Rabu, 20 September 2023

VIHARA DAN KUIL


 

(Bagian Pertama dari Dua Tulisan)

 

 

Salah satu pertanyaan yang menggelitik untuk diajukan adalah, apa yang membedakan antara orang yang beragama dengan orang yang tidak beragama. Kemungkinan jawaban yang kita dengar: "Ya, orang yang beragama itu percaya Tuhan itu ada (atau percaya kepada Dewa atau entitas supranatural lainnya); sebaliknya yang tidak percaya adanya Tuhan alias atheis, dia itu tidak beragama."

 

Pendekatan lain perihal pemahaman terhadap orang beragama dengan orang yang tidak beragama, pernah penulis pelajari di bangku kuliah lebih dari empat dekade yang lalu. Jadi ini adalah pendekatan baru untuk membedakan apa yang dimaksud dengan orang yang beragama itu. Kurang lebih seratus tahun yang lalu, Rudolf Otto (25-Sep-1869 - 6-Mar-1937), seorang teolog Protestan dan pakar perbandingan agama, menulis sebuah buku berjudul Das Heilige, yang pertama kali diterbitkan tahun 1917. Buku ini cukup populer hingga dicetak berulang kali, serta sekarang telah diterjemahkan ke dalam 20 bahasa. Dalam bahasa Inggris, buku ini diterjemahkan sebagai The Idea of The Holy, atau Gagasan Tentang Yang Kudus. Alih-alih menjelaskan orang-beragama berkaitan dengan gagasan tentang Tuhan, Otto memakai sudut pandang berbeda, dengan menganalisis modalitas pengalaman beragama.

 

Otto sendiri menamakan Das Heilige atau "Yang Kudus" atau "Yang Suci", atau "Yang Sakral", sebagai Numen dalam bahasa Latin, yang bermakna "Tuhan" atau "Dewa". Dia menjelaskan bahwa di antara orang beragama dengan Yang Sakral terjadi interaksi sebagai "pengalaman atau perasaan bukan-rasional, juga bukan-inderawi, dengan obyek utamanya itu bersifat langsung dan berada di luar diri." Lebih lanjut Otto mengemukakan bahwa Yang Sakral itu adalah suatu misteri, yang membuat kita gentar, gemetar, atau menimbulkan rasa takut, namun sekaligus membuat kita tertarik dan terpesona. Dalam bahasa Latinnya dikatakan pengalaman berinteraksi dengan Yang Sakral sebagai mysterium tremendum dan mysterium fascinosum.

 

Pengalaman dengan Numen juga memiliki kualitas pribadi di dalamnya, yang mana orang tersebut merasa berada dalam persekutuan dengan Yang Sakral. Otto melihat Yang Sakral sebagai satu-satunya pengalaman keagamaan yang mungkin terjadi. Beliau menyatakan: "Tidak ada agama yang didalamnya tidak hidup sebagai inti terdalam yang sebenarnya, dan tanpanya tidak ada agama yang layak menyandang nama tersebut." Manusia primitif melihat dan memuja Yang Sakral dalam wujud batu besar, pohon, atau bahkan langit malam yang dipenuhi bintang-bintang. Bagi mereka batu, pohon, atau langit malam adalah sebuah misteri yang menggentarkan atau menimbulkan rasa takut, tetapi juga membuat mereka tertarik karena obyek-obyek tersebut mempesona. Disebut mysterium atau misteri, karena Yang Sakral tidak dapat dipahami oleh mereka.

 

Jadi jelas bagi Otto, orang primitif itu adalah orang beragama meskipun mereka tidak mengenal atau percaya pada sosok Tuhan yang kita kenal sekarang. Dengan demikian beragama itu adalah memiliki pengalaman religius. Orang yang tidak punya pengalaman religius itu layak disebut tidak beragama. Sekarang apa yang dimaksud dengan "pengalaman religius" itu? Kita ambil contohnya orang yang memuja langit malam atau kosmos sebagai Yang Sakral. Pengalaman religius itu adalah pengalaman spesifik seperti rasa takjub terhadap ketakterhinggaan kosmos, rasa kagum atas misteri kehadiran yang sakral atau yang suci, rasa ketergantungan pada kuasa supranatural atau tatanan gaib, rasa bersalah dan cemas karena telah berbuat sesuatu yang tidak patut, keyakinan akan adanya penghakiman setelah kematian, atau perasaan damai setelah orang melakukan upacara pengurbanan kepada yang sakral. Pada agama-agama besar yang ada sekarang, kita melihat bahwa pengalaman religius itu adalah merealisasi sesuatu yang lebih luas, seperti ketika seorang yogi dikatakan "melihat" identitas dirinya yang menyatu dengan Brahman. Atau umat Buddha yang menyebut "melihat segala sesuatu sebagaimana adanya", sebagai salah satu ciri pencerahan sejati, yang berarti memahami atau menyadari kekosongan segala sesuatu.

