(Bagian Pertama dari Dua Tulisan)
Salah satu pertanyaan yang menggelitik
untuk diajukan adalah, apa yang membedakan antara orang yang beragama dengan
orang yang tidak beragama. Kemungkinan jawaban yang kita dengar: "Ya,
orang yang beragama itu percaya Tuhan itu ada (atau percaya kepada Dewa atau
entitas supranatural lainnya); sebaliknya yang tidak percaya adanya Tuhan alias
atheis, dia itu tidak beragama."
Pendekatan lain perihal pemahaman
terhadap orang beragama dengan orang yang tidak beragama, pernah penulis
pelajari di bangku kuliah lebih dari empat dekade yang lalu. Jadi ini adalah
pendekatan baru untuk membedakan apa yang dimaksud dengan orang yang beragama
itu. Kurang lebih seratus tahun yang lalu, Rudolf Otto (25-Sep-1869 - 6-Mar-1937), seorang teolog Protestan dan pakar
perbandingan agama, menulis sebuah buku berjudul Das Heilige, yang
pertama kali diterbitkan tahun 1917. Buku ini cukup populer hingga dicetak
berulang kali, serta sekarang telah diterjemahkan ke dalam 20 bahasa. Dalam
bahasa Inggris, buku ini diterjemahkan sebagai The Idea of The Holy,
atau Gagasan Tentang Yang Kudus. Alih-alih menjelaskan orang-beragama
berkaitan dengan gagasan tentang Tuhan, Otto memakai sudut pandang berbeda,
dengan menganalisis modalitas pengalaman beragama.
Otto sendiri menamakan Das Heilige
atau "Yang Kudus" atau "Yang Suci", atau "Yang
Sakral", sebagai Numen dalam bahasa Latin, yang bermakna
"Tuhan" atau "Dewa". Dia menjelaskan bahwa di antara orang
beragama dengan Yang Sakral terjadi interaksi sebagai "pengalaman atau
perasaan bukan-rasional, juga bukan-inderawi, dengan obyek utamanya itu
bersifat langsung dan berada di luar diri." Lebih lanjut Otto mengemukakan
bahwa Yang Sakral itu adalah suatu misteri, yang membuat kita gentar, gemetar,
atau menimbulkan rasa takut, namun sekaligus membuat kita tertarik dan
terpesona. Dalam bahasa Latinnya dikatakan pengalaman berinteraksi dengan Yang
Sakral sebagai mysterium tremendum dan mysterium fascinosum.
Pengalaman dengan Numen juga
memiliki kualitas pribadi di dalamnya, yang mana orang tersebut merasa berada
dalam persekutuan dengan Yang Sakral. Otto melihat Yang Sakral sebagai
satu-satunya pengalaman keagamaan yang mungkin terjadi. Beliau menyatakan:
"Tidak ada agama yang didalamnya tidak hidup sebagai inti terdalam yang
sebenarnya, dan tanpanya tidak ada agama yang layak menyandang nama
tersebut." Manusia primitif melihat dan memuja Yang Sakral dalam wujud
batu besar, pohon, atau bahkan langit malam yang dipenuhi bintang-bintang. Bagi
mereka batu, pohon, atau langit malam adalah sebuah misteri yang menggentarkan
atau menimbulkan rasa takut, tetapi juga membuat mereka tertarik karena
obyek-obyek tersebut mempesona. Disebut mysterium atau misteri, karena
Yang Sakral tidak dapat dipahami oleh mereka.
Jadi jelas bagi Otto, orang primitif
itu adalah orang beragama meskipun mereka tidak mengenal atau percaya pada
sosok Tuhan yang kita kenal sekarang. Dengan demikian beragama itu adalah
memiliki pengalaman religius. Orang yang tidak punya pengalaman religius itu
layak disebut tidak beragama. Sekarang apa yang dimaksud dengan
"pengalaman religius" itu? Kita ambil contohnya orang yang memuja
langit malam atau kosmos sebagai Yang Sakral. Pengalaman religius itu adalah pengalaman spesifik seperti rasa takjub terhadap
ketakterhinggaan kosmos, rasa kagum atas misteri kehadiran yang sakral atau
yang suci, rasa ketergantungan pada kuasa supranatural atau tatanan gaib, rasa
bersalah dan cemas karena telah berbuat sesuatu yang tidak patut, keyakinan
akan adanya penghakiman setelah kematian, atau perasaan damai setelah orang
melakukan upacara pengurbanan kepada yang sakral. Pada agama-agama besar yang
ada sekarang, kita melihat bahwa pengalaman religius itu adalah merealisasi
sesuatu yang lebih luas, seperti ketika seorang yogi dikatakan
"melihat" identitas dirinya yang menyatu dengan Brahman. Atau umat
Buddha yang menyebut "melihat segala sesuatu sebagaimana adanya",
sebagai salah satu ciri pencerahan sejati, yang berarti memahami atau menyadari
kekosongan segala sesuatu.
