Rabu, 18 Oktober 2023

ANAGĀRIKA DHARMAPĀLA DAN PERJUANGAN HIDUPNYA

 

 

Pada artikel yang lalu dikisahkan bagaimana tokoh kita, David Hewavitarne alias Anagārika Dharmapāla (17-Sep-1864 - 29-Apr-1933), yang merupakan sang putera sulung Don Carolis Hewavitarne dan Mallikā Dharmagunawardene; menghabiskan masa kanak-kanak dan remajanya di Kolombo Sri Lanka pada paruh kedua abad ke-19. Sebagai anak pengusaha terkemuka di negara pulau itu, David yang sejak dini telah mendapat pendidikan nilai-nilai Buddhis di dalam lingkungan keluarganya, tetapi justru dia menimba ilmu di sekolah-sekolah milik misionaris Nasrani di daerah jajahan Inggris Raya yang memerintah negeri pulau itu. Diceritakan pula pada masa itu Sang Penjajah sedang giat-giatnya menyebarkan agama Kristen di lingkungan masyarakat Sri Lanka, yang sejak berabad-abad menganut agama Buddha sebagai kepercayaan nenek moyang mereka. Dalam lingkungan sekolah yang melakukan represi terhadap keyakinannya, bisa dimengerti bagaimana David kecil sejak awal sudah menjadi seorang "pemberontak".

 

Kebangkitan agama Buddha di Sri Lanka terjadi bersamaan dengan meluasnya pergerakan Theosophical Society yang mencapai India pada tahun 1880. Organisasi ini sendiri telah berdiri sejak tahun 1875 di New York. Pada Mei 1880 dua orang pendiri Theosophical Society, yakni  Kolonel Henry S. Olcott dan Mme. Helena P. Blavatsky, mendarat di Sri Lanka dan mendapat sambutan hangat dari masyarakat di sana. Keduanya bahkan mengucapkan ikrar Tiga Perlindungan dan Lima Sila di hadapan Sri Sumaṅgala, seorang bhikkhu senior yang karismatik. Penindasan terhadap warga terjajah pun berangsur-angsur pudar, setelah Kol. Olcott membuat representasi kepada Sekretaris Negara untuk Koloni di London, yakni hukum bahwa penduduk lokal menjadi orang Kristen dibatalkan pada tahun 1884.

 

David pun yang tengah menuju ke kedewasaan, kemudian dengan giat membantu Olcott membuka banyak sekolah Buddhis di negeri kelahirannya. Dia dengan keahliannya sebagai penulis dan wartawan menjadi penerjemah untuk buku panduan Buddhis yang ditulis oleh Olcott. Keduanya pun mencari dana untuk membiayai kebangkitan kembali agama Buddha di sana. Saat itu ketika David genap berusia dua-puluh tahun, dia yakin bahwa bagi mayoritas warga Sinhala kepentingan agama Buddha dan kepentingan Masyarakat Teosofis adalah identik. Dalam keadaan seperti ini wajar saja beberapa bulan setelah kepergian Ny. Blavatsky dari Sri Lanka, dia menulis surat kepada ayahnya, meminta izin untuk meninggalkan rumah dan menjalani kehidupan brahmacari. Alasannya karena dia ingin mengabdikan seluruh waktunya untuk kepentingan Sāsana, serta dia juga harus meminta izin untuk tinggal di markas Teosofi, karena Perkumpulan ini bekerja demi kebaikan agama Buddha. Ayahnya pada awalnya keberatan, mempertanyakan siapa yang akan menjaga anggota keluarga yang lebih muda, jika putera sulungnya meninggalkan rumah. Tegas dalam tekadnya, David menjawab masing-masing orang memiliki karmanya sendiri yang akan melindunginya, dan pada akhirnya ayahnya menyetujui permintaan tersebut. Ibunya juga memberikan restunya, dengan mengatakan bahwa jika bukan karena kedua adik laki-lakinya yang masih membutuhkan perawatannya, dia pasti sudah bergabung dengannya dalam kehidupan baru yang akan dia jalani. Pemuda itu sekarang bebas meninggalkan rumahnya dan dengan antusiasme yang kuat dia segera menerjunkan dirinya ke kancah pekerjaan Masyarakat Teosofis. Dalam penghormatan yang muncul tak lama setelah kematiannya, seorang pengagum telah melukis potret-diri Sang Anāgārika dan menggoreskan penanya pada kehidupan di periode ini:

 

"Tidak ada yang terlalu kecil atau terlalu besar baginya. Dia akan membersihkan kamarnya sendiri, merapikan tempat tidurnya sendiri, mengurus pekerjaan kantor, menulis semua surat dan membawanya sendiri ke kantor pos; bukan sebagai suatu kebajikan tetapi sebagai bagian dari rutinitas hariannya. Dia akan menyiapkan program untuk acara lain, dia akan menerjemahkan ceramah untuk orang lain, dia akan menulis artikel asli untuk surat kabar, dia akan mendiskusikan kebijakan surat kabar tersebut dengan sang Editor dan akan mengoreksi bukti-bukti untuknya, serta dia akan mewawancarai mereka yang mengunjungi kantornya. Dia menulis surat kepada orang-orang di seluruh Sri Lanka, mengundang mereka untuk mengunjungi Kantor Pusat, dan menyumbangkan 'niat baik' mereka terhadap kemajuan organisasi ini. Semua orang sama saja baginya, baik yang tua, muda, atau anak sekolah, terpelajar atau bodoh, kaya atau miskin, tidak menjadi masalah; dia secara naluriah tahu apa yang masing-masing dari mereka, mampu menyumbangkannya demi kebaikan bersama. Dia menghabiskan hampir lima belas hingga enam belas jam sehari dalam pekerjaan yang intensif. David memiliki sikap yang menyenangkan, ceria setiap saat: kata-kata tertulisnya dan ucapan lisannya begitu fasih, dan ketulusannya menyentuh hati semua orang yang bertemu dengannya. Kumpulan energi dan niat baik ini memuluskan karirnya yang bermanfaat di Markas Besar Buddha selama hampir lima tahun. Dia membantu pendirian sekolah-sekolah, dan dalam propaganda Buddhis. Dia menarik banyak orang untuk bergabung dengan organisasi baru tersebut, sehingga Perkumpulan Teosofis Buddha Kolombo menjadi sebuah kekuatan di negara tersebut."

