(Bagian Kedua dari Dua Tulisan)
Pada artikel yang lalu diceritakan Xǔxiān berada dalam keadaan tidak
sadarkan diri untuk waktu yang lama. Kejadian ini memaksa Bái Sùzhēn untuk
pergi mencari obat ajaib yang bisa menyadarkannya. Obat ajaib itu ternyata
sejenis tanaman, yang hanya tumbuh di Gunung Kūnlún. Mengingat tidak ada cara
lain untuk memulihkan kondisi suaminya, Bái Sùzhēn pun bersikeras untuk
mendapatkannya. Dia pun mengambil pedang pusaka yang bermata dua, lalu dia
berpamitan kepada Xiǎoqīng. "Adik, aku pergi dulu. Semua urusan rumah aku
serahkan kepadamu."
Segera setelah meninggalkan Xiǎoqīng, Bái Sùzhēn kemudian menunggangi awan
putihnya, dan dia terbang menuju Gunung Kūnlún. Gunung Kūnlún merupakan tempat
terpencil di bumi dan hanya sedikit orang yang pernah datang mengunjunginya.
Suasana di sana sangat mencekam. Tebing-tebingnya yang sangat terjal dipenuhi
oleh semak belukar, dan angin dingin semilir seakan membekukan tubuh.
Lengkingan auman harimau dan serigala membuat bulu kuduk kita berdiri. Setelah
mencari-cari tempat tumbuhan ajaib itu berada, Bái Sùzhēn akhirnya menemukan
tumbuhan yang mirip jamur, di depan sebuah goa. Dia sangat gembira setelah
menemukan apa yang dicarinya.
Namun baru saja dia menundukkan tubuhnya dan tangannya hendak meraih
tanaman berharga ini, tiba-tiba seekor kijang kencana menghampirinya dan
berseru, "tahan!" Dalam sekejap sang kijang bersalin-rupa menjadi
seorang ksatria, dan dengan segera dia menghunus pedangnya. Ksatria itu
membentaknya: "Siluman dari mana kau! Berani-beraninya engkau datang
kemari dan mau mencuri jamur ajaib milik kami." Dengan rendah hati dia pun
menjawab: "Hamba bernama Bái Sùzhēn. Setelah bertapa ratusan tahun di
Gunung Éméi, aku hidup bersama dengan seorang manusia biasa. Saat ini suami
sedang tak sadarkan diri. Mohon tuan berikan aku tanaman ini barang
segenggam." Sang ksatria menjawab: "Mana boleh barang berharga ini
diserahkan kepadamu. Jamur ajaib ini adalah makhluk hidup." Segera setelah
itu dia menyabetkan pedangnya ke arah Bái Sùzhēn. Keduanya pun kini saling
serang dengan senjata masing-masing. Setelah bertarung beberapa jurus, sang
ksatria terdesak dan Bái Sùzhēn pun segera memetik tanaman itu, dan segera
setelah itu dia bersiap-siap untuk meninggalkan gunung itu.
Namun sekonyong-konyong terdengarlah lengkingan burung bangau. Terkejutlah
Bái Sùzhēn mendengar suara yang merupakan ancaman baru baginya. Pepatah
mengatakan: 'ular paling takut saat bertemu dengan burung bangau'. Tampaklah di
hadapannya seekor burung bangau putih besar yang serta merta menjelma menjadi
seorang pendekar. Dia mengeluarkan senjatanya dan berkata: "Berani benar
engkau mencuri barang berharga kami!" Bái Sùzhēn segera menyimpan jamur
ajaib yang baru dipetiknya ke dalam mulutnya. Keduanya pun terlibat dalam
pertarungan yang seru. Selang beberapa lama, si rusa kencana membantu temannya,
dan keduanya mengeroyok Bái Sùzhēn. Sang ular putih pun terdesak mundur. Dan
tak lama kemudian, sebuah tendangan Burung Bangau ke arah perut Bái Sùzhēn
membuatnya tersungkur. Kasihan si ular putih! Jamur ajaib yang berada di
mulutnya terlontar ke luar, dan sia-sialah jerih payah Bái Sùzhēn mencari obat
bagi suaminya. Pedang si bangau dengan derasnya mengarah ke arah lehernya.
