Barangkali dari segala macam cerita
yang pernah diceritakan orang di kolong langit ini, tidak ada yang bisa begitu
menarik perhatian dan dikenang hingga melampaui keperkasaan sang kala; yakni kisah tentang dua insan berlainan jenis,
yang berkesempatan memadu kasih. Kisah cinta atau love story hidup di
berbagai budaya dan merambah hingga melintasi zaman, mengiringi dan mewarnai
sejarah peradaban itu sendiri.
Anda para pembaca pasti telah
mendengar, bahkan mungkin pernah membaca Kisah Romeo dan Juliet, yang sebenarnya berasal dari cerita rakyat Italia. Kisah
cinta ini sebenarnya adalah sebuah roman tragis pada zaman kuno, dan mulai
populer pada akhir abad ke-16 setelah digubah menjadi sebuah pentas drama, oleh
sang pujangga besar William Shakespeare. Cerita-cerita cinta terkadang berasal
dari kisah hidup sesungguhnya sepasang anak manusia, atau hasil imajinasi
jenius dari pengarangnya, tidaklah penting bagi orang yang membacanya. Seperti
Kisah Cleopatra dan Mark Antony, sesungguhnya berasal dari kisah nyata dari
sang penguasa Mesir Kuno; yang juga digubah menjadi karya sastra oleh
Shakespeare. Kisah-kisah cinta selanjutnya bisa kita pungut dari khazanah
cerita rakyat di mancanegara. Dari Persia ada cerita cinta antara Layla dan
Majnun. Di India populer hingga kini kisah kasih antara Shah Jahan dan Mumtaz
Mahal. Sedangkan dari Tiongkok ada drama Sam Pek dan Eng Tay, yang berasal dari
masa Dinasti Jin, lebih dari 1600 tahun yang lalu. Dan di Indonesia ada kisah Saidjah
dan Adinda, yang menjadi buah pena Eduard Douwes Dekker atau Multatuli.
Apakah di dalam kepercayaan Buddhis ada kisah cinta yang selalu dikenang
oleh para penganutnya? Sebenarnya ada, tetapi hanya sedikit orang yang
mengetahuinya. Dalam tulisan kali ini, penulis akan mencoba menarasikan kisah ini,
yang sejatinya cerita ini berasal dari kehidupan Sang Bodhisattva itu sendiri.
Demikianlah pada satu zaman di masa lalu – yang tidak bisa dibayangkan
seberapa jauhnya kurun-waktu tersebut dari masa kini – hiduplah seorang petapa
muda yang bernama Sumedha. Mewarisi banyak kekayaan dari kedua orang tuanya
pada saat ayah dan ibunya meninggal dunia, tidak membuat Sumedha sebagai putera
tunggal keluarga itu menjadi kemaruk. Sebaliknya dia meninggalkan kampung
halamannya, dan menyumbangkan bagian besar harta warisannya kepada orang lain.
Sumedha sendiri menjalani kehidupannya di hutan sebagai petapa, dan membatasi
diri dalam bergaul dengan masyarakat banyak. Karena didukung bakat dan
dedikasinya, aspirasi Sumedha untuk mencapai kesucian dapat terealisasi dalam
tempo yang tidak terlalu lama; dan dia pun memperoleh kesaktian.
Menjalani hidup sehari-hari dengan menyendiri dan bertapa, menjadikan
Sumedha tidak mengetahui keadaan yang berlangsung di luar pondok pertapaannya.
Pada hari itu penduduk dusun yang tinggal di dekat pertapaannya sibuk bekerja,
melakukan berbagai aktivitas untuk menyiapkan suatu perhelatan. Kebisingan itu
membuatnya terjaga dan bertanya-tanya, apa gerangan yang telah terjadi. Seorang
warga dusun memberitahukannya, "ketahuilah, wahai brahmana. Seorang
Samma-Sambuddha telah muncul di dunia ini. Yang Mulia Bhagavan Dīpaṅkara esok
akan datang ke kotaraja. Kami semua akan menyambutnya dan melakukan
persembahan." Mendengar ada sosok Buddha yang akan bertandang ke kota
mereka, kegembiraan Sumedha meluap-luap, dan dia berniat untuk menemuinya dan
memberikan penghormatan kepada makhluk yang amat jarang muncul di dunia ini.
