Manusia modern atau
dinamakan homo sapiens, yang kita
kenal sekarang sudah ada sejak kurang lebih 300 ribu tahun yang silam. Dalam kurun waktu yang
sedemikian panjang makhluk paling cerdas di bumi ini dikenal sebagai
pemburu-pengumpul. Baru kira-kira 13 ribu tahun yang lalu homo sapiens mengenal cara bercocok tanam dan mereka mulai bermukim
di satu tempat, alih-alih berpindah-pindah. Beranjak dari apa yang kita namakan sebagai Zaman Batu, ketika manusia mengenal
perkakas dan alat bantu dari batu, perlahan-lahan mereka mulai mengenal
penggunaan logam. Pengetahuan tentang metalurgi dimulai sejak 6000 tahun yang
lalu.
Demikianlah setelah itu peradaban manusia mulai meningkat secara
berangsur-angsur, dan kebudayaan tumbuh secara ajeg. Tidak ada kemajuan berarti
dalam masa waktu enam milenia itu. Kemudian, hanya dalam kurun waktu enam abad terjadi sesuatu yang
luar biasa. Satu ledakan
pemikiran yang sangat revolusioner terjadi. Dari sekitar tahun 800 hingga tahun 200 sebelum Masehi, beberapa peradaban besar melahirkan orang-orang yang luar biasa, pula dengan gagasan-gagasan yang tidak pernah ada
sebelumnya.
Periode enam abad
ini dikenal dengan sebutan "Zaman
Aksial", atau
bisa juga disebut "Zaman Poros".
Ini mengacu pada satu periode ketika, kira-kira pada waktu yang bersamaan di sebagian wilayah; sistem intelektual, filosofis, dan keagamaan besar lahir
di dunia ini. Nama Zaman Aksial berasal dari bahasa Jerman, yaitu Achsenzeit,
yang diperkenalkan oleh filsuf dan psikiater Jerman, Karl Jaspers (1883-1969). Istilah ini mengacu pada perubahan yang
besar dan drastis dalam pemikiran keagamaan dan filosofis, yang terjadi di berbagai lokasi.
Kejadian yang tidak biasa ini belum pernah terjadi pada masa sebelumnya, dan itulah alasannya Jaspers menyebutnya sebagai
Zaman Poros, dimana Poros berarti "garis pemisah". Ada masa sebelumnya, dan ada zaman sesudahnya.
Zaman Aksial memberi kita gagasan bahwa
ada hal-hal dalam hidup yang jauh lebih penting daripada urusan duniawi yang
sepele. Menurut
Jaspers, selama periode ini, cara berpikir universalis muncul di Persia, India,
Tiongkok, Levant, dan kawasan Yunani-Romawi. Semua pemikiran ini berkembang secara paralel, tanpa terjadinya percampuran yang kentara, di
antara budaya-budaya yang berbeda ini.
Jaspers mengidentifikasi para pemikir kunci pada zaman tersebut akan memiliki pengaruh besar pada filsafat dan agama di masa sesudahnya. Jaspers pun mengidentifikasi karakteristik-karakteristik yang umum, pada setiap bidang asal mula para pemikir
tersebut.
"Banyak perkembangan luar biasa yang terjadi di era ini. Di Tiongkok
hiduplah Konfusius dan Lao-tse, dan munculnya semua kecenderungan filosofis Tiongkok yang khas; para pemikir seperti Mòzǐ, Chuang-tze, Lia Dsi, dan banyak pemikir aktif lainnya. Di India berlangsung periode Upanishad, periode Buddha, dan
seperti halnya di Tiongkok, setiap pemikian filosofis kemudian dikembangkan, termasuk skeptisisme, materialisme, sophistri, dan nihilisme. Di Persia, Zoroaster mengajarkan kosmologi dramatis tentang perjuangan antara
Kebaikan dan Kejahatan. Di Palestina dan Israel memasuki zaman para Nabi, ditandai kelahiran Elia sampai Yesaya, Yeremia, hingga Deutero-Yesaya. Di Yunani merupakan zaman Homer, dan juga para filsuf seperti: Parmenides, Heraclitus, dan Plato; disusul pula oleh para dramawan, dari Thucydides dan Archimedes. Semua perkembangan besar
yang ditunjukkan oleh nama-nama ini terjadi dalam beberapa abad tersebut – dan hampir bersamaan di Tiongkok, di India, dan di Barat. Walaupun demikian tidak satu pun dari ketiga dunia ini yang
menyadari perkembangan di dunia lainnya." (Karl
Jaspers, The Axial Age of Human History: A
Base for the Unity of Mankind, dalam Commentary
Magazine, November 1948).
