(Bagian Pertama dari Dua Tulisan)
Dalam beberapa tahun belakangan ini
kiprah Buddha Tzu Chi sebagai satu organisasi amal, berkembang pesat di
berbagai kota besar di Indonesia. Selain sebagai sebuah badan amal yang
bergerak di bidang kemanusiaan, Tzu Chi juga aktif membangun rumah sakit,
sekolah, dan memiliki sebuah stasiun televisi. Dalam kesempatan kali ini
penulis akan mencoba mengulas apa itu Tzu Chi dan siapa pendirinya. Sebagian
besar tulisan ini didasarkan pada buku Master Cheng Yen : Teladan Cinta
Kasih, yang ditulis oleh Yu-ing Ching, dengan penerbit PT Jing Si Mustika
Abadi Indonesia, 2008.
Keberadaan Tzu Chi memang tidak bisa
dilepaskan dari Master Cheng Yen itu sendiri dan Taiwan sebagai tempat
kelahiran Tzu Chi. Master Cheng Yen atau 釋證嚴 (Shì Zhèng Yán), terlahir dengan nama 王錦雲 atau Wáng Jǐn Yún (atau Ông Kím Hûn,
Hokkian) di 清水區 (Qīngshuǐ qū) atau Chingshui, Kota Taichung (臺中市, Táizhōng Shì) pada 14 Mei 1937. Tempat tinggal Master
Cheng Yen yang sekarang adalah Griya Jing Si, di kota Hualien (花蓮市, Huā Lián Shì).
Taiwan di tahun 1937 berada di bawah
kekuasaan Kekaisaran Jepang, yang menjajah kepulauan tersebut sejak tahun 1895.
Selama dalam cengkeraman Jepang, Taiwan tidak diperkenankan untuk aktif secara
politik, namun sebagai satu negara koloninya Penjajah ingin menjadikan wilayah
itu sebagai percontohan. Taiwan pun relatif makmur selama kurun waktu itu.
Beruntung pula karena Jepang merupakan negara Buddhis, mereka mendorong orang
Taiwan untuk meyakini ajaran Buddha.
Ayah kandung Jǐn Yún adalah seorang
penjahit, yang memiliki keahlian membuat kancing-kancing baju. Pada masa itu
kancing pakaian bukan terbuat dari plastik, tetapi terbuat dari sutera atau kapas
dan harus dibentuk dan dijahit; jadi kancing merupakan produk satu karya seni.
Ibu kandungnya adalah seorang ibu rumah tangga yang baik hati. Sebelum Jǐn Yún
lahir, ayah dan ibunya telah memiliki dua orang puteri, yang masing-masing
dinamakan Jǐn Yuè (錦月), yang berarti 'bulan permai', dan Jǐn Yù (錦玉) yang bermakna 'kemala elok'. Jǐn Yún sendiri kurang
lebih berarti 'awan yang sangat indah'.
Tersebutlah Tuan Wang yang merupakan adik
bungsu ayah kandungnya, serta isterinya yang untuk selanjutnya kita namakan
'Nyonya Wang', yang tinggal dekat dengan rumah keluarga Jǐn Yún. Mereka berdua
sudah menikah selama bertahun-tahun, namun belum memiliki keturunan. Tuan Wang
bekerja mengelola sebuah teater kecil, yang secara teratur mementaskan opera
taiwan. Nyonya Wang masih teringat saat Jǐn Yún dilahirkan, "Jǐn Yún
terlahir cantik, tanpa adanya kerutan dan tidak ada tanda kemerahan pada
tubuhnya. Matanya gelap dan bercahaya, seperti dua kolam air yang mengandung
kebijaksanaan; yang diwarisinya dari kehidupan yang lampau. Saya jatuh hati
kepadanya – keponakan yang baru lahir –
pada pandangan pertama."
Nyonya Wang sering berkunjung ke Vihara Zi
Yun untuk bersembahyang dan memohon kepada Dewi Kwan Im, agar dia dan suaminya
diberikan anak yang seperti Jǐn Yún. Dia dengan rajinnya terus pergi ke kuil
dan berdoa dengan khusyuk, hingga kakak ipar laki-laki dan kakak ipar
perempuannya tahu mengapa dia memohon seperti itu. Saat Jǐn Yún berusia sebelas
bulan, ayah dan ibu kandungnya berkata bahwa Nyonya Wang dan suaminya boleh
mengadopsi anak itu.