 

Pada bulan Februari 1886 Kolonel Olcott dan C.W. Leadbeater tiba di Kolombo untuk mengumpulkan uang bagi Dana Pendidikan Buddhis. David saat itu bekerja sebagai pegawai junior di Departemen Pendidikan Kolonial, dan makanannya biasanya dikirim setiap hari dari rumah ke Markas Teosofi tempat dia tinggal. Kolonel Olcott telah merencanakan untuk berkeliling ke seluruh pulau, dan untuk tujuan ini dia membutuhkan jasa seorang penerjemah. Namun ketika tidak ada orang yang bisa menemaninya, dia menyatakan bahwa dia hanya akan membuang-buang waktu jika tidak ada umat Buddha yang mau ikut bersamanya dalam tur-nya. David segera menawarkan jasanya, dan mengajukan permohonan cuti tiga bulan kepada Direktur Pendidikan. Sebelumnya dia telah mengikuti Ujian Klerikal, namun berjanji pada dirinya sendiri, bahwa jika dia lulus dia tidak akan bergabung dalam dinas Pemerintah. Dia akan mengabdikan seluruh hidupnya untuk melayani kemanusiaan. Ketiganya berangkat dari Kolombo dengan kereta-lembu dua-lantai milik Kolonel. Olcott dan Leadbeater tidur pada malam hari di lantai atas, sementara David menempati tempat tidur yang lebih rendah. Selama dua bulan lebih mereka melakukan perjalanan ke seluruh negeri, sehingga menjadikannya sebagai serangkaian perjalanan misionaris Buddhis yang ikonik dan bersejarah, yang pada akhirnya membuat sang Kolonel berjanggut dan rekan mudanya menjadi tokoh yang dikenal di pedesaan Sinhala.

 

Tur tahun 1886 menjadikan momen penting dalam wawasan pengetahuan David. Melalui kepribadian Kolonel Olcott yang aktif dan berwibawa, dia belajar tentang efisiensi praktis yang menjadi kebiasaan orang Barat. Dia melihat banyak adat istiadat asing yang tidak bersifat Buddhis telah menyusup ke dalam kehidupan masyarakat, serta dengan antusiasme semangat mudanya, dia memuji keagungan tradisi zaman lampau dan meratapi kemerosotan Sri Lanka modern. Dia mengecam kebiasaan makan daging sapi, mencerca penggunaan nama asing, mencemooh pakaian barat, dan yang membuat para pendengarnya senang, dia memimpin mereka dengan menghancurkan sisir kepala (nemi panawa) yang diadopsi oleh suku Sinhala dari suku Melayu. Dia melihat betapa luas dan dalamnya pengaruh misi-misi Nasrani, dan betapa nilai-nilai baru telah menggerogoti kehidupan masyarakat dan semua hal yang paling mulia dalam karakter bangsanya. Dia juga melihat, bagaimana kepercayaan dan ketaatan penduduk desa terhadap Dhamma perlahan-lahan runtuh. David dengan kecerdasannya dia mampu menafsirkan pembenaran yang luar biasa dari Kolonel Olcott terhadap ajaran Buddha, dan meneruskan seruannya yang berapi-api untuk kebangkitannya di seluruh pelosok negeri.

 

Ketika Kolonel Olcott meninggalkan Sri Lanka menuju Madras, David dan Leadbeater melakukan tur ceramah berdua. Saat keduanya masih berada di desa-desa pedalaman sepucuk surat tiba dari Sekretaris Kolonial, yang memberitahukan David bahwasanya dia telah lulus ujian dan sudah dipromosikan ke jabatan yang lebih tinggi. Kini, saat yang tepat untuk sepenuhnya mengabdi pada pelayanan di organisasi Buddhis, orang muda yang sekarang ini adalah pegawai junior berpikir, bahwa waktunya telah tiba untuk meninggalkan pelayanan di Kantor Pemerintah untuk selama-lamanya. Lalu dia memutuskan bahwa dia akan bekerja demi agamanya dan meminta Sekretaris Kolonial untuk menerima pengunduran dirinya. Setelah mereka kembali ke Kolombo, ayahnya menasihatinya untuk menerima jabatan tersebut dan menyerahkan penghasilannya kepada Masyarakat Teosofis. Dia juga mengajaknya menemui Sekretaris Kolonial, yang memintanya untuk menarik pengunduran dirinya; namun terlepas dari bujukan mereka, tekad kuat David tetap tidak tergoyahkan. Pada akhirnya dia gembira saat menyadari, bahwa ikatan terakhir yang mengikatnya pada karier duniawi telah diputuskannya.

 

Sejak saat itu dan selanjutnya, menjadi semakin sulit bagi David untuk membagi perhatian secara adil, terhadap aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh misionaris Buddhis terbesar di zaman modern ini. Selama tahun 1885-89 ia mengabdikan dirinya dengan sepenuh hati untuk urusan Masyarakat Teosofi Buddhis, dan dengan dukungan keuangan dari kakeknya dan kerjasama dengan C.P. Goonewardana, Williams Abrew, Don Carolis dan lainnya, organisasi tersebut menjadi semakin berkecukupan. Atas permintaan Kolonel Olcott, Leadbeater menyiapkan versi pendek Katekismus Buddhis (buku panduan karya Olcott yang diperuntukkan bagi siswa-siswi sekolah di Sri Lanka), yang bagian pertamanya diterjemahkan ke dalam bahasa Sinhala oleh Dharmapāla dengan bantuan Sumaṅgala Nāyaka Mahā Thera, dan bagian keduanya oleh dua guru Sekolah Bahasa Inggris Buddhis yakni James Perera dan Wimalasuriya. Kedua bagian tersebut diterbitkan oleh The Buddhist Press, yang mana penerbit ini didirikan bersama oleh Olcott dan David, dengan uang yang diperoleh dari penerbitan Surat Utang.

