(Bagian Kedua dari Dua Tulisan)
Dalam tulisan kami terdahulu, Zhāng Dào Líng dikenang oleh para pengikutnya
sebagai pendiri dari Dào Jiào (道教) atau agama Dào (道). Setelah
dia meninggal dunia penerusnya adalah keturunannya, seperti tradisi yang
dilestarikan oleh para kaisar Tiongkok. Sekolah atau aliran yang diwarisi dari Zhāng Dào Líng dikenal sebagai Zhèng Yī Dào (正一道), atau dikenal
sebagai Jalan Persatuan Ortodoks. Aliran Ortodoks ini mengacu pada Jalan Lima Takar Beras (五斗米道, Wǔ Dǒu Mǐ
Dào) atau Jalan Guru
Surgawi. Pada
puncaknya, gerakan ini membentuk negara teokratis di lembah Hànzhōng (汉中), sebelah
utara Sìchuān (四川). Pada
tahun 215 M., negara tersebut diintegrasikan oleh Cáo
Cāo (曹操), salah satu tokoh terkemuka dari Zaman "Tiga
Kerajaan", ke dalam apa yang kemudian menjadi Kerajaan Wèi
(魏), dan sejak
itu pengikut-pengikut Guru Surgawi tersebar ke seluruh Daratan Tiongkok.
Zhèng Yī Dào percaya bahwa Qì (氣 atau气) atau "energi kehidupan" meliputi segala
sesuatu, dan untuk mencapai keabadian keseimbangan Qì yang benar harus
ada di dalam tubuh manusia. Memiliki kuantitas Qì yang buruk di dalam
tubuh, akan mengakibatkan penyakit, dan akhirnya kematian. Meditasi dapat
digunakan untuk mengembalikan Qì ke tubuh, tetapi seks harus dihindari,
karena dapat mengakibatkan hilangnya Qì. Setelah Zhāng Dào Líng wafat pada 156 M., puteranya Zhāng Héng (張衡, meninggal
tahun 179 M.) dinobatkan sebagai penerusnya, dan
kemudian dilanjutkan oleh cucunya Zhāng Lǔ (张鲁, meninggal 215 M.). Pemimpin Sekolah
Guru Surgawi yang ke-64 adalah Zhāng Yuán Xiān (張源先, 1971-2008),
tetapi digugat oleh Zhang Daochen, seorang Taiwan yang mengaku juga
sebagai Guru Surgawi yang ke-64. Jabatan Guru Surgawi ini sering disebut
sebagai Paus Taois. Berkat adanya aliran Zhèng Yī Dào ini, ajaran Tao mulai diperkenalkan kepada kalangan rakyat biasa,
dan Taoisme bangkit sebagai agama yang terorganisir pertama. Guru Surgawi adalah nenek moyang
dari gerakan Taois berikutnya seperti yang akan kita
lihat nanti.
Era Enam Dinasti (316–589) menyaksikan munculnya dua tradisi Tao
baru. Yang pertama adalah Sekolah Shàng Qīng (上清),
yang artinya Kemurnian Tertinggi. Gerakan Taois ini bermula dari
kalangan aristokrasi Dinasti Jìn (晉) Barat. Pemimpin
pertama sekolah itu adalah seorang wanita, Wèi Huá Cún (魏華存,
251-334), yang juga seorang praktisi Guru Surgawi. Menurut penulis kisah
orang-orang suci, pengabdian Puan Wèi pada kultivasi Taois sangat mengesankan
sejumlah dewata, sehingga dia banyak menerima wahyu dari mereka berupa 31 jilid
kitab suci Taois, yang mana wahyu ini kelak akan menjadi pondasi Sekolah Taoisme
Shàng Qīng. Setelah wafat, Wèi Huá Cún diangkat sebagai patriarkh pertama
Sekolah Shàng Qīng. Belakangan patriarkh kesembilan, Táo Hóng Jǐng (陶弘景, 456–536), seorang pria, menyusun teori dan
praktik Kanon Shàng Qīng. Dia memberikan kontribusi besar pada pengembangan
sekolah yang berlangsung menjelang akhir abad ke-5. Gunung dekat Nanjing tempat
Táo Hóng Jǐng mengasingkan diri, Máo Shān (茅山),
saat ini tetap menjadi pusat Sekolah Shàng Qīng.
