Mahāmaudgalyāyana (Sans.) atau Mahā
Moggallāna (Pali), yang bermakna Maudgalyāyana
Yang Agung, untuk membedakannya dengan Maudgalyāyana yang lain.
Mahāmaudgalyāyana lahir dengan nama Kolita, adalah salah satu murid kepala Sang
Buddha; dan dia sering kali disandingkan dengan Śāriputra (Pali: Sāriputta).
Dalam bahasa Mandarin Mahāmaudgalyāyana dipanggil 目連 / 摩诃目犍乾连 (Mù Lián / Mó Hē Mù Jiān Qián Lián). Penulis pernah menerbitkan artikel perihal riwayat
hidup Śāriputra. Para pembaca bisa melihat kembali tulisan tersebut untuk
membandingkannya dengan artikel kita hari ini.
Seperti yang pernah dikisahkan sebelumnya, kira-kira 2600
tahun yang lalu di dua dusun brahmana di India, yang letaknya tidak begitu jauh
dari kota Rājagaha, yakni kotaraja Kerajaan Magadha Kuno. Sebelum Buddha yang
kita kenal muncul di dunia ini, seorang wanita brahmana yang bernama Moggallī,
yang bertempat tinggal di di sana sekali waktu hamil. Kejadian yang serupa
dialami pula oleh wanita brahmana kedua yang tinggal di dusun yang berdekatan.
Wanita itu bernama Rūpasārī, juga hamil pada hari yang bersamaan. Dua keluarga
brahmana ini sesungguhnya telah lama bersahabat satu sama lainnya, bukan saja
terbatas antar dua keluarga, namun persahabatan mereka telah terjalin selama
tujuh generasi. Sejak hari pertama kehamilan kedua wanita brahmana itu,
keluarga besar mereka merawat dengan penuh ketelatenan kepada kedua calon ibu
tadi, hingga sepuluh bulan ke depan. Setelah genap sepuluh bulan kedua wanita
brahmana itu melahirkan masing-masing seorang bayi lelaki, juga berbarengan
pada hari yang sama. Pada hari pemberian-nama putera Moggallī menerima nama Kolita,
mengingat ia adalah anak lelaki keluarga terpandang di desa itu. Dengan alasan
yang sama putera Rūpasārī dinamakan Upatiṣya.
Ketika kedua anak lelaki itu bertumbuh-kembang mereka
berdua dididik dengan baik dan menguasai semua ilmu pengetahuan yang tersedia
di zaman itu. Sekali waktu di Rājagaha diadakan satu acara tahunan, yang
dinamakan "Perayaan Puncak Bukit". Di zaman kuno yang mana setiap
orang sibuk setiap hari mencari nafkah, tidak banyak pilihan untuk mencari
hiburan. Bagi masyarakat masa itu satu-satunya acara tahunan yang
ditunggu-tunggu adalah pasar malam yang bisa dinikmati oleh setiap penduduk. Di
atas panggung yang digelar di sana, para aktor dan artis mempertontonkan
kebisaan mereka untuk menghibur para pennton. Ketika pertunjukan memancing
pemirsa untuk tertawa, mereka semua ikut tertawa; sewaktu permainan berubah
menjadi menegangkan, mereka semua menyaksikannya dengan rasa tegang. Sampai
hari ketiga, kedua sahabat ini masih menikmati pertunjukan itu. Namun di akhir
hari tersebut, pikiran-pikiran yang aneh membayangi batin mereka, sebegitu rupa
sampai mereka tidak mampu lagi tertawa atau berbagi sensasi ketegangan atas
pertunjukan yang ditampilkan di panggung. Selagi mereka berdua duduk di sana,
sambil menonton drama dan tari-tarian, hanya dalam hitungan sekejap mata,
bayangan hantu kefanaan-manusia mendadak muncul dalam visi batin mereka.
Bayangan siluman kegelapan itu yang walaupun muncul hanya sekilas, membuat
sikap batin mereka tidak pernah sama lagi seperti hari-hari sebelumnya. Bagi
keduanya, suasana hati yang muram ini secara perlahan-lahan mengkristal menjadi
satu pertanyaan yang mencuat: "Apa gerangan yang kalian cari di sini?
Sebelum orang-orang di sini mencapai usia seratus tahun, mereka semua telah
menemui ajalnya. Bukankah sebaiknya kita mencari ajaran tentang kebebasan dari
semua hantu kegelapan ini?"