 

Menyadari bahwa The Buddhist Press sebenarnya merupakan milik dari The Buddhist Theosophical Society, maka David memohon kepada kakeknya – yang mempunyai saham lebih besar daripada yang lain – untuk menghibahkannya kepada yayasan mereka. Setelah kakeknya menyetujui, maka tidak sulit untuk meminta hal serupa kepada para pemegang saham lainnya, guna mengikuti teladannya yang murah hati. Setelah melunasi utang-utang Sandaresa, majalah mingguan Buddhis berbahasa Sinhala milik mereka, serta membangunnya di atas landasan yang lebih kokoh, David memutuskan bahwa sudah saatnya umat Buddha di Sri Lanka memiliki mingguan berbahasa Inggris pula. Tiga puluh sahabatnya menyumbang masing-masing sepuluh rupee dan dari jumlah uang yang terkumpul, perangkat mesin cetak untuk majalah berbahasa Inggris bisa diperoleh dari Madras. Dan pada bulan Desember 1888 The Buddhist diterbitkan di bawah pimpinan redaksi Leadbeater, sebagai sisipan pada Sandaresa. Artikel-artikel berbahasa Sinhala menyajikan publikasi kepada cabang-cabang Ceylon Theosophical Society di pedesaan maupun di perkotaan; yang isinya melaporkan antara lain kemajuan dana pendidikan Buddhis, serta pembukaan lebih banyak sekolah Buddhis untuk melawan propaganda Kristiani. Sementara artikel-artikel berbahasa Inggris berkonsentrasi pada penjelasan Dhamma yang lebih teknis, yang dikaitkan dengan sains dan psikologi Barat. Yang terakhir ini tidak hanya beredar luas di kalangan masyarakat kelas atas yang mengenyam pendidikan Barat di Sri Lanka, tetapi sisipan majalah ini juga beredar hingga ke Eropa, Amerika, India, Jepang dan Australia; sehingga mampu menyuarakan pesan-pesan Sang Buddha ke dunia modern. The Buddhist sebenarnya menjadi cikal bakal bagi penerusnya yang lebih terkenal, yakni the Mahā Bodhi Journal.

Sejalan dengan usaha jurnalistiknya, Dharmapāla melakukan aktivitas dakwahnya di kalangan masyarakat, berkeliling tanpa kenal lelah dari desa ke desa dengan kereta sapi milik Kolonel Olcott, memberikan ceramah, mendistribusikan literatur Buddhis, dan mengumpulkan dana untuk pekerjaan pendidikan yang telah diresmikan oleh Theosophical Society. Sementara itu, Leadbeater telah memulai sejumlah Sekolah Minggu Buddhis di berbagai wilayah di Kolombo, selain mendirikan sekolah Inggris (yang kemudian menjadi Ananda College, salah satu sekolah paling terkenal di Ceylon) untuk kepentingan beberapa murid pribadi, di antaranya adalah anak-anak favoritnya. Jinarajadasa, kemudian terkenal sebagai Presiden keempat Masyarakat Teosofis di Adyar. Selama periode aktivitas yang intens inilah Don David Hewavitarne mengambil nama Dharmapāla, atau Penjaga Dharma, yang kemudian membuatnya mendapatkan kekaguman dan penghormatan dari umat Buddha di seluruh dunia.

 

Kebangkitan agama Buddha di Sri Lanka dengan dibantu oleh Theosophical Society perlahan-lahan mulai merambah ke negara-negara yang memiliki banyak penganut Buddhis. Pada tahun 1889 Olcott dan Dharmapāla berkunjung ke Jepang dan memulai era kerja sama antara pemuka agama aliran Selatan dengan rohaniwan Buddhis Jepang. Belakangan keduanya menjalin hubungan dengan rohaniwan Buddhis yang berasal dari Myanmar (dahulu: Burma), India, dan Tibet. Kemudian pada tahun 1893 Dharmapāla mengunjungi Inggris untuk pertama kalinya, lalu menghadiri The World’s Parliament of Religions di Chicago, Amerika Serikat. Perjalanan bersejarah itu menandai diperkenalkannya ajaran Sang Buddha ke masyarakat Barat. Selain berjasa atas kebangkitan agama Buddha di akhir abad ke-19, Dharmapāla juga ikut andil dalam restorasi atas tempat-tempat bersejarah yang berkaitan dengan kehidupan Sang Guru.

 

Namun bukan di Sarnath yang menjadi awal persinggahannya di India, melainkan di Buddha Gāya, yang mereka capai pada tanggal 22 Januari 1891, Dharmapāla Hewavitarne, yang saat itu berusia dua puluh sembilan tahun, mendapatkan inspirasi yang mengubah tidak hanya kehidupannya sendiri tetapi juga seluruh kehidupan modern, sejarah kebangkitan Buddhisme. Momen penting dalam kariernya telah tiba. Akhirnya dia berdiri berhadapan dengan takdirnya. Kejadian-kejadian pada hari yang paling menentukan sepanjang hidupnya, ketika untuk sesaat nasib agama Buddha dipertaruhkan di India Modern dengan segala konsekuensinya yang tak terkira, bergantung pada tindakan yang akan dipelopori oleh segelintir pionir; yang paling tepat digambarkan pada kata-kata dalam buku hariannya sendiri:

 

