Kamis, 18 April 2024

JALUR SUTRA


 

 

(Bagian Kedua dari Dua Tulisan)

 

 

Dalam artikel yang lalu kita telah membahas Jalur Sutra Darat yang menghubungkan kotaraja Cháng'ān di titik paling timur hingga kota-kota di Eropa bagian selatan. Sebetulnya tidak boleh dilupakan Jalur Sutra Maritim. Jalur Maritim ini mengacu pada bagian maritim dari Jalur Sutra bersejarah yang menghubungkan Tiongkok ke Asia Tenggara, kepulauan Nusantara, anak benua India, semenanjung Arab, hingga Mesir dan akhirnya Eropa. Jalur perdagangan yang dilayaninya meliputi sejumlah perairan; meliputi Laut Tiongkok Selatan, Selat Malaka, Samudera Hindia, Teluk Benggala, Laut Arab, Teluk Persia, dan Laut Merah. Jalur maritim ini tumpang tindih dengan perdagangan maritim bersejarah Asia Tenggara, perdagangan rempah-rempah, perdagangan Samudera Hindia, dan setelah abad ke-8: jaringan perdagangan angkatan laut Arab. Jaringan tersebut juga meluas ke arah timur hingga Laut Tiongkok Timur dan Laut Kuning, yang menghubungkan Tiongkok dengan Semenanjung Korea dan Kepulauan Jepang.

 

Apa saja yang diperdagangkan orang di Jalur Sutra? Dari Timur ke Barat berbagai komoditi dibawa. Selain sutra, barang berharga yang lazim diperdagangkan adalah: teh; pewarna pakaian; batu mulia; kerajinan keramik dan porselen, meliputi piring, mangkok, gelas, dan berbagai bejana; rempah-rempah seperti kayu manis dan jahe; artefak perunggu dan emas; obat-obatan tradisional; parfum; gading; beras; kertas; dan bubuk mesiu. Dari Barat ke Timur ditawarkan berbagai macam barang, di antaranya: kuda; unta; pelana dan perlengkapan berkuda lainnya; anggur dan produk turunannya; anjing dan hewan peliharaan lainnya, baik yang eksotik maupun domestik; bulu dan kulit binatang; buah-buahan; peralatan dari bahan gelas; selimut wol, permadani, karpet; tekstil tertentu seperti tirai; emas dan perak; senjata tajam dan baju zirah; dan juga budak.

 

Sutra, sebagai komoditi utama pertama kali diproduksi di Tiongkok sejak 3000 tahun sebelum Masehi, merupakan barang perdagangan darat yang ideal bagi pedagang dan para diplomat, yang mungkin telah melakukan perjalanan ribuan mil untuk mencapai tujuan mereka. Hal tersebut dikatakan oleh Xin Wen, sejarawan Tiongkok dan Asia Tengah abad pertengahan di Universitas Princeton dalam bukunya: The King's Road: Diplomatic Travelers and the Making of the Silk Road in Eastern Eurasia, 850–1000. "Apa yang dapat Anda bawa dalam perjalanan panjang dan jauh ini sangat terbatas. Jadi Anda hanya akan membawa barang yang paling berharga, namun juga yang berbobot paling ringan,” Wen memberikan alasannya, “Sutra memenuhi karakteristik ini. Barang tersebut bernilai tinggi, berbobot rendah, juga sangat serbaguna."

 

Elit Romawi menghargai sutra Tiongkok sebagai tekstil tipis yang mewah, dan kemudian, ketika teknologi pembuatan sutra dibawa ke Mediterania, pengrajin di Damaskus menciptakan tekstil tenun sutra yang dapat dibalik yang dikenal sebagai damask. Namun sutra lebih dari sekadar pakaian, kata Wen. Di bawah pengaruh budaya Buddhisme, lembaran sutra dibuat menjadi spanduk ritual atau digunakan pula sebagai sebagai kanvas lukisan. "Di pemukiman penting Jalur Sutra di Turfan di Tiongkok Timur, sutra digunakan pula sebagai mata uang," tulis sejarawan Valerie Hansen. Serta pada Dinasti Tang (618 hingga 907 M.), sutra dikumpulkan sebagai tanda lunas pembayaran kewajiban pajak oleh pejabat Tiongkok.     

 

"Kertas, ditemukan di Tiongkok pada abad kedua Masehi, pertama kali menyebar ke seluruh Asia seiring dengan penyebaran agama Buddha. Pada tahun 751, kertas diperkenalkan ke Dunia Islam ketika pasukan Arab bentrok dengan bala tentara Dinasti Tang pada Pertempuran Talas. Khalifah Harun al-Rashid membangun pabrik kertas di Baghdad, yang mana sang khalifah memperkenalkan pembuatan kertas ke Mesir, Afrika Utara, dan sampai ke Spanyol. Kertas akhirnya diperkenalkan ke masyarakat Eropa pada abad ke-12 dan ke-13," demikian tulis Millward.

 

Di Jalur Sutra, para pelancong membawa dokumen kertas yang berfungsi sebagai paspor untuk melintasi wilayah nomaden atau bermalam di caravansera, yakni oasis di Jalur Sutra. Namun fungsi terpenting kertas di sepanjang Jalur Sutra adalah untuk menulis naskah dan buku yang menyampaikan sistem pemikiran yang benar-benar baru, khususnya ajaran-ajaran agama. "Bukan suatu kebetulan bahwa agama Buddha menyebar ke Tiongkok pada saat yang sama ketika kertas menjadi lazim di wilayah tersebut," kata Wen. “Sama dengan penyebaran ajaran Manikheisme dan Zoroastrianisme. Salah satu arti penting Jalur Sutra adalah bahwa jalur ini berfungsi sebagai saluran penyebaran berbagai ide dan interaksi budaya, dan sebagian besar dari hal tersebut bergantung pada kertas."

 

Rempah-rempah dari Asia Timur dan Selatan, seperti kayu manis dari Sri Lanka dan cassia dari Tiongkok, merupakan barang dagangan yang eksotik dan juga didambakan oleh banyak orang, namun rempah-rempah tersebut biasanya tidak melintasi jalur darat Jalur Sutra. Sebaliknya, rempah-rempah terutama diangkut melalui Jalur Sutra Maritim Kuno yang menghubungkan kota-kota pelabuhan dari India ke arah barat melalui Asia Tengah dan Semenanjung Arab. Di seberang Jalur Sutra, rempah-rempah dihargai tidak hanya karena digunakan dalam masakan, tetapi juga dimanfaatkan untuk upacara keagamaan dan sebagai obat. Dan tidak seperti sutra, yang dapat diproduksi di mana pun ulat sutra dapat dibudidayakan, banyak rempah-rempah yang berasal dari tanaman yang hanya tumbuh di lingkungan yang sangat spesifik. "Artinya, rempah-rempah memiliki asal muasal yang lebih jelas dibandingkan beberapa barang mewah lainnya, sehingga menambah nilainya," kata Wen.