Ajaran Sekolah Shàng Qīng memfokuskan
pada teknik meditasi visualisasi dan
pernapasan, serta latihan fisik; berlawanan dengan penggunaan alkimia dan jimat
yang dilakukan oleh Sekolah lainnya. Pembacaan kanon suci memainkan peran yang sama pentingnya. Latihan ini
pada dasarnya bersifat individualistis, bertentangan dengan latihan kolektif di
Sekolah Guru Surgawi atau Sekolah Líng Bǎo, yang akan kita bicarakan kemudian. Dewa
utama Sekolah Shàng Qīng dikenal sebagai Yuánshǐ Tiānzūn, yang pertama
dari Tiga Yang Suci (Sān Qīng). Lalu dikenal sejumlah besar dewata, di
antaranya dewa-dewa yang dapat dimintai pertolongan, dewa-dewa yang dapat
dipuja, dan dewa-dewa lain yang dapat diperintah. Seperti yang dijelaskan oleh Táo
Hóng Jǐng, dewata menempati dua puluh delapan halaman dalam naskah Shàng Qīng,
tetapi dewa terpenting hampir tidak disebutkan. Dalam perekrutan umat, pengikut Shàng Qīng umumnya berasal dari kelas sosial atas, selama masa pemerintahan
Dinasti Táng. Shàng Qīng adalah aliran
Taoisme yang dominan, dan pengaruhnya ditemukan dalam literatur pada periode zaman tersebut. Pamor Shàng Qīng mulai berkurang sejak paruh kedua
zaman Dinasti Sòng. Di bawah
Dinasti Yuán, gerakan ini dikenal dengan nama Máo Shān dan fokusnya berubah dari meditasi menjadi ritual dan
jimat. Pada abad ke-21, Taoisme Máo Shān masih dipraktikkan, tetapi teknik dan keyakinannya saat ini berbeda dari
nilai-nilai asli sekolah tersebut.
Aliran atau Sekolah
yang lahir tidak lama setelah Shàng Qīng adalah Líng Bǎo Pài (灵宝派), juga dikenal sebagai Sekolah Permata Suci.
Líng Bǎo adalah aliran agama
Tao yang penting, yang muncul di Tiongkok di antara masa
Dinasti Jìn dan Dinasti Liú Sòng, pada awal abad kelima Masehi. Sekolah
ini berlangsung selama sekitar dua ratus
tahun sampai terserap ke dalam
arus Shàng Qīng dan Zhèng Yī selama masa
pemerintahan Dinasti Táng.
Sekolah Lingbao menerapkan sintesis
ide-ide keagamaan berdasarkan teks Shàng Qīng, ritual Guru Surgawi, dan praktik Buddhisme.
Sekolah Líng Bǎo dimulai sekitar tahun
400 M ketika kitab Lingbao diturunkan kepada Gé Cháo Fǔ (葛巢甫, hidup antara abad ke-4 hingga abad ke-5
Masehi), cucu-keponakan dari Gé Hóng. Gé Hóng (葛洪, 283 – 343/364
M.) sendiri adalah tokoh besar di
Tiongkok. Beliau adalah seorang ahli bahasa Mandarin, praktisi Tao, filsuf,
dokter, politikus, dan penulis selama masa Dinasti Jìn Timur. Beliau adalah
penulis Esai Karakter Mandarin, Baopuzi (抱朴子). Gé Cháo Fǔ menyebarkan kitab suci kepada dua muridnya, dan kitab
suci tersebut dengan cepat mendapatkan popularitas yang luar biasa.
Seperti disebutkan di atas, Sekolah Líng Bǎo men-sintesa-kan ide-ide keagamaan berdasarkan naskah-naskah Shàng Qīng, ritual Guru Surgawi, dan praktik Buddhisme.
