadap kehidupan manusia. Lalu mereka mengusulkan solusi bagaimana manusia dapat mencapai pembebasan atau moksa dari akibat karma. Di Yunani kuno Socrates adalah teladan bagi para pemikir, yang menekankan penggunaan akal dalam penyelidikan kebenaran yang tiada-henti. Dan siswa utamanya Plato (bisa dibilang dia dijuluki sebagai Bapak Filsafat Barat), mengadaptasi wawasan gurunya dalam berteori, bagaimana dunia keberadaan sehari-hari dan dunia abadi. Gagasan-gagasan tersebut saling berhubungan. Para pemikir Tiongkok berupaya menyatukan kerajaan dan mencegah perang saudara, mempersoalkan dan memperdebatkan "sang jalan" (Dao) yang tepat bagi masyarakat manusia. Murid-murid Konfusius, misalnya, berpendapat bahwa Dao bertujuan untuk memajukan peradaban yang manusiawi, sedangkan murid-murid pemikir seperti Zhuangzi mengambil Dao Kosmik sebagai panduan hidup. Para nabi Ibrani mulai memandang tuhan bangsa mereka, Israel, sebagai Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, dan yang membentuk nasib semua orang. Tradisi Zoroastrianisme (dinamai demikian untuk Zoroaster) memahami sejarah manusia sebagai mikrokosmos perjuangan kosmis antara kebaikan dan kejahatan, dan setiap kehidupan manusia sebagai penghidupan terus-menerus dari perjuangan memilih yang baik daripada yang jahat. Namun, dalam semua kasus, para pemikir yang representatif ini memandang diri mereka sebagai orang yang mendalilkan solusi atas pertanyaan dan permasalahan kehidupan. Tidak hanya bagi diri mereka sendiri atau bahkan bagi budaya mereka, namun juga bagi umat manusia secara keseluruhan. Meskipun penyelidikan mereka dimulai pada tingkat lokal dan tradisional, kekhawatiran mereka bersifat global, bahkan universal.

 

Mengapa periode 600 tahun yang sangat spesifik diperlukan agar Zaman Aksial dapat berlangsung? Sedikit sejarah dunia akan membantu menjelaskannya. Zaman Aksial adalah era di mana kerajaan-kerajaan berkembang menjadi sangat besar, baik dari segi ukuran maupun jumlah penduduk. Itu adalah masa kerajaan Persia dan Kartago, Republik Romawi, dan Kekaisaran Zhou. Artinya beberapa hal penting telah terjadi:

 

Pertama, kota-kota besar mulai terbentuk, penuh dengan orang-orang dan ide-ide dari berbagai wilayah yang luas. Suasana perkotaan ini menjadi tempat di mana para pemikir hebat dapat berkolaborasi, berdebat, dan menulis hal-hal yang menakjubkan. Adalah sebuah kebenaran, yang terlihat berulang kali sepanjang sejarah, bahwa ketika budaya, ideologi, dan masyarakat bersatu, maka langkah maju yang besar akan terjadi. Ini adalah daya tarik abadi kota besar zaman itu.

 

Kedua, raja bukan lagi sekedar raja kaleng-kaleng – mereka adalah "raja di atas raja". Sebelum Zaman Aksial, biasanya seorang penguasa, dan bahkan suatu agama, hanya berpengaruh pada suatu wilayah kecil. Seorang raja hanya mempunyai klaim atas wilayahnya sendiri. Dewa-dewa Yunani, bahkan Zeus yang mahakuasa, tidak berdaya di Kashmir. Namun hal ini berubah seiring dengan perluasan kerajaan. Sekarang raja-raja seperti Alexander dan Cyrus (keduanya dengan julukan "Agung") menguasai wilayah yang luas, dan para dewa tidak lagi cukup hanya menjadi salah satu dari sekian banyak dewa.