 

Giok, batu permata berwarna hijau kristal, merupakan pusat budaya ritual Tiongkok. Ketika persediaan batu giok menipis pada abad ke-5 seb.M., Tiongkok perlu membangun hubungan perdagangan dengan tetangga barat seperti Kerajaan Khotan di Iran kuno, yang sungainya kaya akan bongkahan batu giok nephrite, jenis batu giok terbaik untuk mengukir patung-patung rumit dan perhiasan. Perdagangan batu giok ke Tiongkok berkembang pesat sepanjang periode Jalur Sutra, begitu pula perdagangan permata semi mulia lainnya seperti mutiara.

 

Orang Barat sering beranggapan bahwa sebagian besar barang Jalur Sutra bergerak dari Timur Jauh yang eksotis ke arah barat menuju Mediterania dan Eropa, namun perdagangan Jalur Sutra mengarah ke segala arah. Misalnya, para arkeolog yang menggali gundukan kuburan di Tiongkok, Korea, Thailand, dan Filipina telah menemukan peralatan gelas Romawi di antara barang-barang berharga yang menjadi harta karun kaum elit Asia. Jenis gelas soda-kapur yang dibuat di Roma dan dibuat menjadi vas dan gelas pasti akan ditukar dengan sutra, yang merupakan barang obsesi orang Romawi.

 

Taiga adalah hamparan luas hutan hijau yang melintasi Siberia di Eurasia dan berlanjut ke Kanada di Amerika Utara. Pada zaman Jalur Sutra, tulis Millward, "Taiga menarik sekelompok pemburu tangguh yang memanen kulit rubah, musang, berang-berang, dan cerpelai. 'Jalan berbulu' di utara ini memasok mantel dan topi mewah kepada Dinasti Tiongkok dan Elit Eurasia lainnya." Millward menulis bahwa Jenghis Khan memperkuat salah satu aliansi politiknya yang paling awal dengan hadiah mantel bulu musang. Pada abad ke-17, di masa memudarnya Jalur Sutra, penguasa Dinasti Qing di Tiongkok dapat membeli bulu dari para penjerat Siberia.

 

"Orang-orang yang dijadikan budak adalah 'barang dagangan' yang sangat umum di sepanjang Jalur Sutra. Tentara penyerang akan menangkap tawanan dan menjualnya kepada pedagang swasta yang akan menemukan para pembeli di pelabuhan dan ibu kota yang jauh dari Dublin di Barat hingga Shandong di Tiongkok Timur," demikian tulis sejarawan Jalur Sutra, Susan Whitfield. "Para budak menjadi pelayan, penghibur, dan orang-kasim di istana kerajaan." Wen mengatakan bahwa meskipun perbudakan merajalela di Eurasia pra-modern di sepanjang Jalur Sutra, tidak satupun dari kerajaan atau masyarakat tersebut dapat diklasifikasikan sebagai "berbasis budak", seperti yang terjadi pada perdagangan budak Afrika di Dunia Baru. "Budak lebih merupakan hiasan kehidupan elit Jalur Sutra," kata Wen, "Bukan sumber ekonomi utama."

 

Penulis memberi catatan pada dua komoditi yang berasal dari Tiongkok, yakni kertas dan bubuk mesiu. Kertas diperdagangkan di Jalur Sutra sejak abad ke-2 Masehi, yakni pada jalur Loulan, Kotan, Kusha, dan Dunhuang. Tiongkok berusaha merahasiakan seni pembuatan kertas untuk mencegah negara lain meniru dan memproduksi sendiri, namun hal ini tidak berjalan efektif. Negara-negara tetangga berhasil membuat kertas produksi mereka sendiri. Semula kertas hanya digunakan untuk membungkus dan mengemas barang, dan itu pun sudah memadai karena teksturnya yang masih kasar. Belakangan disadari bahwa kertas itu bisa digunakan sebagai media untuk menulis. Dengan begitu banyak hal yang bisa dicatat dan ditulis sehingga banyak pemikiran yang bisa diabadikan. Lebih jauh dengan adanya tulisan di atas kertas, catatan sejarah dan ilmu pengetahuan dapat ditransfer kepada banyak orang. Puncak pemanfaatan kertas terjadi di Eropa dengan lahirnya mesin cetak pertama yang diciptakan oleh Johannes Gutenberg pada abad ke-15.

 

Selain sutra dan kertas, bubuk mesiu adalah penemuan lain oleh Tiongkok dan Jalur Sutra membantunya menyebar ke barat. Bubuk mesiu sudah dikenal orang sejak tahun 850 M. Penemuan ini tampaknya ditemukan di Tiongkok secara tidak sengaja, oleh para ahli alkimia yang mencari ramuan keabadian. Kisah paling awal menyebutkan eksperimen tersebut: "beberapa orang memanaskan sendawa, belerang, dan karbon arang dengan madu; timbul asap dan nyala api, sehingga tangan dan wajah mereka terbakar, dan bahkan seluruh rumah terbakar." Bubuk mesiu yang digunakan untuk keperluan militer pertama kali tercatat pada tahun 919 M. Pada abad ke-11, bom eksplosif yang diisi dengan bubuk mesiu dan ditembakkan dari ketapel diperkenalkan dan digunakan di Tiongkok. Kata "meriam api", "roket", "misil", dan "bola api" muncul berkali-kali dalam catatan sejarah zaman itu. Penemuan bubuk mesiu di Tiongkok tidak pernah melampaui bentuknya yang paling kasar, dan tak lama setelah itu bubuk mesiu ditinggalkan sebagai senjata militer. Bubuk mesiu mencapai Jepang, Dunia Islam, dan kemudian Eropa pada abad ke-13 dan orang-orang Arab mengembangkan bubuk mesiu untuk keperluan militer. Pada tahun 1280, al-Hasan ar-Rammah dari Suriah menulis Buku Pertarungan Menunggang Kuda dan Mesin Perang. Di sini diperkenalkan perangkat roket, yang disebutnya "panah cina". Catatan awal mengenai bubuk mesiu di Eropa dicatat oleh filsuf Inggris Roger Bacon pada abad ke-13. Satu abad  kemudian orang-orang Arab menggunakannya untuk menyerang kota Baza di Spanyol dan pada tahun berikutnya pada tahun 1326 Florence memerintahkan pembuatan meriam dan bola meriam. Dari Italia, pembuatan bubuk mesiu segera menyebar ke negara-negara Eropa lainnya, dan pada tahun 1350-an bubuk mesiu telah menjadi senjata yang efektif di medan perang. Kisah tentang kertas dan bubuk mesiu, yang sebetulnya bermula dari penemuan orang Tionghoa justru dimanfaatkan secara maksimal oleh orang Eropa. Inilah dua barang yang turut menentukan jalannya sejarah dunia setelah itu.

