Kamis, 23 Februari 2023

SHÌ ZHÈNG YÁN DAN TZU CHI


 

(Bagian Pertama dari Dua Tulisan)

 

 

Dalam beberapa tahun belakangan ini kiprah Buddha Tzu Chi sebagai satu organisasi amal, berkembang pesat di berbagai kota besar di Indonesia. Selain sebagai sebuah badan amal yang bergerak di bidang kemanusiaan, Tzu Chi juga aktif membangun rumah sakit, sekolah, dan memiliki sebuah stasiun televisi. Dalam kesempatan kali ini penulis akan mencoba mengulas apa itu Tzu Chi dan siapa pendirinya. Sebagian besar tulisan ini didasarkan pada buku Master Cheng Yen : Teladan Cinta Kasih, yang ditulis oleh Yu-ing Ching, dengan penerbit PT Jing Si Mustika Abadi Indonesia, 2008.

 

Keberadaan Tzu Chi memang tidak bisa dilepaskan dari Master Cheng Yen itu sendiri dan Taiwan sebagai tempat kelahiran Tzu Chi. Master Cheng Yen atau 釋證嚴 (Shì Zhèng Yán), terlahir dengan nama 王錦雲 atau Wáng Jǐn Yún (atau Ông Kím Hûn, Hokkian) di 清水區 (Qīngshuǐ qū) atau Chingshui, Kota Taichung (臺中市, Táizhōng Shì) pada 14 Mei 1937. Tempat tinggal Master Cheng Yen yang sekarang adalah Griya Jing Si, di kota Hualien (花蓮市, Huā Lián Shì).

 

Taiwan di tahun 1937 berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Jepang, yang menjajah kepulauan tersebut sejak tahun 1895. Selama dalam cengkeraman Jepang, Taiwan tidak diperkenankan untuk aktif secara politik, namun sebagai satu negara koloninya Penjajah ingin menjadikan wilayah itu sebagai percontohan. Taiwan pun relatif makmur selama kurun waktu itu. Beruntung pula karena Jepang merupakan negara Buddhis, mereka mendorong orang Taiwan untuk meyakini ajaran Buddha.

 

Ayah kandung Jǐn Yún adalah seorang penjahit, yang memiliki keahlian membuat kancing-kancing baju. Pada masa itu kancing pakaian bukan terbuat dari plastik, tetapi terbuat dari sutera atau kapas dan harus dibentuk dan dijahit; jadi kancing merupakan produk satu karya seni. Ibu kandungnya adalah seorang ibu rumah tangga yang baik hati. Sebelum Jǐn Yún lahir, ayah dan ibunya telah memiliki dua orang puteri, yang masing-masing dinamakan Jǐn Yuè (錦月), yang berarti 'bulan permai', dan Jǐn Yù (錦玉) yang bermakna 'kemala elok'. Jǐn Yún sendiri kurang lebih berarti 'awan yang sangat indah'.

 

Tersebutlah Tuan Wang yang merupakan adik bungsu ayah kandungnya, serta isterinya yang untuk selanjutnya kita namakan 'Nyonya Wang', yang tinggal dekat dengan rumah keluarga Jǐn Yún. Mereka berdua sudah menikah selama bertahun-tahun, namun belum memiliki keturunan. Tuan Wang bekerja mengelola sebuah teater kecil, yang secara teratur mementaskan opera taiwan. Nyonya Wang masih teringat saat Jǐn Yún dilahirkan, "Jǐn Yún terlahir cantik, tanpa adanya kerutan dan tidak ada tanda kemerahan pada tubuhnya. Matanya gelap dan bercahaya, seperti dua kolam air yang mengandung kebijaksanaan; yang diwarisinya dari kehidupan yang lampau. Saya jatuh hati kepadanya – keponakan  yang baru lahir – pada pandangan pertama."

 

Nyonya Wang sering berkunjung ke Vihara Zi Yun untuk bersembahyang dan memohon kepada Dewi Kwan Im, agar dia dan suaminya diberikan anak yang seperti Jǐn Yún. Dia dengan rajinnya terus pergi ke kuil dan berdoa dengan khusyuk, hingga kakak ipar laki-laki dan kakak ipar perempuannya tahu mengapa dia memohon seperti itu. Saat Jǐn Yún berusia sebelas bulan, ayah dan ibu kandungnya berkata bahwa Nyonya Wang dan suaminya boleh mengadopsi anak itu.

 

Jǐn Yún sudah dapat berjalan ketika dia dipungut anak oleh Tuan dan Nyonya Wang. Sebagai anak kecil yang baru tumbuh, sang bayi sudah tahu membalas cinta kasih orang tuanya yang baru. Dia banyak tertawa dan mulai belajar bicara, serta tawa riang dan celoteh polosnya mampu memberi kebahagiaan dan memperkaya kehidupan kedua orang tuanya. "Seperti yang dikatakan oleh orang tua dulu, jika ingin punya anak, maka haruslah dipancing dulu." Pepatah itu ada benarnya, buktinya setelah Jǐn Yún dipungut sebagai anak, Nyonya Wang mulai hamil dan setelah cukup umurnya dia pun melahirkan anak yang pertama. Bahkan bukan hanya satu anak, tetapi sampai empat orang. Walaupun mereka memiliki lima anak, Jǐn Yún adalah yang paling berharga dimata bapak dan ibunya, dan mereka lupa sepenuhnya bahwa dia hanya anak angkat. Jǐn Yún tidak hanya menyayangi kedua orang tuanya, tetapi juga adik-adik perempuan dan laki-lakinya. Saat usianya lima tahun, dia sudah membantu ibunya merawat bayi-bayi itu.

 

Setelah umurnya mencapai enam setengah tahun Jǐn Yún mulai bersekolah. Pendidikan dasar diisi dengan pelajaran Konfusianisme, ilmu pengetahuan, dan bahasa Jepang. Namun saat itu Perang Dunia ke-2 sedang berlangsung dan keadaan ekonomi rakyat semakin susah. Teater ayahnya tidak berjalan dengan baik dan hanya sedikit orang yang masih memiliki uang lebih untuk keperluan hiburan. Terpaksa ibunya mulai mencari uang dengan bekerja serabutan dari pagi hingga malam. Jǐn Yún turut membantu mengumpulkan kayu bakar, memasak, dan mengasuh adik-adiknya. Saat itulah ibunya sering sakit dan Jǐn Yún hanya punya waktu sedikit untuk belajar, karena dia harus turut merawat ibunya. Namun di sekolah para gurunya menyayanginya dan menjulukinya Oh-she (istilah Jepang, berarti 'menyenangkan').

