Rabu, 24 Januari 2024

SILUMAN ULAR PUTIH



(Bagian Kedua dari Dua Tulisan)

 

 

Pada artikel yang lalu diceritakan Xǔxiān berada dalam keadaan tidak sadarkan diri untuk waktu yang lama. Kejadian ini memaksa Bái Sùzhēn untuk pergi mencari obat ajaib yang bisa menyadarkannya. Obat ajaib itu ternyata sejenis tanaman, yang hanya tumbuh di Gunung Kūnlún. Mengingat tidak ada cara lain untuk memulihkan kondisi suaminya, Bái Sùzhēn pun bersikeras untuk mendapatkannya. Dia pun mengambil pedang pusaka yang bermata dua, lalu dia berpamitan kepada Xiǎoqīng. "Adik, aku pergi dulu. Semua urusan rumah aku serahkan kepadamu."

 

Segera setelah meninggalkan Xiǎoqīng, Bái Sùzhēn kemudian menunggangi awan putihnya, dan dia terbang menuju Gunung Kūnlún. Gunung Kūnlún merupakan tempat terpencil di bumi dan hanya sedikit orang yang pernah datang mengunjunginya. Suasana di sana sangat mencekam. Tebing-tebingnya yang sangat terjal dipenuhi oleh semak belukar, dan angin dingin semilir seakan membekukan tubuh. Lengkingan auman harimau dan serigala membuat bulu kuduk kita berdiri. Setelah mencari-cari tempat tumbuhan ajaib itu berada, Bái Sùzhēn akhirnya menemukan tumbuhan yang mirip jamur, di depan sebuah goa. Dia sangat gembira setelah menemukan apa yang dicarinya.

 

Namun baru saja dia menundukkan tubuhnya dan tangannya hendak meraih tanaman berharga ini, tiba-tiba seekor kijang kencana menghampirinya dan berseru, "tahan!" Dalam sekejap sang kijang bersalin-rupa menjadi seorang ksatria, dan dengan segera dia menghunus pedangnya. Ksatria itu membentaknya: "Siluman dari mana kau! Berani-beraninya engkau datang kemari dan mau mencuri jamur ajaib milik kami." Dengan rendah hati dia pun menjawab: "Hamba bernama Bái Sùzhēn. Setelah bertapa ratusan tahun di Gunung Éméi, aku hidup bersama dengan seorang manusia biasa. Saat ini suami sedang tak sadarkan diri. Mohon tuan berikan aku tanaman ini barang segenggam." Sang ksatria menjawab: "Mana boleh barang berharga ini diserahkan kepadamu. Jamur ajaib ini adalah makhluk hidup." Segera setelah itu dia menyabetkan pedangnya ke arah Bái Sùzhēn. Keduanya pun kini saling serang dengan senjata masing-masing. Setelah bertarung beberapa jurus, sang ksatria terdesak dan Bái Sùzhēn pun segera memetik tanaman itu, dan segera setelah itu dia bersiap-siap untuk meninggalkan gunung itu.

 

Namun sekonyong-konyong terdengarlah lengkingan burung bangau. Terkejutlah Bái Sùzhēn mendengar suara yang merupakan ancaman baru baginya. Pepatah mengatakan: 'ular paling takut saat bertemu dengan burung bangau'. Tampaklah di hadapannya seekor burung bangau putih besar yang serta merta menjelma menjadi seorang pendekar. Dia mengeluarkan senjatanya dan berkata: "Berani benar engkau mencuri barang berharga kami!" Bái Sùzhēn segera menyimpan jamur ajaib yang baru dipetiknya ke dalam mulutnya. Keduanya pun terlibat dalam pertarungan yang seru. Selang beberapa lama, si rusa kencana membantu temannya, dan keduanya mengeroyok Bái Sùzhēn. Sang ular putih pun terdesak mundur. Dan tak lama kemudian, sebuah tendangan Burung Bangau ke arah perut Bái Sùzhēn membuatnya tersungkur. Kasihan si ular putih! Jamur ajaib yang berada di mulutnya terlontar ke luar, dan sia-sialah jerih payah Bái Sùzhēn mencari obat bagi suaminya. Pedang si bangau dengan derasnya mengarah ke arah lehernya.

 

Beruntunglah di saat yang kritis itu, seorang tua tiba-tiba ke luar dari balik gerbang goa, lalu dia berteriak: "Tahan!" Orang tua itu tidak lain Nánjí Xiān Wēng (南極仙翁) atau Sang Dewa Kutub Selatan, dikenal pula sebagai Sang Dewa Panjang Usia. Sang Dewa memerintahkan pengikutnya, "Bangau Putih, jangan gegabah." Sang Dewa yang welas asih memahami kehidupan manusia, dan dia tahu Bái Sùzhēn datang dari jauh hanya untuk mencari obat demi kesembuhan suaminya. Dia segera memerintahkan Bangau Putih agar mereka menghentikan perkelahian itu. Selanjutnya dia meminta agar Kijang Kencana menyerahkan segenggam jamur ajaib, untuk diberikan kepada Bái Sùzhēn. Setelah mendapatkan apa yang dicarinya, Bái Sùzhēn pun berlutut di hadapan Sang Dewa, dan dia menghaturkan banyak terima kasih.