Sang Buddha Dīpaṅkara mengunjungi kotaraja Divāpati. Semua warga
kotaraja dan rakyat dari desa-desa di sekitarnya tumpah ruah memenuhi
jalan-jalan yang menuju ke istana kerajaan. Mereka telah membawa barang-barang
persembahan dari rumah, yang nantinya akan diberikan kepada Sang Buddha. Raja
yang berkuasa di kerajaan itu pun membeli semua bunga yang dijajakan di kotaraja,
yang telah dikumpulkannya dalam kereta-kerajaan, yang selanjutnya akan
dipersembahkan kepada Bhagavan Dīpaṅkara. Sumedha pun turut bersama rombongan
orang-orang yang memasuki kotaraja. Dengan tangan kosong dia berupaya
mencari-cari bunga yang biasa ditawarkan oleh para pedagang di kota itu, namun
barang yang dicarinya sudah tidak ada lagi. Sesaat sang petapa gelisah karena
dia belum memperoleh barang yang pantas untuk dipersembahkan kepada Sang
Bhagavan.
Sekonyong-konyong muncul di hadapan Sumedha seorang perempuan muda yang
amat rupawan, yang di tangannya sedang memegang beberapa kuntum bunga yang amat
elok. Dua pasang mata saling bertemu, dan keduanya pun jatuh cinta pada
pandangan pertama. Petapa Sumedha kemudian mengajak perempuan muda itu
bercakap-cakap, yang mana sang petapa kemudian mengetahui bahwa perempuan itu
bernama Sumittā. Sumedha bertanya pada Sumittā: "Berapakah harga untuk
teratai-teratai tersebut, wahai nona?" Dia menjawab: “Aku membeli kelima
tangkai teratai tersebut seharga 500 purāṇa (koin emas), dan dua tangkai yang lain aku dapatkan
dari seorang sahabat." Lalu sang brahmana muda berkata kepadanya:
"Aku akan memberikan kepadamu 500 purāṇa untuk lima tangkai teratai itu. Dengan teratai
tersebut aku akan menghormat pada Bhagavan Dīpaṅkara, dan engkau tetap dapat
menghormatiNya pula dengan dua tangkai lainnya."
Sumittā menjawabnya: "Aku akan memberikanmu lima tangkai teratai ini
dengan satu syarat, yaitu engkau akan mengambilku sebagai isterimu dan engkau
akan menjadi suamiku." Brahmana muda Sumedha menjawab: "Aku sedang
berusaha untuk melatih pikiranku untuk menjadi sesosok anuttarā samyak-saṃbodhi. Bagaimana kemudian aku berpikir tentang pernikahan?"
Sumittā menjawab: “Berusahalah dan capailah aspirasimu. Aku tidak akan
sekali-kali menghalangimu."
Sumedha pun menerima lima tangkai kuntum teratai yang elok itu tanpa mampu
berkata apa-apa. Sementara itu Sang Buddha Dīpaṅkara semakin mendekatinya. Saat
Sang Bhagavan menghampirinya, Sumedha mencoba melontarkan bunga yang
dipegangnya ke hadapan sang makhluk mulia, tetapi bunga itu malah melayang
melingkar di sekitar kepalanya. Menanggapi keajaiban ini, Sumedha segera
menjatuhkan dirinya ke tanah berlumpur yang berada di hadapannya. Dia berbaring
di depan Sang Bhagavan, membentangkan rambutnya sendiri di tanah agar Sang
Buddha dan para pengikutnya bisa melintasi jalan yang rusak itu dengan nyaman.