"Januari. 22. Setelah sarapan, kami berangkat bersama Durga Babu dan Dr. Chatterjee ke Bodhgāya, tempat paling suci bagi umat Buddha. Setelah berkendara sejauh 6 mil (dari Gāya) kami sampai di tempat suci. Dalam jarak satu mil Anda dapat melihat arca-arca Yang Terberkahi tergeletak berserakan di sana-sini. Di pintu masuk Kuil Mahānt di kedua sisi serambinya terdapat patung Yang Terberkahi, yang sedang bermeditasi dan membabarkan Dharma. Sungguh miris! Vihāra suci – Yang Terberkahi duduk di singgasanaNya dan kekhidmatan agung yang meliputi segala penjuru – membuat hati para penyembah yang saleh sejatinya akan menangisinya. Sungguh mengharukan! Segera setelah saya menyentuh Vajrāsana dengan dahi saya, sebuah dorongan tiba-tiba muncul di pikiran saya. Hal ini akan menggugah saya untuk berhenti di sini dan merawat tempat suci ini – begitu sakralnya, sehingga tidak ada lokasi mana pun di dunia ini yang setara dengan tempat di mana Pangeran Sakya Sinha memperoleh Pencerahan di bawah Pohon Bodhi. Ketika dorongan ini tiba-tiba datang kepada saya, saya bertanya kepada pandita Kozen (pandita Jepang yang sedang belajar Dharma di Sri Lanka, yang menyertainya), apakah dia akan bergabung denganku, dan dia dengan pun dengan gembira menyetujuinya. Kami berdua dengan sungguh-sungguh berjanji bahwa kami tidak akan berhenti di sini sampai beberapa bhikkhu Buddhis datang untuk mengambil alih tempat itu."

 

Merupakan ciri khas Dharmapāla bahwa ketika dia membuat keputusan penting ini, pertanyaan tentang kepemilikan kuil tidak pernah terpikir olehnya. Dia melihat bahwa tempat paling suci di dunia Buddhis telah diabaikan secara memalukan, arca-arcanya disingkirkan, situsnya telah dinodai, dan dia berasumsi bahwa sebagai seorang Buddhis dia tidak hanya mempunyai kewajiban, tetapi juga punya hak untuk tinggal di sana dan melindungi tempat suci tersebut. Para pejabat pemerintah yang ditemuinya juga belum memberinya alasan untuk berpikir sebaliknya. Kunci Rumah Peristirahatan Burma di Bodhgāya Math, yang dibangun dua puluh tahun sebelumnya oleh Raja Mindon dari Burma (rumah peristirahatan yang dibangun pada 1875 untuk para peziarah, berlokasi dekat dengan Candi Bodhgāya yang terlantar) diberikan kepadanya, dan segera setelah dia menetap di sana, dia mulai menulis surat pertama dari ribuan surat yang kemudian dia tulis demi kepentingan Kuil Buddha Gaya. Dia menulis kepada banyak orang di Ceylon, Burma, dan India, menggambarkan kondisi mengerikan tempat suci tersebut. Dia juga menulis artikel panjang dalam bahasa Sinhala dan Inggris masing-masing untuk Sandaresa dan The Buddhist.

 

Perkumpulan Maha Bodhi di Kolombo didirikan pada tahun 1891 tetapi kantornya segera dipindahkan ke Kalkuta pada tahun berikutnya. Salah satu tujuan utamanya adalah memulihkan kendali Buddhis atas Kuil Mahabodhi di Bodhgāya. Untuk mencapai hal ini, Dharmapala mengajukan gugatan terhadap para pendeta Brahmana yang telah menguasai situs tersebut selama berabad-abad. Setelah perjuangan yang berlarut-larut, hal ini baru berhasil setelah kemerdekaan India (1947) dan enam belas tahun setelah kematian Dharmapala sendiri (1933), dengan restorasi sebagian situs tersebut ke pengelolaan Maha Bodhi Society pada tahun 1949. Saat itu pengelolaan kuil Bodh Gaya dipercayakan kepada sebuah komite yang terdiri dari perwakilan organisasi Hindu dan Buddha dalam jumlah yang sama. Kampanye ini sebagian berhasil pada tahun 1949, ketika kendali berpindah dari Mahant Hindu ke pemerintah Negara Bagian Bihar, yang membentuk Komite Pengelolaan Kuil Bodhgāya (BTMC) berdasarkan Undang-Undang Kuil Bodhgāya tahun 1949.

 

Bagaimana penguasaan atas situs tersuci agama Buddha itu sekarang? Menurut Wikipedia, Pemerintah negara bagian Bihar memikul tanggung jawab atas perlindungan, pengelolaan, dan pemantauan kuil dan propertinya ketika India memperoleh kemerdekaannya. Sesuai dengan Undang-Undang Kuil Bodhgāya tahun 1949, tanggung jawab tersebut dibagikan kepada Komite Pengelolaan Kuil Bodhgāya, dan dewan penasehatnya. Komite tersebut, yang bertugas selama tiga tahun, menurut hukum harus terdiri dari empat perwakilan Buddha dan empat perwakilan Hindu, termasuk kepala biara Sankaracharya Math sebagai anggota Hindu ex-officio. Amandemen Undang-Undang Pengelolaan Kuil Bodhgāya pada tahun 2013 memungkinkan Hakim Distrik Gaya menjadi Ketua Komite, meskipun dia bukan penganut Hindu. Dewan Penasihat terdiri dari gubernur Bihar dan dua-puluh hingga dua-puluh-lima anggota lainnya, yang mana setengah dari mereka berasal dari negara-negara Buddhis Asing.

 

Seperti yang disebutkan di atas, sumbangsih Dharmapāla yang tidak boleh dilupakan adalah the Maha Bodhi Journal, yang didirikan oleh beliau pada Mei 1892. Majalah berbahasa Inggris ini pada halaman pertamanya mengutip salah satu ayat terkenal Mahavagga dari Vinaya Pitaka, yang berbunyi: "Go ye, O bhikkhus, and wander forth for the gain of the many, for the welfare of the many, in compassion for the world, for the good, for the gain, for the welfare of gods and men. Proclaim, O bhikkhus, the doctrine glorious, preach ye a life of holiness, perfect, and pure." ("Wahai para bhikkhu, berkelanalah kalian demi kemaslahatan orang banyak, demi kesejahteraan umat manusia, demi welas-asih untuk dunia ini, untuk kebaikan, untuk kemaslahatan, untuk kesejahteraan para dewa dan manusia. Ajarkanlah, wahai para bhikkhu, dhamma yang luhur ini, serta jalankanlah hidup yang suci, murni, dan sempurna.") Dengan keberadaan majalah ini, ajaran Buddha Dharma dipublikasikan ke seluruh dunia selama lebih dari seratus-dua-puluh tahun.