 

Gagasan Rudolf Otto tentang pengalaman religius dan Yang Sakral dikembangkan lebih lanjut oleh Mircea Eliade (13-Mar-1907 - 22-Apr-1986). Eliade adalah seorang sejarawan-agamapenulis fiksi ,filsuf, dan profesor berkebangsaan Rumania yang mengajar di Universitas Chicago. Lewat bukunya The Sacred and The Profane, The Nature of Religion (1961), atau dialihbahasakan sebagai: Yang Sakral dan Yang Profan, Hakikat Agama-agama. Apa itu profan? Profan adalah lawan dari sakral. Orang beragama yang memiliki pengalaman religius melihat bahwa apa pun yang dialaminya, bisa berada dalam ranah profan atau ranah sakral. Sebaliknya orang yang tidak beragama menganggap kosmos dengan segala isinya adalah profan.

 

Bagi orang beragama, Yang sakral memanifestasikan dirinya dalam ruang dan waktu, sehingga ruang dan waktu itu sendiri menjadi indikasi bertahtanya Yang Sakral. Dalam tulisan kali ini penulis hanya akan membahas sakralitas ruang, sedangkan sakralitas waktu akan kita bahas dalam artikel yang akan datang. Apa itu tempat sakral? Tempat pemujaan, candi, kuil, vihara, pura, gereja, masjid, atau tempat peribadahan lainnya, secara simbolis ditandai sebagai tempat sakral atau lokasi yang suci. Tanda-tanda, seperti tiang atau pilar, balok, dan pagar yang membatasi kawasan itu sendiri memiliki makna simbolis yang sakral, yang sering kali dapat terlihat dari desain khususnya. Denah bangunan suci beserta orientasinya, dinding, atap, dan lengkungannya semuanya digunakan untuk melambangkan Yang Sakral.

 

Pembaca akan segera menyadari bahwa yang sakral dan yang profan adalah dua cara berada di dunia, dua situasi eksistensial yang akan dijalani oleh orang beragama semasa hidupnya. Sebaliknya bagi orang yang tidak beragama, kosmos adalah homogen dan ruang secara geometris adalah netral. Semua yang dihadapinya adalah ruang profan, tidak ada bagi dia yang namanya ruang sakral.

 

Tempat-tempat suci sering kali merupakan cerminan gambar alam semesta dan rancangannya serta mengambil bagian dalam kesuciannya. Seperti misalnya kubah gereja Kristen adalah simbol surga dan altar di dalamnya merupakan simbol Kristus. Untuk memasuki masjid umat harus membersihkan diri terlebih dahulu. Air wudhu disediakan untuk membasuh wajah dan kepala, kemudian telapak tangan hingga siku, dan telapak kaki hingga mata kaki; semuanya wajib dicuci sebelum orang memasuki tempat suci. Kayu dari kuil Shinto yang dibongkar, jika diizinkan dibawa ke rumah, menjadi hadiah yang sakral bagi penghuni rumah keluarga Jepang yang saleh.

 

Orang yang suka berkunjung ke vihara tentu akrab dengan kenyataan ini. Sebelum masuk ke area yang sakral, umat diminta untuk melepaskan alas kaki dan penutup kepala. Harus berpakaian sopan. Bagi pria tidak boleh memakai celana pendek, sedangkan wanita tidak diperkenankan memakai tanktop. Di dalam tempat sakral pun tidak boleh bicara keras-keras dan perilaku pun harus dijaga. Kebiasaan melepaskan alas kaki dan tidak mengenakan gaun yang terbuka umumnya berlaku di rumah ibadah Theravāda. Sewaktu penulis berkunjung ke Wat Pho, yakni Kuil Buddha Tidur, di Bangkok, pengelola menyediakan tas-jinjing agar setiap pengunjung bisa menyimpan dan membawa sendiri alas kaki yang dipakainya. Kemudian disediakan kain panjang yang dapat dipinjam, untuk menutupi bagian tubuh turis wanita yang memakai gaun yang terbuka. Setelah kunjungan usai, tas-jinjing dan kain panjang pun dikembalikan. Namun Anda tentu tidak perlu terpaku pada aturan tersebut. Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Tidak setiap rumah ibadah memberlakukan ketentuan seperti itu. Pada kuil-kuil Taois tertentu, alas kaki harus dipakai ketika memasuki area sakral, dan Anda diwajibkan memakai sepatu.

 

Sekarang bagaimana menentukan tempat sakral itu? Ini yang menjadi persoalan bagi masyarakat primitif sejak zaman prasejarah. Mereka membutuhkan tempat sakral untuk menetap, mendirikan bangunan suci, dan melangsungkan kegiatan sehari-hari. Bahkan pada agama kuno, seperti yang dikatakan oleh Eliade, kita akan segera melihat contoh yang lebih jelas lagi, bahwa tempat suci itu merupakan "pintu para dewa" dan karenanya merupakan tempat peralihan antara langit dan bumi.

 

Bagaimana masyarakat primitif mencari pertanda yang menjadi acuan ruang sakral itu?