Seketika muncul keinginannya yang luhur untuk menjadi sosok yang serupa dengan
Sang Bhagavan. "Jika aku menghendaki, hari ini juga aku bisa menjadi
seorang siswa Sang Buddha, lalu berjuang dengan tekun untuk mencapai Pantai
Seberang di bawah bimbinganNya. Tetapi aspirasiku tidaklah seperti itu. Aku akan
menundanya, dan memilih untuk merintis jalan seperti yang pernah dilintasi oleh
Yang Mulia Bhagavan Dīpaṅkara."
Sang Buddha Dīpaṅkara dan para Arahanta siswanya berjalan terus
melewati Sumedha yang masih menelungkupkan dirinya di tanah. Mukjizat pun
terjadi, Sumedha tidak merasakan beban berat sedikit pun saat diinjak oleh
rombongan para suciwan itu. Orang banyak pun memberikan persembahan kepada
Buddha dan para pengikutnya, termasuk Sumittā yang memberikan dua tangkai bunga
seroja indah yang masih tersisa di tangannya.
Setelah menerima semua persembahan dari sang raja beserta segenap
rakyatnya, Sang Bhagavan duduk di singgasana yang telah disediakan. Diteruskan
dengan memberikan pesan Dharma dan menganugerahkan pemberkahan kepada semua
yang hadir, Dīpaṅkara pun melanjutkan perenungan dan meditasinya. Sang Bhagavan
yang waskita, bijaksana, serta dengan segala kemahatahuannya, meneropong ke
masa depan yang tak-terbilang jauhnya, melintasi siklus-siklus masa hidup dunia
yang timbul-tenggelam, seolah-olah tak habis-habisnya melintasi sang kala yang
tak pernah-berakhir.
Buddha Dīpaṅkara, Yang Tercerahkan Sempurna, yang hidup di kalpa yang penuh
kejayaan, membuka matanya. Dia lalu berkata kepada Sumedha: "Wahai,
Sumedha. Engkau akan menjadi seorang Yang Tercerahkan Sempurna, setelah empat asańkheyya-kappa dan seratus ribu kappa sejak sekarang. Engkau
akan dikenal sebagai Buddha Gotama ... ."
Cerita tentang Sumedha, Sumittā, dan Buddha Dīpaṅkara, penulis sadur dari
kitab Buddhavaṁsa dan Mahāvastu
Avadāna. Kisah kasih antara Sumedha dan Sumittā diawali dengan mata bertemu
mata, dan keduanya pun saling jatuh cinta. Pelajaran apa yang bisa kita ambil
dari kisah kehidupan dua sejoli anak manusia ini? Bukankah perjumpaan antar
manusia berlainan jenis didorong dari rasa cinta, ketika keduanya bertemu untuk
pertama kalinya? Inilah yang disebut orang awam sebagai jodoh. Jodoh inilah
dalam pandangan Buddhis dan agama orang Tionghoa dikenal sebagai hukum sebab
dan akibat. Pernahkah Anda sekalian mengalaminya sendiri? Begitu kita bertemu
dengan orang yang asing untuk pertama kalinya, kita bisa merasa suka, atau
benci, atau netral kepadanya. Penjelasan yang paling masuk akal: ada
keterikatan tertentu antara kita dengan orang asing tersebut di masa lampau.
Jika cinta berlanjut ke pelaminan dan kedua sejoli itu hidup bersama, maka
mereka berdua boleh tetap bersama dalam kehidupan ini. Namun seiring dengan
datangnya kematian, keduanya harus berpisah. Dan jika Anda percaya ada
kehidupan lagi setelah kehidupan yang sekarang berakhir, kita akan melanjutkan
kehidupan yang baru dengan pasangan yang lain. Adalah kasus yang langka terjadi,
suami dan isteri akan bersatu lagi di kehidupan selanjutnya. Dalam kisah di
atas Sang Buddha Dīpaṅkara sendiri turut meramalkan, bahwa Sumittā kelak akan
menjadi pasangan Sumedha dalam banyak kehidupan selanjutnya. Bukankah ini kasus
yang luar biasa? Hanya seorang Calon Buddha atau Bodhisattva yang dapat
mengalaminya!!
