Para pembaca mungkin pernah mendengar
cerita mengenai orang Jawa, seperti yang akan penulis ulangi dalam pembuka
tulisan ini. Alkisah ada orang Jawa yang sedang mengendarai sepeda motor di
jalan umum. Hari itu dia naas; dia mengalami kecelakaan dan sepeda motornya
rusak. Tapi alih-alih menyesali kesialannya, dia dengan entengnya menggumam:
"Untung saya tidak cidera, cuma sepeda motor ini saja yang rusak."
Pada kesempatan berikutnya dia dengan sepeda motornya sekali lagi mengalami
kecelakaan. Kali ini lebih parah, kaki kirinya patah; dan sebagai
konsekuensinya bagian kakinya yang cidera itu mesti di-gips dan
pergerakannya jadi terbatas. Lagi-lagi tidak ada keluhan yang terlontar dari
mulutnya. Dia hanya bilang, "untung cuma satu kaki yang patah. Coba kalau
keduanya, saya pasti lebih menderita."
Anda para pembaca sebagian
tersenyum-senyum mendengar kisah di atas. Tetapi cerita ini belum selesai.
Mungkin ada yang bertanya bagaimana jika dalam kecelakaan tersebut orang Jawa
itu menderita cidera hebat, hingga kedua kakinya patah dan dia lumpuh. Ternyata
masih ada alasan yang membuat kita tercengang. "Meskipun lumpuh, untung
saya masih hidup." Sekarang jika kecelakaan itu begitu fatal dan dia
langsung tewas di tempat, serta andaikata orang itu masih menyadari keadaannya,
mungkin dia akan berkata: "Untung saya langsung mati. Kalau masih hidup
pasti akan tersiksa." Tentu saja dalam kasus yang terakhir ini, ungkapan
itu diutarakan oleh orang Jawa lainnya yang mendengar kisah memilukan itu.
Selesai? Belum. Entah mendapat wangsit dari mana, orang yang tewas di tempat
karena kecelakaan itu, tetap menemui nasib malang sesampainya di akhirat. Dia
dijebloskan ke neraka. Eh, setelah dia menyadari keadaannya, dia masih bisa
berkata: "Untung di neraka ini saya tidak kesepian, karena teman saya
banyak." Ha-ha-ha!
Jadi kita bisa menyimpulkan bahwa orang
Jawa itu – tak peduli
bagaimana buruk keadaannya – selalu merasa beruntung. Dalam Gramedia Blog pada Kebiasaan
Orang Jawa, disebutkan bahwa orang Jawa itu nerimo ing pandume Gusti,
maknanya menerima apa pun yang sudah diberikan Tuhan. Orang Jawa tidak suka
bersifat aneh-aneh dan macam-macam. Mereka biasanya menerima kondisi apa pun
dari pasangannya asalkan saling suka dan cocok. Contoh lain, ketika mendapati
Ibu memasak tempe dan tahu goreng, Bapak atau anak-anaknya tidak akan menuntut
lebih, mereka akan memakannya dan tidak meminta macam-macam. Dalam menghadapi
problem dan tantangan hidup juga seperti itu, orang Jawa cenderung menerima.
Dalam phinemo.com dengan artikel Kebiasaan
dan Sifat Orang Jawa yang Bikin Terpesona, disebutkan meski tak semua, namun orang Jawa sudah diajarkan
menjaga etika dan sopan santun sedari kecil. Orang Jawa itu penurut dan
tidak neko-neko. Mereka
dikenal mau menerima apa adanya, meski sesekali mengeluh juga. Percaya atau
tidak, orang Jawa selalu mensyukuri apa pun yang terjadi, dan mengambil sisi
positif meski tertimpa musibah buruk sekali pun. Moto hidupnya, "Hidup mengalir seperti air.
Jalani saja dulu."
