Kamis, 24 Agustus 2023

DARI LǍO ZǏ KE TAOISME


 

(Bagian Kedua dari Dua Tulisan)

 

 

Dalam tulisan kami terdahulu, Zhāng Dào Líng dikenang oleh para pengikutnya sebagai pendiri dari Dào Jiào (道教) atau agama Dào (). Setelah dia meninggal dunia penerusnya adalah keturunannya, seperti tradisi yang dilestarikan oleh para kaisar Tiongkok. Sekolah atau aliran yang diwarisi dari Zhāng Dào Líng dikenal sebagai Zhèng Yī Dào (正一道), atau dikenal sebagai Jalan Persatuan Ortodoks. Aliran Ortodoks ini mengacu pada Jalan Lima Takar Beras (五斗米道, Wǔ Dǒu Mǐ Dào) atau Jalan Guru Surgawi. Pada puncaknya, gerakan ini membentuk negara teokratis di lembah Hànzhōng (汉中), sebelah utara Sìchuān (四川). Pada tahun 215 M., negara tersebut diintegrasikan oleh Cáo Cāo (曹操), salah satu tokoh terkemuka dari Zaman "Tiga Kerajaan", ke dalam apa yang kemudian menjadi Kerajaan Wèi (), dan sejak itu pengikut-pengikut Guru Surgawi tersebar ke seluruh Daratan Tiongkok.

 

Zhèng Yī Dào percaya bahwa ( atau) atau "energi kehidupan" meliputi segala sesuatu, dan untuk mencapai keabadian keseimbangan yang benar harus ada di dalam tubuh manusia. Memiliki kuantitas yang buruk di dalam tubuh, akan mengakibatkan penyakit, dan akhirnya kematian. Meditasi dapat digunakan untuk mengembalikan ke tubuh, tetapi seks harus dihindari, karena dapat mengakibatkan hilangnya . Setelah Zhāng Dào Líng wafat pada 156 M., puteranya Zhāng Héng (張衡, meninggal tahun 179 M.) dinobatkan sebagai penerusnya, dan kemudian dilanjutkan oleh cucunya Zhāng Lǔ (张鲁, meninggal 215 M.). Pemimpin Sekolah Guru Surgawi yang ke-64 adalah Zhāng Yuán Xiān (張源先, 1971-2008), tetapi digugat oleh Zhang Daochen, seorang Taiwan yang mengaku juga sebagai Guru Surgawi yang ke-64. Jabatan Guru Surgawi ini sering disebut sebagai Paus Taois. Berkat adanya aliran Zhèng Yī Dào ini, ajaran Tao mulai diperkenalkan kepada kalangan rakyat biasa, dan Taoisme bangkit sebagai agama yang terorganisir pertama. Guru Surgawi adalah nenek moyang dari gerakan Taois berikutnya seperti yang akan kita lihat nanti.

 

Era Enam Dinasti (316–589) menyaksikan munculnya dua tradisi Tao baru. Yang pertama adalah Sekolah Shàng Qīng (上清), yang artinya Kemurnian Tertinggi. Gerakan Taois ini bermula dari kalangan aristokrasi Dinasti Jìn (晉) Barat. Pemimpin pertama sekolah itu adalah seorang wanita, Wèi Huá Cún (魏華存, 251-334), yang juga seorang praktisi Guru Surgawi. Menurut penulis kisah orang-orang suci, pengabdian Puan Wèi pada kultivasi Taois sangat mengesankan sejumlah dewata, sehingga dia banyak menerima wahyu dari mereka berupa 31 jilid kitab suci Taois, yang mana wahyu ini kelak akan menjadi pondasi Sekolah Taoisme Shàng Qīng. Setelah wafat, Wèi Huá Cún diangkat sebagai patriarkh pertama Sekolah Shàng Qīng. Belakangan patriarkh kesembilan, Táo Hóng Jǐng (陶弘景, 456–536), seorang pria, menyusun teori dan praktik Kanon Shàng Qīng. Dia memberikan kontribusi besar pada pengembangan sekolah yang berlangsung menjelang akhir abad ke-5. Gunung dekat Nanjing tempat Táo Hóng Jǐng mengasingkan diri, Máo Shān (茅山), saat ini tetap menjadi pusat Sekolah Shàng Qīng.

 