 

Perang Pasifik semakin berkobar setelah tahun 1942 dan tahun berikutnya Sekutu mulai mendesak Jepang. Taiwan dijadikan pangkalan armada laut Jepang dan pulau ini ikut digempur oleh angkatan udara Amerika. Pengeboman yang dilakukan pesawat-pesawat Sekutu sampai juga di Chingshui. Jika sirene tanda bahaya dibunyikan, orang-orang bergegas memasuki lubang-lubang perlindungan di dalam tanah. Mereka akan bersembunyi di dalam lorong gelap sambil mendengarkan bom jatuh. Suasananya sangat mencekam dan menakutkan. Ketika bumi berguncang dan atap lubang perlindungan bergetar, tempat persembunyian itu pun masih bisa runtuh. Setelah keadaan aman mereka bisa keluar, lalu tampaklah pemandangan yang mengerikan. Segala-galanya telah porak poranda dan beberapa orang telah mati atau sekarat, demikian juga dengan hewan ternak. Di kota kecil itu semua orang saling mengenal, dan mereka pun sibuk menyelamatkan orang yang terluka dan menguburkan mereka yang tewas. Kendaraan, perabot rumah, dan pakaian meleleh dan terbakar, menyisakan puing-puing tak berguna. Orang-orang mengeluh tiada henti, sambil bergumam bahwa mereka telah menabung untuk membeli barang berharga, yang kemudian musnah hanya dalam beberapa menit saja.

 

Jǐn Yún kecil menyaksikan peperangan dan dampaknya yang mengerikan terhadap kemanusiaan. Bocah kecil kita ini telah belajar banyak, betapa rentannya kehidupan ini dan kepemilikan harta benda yang bisa musnah dalam sekejap. Pengalaman masa kanak-kanaknya akan membentuk kepribadiannya kelak.

 

Pada Agustus 1945 perang reda dan Jepang meninggalkan Taiwan. Pemerintahan dipegang lagi oleh Tiongkok setelah 50 tahun. Jǐn Yún mulai masuk Kelas 3 SD dan sekolah di Taiwan tidak lagi menggunakan bahasa Jepang. Antara tahun 1945-1947 perekonomian Taiwan membaik dan alhasil bisnis Tuan Wang pun berkembang. Sekarang dia membuka enam teater baru di berbagai kota, dan pertunjukan tidak hanya terbatas pada opera taiwan saja tetapi ditambah dengan pemutaran film. Tahun 1949 Partai Nasionalis memindahkan pemerintahan ke Taipei dan jumlah penduduk meningkat pesat. Penonton teater semakin banyak dan Keluarga Wang menjadi kaya. Mereka lalu pindah ke Fengyuan (豐原區, Fēng Yuán Qū). Pada saat itu Nyonya Wang mampu mempekerjakan pembantu rumah tangga, dan Jǐn Yún tidak perlu melakukan pekerjaan itu lagi. Setelah sekolah usai, Jǐn Yún tidak bermain-main seperti gadis seusianya, tetapi dia pergi membantu ayahnya di salah satu teater. Mulanya dia hanya menjual makanan ringan pada satu gerai khusus untuk para langganan, kemudian dalam waktu singkat dia mampu mengerjakan segalanya. Waktu luangnya banyak dihabiskan bersama ayahnya, dan dari sanalah dia mempelajari bisnis yang dijalankan oleh keluarganya.

 

Ketika Jǐn Yún memasuki masa remaja kecantikannya semakin bertambah. Dia memiliki wajah yang menyenangkan dan roman muka yang sempurna. Dia tidak pernah memakai kosmetik dan rambutnya dibiarkan panjang dan lurus. Sebagai gadis yang menarik dia banyak bergaul dengan kaum pria, baik dengan yang seumur atau yang lebih tua. Namun demikian dia tidak memiliki ketertarikan kepada mereka, dan dia pun tidak pernah punya pacar. Sekali waktu ketika Jǐn Yún berusia kurang lebih 17 tahun, seorang laki-laki muda keturunan Jepang yang tampan mengutus seorang mak comblang untuk menemui Tuan Wang. Keluarga lelaki itu minta agar Jǐn Yún mau menikah dengan pemuda itu. Tidak seperti ayah kebanyakan, Tuan Wang yang amat menyayangi puterinya, meminta pertimbangan dari anaknya. Jǐn Yún menolak lamaran pernikahan itu, dan dengan tegas berjanji, dia tidak akan pernah mau lagi menerima permohonan dari mak comblang mana pun.

 

Sesuatu kejadian yang luar biasa terjadi ketika Jǐn Yún berusia 15 tahun. Nyonya Wang agaknya sudah bertahun-tahun menderita sakit, dan puncaknya terjadi pada waktu itu. Dia terkena lambung akut parah. Jika dia mendapat serangan, bagian dalam perutnya seolah-olah dibakar oleh bara api. Penyakit itu pun semakin kritis dan semua orang berpikir, Nyonya Wang akan segera mati. Dokter menyarankan tindakan operasi, tetapi di tahun 1952 jarang ada pasien yang bisa selamat dari operasi perut. Nyonya Wang sudah mencoba berbagai pengobatan, dan dia sudah beberapa kali muntah darah. Jǐn Yún pun menunggui sang bunda siang dan malam, dan dia teringat banyak orang bersembahyang di Vihara Zi Yun. Mereka percaya jika orang berdoa dengan tulus dan tanpa pamrih, permohonannya akan dikabulkan.