 

Bái Sùzhēn kemudian pulang dan sesampainya di rumah, dia minta bantuan Xiǎoqīng untuk menggodok jamur ajaib yang dibawanya dari Gunung Kūnlún. Xiǎoqīng memperhatikan keadaan kakaknya yang baru selesai melakukan perjalanan jauh. Dipandanginya wajah Bái Sùzhēn yang nampak pucat, "mengapa rona wajah kakak tidak seperti biasa?" Kakaknya kemudian bercerita bahwa nyawanya hampir melayang setelah dia dikalahkan oleh si Bangau Putih. Xiǎoqīng pun terharu mendengar pengorbanan yang dilakukan kakaknya. Setelah ramuan obat godokan itu siap, Bái Sùzhēn merebahkan bagian atas tubuh suaminya di atas pangkuannya. Selanjutnya sedikit demi sedikit cairan obat itu berhasil ditelan oleh Xǔxiān. Sungguh mengagumkan! Perlahan-lahan Xǔxiān yang tadinya tidak sadarkan diri mulai menggerakkan mulut dan jari-jari tangannya. Akhirnya dia membuka matanya dan mulai mengenali siapa yang ada di hadapannya. Ya, Xǔxiān seolah-olah bangkit dari kematiannya.

 

Hari pun berlalu dengan cepatnya. Pasangan suami-isteri Xǔxiān dan Bái Sùzhēn kembali menjalani kehidupan mereka dengan normal. Hari itu tanggal 15 di bulan ketujuh. Sesuai dengan tradisi orang Tionghoa, Xǔxiān pun menyempatkan diri pergi ke kuil untuk mempersembahkan dupa. Dia pergi sendirian ke Kuil Jīnshān dan dengan bersembahyang, dia berharap keluarganya dikaruniai dengan keselamatan dan kesejahteraan. Baru saja kakinya melangkah menuju altar utama, tiba-tiba dia digelandang oleh seorang rahib yang pernah bertemu dengannya beberapa bulan yang lalu. Siapakah rahib itu gerangan? Ya, dia tak lain Bhiksu Fǎ Hǎi. Sang bhiksu bertanya: "Saat perayaan festival perahu naga yang lalu, bukankah engkau telah menyaksikan sendiri, bahwa isterimu itu jelmaan seekor ular putih?" Xǔxiān yang sebenarnya dalam keadaan tidak ngeh dan telah melupakan peristiwa yang mengerikan itu, mendadak kaget diingatkan atas kejadian yang tidak disadari sepenuhnya itu.

 

Saat Xǔxiān masih terbengong-bengong, Bhiksu Fǎ Hǎi yang telah memiliki agendanya sendiri, mulai mengeluarkan taktik liciknya. "Jika engkau membiarkan keadaan ini sampai berlarut-larut, suatu hari nanti engkau akan dimangsa oleh si ular keparat itu." Fǎ Hǎi lalu membujuk Xǔxiān untuk tidak kembali ke rumah, melainkan tinggal di kuil itu, dan dia akan ditahbiskan sebagai seorang calon rahib. Setelah lama mempertimbangkan usulan tersebut, Xǔxiān pun memberikan putusannya: "Rasa cintaku kepada isteriku lebih dalam daripada lautan. Aku menolak menjadi bhiksu dan aku akan tetap pulang, walaupun dia akan membunuhku." Fǎ Hǎi pun murka mendengar penolakan itu, dan dia memerintahkan agar anak buahnya mengurung Xǔxiān dalam sebuah ruangan di biaranya.

 

Telah beberapa hari lewat dan Xǔxiān belum pulang juga, dan hal ini membuat Bái Sùzhēn dan Xiǎoqīng menjadi khawatir. Keduanya pun menyusul ke Kuil Jīnshān. Sesampainya di sana Bái Sùzhēn menanyakan perihal Xǔxiān, yang beberapa hari sebelumnya berkunjung ke biara tersebut. Seorang rahib muda mengaku ada seseorang yang ditahan oleh kepala biara, karena khawatir orang itu akan dicelakai oleh isterinya sendiri, yang sebenarnya adalah sesosok siluman ular. Murkalah Xiǎoqīng mendengar pengakuan itu dan hampir saja dia membunuh rahib muda itu. Mendengar keributan di ruang depan, seketika para rahib di kuil itu segera berkumpul termasuk kepala biara. Setelah bertemu dengan Fǎ Hǎi, Bái Sùzhēn berkata kepadanya: " Wahai kepala biara. Biarkanlah Xǔxiān, suamiku, yang ditahan di kuil ini segera tuan bebaskan. Kami kehilangan dia, lagi pula aku sedang hamil." Fǎ Hǎi hanya memandang Bái Sùzhēn dengan sinis, seraya menjawab: "Xǔxiān telah sadar dan sudah bertobat. Lagi pula dia telah menjadi seorang rahib. Kalian berdua pulang sajalah." Bái Sùzhēn dan Xiǎoqīng merasa tidak puas dan mereka cekcok dengan Bhiksu Fǎ Hǎi.

 

Kedua belah pihak tidak mau saling mengalah, dan sekarang yang menentukan adalah pertarungan dengan senjata masing-masing. Fǎ Hǎi mengeluarkan senjata andalannya yakni Tongkat Dhyana, sementara Bái Sùzhēn dan Xiǎoqīng telah menghunus pedang mereka masing-masing. Segerombolan bhiksu muda berdatangan membantu atasan mereka, dan dengan bersenjatakan golok, tombak, toya, dan pedang pendek, mereka semua mengepung kedua perempuan muda itu. Bái Sùzhēn mengukur kekuatan mereka berdua, lalu dia bersama Xiǎoqīng mundur pelan-pelan menuju bantaran sungai. Dia mencabut sebuah tusuk konde emas dari gulungan rambutnya, dan dengan sebuah kibasan, benda kecil itu telah berubah menjadi sebuah sampan. Setelah keduanya mengapung di perairan sungai, Bái Sùzhēn mengeluarkan sebuah bendera kecil dari saku bajunya. Dimintanya Xiǎoqīng untuk melambai-lambaikan bendera tersebut di atas air. Seolah-olah mengetahui tanda bahaya darurat yang sedang dialami majikan mereka, sang naga penguasa sungai segera memerintahkan anak buahnya; yakni bala tentara udang dan kepiting untuk segera bersiap-siap, guna membantu junjungan mereka.