Keduanya saling bertatapan satu sama lain, lalu bersama
para pengikutnya mereka beranjak pergi dari pesta rakyat itu. Setelah sampai di
dusun mereka, Kolita dan Upatiṣya sepakat untuk pergi mengembara guna mencari
seorang guru spiritual. Keduanya berharap dengan bantuan seorang guru yang
mumpuni, mereka bisa meniti jalan menuju kebebasan. Pada waktu itu di Rājagaha
menetap seorang petapa pengelana atau paribbājaka yang bernama Sañjaya,
yang memiliki banyak siswa. Setelah memutuskan untuk menerima penahbisan dari
dia, Kolita dan Upatiṣya menemuinya, dengan mengajak pengikut mereka yang masing-masing
berjumlah lima ratus orang brahmana muda. Semuanya menerima penahbisan dari
Sañjaya. Sejak mereka semua menjadi pengikutnya, reputasi Sañjaya menanjak
dengan cepat dan dukungan terhadapnya pun melimpah. Dalam waktu yang tidak
terlalu lama kedua sahabat itu telah selesai mempelajari seluruh ajaran
Sañjaya. Kemudian mereka mendatanginya dan bertanya: "Wahai, Guru, apakah
ajaranmu hanya sampai sejauh ini, atau masih ada kelanjutannya?" Sañjaya
menjawab: "Sejauh ini hanya itu yang dapat aku ajarkan. Kalian berdua
telah merampungkannya." Mendengar jawaban Sañjaya, mereka berdua berpikir:
"Jika demikian keadaannya, adalah sia-sia belaka kami melanjutkan
kehidupan suci di bawah bimbingannya. Kami telah pergi dari kehidupan berumah
menuju kehidupan tanpa-rumah guna memperoleh ajaran tentang pembebasan, tetapi
di bawah pengajarannya kami tidak berhasil mendapatkannya. Jambudvipa ini
begitu luas, dan jika kami mengembara melalui desa-desa, kota-kota, dan kota
raja, kami pasti akan menemukan lagi seorang guru yang dapat menunjukkan jalan
yang sedang kami cari."
Dan dengan keyakinan sedemikian, kapan saja mereka
mendengar ada petapa atau brahmana yang bijaksana di satu tempat, mereka
langsung pergi ke sana dan mempelajari doktrin mereka.
Setelah berkelana ke seluruh
Jambudvipa, mereka akhirnya kembali ke Rājagaha. Di sana mereka membuat satu
perjanjian yang menyatakan bahwa barang siapa yang pertama kali menemukan Yang
Tanpa-Kematian, akan segera memberitahukannya kepada yang lain. Itu adalah
ikrar-persaudaraan, yang terlahir dari persahabatan sejati di antara dua orang
muda. Selang beberapa waktu kemudian, Yang Terberkahi, Sang Buddha, melakukan
perjalanan ke Rājagaha. Diantara enam puluh satu orang arahanta yang
mana Sang Guru mengirimkan mereka ke seantero negeri untuk menyebarkan pesan
pembebasan kepada dunia, ada seorang siswa sesepuh yang bernama Aśvajit. Aśvajit
adalah salah satu dari lima petapa yang melayani Sang Bodhisattva ketika beliau
mempraktikkan asketisme ekstrim, dan dia sendiri juga salah satu dari lima
siswa Sang Buddha yang pertama.
Pada suatu pagi ketika Aśvajit sedang berjalan
berkeliling di Rājagaha untuk mengumpulkan dana makanan, Upatiṣya melihatnya
sewaktu dia berjalan dari pintu ke pintu sambil membawa mangkuk-sedekahnya.
Terpesona oleh penampilan Aśvajit yang tenang dan berwibawa, Upatiṣya mengikutinya
dan setelah sang petapa menyelesaikan makan siangnya. Upatiṣya menanyakan siapa
gurunya dan apa isi ajarannya. Sebagai jawabannya, Sang Sesepuh Aśvajit
mengutarakan syair berikut ini:
"Ye dhammā hetuppabhavā, tesaṃ hetuṃ Tathāgatāha;
tesaṃ ca yo nirodho: evaṃvādi mahāsamaṇo." Terjemahannya :
"Dari semua fenomena yang muncul oleh suatu sebab,
Sang Tathāgata telah menyebutkan sebab tersebut;
Serta juga penghentiannya:
Demikianlah ajaran Sang Rahib Agung."
