Jumat, 28 April 2023

BERSYUKUR




Para pembaca mungkin pernah mendengar cerita mengenai orang Jawa, seperti yang akan penulis ulangi dalam pembuka tulisan ini. Alkisah ada orang Jawa yang sedang mengendarai sepeda motor di jalan umum. Hari itu dia naas; dia mengalami kecelakaan dan sepeda motornya rusak. Tapi alih-alih menyesali kesialannya, dia dengan entengnya menggumam: "Untung saya tidak cidera, cuma sepeda motor ini saja yang rusak." Pada kesempatan berikutnya dia dengan sepeda motornya sekali lagi mengalami kecelakaan. Kali ini lebih parah, kaki kirinya patah; dan sebagai konsekuensinya bagian kakinya yang cidera itu mesti di-gips dan pergerakannya jadi terbatas. Lagi-lagi tidak ada keluhan yang terlontar dari mulutnya. Dia hanya bilang, "untung cuma satu kaki yang patah. Coba kalau keduanya, saya pasti lebih menderita."

 

Anda para pembaca sebagian tersenyum-senyum mendengar kisah di atas. Tetapi cerita ini belum selesai. Mungkin ada yang bertanya bagaimana jika dalam kecelakaan tersebut orang Jawa itu menderita cidera hebat, hingga kedua kakinya patah dan dia lumpuh. Ternyata masih ada alasan yang membuat kita tercengang. "Meskipun lumpuh, untung saya masih hidup." Sekarang jika kecelakaan itu begitu fatal dan dia langsung tewas di tempat, serta andaikata orang itu masih menyadari keadaannya, mungkin dia akan berkata: "Untung saya langsung mati. Kalau masih hidup pasti akan tersiksa." Tentu saja dalam kasus yang terakhir ini, ungkapan itu diutarakan oleh orang Jawa lainnya yang mendengar kisah memilukan itu. Selesai? Belum. Entah mendapat wangsit dari mana, orang yang tewas di tempat karena kecelakaan itu, tetap menemui nasib malang sesampainya di akhirat. Dia dijebloskan ke neraka. Eh, setelah dia menyadari keadaannya, dia masih bisa berkata: "Untung di neraka ini saya tidak kesepian, karena teman saya banyak." Ha-ha-ha!

 

Jadi kita bisa menyimpulkan bahwa orang Jawa itu – tak peduli bagaimana buruk keadaannya selalu merasa beruntung. Dalam Gramedia Blog pada Kebiasaan Orang Jawa, disebutkan bahwa orang Jawa itu nerimo ing pandume Gusti, maknanya menerima apa pun yang sudah diberikan Tuhan. Orang Jawa tidak suka bersifat aneh-aneh dan macam-macam. Mereka biasanya menerima kondisi apa pun dari pasangannya asalkan saling suka dan cocok. Contoh lain, ketika mendapati Ibu memasak tempe dan tahu goreng, Bapak atau anak-anaknya tidak akan menuntut lebih, mereka akan memakannya dan tidak meminta macam-macam. Dalam menghadapi problem dan tantangan hidup juga seperti itu, orang Jawa cenderung menerima.

 

Dalam phinemo.com dengan artikel Kebiasaan dan Sifat Orang Jawa yang Bikin Terpesona, disebutkan meski tak semua, namun orang Jawa sudah diajarkan menjaga etika dan sopan santun sedari kecil. Orang Jawa itu penurut dan tidak neko-neko. Mereka dikenal mau menerima apa adanya, meski sesekali mengeluh juga. Percaya atau tidak, orang Jawa selalu mensyukuri apa pun yang terjadi, dan mengambil sisi positif meski tertimpa musibah buruk sekali pun. Moto hidupnya, "Hidup mengalir seperti air. Jalani saja dulu."

 

Tanpa kita sadari setiap pagi lewat pertemanan di Grup WA atau media sosial lainnya, selalu diingatkan bahwa seyogianya kita selalu bersyukur. Apa itu bersyukur? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bersyukur artinya berterima kasih. Berterima kasih kepada siapa? Dalam konteks orang Jawa di atas berterima kasih kepada Gusti Allah atau Sang Pencipta. Dalam bahasa Inggris, bersyukur bisa diterjemahkan sebagai be grateful, yang maknanya sama seperti yang ada dalam bahasa Indonesia. Dengan bersyukur kita tetap berterima kasih kepada Sang Pencipta, walaupun keadaan kita kadang-kadang baik, atau terkadang juga tidak baik.