 

Fǎ Hǎi yang masih berada di depan kuilnya pun tidak mau kalah. Dia memanggil Skanda atau Sāi Jiàn Tuó (塞建陀), alias Sang Bodhisattva yang merupakan penjaga setia biara Buddha; juga para Sangharama atau Jìng Zhǔ (境主), yakni sekelompok dewa yang menjadi penjaga kuil Buddha. Namun keperkasaan sang naga sungai memang luar biasa. Dalam tempo sekejap saja, angin kencang menerpa permukaan sungai. Air bergolak membuat ombak datang bergulung-gulung. Terbawa oleh gelombang pasang itu muncullah selaksa bala tentara udang dan kepiting. Banjir bandang tak terelakkan dan mulai menggenangi Kuil Jīnshān. Fǎ Hǎi terperanjat dan dia memerintahkan anak buahnya menyingkir, menjauh dari biara. Tampaklah sang bhiksu kepala keteteran menghadapi serbuan air bah ini.

 

Di tengah banjir itu praktis perlawanan para rahib anak buah Fǎ Hǎi pun buyar, dan sang bhiksu kepala kini langsung berhadap-hadapan dengan Bái Sùzhēn dan Xiǎoqīng. Keduanya berhasil memojokkan dan menjatuhkan Fǎ Hǎi.  Namun tiba-tiba janin di dalam perut Bái Sùzhēn bergejolak, dan dia merasa sangat kesakitan. Pada saat yang kritis ini Fǎ Hǎi mendapat angin, dan sekarang dia yang berbalik mendesak lawan-lawannya. Bái Sùzhēn kemudian meminta Xiǎoqīng dan bala tentara naga sungai untuk mundur. Karena khawatir akan pembalasan Fǎ Hǎi, dia mengajak Xiǎoqīng agar mereka berdua meninggalkan Zhènjiāng, dan keduanya pun lantas mengungsi ke Hángzhōu.

 

Kita kembali pada Xǔxiān. Walaupun Bái Sùzhēn dan Xiǎoqīng telah mengacak-acak Kuil Jīnshān, Xǔxiān tidak menyadari atau diberitahu tentang kejadian itu. Saat itu dia sedang dikurung di kamar yang terletak di loteng atas, sehingga tidak mengetahui biara itu sempat kebanjiran. Xǔxiān yang malang itu sempat dipenjara di sana selama beberapa bulan. Setiap hari dia meratapi nasibnya yang malang, terpisah dari sang isteri yang amat dicintainya. Namun di satu malam dia sempat menyelinap ke luar, dan dengan secepat kilat dia pulang ke kedai obatnya. Tetapi sesampainya di sana, dia mendapatkan rumahnya telah lama tidak ditinggali orang. Tidak ada petunjuk isteri dan adik iparnya pergi kemana. Takut pelariannya akan membuat Fǎ Hǎi menyusul dan mencarinya, Xǔxiān segera meninggalkan Zhènjiāng, dan dia pun kembali ke rumahnya yang lama di Hángzhōu.

 

Di Hángzhōu Xǔxiān kemudian menetap bersama dengan kakak dan kakak iparnya. Menghabiskan hari-harinya yang lara, Xǔxiān kerap mengunjungi Jembatan Duàn dan Danau Barat. Ketika dipandanginya rerumputan, bunga-bungaan, dan pepohonan, yang masih seperti yang dulu; muncullah kembali rasa cinta dan kangen kepada isterinya. Tak sanggup lagi dia memendam dukacitanya. Kali ini Xǔxiān menjerit sekuat-kuatnya: "Isteriku, dimanakah engkau?" Tak disangka oleh siapa pun, jeritan hati Xǔxiān didengar oleh Bái Sùzhēn dan Xiǎoqīng. Keduanya ternyata saat itu bersalin rupa menjadi ular putih dan ular hijau, dan mereka berdua sedang memantapkan latihan bela diri di dasar Danau Xīhú. Keduanya pun lantas ke luar dari air, menjelma kembali menjadi manusia, dan mencari-cari sumber suara tadi. Di Jembatan Duàn, Xiǎoqīng terlebih dahulu melihat Xǔxiān. Diliputi oleh kegusarannya dia segera mengeluarkan dan menghunus pedangnya. "Xǔxiān, lupakah engkau akan cinta Bái Sùzhēn kepadamu. Engkau telah berkhianat dan malahan menjadi pengikut si Fǎ Hǎi keparat itu. Sekarang aku akan mencabut nyawamu!"

 

Xǔxiān ketakutan dan untunglah Bái Sùzhēn segera mencegah adiknya agar tidak bertindak gegabah. Dia bertanya lagi kepada Xǔxiān: "Engkau telah menjadi rahib di kuil Fǎ Hǎi. Mengapa masih datang ke Jembatan Duàn dan memanggil-manggil aku?" Xǔxiān membela diri dan menjawab: "Siapa bilang aku telah menjadi rahib? Aku waktu itu pergi bersembahyang ke kuil. Tak disangka si Botak Fǎ Hǎi menangkap dan memenjarakanku. Mujurlah aku ketika seorang bhiksu muda mau menolongku, dan aku bisa kabur dari sana. Aku sangat mengkhawatirkan keadaan kalian." Setelah mendengar penuturan Xǔxiān, keduanya memahami duduk persoalan yang sebenarnya. Bái Sùzhēn lalu mengaku bahwa dirinya sebetulnya adalah sesosok siluman ular, namun karena begitu besar cintanya kepada kekasihnya, dia mau menikahinya. Xǔxiān pun tulus mencintai isterinya karena telah melihat sendiri, begitu besar pengorbanan yang telah dilakukannya. Kedua insan yang sudah mengetahui rasa cinta dan ketergantungan yang besar di antara mereka, kemudian menguatkan ikrar mereka untuk tetap bersama di kehidupan ini. Tiba-tiba Bái Sùzhēn merasa perutnya sakit sekali. Xǔxiān pun segera membopong isterinya ke rumah kakaknya. Tak berapa lama kemudian Bái Sùzhēn melahirkan seorang anak laki-laki, yang diberi nama Xǔ Mèngjiāo (许梦蛟).