 

Begitu sayang dan cintanya kepada ibundanya, Jǐn Yún akhirnya memohon kepada Sang Bodhisattva Avalokitesvara: "Asalkan Ibu dapat disembuhkan, umurku rela dikurangi 12 tahun, dan aku akan mulai menjalankan pola hidup vegetaris seumur hidup." Setelah beberapa lama, pada suatu malam Jǐn Yún bermimpi. Dia mendapati sebuah vihara kecil dengan tiga pintu, dan dia masuk ke dalamnya. Ada arca Buddha besar di tengah-tengah ruangan, dan di satu sisinya ada sebuah tempat tidur dari bambu. Terlihat Nyonya Wang terbaring di situ dan Jǐn Yún berlutut di sampingnya, menghadap ke sebuah kompor kayu dan memegang sebuah kipas. Gadis itu tahu isi panci yang sedang dimasak adalah obat-obatan herbal. Sekonyong-konyong angin lembut bertiup menguak pintu dan awan putih terbang rendah, laksana bunga yang turun dari surga. Di tengah awan muncul seorang wanita cantik yang pernah dilihatnya, serta dia membawa sebuah botol bersinar dan menuang ke luar sebuah bungkusan kecil. Setelah benda itu diserahkan kepada Jǐn Yún, wanita itu pun sirna. Masih di dalam mimpi, Jǐn Yún membuka bungkusan yang ternyata berisi serbuk obat, mencampurkannya dengan air, dan diminumkan kepada ibunya. Aneh!!  Tiga malam berturut-turut, Jǐn Yún mendapat mimpi yang sama. Setelah mendapatkan mimpi itu, Jǐn Yún terus merawat ibunya dengan ramuan herbal, dan secara berangsur-angsur penyakit ibunya pun lenyap. Para dokter yang merawatnya pun bingung mendapati pasien mereka sembuh secara misterius; dan Nyonya Wang tetap sehat lebih dari empat dekade kemudian. Sejak saat itu Jǐn Yún menepati sumpahnya dan dia menjadi seorang vegetarian sepanjang sisa usianya. Jǐn Yún hanya mengikuti suara hatinya, karena pada saat itu dia belum mengenal ajaran Buddha.

 

Perjalanan hidup manusia memang tidak selalu mulus. Tuan Wang yang selama ini sehat-sehat saja, tiba-tiba mendapat serangan jantung minor ketika Jǐn Yún hampir berusia 19 tahun. Dia sering merasakan dadanya nyeri dan napasnya pendek-pendek. Dokter keluarga yang merawatnya tidak memberikan peringatan tentang gawatnya kondisi sang pasien. Semakin lama kondisi kesehatannya semakin menurun, dan kurang lebih setahun kemudian dia mendapatkan serangan jantung untuk kedua kalinya. Saat itu Tuan Wang sedang berada di sebuah teater miliknya dan dia mengeluh kepalanya sakit sekali. Jǐn Yún pun segera memanggil dokter keluarga, yang langsung mendiagnosa tekanan darahnya ternyata tinggi sekali. Setelah disuntik obat, tekanan darahnya turun, dan dokter itu pergi tanpa memberi pesan apa pun. Jǐn Yún yang khawatir terhadap kondisi ayahnya segera membawanya pulang. Tindakan itu sebetulnya tidak diperbolehkan, dan membuat Tuan Wang tak sadarkan diri sesampainya di rumah. Keesokan harinya dia pun meninggal dunia.

 

Setelah mengetahui penyebab kematian ayahnya, Jǐn Yún berkata: "Semua ini kesalahanku. Jika aku tidak memindahkan Papa, dia akan tetap hidup. ... ." Lama setelah pemakaman ayahnya, Jǐn Yún mengurangi makan dan dia tidak bisa tidur. Tubuhnya tampak kurus dan wajahnya pucat pasi. Nyonya Wang yang khawatir berdiskusi dengan ibu kandungnya yang tinggal serumah. Nenek Jǐn Yún pun mengemukakan pendapat bahwa para bhiksu dan bhiksuni tua biasanya pandai dan bersedia membantu. Jadi mereka membawa Jǐn Yún untuk menemui seorang bhiksu di salah satu vihara setempat. Ketika dipertemukan sang bhiksu bertanya apa yang bisa ia bantu, dan Jǐn Yún bertanya, "tolong katakan, dimana roh ayah saya berada." Bhiksu itu bertanya kepada Nyonya Wang perihal nama almarhum dan laporan terinci tentang kematiannya. Jǐn Yún menambahkan apa yang telah dia lakukan dan perasaan bersalah yang menghantuinya. Setelah melakukan ritual menyalakan lilin, membakar dupa, dan bermeditasi sejenak, sang bhiksu pun membuka matanya dan berkata kepada Jǐn Yún. "Saya telah menemukan roh ayahmu yang malang. Dia menjadi tahanan di Wang Si Cheng, tempat yang menyedihkan." Jǐn Yún sangat kaget  dan perasaan bersalahnya berlipat ganda, dan kelak dibutuhkan waktu lama baginya untuk mengabaikan kata-kata bhiksu tersebut.

 

Beberapa waktu kemudian seorang bhiksu tua yang bernama Master Miao Guang (妙廣法師 atau Miào Guǎng Fǎ Shī) berkunjung ke Vihara Fengyuan, dan dia mulai mengajarkan Sutra Ksitigarbha. Jǐn Yún menemuinya dan kembali bertanya, "dimana roh ayah saya berada." Master memandangnya dengan ramah dan menasehatinya agar tidak terlalu memikirkan kata-kata yang mengganggu itu. Dia memberikan sebuah buku, "bacalah dan kamu akan memahami dimana roh ayahmu berada." Jǐn Yún buru-buru pulang dan mulai membaca. Ketika selesai, dia memahami bahwa semua makhluk hidup akan mati, serta selanjutnya akan dilahirkan-kembali.

 

Seorang teman baik Jǐn Yún prihatin melihat keadaan sahabatnya itu. Dia menasehati bahwa di Vihara Fengyuan ada seorang bhiksuni bijaksana yang berusia setengah baya. Kelak bhiksuni ini memainkan peranan penting dalam hidup Jǐn Yún. Dia sudah dipanggil "Suhu", yang dalam konteks kisah ini identik dengan guru yunior; sedangkan untuk guru senior dipanggil sebagai "Master". Tokoh ini seperti yang umum dalam kalangan monastik, dipanggil dengan nama-kuilnya, yakni Xiū Dào Fǎ Shī (修道法師, Siu Tō Hoat Su, Hokkian), selanjutnya disingkat Xiū Dào. Sejak awal bertemu Jǐn Yún sudah langsung menyukai gurunya ini, dan setelah menyelesaikan pekerjaan hariannya dia selalu menyempatkan diri berkunjung ke sana. Mereka berdua secara intens mempelajari ajaran agama Buddha.

 

Setelah berteman akrab dengan Suhu Xiū Dào, kesedihan Jǐn Yún atas kepergian ayahnya lama-kelamaan pun sirna, dan gagasan untuk menjadi seorang bhiksuni secara bertahap terbentuk di hati Jǐn Yún. Jǐn Yún pun kembali ke kehidupan normal dan dia menjadi sangat sibuk. Bangun pagi dia mengurus pekerjaan rumah tangga, kemudian membaca buku tentang ajaran Buddha, melafalkan "Namo Amitabha", dan bermeditasi. Selanjutnya Jǐn Yún pergi mengurus tujuh teaternya. Bisnis berjalan lancar dan beberapa waktu kemudian Jǐn Yún mengusulkan kepada ibunya, bahwa dia bermaksud menjual beberapa teater, dan ibunya setuju. Dari hasil penjualan dua teater keluarga Wang bisa mendepositokan uangnya, dan membeli emas batangan yang disimpan di tempat aman di rumahnya.