Jǐn Yún sudah dapat berjalan ketika dia
dipungut anak oleh Tuan dan Nyonya Wang. Sebagai anak kecil yang baru tumbuh,
sang bayi sudah tahu membalas cinta kasih orang tuanya yang baru. Dia banyak
tertawa dan mulai belajar bicara, serta tawa riang dan celoteh polosnya mampu
memberi kebahagiaan dan memperkaya kehidupan kedua orang tuanya. "Seperti
yang dikatakan oleh orang tua dulu, jika ingin punya anak, maka haruslah
dipancing dulu." Pepatah itu ada benarnya, buktinya setelah Jǐn Yún
dipungut sebagai anak, Nyonya Wang mulai hamil dan setelah cukup umurnya dia
pun melahirkan anak yang pertama. Bahkan bukan hanya satu anak, tetapi sampai
empat orang. Walaupun mereka memiliki lima anak, Jǐn Yún adalah yang paling
berharga dimata bapak dan ibunya, dan mereka lupa sepenuhnya bahwa dia hanya
anak angkat. Jǐn Yún tidak hanya menyayangi kedua orang tuanya, tetapi juga
adik-adik perempuan dan laki-lakinya. Saat usianya lima tahun, dia sudah
membantu ibunya merawat bayi-bayi itu.
Setelah umurnya mencapai enam setengah
tahun Jǐn Yún mulai bersekolah. Pendidikan dasar diisi dengan pelajaran
Konfusianisme, ilmu pengetahuan, dan bahasa Jepang. Namun saat itu Perang Dunia
ke-2 sedang berlangsung dan keadaan ekonomi rakyat semakin susah. Teater ayahnya
tidak berjalan dengan baik dan hanya sedikit orang yang masih memiliki uang
lebih untuk keperluan hiburan. Terpaksa ibunya mulai mencari uang dengan
bekerja serabutan dari pagi hingga malam. Jǐn Yún turut membantu mengumpulkan
kayu bakar, memasak, dan mengasuh adik-adiknya. Saat itulah ibunya sering sakit
dan Jǐn Yún hanya punya waktu sedikit untuk belajar, karena dia harus turut
merawat ibunya. Namun di sekolah para gurunya menyayanginya dan menjulukinya Oh-she
(istilah Jepang, berarti 'menyenangkan').
Perang Pasifik semakin berkobar setelah
tahun 1942 dan tahun berikutnya Sekutu mulai mendesak Jepang. Taiwan dijadikan
pangkalan armada laut Jepang dan pulau ini ikut digempur oleh angkatan udara
Amerika. Pengeboman yang dilakukan pesawat-pesawat Sekutu sampai juga di
Chingshui. Jika sirene tanda bahaya dibunyikan, orang-orang bergegas memasuki
lubang-lubang perlindungan di dalam tanah. Mereka akan bersembunyi di dalam
lorong gelap sambil mendengarkan bom jatuh. Suasananya sangat mencekam dan
menakutkan. Ketika bumi berguncang dan atap lubang perlindungan bergetar,
tempat persembunyian itu pun masih bisa runtuh. Setelah keadaan aman mereka
bisa keluar, lalu tampaklah pemandangan yang mengerikan. Segala-galanya telah
porak poranda dan beberapa orang telah mati atau sekarat, demikian juga dengan
hewan ternak. Di kota kecil itu semua orang saling mengenal, dan mereka pun
sibuk menyelamatkan orang yang terluka dan menguburkan mereka yang tewas.
Kendaraan, perabot rumah, dan pakaian meleleh dan terbakar, menyisakan
puing-puing tak berguna. Orang-orang mengeluh tiada henti, sambil bergumam
bahwa mereka telah menabung untuk membeli barang berharga, yang kemudian musnah
hanya dalam beberapa menit saja.
Jǐn Yún kecil menyaksikan peperangan dan
dampaknya yang mengerikan terhadap kemanusiaan. Bocah kecil kita ini telah
belajar banyak, betapa rentannya kehidupan ini dan kepemilikan harta benda yang
bisa musnah dalam sekejap. Pengalaman masa kanak-kanaknya akan membentuk
kepribadiannya kelak.