Beruntunglah di saat yang kritis itu, seorang tua tiba-tiba ke luar dari
balik gerbang goa, lalu dia berteriak: "Tahan!" Orang tua itu tidak
lain Nánjí Xiān Wēng (南極仙翁) atau Sang
Dewa Kutub Selatan, dikenal pula sebagai Sang Dewa Panjang Usia. Sang Dewa
memerintahkan pengikutnya, "Bangau Putih, jangan gegabah." Sang Dewa
yang welas asih memahami kehidupan manusia, dan dia tahu Bái Sùzhēn datang dari
jauh hanya untuk mencari obat demi kesembuhan suaminya. Dia segera
memerintahkan Bangau Putih agar mereka menghentikan perkelahian itu.
Selanjutnya dia meminta agar Kijang Kencana menyerahkan segenggam jamur ajaib,
untuk diberikan kepada Bái Sùzhēn. Setelah mendapatkan apa yang dicarinya, Bái
Sùzhēn pun berlutut di hadapan Sang Dewa, dan dia menghaturkan banyak terima
kasih.
Bái Sùzhēn kemudian pulang dan sesampainya di rumah, dia minta bantuan
Xiǎoqīng untuk menggodok jamur ajaib yang dibawanya dari Gunung Kūnlún.
Xiǎoqīng memperhatikan keadaan kakaknya yang baru selesai melakukan perjalanan
jauh. Dipandanginya wajah Bái Sùzhēn yang nampak pucat, "mengapa rona
wajah kakak tidak seperti biasa?" Kakaknya kemudian bercerita bahwa
nyawanya hampir melayang setelah dia dikalahkan oleh si Bangau Putih. Xiǎoqīng
pun terharu mendengar pengorbanan yang dilakukan kakaknya. Setelah ramuan obat
godokan itu siap, Bái Sùzhēn merebahkan bagian atas tubuh suaminya di atas
pangkuannya. Selanjutnya sedikit demi sedikit cairan obat itu berhasil ditelan
oleh Xǔxiān. Sungguh mengagumkan! Perlahan-lahan Xǔxiān yang tadinya tidak
sadarkan diri mulai menggerakkan mulut dan jari-jari tangannya. Akhirnya dia
membuka matanya dan mulai mengenali siapa yang ada di hadapannya. Ya, Xǔxiān
seolah-olah bangkit dari kematiannya.
Hari pun berlalu dengan cepatnya. Pasangan suami-isteri Xǔxiān dan Bái
Sùzhēn kembali menjalani kehidupan mereka dengan normal. Hari itu tanggal 15 di
bulan ketujuh. Sesuai dengan tradisi orang Tionghoa, Xǔxiān pun menyempatkan
diri pergi ke kuil untuk mempersembahkan dupa. Dia pergi sendirian ke Kuil
Jīnshān dan dengan bersembahyang, dia berharap keluarganya dikaruniai dengan
keselamatan dan kesejahteraan. Baru saja kakinya melangkah menuju altar utama,
tiba-tiba dia digelandang oleh seorang rahib yang pernah bertemu dengannya
beberapa bulan yang lalu. Siapakah rahib itu gerangan? Ya, dia tak lain Bhiksu
Fǎ Hǎi. Sang bhiksu bertanya: "Saat perayaan festival perahu naga yang
lalu, bukankah engkau telah menyaksikan sendiri, bahwa isterimu itu jelmaan seekor
ular putih?" Xǔxiān yang sebenarnya dalam keadaan tidak ngeh dan
telah melupakan peristiwa yang mengerikan itu, mendadak kaget diingatkan atas
kejadian yang tidak disadari sepenuhnya itu.