Tanpa
kita sadari setiap pagi lewat pertemanan di Grup WA atau media sosial lainnya,
selalu diingatkan bahwa seyogianya kita selalu bersyukur. Apa itu bersyukur?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bersyukur artinya berterima kasih.
Berterima kasih kepada siapa? Dalam konteks orang Jawa di atas berterima kasih
kepada Gusti Allah atau Sang Pencipta. Dalam bahasa Inggris, bersyukur bisa
diterjemahkan sebagai be grateful, yang maknanya sama seperti yang ada
dalam bahasa Indonesia. Dengan bersyukur kita tetap berterima kasih kepada Sang
Pencipta, walaupun keadaan kita kadang-kadang baik, atau terkadang juga tidak
baik.
Hidup kita sekarang, entah kita kaya atau
miskin, berpengetahuan atau tidak berilmu, memiliki jabatan yang tinggi atau
hanya sebagai orang biasa dalam masyarakat; wajib kita jalani dengan berterima
kasih, menganggap bahwa kita selalu beruntung, merasa puas dengan yang apa yang
kita miliki, dan tidak perlu berkeluh-kesah. Mungkin Anda pernah mendengar cerita
inspiratif "Doa
Si Gareng", berikut ini:
Alkisah di satu waktu hidup seorang petani
biasa, yang dipanggil si Gareng, yang tidak pernah merasa puas dengan
keadaannya. Dia melihat banyak orang sukses di sekelilingnya dan berharap bisa
menyamai mereka dalam hal nasib dan peruntungannya. Si Gareng termasuk orang
yang beruntung karena doa-doanya selalu dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa. Melihat
sosok saudagar kaya yang santai-santai saja duduk di tokonya dan menerima
banyak uang dari para pelanggannya, si Gareng pun berdoa: "Ya Tuhan, jadikanlah hambaMu orang yang hanya dengan berkipas-kipas
saja, uang selalu mendatangiku." Jreeeng!!! Tidak butuh waktu lama, keinginan si Gareng
terpenuhi. Dia sedang mengipas-ngipasi seporsi sate di atas sebuah panggangan
panjang. Alamak!!! si Gareng sudah jadi penjual sate, yang setelah menyerahkan
hidangan kepada pembeli yang memesannya, langsung menerima uang.
"Ya, Tuhan.
Ternyata permintaanku keliru.Tetapi itu salahku juga." Gareng pun berpikir keras dan dia
melontarkan permohonan kedua. "Ya Tuhan, jadikanlah aku orang yang hanya dengan duduk menggoyang-goyangkan kaki, bisa
mendapat rejeki dengan mudah." Jreeeng!!!
Tidak sampai setengah hari keinginan Gareng terpenuhi. Dia sekarang mengayuh
pedal sebuah mesin jahit. Cita-citanya kesampaian dan dia mendapat rejeki dari
jasa menjahit pakaian. Masih belum merasa puas, dia mengeluh, "wah. Aku salah
lagi. Bukan ini yang kuinginkan. Aku salah lagi merumuskan keinginanku."
Tidak puas juga, dia berdoa kembali untuk kali ketiga: "O, Yang Kuasa,
cukup dengan duduk diam saja, biarkanlah uang yang mendatangiku." Jreeeng!!!
Keesokan harinya si Gareng sudah menjadi penjaga toilet umum di sebuah terminal
bus, dan orang-orang dengan ikhlas memasukkan uang receh ke sebuah kotak di
hadapannya.
Si Gareng cemberut dan mulai sedikit
frustasi, tetapi dia masih berharap dia bakal mendapatkan pekerjaan yang
diinginkan. Sekali ini dia berpikir keras dan mulai mengajukan permohonan lagi.