Ajaran Sekolah Shàng Qīng memfokuskan pada teknik meditasi visualisasi dan pernapasan, serta latihan fisik; berlawanan dengan penggunaan alkimia dan jimat yang dilakukan oleh Sekolah lainnya. Pembacaan kanon suci memainkan peran yang sama pentingnya. Latihan ini pada dasarnya bersifat individualistis, bertentangan dengan latihan kolektif di Sekolah Guru Surgawi atau Sekolah Líng Bǎo, yang akan kita bicarakan kemudian. Dewa utama Sekolah Shàng Qīng dikenal sebagai Yuánshǐ Tiānzūn, yang pertama dari Tiga Yang Suci (Sān Qīng). Lalu dikenal sejumlah besar dewata, di antaranya dewa-dewa yang dapat dimintai pertolongan, dewa-dewa yang dapat dipuja, dan dewa-dewa lain yang dapat diperintah. Seperti yang dijelaskan oleh Táo Hóng Jǐng, dewata menempati dua puluh delapan halaman dalam naskah Shàng Qīng, tetapi dewa terpenting hampir tidak disebutkan. Dalam perekrutan umat, pengikut Shàng Qīng umumnya berasal dari kelas sosial atas, selama masa pemerintahan Dinasti Táng. Shàng Qīng adalah aliran Taoisme yang dominan, dan pengaruhnya ditemukan dalam literatur pada periode zaman tersebut. Pamor Shàng Qīng mulai berkurang sejak paruh kedua zaman Dinasti Sòng. Di bawah Dinasti Yuán, gerakan ini dikenal dengan nama Máo Shān dan fokusnya berubah dari meditasi menjadi ritual dan jimat. Pada abad ke-21, Taoisme Máo Shān masih dipraktikkan, tetapi teknik dan keyakinannya saat ini berbeda dari nilai-nilai asli sekolah tersebut.

 

Aliran atau Sekolah yang lahir tidak lama setelah Shàng Qīng adalah Líng Bǎo Pài (灵宝派), juga dikenal sebagai Sekolah Permata Suci. Líng Bǎo adalah aliran agama Tao yang penting, yang muncul di Tiongkok di antara masa Dinasti Jìn dan Dinasti Liú Sòng, pada awal abad kelima Masehi. Sekolah ini berlangsung selama sekitar dua ratus tahun sampai terserap ke dalam arus Shàng Qīng dan Zhèng Yī selama masa pemerintahan Dinasti Táng. Sekolah Lingbao menerapkan sintesis ide-ide keagamaan berdasarkan teks Shàng Qīng, ritual Guru Surgawi, dan praktik Buddhisme.

 

Sekolah Líng Bǎo dimulai sekitar tahun 400 M ketika kitab Lingbao diturunkan kepada Gé Cháo Fǔ (葛巢甫, hidup antara abad ke-4 hingga abad ke-5 Masehi), cucu-keponakan dari Gé Hóng. Hóng (葛洪, 283 – 343/364 M.) sendiri adalah tokoh besar di Tiongkok. Beliau adalah seorang ahli bahasa Mandarin, praktisi Tao, filsuf, dokter, politikus, dan penulis selama masa Dinasti Jìn Timur. Beliau adalah penulis Esai Karakter Mandarin, Baopuzi (抱朴子). Gé Cháo Fǔ menyebarkan kitab suci kepada dua muridnya, dan kitab suci tersebut dengan cepat mendapatkan popularitas yang luar biasa.

 

Seperti disebutkan di atas, Sekolah Líng Bǎo men-sintesa-kan ide-ide keagamaan berdasarkan naskah-naskah Shàng Qīng, ritual Guru Surgawi, dan praktik Buddhisme. Sekolah Líng Bǎo meminjam banyak konsep dari Buddhisme, termasuk konsep reinkarnasi, dan juga beberapa elemen kosmologis. Meskipun reinkarnasi adalah konsep penting di Sekolah Líng Bǎo, kepercayaan Taois sebelumnya untuk mencapai keabadian tetap ada. Dewa-dewa yang dipuja dalam aliran Líng Bǎo ini mirip dengan Shàng Qīng dan Guru Surgawi, dengan salah satu dewa terpentingnya adalah bentuk dewa Lǎo Zǐ. Dewa-dewa lain juga ada, beberapa di antaranya bertugas mempersiapkan roh untuk reinkarnasi. Ritual Líng Bǎo awalnya bersifat individual, namun kemudian mengalami transformasi yang lebih menekankan pada ritus-kolektif. Kitab suci terpenting di Sekolah Líng Bǎo dikenal sebagai Lima Jimat atau Wǔ Fú Jīng (五符經), yang disusun oleh Gé Cháo Fǔ berdasarkan karya alkimia Gé Hóng sebelumnya.

 

Abad ke-5 di Tiongkok juga dikenal sebagai periode yang membesarkan Taoisme, yang akan memberikan landasan bagi pengembangannya lebih lanjut. Tersebutlah Lù Xiū Jìng (陸修靜, 406–477), dikenal dengan nama kesopanan Yuán Dé (元德) dan nama anumerta Jiǎn Jì (簡寂). Lù adalah seorang penyusun dan ritualis Tao yang hidup di bawah Dinasti Liú Sòng. Lù sendiri memiliki keyakinan terhadap Konfusianisme, namun demikian, dia memilih mempelajari Taoisme. Lù begitu habis-habisan mengabdi pada keyakinannya sampai-sampai dia meninggalkan keluarganya. Selama tahun-tahun ziarahnya ke berbagai gunung tempat berdiamnya para tokoh Taoisme yang terkenal, Lù berkesempatan mengumpulkan kitab suci dari berbagai aliran.