 

Jalur Sutra tidak hanya menyediakan sarana bagi para pedagang dan penjelajah untuk melakukan perniagaan berbagai komoditi yang langka dan eksotis, namun juga di sana terjadi penyebaran ide-ide antar bangsa serta pertukaran tradisi dan budaya. Penyebaran agama dan tradisi budaya di sepanjang Jalur Sutra, menurut Jerry H. Bentley, juga menimbulkan sinkretisme. Salah satu contohnya adalah konflik panjang antara orang Tionghoa dengan balatentara Xiōngnú. Meskipun pada awalnya keduanya saling bermusuhan namun belakangan terjadi kontak lintas budaya yang tidak terduga. Kedua tradisi dan budaya ini beradaptasi satu sama lain sebagai cara hidup alternatif. Suku Xiōngnú mengadopsi teknik pertanian, gaya berpakaian, dan gaya hidup orang Tionghoa, sedangkan Tiongkok mengadopsi teknik militer Xiōngnú, gaya berpakaian, musik, dan tarian. Mungkin yang paling mengejutkan dari pertukaran budaya antara Tiongkok dan Xiōngnú, tentara Tiongkok terkadang membelot dan berpindah ke cara hidup Xiōngnú, dan tinggal di stepa karena takut akan hukuman.

 

Selain pertukaran tradisi dan budaya, Jalur Sutra selama berabad-abad memfasilitasi gagasan-gagasan di bidang keagamaan. Zoroastrianisme, Judaisme, Buddhisme, Kristen, Manikheisme, dan Islam semuanya tersebar di Eurasia melalui jaringan perdagangan yang terikat pada komunitas agama tertentu dan institusi mereka. Khususnya, biara-biara Buddha yang didirikan di sepanjang Jalur Sutra menawarkan surga dan agama baru bagi orang asing. Penyebaran agama Buddha ke Tiongkok melalui Jalur Sutra dimulai sejak abad ke-1 Masehi, menurut kisah semi-legendaris dari seorang duta besar yang dikirim ke Barat oleh Kaisar Tiongkok Ming (58–75). Selama periode ini agama Buddha mulai menyebar ke seluruh Asia Tenggara, Asia Timur, dan Asia Tengah. Mahayana, Theravada, dan Vajrayana adalah tiga bentuk utama agama Buddha yang menyebar ke seluruh Asia melalui Jalur Sutra.

 

Penyebaran ajaran Buddha adalah gerakan misionaris berskala besar pertama dalam sejarah agama-agama dunia. Para misionaris Tiongkok mampu mengasimilasikan agama Buddha, hingga ke tingkat tertentu dan dapat diterima oleh penganut Taoisme asli Tiongkok; yang kemudian menyatukan kedua kepercayaan tersebut. Komunitas pengikut Buddha, berbentuk perhimpunan para rahib (Sangha) serta umat awam pria dan wanita. Para misionaris ini berpindah ke seluruh India dan sekitarnya untuk menyebarkan ajaran Buddha. Seiring bertambahnya jumlah anggota Sangha yang mengembara hingga melewati perbatasan negara lain, biaya perjalanan dan akomodasi mereka menjadi mahal sehingga hanya kota-kota besar yang mampu membiayai kunjungan para misionaris tersebut. Dipercaya bahwa di bawah kendali suku Kushan, agama Buddha menyebar ke Tiongkok dan wilayah Asia lainnya dari pertengahan abad pertama hingga pertengahan abad ketiga. Kontak ekstensif dimulai pada abad ke-2, mungkin sebagai konsekuensi dari perluasan kerajaan Kushan ke wilayah Tiongkok di Cekungan Tarim. Para misionaris pertama dan penerjemah kitab suci Buddha ke dalam bahasa Mandarin adalah orang Parthia, Kushan, Sogdiana, atau Kuchean.

 

Sejak abad ke-4 Masehi dan seterusnya, peziarah Tiongkok juga mulai melakukan perjalanan di Jalur Sutra menuju India untuk mendapatkan akses yang lebih baik terhadap kitab suci Buddhis yang asli. Kita pasti pernah mendengar perjalanan Fa-hsien ke India (395–414), dan kemudian Xuanzang (629–644), juga Hyecho (723-729), yang melakukan perjalanan dari Korea ke India. Ada banyak aliran agama Buddha berbeda yang melakukan perjalanan di Jalur Sutra. Dharmaguptaka dan Sarvastivadin adalah dua aliran Nikaya yang utama. Keduanya akhirnya digantikan oleh Mahayana, yang juga dikenal sebagai "Kendaraan Besar". Aliran-aliran dan gerakan-gerakan agama Buddha yang berbeda-beda ini merupakan hasil dari pengaruh dan keyakinan yang beragam dan kompleks di Jalur Sutra. Dengan bangkitnya agama Buddha Mahayana, arah awal perkembangan agama Buddha pun ikut berubah.

 

Pada abad ke-5 dan ke-6 Masehi, para pedagang dan saudagar berperan besar dalam penyebaran agama, khususnya agama Buddha. Para pedagang menganggap ajaran moral dan etika Buddhis merupakan alternatif yang menarik dibandingkan agama-agama sebelumnya. Sebagai dampaknya para pedagang mendukung biara-biara Buddha di sepanjang Jalur Sutra, dan sebagai imbal-baliknya, umat Buddha memberikan tempat tinggal kepada para pedagang, saat mereka melakukan perjalanan dari kota ke kota. Sebagai hasil kerjasama yang saling menguntungkan, komunitas-komunitas ini menjelma menjadi pusat literasi dan budaya dengan pasar, penginapan, dan gudang yang terorganisir dengan baik. Perpindahan keyakinan secara sukarela dari elit penguasa Tiongkok membantu penyebaran agama Buddha di Asia Timur, serta menyebabkan agama Buddha tersebar luas di masyarakat Tiongkok. Penyebaran agama Buddha di Jalur Sutra berakhir sekitar abad ke-7 dengan bangkitnya misionaris Islam di Asia Tengah.