Kita ambil contoh perjalanan kehidupan selanjutnya dari Sumedha dan Sumittā,
seperti yang dikisahkan dalam kitab Jātakamala (yakni dalam Vishvantara
Jātaka). Tersebutlah cerita, yang memperlihatkan eratnya hubungan sepasang
suami-isteri. Alkisah pada masa itu hiduplah sang permaisuri Madri bersama
dengan suaminya, sang raja Vishvantara. Madri dulunya adalah Sumittā, sedangkan
Vishvantara dulunya tidak lain Sumedha. Kata Madri pada suatu waktu,
"kemana engkau akan pergi, aku harus ikut, suamiku. Bersamamu, bahkan
kematian akan menjadi kegembiraan bagiku. Hidup tanpamu tak mungkin dapat
kujalani." Lalu Vishvantara alias Sang Bodhisattva pergi bersama isteri
dan anak-anaknya. Mereka bersama-sama menjalankan praktik Dharma di tengah sebuah
rimba yang permai.
Guna menguji sampai tingkat mana Sang Bodhisattva telah berhasil
menjalankan parami-nya, Sakra raja para dewa, menyamar menjadi seorang
brahmana. Dia meminta kepada Sang Bodhisattva hartanya yang paling berharga.
Apa itu? Ya, isterinya sendiri. Bodhisattva yang teguh dalam keutamaan
ketidakmelekatannya, akhirnya menyerahkan Madri kepada brahmana tersebut. Madri
yang walaupun menderita, tetap tidak menangis, karena dia amat memahami
karakter suaminya. Sakra yang kemudian tersentuh oleh kejadian tersebut, dia
pun berteriak: "Untuk menghargai cinta kasih seorang isteri kepada suami
dan anak-anaknya, keduanya mempertunjukkan ikrar tanpa-kemelekatan. Tadinya
kuperkirakan, mustahil bagiku menyaksikan kemuliaan yang seluhur ini?" "Sekarang
aku mengembalikan Madri, isterimu kepadamu. Di mana lagi cahaya-bulan harus
berdiam, jika bukan di bulan itu sendiri?"
Demikianlah Sumedha bersama dengan Sumittā mengarungi kehidupan demi
kehidupan, yang tak-terhitung banyaknya. Terkadang mereka berkesempatan hidup
bersama, lain waktu masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Namun keutamaan
atau parami yang mereka jalankan semakin meningkat kualitasnya dan
mencapai tingkat kematangannya. Akhirnya lebih dari 2.500 tahun yang lalu, di
sebuah kerajaan yang terletak di daerah subur di Jambudvipa, hiduplah
seorang raja bernama Suppabuddha dengan permaisurinya, Pamita. Kabar baik telah
datang kepada mereka. Setelah bertahun-tahun menikah sang permaisuri pun hamil.
Pada saat yang sama, di kerajaan tetangga, adik perempuan sang raja, permaisuri
Māyā – yang
suaminya bernama raja Suddodhana – juga juga sedang mengandung. Tanda-tanda kehamilan
pada kedua permaisuri itu menunjukkan bahwa anak-anak yang akan dilahirkan oleh
mereka bukanlah anak-anak biasa. Kedua pasangan penguasa itu berharap kedua
anak yang lahir nantinya adalah anak laki-laki. Tetapi betapa kecewanya raja
Suppabuddha, dia ternyata mendapatkan seorang anak perempuan. Kecewa karena tidak
sesuai dengan harapan semula, bayi itu tetap dihormati berkat tanda-tanda fisik
yang menunjukkan keberuntungannya. Sang raja membungkuk di hadapannya dan anak
itu diberi nama Yasodharā. Seminggu setelah kelahirannya, ibunya meninggal, dan
anak itu lalu dibesarkan dan dididik oleh pembimbing istana dan para brahmana.
Yasodharā tumbuh menjadi seorang anak yang cantik, dermawan, dan sosok muda
yang penuh kasih. Dia mempertanyakan mengapa pelayannya tidak makan makanan
yang sama dengan para anggota keluarga istana. Rasanya tidak adil baginya bahwa
beberapa orang memiliki begitu banyak keberlimpahan, sedangkan yang lain
menderita karena mereka amat kekurangan. Ketika dia berusia 16 tahun dia mendengar
bahwa sepupunya, Siddhartha, sedang bersiap untuk memilih seorang pengantin.