Pada Agustus 1945 perang reda dan Jepang
meninggalkan Taiwan. Pemerintahan dipegang lagi oleh Tiongkok setelah 50 tahun.
Jǐn Yún mulai masuk Kelas 3 SD dan sekolah di Taiwan tidak lagi menggunakan
bahasa Jepang. Antara tahun 1945-1947 perekonomian Taiwan membaik dan alhasil
bisnis Tuan Wang pun berkembang. Sekarang dia membuka enam teater baru di
berbagai kota, dan pertunjukan tidak hanya terbatas pada opera taiwan saja
tetapi ditambah dengan pemutaran film. Tahun 1949 Partai Nasionalis memindahkan
pemerintahan ke Taipei dan jumlah penduduk meningkat pesat. Penonton teater
semakin banyak dan Keluarga Wang menjadi kaya. Mereka lalu pindah ke Fengyuan (豐原區, Fēng Yuán Qū).
Pada saat itu Nyonya Wang mampu mempekerjakan pembantu rumah tangga, dan Jǐn
Yún tidak perlu melakukan pekerjaan itu lagi. Setelah sekolah usai, Jǐn Yún
tidak bermain-main seperti gadis seusianya, tetapi dia pergi membantu ayahnya
di salah satu teater. Mulanya dia hanya menjual makanan ringan pada satu gerai
khusus untuk para langganan, kemudian dalam waktu singkat dia mampu mengerjakan
segalanya. Waktu luangnya banyak dihabiskan bersama ayahnya, dan dari sanalah
dia mempelajari bisnis yang dijalankan oleh keluarganya.
Ketika Jǐn Yún memasuki masa remaja
kecantikannya semakin bertambah. Dia memiliki wajah yang menyenangkan dan roman
muka yang sempurna. Dia tidak pernah memakai kosmetik dan rambutnya dibiarkan
panjang dan lurus. Sebagai gadis yang menarik dia banyak bergaul dengan kaum
pria, baik dengan yang seumur atau yang lebih tua. Namun demikian dia tidak
memiliki ketertarikan kepada mereka, dan dia pun tidak pernah punya pacar.
Sekali waktu ketika Jǐn Yún berusia kurang lebih 17 tahun, seorang laki-laki
muda keturunan Jepang yang tampan mengutus seorang mak comblang untuk menemui
Tuan Wang. Keluarga lelaki itu minta agar Jǐn Yún mau menikah dengan pemuda
itu. Tidak seperti ayah kebanyakan, Tuan Wang yang amat menyayangi puterinya,
meminta pertimbangan dari anaknya. Jǐn Yún menolak lamaran pernikahan itu, dan
dengan tegas berjanji, dia tidak akan pernah mau lagi menerima permohonan dari
mak comblang mana pun.
Sesuatu kejadian yang luar biasa terjadi
ketika Jǐn Yún berusia 15 tahun. Nyonya Wang agaknya sudah bertahun-tahun
menderita sakit, dan puncaknya terjadi pada waktu itu. Dia terkena lambung akut
parah. Jika dia mendapat serangan, bagian dalam perutnya seolah-olah dibakar
oleh bara api. Penyakit itu pun semakin kritis dan semua orang berpikir, Nyonya
Wang akan segera mati. Dokter menyarankan tindakan operasi, tetapi di tahun
1952 jarang ada pasien yang bisa selamat dari operasi perut. Nyonya Wang sudah
mencoba berbagai pengobatan, dan dia sudah beberapa kali muntah darah. Jǐn Yún
pun menunggui sang bunda siang dan malam, dan dia teringat banyak orang
bersembahyang di Vihara Zi Yun. Mereka percaya jika orang berdoa dengan tulus
dan tanpa pamrih, permohonannya akan dikabulkan.