Pernyataan singkat Aśvajit, yang dikenal sebagai bait Ye
Dhammā Hetu ("Dari semua fenomena ..."), secara tradisional
digambarkan sebagai inti ajaran Buddha, dan merupakan syair yang paling banyak
dituliskan di seluruh dunia Buddhis. Petikan ini dapat ditemukan di semua
sekolah Buddhis, diukir di banyak media, serta dapat ditemukan di banyak patung
Buddha dan stupa. Filsuf Paul
Carus menjelaskan bahwa bait tersebut merupakan tanggapan yang berani dan
ikonoklastik terhadap tradisi Brahmanisme, karena bait tersebut "menolak
keajaiban campur tangan supernatural dengan tanpa-syarat, serta mengakui hukum
sebab dan akibat sebagai hal yang tidak dapat diintervensi"
Sesaat setelah mendengar dua bait syair yang pertama,
seketika muncul dalam diri si pengelana Upatiṣya pandangan benar Dhamma yang
jernih dan tanpa-noda – penglihatan sekilas tentang Yang Tanpa-Kematian, yakni
jalan menuju pemasuk-arus (tingkat kesucian pertama) – serta pada akhir dua bait pamungkasnya, dia
telah mendengarnya sebagai seorang pemasuk-arus. Dalam sekejap mata dia
telah memahaminya: "Inilah makna pembebasan yang baru saja
kutemukan!" Lalu dia berkata kepada sang sesepuh: "Dimana Guru kita
bermukim?" - "Di Hutan Bambu, wahai petapa pengelana." -
"Kalau begitu jalanlah terlebih dahulu, Yang Mulia. Aku mempunyai seorang
sahabat yang dengannya aku telah membuat ikrar persaudaraan, yang mana aku
terikat untuk membagi Dhamma yang baru saja kuperoleh. Aku akan memberitahukan
dia terlebih dahulu, baru kemudian kami berdua akan datang menghadap Sang
Guru." Upatiṣya lalu bersimpuh dengan kepalanya di kaki sang sesepuh,
selanjutnya dia kembali ke taman para pengelana.
Kolita melihat kedatangan sahabatnya dari jauh dan dengan
segera dia telah mengetahuinya: "Hari ini penampilan sahabatku sudah
sedemikian berubah. Pasti dia telah menemukan Yang Tanpa-Kematian. Dan sewaktu
dia ditanya, Upatiṣya menjawab: "Ya, benar wahai sahabatku, Yang
Tanpa-Kematian telah kutemukan!" Selanjutnya Upatiṣya menceritakan
perjumpaannya dengan Sang Sesepuh Aśvajit, serta ketika dia mengulangi
bait-bait syair yang dilantunkannya, Kolita juga menjadi mapan dalam buah
seorang pemasuk-arus. "
Selanjutnya kedua siswa tersebut, bersama dengan para
pengikutnya, pergi untuk ditahbiskan sebagai bhikkhu di bawah bimbingan Sang
Buddha di Veṇuvana (Pali: Veḷuvana). Sejak penahbisan mereka,
Upatiṣya dan Kolita masing-masing dikenal sebagai Śāriputra dan Maudgalyāyana,
Maudgalyāyana adalah nama marga Kolita, yang diambil dari nama ibunya: Moggallī.
Setelah ditahbiskan, semua orang kecuali Śāriputra dan Maudgalyāyana mencapai tataran
Arhat (Pali: Arahat; tahap pencerahan terakhir). Maudgalyāyana
dan Śāriputra mencapai pencerahan satu sampai dua minggu kemudian,
Maudgalyāyana di Magadha, di sebuah desa bernama Kallavala. Pada saat itu, rasa
kantuk menghalanginya untuk mencapai kemajuan lebih lanjut di jalan tersebut.
Setelah dia mendapat penglihatan dari Sang Buddha yang menasihatinya bagaimana
mengatasinya, dia mendapat terobosan dan mencapai pencerahan.