Lebih lanjut
Jaspers menjelaskan: "Hal baru yang muncul pada zaman ini adalah manusia
menjadi sadar akan keberadaannya secara keseluruhan, akan dirinya sendiri, dan
akan keterbatasannya. Dia mengalami kehebatan dunia dan kelemahan dirinya
sendiri. Dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan radikal dan, dalam usahanya untuk
mencapai pembebasan dan penebusan, dia berhadapan dengan jurang yang dalam. Seraya
menyadari keterbatasannya sendiri, dia telah menetapkan tujuan tertinggi untuk
dirinya sendiri. Dia mengalami kemutlakan dalam kedalaman-kedirian, serta dalam
kejelasan transendensi."
Jika dilihat dari dekat, para pemikir
ini bisa terlihat sama berbedanya, seperti yang terjadi ketika kita membandingkan
misalnya, perbedaan di antara sebatang
kapur dengan sepotong keju. Apa
persamaan antara Dao karya Lao Tzu
dan Eudaimonia karya Aristoteles? Apa
pula persamaan di
antara Yahwe dan Brahman? Bagi Jaspers, jika Anda
memperkecil tampilannya dan melihat para pemikir ini secara keseluruhan, ada
banyak kesamaan yang dapat ditemukan. Yang terbesar adalah gerakan menuju apa yang
disebut "universalisme". Kebenaran universal, agama universal, dan moral universal. Ini adalah
gagasan bahwa ada nilai dan aturan tertentu yang harus diterapkan pada semua
orang, di mana pun, apa pun kondisinya.
Kemudian mengenai
"Transendensi". Transendensi
secara harafiah berarti "melampaui". Dalam kasus "revolusi" Zaman Aksial sepanjang pemikiran manusia tentang dunia, "melampaui" memiliki beberapa arti.
Menurut filsuf dan sosiolog Kanada
Charles Taylor, di
antaranya adalah pergeseran cara
berpikir tentang alam semesta dan cara bekerjanya, dibandingkan dengan menganggap remeh bahwa alam semesta berjalan
begitu saja secara serampangan. Munculnya pemikiran tingkat kedua tentang
cara-cara manusia berpikir dan memahami alam semesta. Hal tersebut, beralih dari sekadar mendamaikan
dewa-dewa suku atau masyarakat (yang disebut Taylor sebagai "memberi makan para dewa"); serta menuju
spekulasi tentang nasib umat manusia, tentang hubungan manusia dengan kosmos,
tentang "Yang Baik,
dan bagaimana caranya manusia bisa
menjadi "baik".
Para pemikir Zaman Aksial menunjukkan orisinalitas yang
luar biasa, namun
menunjukkan kesamaan yang mengejutkan sehubungan dengan keprihatinan mereka
yang utama. Para pemikir
India mulai memikirkan karma, akibat sisa dari tindakan masa lalu, yang
mempunyai dampak langsung terhadap kehidupan manusia.
Lalu mereka mengusulkan solusi bagaimana
manusia dapat mencapai pembebasan atau moksa dari akibat karma. Di Yunani kuno Socrates adalah
teladan bagi para pemikir, yang menekankan penggunaan akal dalam
penyelidikan kebenaran yang tiada-henti. Dan siswa utamanya Plato (bisa dibilang dia
dijuluki sebagai Bapak Filsafat Barat), mengadaptasi wawasan gurunya
dalam berteori, bagaimana
dunia keberadaan sehari-hari dan dunia abadi. Gagasan-gagasan tersebut saling berhubungan. Para pemikir
Tiongkok berupaya menyatukan kerajaan dan mencegah perang saudara, mempersoalkan dan memperdebatkan "sang jalan" (Dao) yang tepat bagi masyarakat manusia.
Murid-murid Konfusius, misalnya,
berpendapat bahwa Dao bertujuan untuk memajukan peradaban yang
manusiawi, sedangkan murid-murid pemikir seperti Zhuangzi mengambil Dao Kosmik sebagai panduan hidup. Para nabi Ibrani mulai memandang tuhan bangsa
mereka, Israel, sebagai Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, dan yang membentuk nasib semua orang.
Tradisi Zoroastrianisme (dinamai demikian untuk Zoroaster) memahami sejarah
manusia sebagai mikrokosmos perjuangan kosmis antara kebaikan dan kejahatan, dan setiap kehidupan manusia sebagai
penghidupan terus-menerus dari perjuangan memilih yang baik daripada yang
jahat. Namun, dalam semua kasus, para pemikir yang representatif ini memandang
diri mereka sebagai orang yang mendalilkan solusi atas pertanyaan dan
permasalahan kehidupan. Tidak hanya bagi diri mereka sendiri atau bahkan bagi
budaya mereka, namun juga bagi umat manusia secara keseluruhan. Meskipun
penyelidikan mereka dimulai pada tingkat lokal dan tradisional, kekhawatiran mereka bersifat global, bahkan
universal.