 

Karya Lù yang paling penting adalah edisi naskah-naskah Líng Bǎo dan kompilasi Kanon Tao komprehensif yang pertama. Struktur kanon itu disebut  Katalog Kitab Suci Tiga Goa atau disingkat Tiga Goa, yang nama aslinya adalah 三洞经书目录 (Sāndòng Jīngshū Mùlù), yang meniru Tripiṭaka atau Tiga Keranjang Buddhisme. Tiga Goa berisi total 1.318 teks, jimat, dan resep obat. Sebanyak 138 di antaranya diwariskan Lu dari istana kekaisaran. Tiga Goa ini kelak akan disempurnakan menjadi Dào Zàng (道藏) pada masa pemerintahan Dinasti Táng. Livia Kohn dalam bukunya Daoism Handbook (2000), menyebutkan bahwa "para tokoh Taois mengintegrasikan aspek kosmologi Buddhis, pandangan dunia, kitab suci, dan praktik, serta menciptakan banyak koleksi naskah-naskah Tao baru yang meniru sutra-sutra Buddhis. Lù juga menata ulang aktivitas ritual tradisi Tao saat itu, menetapkan serangkaian liturgi baru, yang mana pembaharuannya akan mempengaruhi praktik Tao hingga hari ini. Periode ini juga menyaksikan perkembangan doktrin Tiga Yang Suci, yang menggabungkan dewa-dewa tinggi dari berbagai tradisi Tao menjadi satu trinitas bersama, yang tetap dianut hingga saat ini. Selama abad keenam, penganut Taoisme berusaha menyatukan berbagai tradisi hingga menjadi satu Taoisme Terpadu, yang dapat bersaing dengan Buddhisme dan Konfusianisme.

 

Taoisme Terpadu yang baru, sekarang dengan identitas Tao yang bersatu, memperoleh status resmi di Tiongkok pada masa pemerintahan Dinasti Táng, yakni dinamakan Agama Tao atau 道教 (Dào Jiào). Masa keemasan Taoisme juga diraih pada zaman Dinasti Táng, yang dipimpin oleh Patriarkh Sekolah Permata Suci, yang menjadi agama yang dominan di Tiongkok. Bukan itu saja, para kaisar menjadi patron pelindung Agama Tao. Mereka mengundang para rohaniwan ke istana untuk melakukan ritual dan meningkatkan prestise penguasa. Pada masa pemerintahan Kaisar Tài Zōng (太宗, 598-649) di abad ke-7, dibangun "Kuil Lima Naga", yakni kuil pertama yang dibangun di Pegunungan Wǔdāng Shān (武当山). Wǔdāng Shān belakangan akan menjadi pusat utama Taoisme dan rumah bagi seni bela diri Wǔdāng Quán (武當拳). Penerus Kaisar Tài Zōng, yakni Kaisar Gāo Zōng (高宗, 628-683) bahkan menetapkan agar Dào Dé Jīng karya Lǎo Zǐ, dan bukan karya-karya klasik yang dikumpulkan oleh Kǒng Zǐ, yang dijadikan subyek pelajaran dalam ujian kekaisaran bagi para calon pejabat. Kaisar Xuán Zōng (玄宗,685-732) juga seorang Taois yang setia banyak menulis berbagai karya Taois, dan menurut Livia Kohn, "sering bertemu dengan guru senior, spesialis ritual, penyair Tao, dan patriark resmi, seperti Sima Chengzhen."

 

Demikian pula beberapa abad kemudian, para kaisar Dinasti Sòng (960–1279), terutama Kaisar Huī Zōng (徽宗, 1082-1135), aktif dalam mempromosikan Taoisme, mengumpulkan naskah-naskah Tao, dan menerbitkan edisi terbaru Dào Zàng. Zaman Sòng menyaksikan kitab suci baru dan gerakan baru para ritualis dan ritus Tao. Ritus yang paling populer adalah Ritus Guntur atau Léi Fǎ (雷法) yang mampu membangkitkan Departemen Guntur-Surgawi. Ini adalah suatu jenis praktik ritual baru (sering kali disebut Buddho-Daois), sebagian besar bersifat pengusir iblis untuk mendapatkan perlindungan, yang pada akhirnya akan dimasukkan ke dalam tradisi Taois klasik. Praktisi Ritus Guntur adalah anggota ortodoksi Taois yang sudah mapan, yang disebut sebagai ahli ritual atau Fǎ S(法師). Pengetahuan Esoterik Buddha pada Dinasti Sòng tersebar luas sehingga tidak hanya menyebar dari "istana ke negara", tetapi bahkan kembali ke istana lagi. Ritus Guntur diajarkan oleh Sekolah Hati Surgawi atau Tiānxīn Pài (天心派).