Begitu sayang dan cintanya kepada
ibundanya, Jǐn Yún akhirnya memohon kepada Sang Bodhisattva Avalokitesvara:
"Asalkan Ibu dapat disembuhkan, umurku rela dikurangi 12 tahun, dan aku
akan mulai menjalankan pola hidup vegetaris seumur hidup." Setelah
beberapa lama, pada suatu malam Jǐn Yún bermimpi. Dia mendapati sebuah vihara
kecil dengan tiga pintu, dan dia masuk ke dalamnya. Ada arca Buddha besar di
tengah-tengah ruangan, dan di satu sisinya ada sebuah tempat tidur dari bambu.
Terlihat Nyonya Wang terbaring di situ dan Jǐn Yún berlutut di sampingnya,
menghadap ke sebuah kompor kayu dan memegang sebuah kipas. Gadis itu tahu isi
panci yang sedang dimasak adalah obat-obatan herbal. Sekonyong-konyong angin
lembut bertiup menguak pintu dan awan putih terbang rendah, laksana bunga yang
turun dari surga. Di tengah awan muncul seorang wanita cantik yang pernah
dilihatnya, serta dia membawa sebuah botol bersinar dan menuang ke luar sebuah
bungkusan kecil. Setelah benda itu diserahkan kepada Jǐn Yún, wanita itu pun
sirna. Masih di dalam mimpi, Jǐn Yún membuka bungkusan yang ternyata berisi
serbuk obat, mencampurkannya dengan air, dan diminumkan kepada ibunya.
Aneh!! Tiga malam berturut-turut, Jǐn
Yún mendapat mimpi yang sama. Setelah mendapatkan mimpi itu, Jǐn Yún terus
merawat ibunya dengan ramuan herbal, dan secara berangsur-angsur penyakit
ibunya pun lenyap. Para dokter yang merawatnya pun bingung mendapati pasien
mereka sembuh secara misterius; dan Nyonya Wang tetap sehat lebih dari empat
dekade kemudian. Sejak saat itu Jǐn Yún menepati sumpahnya dan dia menjadi
seorang vegetarian sepanjang sisa usianya. Jǐn Yún hanya mengikuti suara
hatinya, karena pada saat itu dia belum mengenal ajaran Buddha.
Perjalanan hidup manusia memang tidak
selalu mulus. Tuan Wang yang selama ini sehat-sehat saja, tiba-tiba mendapat
serangan jantung minor ketika Jǐn Yún hampir berusia 19 tahun. Dia sering
merasakan dadanya nyeri dan napasnya pendek-pendek. Dokter keluarga yang
merawatnya tidak memberikan peringatan tentang gawatnya kondisi sang pasien.
Semakin lama kondisi kesehatannya semakin menurun, dan kurang lebih setahun
kemudian dia mendapatkan serangan jantung untuk kedua kalinya. Saat itu Tuan
Wang sedang berada di sebuah teater miliknya dan dia mengeluh kepalanya sakit
sekali. Jǐn Yún pun segera memanggil dokter keluarga, yang langsung mendiagnosa
tekanan darahnya ternyata tinggi sekali. Setelah disuntik obat, tekanan
darahnya turun, dan dokter itu pergi tanpa memberi pesan apa pun. Jǐn Yún yang
khawatir terhadap kondisi ayahnya segera membawanya pulang. Tindakan itu
sebetulnya tidak diperbolehkan, dan membuat Tuan Wang tak sadarkan diri
sesampainya di rumah. Keesokan harinya dia pun meninggal dunia.
Setelah mengetahui penyebab kematian
ayahnya, Jǐn Yún berkata: "Semua ini kesalahanku. Jika aku tidak
memindahkan Papa, dia akan tetap hidup. ... ." Lama setelah pemakaman
ayahnya, Jǐn Yún mengurangi makan dan dia tidak bisa tidur. Tubuhnya tampak
kurus dan wajahnya pucat pasi. Nyonya Wang yang khawatir berdiskusi dengan ibu
kandungnya yang tinggal serumah. Nenek Jǐn Yún pun mengemukakan pendapat bahwa
para bhiksu dan bhiksuni tua biasanya pandai dan bersedia membantu. Jadi mereka
membawa Jǐn Yún untuk menemui seorang bhiksu di salah satu vihara setempat.
Ketika dipertemukan sang bhiksu bertanya apa yang bisa ia bantu, dan Jǐn Yún
bertanya, "tolong katakan, dimana roh ayah saya berada." Bhiksu itu
bertanya kepada Nyonya Wang perihal nama almarhum dan laporan terinci tentang kematiannya.