 

Pada bulan Maret 1931, Dharmapāla yang telah berusia 67 tahun dengan tubuhnya yang semakin rapuh didera oleh berbagai penyakit, dipapah ke kapal-uap yang akan membawanya ke Kalkuta. Inilah saat terakhir kalinya dia menatap barisan pohon palem di pantai tanah kelahirannya, yang perlahan-lahan menghilang di balik cakrawala. Dia tiba di Taman Suci Isipatana, Sarnath, dari Kalkuta pada akhir bulan tersebut, dan meskipun dokternya telah memerintahkan dia untuk beristirahat total, dia malahan aktif mengurus organisasi yang telah dibinanya selama ini. Meski sibuk dengan rencana-rencana duniawi semacam ini, keteguhan hatinya membumbung menuju jalur pengalaman spiritual yang lebih tinggi, dan pada tanggal 13 Juli ia mengambil pabbajjā dengan menjalankan hidup sebagai calon bhikkhu dari Yang Mulia Boruggamuwe Revata Thera, dan dia menerima nama biaranya: Sri Devamitta Dhammapāla. Pada bulan April dan Desember 1932, ia kembali sakit parah, dan karena ingin meninggal sebagai anggota penuh Ordo Suci, ia menerima upasampada atau penahbisan yang lebih tinggi pada tanggal 16 Januari 1933. Lebih dari selusin bhikkhu terkemuka tiba dari Sri Lanka untuk melakukan upacara bersejarah tersebut, yang berlangsung di sebuah Sima yang ditahbiskan khusus untuk keperluan acara tersebut. Pertengahan bulan April adalah nyala lilin terakhir dalam hidupnya. Ketika kondisinya menjadi semakin serius, muridnya Devapriya Valisinha dipanggil dari Kalkuta, dokternya Dr. Nandy tiba, disusul beberapa hari kemudian keponakannya Raja Hewavitarne datang dari Sri Lanka. Yang Mulia Dharmapāla kini berada dalam cengkeraman rasa sakit yang luar biasa, tidak mempunyai keinginan untuk hidup lebih lama lagi. Berkali-kali dia menolak minum obat, dengan mengatakan bahwa obat itu sia-sia bagi tubuhnya yang sudah renta: "Manfaatkan uangnya untuk pekerjaan Buddhis." Dia berulang kali mengulangi: "Biarkan aku segera mati, biarkan aku dilahirkan kembali, aku tidak bisa lagi memperpanjang penderitaanku. Aku ingin terlahir kembali dua-puluh-lima kali untuk menyebarkan Dharma Sang Buddha." Akhirnya, Sang Pengawal Dharma itu menutup mata untuk selamanya pada 29 April 1933 di Vihara Mulagandhakuti di Sarnath, Uttar Pradesh, India. Pada tahun 2014, India dan Sri Lanka mengeluarkan perangko untuk memperingati 150 tahun kelahiran Dhammapāla, bersamaan dengan Bank Sentral Sri Lanka mengeluarkan uang-koin peringatan. Di Kolombo, seruas jalan dinamai "Anagarika Dharmapala Mawatha" (artinya "Jalan Angarika Dharmapala") untuk menghormatinya, sebagai seorang pahlawan Sri Lanka.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/221018

 

Rabu, 04 Oktober 2023

VIHARA DAN KUIL


 

(Bagian Kedua dari Dua Tulisan)

 

 

Pada artikel yang lalu kita sudah membahas tempat sakral yang dilawankan dengan tempat profan. Tempat sakral yang diperkenalkan oleh Sang Buddha sendiri adalah ruang yang diperuntukkan bagi para siswa dan siswinya yang menjalani hidup bertapa, yang kita kenal dengan sebutan sīmā. Jika kita bertandang ke negara-negara Buddhis, kita mengenal keberadaan kuil yang dikenal sebagai Wat (dibaca sebagai "vat"). Wat berasal dari kata Pāḷi vāṭa, yang berarti "kandang". Sebuah kuil merupakan area sakral yang memiliki tembok pembatas, yang memisahkannya dari lingkungan luar yakni dunia profan. Wat juga dikenal sebagai kompleks candi yang terdiri dari beberapa bangunan seperti stupa, wihan, bot, dan bangunan lainnya yang dikelilingi oleh tembok. Sebuah stupa, wihan, dan bot umumnya dibangun terlebih dahulu. Setelah itu, tergantung pada kemampuan finansial dan jumlah bhikkhu, bangunan lain seperti sala, aula kitab suci, dan tempat tinggal para bhikkhu dapat didirikan sesudahnya. Di banyak kompleks candi Anda juga bisa menemukan sekolah, terutama di daerah pedesaan.

 

Bangunan yang paling sakral dalam sebuah wat adalah Ubosot atau Bot dalam istilah Thai. Ubosot atau aula pentahbisan adalah bangunan yang diperuntukkan khusus untuk pelaksanaan ritual pentahbisan bhikkhu atau upasampadā dan upacara ritual lainnya, seperti pembacaan Pāṭimokkha. Aula penahbisan terletak di dalam teritori atau sīmā, didefinisikan sebagai "ruang di mana semua anggota komunitas lokal harus berkumpul sebagai satu Sangha (atau samagga sangha), yang lengkap di tempat yang ditentukan untuk melakukan sanghakamma". Bot merupakan bangunan berbentuk persegi panjang dengan pintu masuk utama yang menghadap ke Timur. Di seberang pintu masuk utama terdapat arca Buddha-duduk yang diletakkan di atas alas yang dihias dengan eloknya. Biasanya dindingnya dihiasi mural Ramakien, epos India Ramayana versi Thailand, atau Jataka (kisah yang menceritakan tentang kehidupan lampau Sang Buddha). Dalam tradisi Thailand, teritori ubosot ditandai dengan delapan batu pembatas yang disebut bai sema, yang melambangkan sīmā. Bai sema berdiri di atas dan menandai luk nimit, yakni bola-batu yang terkubur di titik mata angin kompas. Garis imajiner yang ditarik antar bai sema yang berdekatan akan membentuk area suci. Bola-batu kesembilan, biasanya lebih besar, terkubur di bawah arca utama Buddha di ubosot.