Gagasan Rudolf Otto tentang pengalaman religius dan Yang Sakral
dikembangkan lebih lanjut oleh Mircea Eliade (13-Mar-1907 - 22-Apr-1986). Eliade
adalah seorang sejarawan-agama, penulis fiksi ,filsuf,
dan profesor berkebangsaan Rumania yang mengajar di Universitas Chicago.
Lewat bukunya The Sacred and The Profane, The Nature of Religion (1961),
atau dialihbahasakan sebagai: Yang Sakral dan Yang Profan, Hakikat
Agama-agama. Apa itu profan? Profan adalah lawan dari sakral. Orang
beragama yang memiliki pengalaman religius melihat bahwa apa pun yang
dialaminya, bisa berada dalam ranah profan atau ranah sakral. Sebaliknya orang
yang tidak beragama menganggap kosmos dengan segala isinya adalah profan.
Bagi orang beragama, Yang sakral memanifestasikan dirinya dalam
ruang dan waktu, sehingga ruang dan waktu itu sendiri menjadi indikasi
bertahtanya Yang Sakral. Dalam tulisan kali ini penulis hanya akan membahas
sakralitas ruang, sedangkan sakralitas waktu akan kita bahas dalam artikel yang
akan datang. Apa itu tempat sakral? Tempat pemujaan, candi, kuil, vihara, pura,
gereja, masjid, atau tempat peribadahan lainnya, secara simbolis ditandai
sebagai tempat sakral atau lokasi yang suci. Tanda-tanda, seperti tiang
atau pilar, balok, dan pagar yang membatasi kawasan itu sendiri memiliki makna
simbolis yang sakral, yang sering kali dapat terlihat dari desain
khususnya. Denah bangunan suci beserta orientasinya, dinding, atap, dan
lengkungannya semuanya digunakan untuk melambangkan Yang Sakral.
Pembaca akan segera menyadari bahwa yang sakral dan yang profan
adalah dua cara berada di dunia, dua situasi eksistensial yang akan dijalani
oleh orang beragama semasa hidupnya. Sebaliknya bagi orang yang tidak beragama,
kosmos adalah homogen dan ruang secara geometris adalah netral. Semua yang
dihadapinya adalah ruang profan, tidak ada bagi dia yang namanya ruang sakral.
Tempat-tempat suci sering kali merupakan cerminan gambar alam
semesta dan rancangannya serta mengambil bagian dalam kesuciannya. Seperti
misalnya kubah gereja
Kristen adalah simbol surga dan altar di dalamnya merupakan simbol Kristus. Untuk memasuki masjid
umat harus membersihkan diri terlebih dahulu. Air wudhu disediakan untuk
membasuh wajah dan kepala, kemudian telapak tangan hingga siku, dan telapak
kaki hingga mata kaki; semuanya wajib dicuci sebelum orang memasuki tempat
suci. Kayu dari kuil Shinto yang dibongkar, jika diizinkan dibawa ke
rumah, menjadi hadiah yang sakral bagi penghuni rumah keluarga Jepang yang
saleh.
Orang yang suka berkunjung ke vihara
tentu akrab dengan kenyataan ini. Sebelum masuk ke area yang sakral, umat
diminta untuk melepaskan alas kaki dan penutup kepala. Harus berpakaian sopan.
Bagi pria tidak boleh memakai celana pendek, sedangkan wanita tidak
diperkenankan memakai tanktop. Di dalam tempat sakral pun tidak boleh
bicara keras-keras dan perilaku pun harus dijaga. Kebiasaan melepaskan alas
kaki dan tidak mengenakan gaun yang terbuka umumnya berlaku di rumah ibadah Theravāda.
Sewaktu penulis berkunjung ke Wat Pho, yakni Kuil Buddha Tidur,
di Bangkok, pengelola menyediakan tas-jinjing agar setiap pengunjung bisa
menyimpan dan membawa sendiri alas kaki yang dipakainya. Kemudian disediakan
kain panjang yang dapat dipinjam, untuk menutupi bagian tubuh turis wanita yang
memakai gaun yang terbuka. Setelah kunjungan usai, tas-jinjing dan kain panjang
pun dikembalikan. Namun Anda tentu tidak perlu terpaku pada aturan tersebut.
Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Tidak setiap rumah ibadah
memberlakukan ketentuan seperti itu. Pada kuil-kuil Taois tertentu, alas kaki
harus dipakai ketika memasuki area sakral, dan Anda diwajibkan memakai sepatu.
Sekarang bagaimana menentukan tempat sakral itu? Ini yang menjadi
persoalan bagi masyarakat primitif sejak zaman prasejarah. Mereka membutuhkan
tempat sakral untuk menetap, mendirikan bangunan suci, dan melangsungkan
kegiatan sehari-hari. Bahkan pada agama kuno, seperti yang dikatakan oleh
Eliade, kita akan segera melihat contoh yang lebih jelas lagi, bahwa tempat
suci itu merupakan "pintu para dewa" dan karenanya merupakan tempat
peralihan antara langit dan bumi.
Bagaimana masyarakat primitif mencari pertanda yang menjadi acuan
ruang sakral itu?
"When no sign
manifests itself, it is provoked. For example, a sort of evocation is performed
with the help of animals; it is they who show what place is fit to receive the
sanctuary or the village. This amounts to an evocation of sacred forms or
figures for the immediate purpose of establishing an orientation in the
homogeneity of space. A sign is asked, to put an end to the tension and anxiety
caused by relativity and disorientation-in short, to reveal an absolute point
of support. For example, a wild animal is hunted, and the sanctuary is built at
the place where it is killed. Or a domestic animal – such as a bull – is turned
loose; some days later it is searched for and sacrificed at the place where it
is found. Later the altar will be raised there and the village will be built
around the altar. In all these cases, the sacrality of a place is revealed by
animals. This is as much as to say that men are not free to choose the sacred
site, that they only seek for it and find it by the help of mysterious signs." Terjemahannya: "Ketika tidak ada tanda yang muncul,
maka mereka merasa terprovokasi.
Untuk mencari jalan keluarnya dilakukan dengan bantuan hewan. Jadi
hewanlah yang akan menunjukkan tempat mana yang cocok
untuk dijadikan tempat suci, atau dusun tempat mereka akan tinggal
nanti. Ini memenuhi pemunculan bentuk atau figur sakral untuk tujuan sesaat, guna menetapkan orientasi di
tengah homogenitas
ruang. Sebuah pertanda diminta untuk
ditunjukkan, guna mengakhiri
ketegangan dan kecemasan yang
disebabkan oleh relativitas dan disorientasi yang mereka alami, demi mengungkapkan titik dukungan absolut. Contohnya, bisa
ditunjukan oleh hewan liar yang
diburu, dan tempat perlindungan dibangun di tempat hewan tersebut dibinasakan. Atau seekor hewan domestik – seperti
misalnya seekor kerbau – dilepaskan. Lalu
beberapa hari
kemudian si kerbau dicari dan hewan malang itu dikurbankan di
tempat dimana dia ditemukan. Selanjutnya
mereka akan mendirikan altar di sana dan sebuah dusun akan dibangun di sekitar altar
tersebut. Pada kasus-kasus ini, kesakralan suatu tempat diwahyukan oleh hewan. Jadi bisa dikatakan bahwa orang tidak bebas memilih
situs suci. Yang mereka lakukan hanya mencarinya dan menemukannya, melalui
bantuan tanda-tanda misterius. (Mircea Eliade, The Sacred and The Profane - The Nature
of Religion, hal. 27-28).
Mencari tempat sakral itu tidak sukar bagi suku atau masyarakat
primitif, karena wilayah yang mereka tempati itu merupakan lahan yang tidak
bertuan. Jadi mudah saja bagi mereka untuk meng-klaim bahwa lahan yang
ditunjukkan oleh hewan tersebut lantas dijadikan sebagai tanah milik mereka.
Ketika zaman berubah dan kerajaan-kerajaan terbentuk, tidak mudah bagi
masyarakat primitif untuk mendapatkan lahan sekehendak hati mereka, karena
seluruh lahan sudah menjadi milik penguasa atau raja tertentu. Tetapi kebiasaan
ini terus berlanjut. Lahan yang ingin dijadikan situs suci, yang di dalamnya
akan didirikan ruang-pemujaan dan tempat mereka tinggal, harus disakralkan
dengan menanam kepala hewan. Tradisi menanam kepala kerbau pada titik utama
bangunan, yang dilakukan saat akan dimulainya pembangunan gedung (yakni pada
saat peletakan batu pertama), masih bisa kita saksikan hingga hari ini.