"When no sign manifests itself, it is provoked. For example, a sort of evocation is performed with the help of animals; it is they who show what place is fit to receive the sanctuary or the village. This amounts to an evocation of sacred forms or figures for the immediate purpose of establishing an orientation in the homogeneity of space. A sign is asked, to put an end to the tension and anxiety caused by relativity and disorientation-in short, to reveal an absolute point of support. For example, a wild animal is hunted, and the sanctuary is built at the place where it is killed. Or a domestic animal – such as a bull – is turned loose; some days later it is searched for and sacrificed at the place where it is found. Later the altar will be raised there and the village will be built around the altar. In all these cases, the sacrality of a place is revealed by animals. This is as much as to say that men are not free to choose the sacred site, that they only seek for it and find it by the help of mysterious signs." Terjemahannya: "Ketika tidak ada tanda yang muncul, maka mereka merasa terprovokasi. Untuk mencari jalan keluarnya dilakukan dengan bantuan hewan. Jadi hewanlah yang akan menunjukkan tempat mana yang cocok untuk dijadikan tempat suci, atau dusun tempat mereka akan tinggal nanti. Ini memenuhi pemunculan bentuk atau figur sakral untuk tujuan sesaat, guna menetapkan orientasi di tengah homogenitas ruang. Sebuah pertanda diminta untuk ditunjukkan, guna mengakhiri ketegangan dan kecemasan yang disebabkan oleh relativitas dan disorientasi yang mereka alami, demi mengungkapkan titik dukungan absolut. Contohnya, bisa ditunjukan oleh hewan liar yang diburu, dan tempat perlindungan dibangun di tempat hewan tersebut dibinasakan. Atau seekor hewan domestik – seperti misalnya seekor kerbau – dilepaskan. Lalu beberapa hari kemudian si kerbau dicari dan hewan malang itu dikurbankan di tempat dimana dia ditemukan. Selanjutnya mereka akan mendirikan altar di sana dan sebuah dusun akan dibangun di sekitar altar tersebut. Pada kasus-kasus ini, kesakralan suatu tempat diwahyukan oleh hewan. Jadi bisa dikatakan bahwa orang tidak bebas memilih situs suci. Yang mereka lakukan hanya mencarinya dan menemukannya, melalui bantuan tanda-tanda misterius. (Mircea Eliade, The Sacred and The Profane - The Nature of Religion, hal. 27-28).

 

Mencari tempat sakral itu tidak sukar bagi suku atau masyarakat primitif, karena wilayah yang mereka tempati itu merupakan lahan yang tidak bertuan. Jadi mudah saja bagi mereka untuk meng-klaim bahwa lahan yang ditunjukkan oleh hewan tersebut lantas dijadikan sebagai tanah milik mereka. Ketika zaman berubah dan kerajaan-kerajaan terbentuk, tidak mudah bagi masyarakat primitif untuk mendapatkan lahan sekehendak hati mereka, karena seluruh lahan sudah menjadi milik penguasa atau raja tertentu. Tetapi kebiasaan ini terus berlanjut. Lahan yang ingin dijadikan situs suci, yang di dalamnya akan didirikan ruang-pemujaan dan tempat mereka tinggal, harus disakralkan dengan menanam kepala hewan. Tradisi menanam kepala kerbau pada titik utama bangunan, yang dilakukan saat akan dimulainya pembangunan gedung (yakni pada saat peletakan batu pertama), masih bisa kita saksikan hingga hari ini.

 

Setelah kita membicarakan perihal ruang sakral atau tempat sakral secara umum, sampailah kita pada pembahasan apa yang dimaksud dengan tempat sakral menurut pandangan Buddhisme. Pembahasan yang akan penulis lakukan bersumber dari aturan Vinaya mazhab Theravāda dan buku komentarnya. Seperti yang kita ketahui, Sang Buddha sendiri memberikan prioritas pada kehidupan suci, yang dijalankan oleh laki-laki maupun perempuan yang memilih untuk meninggalkan kehidupan-berumah menuju kehidupan tanpa-rumah. Inilah komunitas berkumpulnya para bhikkhu, bhikkhuni, samanera, dan samaneri, yang kita namakan sebagai Sangha. Setiap kegiatan transaksional dalam komunitas tidak bisa diputuskan berdasarkan kehendak perorangan, namun harus disepakati oleh sidang yang dilakukan oleh Sangha. Apa yang dimaksud dengan Sangha dalam pengertian ini? Ketika Sang Buddha masih hidup, Sangha dalam pengertian ini adalah semua bhikkhu reguler yang memiliki afiliasi yang sama dalam wilayah atau sīmā, tempat pertemuan tersebut diadakan. Oleh karena itu, setiap kali Sangha bertemu untuk melakukan kegiatan transaksional, wilayah pertemuannya harus ditentukan dengan jelas. Kata sīmā kadang-kadang dialihbahasakan sebagai "batas" (boundary, Inggr.) namun terjemahan ini menimbulkan kebingungan ketika suatu badan-air, seperti sungai, tidak bisa dijadikan sebuah sīmā namun dapat bertindak sebagai garis batas untuk sebuah sīmā. Jadi lebih tepat sīmā diterjemahkan sebagai "teritori" atau "wilayah".