Sekolah Líng Bǎo meminjam banyak konsep
dari Buddhisme, termasuk konsep reinkarnasi, dan juga beberapa elemen
kosmologis. Meskipun reinkarnasi adalah konsep penting di Sekolah Líng Bǎo,
kepercayaan Taois sebelumnya untuk mencapai keabadian tetap ada. Dewa-dewa
yang dipuja dalam aliran Líng Bǎo
ini mirip dengan Shàng
Qīng dan Guru Surgawi, dengan salah
satu dewa terpentingnya adalah bentuk dewa Lǎo Zǐ. Dewa-dewa lain juga ada, beberapa di antaranya
bertugas mempersiapkan roh untuk reinkarnasi. Ritual Líng Bǎo awalnya bersifat
individual, namun kemudian mengalami transformasi yang lebih menekankan pada
ritus-kolektif. Kitab
suci terpenting di Sekolah Líng Bǎo dikenal sebagai Lima Jimat atau Wǔ Fú Jīng (五符經), yang disusun oleh Gé Cháo Fǔ berdasarkan karya alkimia Gé Hóng sebelumnya.
Abad ke-5 di Tiongkok juga dikenal sebagai periode yang membesarkan
Taoisme, yang akan memberikan landasan bagi pengembangannya lebih lanjut.
Tersebutlah Lù Xiū Jìng (陸修靜, 406–477), dikenal dengan nama kesopanan Yuán
Dé (元德) dan nama anumerta Jiǎn Jì (簡寂). Lù adalah seorang penyusun dan ritualis Tao yang hidup di bawah Dinasti Liú Sòng. Lù sendiri memiliki keyakinan terhadap Konfusianisme, namun demikian, dia memilih mempelajari Taoisme. Lù begitu habis-habisan mengabdi pada keyakinannya sampai-sampai dia
meninggalkan keluarganya.
Selama tahun-tahun ziarahnya ke berbagai gunung tempat berdiamnya para tokoh
Taoisme yang terkenal, Lù berkesempatan mengumpulkan kitab suci dari berbagai
aliran.
Karya Lù yang paling
penting adalah edisi naskah-naskah Líng Bǎo dan kompilasi Kanon Tao komprehensif
yang pertama. Struktur kanon
itu disebut Katalog Kitab Suci Tiga Goa
atau disingkat Tiga Goa,
yang nama aslinya adalah 三洞经书目录 (Sāndòng Jīngshū Mùlù), yang meniru
Tripiṭaka atau Tiga Keranjang Buddhisme.
Tiga Goa berisi total 1.318
teks, jimat, dan resep obat. Sebanyak 138 di antaranya diwariskan Lu dari istana kekaisaran. Tiga Goa
ini kelak akan disempurnakan menjadi Dào
Zàng (道藏) pada masa pemerintahan Dinasti Táng. Livia Kohn dalam bukunya Daoism
Handbook (2000), menyebutkan bahwa "para tokoh Taois mengintegrasikan
aspek kosmologi Buddhis, pandangan dunia, kitab suci, dan praktik, serta
menciptakan banyak koleksi naskah-naskah Tao baru yang meniru sutra-sutra Buddhis.
Lù juga menata ulang aktivitas ritual tradisi Tao saat itu, menetapkan
serangkaian liturgi baru, yang mana pembaharuannya akan mempengaruhi praktik
Tao hingga hari ini. Periode ini juga menyaksikan perkembangan doktrin Tiga
Yang Suci, yang menggabungkan dewa-dewa tinggi dari berbagai tradisi Tao
menjadi satu trinitas bersama, yang tetap dianut hingga saat ini. Selama abad
keenam, penganut Taoisme berusaha menyatukan berbagai tradisi hingga menjadi
satu Taoisme Terpadu, yang dapat bersaing dengan Buddhisme dan Konfusianisme.
Taoisme Terpadu yang baru, sekarang dengan identitas Tao yang bersatu,
memperoleh status resmi di Tiongkok pada masa pemerintahan Dinasti Táng, yakni dinamakan
Agama Tao atau 道教 (Dào Jiào). Masa
keemasan Taoisme juga diraih
pada zaman Dinasti Táng, yang dipimpin oleh Patriarkh Sekolah Permata Suci, yang
menjadi agama yang dominan di Tiongkok.