 

Hidup kita sekarang, entah kita kaya atau miskin, berpengetahuan atau tidak berilmu, memiliki jabatan yang tinggi atau hanya sebagai orang biasa dalam masyarakat; wajib kita jalani dengan berterima kasih, menganggap bahwa kita selalu beruntung, merasa puas dengan yang apa yang kita miliki, dan tidak perlu berkeluh-kesah. Mungkin Anda pernah mendengar cerita inspiratif "Doa Si Gareng", berikut ini:

 

Alkisah di satu waktu hidup seorang petani biasa, yang dipanggil si Gareng, yang tidak pernah merasa puas dengan keadaannya. Dia melihat banyak orang sukses di sekelilingnya dan berharap bisa menyamai mereka dalam hal nasib dan peruntungannya. Si Gareng termasuk orang yang beruntung karena doa-doanya selalu dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa. Melihat sosok saudagar kaya yang santai-santai saja duduk di tokonya dan menerima banyak uang dari para pelanggannya, si Gareng pun berdoa: "Ya Tuhan, jadikanlah hambaMu orang yang hanya dengan berkipas-kipas saja, uang selalu mendatangiku." Jreeeng!!! Tidak butuh waktu lama, keinginan si Gareng terpenuhi. Dia sedang mengipas-ngipasi seporsi sate di atas sebuah panggangan panjang. Alamak!!! si Gareng sudah jadi penjual sate, yang setelah menyerahkan hidangan kepada pembeli yang memesannya, langsung menerima uang.

 

"Ya, Tuhan. Ternyata permintaanku keliru.Tetapi itu salahku juga." Gareng pun berpikir keras dan dia melontarkan permohonan kedua. "Ya Tuhan, jadikanlah aku orang yang hanya dengan duduk menggoyang-goyangkan kaki, bisa mendapat rejeki dengan mudah." Jreeeng!!! Tidak sampai setengah hari keinginan Gareng terpenuhi. Dia sekarang mengayuh pedal sebuah mesin jahit. Cita-citanya kesampaian dan dia mendapat rejeki dari jasa menjahit pakaian. Masih belum merasa puas, dia mengeluh, "wah. Aku salah lagi. Bukan ini yang kuinginkan. Aku salah lagi merumuskan keinginanku." Tidak puas juga, dia berdoa kembali untuk kali ketiga: "O, Yang Kuasa, cukup dengan duduk diam saja, biarkanlah uang yang mendatangiku." Jreeeng!!! Keesokan harinya si Gareng sudah menjadi penjaga toilet umum di sebuah terminal bus, dan orang-orang dengan ikhlas memasukkan uang receh ke sebuah kotak di hadapannya.

 

Si Gareng cemberut dan mulai sedikit frustasi, tetapi dia masih berharap dia bakal mendapatkan pekerjaan yang diinginkan. Sekali ini dia berpikir keras dan mulai mengajukan permohonan lagi. "Oh, Tuhan, sekali ini jadikan aku hambaMu orang yang berkuasa. Berwibawa dan bisa mengatur orang kaya dan terhormat sesuai kehendakku. Jreeeng!!! Tiga hari kemudian Gareng sudah mengenakan seragam biru-muda dan biru-tua yang elegan, serta dia menjadi seorang juru parkir di sebuah kompleks gedung pemerintahan. Benar saja. Pejabat dan pengusaha tunduk pada perintah sang juru parkir Gareng, yang dengan tegas memberi aba-aba sewaktu mereka memarkir kendaraannya. Gareng hanya bisa mengurut dada dan tidak bisa berbuat apa-apa. Hingga beberapa lama Gareng tampak pasrah, dan sambil mengeluh dia menggumam: "Ya, Gusti. Koq aku salah melulu. Mohon untuk yang kesekian kalinya, jadikanlah aku pria yang senantiasa dikelilingi oleh para wanita." Setelah satu minggu, Jreeeng!!!, si Gareng menjelma menjadi seorang tukang sayur keliling, dan benar saja ibu-ibu dan para pembantu rumah tangga selalu mengerumuninya.

 

Kali ini tokoh kita, si Gareng, benar-benar mati kutu, dan dia sudah insaf. "Duhai, Gusti. Hamba sungguh-sungguh kapok. Kembalikan hamba ke keadaan yang semula." Jreeeng!!!, si Gareng pun segera kembali menjelma menjadi seorang petani yang sederhana.

 

Kita mungkin menertawai ulah si Gareng yang tidak kenal puas dan malahan memimpikan untuk menjadi sosok orang lain. Tetapi sesungguhnya siapa itu si Gareng? Si Gareng adalah kita-kita ini, termasuk penulis juga. Dulu sewaktu penulis masih muda dan baru tamat dari perguruan tinggi, kemudian mulai bekerja sebagai seorang staf teknik dengan tugas melakukan pekerjaan perawatan di satu komplek gedung perkantoran. Sebagai staf yang baru magang bisa dimaklumi saat penulis disuruh-suruh oleh atasan. Pada waktu itu terpikir oleh penulis: "Alangkah enaknya menjadi bos, bisa punya banyak anak buah dan memerintah mereka sesuka hati kita."