 

Teritori yang sah dapat berupa wilayah yang telah disahkan dengan benar melalui kesepakatan Sangha, atas wilayah yang ditentukan oleh batas-batas alam atau batas-batas politik. Istilah dalam Buku Komentar untuk kedua jenis teritori ini adalah: (1) baddha-sīmā, yakni teritori yang terikat; dan (2) abaddha-sīmā, teritori yang tidak terikat. Istilah "terikat" berasal dari idiom Kanonik umum. "Mengikat" suatu wilayah atau batas berarti menetapkan batas. Namun di sini merujuk secara khusus pada cara di mana Buku Komentar merekomendasikan penetapan batas-batas wilayah yang disahkan secara resmi. Penanda batas atau nimitta ditempatkan di sekeliling wilayah, dan sekelompok bhikkhu secara resmi menunjuk setiap penanda, berpindah dari satu penanda ke penanda berikutnya di sekeliling. Mereka meninggalkan garis batas di belakang mereka, seperti merentangkan tali imajiner, berjalan lurus dari satu penanda ke penanda berikutnya. Akhirnya, mereka kembali ke penanda pertama dan secara resmi menetapkannya sekali lagi. Sedemikian sehingga garis batas dibawa kembali ke titik awal, dan mereka menyelesaikan tindakan "mengikat" wilayah di dalam garis batas.

 

Teritori yang terbentuk dari rangkaian tali imajiner ini berbentuk poligon atau segi-banyak, seperti segi-empat, segi-tiga, trapesium, segi-enam, dua buah atau tiga buah segi-empat dengan sebuah segi-empat berada di dalam segi-empat yang lebih besar, dan lain sebagainya. Anda para pembaca yang tertarik pada desain sīmā ini bisa mencarinya di mesin pencari Google dengan memasukkan kata kunci: "ticīvara-avippavāsa". Teritori yang membentuk sīmā ini masih dipakai untuk membatasi area sakral atau ritual di negara-negara Buddhis, seperti yang bisa kita saksikan di Sri Lanka, Thailand, Myanmar, Khmer, dan Laos. Sīmā umumnya  terlihat di banyak pagoda di Khmer, sering kali berbentuk batu berbentuk daun, terkadang dengan hiasan relief atau karakter, dan ditempatkan di titik mata angin dan antar mata angin yang mengelilingi area suci. Batu-batu yang dipahat dan diukir secara artistik adalah salah satu keajaiban seni Khmer, dan sangat layak untuk diapresiasi dan dilestarikan.

 

Sang Buddha sendiri mengizinkan Sangha untuk menentukan luas wilayah sesuai keinginan mereka, namun luas tersebut dibatasi oleh ukuran minimum dan maksimum. Dilarang menetapkan sebuah sīmā yang sangat kecil sehingga tidak dapat menampung dua puluh satu bhikkhu yang duduk dalam jarak satu lengan yang direntangkan, yang dipisahkan satu sama lain. Mengapa beliau melarang sebuah sīmā yang sangat kecil sehingga tidak dapat menampung dua puluh satu bhikkhu? Hal ini mudah dipahami karena sanghakamma (atau keputusan atau tindakan yang dibuat oleh Sangha), memerlukan jumlah bhikkhu terbanyak, dua puluh, untuk menetapkan abbhāna. Abbhāna artinya prosedur yang dirancang untuk menyatukan kembali seorang bhikkhu yang telah dimurnikan sepenuhnya dari sanghādisesa-āpatti, yakni atas pelanggaran-pelanggaran yang telah diakuinya . Prosedur ini memungkinkan untuk menerima dia kembali sepenuhnya dalam komunitas dan menganggap statusnya sama seperti para bhikkhu lainnya. Jika dihitung dengan menghadirkan bhikkhu yang bersalah itu, jumlahnya adalah dua puluh satu bhikkhu. Sīmā yang terlalu kecil tidak cukup luas untuk melaksanakan abbhāna.

 

Sang Buddha pun melarang Sangha untuk menetapkan sīmā yang lebih besar dari tiga yojana. Jadi sīmā yang lebih kecil atau lebih besar dari ketentuan ini adalah cacat, tidak sah, dan tidak dapat digunakan. Satu yojana kurang lebih sepanjang sepuluh mil atau enam-belas kilometer. Jadi tiga yojana sama dengan empat-puluh-delapan kilometer, yakni ukuran yang panjang sekali.

 