 

Sebelum kita mengakhiri cerita kita di Jalur Sutra yang berlangsung selama ratusan tahun, penulis akan mengajak para pembaca melihat kondisinya antara abad ke-13 hingga ke-14 Masehi. Inilah periode stabil yang berlangsung cukup lama di Eurasia, di bawah kekuasaan Pax Mongolica. Setelah kematian kaisar Mongol pertama, Jenghis Khan, pada tahun 1227, kekaisaran yang diwariskan meluas dari pantai Pasifik Tiongkok hingga Eropa Timur. Ini berarti bahwa jaringan Jalur Sutra, yang berbahaya untuk dilalui karena kerajaan-kerajaan yang bertikai di sepanjang rute tersebut, sekarang sepenuhnya berada di bawah kendali Mongol.

 

Stabilitas yang dihasilkan oleh pemerintahan Mongol membuka jalur perdagangan kuno ini seluas-luasnya, sehingga pertukaran barang antara masyarakat dari Eropa hingga Asia Timur tidak terganggu. Di sepanjang Jalur Sutra, orang-orang memperdagangkan barang-barang seperti kuda, porselen, permata, sutra, kertas, dan mesiu. Wisatawan sekaligus penjelajah terkenal Eropa yang berasal dari Venesia, yakni Marco Polo (1254-1324), dapat melakukan perjalanan jauh ke Tiongkok dan kembali lagi. Bahkan dia pernah bekerja sebagai diplomat dan pemungut pajak di otoritas Pemerintahan Mongol. Polo selanjutnya menggambarkan pengalamannya di negeri-negeri yang jauh dalam sebuah kronik, yang mampu memikat para pembaca bukunya di Eropa.

 

Selain memfasilitasi perdagangan, pengaruh Mongol juga meningkatkan komunikasi di sepanjang Jalur Sutra dengan membangun sistem estafet pos. Bangsa Mongol secara budaya meningkatkan Jalur Sutra dengan mengizinkan orang-orang dari berbagai agama dan keyakinan yang berbeda untuk hidup berdampingan. Penggabungan masyarakat dan budaya dari wilayah yang ditaklukkan membawa kebebasan beragama di seluruh kekaisaran. Di padang rumput Asia yang luas, wisatawan mungkin akan bertemu dengan umat Islam dan Kristen yang tinggal dan bekerja bersama bangsa Mongol, yang terus menjalankan agama tradisional mereka.

 

Dalam perdagangan antar bangsa Pax Mongolica begitu baik dan efisien, namun jalan-raya-super abad pertengahan ini juga memiliki warisan yang lebih gelap dan mematikan: Hal ini memungkinkan salah satu pandemi besar pertama, yakni wabah yang dikenal sebagai Kematian Hitam (atau black death), menyebar di sepanjang rutenya dan akhirnya mencapai Benua Eropa pada tahun 1346. Dalam perjalanannya para pedagang dan pelancong itu menyinggahi berbagai pemberhentian – dusun kecil, desa, kota kecil, dan pos terdepan yang disebut cavaransera – tersebar dalam jarak sekitar satu hari perjalanan. Mereka melintasi hamparan Jalur Sutra, yang membentang ribuan mil dari Asia Timur hingga Turki. Sayangnya, rute tersebut juga membawa para pedagang ke dekat tempat yang oleh beberapa peneliti disebut sebagai sumber penyakit yang sangat berbahaya.

 

Dalam sebuah penelitian pada tahun 2015, para ilmuwan Norwegia dan Swedia menyatakan bahwa fluktuasi iklim di stepa Asia Tengah menyebabkan populasi hewan pengerat di wilayah tersebut – terutama gerbil (sejenis tikus yang hidup di stepa) dan marmut – menurun drastis. Hal ini, pada gilirannya, mungkin telah memaksa kutu yang membawa bakteri Yersinia Pestis, yang menyebabkan Wabah Sampar atau Wabah Pes, meninggalkan hewan indungnya dan mencari tempat tinggal baru, seperti unta dan manusia pemiliknya. Setelah beberapa tahun berlangsungnya relokasi kutu, sesuai teori para ilmuwan, dibutuhkan satu dekade lagi bagi karavan untuk secara bertahap membawa wabah ke arah barat, hingga mencapai tepian Benua Eropa. Kutu menggigit manusia dan bakteri sampar tersebut berpindah ke manusia, ketika kutu memuntahkan air liurnya ke dalam aliran darah kita. Dampak penyakit pes sama buruknya dengan cara penyebarannya. Segera setelah terinfeksi, si penderita mengalami pembengkakan di kelenjar getah beningnya atau disebut bubo. Setelah mengalami bubo, pendarahan internal menyebabkan pembengkakan darah dan nanah hingga mengubah warna kulit menjadi hitam. Itu adalah penyakit mengerikan yang menyebar dengan cepat dan tanpa peringatan. Kebanyakan orang yang tertular wabah tersebut langsung tewas tak tertolong lagi.

 

Kematian Hitam membunuh populasi besar manusia di abad keempat-belas. Sebanyak kurang lebih 100 juta orang di Afro-Eurasia mungkin telah tewas karena wabah ini. Jika epidemi terjadi di abad ke-21 dengan skala sebesar Kematian Hitam, maka umat manusia yang akan binasa setara dengan 1 miliar hingga 2 miliar orang. Secara umum, wabah ini merupakan yang terburuk di Eropa, yang memiliki kota-kota yang padat, lembab, dan bersanitasi buruk. Wabah ini membunuh hingga 25 juta orang Eropa (dari total populasi 75 juta jiwa) dari tahun 1347 hingga 1351, yang merupakan sepertiga dari populasi Eropa. Namun, di beberapa kota di Italia dan pedesaan Perancis, angka kematian mendekati 60 persen. Mereka yang berhasil selamat melihat sekeliling dan menyimpulkan bahwa mereka sedang menyaksikan akhir-dunia. Setelah Eropa mengalami wabah hebat, kemudian giliran Tiongkok dan Asia Tengah yang terjangkit serangan penyakit yang sama. Puluhan juta orang tewas, namun tidak dapat diperkirakan berapa jumlahnya. Wabah juga menyerang para elit dan pemegang kekuasaan Mongol. Pax Mongolica melemah dan menuju pada keruntuhannya. Jadi penyebab hancurnya kekaisaran yang agung ini bukan karena diserang oleh musuh yang lebih kuat, tetapi mereka dikalahkan oleh wabah yang tidak dapat diatasi oleh kemampuan dunia kedokteran zaman itu.