 

Setelah beberapa lama dia merasa yakin adik-adiknya bisa mengurus bisnis teater ayah mereka dengan baik, dan keluarga itu memiliki banyak uang. Wáng Jǐn Yún membulatkan tekadnya untuk menjadi bhiksuni dan berkarya melalui ajaran Buddha; satu cita-cita yang hanya dikerjakan oleh kaum pria di Tiongkok selama berabad-abad. Jǐn Yún terus mengunjungi Suhu Xiū Dào dan merengek agar bisa menjalani hidup sebagai seorang bhiksuni. Akhirnya Suhu tersentuh oleh keuletan dan kesungguhan Jǐn Yún, dan pada permulaan musim dingin tahun 1960 dia minggat dari rumahnya menuju ke Vihara Jing Xiu di Xizhi, kota kecil di pinggiran Taipei. Dia pergi dari rumah secara diam-diam karena ibunya pasti tidak mengizinkannya. Dua hari pertama dia berlatih mengikuti tradisi monastik di tempat itu dan merasa betah, namun di akhir hari ketiga Nyonya Wang datang untuk menjemput puterinya.

 

Bagaimana Nyonya Wang bisa tahu anaknya berada di sana? Jǐn Yún sendiri yang memberitahukan beberapa sahabat karibnya tentang tujuan kepergiannya, dan ada dari mereka yang membocorkannya. Hari pun berganti hari, dan Jǐn Yún tidak pernah melepaskan keinginannya menjadi seorang biarawati. Suatu hari di akhir musim gugur tahun 1961 bertepatan dengan panen raya di Vihara Fengyuan, secara mendadak Suhu Xiū Dào mengajaknya untuk pergi. Suhu sendiri bertujuan, kepergiannya untuk mengabdikan diri di vihara yang lain. Mereka pergi berdua saja dengan sembunyi-sembunyi, dan dengan menaiki kereta api keduanya terdampar di sebuah kuil yang terpencil di kota kecil Luye. Di sana mereka menghabiskan waktu hampir dua musim, dan hanya dengan persediaan bahan makanan yang terbatas keduanya bisa bertahan. Setelah itu mereka mengembara ke berbagai vihara, dan Jǐn Yún tidak pernah lama tinggal di satu tempat, karena aspirasinya tidak sejalan dengan kepala biara yang ditemuinya. Akhirnya pada Desember 1962 keduanya terdampar di Vihara Dong Jing di kota Hualien. Orang yang membangun vihara tersebut ternyata seorang bangsawan yang telah berumur, yang bernama 許聰敏 atau Xǔ Cōng Mǐn. Pak Xǔ adalah orang kaya, murah hati, dan seorang Buddhis yang soleh. Dia telah membiayai pembangunan sejumlah vihara dan akan membangun lebih banyak lagi. Keduanya bertemu dengan pak Xǔ dan mereka ternyata cocok.

 

Pak Xǔ mendengar bahwa mereka berdua sedang mencari sebuah vihara yang bisa dijadikan tempat tinggal. "Ada sebuah kuil kosong di Dusun Xiu Lin yang bernama Vihara Pǔ Míng (普明寺, Pǔ Míng Sì), yang artinya 'Yang Diliputi Cahaya', yang baru saja dibangun untuk kami persembahkan kepada Bodhisattva Ksitigarbha. Tidak ada ruangan untuk tinggal, tetapi kalian bisa melihatnya." Besoknya mereka tiba di depan Vihara Pǔ Míng. Setelah melihat sebuah vihara kecil dengan tiga pintu, Jǐn Yún berseru, "Saya tahu tempat ini! Saya pernah ke sini sebelumnya." "Mustahil, cucuku," pak Xǔ tertawa, "vihara ini masih baru dan belum lama ini diresmikan." Jǐn Yún bersikeras, "saya pernah berada di sini lebih dari satu kali! Saya tahu persis barang apa yang ada di dalamnya!" Sambil berdiri di depan vihara yang pintunya tertutup, dia mulai menggambarkan bagian dalamnya secara terinci. "Kamu sepenuhnya benar, tetapi bagaimana kamu bisa tahu?", tanya pak Xǔ. "Saya berada di sini saat saya baru berumur 15 tahun, dan tempat ini muncul dalam mimpi saya."

 

Selanjutnya di Vihara Pǔ Míng, Jǐn Yún dan Suhu Xiū Dào setiap hari mengajarkan Sutra kepada penduduk sekitar, dan malam harinya mereka menginap di rumah pak Xǔ yang besar itu. Keduanya secara tidak resmi sudah dianggap anak dan cucu oleh pak Xǔ. Kondisi kesehatan Suhu Xiū Dào semakin menurun dan dia sadar bahwa dia tidak bisa lagi berjuang bersama-sama dengan Jǐn Yún. Dia pun pulang ke Fengyuan dan menetap lagi di kuilnya yang dulu. Suhu Xiū Dào sendiri tetap berteman dengan Jǐn Yún dan beliau wafat pada 21 Maret 2016 dalam usia 95 tahun. Setelah kepergian teman seperjuangannya Jǐn Yún tetap tinggal di rumah pak Xǔ, karena dia belum ditahbiskan dan tidak pantas bagi seorang gadis tinggal sendirian. Ketika itu musim semi tahun 1963, Jǐn Yún menghadap pak Xǔ dengan wajah cerah, "akan ada upacara penahbisan di Vihara Lin Ji di Taipei. Saya akan pergi ke sana dan minta ditahbiskan. Setelah kembali ke Hualien saya akan resmi menjadi seorang bhiksuni." Pak Xǔ dengan mata berkaca-kaca berkata, "dan kamu akan meninggalkanku. Tetapi dimana kamu akan tinggal?" "Saya punya rencana," jawabnya sambil tersenyum. "Di belakang vihara ada sebidang tanah yang sangat kecil. Bisakah Anda membuatkan sebuah pondok yang sederhana? Karena kehidupan seorang bhiksuni haruslah sangat bersahaja." Pak Xǔ berjanji, "saya akan bicara dengan tukang hari ini dan mulai membangunnya besok."