Mengapa periode 600 tahun yang sangat spesifik diperlukan
agar Zaman Aksial dapat berlangsung? Sedikit sejarah dunia
akan membantu menjelaskannya.
Zaman Aksial adalah era di mana
kerajaan-kerajaan berkembang menjadi sangat besar, baik dari segi ukuran maupun
jumlah penduduk. Itu adalah masa kerajaan Persia dan Kartago, Republik Romawi,
dan Kekaisaran Zhou. Artinya beberapa hal penting telah terjadi:
Pertama, kota-kota besar mulai terbentuk, penuh dengan
orang-orang dan ide-ide dari berbagai wilayah yang luas. Suasana perkotaan ini
menjadi tempat di mana para pemikir hebat dapat berkolaborasi, berdebat, dan
menulis hal-hal yang menakjubkan. Adalah sebuah kebenaran, yang terlihat
berulang kali sepanjang sejarah, bahwa ketika budaya, ideologi, dan masyarakat
bersatu, maka langkah maju yang besar akan terjadi. Ini adalah daya tarik abadi
kota besar zaman itu.
Kedua, raja bukan lagi sekedar raja kaleng-kaleng – mereka adalah "raja di atas raja". Sebelum Zaman Aksial, biasanya seorang penguasa, dan
bahkan suatu agama, hanya berpengaruh pada suatu wilayah kecil. Seorang raja hanya mempunyai
klaim atas wilayahnya sendiri. Dewa-dewa Yunani, bahkan Zeus yang mahakuasa,
tidak berdaya di Kashmir. Namun hal ini berubah seiring dengan perluasan
kerajaan. Sekarang raja-raja seperti Alexander dan Cyrus (keduanya dengan
julukan "Agung") menguasai wilayah yang luas, dan para dewa tidak lagi cukup hanya
menjadi salah satu dari sekian banyak dewa.
Ketiga, ketika kerajaan-kerajaan duniawi menjadi begitu
kuat, orang-orang menjadi merasa tidak berdaya dan tidak penting. Moral dan
aturan generasi sebelumnya digantikan oleh dekadensi perkotaan yang baru. Tidak
ada lagi nilai-nilai yang bisa dijalankan sepenuhnya. Dengan demikian, ideologi dan gagasan yang baru menjadi
kuat dengan sendirinya. Mereka adalah senjata dan sarana yang digunakan
masyarakat untuk melawan gangguan penguasa digdaya dan tentaranya.
Karena alasan-alasan ini, kita melihat bahwa tema-tema
umum tertentu muncul dari Zaman Aksial. Misalnya, dalam Teori Bentuk karya
Plato, Empat Kebenaran Mulia dari Buddha, dan Monoteisme Yesaya. Kita melihat
visi cita-cita transenden, yang bertentangan dengan upaya-upaya dunia material
yang tidak bermoral dan berujung pada kesia-siaan.
Di atas
disebutkan bahwa Zaman Aksial membawa perubahan besar pada dua bidang, yakni
agama dan filsafat. Untuk selanjutnya penulis hanya akan berkonsentrasi di
bidang agama saja. Salah satu tokoh yang menjadi panutan penulis adalah Karen
Armstrong. Siapa gerangan Armstrong itu? Karen Armstrong adalah seorang penulis
dan komentator ternama dari Inggris. Dia lahir pada 14 November 1944. Dia
memulai kehidupannya sebagai seorang biarawati Katolik, lalu meneruskan
pendidikannya di Universitas Oxford dengan mendalami bahasa dan sastra Inggris.
Ketertarikannya pada studi agama secara universal membuatnya meninggalkan
kehidupan kebiaraan. Buku-buku yang dikarangnya membuat dirinya menjadi
termashyur. Buku-bukunya antara lain, A
History of God (1993), Buddha
(2004), dan The Great Transformation: The
Beginning of Our Religious Traditions (2006). Ketiga buku itu sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Mizan. Bagi Anda para
pembaca yang berminat menelaah lebih lanjut, bisa mencarinya di perpustakaan
atau di bursa buku bekas di market place.