Jǐn Yún menambahkan apa yang telah dia lakukan dan perasaan bersalah yang
menghantuinya. Setelah melakukan ritual menyalakan lilin, membakar dupa, dan
bermeditasi sejenak, sang bhiksu pun membuka matanya dan berkata kepada Jǐn
Yún. "Saya telah menemukan roh ayahmu yang malang. Dia menjadi tahanan di Wang
Si Cheng, tempat yang menyedihkan." Jǐn Yún sangat kaget dan perasaan bersalahnya berlipat ganda, dan
kelak dibutuhkan waktu lama baginya untuk mengabaikan kata-kata bhiksu
tersebut.
Beberapa waktu kemudian seorang bhiksu tua
yang bernama Master Miao Guang (妙廣法師 atau Miào Guǎng Fǎ Shī)
berkunjung ke Vihara Fengyuan, dan dia mulai mengajarkan Sutra Ksitigarbha.
Jǐn Yún menemuinya dan kembali bertanya, "dimana roh ayah saya
berada." Master memandangnya dengan ramah dan menasehatinya agar tidak
terlalu memikirkan kata-kata yang mengganggu itu. Dia memberikan sebuah buku,
"bacalah dan kamu akan memahami dimana roh ayahmu berada." Jǐn Yún
buru-buru pulang dan mulai membaca. Ketika selesai, dia memahami bahwa semua
makhluk hidup akan mati, serta selanjutnya akan dilahirkan-kembali.
Seorang teman baik Jǐn Yún prihatin
melihat keadaan sahabatnya itu. Dia menasehati bahwa di Vihara Fengyuan ada
seorang bhiksuni bijaksana yang berusia setengah baya. Kelak bhiksuni ini
memainkan peranan penting dalam hidup Jǐn Yún. Dia sudah dipanggil
"Suhu", yang dalam konteks kisah ini identik dengan guru yunior;
sedangkan untuk guru senior dipanggil sebagai "Master". Tokoh ini
seperti yang umum dalam kalangan monastik, dipanggil dengan nama-kuilnya, yakni
Xiū Dào Fǎ Shī (修道法師, Siu Tō Hoat
Su, Hokkian), selanjutnya disingkat Xiū Dào. Sejak awal bertemu Jǐn Yún sudah
langsung menyukai gurunya ini, dan setelah menyelesaikan pekerjaan hariannya
dia selalu menyempatkan diri berkunjung ke sana. Mereka berdua secara intens
mempelajari ajaran agama Buddha.
Setelah berteman akrab dengan Suhu Xiū
Dào, kesedihan Jǐn Yún atas kepergian ayahnya lama-kelamaan pun sirna, dan
gagasan untuk menjadi seorang bhiksuni secara bertahap terbentuk di hati Jǐn
Yún. Jǐn Yún pun kembali ke kehidupan normal dan dia menjadi sangat sibuk.
Bangun pagi dia mengurus pekerjaan rumah tangga, kemudian membaca buku tentang
ajaran Buddha, melafalkan "Namo Amitabha", dan bermeditasi.
Selanjutnya Jǐn Yún pergi mengurus tujuh teaternya. Bisnis berjalan lancar dan
beberapa waktu kemudian Jǐn Yún mengusulkan kepada ibunya, bahwa dia bermaksud
menjual beberapa teater, dan ibunya setuju. Dari hasil penjualan dua teater
keluarga Wang bisa mendepositokan uangnya, dan membeli emas batangan yang
disimpan di tempat aman di rumahnya.
Setelah beberapa lama dia merasa yakin
adik-adiknya bisa mengurus bisnis teater ayah mereka dengan baik, dan keluarga
itu memiliki banyak uang. Wáng Jǐn Yún membulatkan tekadnya untuk menjadi
bhiksuni dan berkarya melalui ajaran Buddha; satu cita-cita yang hanya
dikerjakan oleh kaum pria di Tiongkok selama berabad-abad. Jǐn Yún terus
mengunjungi Suhu Xiū Dào dan merengek agar bisa menjalani hidup sebagai seorang
bhiksuni. Akhirnya Suhu tersentuh oleh keuletan dan kesungguhan Jǐn Yún, dan
pada permulaan musim dingin tahun 1960 dia minggat dari rumahnya menuju ke Vihara
Jing Xiu di Xizhi, kota kecil di pinggiran Taipei. Dia pergi dari rumah
secara diam-diam karena ibunya pasti tidak mengizinkannya. Dua hari pertama dia
berlatih mengikuti tradisi monastik di tempat itu dan merasa betah, namun di
akhir hari ketiga Nyonya Wang datang untuk menjemput puterinya.