 

Sesampainya di Vihara Lin Ji, dia harus menyimpan kekecewaannya, karena mereka tidak bisa menahbiskan orang yang tidak memiliki guru. Penahbisan bisa berlangsung jika orang itu menjadi samaneri dulu dan menjalankannya selama dua tahun di bawah bimbingan seorang guru. Tetapi Jǐn Yún tidak ingin pulang dengan tangan hampa. "Ada beberapa sutra yang tidak dapat saya peroleh di Hualien, tahukah Anda di mana saya dapat memperolehnya?" Bhiksuni itu lalu mengajaknya ke Vihara Hui Rui. Sesampainya di sana sang bhiksuni yang ringan tangan itu berkata, "sebelum membeli buku, kita sebaiknya memberi hormat kepada guru yang bertugas, Master Yìn Shùn." Master Yìn Shùn (印順, 5-Apr-1906 - 4-Jun-2005) adalah seorang guru besar berusia 57 tahun yang berasal dari Daratan Tiongkok, menjadi bhiksu selama puluhan tahun, dan meraih gelar doktor kehormatan dari sebuah universitas di Jepang. Mendengar bahwa Jǐn Yún datang dari Hualien, iseng-iseng beliau bertanya, "apakah kamu datang ke Taipei untuk ditahbiskan?” Jǐn Yún menjawab, "saya ingin, tetapi saya tidak punya guru." Sang bhiksuni yang sedari tadi menemaninya pun berkata bahwa gadis itu ingin diterima sebagai siswa Master Yìn Shùn. Master tertawa, "sepanjang hidupku aku hanya mengangkat 4 orang murid, dan sama sekali tidak bermaksud memiliki 5 murid." Jǐn Yún tidak berkata apa-apa namun terus memandangi Master dengan memohon. Master Yìn Shùn memalingkan muka dan hampir beranjak pergi. Kemudian, seolah-olah ditarik oleh tangan yang tak terlihat beliau berbalik. Memandangi Jǐn Yún sambil tersenyum, dia pun berkata, “sebuah suara yang kuat di hatiku berkata bahwa adalah jalinan jodohku untuk menjadi gurumu, dan jalinan jodohmu menjadi muridku." Mereka bertiga pun bergegas ke Vihara Lin Ji, karena waktu penahbisan hanya tinggal satu jam lagi. Akhirnya Master Yìn Shùn berkata: "Karena kamu sudah berlindung kepada Tiga Permata, maka saya harus memberimu sebuah nama Dharma." Beliau berhenti sebentar untuk berpikir. "Ah! ujar beliau setelah menemukan aksara yang tepat. "Nama Dharmamu adalah Zhèng Yán (證嚴)."

 

 

(Bersambung)

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/230222




Rabu, 08 Februari 2023

KISAH CINTA TERBESAR SEPANJANG MASA



Barangkali dari segala macam cerita yang pernah diceritakan orang di kolong langit ini, tidak ada yang bisa begitu menarik perhatian dan dikenang hingga melampaui keperkasaan sang kala; yakni kisah tentang dua insan berlainan jenis, yang berkesempatan memadu kasih. Kisah cinta atau love story hidup di berbagai budaya dan merambah hingga melintasi zaman, mengiringi dan mewarnai sejarah peradaban itu sendiri.

 

Anda para pembaca pasti telah mendengar, bahkan mungkin pernah membaca Kisah Romeo dan Juliet, yang sebenarnya berasal dari cerita rakyat Italia. Kisah cinta ini sebenarnya adalah sebuah roman tragis pada zaman kuno, dan mulai populer pada akhir abad ke-16 setelah digubah menjadi sebuah pentas drama, oleh sang pujangga besar William Shakespeare. Cerita-cerita cinta terkadang berasal dari kisah hidup sesungguhnya sepasang anak manusia, atau hasil imajinasi jenius dari pengarangnya, tidaklah penting bagi orang yang membacanya. Seperti Kisah Cleopatra dan Mark Antony, sesungguhnya berasal dari kisah nyata dari sang penguasa Mesir Kuno; yang juga digubah menjadi karya sastra oleh Shakespeare. Kisah-kisah cinta selanjutnya bisa kita pungut dari khazanah cerita rakyat di mancanegara. Dari Persia ada cerita cinta antara Layla dan Majnun. Di India populer hingga kini kisah kasih antara Shah Jahan dan Mumtaz Mahal. Sedangkan dari Tiongkok ada drama Sam Pek dan Eng Tay, yang berasal dari masa Dinasti Jin, lebih dari 1600 tahun yang lalu. Dan di Indonesia ada kisah Saidjah dan Adinda, yang menjadi buah pena Eduard Douwes Dekker atau Multatuli.

 

Apakah di dalam kepercayaan Buddhis ada kisah cinta yang selalu dikenang oleh para penganutnya? Sebenarnya ada, tetapi hanya sedikit orang yang mengetahuinya. Dalam tulisan kali ini, penulis akan mencoba menarasikan kisah ini, yang sejatinya cerita ini berasal dari kehidupan Sang Bodhisattva itu sendiri.

 

Demikianlah pada satu zaman di masa lalu – yang tidak bisa dibayangkan seberapa jauhnya kurun-waktu tersebut dari masa kini – hiduplah seorang petapa muda yang bernama Sumedha. Mewarisi banyak kekayaan dari kedua orang tuanya pada saat ayah dan ibunya meninggal dunia, tidak membuat Sumedha sebagai putera tunggal keluarga itu menjadi kemaruk. Sebaliknya dia meninggalkan kampung halamannya, dan menyumbangkan bagian besar harta warisannya kepada orang lain. Sumedha sendiri menjalani kehidupannya di hutan sebagai petapa, dan membatasi diri dalam bergaul dengan masyarakat banyak. Karena didukung bakat dan dedikasinya, aspirasi Sumedha untuk mencapai kesucian dapat terealisasi dalam tempo yang tidak terlalu lama; dan dia pun memperoleh kesaktian.