Sebagai contohnya A History of God
dialihbahasakan sebagai Sejarah Tuhan
adalah buku yang luar biasa, yang menjelaskan sejarah tentang pemikiran atau
pemahaman orang tentang Tuhan dari zaman purba hingga menjadi agama-agama besar
dunia. Tuhan yang dimaksud di sini bukan saja Tuhan Monoteistik agama Wahyu,
tetapi juga mencakup Dewa dan kekuasaan supranatural lainnya.
Dalam prakata
bukunya yang menceritakan Transformasi Besar di masa lalu, Armstrong menulis: "Akan
tetapi, bagaimana bisa para guru bijak Zaman Aksial itu, yang hidup dalam
lingkungan yang sangat berbeda, bicara untuk kondisi zaman sekarang? Mengapa
kita mesti menengok kepada Konfusius atau Buddha untuk mencari pertolongan?
Tentunya kajian tentang periode yang jauh ini hanya merupakan latihan dalam
arkeologi spiritual, ketika yang kita butuhkan sekarang adalah menciptakan
lebih banyak inovasi iman untuk mencerminkan realitas dunia kita sendiri. Namun
pada kenyataannya, kita tidak pernah melampaui kearifan wawasan Zaman Aksial
itu. Pada masa-masa krisis spiritual dan sosial, umat mansia telah senantiasa
berpaling kembali ke periode ini untuk mencari bimbingan. Mereka mungkin telah
menafsirkan penemuan-penemuan Aksial secara berbeda, tetapi mereka tidak pernah
berhasil melampauinya. Yudaisme Rabbinik, Kekristenan, dan Islam, sebagai
contoh, semuanya merupakan pemekaran belakangan dari akar-akarnya di Zaman
Aksial." (Armstrong, Karen, The
Great Transformation, Awal Sejarah Tuhan, hal. xxix)
Yang membuat kita
tercengang adalah para tokoh ini, para bijak, yang telah menemukan dimensi
luhur dalam keberadaan mereka; tetapi mereka tidak memandang ini sebagai
adialami, dan banyak di antara mereka yang menolak untuk mendiskusikannya: "…
Setiap orang perlu mempertanyakan segala sesuatu dan menguji setiap ajaran
secara empiris, diperhadapkan dengan pengalaman pribadi mereka. Pada
kenyataanya, seperti yang akan kita lihat, jika seorang nabi atau filsuf mulai
mendesakkan doktrin-doktrin yang mengikat, itu biasanya pertanda bahwa Zaman
Aksial telah kehilangan momentumnya. Jika Sang Buddha atau Konfusius ditanya
apakah dia percaya pada Tuhan, keduanya barangkali akan memejamkan matanya
sesaat kemudian menjelaskan – dengan sangat rendah hati – bahwa ini bukanlah
pertanyaan yang tepat. Jika ada seorang yang bertanya kepada Amos atau
Yehezkiel apakah dia seorang "monoteis", yang percaya hanya pada satu
Tuhan, dia mungkin akan sama bingungnya. Monoteisme bukanlah persoalannya. Kita
menemukan sangat sedikit penegasan eksplisit tentang monoteisme di dalam
Alkitab, justru – menariknya – kekasaran sebagian dari pertanyaan doktrinal ini
sesungguhnya jauh dari semangat yang mendasari Zaman Aksial."
"Yang
penting bukanlah apa yang Anda percayai, melainkan bagaimana Anda berperilaku.
Agama adalah soal melakukan hal-hal yang mengubah kita pada tingkatan yang
sangat mendasar. Sebelum Zaman Aksial, ritual dan pengurbanan hewan menjadi
inti agama. Orang mengalami yang ilahi dalam drama-drama kudus yang, seperti
pengalaman teatrikal hebat di zaman sekarang, mengantarkan kita masuk ke
tingkatan eksistensi yang lain. Para bijak bestari Zaman Aksial mengubah ini,
mereka masih menjunjung tinggi ritual, tetapi memberinya arti penting etis yang
baru dan meletakkan moralitas di jantung kehidupan spiritual. Satu-satunya
jalan untuk berjumpa dengan apa yang mereka sebut "Tuhan", "Nirwana",
"Brahman", atau "Jalan" adalah dengan hidup yang berbela
rasa." (The Great Transformation
..., hal. xxx-xxxi).
Pada
artikel-artikel yang selanjutnya, penulis akan mencoba mengupas, apa
sesungguhnya yang terjadi pada Zaman Aksial ini. Setelah kita menyelesaikannya,
kita akan mendapatkan gambaran yang lebih utuh dan lengkap tentang apa yang
sesungguhnya terjadi pada zaman emas peradaban umat manusia ini. Semoga para
pembaca dapat memperoleh cakrawala pengetahuan yang lebih luas.
sdjn/dharmaprimapustaka/240516