Bukan itu saja, para kaisar menjadi patron pelindung Agama Tao. Mereka mengundang para rohaniwan ke istana untuk melakukan ritual dan meningkatkan prestise
penguasa. Pada masa
pemerintahan Kaisar Tài Zōng (太宗, 598-649) di
abad ke-7, dibangun
"Kuil Lima Naga",
yakni kuil pertama yang
dibangun di Pegunungan Wǔdāng
Shān
(武当山). Wǔdāng Shān belakangan akan menjadi
pusat utama Taoisme dan rumah bagi seni bela diri Wǔdāng Quán (武當拳). Penerus
Kaisar Tài Zōng, yakni Kaisar Gāo Zōng (高宗, 628-683)
bahkan menetapkan agar Dào Dé Jīng karya Lǎo Zǐ, dan
bukan karya-karya klasik yang dikumpulkan oleh Kǒng Zǐ, yang dijadikan subyek
pelajaran dalam ujian
kekaisaran bagi para calon
pejabat. Kaisar Xuán Zōng (玄宗,685-732) juga seorang
Taois yang setia banyak menulis berbagai karya Taois, dan menurut
Livia Kohn, "sering bertemu dengan guru senior, spesialis ritual, penyair Tao, dan patriark
resmi, seperti Sima Chengzhen."
Demikian pula beberapa abad kemudian, para kaisar Dinasti Sòng (960–1279),
terutama Kaisar Huī Zōng (徽宗,
1082-1135), aktif dalam
mempromosikan Taoisme, mengumpulkan naskah-naskah Tao, dan menerbitkan edisi
terbaru Dào Zàng. Zaman Sòng menyaksikan kitab suci baru dan
gerakan baru para ritualis dan ritus Tao. Ritus yang paling populer adalah Ritus Guntur atau Léi Fǎ (雷法) yang mampu membangkitkan Departemen Guntur-Surgawi. Ini adalah suatu jenis praktik ritual baru (sering kali disebut
Buddho-Daois), sebagian besar bersifat
pengusir iblis untuk mendapatkan perlindungan, yang pada akhirnya akan dimasukkan ke dalam tradisi Taois klasik. Praktisi Ritus Guntur
adalah anggota ortodoksi Taois yang sudah mapan, yang disebut sebagai ahli ritual atau
Fǎ Shī (法師). Pengetahuan
Esoterik Buddha pada Dinasti Sòng tersebar luas sehingga tidak hanya menyebar
dari "istana ke negara",
tetapi bahkan kembali ke istana lagi. Ritus Guntur diajarkan oleh Sekolah Hati Surgawi atau
Tiānxīn Pài (天心派).
Pada abad ke-12, Sekolah Quán Zhēn (全真) atau Kesempurnaan Lengkap didirikan di Tiongkok Utara pada tahun 1170 di bawah
Dinasti Jīn (1115–1234), oleh filsuf dan sastrawan Wáng Chóng Yáng (王重阳
,1113–1170). Quán Zhēn bersaing dengan tradisi agama Tao sebelumnya
yang menyembah "hantu dan
dewa". Quán Zhēn memfokuskan diri pada transformasi batin,
pengalaman mistik, monastisisme, dan
asketisme. Quán Zhēn berkembang
pada abad ke-13 dan ke-14 dan pada masa Dinasti Yuán. Aliran Quán Zhēn bersifat
sinkretis, menggabungkan unsur-unsur Buddhisme dan Konfusianisme dengan tradisi Tao. Menurut Wáng,
"tiga ajaran" – yakni Buddhisme, Konfusianisme, Taoisme
– "jika diselidiki, terbukti hanya merupakan
satu aliran". Quán Zhēn kelak menjadi sekolah Tao terbesar dan terpenting di Tiongkok
ketika Guru Qiū Chù
Jī (丘处机) bertemu dengan
Genghis Khan yang akhirnya menjadikannya pemimpin semua agama Tiongkok, serta membebaskan lembaga Quán Zhēn dari kewajiban
pembayaran pajak.