 

Menjalani hidup sehari-hari dengan menyendiri dan bertapa, menjadikan Sumedha tidak mengetahui keadaan yang berlangsung di luar pondok pertapaannya. Pada hari itu penduduk dusun yang tinggal di dekat pertapaannya sibuk bekerja, melakukan berbagai aktivitas untuk menyiapkan suatu perhelatan. Kebisingan itu membuatnya terjaga dan bertanya-tanya, apa gerangan yang telah terjadi. Seorang warga dusun memberitahukannya, "ketahuilah, wahai brahmana. Seorang Samma-Sambuddha telah muncul di dunia ini. Yang Mulia Bhagavan Dīpaṅkara esok akan datang ke kotaraja. Kami semua akan menyambutnya dan melakukan persembahan." Mendengar ada sosok Buddha yang akan bertandang ke kota mereka, kegembiraan Sumedha meluap-luap, dan dia berniat untuk menemuinya dan memberikan penghormatan kepada makhluk yang amat jarang muncul di dunia ini.

 

Sang Buddha Dīpaṅkara mengunjungi kotaraja Divāpati. Semua warga kotaraja dan rakyat dari desa-desa di sekitarnya tumpah ruah memenuhi jalan-jalan yang menuju ke istana kerajaan. Mereka telah membawa barang-barang persembahan dari rumah, yang nantinya akan diberikan kepada Sang Buddha. Raja yang berkuasa di kerajaan itu pun membeli semua bunga yang dijajakan di kotaraja, yang telah dikumpulkannya dalam kereta-kerajaan, yang selanjutnya akan dipersembahkan kepada Bhagavan Dīpaṅkara. Sumedha pun turut bersama rombongan orang-orang yang memasuki kotaraja. Dengan tangan kosong dia berupaya mencari-cari bunga yang biasa ditawarkan oleh para pedagang di kota itu, namun barang yang dicarinya sudah tidak ada lagi. Sesaat sang petapa gelisah karena dia belum memperoleh barang yang pantas untuk dipersembahkan kepada Sang Bhagavan.

 

Sekonyong-konyong muncul di hadapan Sumedha seorang perempuan muda yang amat rupawan, yang di tangannya sedang memegang beberapa kuntum bunga yang amat elok. Dua pasang mata saling bertemu, dan keduanya pun jatuh cinta pada pandangan pertama. Petapa Sumedha kemudian mengajak perempuan muda itu bercakap-cakap, yang mana sang petapa kemudian mengetahui bahwa perempuan itu bernama Sumittā. Sumedha bertanya pada Sumittā: "Berapakah harga untuk teratai-teratai tersebut, wahai nona?" Dia menjawab: “Aku membeli kelima tangkai teratai tersebut seharga 500 purāṇa (koin emas), dan dua tangkai yang lain aku dapatkan dari seorang sahabat." Lalu sang brahmana muda berkata kepadanya: "Aku akan memberikan kepadamu 500 purāṇa untuk lima tangkai teratai itu. Dengan teratai tersebut aku akan menghormat pada Bhagavan Dīpaṅkara, dan engkau tetap dapat menghormatiNya pula dengan dua tangkai lainnya."

 

Sumittā menjawabnya: "Aku akan memberikanmu lima tangkai teratai ini dengan satu syarat, yaitu engkau akan mengambilku sebagai isterimu dan engkau akan menjadi suamiku." Brahmana muda Sumedha menjawab: "Aku sedang berusaha untuk melatih pikiranku untuk menjadi sesosok anuttarā samyak-saṃbodhi. Bagaimana kemudian aku berpikir tentang pernikahan?" Sumittā menjawab: “Berusahalah dan capailah aspirasimu. Aku tidak akan sekali-kali menghalangimu."

 

Sumedha pun menerima lima tangkai kuntum teratai yang elok itu tanpa mampu berkata apa-apa. Sementara itu Sang Buddha Dīpaṅkara semakin mendekatinya. Saat Sang Bhagavan menghampirinya, Sumedha mencoba melontarkan bunga yang dipegangnya ke hadapan sang makhluk mulia, tetapi bunga itu malah melayang melingkar di sekitar kepalanya. Menanggapi keajaiban ini, Sumedha segera menjatuhkan dirinya ke tanah berlumpur yang berada di hadapannya. Dia berbaring di depan Sang Bhagavan, membentangkan rambutnya sendiri di tanah agar Sang Buddha dan para pengikutnya bisa melintasi jalan yang rusak itu dengan nyaman. Seketika muncul keinginannya yang luhur untuk menjadi sosok yang serupa dengan Sang Bhagavan. "Jika aku menghendaki, hari ini juga aku bisa menjadi seorang siswa Sang Buddha, lalu berjuang dengan tekun untuk mencapai Pantai Seberang di bawah bimbinganNya. Tetapi aspirasiku tidaklah seperti itu. Aku akan menundanya, dan memilih untuk merintis jalan seperti yang pernah dilintasi oleh Yang Mulia Bhagavan Dīpaṅkara."

 

Sang Buddha Dīpaṅkara dan para Arahanta siswanya berjalan terus melewati Sumedha yang masih menelungkupkan dirinya di tanah. Mukjizat pun terjadi, Sumedha tidak merasakan beban berat sedikit pun saat diinjak oleh rombongan para suciwan itu. Orang banyak pun memberikan persembahan kepada Buddha dan para pengikutnya, termasuk Sumittā yang memberikan dua tangkai bunga seroja indah yang masih tersisa di tangannya.

 

Setelah menerima semua persembahan dari sang raja beserta segenap rakyatnya, Sang Bhagavan duduk di singgasana yang telah disediakan. Diteruskan dengan memberikan pesan Dharma dan menganugerahkan pemberkahan kepada semua yang hadir, Dīpaṅkara pun melanjutkan perenungan dan meditasinya. Sang Bhagavan yang waskita, bijaksana, serta dengan segala kemahatahuannya, meneropong ke masa depan yang tak-terbilang jauhnya, melintasi siklus-siklus masa hidup dunia yang timbul-tenggelam, seolah-olah tak habis-habisnya melintasi sang kala yang tak pernah-berakhir.

 

Buddha Dīpaṅkara, Yang Tercerahkan Sempurna, yang hidup di kalpa yang penuh kejayaan, membuka matanya. Dia lalu berkata kepada Sumedha: "Wahai, Sumedha. Engkau akan menjadi seorang Yang Tercerahkan Sempurna, setelah empat asańkheyya-kappa dan seratus ribu kappa sejak sekarang. Engkau akan dikenal sebagai Buddha Gotama ... ."