 

Wihan, atau vihear (bahasa Khmer), berasal dari kata "vihara" (Sansk.) yang bermakna ruang pertemuan dan ruang sembahyang. Wihan sering kali terlihat seperti ubosot, hanya saja wihan tidak dikelilingi batu bai sema. Di wihan beberapa upacara Buddhis dilangsungkan, baik antara bhikkhu dengan umat berkeluarga, maupun upacara yang diselenggarakan oleh umat awam saja. Di dalam wihan arca Buddha disimpan. Orang-orang dari luar Wat datang ke wihan untuk bersembahyang. Bisa saja ada lebih dari satu wihan dalam satu Wat. Beberapa wihan dikelilingi oleh galeri yang berisikan sejumlah besar patung Buddha. Pada masa awal perkembangan agama Buddha, wihan dibangun untuk menyediakan tempat berlindung bagi para bhikkhu pengelana selama musim hujan.

 

Bangunan yang juga sakral dan penting di dalam sebuah Wat adalah Chedi (Thai, Laos) atau Chedei (Khmer); berasal dari kata chaitya (Sansk.), yang berarti kuil, dan di Indonesia dikenal dengan nama "Stupa" atau terkadang disebut "Pagoda". Awalnya, chedi berisi relik Sang Buddha, kemudian digunakan juga untuk menyimpan abu jenazah raja atau bhikkhu suci yang sangat dihormati. Chedi ditemukan dalam berbagai bentuk dan variasi, meskipun umumnya berbentuk kerucut. Gaya chedi yang paling banyak digunakan di Thailand adalah bentuk lonceng. Bentuk chedi kemungkinan besar berasal dari gundukan kuburan kuno.

 

Stupa terbesar di dunia adalah Phra Pathom Chedi, yakni sebuah Wat di pusat kota Nakhon Pathom, Provinsi Nakhon Pathom, Thailand. Phra Pathom Chedi merupakan stupa tertinggi di dunia. Puncak menaranya mencapai 120,45 meter, dengan keliling alas bundarnya berdiameter 235,50 meter. Phra Pathom Chedi bermakna stupa suci pertama, yang diberikan oleh raja Mongkut. Sejarawan modern percaya bahwa stupa tersebut adalah salah satu stupa utama di Nakhon Pathom Kuno, kota terbesar kerajaan Mon Dvaravati di daerah itu. Bangunan sakral tertinggi lainnya yang berada di Khmer adalah Angkor Wat, yang mulanya merupakan kuil Hindu dan belakangan menjadi monumen sakral Hindu-Buddha. Di Angkor Wat juga menjulang beberapa bangunan tinggi, yang semuanya menggambarkan Gunung Meru. Gunung Meru ini dikenal sebagai "pusat dunia" dalam kosmologi Hindu, Buddha, dan Jain. 

 

Mondop, berasal dari kata Mandapa (Sansk.) dan diindonesiakan sebagai "pendapa" atau "pendopo", adalah bentuk bangunan dalam arsitektur keagamaan tradisional Thailand yang menampilkan bangunan bujur sangkar atau persegi yang tertutup. Sedangkan di Indonesia pendopo biasanya terbuka pada keempat sisinya. Atap sebuah Mondop berbentuk piramida kasar bertingkat atau berlapis-lapis dengan puncak menara yang tinggi dan runcing, yang melambangkan Gunung Meru. Mondop adalah bangunan yang didedikasikan untuk memuja naskah-naskah suci atau benda keagamaan.

 

Bangunan suci berikutnya adalah Sala dan di Indonesia kita mengenal istilah "Dharmasala". Sala adalah kata Sanskerta yang berasal dari Atharvaveda, kemudian dalam berbagai bahasa India istilah sala berarti "rumah" dalam arti luas dan umum, juga dipakai untuk menyebut "kandang" tempat menyimpan ternak peliharaan. Sala adalah paviliun terbuka berbentuk persegi panjang, digunakan untuk berteduh dan beristirahat. Secara tradisional, sala di Thailand digunakan untuk tujuan memberikan jasa dan memberikan perlindungan bagi wisatawan yang lewat. Sala juga dapat ditemukan di luar Wat, seringkali di sepanjang jalan dan kanal, yang digunakan sebagai halte bus atau ruang tunggu penumpang perahu sungai.

 

Turunan kata sala mengacu pada banyak bangunan di negara-negara Buddhis. Sala Baley (Thai) atau "Sekolah Pali" atau "Sekolah Pendidikan Buddhis" adalah tempat untuk mengajarkan Buddha Dharma dan mata pelajaran lainnya dalam bahasa Pali dan bahasa setempat. Sala Baley dibagi menjadi tiga tingkatan, yakni Sekolah Dasar Buddhis, Sekolah Menengah Buddhis, dan Perguruan Tinggi Buddhis. Di Perguruan Tinggi Buddhis selain mengajarkan naskah-naskah Pali, juga diberikan mata pelajaran seperti filsafat, sains, teknologi informasi, bahasa Sansekerta, dan bahasa asing lainnya. Sekolah-sekolah ini boleh dibangun di luar wat dan orang awam juga diperbolehkan belajar di sana. Kemudian ada Sala Wat (Thai), yakni aula tempat orang-orang berkumpul untuk memberikan sumbangan atau untuk menyelenggarakan suatu upacara. Sala Kan Parian (Thai) atau ruang belajar; dulu aula ini hanya diperuntukkan bagi para bhikkhu.