 

Ketiga, ketika kerajaan-kerajaan duniawi menjadi begitu kuat, orang-orang menjadi merasa tidak berdaya dan tidak penting. Moral dan aturan generasi sebelumnya digantikan oleh dekadensi perkotaan yang baru. Tidak ada lagi nilai-nilai yang bisa dijalankan sepenuhnya. Dengan demikian, ideologi dan gagasan yang baru menjadi kuat dengan sendirinya. Mereka adalah senjata dan sarana yang digunakan masyarakat untuk melawan gangguan penguasa digdaya dan tentaranya.

 

Karena alasan-alasan ini, kita melihat bahwa tema-tema umum tertentu muncul dari Zaman Aksial. Misalnya, dalam Teori Bentuk karya Plato, Empat Kebenaran Mulia dari Buddha, dan Monoteisme Yesaya. Kita melihat visi cita-cita transenden, yang bertentangan dengan upaya-upaya dunia material yang tidak bermoral dan berujung pada kesia-siaan.

 

Di atas disebutkan bahwa Zaman Aksial membawa perubahan besar pada dua bidang, yakni agama dan filsafat. Untuk selanjutnya penulis hanya akan berkonsentrasi di bidang agama saja. Salah satu tokoh yang menjadi panutan penulis adalah Karen Armstrong. Siapa gerangan Armstrong itu? Karen Armstrong adalah seorang penulis dan komentator ternama dari Inggris. Dia lahir pada 14 November 1944. Dia memulai kehidupannya sebagai seorang biarawati Katolik, lalu meneruskan pendidikannya di Universitas Oxford dengan mendalami bahasa dan sastra Inggris. Ketertarikannya pada studi agama secara universal membuatnya meninggalkan kehidupan kebiaraan. Buku-buku yang dikarangnya membuat dirinya menjadi termashyur. Buku-bukunya antara lain, A History of God (1993), Buddha (2004), dan The Great Transformation: The Beginning of Our Religious Traditions (2006). Ketiga buku itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Mizan. Bagi Anda para pembaca yang berminat menelaah lebih lanjut, bisa mencarinya di perpustakaan atau di bursa buku bekas di market place. Sebagai contohnya A History of God dialihbahasakan sebagai Sejarah Tuhan adalah buku yang luar biasa, yang menjelaskan sejarah tentang pemikiran atau pemahaman orang tentang Tuhan dari zaman purba hingga menjadi agama-agama besar dunia. Tuhan yang dimaksud di sini bukan saja Tuhan Monoteistik agama Wahyu, tetapi juga mencakup Dewa dan kekuasaan supranatural lainnya.

 

Dalam prakata bukunya yang menceritakan Transformasi Besar di masa lalu, Armstrong menulis: "Akan tetapi, bagaimana bisa para guru bijak Zaman Aksial itu, yang hidup dalam lingkungan yang sangat berbeda, bicara untuk kondisi zaman sekarang? Mengapa kita mesti menengok kepada Konfusius atau Buddha untuk mencari pertolongan? Tentunya kajian tentang periode yang jauh ini hanya merupakan latihan dalam arkeologi spiritual, ketika yang kita butuhkan sekarang adalah menciptakan lebih banyak inovasi iman untuk mencerminkan realitas dunia kita sendiri. Namun pada kenyataannya, kita tidak pernah melampaui kearifan wawasan Zaman Aksial itu. Pada masa-masa krisis spiritual dan sosial, umat mansia telah senantiasa berpaling kembali ke periode ini untuk mencari bimbingan. Mereka mungkin telah menafsirkan penemuan-penemuan Aksial secara berbeda, tetapi mereka tidak pernah berhasil melampauinya. Yudaisme Rabbinik, Kekristenan, dan Islam, sebagai contoh, semuanya merupakan pemekaran belakangan dari akar-akarnya di Zaman Aksial." (Armstrong, Karen, The Great Transformation, Awal Sejarah Tuhan, hal. xxix)

 