"Oh, Tuhan, sekali ini jadikan aku hambaMu orang yang berkuasa. Berwibawa
dan bisa mengatur orang kaya dan terhormat sesuai kehendakku. Jreeeng!!! Tiga hari kemudian Gareng sudah mengenakan seragam biru-muda
dan biru-tua yang elegan, serta dia menjadi seorang juru parkir di sebuah
kompleks gedung pemerintahan. Benar saja. Pejabat dan pengusaha tunduk pada
perintah sang juru parkir Gareng, yang dengan tegas memberi aba-aba sewaktu
mereka memarkir kendaraannya. Gareng hanya bisa mengurut dada dan tidak bisa
berbuat apa-apa. Hingga beberapa lama Gareng tampak pasrah, dan sambil mengeluh
dia menggumam: "Ya, Gusti. Koq aku salah melulu. Mohon untuk yang kesekian
kalinya, jadikanlah aku pria yang senantiasa dikelilingi oleh para
wanita." Setelah satu minggu, Jreeeng!!!, si Gareng
menjelma menjadi seorang tukang sayur keliling, dan benar saja ibu-ibu dan para
pembantu rumah tangga selalu mengerumuninya.
Kali ini tokoh kita, si Gareng,
benar-benar mati kutu, dan dia sudah insaf. "Duhai, Gusti. Hamba
sungguh-sungguh kapok. Kembalikan hamba ke keadaan yang semula." Jreeeng!!!, si Gareng pun segera kembali menjelma menjadi seorang petani yang sederhana.
Kita mungkin menertawai ulah si Gareng yang tidak kenal puas dan
malahan memimpikan untuk menjadi sosok orang lain. Tetapi sesungguhnya siapa
itu si Gareng? Si Gareng adalah kita-kita ini, termasuk penulis juga. Dulu
sewaktu penulis masih muda dan baru tamat dari perguruan tinggi, kemudian mulai
bekerja sebagai seorang staf teknik dengan tugas melakukan pekerjaan perawatan
di satu komplek gedung perkantoran. Sebagai staf yang baru magang bisa
dimaklumi saat penulis disuruh-suruh oleh atasan. Pada waktu itu terpikir oleh
penulis: "Alangkah enaknya menjadi bos, bisa punya banyak anak buah dan
memerintah mereka sesuka hati kita."
Akhirnya penantian penulis datang juga. Beberapa waktu berselang
penulis diangkat menjadi chief engineer alias pimpinan para teknisi di
perusahaan itu. Senang? Ya, pertama kali gembira dan bangga, dan itu hanya
berlangsung sebentar. Sesudahnya mulailah penulis menghadapi beban kerja yang
bertumpuk dan tak kenal selesai. Setiap hari wajib melakukan briefing
dan menghadiri rapat-rapat yang membosankan. Jika ada pekerjaan perawatan yang
tidak sesuai dengan keinginan pelanggan, mereka komplain lewat telepon dan
terkadang memaki-maki. Bertanggung jawab terhadap instalasi vital, kemana-mana
dan bahkan di hari libur panjang, penulis harus membawa pulang pesawat HT
(handy talky) serta standby setiap saat, Maklum pada zaman itu
telepon genggam belum ada. Akhirnya baru merasakan bahwa setelah mendapatkan
pekerjaan idaman, ternyata menjalankannya bukanlah sesuatu yang menyenangkan.
Demikian juga beberapa belas tahun kemudian. Penulis dipercayakan memimpin
operasi sebuah pusat perbelanjaan. Dengan menerima jabatan ini kita dituntut
tanggung jawab lebih, bukan hanya untuk lingkup kepentingan pemberi tugas dan
anak buah serta sejawat di lingkungan perusahaan, tetapi juga melayani
masyarakat.
Maka dari itu jika penulis mencermati apa yang hangat dibicarakan
oleh media massa hari-hari gini, mereka sibuk membicarakan pemilihan umum yang
akan diadakan kurang dari setahun ke depan. Yang paling seru dan banyak
dijadikan obyek berita, apalagi kalau bukan siapa yang akan menjadi sosok
presiden kita mendatang. Menilik pada antusiasme masyarakat ternyata banyak
sekali orang di Republik ini yang bermimpi menjadi presiden. Bahkan bagi mereka,
jika mungkin konstitusi yang mengatur pencalonan presiden diamandemenkan.