 

Pada abad ke-12, Sekolah Quán Zhēn (全真) atau Kesempurnaan Lengkap didirikan di Tiongkok Utara pada tahun 1170 di bawah Dinasti Jīn (1115–1234), oleh filsuf dan sastrawan Wáng Chóng Yáng (王重阳 ,1113–1170). Quán Zhēn bersaing dengan tradisi agama Tao sebelumnya yang menyembah "hantu dan dewa". Quán Zhēn memfokuskan diri pada transformasi batin, pengalaman mistik, monastisisme, dan asketisme. Quán Zhēn berkembang pada abad ke-13 dan ke-14 dan pada masa Dinasti Yuán. Aliran Quán Zhēn bersifat sinkretis, menggabungkan unsur-unsur Buddhisme dan Konfusianisme dengan tradisi Tao. Menurut Wáng, "tiga ajaran" – yakni Buddhisme, Konfusianisme, Taoisme "jika diselidiki, terbukti hanya merupakan satu aliran". Quán Zhēn kelak menjadi sekolah Tao terbesar dan terpenting di Tiongkok ketika Guru Qiū C Jī (丘处机) bertemu dengan Genghis Khan yang akhirnya menjadikannya pemimpin semua agama Tiongkok, serta membebaskan lembaga Quán Zhēn dari kewajiban pembayaran pajak.

 

Sekolah Quán Zhēn memfokuskan spesialisasi pada proses "alkimia di dalam tubuh" atau Nèidān Shù (內丹), sering diterjemahkan sebagai Nèidān atau "alkimia internal". Lawannya adalah Wàidān (外丹) atau "alkimia eksternal", yang bereksperimen dengan konsumsi tumbuh-tumbuhan, mineral, dan lain-lain. Tradisi Wàidān sebagian besar telah digantikan oleh Nèidān, karena Wàidān terkadang merupakan aktivitas yang berbahaya dan mematikan. Quán Zhēn berfokus pada pengembangan internal seseorang yang konsisten dengan hasrat Tao, yang meresap untuk mencapai Wú Wèi (無爲). Seperti kebanyakan pengikut Tao, rohaniwan Quán Zhēn sangat memperhatikan umur panjang dan keabadian melalui penerapan alkimia internal, menyelaraskan diri dengan Tao, mempelajari Lima Elemen, dan gagasan tentang keseimbangan yang konsisten dengan teori Yīn dan Yáng.

 

Di bawah Dinasti Míng (1368–1644), aspek ajaran Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme Tiongkok secara sadar disintesis dalam aliran Neo-Konfusianisme, yang akhirnya menjadi ortodoksi Kekaisaran untuk tujuan birokrasi negara. Pada masa ini bangkit Sekolah Jìng Míng Dào (淨明道) atau diterjemahkan sebagai Iluminasi Murni menjadi kian populer, yang menggabungkan Taoisme dengan ajaran Buddha dan Konfusianisme, serta berfokus pada "kemurnian, kejelasan, kesetiaan, dan kesalehan berbakti". Sekolah Jìng Míng mencemooh praktik alkimia internal dan eksternal, puasa-Taois atau Bìgǔ (辟谷), dan latihan pernapasan. Sebaliknya, sekolah tersebut berfokus pada pengembangan mental untuk mengembalikan kemurnian dan kejernihan pikiran asli (yang dapat dikaburkan oleh keinginan dan emosi). Penekanan mereka pada etika praktis dan pengembangan diri dalam kehidupan sehari-hari (bukan ritual atau monastisisme), menjadikan ajaran ini sangat populer di kalangan sastrawan.

 

Demikianlah para pembaca, perkembangan Taoisme yang bermula dari ajaran Lǎo Zǐ, hingga menjadi Agama Tao atau Dào Jiào. Penulis hanya memaparkan Sekolah-sekolah Tao yang penting, yang pernah berkembang dalam masa-masa Dinasti Kekaisaran di Tiongkok. Jika dirinci secara keseluruhan ada puluhan Sekolah Tao yang pernah lahir, dan untuk mempelajarinya dibutuhkan ketekunan meneliti ajaran sekolah-sekolah itu satu per satu. Kesulitan yang sama pernah penulis alami sewaktu mempelajari Buddhisme Mahāyāna dan Tantrayāna, yang juga merupakan himpunan banyak sekolah, yang pernah berkembang di Asia Timur, Tibet, dan India. Anda yang berminat mendalaminya tentu bisa mempelajarinya lebih lanjut. Fokus artikel kami selanjutnya perihal Taoisme, akan mencoba mengupasnya dari ajaran-ajaran utamanya, yang membedakannya dari Buddhisme dan Konfusianisme.

 

Seperti yang pernah penulis paparkan pada artikel yang lalu, Agama Tao di Indonesia dianut oleh umat Tridharma, dan ajaran Taoisme bercampur dengan Buddhisme-Mahāyāna dan Konfusianisme. Salah satu Sekolah Tao yang memiliki banyak penganutnya di Indonesia berasal dari Sekolah Tài Shàng Mén (太上门), sedangkan nama perguruannya adalah Xiāo Yáo Pài (逍遥派). Xiāo Yáo Pài bermakna "alamiah, riang, tanpa-beban". Dewa utama yang dipuja adalah Tài Shàng Lǎo Jūn (太上老君). Pendiri perguruan ini adalah Lǐ Shàng Hú Shīfu (李尚湖师父, 1930 - 13-Feb-2019). Salah satu praktik yang diajarkan adalah Dǎo Yǐn Shù (导引术), yakni ilmu pemandu yang pada zaman dahulu hanya dipelajari oleh para petapa Taois dan orang-orang dalam lingkungan kerajaan, serta jarang tersebar di kalangan masyarakat umum.