Bagaimana Nyonya Wang bisa tahu anaknya
berada di sana? Jǐn Yún sendiri yang memberitahukan beberapa sahabat karibnya
tentang tujuan kepergiannya, dan ada dari mereka yang membocorkannya. Hari pun
berganti hari, dan Jǐn Yún tidak pernah melepaskan keinginannya menjadi seorang
biarawati. Suatu hari di akhir musim gugur tahun 1961 bertepatan dengan panen
raya di Vihara Fengyuan, secara mendadak Suhu Xiū Dào mengajaknya untuk pergi.
Suhu sendiri bertujuan, kepergiannya untuk mengabdikan diri di vihara yang
lain. Mereka pergi berdua saja dengan sembunyi-sembunyi, dan dengan menaiki
kereta api keduanya terdampar di sebuah kuil yang terpencil di kota kecil Luye.
Di sana mereka menghabiskan waktu hampir dua musim, dan hanya dengan persediaan
bahan makanan yang terbatas keduanya bisa bertahan. Setelah itu mereka
mengembara ke berbagai vihara, dan Jǐn Yún tidak pernah lama tinggal di satu
tempat, karena aspirasinya tidak sejalan dengan kepala biara yang ditemuinya.
Akhirnya pada Desember 1962 keduanya terdampar di Vihara Dong Jing di
kota Hualien. Orang yang membangun vihara tersebut ternyata seorang bangsawan
yang telah berumur, yang bernama 許聰敏 atau Xǔ Cōng Mǐn. Pak Xǔ adalah orang kaya,
murah hati, dan seorang Buddhis yang soleh. Dia telah membiayai pembangunan
sejumlah vihara dan akan membangun lebih banyak lagi. Keduanya bertemu dengan
pak Xǔ dan mereka ternyata cocok.
Pak Xǔ mendengar bahwa mereka berdua sedang
mencari sebuah vihara yang bisa dijadikan tempat tinggal. "Ada sebuah kuil
kosong di Dusun Xiu Lin yang bernama Vihara Pǔ Míng (普明寺, Pǔ Míng Sì), yang artinya 'Yang Diliputi
Cahaya', yang baru saja dibangun untuk kami persembahkan kepada Bodhisattva
Ksitigarbha. Tidak ada ruangan untuk tinggal, tetapi kalian bisa
melihatnya." Besoknya mereka tiba di depan Vihara Pǔ Míng. Setelah melihat
sebuah vihara kecil dengan tiga pintu, Jǐn Yún berseru, "Saya tahu tempat
ini! Saya pernah ke sini sebelumnya." "Mustahil, cucuku," pak Xǔ
tertawa, "vihara ini masih baru dan belum lama ini diresmikan." Jǐn
Yún bersikeras, "saya pernah berada di sini lebih dari satu kali! Saya
tahu persis barang apa yang ada di dalamnya!" Sambil berdiri di depan
vihara yang pintunya tertutup, dia mulai menggambarkan bagian dalamnya secara
terinci. "Kamu sepenuhnya benar, tetapi bagaimana kamu bisa tahu?",
tanya pak Xǔ. "Saya berada di sini saat saya baru berumur 15 tahun, dan
tempat ini muncul dalam mimpi saya."