Padahal jika dihitung dari jajak pendapat kemungkinan orang biasa terpilih
menjadi orang nomor satu hanya berkisar nol koma nol-nol sekian persen saja.
Bahkan ketua partai yang sering muncul di layar kaca dan sudah beken
pun, tingkat keterpilihannya masih sangat kecil. Dan jangan lupa yang bisa
menduduki jabatan presiden cuma satu orang setiap lima tahun sekali.
Mereka bermimpi, nikmat dan begitu mulianya jika dia bisa menjadi
presiden, padahal hanya sedikit orang yang memenuhi persyaratan untuk jabatan tersebut.
Mereka tidak berpikir bahwa sekali saja keputusan yang tidak populer
diterbitkan untuk rakyat – seperti menaikkan harga BBM – maka presiden atau
pemerintah harus siap dikritik dan dicaci-maki. Kita pernah menyaksikan dalam
satu demonstrasi menentang kebijakan pemerintah, para demonstran yang marah
menginjak-injak potret presiden dan membakar patung kertasnya. Itulah saat yang
tidak menyenangkan bagi seorang presiden, dan mereka tidak pernah
membayangkannya. Jangankan presiden, pemangku kekuasaan di bawahnya pun sering
kali menjadi bulan-bulanan para warganet di media sosial. Kadang-kadang penulis
sendiri pun miris membaca postingan mereka yang dilontarkan secara keji
dan sadis. Panggilan "gubernur" yang terhormat, sebagai pemimpin
daerah di sebuah provinsi, diplesetkan menjadi gabener. Belum
lagi sumpah serapah yang diumbar secara vulgar.
Begitulah kehidupan ini; sesuatu yang dulu diidam-idamkan, setelah
diperoleh dengan penuh perjuangan ternyata biasa-biasa saja. Setelah kita mendapatkan
jabatan dan kedudukan yang kita cita-citakan, pada satu titik kita merasa
semuanya itu hambar dan tidak ada gregetnya lagi. Coba kita melihat apa
yang dialami oleh Peter Betts (lahir 7-Agu-1951), seorang sarjana fisika
lulusan Cambridge University yang sebelum usianya menginjak 23 tahun pergi ke
Thailand, untuk mengikuti kehidupan monastik selama satu tahun. Ternyata Peter
merasa krasan hidup sebagai seorang samanera, dan belakangan dia
ditahbiskan menjadi seorang bhikkhu. Peter kemudian beruntung karena berjodoh
menjadi murid Ajahn Chah, seorang guru meditasi Thai yang tersohor, dan dia
menjalani kehidupan monastiknya sebagai bhikkhu tradisi hutan selama sembilan
tahun. Peter lebih dikenal dengan nama penahbisannya, yakni Ajahn Brahm.
Demikianlah Ajahn Brahm menulis, "saat saya masih muda saya
kurus. Soalnya semua makanan enak diberikan kepada para bhikkhu senior, dan
saya hanya dapat sisanya saja! Saya merasa ini sangat tidak adil. Para bhikkhu
tua itu khan sudah tercerahkan? Mereka tidak butuh lagi makan enak. Saya
yang butuh makan enak! Bukan itu saja, saya harus duduk di lantai semen yang
keras, sementara mereka boleh duduk di bantal yang besar dan empuk. Para
bhikkhu senior itu seharusnya khan tidak butuh bantal empuk, soalnya
mereka sudah gendut-gendut! Saya khan masih sangat kurus, jadi saya yang
seharusnya duduk di bantal itu. Dan yang paling parah, para bhikkhu tua itu
selalu punya proyek untuk membangun ini itu, termasuk membangun vihara, serta
saya dan para bhikkhu yuniorlah yang mengerjakannya. Saat itu saya mengeluh dan
mereka berkata, "kamu sedang mengalami young monk's suffering
(derita bhikkhu muda)." Selanjutnya beberapa belas tahun setelah dia
menjadi seorang bhikkhu senior, Ajahn berkata: "Saat ini saya tidak
mengalami derita bhikkhu muda lagi. Saya sudah gendut, saya menyantap makanan
enak, saya tidak perlu bekerja lagi, tetapi sekarang saya mengalami derita
bhikkhu tua."