 

Meskipun berulang kali mengalami banyak perubahan dan gangguan geopolitik, Jalur Sutra tiba-tiba kehilangan arti penting seiring bangkitnya Kekaisaran Ottoman pada tahun 1453 atau seratus tahun setelah Kematian Hitam. Ottoman menutup perdagangan antara Timur dan Barat. Hal ini mendorong upaya beberapa negara Eropa untuk mencari jalur alternatif menuju Dunia Timur yang makmur, sehingga mengawali Zaman Penemuan atau Age of Discovery, kolonialisme Eropa, dan proses globalisasi yang lebih intensif, yang bisa dibilang merupakan kelanjutan dari Jalur Sutra yang legendaris itu. Pada abad ke-21, nama "Jalur Sutra Baru" digunakan untuk menggambarkan beberapa proyek infrastruktur besar di sepanjang jalur perdagangan bersejarah tersebut; di antaranya yang paling terkenal adalah Jembatan Darat Eurasia dan Inisiatif Sabuk dan Jalan Tiongkok atau Chinese Belt and Road Initiative (BRI). Pada bulan Juni 2014, UNESCO menetapkan koridor Jalur Sutra Cháng'ān-Tiānshān sebagai Situs Warisan Dunia.

 

 

(Tamat)

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/240418


Kamis, 04 April 2024

JALUR SUTRA


 

 

 

(Bagian Pertama dari Dua Tulisan)

 

 

Jika kita menyebut "Jalur Sutra" atau dalam bahasa Inggris "the Silk Road", atau 丝绸之路 (Sīchóu Zhī Lù), itu merupakan jaringan jalur perdagangan Eurasia yang aktif sejak abad ke-2 seb.M. hingga pertengahan abad ke-15. Orang secara sembrono menerjemahkannya sebagai "Jalan Sutra", yang sebenarnya keliru. Dalam kenyataanya ada beberapa rute jalan yang berbeda sesuai dengan perkembangan zaman, namun jaringan jalur ini membentang dari ujung timur Asia hingga benua Eropa. Nama "Jalur Sutra" bukanlah berasal dari bangsa Tiongkok, seperti yang sering dikira orang. Nama ini pertama kali diciptakan pada akhir abad ke-19 oleh orang Jerman yang bernama Ferdinand von Richthofen, dengan sebutan Seidenstraße, yang secara harfiah berarti "Jalan Sutra". Beliau melakukan tujuh ekspedisi ke Tiongkok dari tahun 1868 hingga 1872, dan nama ini pertama kali dipopulerkan pada tahun 1877.

 

Mengapa dinamakan "Jalur Sutra"? Hal ini mengacu pada komoditi yang diperdagangkan di sana. Sutra adalah bahan busana yang paling berharga di zaman kuno dan pertama kali serangga penghasil serat sutra berhasil dibudidayakan oleh bangsa Tiongkok. Sutra merupakan serat protein alami yang diproduksi oleh larva serangga tertentu. Setelah mencapai umurnya larva ulat berproses menjadi kepompong. Serat protein sutra terutama terdiri dari fibroin yang dipanen setelah kepompongnya masak. Sutra paling terkenal diperoleh dari kepompong larva ulat-sutra-murbei atau Bombyx Mori yang dipelihara di penangkaran, bukan yang diambil begitu saja dari alam. "Sutra liar" bisa pula dihasilkan oleh ulat sutra liar, yang mana serangga ini terdapat di Tiongkok, Asia Selatan, dan Eropa. Sejak zaman kuno orang telah memanen ulat sutra liar, tetapi skala produksinya selalu jauh lebih kecil daripada ulat sutra budidaya. Sutra liar berbeda dari sutra ternakan dari segi warna dan tekstur. Kepompong liar yang dikumpulkan orang dari alam biasanya sudah dirusak oleh ngengat yang tinggal di sana, sebelum kepompong tersebut masak sehingga benang sutra yang dipanen mudah putus menjadi serat berukuran pendek, yang membuat kualitasnya jelek. Kelemahan serat sutra liar yang sering dijumpai pengrajin, terjadi saat mereka mencelupkan benang atau kain ke dalam zat pewarna. Produk sutra ini lebih sulit menyerap pewarna dibandingkan dengan produk serupa yang dihasilkan dari serat sutra budidaya.

 

Mungkin Anda pernah melihat ulat sutra peliharaan peternak, yang diberi makan daun murbei dalam kotak-kotak penangkaran. Si ulat yang berwarna putih ini cepat tumbuh besar karena dipasok oleh daun murbei segar sepanjang masa hidupnya. Setelah mencapai tahap kepompong dan telah cukup umur, makhluk ini dibunuh dengan cara dicelupkan ke dalam air mendidih, sebelum serangga ini memasuki tahap pembentukan ngengat-sutra. Atau kepompongnya ditusuk dengan jarum, sehingga seluruh sisa tubuhnya dapat diurai menjadi untaian benang yang tak-terputus. Proses ini membuat serat sutra bisa dipintal menjadi benang yang liat dan kuat, serta selanjutnya bisa ditenun menjadi sehelai kain panjang. Tampilan serat sutra yang berkilauan disebabkan oleh struktur serat yang menyerupai prisma segitiga, yang membuat kain sutra yang dihasilkan mampu membiaskan cahaya yang masuk dari berbagai sudut berbeda, sehingga menghasilkan warna dan tampilan yang bervariasi.

 

Di tangan para pengrajin yang terampil serat-serat yang telah memiliki aneka warna ini memasuki tahap berikutnya: menenun. Di sini sampailah kita pada mahakarya zaman kuno: sehelai kain brokat. Brokat adalah kain-timbul. Brokat yang paling sederhana adalah tenunan tiga benang berbeda: Benang lusi (vertikal) dan benang pakan (horizontal) –yang digunakan untuk membuat gulungan kain apa pun – ditambah benang pakan-tambahan yang mampu menciptakan pola hias nan menakjubkan. Metode fabrikasi ini memberikan ilusi sulaman yang terangkat ke depan. Di luar definisi sederhana ini, tidak ada yang bersahaja tentang brokat. Ini adalah bahan yang sangat bervariasi dan hampir setua peradaban itu sendiri. Brokat kuno dibuat dengan tangan menggunakan alat tenun konvensional. Meskipun prosesnya membosankan dan memakan waktu lama, namun popularitas kain brokat semakin meningkat dari waktu ke waktu. Para pembuat busana menggunakan benang sutra untuk membuat brokat mewah yang dikenakan oleh bangsawan dan orang kaya.