 

Hampir satu bulan waktu berlalu, Xǔxiān, Bái Sùzhēn, dan Xiǎoqīng, bersiap-siap merayakan peringatan satu bulan kelahiran Mèngjiāo. Namun tak disangka, musibah akan datang menimpa keluarga bahagia itu. Di pagi itu, tidak ada angin tidak ada hujan, tahu-tahu Bhiksu Fǎ Hǎi sudah berada di depan rumah mereka. Setelah Xǔxiān membuka pintu, dia menghardik: "Untuk apa kalian merayakan kelahiran bocah itu? Genap satu bulan setelah melahirkan anaknya, siluman ular itu akan memangsamu!" Bukan alang kepalang murkanya Xǔxiān melihat musuh bebuyutan mereka sudah berada di depan rumahnya. Bái Sùzhēn yang telah turun ke bawah pun memaki Fǎ Hǎi: "Engkau telah membuatku banyak menderita. Sekarang kita tuntaskan perseteruan ini."

 

Fǎ Hǎi berani menantang musuh besarnya karena dia telah membawa senjata pusakanya, yang dinamakan Mangkuk Sedekah Emas. Sewaktu kedua musuh bebuyutan ini berhadap-hadapan, Fǎ Hǎi segera melemparkan mangkuk itu ke atas kepala Bái Sùzhēn. Mangkuk Sedekah Emas itu pun berpusar di udara dan mengeluarkan cahaya aneh. Tubuh Bái Sùzhēn menjadi limbung dan dia pun tersungkur ke atas tanah. Xǔxiān berupaya membangkitkannya tetapi dia tidak berhasil. Xiǎoqīng segera menghunus pedangnya dan dia bersiap untuk menyerang Fǎ Hǎi. Tetapi khawatir adiknya akan ikut cidera, Bái Sùzhēn memerintahkan Xiǎoqīng untuk segera angkat kaki. "Cepat tinggalkan tempat ini. Lain kali engkau balaskan sakit hati kakakmu ini!" Xiǎoqīng pun segera mundur, menaiki awannya, dan seketika itu dia lenyap dari pandangan.

 

Fǎ Hǎi tertawa terbahak-bahak dan dia berkata kepada Xǔxiān: "Siluman ular ini akan aku kurung di dalam Pagoda Léi Fēng Tǎ (雷峰塔). Dia tidak akan bisa ke luar untuk selamanya." Xǔxiān membentak: "Hari ini aku baru sadar. Makhluk yang suka makan orang bukanlah isteriku, tetapi ternyata engkau. Dasar bhiksu botak sialan. Engkau pantas mati!" Bái Sùzhēn sudah sangat kesakitan. Di saat itu dia minta agar bisa dipertemukan sejenak dengan bayi kecilnya. Setelah itu Fǎ Hǎi berseru: " Mangkuk Sedekah Emas!" Ajaib!! Seketika itu juga, benda pusaka itu memancarkan sinar terangnya sekali lagi. Terlihat tubuh Bái Sùzhēn mengecil dan dia menjerit kesakitan. Sesaat kemudian tubuhnya lenyap tersedot oleh mangkuk ajaib itu. Xǔxiān sambil menggendong puteranya berusaha mengejar Fǎ Hǎi. Namun rahib itu sudah beranjak jauh, sambil membawa Mangkuk Sedekah Emas.

 

Xiǎoqīng yang kabur pada pertempuran terakhirnya mengungsi kembali ke Gunung Éméi. Di sana dia kembali bertapa dan menggembleng dirinya. Sepuluh tahun kemudian, kekuatan dan kesaktiannya telah bertambah berkali-kali lipat. Suatu hari setelah memberitahu Xǔxiān, dia kembali menyatroni Pagoda Léi Fēng Tǎ. Di sana Fǎ Hǎi yang sudah mengetahui kedatangannya telah mempersiapkan diri dengan berbekal jubah bhiksu kasaya-nya, Tongkat Dhyana, dan Mangkuk Sedekah Emas. Keduanya pun tidak berbasa-basi lagi. Fǎ Hǎi yang mengenakan jubah sakti mulai menyerang Xiǎoqīng dengan kedua senjata andalannya. Pertempuran berjalan seru dan kali ini Fǎ Hǎi keteteran. Kedua senjata pusakanya berhasil direbut oleh musuhnya. Dalam keadaan terdesak dia pun tidak dapat mempertahankan jubahnya. Akhirnya Fǎ Hǎi pun mengambil langkah seribu.

 

Xiǎoqīng meloloskan sabuk pinggang hijaunya, lalu terbang mengelilingi bagian atas pagoda itu. Lalu diikatnya bagian puncak menara itu erat-erat. Kemudian dengan satu sentakan kuat dan disertai perapalan mantra-ajaibnya, robohlah Pagoda Léi Fēng Tǎ. Tak lama kemudian, muncullah Bái Sùzhēn dari puing-puing menara itu. Kedua insan tersebut, kakak beradik, saling berpelukan merayakan kebebasan si ular putih. Xǔxiān pun datang sambil menggandeng Mèngjiāo, yang kini telah berumur sepuluh tahun. Ketiga orang ini, Bái Sùzhēn, Xǔxiān, dan Mèngjiāo, berlutut di hadapan Xiǎoqīng sambil mengucapkan terima kasih. Awan putih beriak-riak di langit, angin bertiup sepoi-sepoi, burung-burung berkicau berbalas-balasan. Alam semesta pun menyambut gembira bersatunya keluarga Xǔxiān dan Bái Sùzhēn. Ribuan tahun kemudian para pelancong yang mengunjungi Danau Xīhú dan Kuil Jīnshān di Zhènjiāng, selalu saling menceritakan kembali kisah cinta kedua sejoli itu.