Pada tahun-tahun awal Buddhisme berkembang, ada kecenderungan untuk mengesahkan teritori yang luas, mencakup beberapa biara dan terkadang bahkan seluruh kota. Tujuannya adalah untuk menciptakan rasa afiliasi yang luas. Para bhikkhu mempunyai kesempatan untuk bertemu langsung dengan komunitas-bhikkhu yang lebih besar secara teratur. Pemberian bantuan apa pun yang diberikan oleh para donatur untuk teritori yang luas tersebut akan dibagikan kepada semua orang. Namun, wilayah yang luas menimbulkan kesulitan tersendiri. Pertama-tama, ada kesulitan untuk memastikan bahwa, selama pertemuan, tidak ada bhikkhu tak dikenal yang memasuki wilayah tersebut, sehingga membatalkan transaksi apa pun yang dilakukan pada pertemuan tersebut. Dan jika ada kasus seperti seorang bhikkhu yang dalam keadaan sakit, tidak dapat memberikan persetujuannya dan dia harus menghadiri pertemuan tersebut (karena dia sudah berada di wilayah tersebut), maka pertemuan tersebut harus diadakan di hadapannya. Ini bukan masalah besar jika hanya ada satu bhikkhu yang sedang sakit, tapi akan menjadi masalah jika terdapat lebih dari satu bhikkhu yang juga sedang sakit di lokasi yang berjauhan. Untuk menghindari kesulitan-kesulitan ini, kecenderungan yang ada sejak sebelum masa Buku Komentar ditulis, adalah mengesahkan teritori-teritori yang lebih kecil, yang hanya mencakup sebagian wilayah biara.

 

Ada contohnya dalam Mahāvamsa, kronik sejarah Sri Lanka. Dikatakan bahwa Raja Devānampiyatissa mengizinkan Sangha untuk menentukan wilayah Anurādhapura sebagai sīmā, sehingga dia dapat tetap berada di dalam lahan Sangha. Dalam Kanon Pāli disebutkan tentang banyak vihara (avāsa) dalam satu sīmā. Berdasarkan contoh-contoh di atas, dapat dipahami bahwa Sangha tidak memegang hak kepemilikan atas teritori yang ditentukannya. Sangha hanya berwenang dalam pelaksanaan tugas keagamaan, seperti misi keagamaan yang dilakukan pada saat itu. Di negara-negara yang memberi izin, mereka bisa menjalankan urusannya di bagiannya sendiri, tanpa peduli dengan perpolitikan yang terjadi dalam kerajaan itu.

 

 

(Bersambung)

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/230920

 



Rabu, 06 September 2023

MENIKAH ATAU TETAP MELAJANG?





Peradaban Barat yang dikenal sekarang sebenarnya bermula di daerah Mediterania lebih dari 2.600 tahun yang lalu. Adalah orang-orang Yunani Kuno yang memulai tradisi menggunakan daya akal mereka untuk memecahkan masalah-masalah yang menggelitik rasa ingin tahu manusia. Dalam zaman keemasan yang dikaruniai oleh munculnya manusia-manusia yang mampu melahirkan pemikiran-pemikiran besar itu, lahirlah seorang pemikir ulung yang bernama Sokrates.

 

Sokrates (Σωκράτης, atau Socrates (Inggr.), 470 - 399 s.M) hidup di Athena ketika polis atau negara-kota tumbuh di wilayah yang sekarang ini dinamakan Yunani. Setelah mempelajari bahasa dan kesusasteraan Yunani, serta aritmatika, geometri, dan astronomi, Sokrates muda mengabdikan dirinya sebagai tentara Athena. Ia ikut berperang ketika negaranya berperang melawan Sparta, negara jiran Athena. Setelah perang usai Sokrates bekerja sebagai pematung, meneruskan bakat dan pekerjaan ayahnya. Memasuki usia paruh baya, Sokrates berganti halauan dari perupa fisik manusia menjadi pembentuk watak manusia. Meskipun layak disebut filsuf, Sokrates tidak hidup menyendiri demi studinya atau membuka sekolah maupun menerima murid. dia hanya berbincang atau berdialog. "Mengoceh tiada henti", demikian para musuhnya mengejeknya.

 

Pagi dinihari ia sudah berjalan kaki di seputar Athena dan menjelang siang ia sudah berada diantara meja dan kios di pasar, saat orang banyak berkumpul untuk berbelanja. Tempat ini dinamakan agora, sebuah ruang publik di tengah kota, tempat warga kota bertemu satu sama lain. Selain merupakan lokasi berdagang, di sini warga berdiskusi tentang berbagai topik menyangkut politik dan pemikiran filsafat. Serelah berdialog dengan lawan bicaranya, menurut Xenophon, Sokrates mengingatkan pula kepada yang hadir pentingnya melaksanakan kebajikan yang umum dianut oleh masyarakat Athena pada masa itu, seperti pengendalian diri, kesederhanaan, kesalehan, bakti kepada orang tua, cinta persaudaraan, kesetiakawanan, dan masih banyak lagi. Cicero berkata, bila filsafat sebelumnya banyak membahas hakekat alam semesta, Sokrates mampu "membawa filsafat dari langit ke bumi". Bagi Sokrates, pertanyaan mengenai hakekat manusia, kewajiban manusia, dan kebahagiaan manusia adalah pertanyaan yang paling penting dan paling bermanfaat bagi masyarakat.

 

Sokrates memiliki banyak pengagum, menarik minat besar dari masyarakat Athena, khususnya kalangan pemuda Athena. Secara fisik Sokrates itu tidak menarik. Dia memiliki hidung rata, mata belo, dan perut besar. Socrates tidak peduli pada kesenangan materi, termasuk penampilan dan kenyamanan pribadinya. Dia mengabaikan kebersihan pribadi, jarang mandi, berjalan tanpa alas kaki, dan hanya memiliki satu mantel yang sudah compang-camping. Dia mengatur pola makan, minum, dan aktivitas kehidupan seksnya, meskipun dia tidak melakukan pantangan sepenuhnya.