Saat Xǔxiān masih terbengong-bengong, Bhiksu Fǎ Hǎi yang telah memiliki
agendanya sendiri, mulai mengeluarkan taktik liciknya. "Jika engkau
membiarkan keadaan ini sampai berlarut-larut, suatu hari nanti engkau akan
dimangsa oleh si ular keparat itu." Fǎ Hǎi lalu membujuk Xǔxiān untuk
tidak kembali ke rumah, melainkan tinggal di kuil itu, dan dia akan ditahbiskan
sebagai seorang calon rahib. Setelah lama mempertimbangkan usulan tersebut,
Xǔxiān pun memberikan putusannya: "Rasa cintaku kepada isteriku lebih dalam
daripada lautan. Aku menolak menjadi bhiksu dan aku akan tetap pulang, walaupun
dia akan membunuhku." Fǎ Hǎi pun murka mendengar penolakan itu, dan dia
memerintahkan agar anak buahnya mengurung Xǔxiān dalam sebuah ruangan di
biaranya.
Telah beberapa hari lewat dan Xǔxiān belum pulang juga, dan hal ini membuat
Bái Sùzhēn dan Xiǎoqīng menjadi khawatir. Keduanya pun menyusul ke Kuil
Jīnshān. Sesampainya di sana Bái Sùzhēn menanyakan perihal Xǔxiān, yang
beberapa hari sebelumnya berkunjung ke biara tersebut. Seorang rahib muda
mengaku ada seseorang yang ditahan oleh kepala biara, karena khawatir orang itu
akan dicelakai oleh isterinya sendiri, yang sebenarnya adalah sesosok siluman
ular. Murkalah Xiǎoqīng mendengar pengakuan itu dan hampir saja dia membunuh
rahib muda itu. Mendengar keributan di ruang depan, seketika para rahib di kuil
itu segera berkumpul termasuk kepala biara. Setelah bertemu dengan Fǎ Hǎi, Bái
Sùzhēn berkata kepadanya: " Wahai kepala biara. Biarkanlah Xǔxiān, suamiku,
yang ditahan di kuil ini segera tuan bebaskan. Kami kehilangan dia, lagi pula
aku sedang hamil." Fǎ Hǎi hanya memandang Bái Sùzhēn dengan sinis, seraya
menjawab: "Xǔxiān telah sadar dan sudah bertobat. Lagi pula dia telah
menjadi seorang rahib. Kalian berdua pulang sajalah." Bái Sùzhēn dan
Xiǎoqīng merasa tidak puas dan mereka cekcok dengan Bhiksu Fǎ Hǎi.
Kedua belah pihak tidak mau saling mengalah, dan sekarang yang menentukan
adalah pertarungan dengan senjata masing-masing. Fǎ Hǎi mengeluarkan senjata
andalannya yakni Tongkat Dhyana, sementara Bái Sùzhēn dan Xiǎoqīng telah
menghunus pedang mereka masing-masing. Segerombolan bhiksu muda berdatangan
membantu atasan mereka, dan dengan bersenjatakan golok, tombak, toya, dan
pedang pendek, mereka semua mengepung kedua perempuan muda itu. Bái Sùzhēn
mengukur kekuatan mereka berdua, lalu dia bersama Xiǎoqīng mundur pelan-pelan
menuju bantaran sungai. Dia mencabut sebuah tusuk konde emas dari gulungan
rambutnya, dan dengan sebuah kibasan, benda kecil itu telah berubah menjadi
sebuah sampan. Setelah keduanya mengapung di perairan sungai, Bái Sùzhēn
mengeluarkan sebuah bendera kecil dari saku bajunya. Dimintanya Xiǎoqīng untuk
melambai-lambaikan bendera tersebut di atas air. Seolah-olah mengetahui tanda
bahaya darurat yang sedang dialami majikan mereka, sang naga penguasa sungai
segera memerintahkan anak buahnya; yakni bala tentara udang dan kepiting untuk
segera bersiap-siap, guna membantu junjungan mereka.