 

Akhirnya penantian penulis datang juga. Beberapa waktu berselang penulis diangkat menjadi chief engineer alias pimpinan para teknisi di perusahaan itu. Senang? Ya, pertama kali gembira dan bangga, dan itu hanya berlangsung sebentar. Sesudahnya mulailah penulis menghadapi beban kerja yang bertumpuk dan tak kenal selesai. Setiap hari wajib melakukan briefing dan menghadiri rapat-rapat yang membosankan. Jika ada pekerjaan perawatan yang tidak sesuai dengan keinginan pelanggan, mereka komplain lewat telepon dan terkadang memaki-maki. Bertanggung jawab terhadap instalasi vital, kemana-mana dan bahkan di hari libur panjang, penulis harus membawa pulang pesawat HT (handy talky) serta standby setiap saat, Maklum pada zaman itu telepon genggam belum ada. Akhirnya baru merasakan bahwa setelah mendapatkan pekerjaan idaman, ternyata menjalankannya bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Demikian juga beberapa belas tahun kemudian. Penulis dipercayakan memimpin operasi sebuah pusat perbelanjaan. Dengan menerima jabatan ini kita dituntut tanggung jawab lebih, bukan hanya untuk lingkup kepentingan pemberi tugas dan anak buah serta sejawat di lingkungan perusahaan, tetapi juga melayani masyarakat.

 

Maka dari itu jika penulis mencermati apa yang hangat dibicarakan oleh media massa hari-hari gini, mereka sibuk membicarakan pemilihan umum yang akan diadakan kurang dari setahun ke depan. Yang paling seru dan banyak dijadikan obyek berita, apalagi kalau bukan siapa yang akan menjadi sosok presiden kita mendatang. Menilik pada antusiasme masyarakat ternyata banyak sekali orang di Republik ini yang bermimpi menjadi presiden. Bahkan bagi mereka, jika mungkin konstitusi yang mengatur pencalonan presiden diamandemenkan. Padahal jika dihitung dari jajak pendapat kemungkinan orang biasa terpilih menjadi orang nomor satu hanya berkisar nol koma nol-nol sekian persen saja. Bahkan ketua partai yang sering muncul di layar kaca dan sudah beken pun, tingkat keterpilihannya masih sangat kecil. Dan jangan lupa yang bisa menduduki jabatan presiden cuma satu orang setiap lima tahun sekali.

 

Mereka bermimpi, nikmat dan begitu mulianya jika dia bisa menjadi presiden, padahal hanya sedikit orang yang memenuhi persyaratan untuk jabatan tersebut. Mereka tidak berpikir bahwa sekali saja keputusan yang tidak populer diterbitkan untuk rakyat – seperti menaikkan harga BBM – maka presiden atau pemerintah harus siap dikritik dan dicaci-maki. Kita pernah menyaksikan dalam satu demonstrasi menentang kebijakan pemerintah, para demonstran yang marah menginjak-injak potret presiden dan membakar patung kertasnya. Itulah saat yang tidak menyenangkan bagi seorang presiden, dan mereka tidak pernah membayangkannya. Jangankan presiden, pemangku kekuasaan di bawahnya pun sering kali menjadi bulan-bulanan para warganet di media sosial. Kadang-kadang penulis sendiri pun miris membaca postingan mereka yang dilontarkan secara keji dan sadis. Panggilan "gubernur" yang terhormat, sebagai pemimpin daerah di sebuah provinsi, diplesetkan menjadi gabener. Belum lagi sumpah serapah yang diumbar secara vulgar.

 

Begitulah kehidupan ini; sesuatu yang dulu diidam-idamkan, setelah diperoleh dengan penuh perjuangan ternyata biasa-biasa saja. Setelah kita mendapatkan jabatan dan kedudukan yang kita cita-citakan, pada satu titik kita merasa semuanya itu hambar dan tidak ada gregetnya lagi. Coba kita melihat apa yang dialami oleh Peter Betts (lahir 7-Agu-1951), seorang sarjana fisika lulusan Cambridge University yang sebelum usianya menginjak 23 tahun pergi ke Thailand, untuk mengikuti kehidupan monastik selama satu tahun. Ternyata Peter merasa krasan hidup sebagai seorang samanera, dan belakangan dia ditahbiskan menjadi seorang bhikkhu. Peter kemudian beruntung karena berjodoh menjadi murid Ajahn Chah, seorang guru meditasi Thai yang tersohor, dan dia menjalani kehidupan monastiknya sebagai bhikkhu tradisi hutan selama sembilan tahun. Peter lebih dikenal dengan nama penahbisannya, yakni Ajahn Brahm.