Yang membuat kita tercengang adalah para tokoh ini, para bijak, yang telah menemukan dimensi luhur dalam keberadaan mereka; tetapi mereka tidak memandang ini sebagai adialami, dan banyak di antara mereka yang menolak untuk mendiskusikannya: "… Setiap orang perlu mempertanyakan segala sesuatu dan menguji setiap ajaran secara empiris, diperhadapkan dengan pengalaman pribadi mereka. Pada kenyataanya, seperti yang akan kita lihat, jika seorang nabi atau filsuf mulai mendesakkan doktrin-doktrin yang mengikat, itu biasanya pertanda bahwa Zaman Aksial telah kehilangan momentumnya. Jika Sang Buddha atau Konfusius ditanya apakah dia percaya pada Tuhan, keduanya barangkali akan memejamkan matanya sesaat kemudian menjelaskan – dengan sangat rendah hati – bahwa ini bukanlah pertanyaan yang tepat. Jika ada seorang yang bertanya kepada Amos atau Yehezkiel apakah dia seorang "monoteis", yang percaya hanya pada satu Tuhan, dia mungkin akan sama bingungnya. Monoteisme bukanlah persoalannya. Kita menemukan sangat sedikit penegasan eksplisit tentang monoteisme di dalam Alkitab, justru – menariknya – kekasaran sebagian dari pertanyaan doktrinal ini sesungguhnya jauh dari semangat yang mendasari Zaman Aksial."

 

"Yang penting bukanlah apa yang Anda percayai, melainkan bagaimana Anda berperilaku. Agama adalah soal melakukan hal-hal yang mengubah kita pada tingkatan yang sangat mendasar. Sebelum Zaman Aksial, ritual dan pengurbanan hewan menjadi inti agama. Orang mengalami yang ilahi dalam drama-drama kudus yang, seperti pengalaman teatrikal hebat di zaman sekarang, mengantarkan kita masuk ke tingkatan eksistensi yang lain. Para bijak bestari Zaman Aksial mengubah ini, mereka masih menjunjung tinggi ritual, tetapi memberinya arti penting etis yang baru dan meletakkan moralitas di jantung kehidupan spiritual. Satu-satunya jalan untuk berjumpa dengan apa yang mereka sebut "Tuhan", "Nirwana", "Brahman", atau "Jalan" adalah dengan hidup yang berbela rasa." (The Great Transformation ..., hal. xxx-xxxi).

 

Pada artikel-artikel yang selanjutnya, penulis akan mencoba mengupas, apa sesungguhnya yang terjadi pada Zaman Aksial ini. Setelah kita menyelesaikannya, kita akan mendapatkan gambaran yang lebih utuh dan lengkap tentang apa yang sesungguhnya terjadi pada zaman emas peradaban umat manusia ini. Semoga para pembaca dapat memperoleh cakrawala pengetahuan yang lebih luas.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/240516


Kamis, 02 Mei 2024

MEMASUKI KEHIDUPAN TANPA-RUMAH



Pada episode yang lalu, dikisahkan sang pangeran kita, Siddhārtha, dengan pertolongan para dewa berhasil ke luar dari istananya setelah lewat tengah malam. Saat yang bersejarah itu terjadi di hari purnama-siddhi di bulan Āsāḷha, genap dua bulan setelah sang pangeran merayakan hari ulang tahunnya yang ke-dua-puluh-sembilan. Segalanya berjalan mulus menurut skenario para dewata di Surga Tuṣita, yakni kerabat Siddhārtha di kehidupannya yang lampau. Saat yang menentukan terjadi ketika Kanthaka, sang kuda putih milik sang pangeran, menarik kereta-kuda kecil yang dipandu oleh sang kusir nan setia, Channa. Segera setelah melewati gerbang yang tadinya dijaga oleh sekelompok prajurit, akhirnya Siddhārtha dapat keluar dari lingkungan yang selama ini memperlakukan dirinya bak sesosok dewa.