Fǎ Hǎi yang masih berada di depan kuilnya pun tidak mau kalah. Dia
memanggil Skanda atau Sāi Jiàn Tuó (塞建陀), alias Sang Bodhisattva yang
merupakan penjaga setia biara Buddha; juga para Sangharama atau Jìng Zhǔ
(境主), yakni sekelompok dewa yang menjadi
penjaga kuil Buddha. Namun keperkasaan sang naga sungai memang luar biasa.
Dalam tempo sekejap saja, angin kencang menerpa permukaan sungai. Air bergolak
membuat ombak datang bergulung-gulung. Terbawa oleh gelombang pasang itu
muncullah selaksa bala tentara udang dan kepiting. Banjir bandang tak
terelakkan dan mulai menggenangi Kuil Jīnshān. Fǎ Hǎi terperanjat dan dia
memerintahkan anak buahnya menyingkir, menjauh dari biara. Tampaklah sang
bhiksu kepala keteteran menghadapi serbuan air bah ini.
Di tengah banjir itu praktis perlawanan para rahib anak buah Fǎ Hǎi pun
buyar, dan sang bhiksu kepala kini langsung berhadap-hadapan dengan Bái Sùzhēn
dan Xiǎoqīng. Keduanya berhasil memojokkan dan menjatuhkan Fǎ Hǎi. Namun tiba-tiba janin di dalam perut Bái
Sùzhēn bergejolak, dan dia merasa sangat kesakitan. Pada saat yang kritis ini
Fǎ Hǎi mendapat angin, dan sekarang dia yang berbalik mendesak lawan-lawannya.
Bái Sùzhēn kemudian meminta Xiǎoqīng dan bala tentara naga sungai untuk mundur.
Karena khawatir akan pembalasan Fǎ Hǎi, dia mengajak Xiǎoqīng agar mereka
berdua meninggalkan Zhènjiāng, dan keduanya pun lantas mengungsi ke Hángzhōu.
Kita kembali pada Xǔxiān. Walaupun Bái Sùzhēn dan Xiǎoqīng telah
mengacak-acak Kuil Jīnshān, Xǔxiān tidak menyadari atau diberitahu tentang
kejadian itu. Saat itu dia sedang dikurung di kamar yang terletak di loteng
atas, sehingga tidak mengetahui biara itu sempat kebanjiran. Xǔxiān yang malang
itu sempat dipenjara di sana selama beberapa bulan. Setiap hari dia meratapi
nasibnya yang malang, terpisah dari sang isteri yang amat dicintainya. Namun di
satu malam dia sempat menyelinap ke luar, dan dengan secepat kilat dia pulang
ke kedai obatnya. Tetapi sesampainya di sana, dia mendapatkan rumahnya telah
lama tidak ditinggali orang. Tidak ada petunjuk isteri dan adik iparnya pergi
kemana. Takut pelariannya akan membuat Fǎ Hǎi menyusul dan mencarinya, Xǔxiān
segera meninggalkan Zhènjiāng, dan dia pun kembali ke rumahnya yang lama di
Hángzhōu.
Di Hángzhōu Xǔxiān kemudian menetap bersama dengan kakak dan kakak iparnya.
Menghabiskan hari-harinya yang lara, Xǔxiān kerap mengunjungi Jembatan Duàn dan
Danau Barat. Ketika dipandanginya rerumputan, bunga-bungaan, dan pepohonan,
yang masih seperti yang dulu; muncullah kembali rasa cinta dan kangen kepada
isterinya. Tak sanggup lagi dia memendam dukacitanya. Kali ini Xǔxiān menjerit
sekuat-kuatnya: "Isteriku, dimanakah engkau?" Tak disangka oleh siapa
pun, jeritan hati Xǔxiān didengar oleh Bái Sùzhēn dan Xiǎoqīng. Keduanya
ternyata saat itu bersalin rupa menjadi ular putih dan ular hijau, dan mereka
berdua sedang memantapkan latihan bela diri di dasar Danau Xīhú. Keduanya pun
lantas ke luar dari air, menjelma kembali menjadi manusia, dan mencari-cari sumber
suara tadi. Di Jembatan Duàn, Xiǎoqīng terlebih dahulu melihat Xǔxiān. Diliputi
oleh kegusarannya dia segera mengeluarkan dan menghunus pedangnya.