 

Demikianlah Ajahn Brahm menulis, "saat saya masih muda saya kurus. Soalnya semua makanan enak diberikan kepada para bhikkhu senior, dan saya hanya dapat sisanya saja! Saya merasa ini sangat tidak adil. Para bhikkhu tua itu khan sudah tercerahkan? Mereka tidak butuh lagi makan enak. Saya yang butuh makan enak! Bukan itu saja, saya harus duduk di lantai semen yang keras, sementara mereka boleh duduk di bantal yang besar dan empuk. Para bhikkhu senior itu seharusnya khan tidak butuh bantal empuk, soalnya mereka sudah gendut-gendut! Saya khan masih sangat kurus, jadi saya yang seharusnya duduk di bantal itu. Dan yang paling parah, para bhikkhu tua itu selalu punya proyek untuk membangun ini itu, termasuk membangun vihara, serta saya dan para bhikkhu yuniorlah yang mengerjakannya. Saat itu saya mengeluh dan mereka berkata, "kamu sedang mengalami young monk's suffering (derita bhikkhu muda)." Selanjutnya beberapa belas tahun setelah dia menjadi seorang bhikkhu senior, Ajahn berkata: "Saat ini saya tidak mengalami derita bhikkhu muda lagi. Saya sudah gendut, saya menyantap makanan enak, saya tidak perlu bekerja lagi, tetapi sekarang saya mengalami derita bhikkhu tua."

 

Menurut Ajahn Brahm, "Berpikir bahwa Anda akan bahagia dengan menjadi seorang yang lain, semua hanyalah khayalan Anda sendiri. Menjadi seorang yang lain hanyalah seperti mengganti satu bentuk penderitaan ke bentuk penderitaan lainnya. Namun, saat Anda merasa berkecukupan dengan apa adanya diri Anda, maka Anda terbebas dari derita. Untungnya saya, Malangnya mereka."

 

Perkataan Ajahn Brahm itu betul seribu persen. Dalam kasus pribadi penulis, sewaktu menjadi staf teknik pada awal karier, penulis mengalami derita seorang staf yang selalu diperintah oleh atasannya. Setelah menjadi seorang kepala teknisi, penulis tidak lagi mengalami derita sebagai staf teknik, melainkan menjalani penderitaan sebagai seorang kepala teknisi. Akhir tahun 2008 penulis memutuskan untuk pensiun dari pekerjaan formal, lalu mulai berwirausaha secara kecil-kecilan. Beberapa tahun belakangan ini, dengan waktu luang yang masih tersedia, penulis masih bisa menekuni pekerjaan penulisan dan penerjemahan. Sekarang penulis mengalami derita seorang entrepreneur dan writer sekaligus. Ha-ha-ha!!

 

Jadi kesimpulannya sejauh ini, puaslah dan merasa beruntunglah dengan  keadaan yang Anda miliki sekarang, wahai para pembaca. Kita harus mengikuti teladan wong Jowo, yang telah dipaparkan dalam awal tulisan ini. "Saya beruntung dan saya bersyukur, dengan apa yang saya miliki dan yang telah saya jalani."

 

Kita masih ingat pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia dan dunia sejak akhir tahun 2019 hingga akhir tahun 2022 yang lalu. Inilah wabah global yang mengguncang dan menghancurkan di abad ini, yang sempat kita alami. Masih terbayang betapa kita semua was-was dan merasa ketakutan pada penyakit yang mengerikan ini. Namun beruntunglah dan bersyukurlah kita semua, bahwa pandemi telah berlalu. Sebagai penutup tulisan ini, kami mengutip syair lagu Badai Telah Berlalu, dari Diskoria, laleilmanino, dan  dinyanyikan oleh Bunga Citra Lestari (Januari 2023), berikut ini:

 

"Sirna sudah, oh, awan hitam di hatiku yang sedang gelisah

Kini akan ku kembali jauh terbang tinggi

Ke angkasa

Bersama, oh, merpati putih yang tak lelah

Melayang hingga awan terang

 

Dan kini ternyata ujung cerita bak kurnia dewata

Hatiku berseri, senyum mentari datang kembali

Pilu yang dulu hilang (Kini berganti merdu)

Badai telah berlalu

 

Ho-oh-oh-oh

Hu-uh-uh-uh-hu-oh

Duniaku merdu, badai telah berlalu

Duniaku merdu, badai telah berlalu

 

Dan kini ternyata ujung cerita bak kurnia dewata

Hatiku berseri, senyum mentari datang kembali

Pilu yang dulu hilang kini, oh, berganti merdu

Khayalku menyata, ujung cerita kita bak kurnia dewata

Hatiku berseri, matahari yang kunanti telah kembali

Pilu yang dulu hilang kini berganti merdu

Pilu yang dulu hilang (Berganti merdu)

Badai telah berlalu

Badai telah berlalu."