 

Saat sang bintang pagi menampakkan dirinya,

Pada ketinggian setengah tombak dari ufuk-timur cakrawala;

Saat sang pertiwi mendesahkan nafas paginya

Tampaklah sungai Anoma di perbatasan, yang sedang mendendangkan air beriaknya.

 

Channa menarik tali-kekangnya, serta Siddhārtha melompat ke bumi dan menciumnya,

Dia peluk erat Kanthaka, menggosokkan kepalanya di antara kedua telinganya;

Kepada Channa dan kuda putihnya dia berseru, "Ini yang telah kalian lakukan,

Semuanya akan mendatangkan kebaikan bagi kalian berdua dan semua makhluk."

 

"Pimpin kembali kudaku dan bawa serta pula kereta kencana ini,

Pula jubah-kepangerananku, yang sejak saat ini tidak bermanfaat lagi bagiku;

Pedang permataku dan sarungnya yang bertatahkan batu permata,

Serta tiara-kerajaan berhiaskan berlian dan juga kalung yang selalu kukenakan.

 

Berikan semuanya kepada yang mulia sri baginda dan katakan,

Siddhārtha berdoa dan dia memohon, lupakan dia sampai dia kembali;

Sepuluh kali seorang pangeran, dengan kebijaksanaannya menang,

Dari pencarian nan sepi demi perjuangan mencari cahaya."

 

Sekarang aku akan bercerita tentang kepergianku,

Bagaimana dia, Yang Melihat nan perkasa, pergi dari kehidupan-berumah;

Bagaimana dia dipertanyakan dan digambarkan,

Alasan-alasannya untuk pergi dari kehidupan-berumah.

 

Kehidupan yang hiruk-pikuk dijalankan dalam sebuah rumah,

Menghembuskan nafas debu;

Tetapi kehidupan tanpa-rumah terbuka lebar,

Dia melihat ini, dan dia memilih meninggalkan rumah.

 

Dengan melakukannya dia menolak,

Semua perbuatan jahat yang dilakukan oleh tubuh;

Melawan semua jenis percakapan yang salah;

Serta di samping itu meluruskan kehidupannya.

 

Di sekeliling Rājagriha muncul lima bukit indah,

Menjaga kota sylvan sang Raja Bimbisāra;

Baibhāra hijau dengan tetumbuhan serai dan palem,

Tebing Bipulla, yang kakinya kurus menaungi sungai Sarsuti.

 

Mencuri dengan riak hangatnya terhampar Tapovan dalam bayangan,

Kolam uapnya mencerminkan bebatuan hitam yang mengeluarkan cairan;

Begitu perkasa mentega-bumi dari atapnya yang kasar,

Di tenggara Sailāgiri tampak Puncak Bukit Nasar.

 

Dan ke arah timur Ratnagiri, sang bukit permata,

Jalan yang berkelok-kelok di atas lempengan-lempengan yang diinjak;

Membawamu melewati ladang safflower dan hutan bambu

Di bawah remangnya rimba pohon mangga dan tanaman jujube,

 

Melewati jalur batu-batu gunung dan tebing jasper seputih susu,

Gawir rendah dan dataran bunga hutan yang menjulur entah kemana;

Bahu gunung itu, miring ke barat,

Menggantung sebuah gua dengan kanopi pohon ara liar.

 

Lihat! Engkau yang datang ke sini, lepaskanlah kasutmu,

Dan tundukkan kepalamu! Untuk memuliakan bumi yang lapang ini;

Tidak ada tempat yang lebih berharga dan suci selain di sini,

Sang pangeran yang kini menjadi sang petapa, menikmati musim panas yang terik.

 

Dalam hujan deras, dinginnya fajar, dan gelapnya sang malam,

Dia mengenakan jubah kuning demi pengabdian kepada semua orang;

Bersantap dengan porsi yang sedikit, dengan menyamar sebagai pengemis,

Dikumpulkannya setiap pagi dari pemberian orang-orang yang murah hati.