"Xǔxiān, lupakah engkau akan cinta Bái Sùzhēn kepadamu. Engkau telah
berkhianat dan malahan menjadi pengikut si Fǎ Hǎi keparat itu. Sekarang aku
akan mencabut nyawamu!"
Xǔxiān ketakutan dan untunglah Bái Sùzhēn segera mencegah adiknya agar
tidak bertindak gegabah. Dia bertanya lagi kepada Xǔxiān: "Engkau telah
menjadi rahib di kuil Fǎ Hǎi. Mengapa masih datang ke Jembatan Duàn dan
memanggil-manggil aku?" Xǔxiān membela diri dan menjawab: "Siapa
bilang aku telah menjadi rahib? Aku waktu itu pergi bersembahyang ke kuil. Tak
disangka si Botak Fǎ Hǎi menangkap dan memenjarakanku. Mujurlah aku ketika
seorang bhiksu muda mau menolongku, dan aku bisa kabur dari sana. Aku sangat mengkhawatirkan
keadaan kalian." Setelah mendengar penuturan Xǔxiān, keduanya memahami
duduk persoalan yang sebenarnya. Bái Sùzhēn lalu mengaku bahwa dirinya
sebetulnya adalah sesosok siluman ular, namun karena begitu besar cintanya
kepada kekasihnya, dia mau menikahinya. Xǔxiān pun tulus mencintai isterinya
karena telah melihat sendiri, begitu besar pengorbanan yang telah dilakukannya.
Kedua insan yang sudah mengetahui rasa cinta dan ketergantungan yang besar di
antara mereka, kemudian menguatkan ikrar mereka untuk tetap bersama di
kehidupan ini. Tiba-tiba Bái Sùzhēn merasa perutnya sakit sekali. Xǔxiān pun
segera membopong isterinya ke rumah kakaknya. Tak berapa lama kemudian Bái
Sùzhēn melahirkan seorang anak laki-laki, yang diberi nama Xǔ Mèngjiāo (许梦蛟).
Hampir satu bulan waktu berlalu, Xǔxiān, Bái Sùzhēn, dan Xiǎoqīng,
bersiap-siap merayakan peringatan satu bulan kelahiran Mèngjiāo. Namun tak
disangka, musibah akan datang menimpa keluarga bahagia itu. Di pagi itu, tidak
ada angin tidak ada hujan, tahu-tahu Bhiksu Fǎ Hǎi sudah berada di depan rumah
mereka. Setelah Xǔxiān membuka pintu, dia menghardik: "Untuk apa kalian
merayakan kelahiran bocah itu? Genap satu bulan setelah melahirkan anaknya,
siluman ular itu akan memangsamu!" Bukan alang kepalang murkanya Xǔxiān
melihat musuh bebuyutan mereka sudah berada di depan rumahnya. Bái Sùzhēn yang
telah turun ke bawah pun memaki Fǎ Hǎi: "Engkau telah membuatku banyak
menderita. Sekarang kita tuntaskan perseteruan ini."
Fǎ Hǎi berani menantang musuh besarnya karena dia telah membawa senjata
pusakanya, yang dinamakan Mangkuk Sedekah Emas. Sewaktu kedua musuh
bebuyutan ini berhadap-hadapan, Fǎ Hǎi segera melemparkan mangkuk itu ke atas
kepala Bái Sùzhēn. Mangkuk Sedekah Emas itu pun berpusar di udara dan
mengeluarkan cahaya aneh. Tubuh Bái Sùzhēn menjadi limbung dan dia pun
tersungkur ke atas tanah. Xǔxiān berupaya membangkitkannya tetapi dia tidak
berhasil. Xiǎoqīng segera menghunus pedangnya dan dia bersiap untuk menyerang
Fǎ Hǎi. Tetapi khawatir adiknya akan ikut cidera, Bái Sùzhēn memerintahkan
Xiǎoqīng untuk segera angkat kaki. "Cepat tinggalkan tempat ini. Lain kali
engkau balaskan sakit hati kakakmu ini!" Xiǎoqīng pun segera mundur,
menaiki awannya, dan seketika itu dia lenyap dari pandangan.