 

sdjn/dharmaprimapustaka/230419

 


Rabu, 05 April 2023

IKONOGRAFI BUDDHIS DAN TAOIS


 

Sekali waktu seorang kawan penulis, yang bukan beragama Buddha, menanyakan perihal keberadaan patung atau arca Buddha yang banyak ditemuinya di berbagai vihara. "Apakah Sang Buddha sendiri yang memerintahkan para pengikutnya membuat patung dirinya untuk disembah, seperti yang bisa kita saksikan di tempat ibadah yang kalian kunjungi?" Dengan mantap penulis menjawab, "Arca atau lukisan yang menggambarkan sosok Buddha baru muncul beberapa abad setelah kemangkatan Beliau. Pada zaman Sang Buddha masih hidup, tidak pernah orang, yakni para pengikutnya, membuat lukisan-diri atau patung dengan replika dirinya. Jadi patung Buddha baru muncul ratusan tahun kemudian, yang lalu diwujudkan dalam arsitektur Buddhis, seperti yang bisa kita lihat dalam monumen dan candi, yang didirikan orang untuk mengenang Beliau."

 

Pertanyaan kawan penulis itu mungkin juga diamini oleh sebagian umat kita, yang secara historis belum pernah mendengar sejarah munculnya patung Buddha untuk pertama kalinya. Andaikata Sang Buddha masih ada dan menyaksikan sendiri arca dan gambar yang melukiskan sosok dirinya ada di mana-mana, mungkin Beliau akan memprotesnya. Ada satu kisah yang menceritakan bahwa Sang Buddha tidak suka orang yang mengagumi keelokan fisiknya, seperti yang bisa kita baca pada petikan Sutta Pitaka berikut ini.

 

Demikianlah yang telah aku dengar. Sekali waktu ketika Yang Terberkahi sedang bermukim di Rājagaha pada Hutan Bambu, di Cagar Alam Tupai, Yang Mulia Vakkali sedang berdiam di sebuah rumah pengrajin tembikar. Dia sedang merana, menderita, dan sakit keras. Dia berkata kepada para pembantunya: "Para sahabat, pergilah kalian menghadap Yang Terberkahi dan berikanlah penghormatan kepadanya atas namaku dengan cara meletakkan kepala kalian di kakinya, dan katakanlah: 'Yang mulia, bhikkhu Vakkali sedang merana, menderita, dan sakit keras. Dia menghaturkan penghormatan dengan kepalanya di kaki Yang Terberkahi.' Serta katakan juga ini: 'Yang Mulia, adalah baik jika Yang Terberkahi pergi mengunjungi bhikkhu Vakkali demi welas-asih terhadap dirinya.' " - "Baiklah, sahabat," para bhikkhu menjawab.

 

Mereka pergi menghadap Yang Terberkahi dan mereka menyampaikan pesan sang bhikkhu serta permintaannya. Yang Terberkahi menyetujuinya dengan berdiam diri. Kemudian ia berpakaian, serta mengambil mangkuk-sedekah dan jubah luarnya, lalu pergi menuju kediaman Yang Mulia Vakkali. Yang Mulia Vakkali melihat Yang Terberkahi datang dan ia berupaya bangkit dari tempat tidurnya. Yang Terberkahi berkata: "Cukup, Vakkali. Jangan bangkit dari tempat tidurmu. Ada beberapa tempat duduk di sini, aku akan duduk di sini." Ia lalu duduk pada satu tempat duduk yang telah disediakan. Kemudian ia berkata: "Aku berharap engkau akan baik-baik saja, Vakkali. Aku berharap pula engkau akan merasa nyaman, rasa sakitmu akan berkurang bukannya bertambah, juga akan mereda bukannya meningkat."

 

"Yang Mulia, aku tidak dapat bertahan. Aku tidak merasa nyaman. Penyakitku bertambah parah, bukannya membaik. Penyakitku meningkat, bukannya mereda." - "Aku berharap engkau tidak memiliki kegelisahan dan penyesalan, Vakkali?" - "Sesungguhnya, Yang Mulia, aku memiliki sedikit kegelisahan dan penyesalan." - "Aku berharap pula, engkau tidak mempunyai ganjalan apa pun pada dirimu berkenaan dengan perbuatan bajik?" - "Aku tidak mempunyai ganjalan apa pun pada diriku berkenaan dengan perbuatan bajik, Yang Mulia."