 

Sokrates pada usia paruh baya itu mempunyai seorang isteri yang bernama Xanthippe (abad ke-5 hingga abad ke-4 seb.M.). Dengan wanita ini, Sokrates memiliki 3 orang putera, dan perbedaan usia di antara keduanya hampir terpaut 40 tahun. Wanita ini seorang yang cerewet dan pemberang. Sekali waktu Sokrates baru pulang dan isterinya yang sedang kesal menumpahkan seember air ke atas kepalanya. Orang tua yang bijak ini tidak marah melainkan dengan tersenyum berkata, "engkau baik sekali, isteriku. Tahu aku sedang kepanasan kau guyur aku dengan air". Lain waktu Sokrates tampak murung dan sewaktu sahabatnya bertanya apa yang membuatnya sedih, Sokrates berkata ia tidak menemukan isterinya di rumah. Temannya heran, bukankah Sokrates semestinya senang. Sokrates hanya menjawab : "Justru itulah kawan, hari ini aku kehilangan kesempatan untuk mempraktikkan kesabaranku".

 

Kita tidak tahu kondisi kehidupan keluarga Sokrates, Xanthippe, dan ketiga puteranya, karena tidak ada narasumber yang menceritakan hal itu. Sokrates bermukim dekat dengan kerabat ayahnya, dan juga mewarisi sebagian peninggalan ayahnya, sehingga membebaskan kehidupannya dari masalah keuangan. Sokrates pun seorang veteran perang, yang mendapat penghargaan dari negaranya. Bahkan diketahui orang bahwa Sokrates menikah dua kali. Tidak jelas apakah Xanthippe ini adalah isterinya yang pertama atau yang kedua. Berkenaan dengan tabiat isterinya – Xanthippe – yang berbuat kasar terhadap suaminya, terlontar kata-kata yang diucapkan oleh Sokrates, dan ungkapan ini pun masih terkenal hingga hari ini: "Aku menyarankan engkau untuk menikah. Jika engkau mendapatkan isteri yang baik, kamu akan bahagia. Jika tidak, kamu akan menjadi seorang filsuf." Mungkin sewaktu mengucapkan kata-kata itu Sokrates sedang bergurau, karena orang tua ini cukup bahagia menjalani gaya hidup yang dipilihnya. Penulis pernah mendengar cerita berikut ini dari seseorang. Ketika ditanya apakah itu pernikahan, orang tersebut menjawab. "Lembaga pernikahan itu ibarat sebuah istana yang megah, sangat gemerlap dan berwarna-warni, dan segala kenikmatannya bisa terlihat orang dari luar. Banyak orang berbondong-bondong ingin memasukinya. Nah, setelah orang-orang itu memasukinya, ternyata baru ketahuan bahwa di dalam sana, banyak orang yang ingin segera ke luar." Penulis tertawa mendengar cerita itu, tetapi juga perasaan ini langsung terasa getir, setelah menyadari bahwa cerita ini sesuai dengan kenyataan.

Ajakan Sokrates agar orang – laki-laki atau perempuan – untuk menikah tentu masih relevan dengan apa yang kita alami di zaman modern ini. Meskipun perlu ditekankan bahwa jika kita beruntung kita akan bahagia. Namun jika tidak beruntung, terserah Anda para pembaca yang akan menafsirkannya. Namun petikan dari Sokrates itu juga jangan dibalik: "jika engkau tidak menikah, engkau tidak akan bahagia." Namun bagi mereka yang masih lajang, penulis pun berharap bahwa dengan menikah seseorang bisa meraih kebahagiaan.

Plato (
Πλάτων, Plátōn; 428/427 atau 424/423 - 348 seb.M.), seorang siswa Sokrates yang terkemuka, banyak meninggalkan tulisan, berkenaan dengan ajaran gurunya. Karena Sokrates tidak meninggalkan karya berupa tulisan, pemikiran Sokrates yang kita kenal sekarang kebanyakan berasal dari naskah-naskah yang ditulis oleh Plato. Plato bertanya kepada Sokrates tentang makna pernikahan. Sokrates menanggapinya dengan menyuruh Plato pergi ke hutan untuk menebang pohon yang paling besar dan paling kokoh. Plato mengikuti instruksi Sokrates, tetapi tidak membawa kembali pohon yang disebutkan oleh gurunya. Dia membawa pulang pohon lain yang bagus sebagai gantinya.