Setelah kita membicarakan perihal ruang sakral atau tempat sakral
secara umum, sampailah kita pada pembahasan apa yang dimaksud dengan tempat
sakral menurut pandangan Buddhisme. Pembahasan yang akan penulis lakukan
bersumber dari aturan Vinaya mazhab Theravāda dan buku
komentarnya. Seperti yang kita ketahui, Sang Buddha sendiri memberikan
prioritas pada kehidupan suci, yang dijalankan oleh laki-laki maupun perempuan
yang memilih untuk meninggalkan kehidupan-berumah menuju kehidupan tanpa-rumah.
Inilah komunitas berkumpulnya para bhikkhu, bhikkhuni, samanera, dan samaneri,
yang kita namakan sebagai Sangha. Setiap kegiatan transaksional dalam komunitas
tidak bisa diputuskan berdasarkan kehendak perorangan, namun harus disepakati
oleh sidang yang dilakukan oleh Sangha. Apa yang dimaksud dengan Sangha dalam
pengertian ini? Ketika Sang Buddha masih hidup, Sangha dalam pengertian ini
adalah semua bhikkhu reguler yang memiliki afiliasi yang sama dalam wilayah atau
sīmā, tempat pertemuan tersebut diadakan. Oleh karena itu, setiap kali Sangha
bertemu untuk melakukan kegiatan transaksional, wilayah pertemuannya harus
ditentukan dengan jelas. Kata sīmā kadang-kadang dialihbahasakan sebagai
"batas" (boundary, Inggr.) namun terjemahan
ini menimbulkan kebingungan ketika suatu badan-air, seperti sungai, tidak bisa dijadikan
sebuah sīmā namun dapat bertindak sebagai garis batas untuk sebuah sīmā.
Jadi lebih tepat sīmā diterjemahkan sebagai "teritori" atau "wilayah".
Teritori yang sah dapat
berupa wilayah yang telah disahkan dengan benar melalui kesepakatan Sangha, atas wilayah yang ditentukan oleh batas-batas alam atau batas-batas
politik. Istilah dalam Buku
Komentar untuk kedua jenis teritori ini adalah: (1) baddha-sīmā, yakni
teritori yang terikat; dan (2)
abaddha-sīmā, teritori yang tidak terikat. Istilah "terikat" berasal
dari idiom Kanonik umum. "Mengikat" suatu wilayah atau batas berarti menetapkan
batas. Namun di sini merujuk secara khusus pada cara
di mana Buku Komentar merekomendasikan penetapan batas-batas wilayah
yang disahkan secara resmi. Penanda batas atau nimitta ditempatkan di
sekeliling wilayah, dan sekelompok bhikkhu secara resmi menunjuk setiap
penanda, berpindah dari satu penanda ke penanda berikutnya di sekeliling.
Mereka meninggalkan garis batas di belakang
mereka, seperti merentangkan tali imajiner,
berjalan lurus dari satu penanda ke penanda berikutnya. Akhirnya, mereka
kembali ke penanda pertama dan secara resmi menetapkannya sekali lagi.
Sedemikian sehingga garis
batas dibawa kembali ke titik awal, dan mereka menyelesaikan tindakan "mengikat" wilayah di
dalam garis batas.
Teritori yang terbentuk dari rangkaian tali imajiner ini berbentuk
poligon atau segi-banyak, seperti segi-empat, segi-tiga, trapesium, segi-enam,
dua buah atau tiga buah segi-empat dengan sebuah segi-empat berada di dalam
segi-empat yang lebih besar, dan lain sebagainya. Anda para pembaca yang
tertarik pada desain sīmā ini bisa mencarinya di mesin pencari Google
dengan memasukkan kata kunci: "ticīvara-avippavāsa". Teritori yang membentuk sīmā
ini masih dipakai untuk membatasi area sakral atau ritual di negara-negara
Buddhis, seperti yang bisa kita saksikan di Sri Lanka, Thailand, Myanmar,
Khmer, dan Laos. Sīmā umumnya terlihat di banyak pagoda di Khmer, sering
kali berbentuk batu berbentuk daun, terkadang dengan hiasan relief atau
karakter, dan ditempatkan di titik mata angin dan antar mata angin yang
mengelilingi area suci. Batu-batu yang dipahat dan diukir
secara artistik adalah
salah satu keajaiban seni Khmer, dan sangat layak untuk diapresiasi dan
dilestarikan.