Setelah mengamati apa yang sedang terjadi antara Sumedha dan Sumittā, Sang Bhagavan membuat ramalan di tengah-tengah keramaian: "Oh Sumedha. Perempuan ini, Sumittā, akan menjadi pendampingmu dalam berbagi hidup, membantumu dengan semangat dan perbuatan yang setara, dalam usahamu mencapai Kebuddhaan. Dia akan membahagiakanmu dalam setiap pikiran, perkataan, dan perbuatannya. Dia akan berpenampilan cantik dan menyenangkan, manis tutur katanya, serta mulia hatinya. Dalam usahamu mencapai Pencerahan Agung, dalam kelahiranmu yang terakhir, dia akan menjadi siswa-perempuanmu, yang akan menerima warisan spiritual darimu, menjadi seorang Arahant, lengkap dengan kemampuan batin tertinggi."

Cerita tentang Sumedha, Sumittā, dan Buddha Dīpaṅkara, penulis sadur dari kitab Buddhavasa dan Mahāvastu Avadāna. Kisah kasih antara Sumedha dan Sumittā diawali dengan mata bertemu mata, dan keduanya pun saling jatuh cinta. Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari kisah kehidupan dua sejoli anak manusia ini? Bukankah perjumpaan antar manusia berlainan jenis didorong dari rasa cinta, ketika keduanya bertemu untuk pertama kalinya? Inilah yang disebut orang awam sebagai jodoh. Jodoh inilah dalam pandangan Buddhis dan agama orang Tionghoa dikenal sebagai hukum sebab dan akibat. Pernahkah Anda sekalian mengalaminya sendiri? Begitu kita bertemu dengan orang yang asing untuk pertama kalinya, kita bisa merasa suka, atau benci, atau netral kepadanya. Penjelasan yang paling masuk akal: ada keterikatan tertentu antara kita dengan orang asing tersebut di masa lampau.

 

Jika cinta berlanjut ke pelaminan dan kedua sejoli itu hidup bersama, maka mereka berdua boleh tetap bersama dalam kehidupan ini. Namun seiring dengan datangnya kematian, keduanya harus berpisah. Dan jika Anda percaya ada kehidupan lagi setelah kehidupan yang sekarang berakhir, kita akan melanjutkan kehidupan yang baru dengan pasangan yang lain. Adalah kasus yang langka terjadi, suami dan isteri akan bersatu lagi di kehidupan selanjutnya. Dalam kisah di atas Sang Buddha Dīpaṅkara sendiri turut meramalkan, bahwa Sumittā kelak akan menjadi pasangan Sumedha dalam banyak kehidupan selanjutnya. Bukankah ini kasus yang luar biasa? Hanya seorang Calon Buddha atau Bodhisattva yang dapat mengalaminya!!

 

Kita ambil contoh perjalanan kehidupan selanjutnya dari Sumedha dan Sumittā, seperti yang dikisahkan dalam kitab Jātakamala (yakni dalam Vishvantara Jātaka). Tersebutlah cerita, yang memperlihatkan eratnya hubungan sepasang suami-isteri. Alkisah pada masa itu hiduplah sang permaisuri Madri bersama dengan suaminya, sang raja Vishvantara. Madri dulunya adalah Sumittā, sedangkan Vishvantara dulunya tidak lain Sumedha. Kata Madri pada suatu waktu, "kemana engkau akan pergi, aku harus ikut, suamiku. Bersamamu, bahkan kematian akan menjadi kegembiraan bagiku. Hidup tanpamu tak mungkin dapat kujalani." Lalu Vishvantara alias Sang Bodhisattva pergi bersama isteri dan anak-anaknya. Mereka bersama-sama menjalankan praktik Dharma di tengah sebuah rimba yang permai.

 

Guna menguji sampai tingkat mana Sang Bodhisattva telah berhasil menjalankan parami-nya, Sakra raja para dewa, menyamar menjadi seorang brahmana. Dia meminta kepada Sang Bodhisattva hartanya yang paling berharga. Apa itu? Ya, isterinya sendiri. Bodhisattva yang teguh dalam keutamaan ketidakmelekatannya, akhirnya menyerahkan Madri kepada brahmana tersebut. Madri yang walaupun menderita, tetap tidak menangis, karena dia amat memahami karakter suaminya. Sakra yang kemudian tersentuh oleh kejadian tersebut, dia pun berteriak: "Untuk menghargai cinta kasih seorang isteri kepada suami dan anak-anaknya, keduanya mempertunjukkan ikrar tanpa-kemelekatan. Tadinya kuperkirakan, mustahil bagiku menyaksikan kemuliaan yang seluhur ini?" "Sekarang aku mengembalikan Madri, isterimu kepadamu. Di mana lagi cahaya-bulan harus berdiam, jika bukan di bulan itu sendiri?"

 

 

Demikianlah Sumedha bersama dengan Sumittā mengarungi kehidupan demi kehidupan, yang tak-terhitung banyaknya. Terkadang mereka berkesempatan hidup bersama, lain waktu masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Namun keutamaan atau parami yang mereka jalankan semakin meningkat kualitasnya dan mencapai tingkat kematangannya. Akhirnya lebih dari 2.500 tahun yang lalu, di sebuah kerajaan yang terletak di daerah subur di Jambudvipa, hiduplah seorang raja bernama Suppabuddha dengan permaisurinya, Pamita. Kabar baik telah datang kepada mereka. Setelah bertahun-tahun menikah sang permaisuri pun hamil. Pada saat yang sama, di kerajaan tetangga, adik perempuan sang raja, permaisuri Māyā – yang suaminya bernama raja Suddodhana – juga juga sedang mengandung. Tanda-tanda kehamilan pada kedua permaisuri itu menunjukkan bahwa anak-anak yang akan dilahirkan oleh mereka bukanlah anak-anak biasa. Kedua pasangan penguasa itu berharap kedua anak yang lahir nantinya adalah anak laki-laki. Tetapi betapa kecewanya raja Suppabuddha, dia ternyata mendapatkan seorang anak perempuan. Kecewa karena tidak sesuai dengan harapan semula, bayi itu tetap dihormati berkat tanda-tanda fisik yang menunjukkan keberuntungannya. Sang raja membungkuk di hadapannya dan anak itu diberi nama Yasodharā. Seminggu setelah kelahirannya, ibunya meninggal, dan anak itu lalu dibesarkan dan dididik oleh pembimbing istana dan para brahmana.