 

 

(Tamat)

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/240125


Kamis, 11 Januari 2024

SILUMAN ULAR PUTIH

 

 

(Bagian Pertama dari Dua Tulisan)

 

 

Di puncak Gunung Éméi (峨眉山,Éméi Shān) atau disebut juga Gunung Barat yang terletak di Provinsi Sìchuān (四川) bersemayamlah seekor ular putih dan seekor ular hijau. Setelah menjalani tapabrata selama ratusan tahun, berubahlah wujud mereka menjadi dua orang gadis cantik. Sang Ular Putih bersalin-rupa menjadi seorang gadis yang bernama Bái Sùzhēn (白素), sedangkan si Ular Hijau menjadi seorang gadis yang bernama Xiǎoqīng (小青).

 

Waktu itu Tiongkok memasuki musim semi dan di pagi hari yang cerah itu, Bái Sùzhēn dan Xiǎoqīng berdandan dan menyamar bak seorang wanita kaya yang didampingi oleh dayang perempuannya. Mereka turun dari gunung yang selama ini menjadi lokasi petapaannya menuju ke daerah Hángzhōu (杭州). Di sana keduanya bertamasya ke Jembatan Duan (段家, Duàn Jiā Qiáo), dan Danau Xīhú (西湖) atau Danau Barat. Saat berjalan-jalan menikmati pemandangan, keduanya berpapasan dengan seorang pemuda. Pria itu bernama Xǔxiān (许仙), yang bekerja sebagai seorang peramu di sebuah kedai obat. Kebetulan hari itu bertepatan dengan Hari Raya Qīngmíng (清明, Hk.: Cengbeng). Sesuai tradisi, Xǔxiān pun berziarah dan membersihkan makam orang tuanya. Sepulang berziarah dia melewati Jembatan Duàn, sekaligus dia bermaksud menikmati pemandangan permai di daerah itu.

 

Begitu berpapasan dan memandang ketampanan Xǔxiān, Bái Sùzhēn langsung terpesona dan jatuh hati kepadanya. Muncullah gagasan cemerlang di benaknya, ketika dia melihat Xǔxiān yang datang sedang membawa sebuah payung. Dikeluarkannya sebuah saputangan dari saku gaunnya, lalu benda itu dikibaskannya ke arah langit dan mulutnya merapalkan sebuah mantra. Sekonyong-konyong angin dingin menerpa mereka, awan hitam datang bergulung-gulung, dan langit pun menjadi gelap. Tidak menunggu lama, hujan pun turun dengan derasnya.

 

Seketika itu juga orang-orang yang sedang pelesiran berhamburan mencari tempat berteduh. Bái Sùzhēn dan Xiǎoqīng pun ikut berlari dan keduanya berteduh di bawah sebatang pohon. Xǔxiān segera membuka payungnya, dan seketika itu juga dilihatnya dua orang perempuan muda sedang terjebak hujan dan kedinginan. Dia amat terpana melihat kecantikan Sùzhēn dan Xiǎoqīng. Kemudian dia menghampiri dua nona itu, dan menawarkan agar payungnya bisa dipakai oleh mereka. Bái Sùzhēn menerima payung itu sambil mengungkapkan perasaan terima kasihnya. "Nona-nona sekalian, kalian hendak pergi ke mana?" Xiǎoqīng segera menanggapi, "Kami baru saja pulang berziarah ke makam majikanku, orang tua nonaku ini. Kami tidak mengira kalau akan turun hujan selebat ini, dan sekarang kami khawatir tidak bisa cepat-cepat pulang!"

 

Xǔxiān pun menawarkan jasanya untuk mencarikan perahu yang dapat membawa mereka pulang ke rumah. Beruntunglah mereka karena hujan lebat sudah reda. Dengan berhujan-hujan Xǔxiān pergi ke bantaran danau, dan tidak berapa lama kemudian sebuah perahu datang menghampirinya. Xǔxiān segera menjemput keduanya, lalu bersama Bái Sùzhēn, dan Xiǎoqīng mereka bertiga segera melangkah naik ke perahu itu. Xǔxiān berkata kepada tukang perahu itu, "Tolong Bapak antarkan dulu kedua Nona ini, setelah itu baru mengantar saya pulang. Saya yang membayar semua ongkos perahunya."

 

Setelah ketiga penumpangnya duduk dalam bilik kecil di atas perahu, tukang perahu itu mulai mengayunkan kedua dayungnya. Sambil mengeluarkan serulingnya, sesaat kemudian terdengar irama yang mendayu-dayu. Si tukang perahu pun bernyanyi: "angin dan hujan di atas danau melaju bersama perahu, ke ujung dunia sekali pun kita selalu bersama sebantal seperaduan … ." Suasana di tengah danau itu menghadirkan romantisme, Sùzhēn dan Xǔxiān yang sedang terbuai mendengarkan nyanyian itu diam-diam saling mencuri pandang. Bái Sùzhēn memperhatikan Xǔxiān yang begitu ramah dan jujur terhadap orang lain, lalu bertanyalah dia tentang kisah hidupnya. Xǔxiān pun dengan senang hati menceritakannya. "Ayah dan ibuku meninggal dunia ketika aku masih kecil. Lalu kakak perempuankulah yang mengasuh aku hingga dewasa. Sekarang aku bekerja meramu obat di sebuah kedai obat."