Sekolah Quán Zhēn memfokuskan spesialisasi pada proses "alkimia di dalam tubuh" atau Nèidān
Shù (內丹术),
sering diterjemahkan sebagai Nèidān atau "alkimia internal". Lawannya adalah Wàidān (外丹)
atau "alkimia eksternal", yang bereksperimen dengan konsumsi
tumbuh-tumbuhan, mineral, dan
lain-lain. Tradisi Wàidān sebagian besar telah
digantikan oleh Nèidān, karena Wàidān terkadang merupakan aktivitas yang
berbahaya dan mematikan. Quán Zhēn berfokus pada pengembangan internal seseorang yang
konsisten dengan hasrat Tao, yang meresap untuk mencapai Wú Wèi
(無爲). Seperti kebanyakan pengikut Tao, rohaniwan Quán Zhēn sangat memperhatikan umur panjang dan
keabadian melalui penerapan alkimia
internal, menyelaraskan diri dengan Tao,
mempelajari Lima Elemen, dan gagasan tentang keseimbangan yang konsisten dengan
teori Yīn dan Yáng.
Di bawah Dinasti Míng (1368–1644), aspek ajaran Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme Tiongkok secara sadar disintesis dalam aliran
Neo-Konfusianisme, yang akhirnya menjadi ortodoksi Kekaisaran untuk tujuan
birokrasi negara. Pada masa ini bangkit Sekolah Jìng Míng Dào (淨明道) atau diterjemahkan sebagai Iluminasi Murni menjadi kian populer, yang menggabungkan Taoisme dengan
ajaran Buddha dan Konfusianisme, serta berfokus pada "kemurnian, kejelasan, kesetiaan,
dan kesalehan berbakti". Sekolah Jìng Míng mencemooh praktik
alkimia internal dan eksternal, puasa-Taois
atau Bìgǔ (辟谷), dan latihan pernapasan. Sebaliknya, sekolah tersebut berfokus pada
pengembangan mental untuk mengembalikan kemurnian dan kejernihan pikiran asli
(yang dapat dikaburkan oleh keinginan dan emosi). Penekanan mereka pada etika
praktis dan pengembangan diri dalam kehidupan sehari-hari (bukan ritual atau
monastisisme), menjadikan
ajaran ini sangat populer di kalangan sastrawan.
Demikianlah para pembaca,
perkembangan Taoisme yang bermula dari ajaran Lǎo Zǐ, hingga menjadi Agama Tao atau Dào Jiào. Penulis hanya
memaparkan Sekolah-sekolah Tao yang penting, yang pernah berkembang dalam
masa-masa Dinasti Kekaisaran di Tiongkok. Jika dirinci secara keseluruhan ada
puluhan Sekolah Tao yang pernah lahir, dan untuk mempelajarinya dibutuhkan
ketekunan meneliti ajaran sekolah-sekolah itu satu per satu. Kesulitan yang
sama pernah penulis alami sewaktu mempelajari Buddhisme Mahāyāna dan Tantrayāna,
yang juga merupakan himpunan banyak sekolah, yang pernah berkembang di Asia
Timur, Tibet, dan India. Anda yang berminat mendalaminya tentu bisa
mempelajarinya lebih lanjut. Fokus artikel kami selanjutnya perihal Taoisme,
akan mencoba mengupasnya dari ajaran-ajaran utamanya, yang membedakannya dari
Buddhisme dan Konfusianisme.
Seperti yang pernah penulis paparkan
pada artikel yang lalu, Agama Tao di Indonesia dianut oleh umat Tridharma, dan
ajaran Taoisme bercampur dengan Buddhisme-Mahāyāna
dan Konfusianisme. Salah satu Sekolah Tao yang memiliki banyak penganutnya di
Indonesia berasal dari Sekolah Tài Shàng Mén (太上门), sedangkan nama perguruannya adalah Xiāo Yáo Pài (逍遥派).
Xiāo Yáo Pài bermakna "alamiah, riang, tanpa-beban". Dewa utama yang
dipuja adalah Tài Shàng Lǎo Jūn (太上老君).
Pendiri perguruan ini adalah Lǐ Shàng Hú Shīfu (李尚湖师父, 1930 - 13-Feb-2019). Salah satu praktik yang diajarkan
adalah Dǎo Yǐn Shù (导引术),
yakni ilmu pemandu yang pada zaman dahulu hanya dipelajari oleh para petapa
Taois dan orang-orang dalam lingkungan kerajaan, serta jarang tersebar di
kalangan masyarakat umum.
(Tamat)
sdjn/dharmaprimapustaka/230823