 

Menurut legenda purba, kain sutra awalnya diperuntukkan bagi Kaisar Tiongkok untuk digunakan sendiri, atau dihadiahkan kepada orang tertentu. Namun kemudian kain sutra mulai diperkenalkan secara bertahap lewat budaya dan perdagangan, mula-mula menyebar ke seluruh negeri, kemudian ke banyak wilayah di Asia. Karena tekstur dan kilaunya, sutra dengan cepat menjadi kain mewah yang populer di banyak wilayah, sejauh yang dapat diakses oleh pedagang Tiongkok. Sutra sangat diminati dan menjadi komoditi pokok perdagangan internasional pra-industri. Sutra juga digunakan sebagai permukaan tulisan, terutama pada periode Negara-negara Berperang (475 - 221 seb.M.). Kain sutra itu ringan, tahan terhadap iklim lembab di wilayah Yangtze, menyerap tinta dengan baik, dan memberikan latar belakang putih pada teks yang umumnya berwarna hitam. Para kaisar Tiongkok berusaha keras merahasiakan pengetahuan tentang budidaya ulat sutra, untuk mempertahankan monopoli negeri besar ini. Meskipun sedemikian ketat mereka menjaga rahasianya, peternakan ulat sutra maupun pengiriman larva ulat sutra budidaya akhirnya sampai juga di Korea, berkat bantuan teknologi dari Tiongkok sekitar tahun 200 seb.M. Kemudian kerajaan kuno Khotan mendapatkannya pada tahun 50 M., dan setelah itu India pada tahun 140 M.

 

Siapa yang mempelopori adanya Jalur Sutra? Menurut catatan sejarah, jalur perdagangan ini bermula dari inisiatif Kekaisaran Hàn yang menginginkan meluasnya perdagangan dengan wilayah lain. Menjelang akhir abad kedua seb.M., Kaisar Wǔ dari Hàn (漢武帝, Hàn Wǔ Dì, 156 – 87 seb.M.) melakukan upaya besar untuk melawan suku Xiōngnú (匈奴) yang nomaden dan bermukim di Tiongkok Utara. Para penunggang kuda Xiōngnú seringkali menyerbu dan merampok penduduk Tiongkok di sepanjang perbatasan utara selama bertahun-tahun (ini juga alasan yang membuat rakyat Tiongkok membangun Tembok Besar). Guna menandingi kedigdayaan suku nomaden ini, Kaisar Wǔ mencari pasokan kuda baru untuk memperkuat pasukan kavalerinya. Dia mengirim utusan yang dikepalai oleh Zhāng Qiān (張騫), seorang politikus, diplomat dan penjelajah; dengan tujuan mencari sekutu baru dalam kampanye perangnya melawan Xiōngnú.

 

Pada tahun 138 seb.M., Zhāng berangkat menuju Wilayah Barat dengan disertai sembilan-puluh-sembilan anak buahnya untuk melakukan kontak, dan membangun aliansi dengan Yuè Zhī (月氏) di Tajikistas modern. Ia ditemani oleh seorang pemandu bernama Gān Fù (甘父), seorang Xiōngnú yang pernah ditangkap dalam perang sebelumnya. Namun untuk sampai ke wilayah Yuè Zhī mereka terpaksa melewati tanah yang dikuasai oleh Xiōngnú, yang mana mereka menangkap Zhāng dan rombongannya serta memperbudaknya selama tiga belas tahun. Selama masa ini dia menikah dengan orang Xiōngnú, yang memberinya seorang putera, dan akhirnya mendapatkan kepercayaan dari pemimpin suku itu. Zhāng dan Gān Fù (serta isteri dan putera Zhāng) akhirnya dapat melarikan diri dan sampai di Lop Nor. Selanjutnya mereka mengikuti tepi utara Cekungan Tarim, mengitari Pegunungan Kunlun, menuju daerah berbenteng kecil di tengah oasis, di tempat yang sekarang disebut Xinjiang. Setelah itu mereka tiba di Dàyuān (大宛), Uzbekistan modern, dan akhirnya ke tanah Yuè Zhī.

 

Suku Yuè Zhī adalah masyarakat agraris yang menghasilkan kuda yang kuat dan banyak tanaman yang tidak dikenal oleh rakyat Tiongkok, termasuk alfalfa untuk pakan ternak. Zhāng menghabiskan satu tahun di Yuè Zhī dan wilayah Baktria yang berdekatan, mendokumentasikan budaya, gaya hidup dan perekonomian mereka, sebelum memulai perjalanan kembali ke Tiongkok. Kali ini mereka berempat mengikuti tepi selatan Cekungan Tarim. Dalam perjalanan pulang dia kembali ditangkap oleh orang Xiōngnú, yang sekali lagi menyelamatkan nyawanya, karena mereka menghargai keberaniannya. Dua tahun kemudian pemimpin suku Xiōngnú meninggal dan di tengah kekacauan dan pertikaian di antara mereka, Zhāng Qiān melarikan diri. Dari misi awal yang berjumlah lebih dari seratus orang, hanya Zhāng Qiān dan Gān Fù yang berhasil kembali ke Tiongkok

 

Setelah pengembaraannya yang memakan waktu belasan tahun, Zhāng kembali ke Tiongkok, dan dia bersemangat untuk mendiskusikan keajaiban yang dia lihat di kerajaan Dàyuān di Ferghana. "Dàyuān terletak di barat daya wilayah Xiōngnú, sekitar 10.000 li atau sekitar 5.000 kilometer, tepat di sebelah barat Tiongkok. Penduduknya bermukim di tanah pertanian, membajak ladang, menanam padi dan gandum. Mereka juga membuat minuman keras dari buah anggur. Orang-orang tinggal di rumah di kota-kota yang berbentuk benteng. Di sana terdapat sekitar tujuh puluh atau lebih kota dengan berbagai ukuran. Populasinya berjumlah beberapa ratus ribu orang." (Shiji, 123, kutipan Zhāng Qiān, terjemahan Burton Watson). Selain beras, gandum, dan anggur, wilayah ini juga menghasilkan kuda-kuda "surgawi" yang tangguh.

 

Kuda Ferghana menjadi komoditi yang sangat diinginkan di Tiongkok. Tiongkok mengimpor begitu banyak kuda sehingga orang Dàyuān yang menguasai lembah Ferghana menolak menjual kuda lagi! Hal ini menyebabkan konflik tiga tahun yang dikenal sebagai "Perang Kuda Surgawi". Melalui penaklukan yang agresif pada 101 seb.M., Lembah Ferghana menjadi milik Kekaisan Hàn. Penguasaan Lembah Ferghana juga membuka jalur ke Barat. Dengan pasokan kuda baru, Hàn Tiongkok memproyeksikan kekuatan militer barunya di seluruh Asia. Perluasan kendali Hàn membuahkan Pax Sinica ,atau "Abad Keemasan Imperialis Tiongkok" yang pertama. Pada masa ini, standar hidup di Tiongkok meningkat dan kota-kotanya bertambah besar. Pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik menyebabkan peningkatan permintaan barang-barang mewah dari tempat yang jauh.