 

 

(Tamat)

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/230823

 




Rabu, 09 Agustus 2023

DARI LǍO ZǏ KE TAOISME


 

(Bagian Pertama dari Dua Tulisan)

 

 

Seringkali orang mengaitkan Taoisme dengan Lǎo Zǐ, dengan menganggap bahwa Lǎo Zǐ yang mengarang kitab Dào Dé Jīng adalah pendiri agama Tao. Memang tidak seratus persen salah, tetapi tidak tepat. Untuk itu kita harus membedakan antara dua pengertian yakni yang pertama adalah Sekolah Filsafat Dào atau 道家 (Dàojiā),secara harfiah bermakna "sekolah atau keluarga Tao", atau disederhanakan sebagai "filsafat Tao" atau 道學 (Dàoxué) atau "Taologi", harfiah "studi tentang Tao", yang mencakup aspek mistisnya. Doktrin filosofis ini tertuang dalam naskah 易經 (Yì Jīng, atau sering disebut orang: I Ching, dan diterjemahkan sebagai "Kitab Perubahan"), 道德經 (Dào Dé Jīng), dan 莊子 (Zhuāng Zi). Sekolah Filsafat Dào adalah satu dari seratus aliran pemikiran selama periode Negara-negara Berperang (481/403 - 221 seb.M.).

 

Sedangkan yang kedua adalah ajaran-ajaran Dào atau 道教 (Dào Jiào); sering diartikan sebagai "agama Tao" yang sebenarnya, atau aspek "liturgi" dari Taoisme. Sebuah gerakan keagamaan terorganisir yang berbagi konsep atau terminologi dengan "filsafat Tao", yang baru muncul beberapa ratus tahun setelah Lǎo Zǐ mangkat. Perbedaan antara keduanya telah memicu perdebatan secara berkelanjutan, terutama setelah pemikir-pemikir Barat mempelajari ajaran dan filsafat Timur, dan mengutarakan analisa mereka masing-masing. Penulis tidak akan memuat perdebatan-perdebatan tersebut, tetapi ingin mengambil pendapat dari Dr. Kiang Kang-Hu atau Jiāng Kànghǔ (江亢虎, 18-Jul-1883 - 7-Des-1954), seorang politikus dan aktivis yang berdiam di Republik Tiongkok. Dr Jiāng dalam bukunya Chinese Civilization, Shanghai, 1935, menyatakan bahwa antara filsafat Taoisme dengan agama Tao sangatlah berbeda, sehingga orang tidak mungkin menemukan kesamaan di antara keduanya.

 

Pada artikel yang lalu, yakni dalam "Lǎo Zǐ dan Taoisme", dikisahkan tentang riwayat hidup Lǎo Zǐ dan karyanya Dào Dé Jīng. Sekarang kita bahas Zhuāng Zǐ, yang hidup antara tahun 403-221 seb.M., yang dianggap sebagai tokoh yang amat penting dalam filsafat Taoisme setelah Lǎo Zǐ sendiri. Hasil karya beliau diberi judul oleh Kaisar Táng dengan nama 庄子 atau "Zhuāngzǐ" atau Nánhuá Jīng (华经). Menurut Shǐjì (史記) atau "Kitab Sejarah", beliau bernama Zhōu () dengan nama kehormatan Zi Xiū (子休), tetapi riwayat hidupnya tidak dapat dikatakan cukup lengkap. Dia berasal dari Méng () di Negara Sòng, 宋國 (Sòng guó). Dalam buku _Zhuāngzǐ_, beliau diceritakan pernah menjadi pejabat dengan jabatan sebagai Qī Yuán Lì (漆園吏), sehingga dijuluki juga sebagai pejabat Méng, 蒙吏 (Méng Lì). Dikisahkan bahwa dia hidup semasa bertatahnya Raja Liáng Huì Wáng (梁惠王) dan Qí Xuān Wáng (齐宣王).

 

Intelektualitasnya sangat tinggi, karangannya sangat bagus, alur pemikirannya sealiran dengan Lǎo Zǐ. Meyakini filsafat hidupnya, dia dengan sengit mengeritik Rú Jiā (儒家) atau filsafat Konfusianisme dan Mò Jiā (墨家) atau Mohisme, sehingga dia menjadi tokoh yang sangat populer pada zaman itu. Walaupun pada kala itu Kǒng Zǐ dan Mò Zǐ menjadi tokoh utama dan sangat terkenal, namun kritikan Zhuāngzǐ terhadap kedua tokoh tersebut sangat tajam sekali. Argumentasinya dan isinya sangat dalam dan begitu bebas mengalir, paduan antara satire dan perenungan, sehingga dia bertindak layaknya orang urakan zaman kuno.