Śāriputra dianggap sebagai siswa utama Buddha yang pertama, terkemuka dalam
kebijaksanaan, serta Maudgalyāyana yang
kedua, termasyhur dalam kekuatan batinnya; seperti
yang digambarkan dalam Mahāpadāna
Sutta, sebagai
"pasangan siswa utama, pasangan yang unggul". Dalam Mahāvagga, Sang Buddha
menyatakan kedua siswa laki-laki utamanya sebagai yang terdepan dalam
kebijaksanaan dan yang terdepan dalam kekuatan batin, masing-masing mengacu
pada Śāriputra dan Maudgalyāyana. Tradisi Buddhis Theravāda menyatakan bahwa siswa utama pertama, Sariputra, biasanya
duduk di sebelah kanan Sang Buddha, sedangkan siswa utama kedua, Maudgalyāyana,
duduk di sebelah kirinya.
Tentu Anda para
pembaca ingin tahu, apa yang membedakan antara peran siswa utama yang pertama
dengan yang kedua. Hubungan yang
terjalin, di antara dua siswa
kepala berdiri satu sama lain dalam lingkup pengajaran, seperti
yang dijelaskan oleh Sang Buddha dalam Saccavibhaṅga
Sutta: "Harap dicontoh, oh para
bhikkhu. Lihatlah Śāriputra dan Maudgalyāyana,
dan tetap bersahabatlah dengan mereka berdua! Mereka adalah bhikkhu-bhikkhu
yang bijaksana, juga sang penolong bagi bhikkhu lainnya. Śāriputra layaknya seorang ibu yang melahirkan, dan Maudgalyāyana bagaikan seorang perawat yang mengasuh
sang bayi yang baru lahir. Śāriputra melatih
(siswa-siswanya) hingga mencapai buah pemasuk-arus, serta Maudgalyāyana membimbing mereka hingga meraih
sasaran akhir". (Majjhima
Nikāya, 141)
Dalam khotbah tentang para murid yang unggul dalam
kapasitas dan kualitas khusus (Aṅguttara Nikāya, 1:13), Sang Buddha bersabda
bahwa Maudgalyāyana adalah yang terdepan di antara para Bhikkhu yang memiliki
kemampuan magis. Dibandingkan dengan bhikkhu atau bhikkhuni lain yang hanya
memiliki satu atau beberapa kemampuan magis, maka Maudgalyāyana memiliki semua
kemampuan itu secara lengkap. Seperti kecakapan yang pertama: Menembus atau
melakukan penetrasi terhadap pikiran orang lain dan membaca pikiran seseorang (diindonesiakan:
telepati). Suatu ketika pada hari yang bertepatan dengan hari Uposatha,
Sang Buddha duduk diam sepanjang malam di depan kumpulan para bhikkhu. Saat
fajar menyingsing, dia hanya berkata: “Ketahuilah kalian, pasamuan para bhikkhu
di sini tidak murni.” Setelah mendapat alasan mengapa Sang Guru tetap berdiam
diri, dan tidak bersedia beranjak ke acara yang berikutnya, Moggallāna memindai
dengan kekuatan pikirannya, keadaan batin para bhikkhu yang sedang berkumpul di
ruangan itu. Dia menemukan salah satu penyusup, orang yang memakai pakaian
bhikkhu dan mengaku sebagai salah satu anggota Sangha, namun sesungguhnya dia
bukan bhikkhu. Maudgalyāyana menghampiri orang itu dan memintanya untuk segera ke
luar dari sana. Ditegur seperti itu si oknum bhikkhu bergeming dan sang siswa
kepala memintanya hingga tiga kali. Tetap saja orang itu tidak menggubrisnya, hingga
Maudgalyāyana memegang lengannya, menyeretnya ke luar pintu, dan
mencampakkannya ke pekarangan. Kemudian dia kembali ke tempatnya dan memohon
kepada Sang Bhagavā untuk melafalkan Peraturan Disiplin Monastik atau Pātimokkha,
karena sekarang kumpulan bhikkhu di dalamnya telah menjadi suci kembali. (Aṅguttara
Nikāya, 8:20)
Suatu malam ketika Śāriputra pergi
menemui Maudgalyāyana dia menemukan sahabatnya memiliki ekspresi yang begitu
tenang, sehingga Śāriputra merasa tergerak untuk bertanya apakah Maudgalyāyana
pernah berdiam di salah satu Kediaman Luhur (maksudnya, salah satu alam Dewa-Brahma).