 

Kuti adalah tempat tinggal para bhikkhu yang tinggal di dalam Wat. Kuti dapat muncul dalam berbagai ukuran dan bentuk. Secara tradisional, kuti adalah bangunan panggung yang sangat kecil dan berdiri sendiri. Saat ini, khususnya di perkotaan, kuti adalah sebuah ruangan kecil di sebuah gedung apartemen. Berdasarkan tradisi kuno di Thailand, kuti adalah sebuah bangunan kecil, dibangun di atas panggung, dirancang untuk menampung seorang bhikkhu. Ukurannya yang tepat ditentukan dalam Sanghathisep, Aturan 6, yakni ditetapkan 12 keub kali 7 keub (atau 4.013 dikalikan 2.343 meter). Ukuran kecil ini dimaksudkan untuk membantu perjalanan spiritual sang bhikkhu, guna mencegahnya menumpuk barang-barang material. Biasanya sebuah biara terdiri dari sejumlah bangunan yang dikelompokkan di teras bersama, baik dalam kelompok yang menghadap ke dalam atau disejajarkan dalam satu baris. Seringkali bagian bangunan untuk kuti ini mencakup bangunan terpisah, yang disebut Ho Trai, yang digunakan untuk menyimpan kitab suci. Struktur Ho Trai dapat ditemukan dalam berbagai ukuran dan gaya arsitektur. Secara tradisional Ho Trai adalah bangunan kayu panggung di atas kolam untuk mencegah masuknya segala jenis serangga, karena di masa lalu kitab suci Buddhis ditulis di atas daun palem kering.

 

Apakah ada tempat ibadah Buddhis di Indonesia yang kelengkapannya menyamai Wat yang terkemuka di Thailand? Menurut hemat penulis, Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya yang beralamat di Sunter, adalah yang paling mendekati dengan kriteria ini. Sebuah Ubosot dengan nama Uposathāgāra merupakan ruang yang paling sakral dan juga paling indah, yang terdapat dalam kompleks ini. Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya juga menyediakan sebuah dharmasala untuk puja bakti reguler, tempat tinggal bhikkhu atau kuti, dan sebuah gedung serba guna yang bernama Wisma Narada.

 

Setelah kita meninjau sebuah Wat yang memiliki berbagai bangunan di dalamnya, sekarang kita beralih membicarakan kuil. Kuil di sini dimaksudkan rumah ibadah yang diperuntukkan untuk kegiatan agama orang Tionghoa. Kelenteng adalah kata yang berasal dari Bahasa Indonesia, yang digunakan orang untuk menyebut keberadaan kuil ini. Dalam istilah Mandarin aslinya, kelenteng mempunyai banyak nama, sesuai dengan penyebutan orang-orang yang terlibat dengan kepercayaan asal mereka.

 

Penulis pada bulan Juni 2023 yang lalu mengikuti sebuah seminar di kawasan Kota Tua Jakarta, yang berjudul "Toasebio dan Kelenteng pada Umumnya" yang dibawakan oleh Ibu Greysia Susilo. Beliau adalah seorang arsitek interior dan mendalami arsitektur kelenteng yang ada di Indonesia. Obyek penelitiannya adalah kelenteng tua dan umur bangunannya paling tidak telah berusia lebih dari lima puluh tahun, berada di Jakarta dan sekitarnya, serta penelitiannya telah dilakukan semenjak tahun 2014.

 

Siapa pun yang pernah berkunjung ke kelenteng pasti memperoleh kesan bahwa rumah ibadah ini adalah bangunan yang bersifat kecina-cinaan. Ibu Greysia mengatakan bahwa jika kita melihat denah sebuah kelenteng, sebetulnya tidak ada perbedaan antara denah sebuah kelenteng dengan sebuah rumah rakyat biasa. Jadi kelenteng bisa diubah menjadi rumah, dan rumah dapat dijadikan kelenteng. Rumah ibadah lain seperti gereja, tentu tidak bisa diubah menjadi rumah tinggal, demikian juga sebaliknya. Yang menjadi penanda utama pada sebuah kelenteng adalah bagian gerbang depan. Gerbang biasanya terbuat dari dua buah tiang atau pilar dan sebuah balok-kaso, dengan tinggi yang monumental dan tidak perlu terlalu besar, yang penting adalah hiasan yang bertengger di atasnya. Lantai kelenteng merupakan satu podium yang lebih tinggi dibandingkan dengan halaman yang berada di luarnya. Perbedaan ketinggian diantisipasi dengan adanya tangga serta anak-tangga yang berjumlah ganjil. Di Tiongkok yang memiliki empat musim, lantai yang lebih tinggi berguna untuk menghindari dari ancaman banjir.

 

Denah kelenteng umumnya sederhana yakni berupa beberapa bentuk segi-empat atau bujur-sangkar yang bersebelahan. Seperti bangunan tradisional yang ada di Asia termasuk di Indonesia, dalam bangunan khas Tionghoa kuno tidak dikenal apa yang dinamakan koridor atau selasar. Jika ada koridor biasanya lorong tersebut menghubungkan rumah yang satu dengan rumah yang lain. Kemudian jika dilihat dari depan, kebanyakan kelenteng memiliki denah bangunan yang simetris. Selanjutnya salah satu ciri dalam rumah khas Tiongkok tidak lain keberadaan ruang terbuka atau dinamakan courtyard. Ruang terbuka ini bersifat privat dan digabungkan dengan adanya taman atau kebun.