 

Memang Zhuāngzǐ ini paling pandai membuat cerita-cerita dan fabel yang mengadung arti filsafat yang sangat dalam. Cerita-cerita dan fabelnya menunjukkan pribadinya yang mendambakan kebebasan hakiki yang alami. Menurut cerita, Raja Wēi () dari negara Chǔ (), mengutus dua pejabat tingginya untuk membujuk agar sang filsuf bersedia menjadi perdana menteri. Mereka menemui Zhuāngzǐ yang sedang memancing. Tanpa menengok ke arah tamunya, si tuan rumah berkata, "saya pernah mendengar, di negara Chǔ ada selembar kulit penyu yang sangat bertuah. Tetapi lebih baik mana: kura-kura itu mati dan kulitnya dihormati sedemikian rupa, atau kura-kura lainnya yang hidup dan menyeret ekornya di lumpur?"

 

Pilihan Zhuāngzǐ jelas. Dia lebih baik menyeret ekornya di lumpur, ketimbang hidup dengan kekuasaan yang membelenggu dirinya. Dia ingin bebas. Ada yang mengatakan, bahwasanya dialah anarkis paling awal dalam sejarah.

 

Dalam bukunya "Serba-serbi Catatan", Zhuāngzǐ menulis. Sekali waktu karena miskinnya, dia kehabisan uang untuk membeli beras. Lalu dia pergi ke seorang bangsawan bernama Lán Hé Hóu (蓝河侯), dan bermaksud meminjam beras. Lán, kenalan Zhuāngzǐ ini, adalah penjaga pintu air irigasi, yang keadaannya lebih berkecukupan dibandingkan rakyat di sekitarnya. Lán menjawab: "Baiklah," dengan muka sedikit masam, "tidak lama lagi saya akan pergi ke daerah seberang untuk menagih pajak air. Setelah selesai, saya akan pinjamkan tuan 300 tail emas. Bagaimana?" Zhuāngzǐ dengan tenang berkata: "Tadi ketika saya akan ke sini, di jalan saya mendengar suara rintihan. Setelah saya telusuri, ternyata di satu saluran air pinggir jalan yang tergilas oleh sebuah kereta kuda yang mogok, air saluran itu sudah mulai tersumbat dan mengering. Di sana ada seekor ikan yang megap-megap kekurangan air. Lalu saya bertanya kepada sang ikan malang tersebut: 'Ikan kecil, kamu kenapa?' Ikan itu menjawab: 'Saya ini adalah pejabat kecil dari kerajaan laut timur. Saya terdampar oleh ombak besar ketika melakukan tugas dekat pantai, kini terjebak di selokan ini dan kekurangan air. Sudikah tuan tolong ambilkan air seember untuk menolong saya?' Selanjutnya saya beri tahu ikan tersebut: 'Baiklah. Sekarang saya akan pergi ke Raja Yue dan Wu di pantai selatan. Saya akan gali kanal untuk mengalirkan air laut kemari, untuk menolong kamu. Bagaimana?' Ikan itu menjawab: 'Sekarang ini saya sedang sekarat, kamu cukup beri saya beberapa liter air sudah bisa menyambung hidup saya. Tetapi kamu justru kini memberi janji-janji surga dengan akan membawa air dari laut timur, dan segala macam argumentasi lainnya. Jika begitu, ketika tuan kembali ke sini lagi, lebih baik tuan cari saya di pasar, dalam warung ikan asin. Saya pasti bisa ditemukan di sana.' "

 

Sekali waktu isteri Zhuāngzǐ meninggal dunia. Ketika Huìzi (惠子) datang untuk menyampaikan bela sungkawa, dia mendapatkan Zhuāngzǐ duduk dengan kaki terlentang sambil bernyanyi dan memukul-mukul bak mandi. Huizu berseru: "Kamu tinggal bersamanya selama ini. Dia membesarkan anak-anakmu hingga sepuh. Jika engkau tidak menangisi kematiannya terserah kepadamu. Tetapi menggedor-gedor bak mandi dan bernyanyi, bukankah ini tindakan yang keterlaluan?"

 

Zhuāngzǐ menjawab: "Kamu keliru. Ketika aku tahu dia baru saja meninggal, apakah aku tidak berduka seperti orang lain? Tetapi aku melihat kembali ke awal dan waktu sebelum dia lahir. Tidak hanya waktu sebelum dia lahir, tetapi waktu sebelum dia memiliki tubuh. Bukan hanya waktu sebelum memiliki tubuh, tetapi kala sebelum dia memiliki roh. Di tengah campur aduk keajaiban dan misteri, terjadi perubahan dan dia memiliki roh. Perubahan pun berlangsung dan dia memiliki tubuh. Perubahan selanjutnya, dia lahir. Sekarang ada perubahan lain, dan dia mati. Bukankah ini seperti pergantian empat musim? Musim semi, musim panas, musim gugur, lalu musim dingin?"

 

"Sekarang dia akan berbaring dengan damai di ruangan yang luas. Jika aku mengikutinya setelah dia menangis dan aku ikut menangis, itu akan menunjukkan bahwa aku tidak mengerti apa-apa tentang takdir. Jadi aku berhenti." (Zhuāngzǐ : "Perubahan, kematian, pemakaman, kesedihan.").