Semua gadis yang memenuhi syarat dari dua wilayah kerajaan itu memberanikan
diri datang ke istana raja Suddhodana, untuk bertemu dan berkenalan dengan
pemuda yang tampan dan cerdas ini. Yasodharā telah mendengar tentang Siddhartha
dari kakaknya Devadatta. Devadatta bercerita tentang bagaimana dia memanah
jatuh seekor burung bangau yang sedang terbang. Siddhartha berusaha
menyelamatkan kembali makhluk malang itu dan meng-klaim hewan itu sebagai
miliknya.
"Burung itu milik orang yang menyelamatkan nyawanya, bukan kepunyaan orang
yang hendak membunuhnya," tukas Siddhartha. Ketika Yasodharā mendengar
cerita ini, dia sangat gembira dan ingin bertemu pemuda penyayang, yang memiliki
prinsip dan berjuang mempromosikan nilai-nilai kebajikan. Seperti semua gadis
lainnya yang memenuhi syarat, Yasodharā melakukan perjalanan ke istana
sepupunya. Saat dia masuk ke aula istana, tempat Siddhartha menyapa para wanita
muda, mata Yasodharā bertemu mata sang pemuda, dan Siddhartha merasakan kerinduan
yang amat dalam. Siddhartha tahu dia telah mencintainya selama mengarungi banyak
kehidupan. Mereka berdua mengingat kembali penjelajahan melintasi ruang dan
waktu, sejak mereka masih sebagai Sumedha dan Sumittā. Siddhartha berlutut dan
menawarkan Yasodharā perhiasan dan mahkota yang sedang dikenakannya, memintanya
untuk menjadi pengantinnya. Yasodharā kembali ke rumah dan memberitahu ayahnya
kabar baik ini.
Tatapan prihatin kepada putri kesayangannya tampak pada wajah sang raja,
Suppabuddha. Dia membungkuk dekat dengan anak kesayangannya itu. "Kamu
tahu, puteriku. Para cerdik pandai dan peramal istana menyebutkan bahwa
Siddhartha itu akan pergi dan meninggalkan keluarganya, demi mengejar
pencerahan agung." "Ya ayah, saya paham hal itu," jawab Yasodharā,
"tetapi saya akan melakukannya, dengan memilih Siddhartha sebagai suami
saya. Kami telah berikrar untuk bersama selama begitu banyak kehidupan. Sekarang
dalam kehidupan ini, akan menjadi kesempatan terakhir bagi kami untuk bersatu
kembali, dan kami akan menuntaskan tugas terakhir ini bersama-sama."
Demikianlah perhelatan akbar diadakan untuk mempererat kembali dua kerajaan
itu, serta Siddhartha dan Yasodharā pun menjadi pasangan suami dan isteri untuk
terakhir kalinya.
Meski ayah dan mertuanya meminta Yasodharā untuk tinggal di istana dan
memerintah kerajaan, dia lebih tertarik untuk memenuhi takdir spiritualnya. Dia
memasuki ordo biarawati pada saat yang sama dengan mertua perempuannya. Diantara
ratusan bhikkhunī, Yasodharā adalah salah satu dari siswi utama Sang
Buddha. Dia memperoleh kekuatan adibiasa dan salah satu kemampuannya, mengingat
era yang tak-terbatas di masa lalu. Suatu hari Yasodharā mendatangi Sang Buddha
dan berkata, "Malam ini usiaku akan berakhir." Dia datang untuk
berterima kasih, dan sekaligus berpamitan. Dia memberi tahu laki-laki yang pernah
menjadi suaminya dan sekaligus menjadi gurunya. Setelah malam berlalu dia pun
berangkat menuju Yang Tanpa-Kematian.
sdjn/dharmaprimapustaka/230208
Tidak ada komentar:
Posting Komentar