Sokrates bertanya kepadanya mengapa dia memilih pohon itu, dan Plato menjelaskan bahwa dia melihat beberapa pohon yang bagus, yang tumbuh di hutan itu. Dia memilih pohon itu yang dia bawa kembali, karena beranggapan pohon tersebut yang terbaik. Sokrates kemudian menegaskan: "Itulah arti pernikahan." Jadi apa yang dimaksud dengan "pernikahan" itu, dipandang dari pemikiran Sokrates? Jelas hikmah pernikahan atau perkawinan terletak pada pengambilan keputusan, dan memilih apa yang diyakini sebagai pilihan terbaik. Jika pria atau wanita yang akan menikah sudah memiliki satu orang calon pasangan, kemudian dia menimbang-nimbang apakah nanti jika menikah keduanya akan bahagia. Pada titik ini dia harus memutuskan apakah akan menikah, dan ini merupakan satu keputusan terbesar dalam hidupnya. Jika pria atau wanita yang akan menikah telah memiliki beberapa calon pasangan, hal yang sama harus dia lakukan pula. Pertama dia harus memutuskan dulu, siapa di antara mereka itu calon pasangan yang terbaik, persis seperti yang dilakukan Plato sewaktu memilih pohon di hutan. Selanjutnya proses pengambilan keputusan sama dengan kasus sebelumnya.

 

Lalu konteks sewaktu Plato menanyakan arti pernikahan kepada gurunya, situasi dan kondisi negara-kota di Yunani Kuno hampir sama dengan yang terjadi di Indonesia saat ini. Pernikahan adalah satu ikatan yang sakral, dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan setelah pernikahan dilangsungkan, pasangan itu akan membentuk satu keluarga seumur hidupnya. Jadi tidak bisa jika salah satu pihak atau kedua-duanya ingin ke luar dari ikatan pernikahan ini. Dengan demikian pernikahan adalah komitmen seumur hidup dari masing-masing pihak. Dan komitmen ini sebelumnya membutuhkan pertimbangan cermat, dan kemauan untuk membuat keputusan, tanpa kemungkinan untuk diralat atau dianulir di kemudian hari. Mengapa penulis katakan konteks yang kita bicarakan adalah yang dianut oleh masyarakat Indonesia secara umum. Mungkin ada perbedaan persepsi tentang makna pernikahan pada sebagian selebriti papan atas kita, yang hobinya kawin-cerai layaknya artis-artis Hollywood.

Dalam perjalanan hidup seorang anak manusia, ada masa orang itu paling mungkin untuk menikah. Lewat dari masa itu kemungkinan dia untuk menikah semakin kecil. Mungkin para pembaca pernah mendengar cerita ini dari sebuah kisah inspirasi di WhatsApp Group.

 

Demikianlah sekelompok anak-anak sekolah dasar sekali waktu diajak oleh gurunya pergi bertamasya ke sebuah taman bunga di luar kota. Sesampainya di sana, sang guru membuat sebuah permainan. Setiap anak akan melakukan perjalanan dari garis Start menuju lokasi terakhir tempat mereka berkumpul kembali, yang dinamakan garis Finish. Tujuan permainan ini, masing-masing anak akan berjalan sambil mengamati bunga yang menurut mereka paling bagus dan sangat mereka sukai. Setelah menemukan kuntum bunga terbaik, masing-masing dari mereka akan memetiknya, menyimpannya, dan terakhir menyerahkannya kepada gurunya.

 

Dalam melakukan perjalanan dari garis Start ke garis Finish ada aturan yang wajib dipatuhi oleh setiap peserta: (1) Peserta harus bergerak dengan arah maju; berbalik atau mundur tidak diperkenankan, (2) Hanya boleh memilih dan memetik satu kuntum bunga; serta dilarang membuang bunga yang telah dipilih dan memetik kembang lain sebagai gantinya. Anak-anak pun dengan gembira mengikuti perintah gurunya. Mereka dengan antusias berjalan melintasi kebun permai yang ditumbuhi oleh ribuan bunga. Sambil mengagumi eloknya bunga yang mereka temui dalam perjalanan itu, akhirnya masing-masing memutuskan untuk memetik kuntum bunga yang paling bagus menurut penilaian mereka.

 

Setelah semuanya tiba di garis Finish masing-masing peserta dengan bangga memperlihatkan bunga yang telah mereka petik ke hadapan gurunya. Sang guru memuji masing-masing anak dan meminta mereka meletakkan kuntum bunga yang telah dipetik di atas sebuah meja, yang telah disediakan di sana. Setelah hampir seluruh murid meletakkan kembang yang dipetik oleh mereka, sang guru mendapatkan peserta terakhir yang bernama si Polan, yang datang dengan tangan hampa. Sang guru bertanya: "Polan, mengapa engkau tidak membawa satu pun? Padahal banyak bunga yang indah di taman ini?" Dia pun menjawab: "Guru, benar banyak bunga yang elok di kebun ini, dan saya ingin memetik salah satu di antaranya. Saya berpikir pasti di depan saya masih banyak bunga yang lebih bagus, tetapi ternyata kebunnya sudah sampai pada tepinya. Jadi saya telah melewatkan dan mengabaikan peluang yang bagus sebelumnya."