Maudgalyāyana menjawab dia hanya bermukim di tempat yang lebih rendah, tetapi dari
sana dia mendengarkan ceramah tentang ajaran yang menggugahnya. Ketika ditanya siapa
orang yang menyampaikan ajaran itu, dia menjawab bahwa ajaran itu tengah
dibabarkan oleh Yang Terberkahi. Śāriputra terheran-heran dan berkata bahwa Sang
Guru sedang berada di tempat yang sangat jauh yakni di Sāvatthī, sementara
mereka sendiri sekarang berada di sini di Rājagaha. Apakah Maudgalyāyana,
dengan kekuatan supernormalnya, pergi menemui Sang Buddha, atau Yang Terberkahi
sendiri yang diam-diam datang kepadanya? Maudgalyāyana menjawab bahwa kedua hal
tersebut tidak terjadi. Sang siswa kepala berkata bahwa dengan bantuan mata-dewa
dan telinga-dewa yang telah dimurnikan dan disempurnakannya, yang membuatnya
bisa mendengarkan ceramah Dhamma yang tengah disampaikan oleh Sang Buddha dari
tempat yang sangat jauh. Kemudian Śāriputra berseru bahwa Maudgalyāyana, yang telah
diberkahi dengan kekuatan batin yang sedemikian hebatnya; mungkin bisa hidup
sepanjang satu kalpa, jika dia menginginkannya. (Saṃyutta Nikāya, 21:3)
Seperti disebutkan di atas, Maudgalyāyana,
dengan mata-dewanya, mampu melihat
Sang Buddha dari jarak yang sangat jauh.
Suatu ketika kejadian berikut ini terjadi. Ketika itu Śāriputra sedang duduk
bermeditasi dengan khusyuknya, sesosok Yakkha pengganggu dengan
tangannya yang besar memukul kepala gundul Śāriputra. Maudgalyāyana
menyaksikannya dengan bantuan mata-dewanya. Dia terperanjat dan setelah Sang
Yakkha berlalu dari tempat itu, Maudgalyāyana bertanya kepada sahabatnya
apakah dia merasakan sakit akibat pukulan yang dahsyat itu. Śāriputra tersenyum
dan berkata bahwa dia baru saja merasakannya kepalanya sedikit sakit. Maudgalyāyana
bercerita bahwa pukulan yang dilakukan oleh Yakkha itu begitu kuatnya, sehingga
mampu menjatuhkan seekor gajah. Sang siswa kepala memuji kekuatan konsentrasi Śāriputra,
yang hanya merasakan sedikit sakit kepala. Namun Śāriputra memuji Maudgalyāyana,
bahwa sahabatnya mampu mengamati Yakkha yang tidak kasat mata itu,
padahal dia sendiri tidak mampu melihatnya. (Udāna, IV.4)
Kemampuan batin berikutnya dari Maudgalyāyana
adalah Perjalanan Astral dengan bantuan "tubuh buatan pikiran".
"Sama seperti seseorang yang menekuk lengannya yang terentang atau
merentangkan lengannya yang tertekuk," begitu cepatnya Maudgalyāyana meninggalkan
dunia manusia secara jasmani, dan sesaat kemudian dia sudah muncul kembali di
alam surga. Berulang kali dia menggunakan kemampuannya ini untuk mengajar
makhluk lain yang tidak terlihat oleh manusia biasa, juga merawat apa yang
semestinya dilakukan oleh Sangha. Selanjutnya dia mengajar kepada dewa dan dewi
di Alam Tiga-Puluh-Tiga Dewa faktor-faktor yang menuju jalan menuju pemasuk
arus. Pernah juga Maudgalyāyana menguji Sakka, raja para dewa, apakah dia
memahami ajaran tentang padamnya nafsu keinginan (Majjhima Nikāya, 37).
Kemampuan batin Maudgalyāyana
berikutnya adalah Telekinesis atau Pergerakan-Supernormal. Tubuh Maudgalyāyana
mampu menembus apa pun yang tampak sebagai benda padat. Pernah terjadi pada beberapa
bhikkhu yang tinggal di vihara, yang pikirannya lalai dan kacau. Mereka sibuk
sendiri dan mereka terlalu banyak mencurahkan diri dengan hal-hal sepele tentang
materi. Mengetahui hal ini, Sang Buddha meminta Maudgalyāyana untuk
menggoyahkan keyakinan mereka yang berlebihan terhadap materi, dengan cara melakukan
pergerakan-supernormal sekaligus mendemonstrasikan hal tersebut di
hadapan para bhikkhu. Menanggapi permintaan Sang Buddha, Maudgalyāyana mendorong
bangunan itu dengan jempol kakinya, sehingga seluruh vihara berguncang.