Selanjutnya di Vihara Pǔ
Míng, Jǐn Yún dan Suhu Xiū Dào
setiap hari mengajarkan Sutra kepada penduduk sekitar, dan malam harinya mereka
menginap di rumah pak Xǔ yang besar itu. Keduanya secara
tidak resmi sudah dianggap anak dan cucu oleh pak Xǔ. Kondisi kesehatan Suhu Xiū Dào semakin menurun dan dia sadar bahwa dia tidak
bisa lagi berjuang bersama-sama dengan Jǐn Yún. Dia pun pulang ke Fengyuan
dan menetap lagi di kuilnya yang dulu. Suhu Xiū Dào sendiri tetap berteman dengan Jǐn Yún dan beliau wafat pada 21
Maret 2016 dalam usia 95 tahun. Setelah kepergian teman seperjuangannya Jǐn Yún
tetap tinggal di rumah pak Xǔ, karena dia belum ditahbiskan dan tidak pantas bagi
seorang gadis tinggal sendirian. Ketika itu musim semi tahun 1963, Jǐn Yún
menghadap pak Xǔ dengan wajah cerah, "akan ada upacara penahbisan di Vihara
Lin Ji di Taipei. Saya akan pergi ke sana dan minta ditahbiskan. Setelah
kembali ke Hualien saya akan resmi menjadi seorang bhiksuni." Pak Xǔ
dengan mata berkaca-kaca berkata, "dan kamu akan meninggalkanku. Tetapi
dimana kamu akan tinggal?" "Saya punya rencana," jawabnya sambil
tersenyum. "Di belakang vihara ada sebidang tanah yang sangat kecil.
Bisakah Anda membuatkan sebuah pondok yang sederhana? Karena kehidupan seorang
bhiksuni haruslah sangat bersahaja." Pak Xǔ berjanji, "saya akan
bicara dengan tukang hari ini dan mulai membangunnya besok."
Sesampainya di Vihara Lin Ji, dia harus menyimpan
kekecewaannya, karena mereka tidak bisa menahbiskan orang yang tidak memiliki
guru. Penahbisan bisa berlangsung jika orang itu menjadi samaneri dulu
dan menjalankannya selama dua tahun di bawah bimbingan seorang guru. Tetapi Jǐn
Yún tidak ingin pulang dengan tangan hampa. "Ada beberapa sutra yang tidak
dapat saya peroleh di Hualien, tahukah Anda di mana saya dapat
memperolehnya?" Bhiksuni itu lalu mengajaknya ke Vihara Hui Rui.
Sesampainya di sana sang bhiksuni yang ringan tangan itu berkata, "sebelum
membeli buku, kita sebaiknya memberi hormat kepada guru yang bertugas, Master Yìn Shùn." Master Yìn Shùn (印順, 5-Apr-1906
- 4-Jun-2005) adalah seorang guru besar
berusia 57 tahun yang berasal dari Daratan Tiongkok, menjadi bhiksu selama
puluhan tahun, dan meraih gelar doktor kehormatan dari sebuah universitas di
Jepang. Mendengar bahwa Jǐn Yún datang dari Hualien,
iseng-iseng beliau bertanya, "apakah kamu datang ke Taipei untuk
ditahbiskan?” Jǐn Yún menjawab, "saya ingin, tetapi saya tidak punya
guru." Sang bhiksuni yang sedari tadi menemaninya pun berkata bahwa gadis
itu ingin diterima sebagai siswa Master Yìn Shùn.
Master tertawa, "sepanjang hidupku aku hanya mengangkat 4 orang murid,
dan sama sekali tidak bermaksud memiliki 5 murid." Jǐn Yún tidak berkata
apa-apa namun terus memandangi Master dengan memohon. Master Yìn Shùn memalingkan muka dan hampir beranjak pergi.
Kemudian, seolah-olah ditarik oleh tangan yang tak terlihat beliau berbalik.
Memandangi Jǐn Yún sambil tersenyum, dia pun berkata, “sebuah suara
yang kuat di hatiku berkata bahwa adalah jalinan jodohku untuk menjadi gurumu,
dan jalinan jodohmu menjadi muridku." Mereka bertiga pun bergegas ke Vihara
Lin Ji, karena waktu penahbisan hanya tinggal satu jam lagi. Akhirnya
Master Yìn Shùn berkata: "Karena
kamu sudah berlindung kepada Tiga Permata, maka saya harus memberimu sebuah
nama Dharma." Beliau berhenti sebentar untuk berpikir. "Ah! ujar
beliau setelah menemukan aksara yang tepat. "Nama Dharmamu adalah Zhèng Yán (證嚴)."
(Bersambung)
sdjn/dharmaprimapustaka/230222