 

Xiǎoqīng yang melihat kakaknya sudah jatuh hati kepada Xǔxiān segera mewakili kakaknya untuk menceritakan kisah hidupnya. "Nonaku berasal dari keluarga yang bermarga Bái. Dia dipanggil Sùzhēn. Orang tuanya sudah lama meninggal dunia, jadi tinggallah dia sebatang kara. Aku sendiri adalah pembantunya." Kisah duka riwayat hidup Bái Sùzhēn serta paras cantiknya membuat Xǔxiān jatuh hati. Jadi lengkaplah dua sejoli itu bertemu untuk pertama kalinya dan mereka saling jatuh cinta pada pandangan pertama.

 

Pendayung perahu telah mendekatkan perahunya di bantaran danau dekat rumah Bái Sùzhēn. Xiǎoqīng sudah mengembalikan payung yang masih dipegangnya kepada Xǔxiān, tetapi Bái Sùzhēn tak ingin membiarkan Xǔxiān pergi begitu saja. Dia segera melambaikan saputangannya kembali ke arah langit, dan hujan pun turun kembali. Xǔxiān lalu terburu-buru menyerahkan payungnya sekali lagi kepada Bái Sùzhēn, sambil berkata: "Nona, pakai dan bawa saja payungnya, besok saya akan datang kembali untuk mengambilnya." Bái Sùzhēn segera menangkap janji itu, seraya berkata: "Silakan Tuan datang kembali besok mengambil payung. Aku tinggal di rumah yang beratap merah itu di sebelah sana. Tidak jauh dari tepi danau ini."

 

Keesokan sorenya, Xǔxiān telah berada di pekarangan depan rumah Bái Sùzhēn yang beratap merah. Xiǎoqīng dengan tergopoh-gopoh membukakan pintu, lalu dia sibuk menyambut dan mempersilakannya duduk. Alangkah bahagianya hati Bái Sùzhēn begitu menyadari pemuda itu menepati janjinya untuk mengunjungi mereka. Dengan senyum gembira Bái Sùzhēn mempersilakan tamunya masuk ke ruang minum teh. Sambil menikmati hidangan yang lezat yang telah disediakan oleh Xiǎoqīng, Bái Sùzhēn dan Xǔxiān bercakap-cakap sambil makan kue dan menikmati teh yang baru diseduh. Keduanya sebetulnya ingin mengungkapkan isi hati masing-masing, tetapi rasa sungkan dan malu membuat mereka hanya mencuri pandang satu sama lain.

 

Xiǎoqīng yang menyaksikan sang pemuda dan gadis itu bersikap kaku segera masuk ke ruang perjamuan itu dan dia menghampiri Xǔxiān. Dengan polosnya dia langsung bertanya: "Tuan Xǔ, tahun ini berapakah usia Anda? Dan apakah Anda sudah menikah?" Xǔxiān pun dengan malu-malu menjawab: "Tahun ini usiaku dua-puluh-dua tahun, dan aku belum menikah." Xiǎoqīng pun tersenyum manis dan menimpalinya: "Jika demikian, Anda sungguh beruntung Tuan Xǔ! Nonaku dan Tuan ternyata seumur, dan dia juga belum menikah. Dia kemarin bercerita kepadaku, dia ingin sekali menikah dan menjadi isteri Tuan. Tetapi, apakah Tuan Xǔ setuju dengan keinginannya?"

 

Terbang melayang hati Xǔxiān mendengar bahwa Bái Sùzhēn ternyata masih lajang dan bahkan berkeinginan memilih dia sebagai suaminya. Ingin sekali dia langsung menyatakan persetujuannya, namun begitu menyadari bahwa dirinya hanya bisa mencukupi nafkahnya untuk menghidupi dirinya sendiri, dia pun merasa harus tahu diri. Dia lalu berkata kepada Xiǎoqīng: "Terima kasih atas kemurahan Nona Bái yang ingin memilihku sebagai suaminya, tetapi aku tidak memiliki cukup uang untuk menghidupi tiga orang sekaligus kelak."

 

Xiǎoqīng pun segera menjawab: "Hal seperti itu tidak perlu dikhawatirkan, Tuan. Mendiang orang tua Nonaku sebetulnya telah meninggalkan banyak warisan. Apalagi majikanku memiliki keterampilan mengobati orang. Jadi jika nanti kalian menjadi suami-isteri, Nonaku yang akan menjadi tabib-nya, sedangkan Tuan bisa meramu dan menjual obatnya. Nah jika keadaannya sudah memadai, bukankah kita tidak perlu lagi mengkhawatirkan soal uang?"

 

Xǔxiān pun merasa lega mendengar penuturan Xiǎoqīng, dan dia pun kemudian memutuskan: "Baiklah, aku terima permintaan kalian. Tetapi tunggulah barang dua atau tiga hari lagi. Aku datang hari ini tanpa membawa hadiah, apalagi menyiapkan mas-kawinnya." Xiǎoqīng menyela, "tak perlu Tuan membawa hadiah atau pun mas kawin lagi. Anggaplah payung ini yang menjadi mas kawin terbaik untuk pernikahan kalian. Hari ini aku sudah memeriksa buku-ramalan, dan ternyata hari ini merupakan hari baik untuk melangsungkan sebuah perkawinan. Aku akan segera menyiapkan perlengkapan untuk upacaranya."