Menurut Ajahn Brahm, "Berpikir bahwa Anda akan bahagia dengan
menjadi seorang yang lain, semua hanyalah khayalan Anda sendiri. Menjadi
seorang yang lain hanyalah seperti mengganti satu bentuk penderitaan ke bentuk
penderitaan lainnya. Namun, saat Anda merasa berkecukupan dengan apa adanya
diri Anda, maka Anda terbebas dari derita. Untungnya saya, Malangnya
mereka."
Perkataan Ajahn Brahm itu betul seribu persen. Dalam kasus pribadi
penulis, sewaktu menjadi staf teknik pada awal karier, penulis mengalami derita
seorang staf yang selalu diperintah oleh atasannya. Setelah menjadi seorang
kepala teknisi, penulis tidak lagi mengalami derita sebagai staf teknik,
melainkan menjalani penderitaan sebagai seorang kepala teknisi. Akhir tahun
2008 penulis memutuskan untuk pensiun dari pekerjaan formal, lalu mulai berwirausaha
secara kecil-kecilan. Beberapa tahun belakangan ini, dengan waktu luang yang
masih tersedia, penulis masih bisa menekuni pekerjaan penulisan dan
penerjemahan. Sekarang penulis mengalami derita seorang entrepreneur dan
writer sekaligus. Ha-ha-ha!!
Jadi kesimpulannya sejauh ini, puaslah dan merasa beruntunglah
dengan keadaan yang Anda miliki sekarang,
wahai para pembaca. Kita harus mengikuti teladan wong Jowo, yang telah
dipaparkan dalam awal tulisan ini. "Saya beruntung dan saya bersyukur, dengan
apa yang saya miliki dan yang telah saya jalani."
Kita masih ingat pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia dan dunia
sejak akhir tahun 2019 hingga akhir tahun 2022 yang lalu. Inilah wabah global
yang mengguncang dan menghancurkan di abad ini, yang sempat kita alami. Masih
terbayang betapa kita semua was-was dan merasa ketakutan pada penyakit yang
mengerikan ini. Namun beruntunglah dan bersyukurlah kita semua, bahwa pandemi telah
berlalu. Sebagai penutup tulisan ini, kami mengutip syair lagu Badai Telah
Berlalu, dari Diskoria, laleilmanino,
dan dinyanyikan oleh Bunga Citra Lestari
(Januari 2023), berikut ini:
"Sirna sudah, oh, awan hitam di hatiku yang sedang gelisah
Kini
akan ku kembali jauh terbang tinggi
Ke
angkasa
Bersama,
oh, merpati putih yang tak lelah
Melayang
hingga awan terang
Dan
kini ternyata ujung cerita bak kurnia dewata
Hatiku
berseri, senyum mentari datang kembali
Pilu
yang dulu hilang (Kini berganti merdu)
Badai
telah berlalu
Ho-oh-oh-oh
Duniaku
merdu, badai telah berlalu
Duniaku
merdu, badai telah berlalu
Dan
kini ternyata ujung cerita bak kurnia dewata
Hatiku
berseri, senyum mentari datang kembali
Pilu
yang dulu hilang kini, oh, berganti merdu
Khayalku
menyata, ujung cerita kita bak kurnia dewata
Hatiku
berseri, matahari yang kunanti telah kembali
Pilu
yang dulu hilang kini berganti merdu
Pilu
yang dulu hilang (Berganti merdu)
Badai
telah berlalu
sdjn/dharmaprimapustaka/230419