Sang Buddha
sendiri mengizinkan Sangha untuk menentukan luas wilayah sesuai
keinginan mereka, namun luas
tersebut dibatasi oleh ukuran minimum dan maksimum.
Dilarang menetapkan sebuah sīmā yang sangat kecil
sehingga tidak dapat menampung dua puluh satu bhikkhu yang duduk dalam jarak satu
lengan yang
direntangkan, yang dipisahkan satu sama lain.
Mengapa beliau melarang sebuah sīmā
yang sangat kecil sehingga tidak dapat menampung dua puluh satu bhikkhu? Hal
ini mudah dipahami karena sanghakamma (atau keputusan atau
tindakan yang dibuat oleh Sangha), memerlukan
jumlah bhikkhu terbanyak, dua puluh, untuk menetapkan abbhāna. Abbhāna artinya prosedur yang dirancang
untuk menyatukan kembali seorang bhikkhu yang telah dimurnikan sepenuhnya dari sanghādisesa-āpatti,
yakni atas pelanggaran-pelanggaran yang telah diakuinya . Prosedur ini
memungkinkan untuk menerima dia kembali sepenuhnya dalam komunitas dan
menganggap statusnya sama seperti para bhikkhu lainnya. Jika dihitung dengan menghadirkan bhikkhu yang bersalah itu, jumlahnya adalah
dua puluh satu bhikkhu. Sīmā
yang terlalu kecil tidak cukup luas untuk melaksanakan abbhāna.
Sang Buddha pun melarang Sangha untuk menetapkan sīmā yang
lebih besar dari tiga yojana. Jadi sīmā yang lebih kecil atau lebih besar dari ketentuan ini adalah cacat,
tidak sah, dan tidak
dapat digunakan. Satu yojana kurang lebih sepanjang sepuluh mil atau
enam-belas kilometer. Jadi tiga yojana sama dengan empat-puluh-delapan
kilometer, yakni ukuran yang panjang sekali.
Pada tahun-tahun awal Buddhisme
berkembang, ada
kecenderungan untuk mengesahkan teritori yang luas, mencakup beberapa biara dan terkadang bahkan
seluruh kota. Tujuannya adalah untuk menciptakan rasa afiliasi yang luas. Para
bhikkhu mempunyai kesempatan untuk bertemu langsung dengan komunitas-bhikkhu yang lebih besar secara teratur. Pemberian bantuan apa pun yang diberikan oleh para
donatur untuk teritori yang luas tersebut akan dibagikan kepada semua orang. Namun, wilayah yang luas menimbulkan
kesulitan tersendiri. Pertama-tama, ada kesulitan untuk memastikan bahwa,
selama pertemuan, tidak ada bhikkhu tak dikenal yang memasuki wilayah tersebut,
sehingga membatalkan transaksi apa pun yang dilakukan pada pertemuan tersebut.
Dan jika ada kasus seperti seorang bhikkhu yang dalam keadaan sakit, tidak dapat memberikan persetujuannya dan dia harus menghadiri pertemuan tersebut (karena dia sudah berada di wilayah tersebut), maka pertemuan tersebut harus diadakan di
hadapannya. Ini bukan masalah besar jika hanya ada satu bhikkhu yang
sedang sakit, tapi akan
menjadi masalah jika terdapat lebih dari satu bhikkhu yang
juga sedang sakit di lokasi yang berjauhan. Untuk menghindari
kesulitan-kesulitan ini, kecenderungan yang ada sejak sebelum masa Buku
Komentar ditulis, adalah mengesahkan teritori-teritori yang lebih kecil, yang hanya mencakup sebagian wilayah biara.
Ada contohnya dalam Mahāvamsa,
kronik sejarah Sri Lanka. Dikatakan bahwa Raja Devānampiyatissa mengizinkan Sangha untuk menentukan wilayah Anurādhapura
sebagai sīmā, sehingga dia dapat tetap berada di dalam lahan Sangha. Dalam Kanon Pāli disebutkan tentang banyak vihara (avāsa)
dalam satu sīmā. Berdasarkan contoh-contoh di atas, dapat
dipahami bahwa Sangha tidak
memegang hak kepemilikan atas teritori yang ditentukannya. Sangha hanya berwenang dalam pelaksanaan tugas keagamaan, seperti misi keagamaan yang
dilakukan pada saat itu. Di negara-negara yang memberi izin, mereka bisa
menjalankan urusannya di bagiannya sendiri, tanpa peduli dengan perpolitikan yang terjadi dalam kerajaan itu.
(Bersambung)
sdjn/dharmaprimapustaka/230920