 

"Kalau begitu, Vakkali, apa yang membuatmu gelisah dan menyesal?" - "Yang Mulia, aku sejak lama ingin datang dan menemui Yang Terberkahi, namun aku tidak pernah mendapatkan tubuhku cukup kuat untuk melakukan apa yang kuinginkan." - "Cukup, Vakkali. Mengapa engkau berkeinginan untuk melihat tubuh yang menjijikkan ini? Dia yang melihat Dhamma melihatku; dia yang melihatku melihat Dhamma. Karena ketika dia melihat Dhamma maka dia melihatku; dan ketika dia melihatku maka dia melihat Dhamma. (Samyutta Nikāya, 22:87).

 

Dikisahkan Anāthapiṇḍika, seorang umat Buddha yang amat dermawan dan berbakti kepada Sang Guru, bisa dua sampai tiga kali sehari mengunjungi Sang Buddha di tempat tinggalnya di Jetavana. Anāthapiṇḍika datang tidak dengan tangan hampa. Ada saja persembahan yang dibawanya. Jika Sang Guru tidak berada di tempat, dia meletakkan barang pemberiannya di bawah pohon Bodhi yang tumbuh di sana. Jadi pohon Bodhi dianggap mewakili keberadaan Sang Guru. Umat lain yang melihat kebiasaan sang upasaka tersebut, menirunya dan menganggap pohon Bodhi mewakili Sang Buddha itu sendiri. Umumnya mereka meletakkan bunga-bunga dan dupa, yang telah mereka persiapkan sewaktu mereka berangkat dari rumah. Sampai sekarang kebiasaan ini masih sering dilakukan di banyak vihara.

 

Selain pohon Bodhi, ada simbol lainnya yang dijadikan penanda kehadirannya, saat Sang Buddha masih hidup. Ketika Sang Guru berjalan kaki, lintasan telapak kakinya di tanah terkadang meninggalkan jejak. Orang terdekatnya yang pernah melihat kaki Guru dari jarak dekat, mendapati bahwa konon di masing-masing telapak kaki Beliau ada markah berbentuk roda beruji banyak. Ketika kakinya menjejak di atas tanah lempung, bisa terlihat "cetakan" sepasang telapak kaki yang istimewa ini. Entah siapa yang memiliki gagasan awal, ada pengikutnya yang memahat dan mengukir replika telapak kaki ini dari sebongkah batu. Kemudian jadilah replika batu telapak kaki dengan roda beruji banyak di dalamnya, menjadi simbol yang mewakili kehadiran Sang Buddha.

 

Lambang keberadaan Sang Buddha mulai dilukiskan saat Kaisar Aśoka melakukan ziarah kekaisaran sekitar tiga ratus tahun setelah kemangkatannya. Pada monumen-monumen yang didirikan oleh Sang Kaisar, kita dapat menemukan simbol-simbol yang biasa dipakai orang pada zaman itu untuk mengingat kehadiran Sang Guru. Para pengrajin membuat ukiran dan relief untuk mengkomunikasikan aspek-aspek ajaran dan kisah hidup Buddha. Simbol yang dominan antara lain Roda Dharma, yang menunjuk pada khotbah-pembuka atau "memutar wejangan pertamanya". Roda tersebut beruji delapan, yang melambangkan Jalan Mulia Beruas Delapan. Kemudian ada relief rusa, yang membangkitkan ingatan kita pada Taman Rusa di Sārnāth, tempat Sang Guru memutar Roda Dharma untuk pertama kalinya. Selain itu pada monumen batu digambarkan pula bunga teratai, yang melambangkan perjalanan individu mengarungi "lumpur-kehidupan"; agar individu tersebut bertumbuh kembang dengan sinar Dharma, menuju pencerahan nan sejati. Dan terakhir adalah Stupa, bangunan batu berbentuk kerucut terbalik, tempat para pengikutnya menyimpan sisa-sisa jasmani Sang Buddha. Di sini kita diingatkan pada simbol kematian raganya, dan sekaligus menandai kehadirannya yang berkelanjutan di muka bumi ini.

 

Lukisan dan patung Buddha sendiri baru muncul sekitar awal milenium pertama atau lima-ratus tahun setelah wafatnya Sang Buddha. Para pematung itu berasal dari dua wilayah. Yang pertama di Mathura, dekat Agra modern, dan di Gandhara, sekarang berada di wilayah Afghanistan. Di Mathura, lukisan besar Buddha dibuat dari batu-pasir merah. Sang Buddha dalam gambar-gambar ini digambarkan berpundak lebar, mengenakan jubah, dan ditandai dengan berbagai markah, yakni tiga-puluh-dua tanda keberuntungan yang ada di tubuhnya sejak kelahirannya. Dijelaskan dalam beberapa teks awal, dalam lukisan tersebut ada uṣṇīṣa, yakni tonjolan di atas kepala, disertai cuping telinga memanjang, jari berselaput, dan tangan kanannya sedang memutar sebuah dharmacakra.