 

Xiǎoqīng segera menuju ruang tamu yang terletak di bagian muka rumah. Hanya dengan mengibaskan tangannya, seketika itu pula meja-abu keluarga telah dipenuhi dengan barang sesajian, lengkap dengan sepasang lilin merah. Kibasan tangan berikutnya membuat keperluan perkawinan di ruangan itu lengkaplah sudah. Dan gerakan tangan yang Xiǎoqīng yang ketiga kalinya menghadirkan sebuah poster besar berwarna merah bertuliskan aksara "kebahagiaan" (, Xǐ).

 

Xiǎoqīng kemudian membimbing dan mengarahkan agar kedua mempelai bisa melakukan prosesi ke ruang tamu. Di sana keduanya mengambil dupa, membakarnya, dan mempersembahkannya ke pedupaan yang ada di atas altar. Setelah bersujud disertai doa untuk bersama-sama sehidup-semati di hadapan Langit dan Bumi, otomatis Bái Sùzhēn dan Xǔxiān telah resmi menjadi pasangan suami-isteri.

 

Beberapa waktu setelah pernikahannya, Xǔxiān, Bái Sùzhēn dan Xiǎoqīng meninggalkan Hángzhōu dan mereka pindah ke daerah Zhènjiāng (镇江). Ketiganya membuka toko obat di tempat tinggal mereka yang baru. Pada saat itu Zhenjiang sedang dilanda wabah penyakit yang sulit diatasi oleh Pemerintah setempat, dan banyak orang yang tertular kemudian tidak tertolong lagi. Guna membantu menyembuhkan banyak orang yang terserang penyakit ganas tersebut, Xǔxiān dan Bái Sùzhēn harus bekerja keras menangani pasien dan meramu obat dalam jumlah yang amat banyak. Dengan upaya yang tidak kenal lelah banyak pasien yang menderita ini berhasil disembuhkan. Sebagian besar pasien yang dibantu oleh pasangan suami-isteri ini ternyata berasal dari masyarakat kelas bawah. Untuk berobat pun mereka tidak memiliki uang yang cukup. Sebagai gantinya mereka berdua hanya menerima ucapan terima kasih yang tulus dari para penduduk dusun. Masyarakat pun mengeluk-elukan pasangan Xǔxiān dan Bái Sùzhēn, bagaikan dewa penolong yang menyembuhkan banyak orang dengan tulus dan tanpa pamrih.

 

Namun kemashyuran keduanya justru membawa masalah. Ada seorang bhiksu bernama Fǎ Hǎi (法海), tinggal di Kuil Jīnshān (金山寺, Jīnshān Sì), yang letaknya tidak jauh dari kediaman Xǔxiān dan Bái Sùzhēn. Fǎ Hǎi adalah rahib bertemperamen buruk dan pendendam, namun memiliki kesaktian yang tinggi. Fǎ Hǎi yang mampu meneropong kehidupannya yang lampau ternyata mengingat Bái Sùzhēn, yang masih dianggap sebagai musuh bebuyutan. Pada suatu hari Fǎ Hǎi datang ke kedai obat Xǔxiān. Setelah menemui sang pemilik kedai, tanpa basa basi Fǎ Hǎi memperingatkan Xǔxiān: "Apakah engkau tahu siapa itu isterimu yang sebenarnya? Dia adalah sesosok siluman ular. Suatu hari kelak dia akan memangsamu. Jadi cepatlah engkau kabur dari tempat ini sekarang juga."

 

Mendengar cerita rahib tersebut Xǔxiān menjadi tersinggung dan geram. Lalu dia berkata: "Janganlah paman ngomong sembarangan. Isteriku orang yang baik dan murah hati, dan dia pasti bukan siluman. Sekarang Anda cepat-cepat minggatlah dari kedai obatku!" Sang rahib pun melanjutkan ancamannya: "Nanti pada saat datangnya Hari Raya Perahu Naga (端午, Duānwǔ Jié; diindonesiakan: hari raya "peh-cun") yang akan datang, kamu akan menyaksikannya sendiri, isterimu bersalin rupa menjadi seekor ular putih." Segera setelah itu, sang rahib pun berlalu. Xǔxiān sama sekali tidak menggubris peringatan bhiksu Fǎ Hǎi. Selama ini dia menganggap isterinya adalah perempuan baik-baik, dan dia mengira sang rahib sedang memfitnah isterinya.

 

Waktu berlalu dengan cepatnya dan esok hari akan tibalah Hari Raya Perahu Naga. Seperti yang menjadi tradisi masyarakat Tionghoa, Xǔxiān turut memperingatinya dengan cara menghias rumah dengan daun jeringau (菖蒲, Chāngpú) dan mugwort (艾蒿, àihāo) serta tidak ketinggalan dia telah membeli anggur Xiónghuáng (雄黄酒, Xiónghuáng Jiǔ). Dipercaya anggur jenis ini ampuh untuk mengusir roh jahat. Sementara itu Bái Sùzhēn memanggil Xiǎoqīng dan mereka secara diam-diam berdiskusi satu sama lain. "Besok adalah Hari Perayaan Perahu Naga, dan saat itulah puncak kelemahan dalam hidup kita. Cepatlah engkau pergi bersembunyi ke puncak gunung!" Xiǎoqīng balik bertanya, "kakak sendiri juga akan ikut aku?" Sùzhēn menjawab: "Jika kita pergi bersama, aku khawatir Xǔxiān akan curiga terhadap kita berdua." Setelah memikirkan dengan berbagai risiko yang ada, Xiǎoqīng masih tetap membujuk kakaknya. "Bukankah lebih baik kita pergi menghindar bersama-sama?" Bái Sùzhēn akhirnya memutuskan: "Cepatlah engkau pergi, aku akan tetap berhati-hati dan aku bisa menjaga diri." Tanpa banyak omong lagi, Xiǎoqīng pun merapalkan mantra dan dalam sekejap dia menjelma menjadi seberkas asap hijau, yang serta merta menerobos jendela, dan akhirnya dia ke luar melayang menuju puncak gunung.