Fǎ Hǎi tertawa terbahak-bahak dan dia berkata kepada Xǔxiān: "Siluman
ular ini akan aku kurung di dalam Pagoda Léi Fēng Tǎ (雷峰塔). Dia tidak akan bisa ke luar untuk
selamanya." Xǔxiān membentak: "Hari ini aku baru sadar. Makhluk yang
suka makan orang bukanlah isteriku, tetapi ternyata engkau. Dasar bhiksu botak
sialan. Engkau pantas mati!" Bái Sùzhēn sudah sangat kesakitan. Di saat
itu dia minta agar bisa dipertemukan sejenak dengan bayi kecilnya. Setelah itu
Fǎ Hǎi berseru: " Mangkuk Sedekah Emas!" Ajaib!! Seketika itu
juga, benda pusaka itu memancarkan sinar terangnya sekali lagi. Terlihat tubuh
Bái Sùzhēn mengecil dan dia menjerit kesakitan. Sesaat kemudian tubuhnya lenyap
tersedot oleh mangkuk ajaib itu. Xǔxiān sambil menggendong puteranya berusaha
mengejar Fǎ Hǎi. Namun rahib itu sudah beranjak jauh, sambil membawa Mangkuk
Sedekah Emas.
Xiǎoqīng yang kabur pada pertempuran terakhirnya mengungsi kembali ke
Gunung Éméi. Di sana dia kembali bertapa dan menggembleng dirinya. Sepuluh
tahun kemudian, kekuatan dan kesaktiannya telah bertambah berkali-kali lipat.
Suatu hari setelah memberitahu Xǔxiān, dia kembali menyatroni Pagoda Léi Fēng
Tǎ. Di sana Fǎ Hǎi yang sudah mengetahui kedatangannya telah mempersiapkan diri
dengan berbekal jubah bhiksu kasaya-nya, Tongkat Dhyana, dan Mangkuk
Sedekah Emas. Keduanya pun tidak berbasa-basi lagi. Fǎ Hǎi yang mengenakan
jubah sakti mulai menyerang Xiǎoqīng dengan kedua senjata andalannya.
Pertempuran berjalan seru dan kali ini Fǎ Hǎi keteteran. Kedua senjata
pusakanya berhasil direbut oleh musuhnya. Dalam keadaan terdesak dia pun tidak
dapat mempertahankan jubahnya. Akhirnya Fǎ Hǎi pun mengambil langkah seribu.
Xiǎoqīng meloloskan sabuk pinggang hijaunya, lalu terbang mengelilingi
bagian atas pagoda itu. Lalu diikatnya bagian puncak menara itu erat-erat.
Kemudian dengan satu sentakan kuat dan disertai perapalan mantra-ajaibnya,
robohlah Pagoda Léi Fēng Tǎ. Tak lama kemudian, muncullah Bái Sùzhēn dari
puing-puing menara itu. Kedua insan tersebut, kakak beradik, saling berpelukan
merayakan kebebasan si ular putih. Xǔxiān pun datang sambil menggandeng
Mèngjiāo, yang kini telah berumur sepuluh tahun. Ketiga orang ini, Bái Sùzhēn,
Xǔxiān, dan Mèngjiāo, berlutut di hadapan Xiǎoqīng sambil mengucapkan terima
kasih. Awan putih beriak-riak di langit, angin bertiup sepoi-sepoi,
burung-burung berkicau berbalas-balasan. Alam semesta pun menyambut gembira
bersatunya keluarga Xǔxiān dan Bái Sùzhēn. Ribuan tahun kemudian para pelancong
yang mengunjungi Danau Xīhú dan Kuil Jīnshān di Zhènjiāng, selalu saling
menceritakan kembali kisah cinta kedua sejoli itu.
(Tamat)
sdjn/dharmaprimapustaka/240125