Kemudian tampak "Teras Ibu Migāra", bergetar dan bergoyang seolah-olah
ada gempa bumi. Lewat pengalaman langsung ini para bhikkhu langsung tunduk dan
menerima kembali intruksi Sang Buddha. Kemudian Sang Guru menjelaskan Empat
Jalan Menuju Kekuatan atau Iddhipāda, yang merupakan sumber kekuatan
supernormal Maudgalyāyana (Saṃyutta Nikāya, 51:14; Jātaka, 299).
Melalui teks-teks pasca-kanonik, Maudgalyāyana menjadi terkenal
karena kesalehan anak melalui kisah populer tentang cara dia mentransfer
jasa-jasanya kepada ibunya. Hal ini memunculkan tradisi di banyak negara
Buddhis yang dikenal sebagai Festival Hantu, yang mana orang-orang
mendedikasikan jasa mereka kepada leluhur mereka. Perbuatan tersebut kita kenal
sebagai patidana. Dalam Kanon Pali dijelaskan bahwa Maudgalyāyana
memiliki warna kulit seperti teratai biru atau awan hujan. Tradisi lisan di Sri
Lanka mengatakan bahwa warna kulit yang gelap ini disebabkan karena dia dilahirkan
di neraka dalam banyak masa kehidupannya yang lampau.
Kisah Maudgalyāyana mencari ibunya setelah kematiannya tersebar
luas. Selain digunakan untuk mengilustrasikan prinsip pembalasan karma dan
kelahiran kembali, di Tiongkok cerita ini mengembangkan penekanan baru. Di sana
Maudgalyāyana dikenal sebagai " Mù
Lián", dan kisahnya diajarkan dalam campuran ajaran agama
dan hiburan, untuk mengingatkan orang akan kewajiban mereka terhadap kerabat
yang telah meninggal. Versi paling awal adalah Sutra Ullambana dalam
bahasa Sansekerta, Dalam sebagian besar versi cerita, Maudgalyāyana menggunakan
kekuatan batinnya untuk mencari orang tuanya yang telah meninggal dan melihat
di dunia apa mereka dilahirkan kembali. Meskipun dia dapat menemukan ayahnya di
surga, dia tidak dapat menemukan ibunya. Kemudian dia meminta bantuan Sang
Buddha. Sang Buddha membawanya menemui ibunya, yang berada di alam neraka,
tetapi Maudgalyāyana tidak dapat membantunya. Sang Buddha kemudian
menasihatinya untuk melakukan kebajikan demi nama ibunya, yang membantunya
terlahir kembali di tempat yang lebih baik.
Dalam cerita versi Laos, dia melakukan perjalanan ke Alam Dewa Yama,
penguasa dunia bawah, hanya untuk menemukan dunia yang ditinggalkan. Dewa Yama
kemudian memberitahu Maudgalyāyana, bahwa dia mengizinkan semua penghuni neraka
keluar dari gerbang neraka untuk bebas selama satu hari, yaitu pada hari bulan
purnama di bulan lunar kesembilan. Pada hari ini, makhluk neraka dapat menerima
jasa kebajikan, jika jasa kebajikan tersebut ditransfer kepada mereka. Dalam beberapa
kisah Tiongkok lainnya, Maudgalyāyana menemukan ibunya terlahir kembali sebagai
hantu kelaparan. Ketika Maudgalyāyana mencoba mempersembahkan makanannya
melalui kuil leluhur, makanan tersebut selalu terbakar. Oleh karena itu
Maudgalyāyana meminta nasihat Sang Buddha, yang merekomendasikan dia untuk
melakukan kebajikan kepada Sangha dan mentransfernya kepada ibunya. Upaya
tersebut tidak hanya membantu ibunya untuk terlahir kembali di surga, tetapi
juga bermanfaat membantu tujuh generasi orang tua dan leluhur mereka.