 

Berbaring di rumput bak tunawisma, sendirian dan kesepian,

Serigala yang tidak bisa tidur mengelilingi guanya sambil melolong-lolong;

Harimau yang kelaparan, mengintai keluar dari semak belukar,

Siang dan malam di sini berdiam Yang Maha Agung,

 

Menundukkan tubuh eloknya, yang terberi untuk menikmati kebahagiaan duniawi,

Dengan pengamatan yang cepat dan berulang-ulang;

Dia memasuki meditasi hening, yang berlangsung lama,

Seringkali dia merenung, dengan tubuh tetap bergeming.

 

Di batu kokoh yang dijadikan tempat duduknya, sekonyong-konyong tupai itu melompat,

Di atas lututnya, anak burung puyuh yang pemalu berjalan maju-mundur;

Sang induk puyuh bertengger di antara kakinya, dan merpati biru mematuk-matuk,

Mencari butiran nasi dari mangkuk-sedekahnya, di samping tangannya.

 

Demikianlah dia terlelap-sadar sejak tengah hari, ketika daratan

Berkilauan terkena gelombang panas, dan dinding serta kuil menari-nari;

Di tengah udara yang berbau busuk hingga matahari terbenam, tak usah dihiraukan

Bola bumi menyala-nyala bergulir ke bawah, belum juga malam tiba.

 

Gelombang ungu nas deras, melintasi ladang yang lunak

Juga tidak terlihat hadirnya bintang-bintang, yang biasanya berdenyar-denyar;

Tidak juga terasa hingar bingarnya selubung kota yang sibuk, yang kerap menggeret

Burung hantu dan penerbang-malam; sepertinya memilih mendekam dalam kesendirian.

 

Dengan tajam sang petapa mengurai benang arus-pemikiran,

Dan melangkah mantap dalam mengarungi labirin kehidupan;

Demikianlah dia akan duduk hingga tengah malam, turut membantu dunia hening

Aman, terhindar dari hewan buas yang tengah mendekam di belukar kegelapan.

 

Makhluk malam merayap keluar dan menangis, dengan ratapan ketakutan dan kebencian,

Saat nafsu, keserakahan, dan kemarahan menyeruak;

Di rimba kelam-hitam ketidaktahuan manusia,

Sang petapa tertidur seperti yang diminta oleh sang rembulan.

 

Menyelami sepersepuluh bagian dari lautnya yang keruh,

Namun muncul sang Fajar-Palsu, saat dia berdiri kembali;

Sayu memandang pentas gelap di bukitnya,

Diamatinya bumi yang tertidur dengan mata yang bersemangat.

 

Dan pikiran cinta kasih terpancar ke semua makhluk hidup,

Sementara di seberang ladang yang melambai-lambai, terdengar gumaman;

Yang merupakan ciuman sang bunda yang membangunkan daratan,

Dan di timur terbit mukjizat sang hari.

 

Berkumpul dan bertumbuh. Awalnya senja begitu redup,

Sang malam seakan masih tak sadar akan bisikan sang fajar;

Namun segera, sebelum ayam hutan berkokok dua kali,

Muncul pinggiran putih-jernih, putih yang cerah dan semakin melebar.

 

Tingginya bagaikan sang bintang pembawa-berita, yang memudar diterpa banjir

Dari keperak-perakan, menghangat menjadi emas pucat, bisa kita saksikan;

Di atas mega-mega dan menyala-nya di pinggirannya,

Memancarkan cahaya keemasan, memerah dari tepiannya.

 

Dari kuning-kunyit, merah-delima, merah-tua, hingga ungu-kecubung,

Ketika langit menyalakan keelokannya hingga tampak biru meluas;

Dan dengan bermandikan cahaya sukacita,

Sang Raja Kehidupan dan Kemuliaan telah datang!