 

Di wilayah Gandhara, Buddha biasanya digambarkan dalam gaya Yunani. Dia mengenakan jubah yang menyerupai toga, dan dengan wajah khas orang Barat. Pengrajin arca di wilayah ini mungkin mendapat pengaruh ikonografi dari orang Yunani, yang mendiami wilayah tersebut pada masa pemerintahan Alexander Agung. Masyarakat Yunani pada masa itu percaya pada dewa-dewi mereka, yang diwujudkan dalam bentuk arca. Banyak rupang Buddha Gandhara ini menggambarkan Beliau sedang dalam posisi duduk, dan tangannya membentuk dharmacakra mudrā. Dalam sosok yang lain dia ditampilkan dalam posisi meditatif, tubuhnya layu dan kurus kering didera asketisme ekstrim sebelum pencerahan agungnya. Bentuk-bentuk ikonik yang berbeda ini digunakan oleh para pengrajin untuk menampilkan momen berbeda dalam kisah hidup Buddha, dan untuk menyampaikan aspek dharma yang berbeda secara visual.

 

Arca Buddha yang dibuat oleh para pengrajin Jawa bisa kita saksikan di Candi Borobudur. Di kuil Buddha terbesar di dunia ini ada 504 arca Buddha di bagian bawah dan 72 patung lainnya di kubah tengah. Yang terakhir ini masing-masing duduk di dalam stupa berlubang. Sedangkan relief berupa ukiran-ukiran di dasar candi mengungkapkan cerita biografi Sang Bodhisattva yang diambil dari berbagai Nikāya, Lalitavistara, Buddhacarita, dan beberapa naskah terkenal lainnya. Borobudur didirikan pada abad ke-8 hingga ke-9 Masehi, dan diperkirakan tidak diselesaikan sekaligus, tetapi pembangunannya membutuhkan waktu beberapa dekade atau mungkin lebih dari satu abad. Dengan demikian arca-arca Buddha di Borobudur lebih muda tujuh ratus hingga delapan ratus tahun, jika dibandingkan dengan patung serupa yang berasal dari Mathura atau Gandhara.

 

Seperti halnya dalam ajaran Buddhis awal yang tidak mengenal penggambaran fisik Buddha, demikian juga dalam Taoisme awal tidak lazim bagi para pengikutnya untuk menggambarkan sosok Lǎo Zǐ lewat gambar dirinya. Para pengikutnya lebih menyukai untuk merepresentasikan kekuatan kedewataan dengan cara abstrak dan simbolis. Diagram, peta keramat, dan berbagai bentuk naskah rahasia, sejak awal memainkan peran penting dalam penyampaian ajaran. Simbol Tàijí Tú (太极图) dengan dua aspek realitas Yīnyáng (阴阳), digambarkan dalam dua bidang berbentuk dua koma tercetak dalam sebuah lingkaran, begitu terkenal sejak zaman Dinasti Sòng (960–1279) hingga ke masa-masa yang berikutnya.

 

Secara arkeologis, contoh paling awal dari patung Taois diperkirakan berasal dari abad kelima Masehi; tetapi arca-arca ini berasal dari Tiongkok Utara, tempat Tokoh Pembaharu Taoisme, Kòu Qiānzhī (寇謙之, 365–448 M.), yang konon merupakan orang yang pertama kali mempromosikan ikon semacam itu. Gambar-gambar ini, dipahat pada prasasti dan dipersembahkan oleh para donatur pribadi untuk kesejahteraan pejabat pemerintah dan kebahagiaan leluhur mereka, meniru praktik pelimpahan jasa khas Buddhis yang telah dikenal dan diserap oleh masyarakat Tiongkok pada masa itu.

 

Memang, ada indikasi bahwa perbedaan agama hampir tidak berarti bagi penganut lingkungan masyarakat adat tersebut. Beberapa monumen batu menggabungkan gambar dewa Buddha dan Taois, yang hanya dibedakan oleh ciri-ciri kecil. Sementara sosok Buddha dan Bodhisattva menampilkan uṣṇīṣa atau mahkota dan pakaian biara, Dewa Taois sering dilukiskan berjanggut dan memegang kipas, topi, busana, dan ikat pinggang ala orang Tionghoa zaman itu. Jika ada pengelompokan arca-arca dewa Taois dalam satu altar, biasanya dewa utama diapit oleh dua sosok dewa pengawalnya. Hal ini juga dianut dalam ikonografi Buddhis yang berkembang di Tiongkok. 