 

Pada saat Tiongkok bangkit menuju kejayaan di Asia Timur, demikian juga halnya yang terjadi pada Kekaisaran Romawi. Kemenangan Romawi dalam Perang Punisia memberi Roma kendali atas Laut Mediterania bagian barat. Selama beberapa abad berikutnya, Roma memperluas kekuasaannya dengan menguasai seluruh garis pantai Mediterania. Abad pertama Masehi merupakan awal dari Pax Romana atau "Abad Keemasan Imperialis Romawi". Pax Romana berlangsung sekitar 200 tahun dan merupakan zaman dengan periode perang yang relatif sedikit. Seperti halnya Hàn Tiongkok, stabilitas politik menghasilkan lebih banyak perdagangan. Roma memperoleh akses ke jalur perdagangan luar negeri ke India melalui Mesir dan mulai berdagang secara teratur.

 

Selama abad permulaan Masehi ada dua negara adidaya di dunia. Meskipun Romawi dan Hàn Tiongkok berkembang pesat, masih ada jarak yang jauh yang menghalangi mereka untuk berkonflik satu sama lain. Asia Tengah ditutupi oleh pegunungan, gurun, dan padang rumput yang luas. Hanya para pedagang yang menjadi penghubung penting di antara kekaisaran Romawi dan Hàn Tiongkok. Kita akan meninjau Jalur Sutra sesungguhnya, yang terbentuk dari jaringan rute jalan yang membentang sepanjang kira-kira 4.000 mil atau 6.400 kilometer, atau setara dengan delapan kali lipat dari jarak Jakarta menuju Surabaya.

 

Jalur Sutra Darat terbagi menjadi dua, yakni Jalur Sutra Utara dan Jalur Sutra Selatan. Titik paling timur dari jalur utara adalah Cháng'ān (长安), sebuah kota penting di Tiongkok tengah. Cháng'ān adalah kotaraja lebih dari sepuluh dinasti Tiongkok yang berbeda. Rute utara menjadi populer sekitar abad pertama seb.M. dan merupakan gagasan dari Kaisar Wǔ. Dari Chang’an, rute ini menuju arah barat laut melalui provinsi Shǎnxī (陕西) dan Gānsù () di Tiongkok, sebelum terbagi menjadi tiga sub-rute yang berbeda.

 

Sub-rute 1 menyusuri barisan pegunungan di sisi utara Gurun Taklamakan. Sub-rute 2 menyusuri barisan pegunungan di sisi selatan Gurun Taklamakan. Sedangkan Sub-rute 3 menuju ke utara Pegunungan Tiān Shān melalui Turpan, Talgar dan Almaty di tempat yang sekarang menjadi wilayah tenggara Republik Kazakhstan. Pembaca bisa memperhatikan Peta yang ditunjukkan pada Gambar yang menyertai artikel ini. Sub-rute 1 dan  Sub-rute 2 bertemu kembali di Kashgar, sebuah kota oasis di Xīnjiāng saat ini. Setelah Kashgar rute utara terbagi lagi di sebelah barat Kashgar, dengan cabang selatan mengarah ke Lembah Alai menuju Termez (di Uzbekistan modern) dan Balkh (Afghanistan). Sementara cabang lainnya melewati Kokand di Lembah Ferghana (di Uzbekistan timur saat ini), dan kemudian menuju barat melintasi Gurun Karakum. Kedua rute tersebut bergabung dengan rute utama selatan sebelum mencapai Merv kuno, Turkmenistan. Cabang lain dari jalur utara berbelok ke barat laut melewati Laut Aral dan utara Laut Kaspia, lalu terus ke Laut Hitam.

 

Jalur selatan berangkat dari Tiongkok melalui pegunungan Karakoram. Oleh karena itu, jalur ini juga dikenal sebagai Jalur Karakoram. Pegunungan Karakoram membentang di perbatasan Pakistan, India, dan Tiongkok, serta meluas hingga Afghanistan dan Tajikistan di barat laut. Di sebelah barat pegunungan Karakoram, jalur selatan memiliki banyak jalur yang mengarah ke selatan menuju ke laut, karena banyak pedagang ingin melanjutkan perjalanan dengan kapal daripada melalui darat. Bagi mereka yang tidak menuju ke selatan melewati lautan, jalur selatan dilanjutkan melewati pegunungan Hindu Kush. Dari sana masuk ke Afghanistan, bergabung dengan jalur utara sebelum mencapai Merv di Turkmenistan.

 

Dari Merv, rute selatan mengarah ke barat hampir dalam garis lurus, melalui Iran Utara, Mesopotamia, dan tepi utara Gurun Suriah, untuk mencapai Levant. Di sana kapal-kapal menunggu untuk membawa kargo berharga melintasi Laut Mediterania ke Eropa Selatan. Perjalanan lanjutan melalui darat juga dimungkinkan dari Levant, baik ke utara melalui Anatolia atau ke selatan ke Afrika Utara. Ada juga cabang Jalur Sutra yang berangkat dari Herat di Afghanistan ke kota pelabuhan kuno Charax Spasinu di Teluk Persia, melewati Susa dalam perjalanannya. Dari Charax Spasinu, perjalanan dilanjutkan dengan kapal laut menuju berbagai pelabuhan Mediterania, seperti Petra.

 

Orang banyak beranggapan bahwa seorang pedagang atau penjelajah memulai perjalanannya dari ujung timur, yakni Kotaraja Cháng'ān. Kemudian dia menyusuri jarak sepanjang 6.400 km menuju barat, hingga tiba di satu kota di Eropa Selatan. Dalam kenyataannya hanya sedikit orang yang berhasil melakukannya. Jika dia ingin menjalankan rencana gilanya ini mungkin dibutuhkan waktu berbulan-bulan atau melebihi waktu dua tahun. Jalur Sutra bukanlah jalan tol yang mulus, namun melewati medan alam yang berbahaya. Kondisi jalan raya umumnya buruk, karena sebagian besar merupakan tanah tak-bertuan. Ada pegunungan yang sukar untuk didaki, dan ada pula padang pasir yang mahaluas. Sepanjang perjalanan orang akan dihadang dengan cuaca panas, angin kencang, hujan deras, dan bahkan iklim yang sangat dingin. Di jalur itu pun banyak begal atau perampoknya, yang akan menghadang setiap orang yang lewat.