 

Lalu Hyang kita,

Seperti yang dipuji untuk dilakukan oleh seorang Resi;

Membersihkan tubuh dan jubahnya,

Lalu menyusuri jalan setapak nan berkelok-kelok menuju kota.

 

Ke sana dia – sang petapa – pergi mencari sedekah makanan,

Disertai banyak tanda keistimewaannya;

Raja Bimbisāra dari sisi dalam

Istananya melihat dia melewatinya.

 

Dan ketika sang penguasa melihat keistimewaannya,

Yang muncul dari semua tanda, "Lihat, tuan-tuan," dia berkata;

"Betapa tampan orang itu, betapa anggunnya,

Betapa murni dan sempurna tingkah lakunya;

 

Dengan mata yang tertuju ke bawah dan penuh perhatian,

Hanya satu bentangan mata-bajak panjangnya dari matanya;

Dia bukan berasal dari keturunan rendah. Kirim kurir kerajaan segera,

Untuk mengikuti jalan yang ditempuh sang rahib."

 

Para kurir segera dikirim,

Serta mengikutinya dari dekat tanpa membuatnya terjaga;

"Sekarang jalan mana yang akan dilalui sang rahib?

Dimana dia memilih tempat tinggalnya?

 

Dia berjalan dari rumah ke rumah,

Dijaganya pintu-pintu indera dengan pengekangan yang benar;

Penuh kewaspadaan dan penuh perhatian,

Serta segera memenuhi mangkuk-sedekahnya.

 

Perjalanan mencari sedekah makanan telah dirampungkannya,

Sang Bijaksana kini melangkah keluar dan meninggalkan kota;

Mengambil jalan ke Pandava,

Dia mestinya tinggal di bukit Pandava."

 

Sekarang ketika sang petapa kembali ke kediamannya,

Para kurir ikut mendaki di belakangnya;

Satu diantara mereka kembali ke istana,

Memberi kabar kepada raja atas pertanyaannya:

 

"Sang rahib, paduka, seperti seekor harimau,

Atau seperti banteng, atau seperti singa,

Sedang duduk di sebuah goa-gunung

Di atas lereng timur Pandava."

 

Sang ksatria mendengar cerita si pencari jejak.

Kemudian dipanggilnya penasihat negeri,

Dia berkendara tergesa-gesa sejauh yang bisa ia tempuh,

Dan lalu dia turun dari kudanya,

 

Masih sedikit jalan kaki yang harus ditempuhnya,

Dia berjalan di atas kakinya sendiri, hingga mendekati Sang Bijaksana,"

Sang raja duduk bersila, dan dia bertukar salam, juga menanyakan kesehatannya,

Ketika tanya jawab tegur-sapa penghormatan selesai dilakukan.

 

Sang raja lalu berkata kepadanya, Demikianlah kata-katanya:

"Anda masih begitu belia, seorang pemuda;

Seorang lelaki yang berada di perode pertama dalam hidup ini,

Anda memiliki penampilan yang bagus.

 

Dari sediaan pejuang-luhur kelahiran-mulia,

Seseorang yang cocok dianugerahi bala tentara kelas-satu;

Guna memimpin pasukan gajah, Aku tawarkan Anda keberuntungan:

Mohon terimalah! Kelahiran Anda juga aku tanyakan: ceritakanlah."

 

"Di sana ada satu negeri nan sejahtera, tuanku,

Dan juga hebat, tepat di atas;

Kaki pegunungan Himalaya,

Didiami oleh rakyat Kosala

 

Yang ras-nya dinamai setelah Sang Matahari,

Yang keturunannya adalah wangsa Śākya;

Tetapi aku pergi bukan untuk mencari kesenangan indera,

Aku telah meninggalkannya untuk berjuang.

 

Setelah melihat bahaya di balik kesenangan itu,

Serta melihat perlindungan yang aman;

Dari bahayanya dengan melepaskan segalanya,

Itulah yang menjadi keinginan hatiku."

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/240502