 

Begitulah kisah-kisah inspiratif dari Zhuāngzǐ, yang jika dikaji lebih jauh ternyata bersesuaian dengan ajaran Lǎo Zǐ. Para pembaca bisa mencari sendiri kisah-kisah Zhuāngzǐ lainnya. Di samping Kitab Dào Dé Jīng dan Zhuāngzǐ, masih ada naskah lainnya yang ditulis oleh Liè Yǔ Kòu (列圄寇, hidup sekitar tahun 400 seb.M.), yakni Liè Zǐ (列子). Selama masa pemerintahan Kaisar Xuán Zōng dari Táng, Liè Zǐ ditetapkan melengkapi trilogi karya klasik Taois bersama dengan dengan Dào Dé Jīng dan Zhuāngzǐ yang lebih terkenal.

 

Sekarang kita akan meninjau kelahiran Dào Jiào atau Agama Tao. Sang pendiri dikenal sebagai Zhāng Líng (张陵, Hokkian: Chang Ling). Dia juga memiliki panggilan kesopanan Fǔ Hàn (辅汉). Menurut legenda, dia adalah cucu kedelapan Zhang Liang (张良), pahlawan pendiri Dinasti Han Barat. Ayah Zhāng Líng adalah Zhāng Dà Shùn (张大顺), yang ahli dalam seni keabadian, Dia menyebut dirinya "Tóng Bǎi Zhēn Rén" (桐柏真人), dan setelah mendapatkan seorang anak laki-laki, dia menamainya "Líng". Zhāng Líng dilahirkan tahun 35 Masehi, pada masa pemerintahan Kaisar Guāng Wǔ Dì (光武帝) dari Dinasti Hàn, di Tiān Mù Shān (天目山), propinsi Zhè Jiāng (浙江). Zhāng Líng sangat cerdas sejak dia masih kecil, dan dia telah membaca Dào Dé Jīng pada usia tujuh tahun. Ketika dia menjadi sarjana Tài Xué (太学, sarjana dari perguruan tinggi yang dikelola oleh Kekaisaran), dia akrab dengan kitab-kitab Lima Klasik, astronomi, geografi, serta ilmu pengetahuan lainnya yang diajarkan di zaman itu. Tetapi dia sering mengeluh bahwa buku-buku yang dibacanya tidak dapat menyelesaikan masalah hidup dan mati, sehingga dia meninggalkan Konfusianisme dan mempelajari jalan umur panjang.

 

Ketika Zhāng Líng berusia 26 tahun, dia diangkat sebagai seorang pejabat, tetapi tidak lama kemudian dia mengundurkan diri dari jabatannya dan tinggal dalam pengasingan di Gunung Běi Máng Shān (北邙山); sekarang gunung ini terletak di Luoyang Utara, Provinsi Henan. Selanjutnya dia mempelajari Taoisme secara intensif. Setelah itu dia mulai dipanggil dengan nama 张道 atau Zhāng Dào Líng. Kaisar Zhāng (章帝) dan Kaisar Hé (和帝), dari Dinasti Hàn berturut-turut merekrutnya sebagai Tài Fù (太傅) dan Jì Xiàn Hóu (县侯), namun dalam tempo yang tidak terlalu lama Zhāng Dào Líng tidak puas dan dia mengundurkan diri.

 

Setelah itu, Zhāng Dào Líng mulai melakukan perjalanan ke pegunungan dan sungai terkenal, mempelajari dan mempraktikkan Taoisme, serta mencari keabadian. Pertama, dia melakukan perjalanan ke selatan ke Sungai Huái Hé (淮河) dan tinggal di Gunung Tóng Bǎi Tàipíng Shān (桐柏太平山). Kemudian, dia menyeberangi selatan Sungai Yangtze atau Cháng Jiāng (长江) bersama murid-muridnya Wáng Zhǎng () dan Zhào Shēng (赵升). Mereka pergi ke Gunung Yún Jǐn Shān (锦山) di Kabupaten Guì Xī (贵溪), Provinsi Jiāng Xī (江西). Gunung Yún Jǐn memiliki pegunungan yang indah, air yang jernih, dan suasana yang tenang. Pegunungan itu merupakan habitat dari makhluk abadi kuno. Zhāng Dào Líng tinggal di sebuah gubuk di gunung dan membangun sebuah altar untuk berlatih alkimia-internal. Dikatakan bahwa tiga tahun kemudian, pil ajaib telah didapatkannya, serta naga dan harimau muncul, sehingga gunung itu juga disebut gunung Lóng Hǔ Shān (龙虎山). Saat itu, Zhāng Dào Líng telah berusia 60 tahun, dan dia mendengar bahwa adat istiadat rakyat di Sìchuān (四川) sedang dalam keadaan murni dan mereka baik hati serta dapat dididik dengan mudah, jadi dia dan para siswanya pindah ke Gunung Hè Míng Shān (鹤鸣山) di Sìchuān.