 

Pedagang harus menemukan cara untuk memindahkan barang mereka secara efisien. Untuk melakukan perjalanan darat melalui medan yang berat di Asia Tengah, para pedagang wajib memilih moda transportasi yang diandalkan. Di jalur sub-rute 1 dan sub-rute 2 para penjelajah harus melintasi Gurun Taklamakan. Ini adalah rintangan alam yang amat berat. Tanpa menyiapkan perlengkapan yang memadai, maka mereka yang melintasi gurun ini sama saja dengan menjemput maut. Masyarakat nomaden di Asia Tengah mulai memelihara unta sejak milenium kedua sebelum Masehi. Misalnya, suku Hàn Tiongkok menggunakan unta yang ditangkap dari Xiōngnú untuk membawa perbekalan militer. Unta dapat bertahan dalam kondisi gurun yang keras di Asia Tengah dan juga mampu membawa beban hingga 250 kilogram sekaligus! Hewan pengangkut – terutama unta – membuat pengangkutan barang melalui darat di Jalur Sutra dapat dilakukan. Tentu saja sepanjang jalur 4.000 mil ini orang memanfaatkan moda transportasi yang berbeda. Kadang dipergunakan kuda atau keledai, dan pada wilayah dingin mereka memanfaatkan yak, sapi tibet yang tahan udara dingin.

 

Di padang pasir yang tidak bertepi manusia berhadapan dengan lingkungan yang ekstrim dan kejam. Sejauh mata memandang hanya terlihat hamparan pasir yang tidak bertepi. Matahari yang bersinar di langit menambah hawa panas yang menerpa tubuh, belum lagi angin gurun yang kerap bertiup membawa semburan pasir halus, sehingga sulit bagi mata kita untuk menatap ke depan. Di tengah udara panas dan tubuh berkeringat, orang tergoda untuk selalu meminta minum, padahal persediaan air yang dibawa amatlah terbatas. Untuk mencari sumber air terdekat hanya bisa didapatkan di beberapa oasis, yang letaknya paling dekat berpuluh-puluh kilometer jauhnya. Jika di siang hari udara panas mencekat, maka di malam hari hawa dingin menyerang tubuh tanpa ampun.

 

Untunglah ada hewan yang bisa hidup di gurun dengan mudah. Unta sudah dibudidayakan oleh masyarakat Baktria sejak ribuan tahun yang lampau, Punuk unta sering dikaitkan dengan kemampuan hewan ini untuk bertahan lama tanpa minum. Tapi punuk unta tidak berisi air di dalamnya. Sebaliknya punuk hewan ini menyimpan lemak. Unta umumnya hidup di daerah dengan persediaan air dan vegetasi yang terbatas. Simpanan lemak mereka dapat diubah menjadi energi, ketika mereka tidak memiliki akses terhadap sumber daya yang mereka perlukan untuk bertahan hidup. Unta dapat bertahan seminggu tanpa minum dan lebih dari sebulan tanpa makan.

 

Unta jarang berkeringat. Mereka jauh lebih baik daripada kita dalam menoleransi cuaca panas. Suhu tubuh mereka berfluktuasi, naik di siang hari seiring dengan meningkatnya suhu lingkungan, dan turun di malam hari saat cuaca lebih dingin. Mungkin tampak aneh melihat unta yang berbulu jika ditemukan di gurun yang sangat panas, namun bulu mereka sebenarnya berfungsi sebagai penyekat, melindungi mereka dari panas. Agar dapat bertahan dalam waktu lama di daerah kering, unta juga telah beradaptasi untuk meminimalkan jumlah air yang hilang. Misalnya, unta memiliki urin yang kental seperti sirup, serta kotorannya sangat kering sehingga dapat digunakan sebagai arang yang cepat terbakar. Unta dapat menahan kehilangan hingga bobot air di tubuhnya hingga 30 persen, jauh lebih banyak daripada kemampuan mamalia lain untuk bertahan hidup. Tapi hewan ini tidak bisa hidup tanpa air selamanya. Ketika unta berkesempatan minum di oasis, mereka menyedot cairan dalam jumlah besar dengan cukup cepat, namun mereka tidak menyimpannya di dalam tubuhnya, tetapi cairan tersebut cukup untuk merehidrasi dirinya sendiri.

 

Lingkungan gurun menawarkan pilihan makanan yang terbatas bagi unta herbivora. Unta Dromedari dan Baktria kebanyakan memakan daun kasar dan berduri yang kaya serat, dengan akses ke beberapa semak, pohon, tumbuhan, dan rerumputan liar. Tetapi unta dengan senang hati mengunyah tanaman berduri. Bibir dan lidah mereka keras, dan mulut mereka dilapisi papila yang kuat (tonjolan berdaging). Ini membantu unta mampu memanipulasi dan menelan makanannya, tetapi juga mencegahnya agar tidak tergores, tertusuk, atau terluka pada mulutnya. Saat unta menelan rumput atau tanaman, pakan itu masuk ke dalam ruang perutnya yang disebut rumen, tempat apa yang ditelannya mulai berfermentasi dan melunak dengan bantuan mikroba. Sama seperti sapi yang memamah-biak, unta pun mengolah makanan yang ditelannya dengan cara yang serupa, sebelum makanan itu dapat tercerna dengan baik.

 

Mereka yang melintasi Jalur Sutra bersiasat melindungi diri mereka, dengan cara para pedagang berkumpul dan berkonvoi dalam jumlah besar. Untuk mengarungi Gurun Taklamakan yang keras dan kejam itu, mereka banyak melakukan perjalanan di musim dingin. Mereka membawa karavan dengan bantuan unta atau hewan pengangkut lainnya. Umumnya kumpulan pedagang ini adalah pedagang setempat yang menyalurkan komoditi di wilayah yang biasa mereka jelajahi. Jadi banyak pedagang perantara atau middle man di sepanjang Jalur Sutra. Seiring berjalannya waktu, penginapan besar yang disebut caravanserai muncul menjadi rumah bagi para pedagang tersebut. Caravanserai boleh disetarakan dengan hotel-singgah bagi para pedagang yang kelelahan ini. Di tempat ini mereka bisa beristirahat, tidur hingga tenaga mereka pulih kembali, dan barang-barang berharga bisa disimpan dengan aman. Unta dan hewan pengangkut lainnya turut melepas lelah, dan biasanya tersedia cukup air dan rumput yang bisa mereka minum dan makan.

 

Kita akan melanjutkan kisah ini pada artikel yang akan datang.

 

 

(Bersambung)

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/240404