 

Kisah itu mungkin pernah Anda baca dan saya ingin menjelaskan hikmah di balik cerita ini. Perjalanan anak-anak di taman bunga tidak lain merupakan perjalanan hidup kita. Bunga yang kita ambil adalah belahan jiwa yang telah kita pilih, yang kemudian kita jadikan pasangan hidup. Meskipun banyak bunga lain yang lebih bagus yang pernah kita temui, toh semua itu lewat begitu saja karena kita tidak berkomitmen atau kita tidak berdaya untuk mendapatkannya. Si Polan mewakili orang yang tidak menikah seumur hidupnya, meskipun mungkin dia pernah menjalin hubungan dengan seseorang. Garis Finish merupakan barrier imajiner berupa usia yang telah lanjut, atau hambatan psikologis ketika seseorang sudah kehilangan minat untuk memasuki kehidupan pernikahan.

 

Sekarang apa itu hambatan psikologis yang membuat seseorang menjadi tawar hatinya, sehingga memutuskan untuk tetap melajang hingga sisa usianya berakhir? Penulis akan memberikan contoh kasus. Tersebutlah seorang jejaka muda yang sedang menjalin hubungan asmara dengan seorang gadis yang rupawan. Mereka berdua telah berpacaran bertahun-tahun, dan tampaknya keduanya cocok satu sama lain. Sekali waktu pada hari ulang tahun si gadis, sang pemuda menghadiahkan sekotak kue tart kepada kekasihnya. Di sini mulai terjadi masalah, karena walaupun kue itu rasanya enak dan bentuk serta hiasannya bagus, namun ukuran kue-kue itu super-mini.

 

Orang dulu berkata: "Dari hal-hal yang kecil bisa timbul akibat yang besar." Nah, setelah saudaranya terutama para adik-adiknya mengetahui, bahwa sang kakak baru saja mendapatkan hadiah berupa kue-kue kecil, mereka jahil dan mengata-ngatai sang gadis. "Masa sang kekasih yang badannya besar hanya sanggup memberikan kue yang mungil?" Pada awalnya sang kakak tidak menggubris olok-olokan para saudaranya itu, tetapi lama kelamaan dia merasa jengkel juga. Nah, pada kesempatan bertemu lagi dengan kekasihnya, si gadis mulai uring-uringan. Mereka berdua pun bertengkar hebat. Tidak ada yang mau mengalah, dan keduanya mulai enggan bertemu satu sama lain. Pembicaraan yang dimediasi oleh orang tua masing-masing pun gagal membuahkan perdamaian. Lama setelah hubungan percintaan itu putus, kedua pihak masih tetap tidak bisa move on, serta si jejaka maupun si gadis menutup pintu hatinya untuk kehadiran kekasih yang baru. Terakhir beredar kabar, karena putus asa sang jejaka memutuskan untuk menjadi pastor atau bhikshu, dan mulailah sang gadis menangis dan meratapi nasibnya seumur hidupnya. Kasihan dan memang tragis!


Kita sudah sampai pada penghujung tulisan ini. Pada dasarnya menikah dan melajang itu lebih banyak ditentukan pada individu itu sendiri. Dialah yang akan memutuskannya. Termasuk tentu saja melajang dulu hingga umur mencapai usia paruh baya, lalu kemudian memutuskan untuk menikah. Lalu apa keuntungan dan kerugian antara menikah dengan melajang? Jelas menikah memiliki keuntungan untuk saling berbagi dalam kehidupan ini, dan kemudian bisa mendapatkan keturunan. Tetapi melajang memberi peluang kepada individu kebebasan menggapai mimpi-mimpi mereka, serta tidak usah memiliki komitmen kepada siapa pun juga.

 

Lalu mana yang lebih membahagiakan? Menikah atau melajang? Menurut sebuah studi terkini, individu yang telah menikah cenderung lebih sejahtera dan bahagia secara keseluruhan dibandingkan mereka yang masih lajang. Ini merupakan kesimpulan studi yang diterbitkan dalam Journal of Happiness Studies, yang mana peneliti mengumpulkan data dari dua survei di Inggris untuk mendapatkan temuan mengenai manfaat perkawinan. Pertama, peneliti utama Shawn Grover dan John Helliwell dari Vancouver School of Economics di Kanada, menganalisis data dari 30.000 orang antara tahun 1991 dan 2009, untuk mengetahui bagaimana kepuasan hidup secara keseluruhan di Inggris. Mereka juga melihat Survei Kependudukan Tahunan antara tahun 2011 dan 2013, dari 328 ribu orang Inggris yang mengungkapkan perbedaan kebahagiaan antara penduduk yang sudah menikah dan yang belum menikah untuk semua kelompok usia. Setelah melakukan analisis terhadap kedua data tersebut, peneliti menemukan bahwa pernikahan secara signifikan meningkatkan kepuasan hidup, terutama bagi mereka yang telah berusia lanjut (lihat di https://www.suara.com/health/2017/12/23/091657/studi-orang-menikah-lebih-bahagia-dibandingkan-lajang)

 

Menutup tulisan ini, penulis berpesan kepada kaum muda yang masih melajang. Jika sudah memiliki kemampuan keuangan yang memadai serta mempunyai kesiapan mental, maka segeralah memilih pasangan dan menikahlah. Jika Anda beruntung Anda akan bahagia, namun jika tidak Anda bisa menjadi seorang filsuf. Ha-ha-ha !!!

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/230906