 

Zhāng Dào Líng kemudian menetap lama di Pegunungan Hé Míng Shān dan mendalami Dào di sana sambil menyempurnakan cara membuat obat panjang umur. Suatu hari saat sedang meramu obat Lóng Hǔ Dān (龍虎丹), sesosok dewa datang menghampiri dan memintanya pergi ke Gunung Sōng Shān (嵩山), di propinsi Hénán (河南). Di sana di dalam sebuah gua batu, Zhāng menemukan kitab-kitab kuno peninggalan Sang Tiga Kaisar (三皇, Sān Huáng), juga tempat persembahyangan kuno peninggalan Kaisar Kuning, Huáng Dì (黃帝).

 

Setelah mempelajari isi kitab-kitab kuno itu, Zhāng mendapat kemampuan melayang tinggi dan memiliki pendengaran sampai ke tempat yang jauh. Lebih dari itu sukmanya pun dapat keluar dari raganya.

 

Demikianlah Zhāng Dào Líng lalu mengembara ke berbagai tempat, terutama di kawasan gunung-gunung yang berada di Tiongkok. Sebelum memberikan ajarannya dia akan melihat apakah mereka termasuk orang-orang yang jujur ​​dan baik hati, mudah dididik, dan dan bermanfaat bagi tegaknya pendidikan. Ucapan yang sering dilontarkan kepada para siswanya: "Saya ingin menggunakan jimat dan pil untuk mengobati orang." Pada tahun keenam Yǒnghé (Tahun 141 M.), Zhāng Dào Líng menulis Kitab Suci Dào 24 (24, Dào Shū 24 Piān). Dia menyebut dirinya " Xuányuán dari Tàiqīng (太清玄元, Tài Qīng Xuán Yuán)", merekrut murid dan mendirikan pengajaran, serta mendirikan organisasi dasar Dào Jiào. Mereka yang menjadi pengikutnya wajib menyumbang lima takar beras setiap tahunnya. Satu takar beras isinya kurang lebih 7,5 liter.

 

Zhāng Dào Líng di mata para pengikutnya dianggap sebagai Guru Surgawi Zhāng (张天师, Zhāng Tiān Shī), atau Guru Surgawi Leluhur (祖天师, Zǔ Tiān Shī) atau Zhèng Yī Zhēn Rén (正一真人). Murid-muridnya mencapai puluhan ribu oramg. Dia menggunakan jimat dan mantra untuk menyembuhkan orang. Dia juga mengajari orang cara mendapatkan garam, dan generasi selanjutnya menyebutnya Líng Jǐng (陵井); yakni menambang garam dari air sumur asin, kemudian merebusnya hingga menghasilkan endapan kristal. Sebagai pimpinan puncak satu sekte keagamaan Zhāng mengelola sistem kerja bagi para siswanya secara bergiliran, dan mereka mampu berswasembada untuk menghasilkan beras, peralatan memintal dan menenun sutera, menebang kayu, serta melakukan berbagai macam pekerjaan untuk menghidupkan organisasinya. Seluruh titahnya dijalankan dan tidak ada hukuman yang dijatuhkan, serta orang-orang diperintah dengan moralitas yang baik.

 

Menurut legenda, pada tanggal 15 bulan pertama tahun pertama pemerintahan Kaisar Shùn dari Dinasti Hàn, yakni tahun 142 M., Tài Shàng Lǎo Jūn (太上老君) datang ke tempat kediamannya dan mengajari Zhāng Dào Líng "Jalan Zhèng Yī Méng Wēi ZDào (正一盟威之道) atau Jalan Kekuatan Sekutu Zhèng Yī". Sang Mahadewa memintanya pergi ke Gunung Qīng Chéng Shān (青城山), dengan dibekali berbagai jenis pusaka wasiat. Di sana Zhāng diminta untuk menaklukkan enam sosok raja siluman yang kerap meneror rakyat. Para siluman itu berhasil ditundukkan dan ditaklukkannya, dan mereka minta ampun dan berjanji tidak akan mengganggu rakyat lagi. Peristiwa yang luar biasa ini meneguhkan Zhāng Dào Líng dalam mendirikan Taoisme. Dia menghormati Lǎo Zǐ sebagai sang Patriakh, dan menerima "Dào" sebagai kepercayaan tertinggi.

 

Zhāng Dào Líng dikenang oleh para pengikutnya sebagai pendiri dari Dào Jiào (道教), agama Dào () yang didasarkan pada filsafat Taoisme. Keahliannya membuat obat-obatan panjang umur yang diperolehnya dari buku-buku kuno, dan menciptakan berbagai jimat atau () atau Hu (Hokkian) untuk menolak berbagai macam penyakit dan bencana, masih dilakukan oleh para penerusnya. Selain itu penganut Dào mulai menjalankan praktik pengobatan dan mampu menghalau iblis. Pada tahun kedua Yǒngshòu (Tahun 156 M.), Zhāng Dào Líng meninggal dunia pada usia 123 tahun. Pada tahun ketujuh Tiānbǎo (Tahun 748 M.), oleh Kaisar Xuán Zōng dari Dinasti Táng, Zhāng Dào Líng dianugerahkan gelar Tài Shī () atau "Guru Agung", karena melestarikan buku kuno Lǎo Zǐ.

 

 

(Bersambung)

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/230809