 

Bangunan kelenteng umumnya terbuat dari struktur kayu, walaupun ada pilar yang menggunakan batu. Dalam pengerjaan bangunan, sepenuhnya mengandalkan keterampilan tukang kayu. Bagian-bagian struktur kayu disambung dengan bantuan pasak dan tiang atau dijepit; tidak dikenal sambungan menggunakan paku atau sekrup. Dengan demikian bangunan ini lebih tahan terhadap gempa bumi. Ada beberapa peneliti lain yang juga meneliti bangunan kelenteng, seperti Adhiwignyo & Handoko dalam Kajian Arsitektural dan Filosofis Budaya Tionghoa pada Kelenteng Jin De Yuan, Jakarta. Disebutkan bahwa keahlian pengrajin Tionghoa dalam membentuk ragam hias dan konstruksi kayu tidak pernah diragukan lagi. Ukir-ukiran pada konstruksi kayu merupakan bagian dari struktur bangunan pada arsitektur Tionghoa. Detail-detail konstruktif seperti penyangga atap, atau pertemuan tiang dan balok, bahkan rangka atapnya dibuat sedemikian indah sehingga tidak perlu ditutupi. Bahkan diperlihatkan telanjang, sebagai bagian dari keahlian pertukangan kayu yang piawai.

 

Bentuk atap kelenteng umumnya landai dan di Indonesia banyak ditemui atap pelana dengan tipe ujung berjurai lancip. Desain atap dihiasi oleh ornamen-ornamen, seperti sepasang naga yang sedang berusaha merebut "mutiara surgawi", atau hewan-hewan mitologis lainnya. Ornamen hiasan di atap atau yang ada di dalam bangunan memiliki warna-warna yang khas. Dalam budaya Tionghoa warna merah melambangkan api dan juga arah selatan, dan dipercaya membawa keberuntungan dan kemakmuran. Pilar, dinding, dan ornamen bangunan sering diberi warna merah. Warna kuning selain melambangkan kemakmuran, juga bermakna sikap optimis, panjang umur, dan kekayaan. Dalam aturan yang lebih ketat, pakaian berwarna kuning adalah busana kebesaran seorang kaisar, yang tidak pantas dikenakan oleh orang biasa. Warna biru mewakili unsur air juga menunjukkan arah timur. Warna biru melambangkan kedudukan dan jabatan, serta dipakai untuk mewarnai bagian atap dan dinding. Warna hijau merupakan simbol kayu dan mewakili rezeki yang melimpah. Elemen dekorasi, balok, dan braket di dalam kelenteng sering dicat dengan warna hijau. Demikianlah di kelenteng kita bisa menyaksikan warna-warna cerah pada seluruh bagian bangunannya.

 

Seperti simbol dinyatakan dengan warna pada satu bangunan sakral, demikian juga halnya dengan pratimā. Pratimā (Sansk.) mengacu pada "representasi" makhluk tertinggi, yang merupakan kemiripan dengan Yang Sakral. Pratimā terkadang diterjemahkan sebagai gambar atau arca. Yang Sakral di sini adalah Buddha sendiri, atau para Dewa / Dewi. Kelenteng merupakan tempat untuk meletakkan pratimā tersebut, dan memberikan kesempatan kepada para pemujanya untuk memberikan penghormatan dan persembahan.

 

Seperti yang pernah penulis pada artikel sebelumnya, kebanyakan kelenteng di Indonesia merupakan kelenteng campuran. Agama orang Tionghoa adalah agama yang berorientasi fungsional, tempat para Dewa (dan Dewi) dari berbagai kepercayaan dikelompokkan menjadi satu sistem universal. Unsur-unsur utama dalam agama ini adalah: Konfusianisme, Taoisme, Buddhisme, Monisme, dan beberapa kepercayaan rakyat lainnya yang tidak dapat dianggap mewakili doktrin tertentu, seperti halnya pemujaan leluhur. Masing-masing unsur bisa berlaku sendiri-sendiri dan mempunyai lembaga formalnya masing-masing, namun di tingkat rakyat jelata semuanya itu menjadi satu. Filosofi dan keyakinan tersebut memberikan landasan yang kuat dalam membentuk karakter dan perilaku umatnya. Mereka tidak pernah berdebat dan membandingkan antara filsafat yang satu dengan doktrin yang lain. Mereka menerima semuanya.

 

Claudine Salmon dan Denys Lombard dalam bukunya Kelenteng-kelenteng dan Masyarakat Tionghoa di Jakarta (Yayasan Cipta Loka Caraka, 1985), menyusun secara rinci 72 buah kelenteng yang ada di Jakarta. Mereka berdua mulai melacak dari kelenteng tertua yakni Jin De Yuan atau Vihara Dharma Bhakti yang berdiri sejak tahun 1650, yang terletak di Kawasan Petak Sembilan, Jakarta Barat. Dalam Bab III: Ikonografi, keduanya mendapatkan ada 115 Dewa-Dewi yang terdapat di semua kelenteng di atas. Sebagian dari mereka berwujud arca atau patung. Ada pula yang digambar pada kertas atau kaca. Ada pula yang disebut pada papan-arwah berterakan nama mereka, dan ada pula yang tampak pada makam atau nisan mereka. Salmon dan Lombard kemudian menggolongkan Dewa-Dewi itu dalam beberapa kelompok besar. Hasilnya mungkin menarik untuk Anda sekalian ketahui. Ada 16 untuk Dewa-Dewi Buddhis; 38 untuk Dewa-Dewi Taois yang disembah hampir di seluruh Daratan Tiongkok; 31 untuk Dewa-Dewi Taois yang dihormati di Propinsi Fujian dan Guangdong; 1 untuk Dewa Konfusius; 23 untuk Dewa-Dewi yang dipuja menurut kultus setempat; serta 6 Dewa-Dewi yang diambilalih dari tradisi Hinduisme dan Buddhisme Theravada.

 

Pada waktu menghadiri seminar di atas penulis berkesempatan pula bersembahyang di Kelenteng Toasebio tersebut. Penulis mempersembahkan dupa pada altar masing-masing Dewa-Dewi yang dipuja di tempat sakral itu. Jumlah Dewa-Dewi di Kelenteng itu sekitar dua-puluh tokoh. Ada Dewa yang namanya pun masih asing bagi penulis, dan tentu saja hal ini menjadi tantangan bagi penulis dan umat lainnya untuk mengenal dan mempelajari asal-usul mereka semua.

 

 

(Tamat)

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/231004