 

Bagi bangsa siluman saat peh-cun adalah saat yang paling genting dalam hidup mereka. Orang banyak tahu bahwa pada tengah hari energi semesta begitu besar, sehingga mereka dengan mudahnya memberdirikan telur di atas tanah. Kejadian itu tidak akan terjadi di saat lainnya. Bagi para siluman inilah saatnya mereka bersembunyi ke tempat yang aman, dan mereka bisa kembali setelah tengah-hari peh-cun telah berakhir.

 

Benar saja kekhawatiran Xiǎoqīng akan mendekati kenyataan. Keesokan paginya setelah dia mengungsi ke puncak gunung, Xǔxiān memanggil isterinya. Dia mengajak Bái Sùzhēn untuk bertamasya, dan menjelang tengah hari biasanya banyak orang pergi ke sungai untuk menyaksikan lomba perahu naga. Bái Sùzhēn dengan sopan menolaknya, dan memberitahu suaminya bahwa dia sedang hamil. Xǔxiān yang baru mendengar kabar istrinya sedang mengandung, hatinya pun berbunga-bunga, dan dia berkata: "Jika demikian, kita wajib merayakan berita baik ini dengan sedikit pesta di rumah sendiri.” Xǔxiān pun sibuk menyediakan hidangan istimewa untuk merayakan hari besar itu, dan tidak lupa dia sudah menuangkan anggur Xiónghuáng ke dalam dua buah cangkir. Setelah mereka menyantap bakcang yakni hidangan khas hari itu, Xǔxiān pun mengajak isterinya bersulang. Bái Sùzhēn menolak untuk minum anggur, karena menyadari jika sampai dia menenggak minuman terkutuk itu, pasti hal yang mengerikan akan terjadi. Xǔxiān tetap memaksanya, "Hari ini adalah hari Perayaan Perahu Naga. Tidak baik jika kita tidak minum arak. Semua orang harus minum anggur walaupun hanya seteguk." Sùzhēn menjawab: "Aku sedang hamil, arak Xiónghuáng ini tidak baik untuk janin yang ada di dalam rahimku." Xǔxiān tertawa terbahak-bahak mendengar alasan isterinya. "Di rumah ini kita bertiga adalah peramu obat. Ahli obat paham kalau arak Xiónghuáng bermanfaat mengusir pengaruh roh jahat, dan pula memperkuat janin. Jika engkau minum hingga dua cangkir pasti akan terasa khasiatnya!"

 

Takut mengecewakan suaminya, Bái Sùzhēn meyakinkan dirinya, bahwa setelah bertapa ratusan tahun pastilah dia sudah kebal meminum anggur itu. Dia pun memaksa untuk minum seteguk. Betapa terperanjatnya dia, baru saja arak itu melewati kerongkongannya, tiba-tiba kepalanya menjadi pening, tubuhnya limbung, dan dia terjatuh ke lantai lalu pingsan. Terkejut melihat kejadian itu, Xǔxiān pun segera membopong isterinya yang sudah tak sadarkan diri itu ke tempat tidur. Dia pun tergopoh-gopoh menuju ruang depan untuk mencari obat guna menyadarkan isterinya. Begitu mendapatkan obatnya, dia segera kembali ke kamar tidur. Sesampainya di tepi ranjang, dia menyibakkan tirai kelambu yang menutupi peraduan mereka. Isterinya telah lenyap, dan betapa kagetnya ketika dia menyaksikan makhluk yang ada di atas tempat tidur. Seekor ular besar berwarna putih yang tampak sedang mabuk tengah melingkarkan tubuhnya di atas ranjang! Xǔxiān pun terguncang jiwanya dan disertai teriakan "Auw!!!" dia pun jatuh pingsan, dan tubuhnya menggelosor ke lantai.

 

Petang harinya Xiǎoqīng kembali ke rumah. Begitu mendapatkan Xǔxiān sedang tidak sadarkan diri di dalam kamar tidurnya sendiri, dia pun menjerit-jerit histeris. Teriakannya segera menyadarkan Bái Sùzhēn dari pingsannya. Setelah mengetahui bahwa tidak sadarnya Xǔxiān karena akibat perbuatannya, Bái Sùzhēn pun menangis tersedu-sedu. Keduanya mencoba membangunkan Xǔxiān dari pingsannya, namun setelah mencekokkan berbagai ramuan obat yang mereka miliki, upaya mereka berakhir sia-sia. Bái Sùzhēn tahu jika orang tidak siuman dari pingsannya, dia harus mencari semacam tanaman obat ajaib yang bisa membangunkan kembali orang yang sedang semaput. Tanaman obat ajaib itu hanya ada di Gunung Kūnlún (仑山, Kūnlún Shān).

 

Dia segera memutuskan untuk mencari tanaman obat ajaib itu, namun perjalanan ke sana amat berbahaya. Xiǎoqīng mengingatkan kakaknya: "Yang memiliki tanaman obat ajaib itu adalah Sang Bangau Putih, yang merupakan musuh bebuyutan kita. Jika dia tidak mau memberikannya, engkau harus menang bertempur melawannya." Dinasehati seperti itu, tekad Bái Sùzhēn tetap tidak tergoyahkan. "Demi menyelamatkan nyawa suamiku, gunung pun akan ku-daki, lautan api pun ku-seberangi. Dan jika aku harus tewas di tangan Bangau Putih serta Xǔxiān tidak sampai tertolong, engkau harus membawa jenazah Xǔxiān ke Gunung Barat."

 

Kita akan melanjutkan kisah ini pada artikel yang akan datang.

 

 

(Bersambung)

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/240111