 

Yasodharā tumbuh menjadi seorang anak yang cantik, dermawan, dan sosok muda yang penuh kasih. Dia mempertanyakan mengapa pelayannya tidak makan makanan yang sama dengan para anggota keluarga istana. Rasanya tidak adil baginya bahwa beberapa orang memiliki begitu banyak keberlimpahan, sedangkan yang lain menderita karena mereka amat kekurangan. Ketika dia berusia 16 tahun dia mendengar bahwa sepupunya, Siddhartha, sedang bersiap untuk memilih seorang pengantin. Semua gadis yang memenuhi syarat dari dua wilayah kerajaan itu memberanikan diri datang ke istana raja Suddhodana, untuk bertemu dan berkenalan dengan pemuda yang tampan dan cerdas ini. Yasodharā telah mendengar tentang Siddhartha dari kakaknya Devadatta. Devadatta bercerita tentang bagaimana dia memanah jatuh seekor burung bangau yang sedang terbang. Siddhartha berusaha menyelamatkan kembali makhluk malang itu dan meng-klaim hewan itu sebagai miliknya.

 

"Burung itu milik orang yang menyelamatkan nyawanya, bukan kepunyaan orang yang hendak membunuhnya," tukas Siddhartha. Ketika Yasodharā mendengar cerita ini, dia sangat gembira dan ingin bertemu pemuda penyayang, yang memiliki prinsip dan berjuang mempromosikan nilai-nilai kebajikan. Seperti semua gadis lainnya yang memenuhi syarat, Yasodharā melakukan perjalanan ke istana sepupunya. Saat dia masuk ke aula istana, tempat Siddhartha menyapa para wanita muda, mata Yasodharā bertemu mata sang pemuda, dan Siddhartha merasakan kerinduan yang amat dalam. Siddhartha tahu dia telah mencintainya selama mengarungi banyak kehidupan. Mereka berdua mengingat kembali penjelajahan melintasi ruang dan waktu, sejak mereka masih sebagai Sumedha dan Sumittā. Siddhartha berlutut dan menawarkan Yasodharā perhiasan dan mahkota yang sedang dikenakannya, memintanya untuk menjadi pengantinnya. Yasodharā kembali ke rumah dan memberitahu ayahnya kabar baik ini.

 

Tatapan prihatin kepada putri kesayangannya tampak pada wajah sang raja, Suppabuddha. Dia membungkuk dekat dengan anak kesayangannya itu. "Kamu tahu, puteriku. Para cerdik pandai dan peramal istana menyebutkan bahwa Siddhartha itu akan pergi dan meninggalkan keluarganya, demi mengejar pencerahan agung." "Ya ayah, saya paham hal itu," jawab Yasodharā, "tetapi saya akan melakukannya, dengan memilih Siddhartha sebagai suami saya. Kami telah berikrar untuk bersama selama begitu banyak kehidupan. Sekarang dalam kehidupan ini, akan menjadi kesempatan terakhir bagi kami untuk bersatu kembali, dan kami akan menuntaskan tugas terakhir ini bersama-sama." Demikianlah perhelatan akbar diadakan untuk mempererat kembali dua kerajaan itu, serta Siddhartha dan Yasodharā pun menjadi pasangan suami dan isteri untuk terakhir kalinya.

 

Dan takdir pun memang berjalan sesuai dengan ramalan para pinisepuh. Siddhartha meninggalkan istananya, anak dan isterinya, serta segala sesuatu yang merintangi jalannya menuju cita-citanya. Devadatta, setelah mendengar Siddhartha pergi meninggalkan adiknya, dia menuju ke istana dan memaksa adiknya untuk pulang serta menikah dengan laki-laki lain yang lebih bertanggung jawab. Namun, Yasodharā menolaknya, dan akan selalu setia kepada Siddhartha. Hatinya hanya untuk Siddhartha, bahkan dia tak akan mengizinkan laki-laki lain selain Siddhartha untuk sekadar mencium aroma tubuhnya.

Merindukan Siddhartha akhirnya menjadi rutinitas hariannya. Ia selalu memandangi tempat-tempat yang pernah disinggahinya, pakaian-pakaian yang pernah dikenakannya, dan mengingat semua kenangan mereka bersama. Namun, biar bagaimana pun dia sadar bahwa pengalaman itu tak akan terulang kembali. Alih-alih melamun, dia mengobati seluruh kerinduannya dengan berpuja-bakti, memohon kepada para dewata, semoga Siddhartha selalu mendapatkan kemudahan dan mendapatkan apa yang dia cari. Kebekuan di musim dingin menjadi tak sedingin hari-harinya, terutama dia yang kehilangan belahan jiwa yang amat dicintainya. Yasodharā kerap menangis melihat hujan, sebab di luar sana Siddhartha pasti juga kehujanan. Kesedihan semakin bertambah ketika anaknya, Rahula, selalu menanyakan kemana ayahnya pergi. Setelah enam tahun kepergiannya, Yasodharā melihat alam seolah mengabarkan pesan rahasia. Sebuah daun Bodhi berbentuk hati terbawa angin memasuki kamarnya, dan jatuh tergetak di atas barang-barang Siddhartha. Yasodharā menjadi bahagia dan terharu, sebab dia yakin bahwa saat itulah Siddhartha telah menjadi Buddha.

Setelah itu hanya satu kali Buddha mengunjunginya di kamarnya, dengan diantar oleh keluarga istana. Yasodharā terdiam melihat sosok suaminya yang kini telah menjadi Buddha. Ia mendekat ke kaki Buddha dan menundukkan kepalanya di kakinya. Yasodharā menumpahkan seluruh kesedihannya dan kerinduaannya, sambil memeluk kedua kakinya. Raja bermaksud menghentikannya, namun Buddha melarangnya dan tetap mengizinkan Yasodharā untuk menangis di atas kakinya sekehendak hatinya. Akhirnya kerinduannya pun terobati, dan Yasodharā sadar bagaimana dia harus menempatkan dirinya sekarang.

 

Meski ayah dan mertuanya meminta Yasodharā untuk tinggal di istana dan memerintah kerajaan, dia lebih tertarik untuk memenuhi takdir spiritualnya. Dia memasuki ordo biarawati pada saat yang sama dengan mertua perempuannya. Diantara ratusan bhikkhunī, Yasodharā adalah salah satu dari siswi utama Sang Buddha. Dia memperoleh kekuatan adibiasa dan salah satu kemampuannya, mengingat era yang tak-terbatas di masa lalu. Suatu hari Yasodharā mendatangi Sang Buddha dan berkata, "Malam ini usiaku akan berakhir." Dia datang untuk berterima kasih, dan sekaligus berpamitan. Dia memberi tahu laki-laki yang pernah menjadi suaminya dan sekaligus menjadi gurunya. Setelah malam berlalu dia pun berangkat menuju Yang Tanpa-Kematian.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/230208