 

Kemudian jika kita melihat penggambaran sosok Lǎo Zǐ sebagai salah satu dari Tiga Yang Suci atau Sānqīng (三清), ketiga ikonografi individualnya tetap sama. Hanya dalam perkembangan selanjutnya Yuánshǐ Tīanzūn dilukiskan sedang memegang mutiara, Língbǎo Tiānzūn membawa tongkat kerajaan, dan Dàodé Tiānzūn tetap mempertahankan ciri-ciri Tuan Lǎo yang berambut putih dan berjanggut. Sementara adanya patung-patung Lǎo Zǐ pada masa Enam Dinasti (220–589) dimaksudkan hanya sebagai obyek pengabdian pribadi, situasinya berubah secara dramatis di bawah pemerintahan Dinasti Táng, yang meyakini bahwa leluhur mereka adalah Nabi Lǎo Zǐ itu sendiri. Kaisar-kaisar yang berkuasa lalu mendukung Taoisme sebagai agama negara. Para Kaisar Táng membangun jaringan nasional kuil Taois dengan patung-patung besar leluhur suci. Bahkan pada zaman Wǔ Zétiān (武則天, memerintah pada 690 - 705 M.), satu-satunya kaisar wanita dalam sejarah Tiongkok; dia memerintahkan agar arca Ibunda Lǎo Zǐ harus disertakan sebagai pendamping patung Lǎo Zǐ. Lalu Táng Xuánzōng (唐玄宗, memerintah pada 712 - 756 M.), kaisar terkuat dari Dinasti Táng, bahkan meminta agar arca dirinya disandingkan dengan patung Lǎo Zǐ. (lihat: Daoist Iconography, dari Encyclopaedia.com).

 

Pandangan Taois tentang dewa yang abadi, serta makhluk dunia bawah, memiliki pengaruh yang luar biasa pada ikonografi agama rakyat populer. Lukisan dinding dan ukiran pada kuil dan hiasan altar ternyata memainkan peran penting pada pemahaman rakyat biasa perihal dunia kedewaan dan alam akhirat. Paham Tao juga menyebar melalui cerita rakyat dan pertunjukan teater. Bukti yang paling jelas tentang hal ini bisa kita temukan dalam beberapa novel terkenal dari abad keenam-belas hingga kedelapan-belas, yang menonjolkan dewa-dewi hibrida yang luar biasa dari agama orang Tionghoa; termasuk konsep keabadian, kedewaan Taois dan Buddhis, dan dewa-dewi gabungan seluruhnya, yang semuanya tunduk di bawah kekuasaan Kaisar Langit.

 

Selain arca dan lukisan Buddha yang banyak kita dapatkan di tempat ibadah dan rumah-rumah umat, yang juga populer untuk dijadikan sebagai obyek perlindungan adalah patung dan gambar Dewi Kwan Im (atau Guanyin) atau Avalokitesvara Bodhisattva. Tulisan tentang Ikonografi Buddhis dan Taois ini kami akhiri dengan penggambaran Guanyin, yang deskripsinya penulis ambil dari novel terkenal Perjalanan ke Barat pada Bab ke-12:

 

"Pancaran kesucian bercahaya di sekelilingnya,

Sinar sakralnya melindungi tubuh Dharma-nya.

Dalam kejayaan Surga tertinggi

Muncul sesosok wanita Yang Kekal.

Sang Bodhisattva,

 

Dikenakan pada kepalanya

Rumbai-rumbai mutiara yang menakjubkan

Dengan gesper emas,

Dipadukan dengan batu pirus,

Dan cahaya keemasan,

 

Dia mengenakan di sekujur tubuhnya

Sebuah gaun biru dengan burung-api yang sedang terbang,

Berwarna-pucat,

Berpola air yang mengalir,

Yang mana naga emas melingkar di sana,

 

Di depan payudaranya

Seberkas kecemerlangan-bulan,

Tarian-angin,

Bertahtakan-mutiara,

Gelang perangkat-kemala penuh semerbak wewangian.

 

… … …

 

Jambangan yang dipegangnya memberikan keberkahan dan keselamatan,

Dan di dalam jambangan ada sepotong tangkai

Dedalu yang sedang menangis, yang menyapu bersih sang kabut,

Memercikkan airnya pada surga-surga,

Membersihkan semua kejahatan.

 

Cincin-cincin kemala melingkari kancing-kancing brokat

Serta kaki teratai-emasnya tetap tersembunyi.

Dia sanggup mengunjungi tiga surga,

Karena dia adalah Guanyin, sang penyelamat dari penderitaan."

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/230405