Pendiri Jainisme, Nigaṇṭha Nāthaputta, wafat lebih dulu dari Sang
Buddha dalam hitungan waktu yang tidak terlalu lama. Setelah Sang Pemimpin
mencapai Nirvāna, timbul perselisihan sengit di antara para pengikutnya
mengenai ajarannya. Akibat rivalitas di antara pengikut Buddhis dan Jain,
muncul rasa tidak suka satu sama lain. Golongan Jain yang paling bawah di
Magadha merasakan kemunduran dalam organisasi mereka dan menyalahkan pimpinan
Buddhis. Salah satu orang yang dijadikan musuh mereka adalah Maudgalyāyana. Ragu
untuk melakukan eksekusi terhadap sang bhikkhu sepuh dengan tangan mereka
sendiri, penganut yang dengki dan iri ini menyusun rencana lain. Bahkan pada
masa itu pun sudah ada penjahat profesional yang siap melakukan pembunuhan demi
mendapatkan imbalan. Jadi beberapa pengikut Jain yang berpikiran sempit menyewa
pembunuh bayaran dan memerintahkan mereka untuk membunuh Maudgalyāyana.
Pada saat itu, Mahāmaudgalyāyana tinggal sendirian di sebuah gubuk hutan di Kālasilā.
Sang siswa kepala mengetahui bahwa akhir hidupnya sudah dekat. Setelah
menikmati
kebahagiaan pembebasan, dia sekarang merasa tubuhnya hanya menjadi beban
dan penghalang. Dia tidak punya keinginan sedikit pun untuk memanfaatkan
kemampuannya dan menjaga agar tubuhnya tetap bertahan selama satu kalpa.
Namun ketika dia melihat para perampok mendekat, dia langsung menghilang begitu
saja, menggunakan kekuatan supernormalnya. Para pembunuh tiba di sebuah gubuk
kosong, lalu mereka mencarinya kemana-mana, namun tidak berhasil menemukannya.
Mereka pergi dengan kecewa, tetapi kembali pada hari berikutnya. Selama enam
hari berturut-turut Maudgalyāyana menghindar dari kejaran para penjahat dengan cara
yang sama. Motivasinya bukanlah untuk melindungi tubuhnya sendiri, tapi
menyelamatkan para pembunuh dari akibat buah karma yang akan ditanggung mereka,
dengan langsung terjeblos di alam neraka yang mengerikan. Tapi keserakahan
mereka terhadap uang yang dijanjikan begitu besar sehingga mereka ngotot
berupaya dan kembali bahkan hingga hari ketujuh. Ternyata kegigihan mereka "terbayar" pada akhirnya. Maudgalyāyana
kehilangan kemampuan untuk menghilangkan dirinya. Sebuah perbuatan keji yang
dilakukannya dalam salah satu kehidupannya yang lampau – yang menyebabkan
kematian kedua orang tuanya – belum sempat membuahkan akibat yang buruk pada
dirinya hingga hari itu. Para pembunuh
masuk, menjatuhkannya, menganiayanya dengan merusak seluruh anggota tubuhnya.
Mereka membiarkan jasadnya yang masih berlumuran darah di tanah begitu saja. Merasa
berhasil menjalankan misinya dan terlampau gembira untuk segera mendapatkan
imbal jasa yang menggiurkan. Mereka pergi terburu-buru tanpa memeriksa
korbannya apakah dia sudah tewas atau belum.
Namun kekuatan fisik dan mental Moggallana yang luar biasa masih membuatnya
bertahan. Dia sadar kembali dan mampu membawa tubuhnya ke hadapan Sang Buddha. Di
sana, di hadapan Sang Guru, di tempat yang paling suci di dunia, Maudgalyāyana menghembuskan nafas terakhirnya. Kedamaian batin yang
diperolehnya sejak dia mencapai kesucian tertinggi, tidak pernah
meninggalkannya. Mahāmaudgalyāyana
dan Śāriputra adalah murid-murid yang luar biasa dari
Sang Buddha. Beberapa minggu setelah parinirvāna keduanya,
Beliau mengatakan bahwa perhimpunan para bhikkhu tampak kosong setelah kematian
keduanya. Adalah hal yang luar biasa ada sepasang siswa yang memiliki kualitas
yang begitu hebat. Tetapi yang sungguh menakjubkan dan mengagumkan, meskipun
keduanya begitu unggul; tidak ada kesedihan, tidak ada ratapan, tidak ada isak
tangis pada wajah Sang Guru, ketika keduanya meninggal dunia.
sdjn/dharmaprimapustaka/240321