Sang Buddha, Guru Agung para dewa dan manusia, sedang menantikan saat-saat
terakhir dalam hidupnya. Dengan ditemani sejumlah besar siswanya, sang manusia
agung pergi menuju hutan pohon-sala milik komunitas suku Malla,
di persimpangan jalan yang menuju ke Kusinārā. Kemudian Sang Guru berbaring di atas
sebuah dipan, diantara dua pohon sala kembar, dengan kesadaran yang tetap
terjaga. Pada kesempatan itu pohon sala kembar dipenuhi dengan begitu banyak kuntum bunga yang sedang
mekar, walaupun pada saat itu bukan musim kembangnya. Pepohonan yang ada di
sana pun segera menyebarkan dan merontokkan kuntum-kuntum bunga pada tubuh Yang
Terberkahi, sebagai penghormatan kepadanya. Tidak hanya itu, bunga-bunga mandarava
surgawi dan serbuk-serbuk cendana kahyangan berjatuhan dari langit. Semuanya
menghujani dan menebarkan helai lembut dan bubuk wanginya pada tubuh Yang
Terberkahi. Lamat-lamat musik kahyangan pun diperdengarkan, dan nyanyian
surgawi didendangkan, nun jauh di langit sebagai wujud penghargaan kepadanya.
Ānanda, siswa
pengiringnya, yang selama dua puluh lima tahun terakhir setia mendampinginya,
dengan masygul dan disertai rasa sedih yang tak-terperikan, bertanya: "Yang Mulia, sebelumnya para bhikkhu yang menghabiskan masa tetirah musim hujan dari berbagai penjuru terbiasa
datang untuk menemui Yang Sempurna. Jadi kami bisa
menemui dan menunjukkan penghargaan kami kepada para bhikkhu yang mengagumkan
ini. Namun, Yang Mulia, ketika Yang Terberkahi telah tiada, kami tidak bisa
lagi melakukan hal ini."
"Ānanda, ada empat tempat yang bisa dikunjungi bagi seorang anggota suku yang berkeyakinan, yang mampu memberikan inspirasi
kepadanya. Apakah yang empat ini? Di sinilah Yang Sempurna dilahirkan: ini
adalah tempat yang bisa dikunjungi bagi seorang anggota suku yang berkeyakinan,
yang mampu memberikan inspirasi kepadanya. Di sinilah Yang Sempurna menemukan
pencerahan agung yang tiada taranya: ini adalah tempat yang bisa dikunjungi
bagi seorang anggota suku yang berkeyakinan, yang mampu memberikan inspirasi
kepadanya. Di sinilah Yang Sempurna memutar Roda Dhamma yang tak bisa
dihentikan oleh siapa pun juga: ini adalah tempat yang bisa dikunjungi bagi
seorang anggota suku yang berkeyakinan, yang mampu memberikan inspirasi kepadanya.
Di sinilah Yang Sempurna mencapai Nibbāna-akhir
ketika unsur Nibbāna
dengan hasil kemelekatan masa silam habis tanpa sisa. Keempatnya adalah tempat
yang bisa dikunjungi bagi seorang anggota suku yang berkeyakinan, yang mampu
memberikan inspirasi kepadanya. Para bhikkhu dan bhikkhuni, serta umat awam
laki-laki dan perempuan, yakni mereka semua yang berkeyakinan, akan mengunjungi
tempat-tempat itu … ."
"... Dan bagi mereka semua yang
berkeyakinan, yang mengunjungi tempat-tempat pemujaan itu disertai batin yang
berkeyakinan; maka setelah tubuh mereka terurai, setelah mereka meninggal
dunia, akan terlahir-kembali di alam yang berbahagia, bahkan di alam
surga." Setelah Sang Guru tiada, para penganutnya yang memiliki kecintaan
dan rasa hormat mereka yang luar biasa, mulai melakukan apa yang pernah
dititahkan oleh Beliau. Cerita di atas penulis sadur dari Mahāparinibbāna Sutta
yang terkenal itu.
Sama seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang saleh, sejak zaman purba,
kala manusia baru mengenal peradaban; orang, baik sendirian maupun berkelompok,
mulai melakukan ziarah. Seorang peziarah atau a pilgrim (dari
bahasa Latin peregrinus), adalah seorang musafir (secara harfiah yang
datang dari jauh) yang sedang dalam perjalanan menuju ke tempat-tempat yang
suci. Orang tersebut melakukan perjalanan ke kuil atau tempat yang sakral,
dengan berkedudukan sebagai seorang pemuja atau pengikut satu agama (atau
kepercayaan) tertentu. Perjalanan yang dinamakan ziarah itu seringkali panjang
dan sulit, serta ditempuh hanya dengan berjalan kaki. Ziarah juga merujuk pada
pengalaman hidup di dunia, yakni dianggap sebagai satu periode
pengasingan. Seseorang dalam upayanya
mendapatkan pencerahan spiritual, memulai perjalanannya dari lokasi yang gelap
menuju tempat yang terang. Itulah yang dimaksud dalam kata-kata Sang Buddha,
bahwa jika ziarah itu dilakukan dengan batin yang berkeyakinan; maka setelah
orang itu meninggal dunia, mereka akan terlahir-kembali di alam yang
berbahagia, bahkan di alam surga.
Keempat tempat suci yang disebutkan dalam pesan terakhirnya, banyak
dikunjungi oleh para pengikutnya hingga beberapa ratus tahun setelah wafatnya
Sang Guru. Karena keterbatasan sumber daya dan terjadinya pergolakan kekuasaan
di antara para penguasa di India Kuno, setelah beberapa waktu tempat-tempat
sakral itu dibiarkan begitu saja, dan akhirnya terlantar dan tidak terurus.
Baru kemudian selang tiga ratus tahun kemudian – seorang penguasa kekaisaran
Maurya Gupta, yakni Aśoka yang Agung (273 - 232 seb.M.) yang juga merupakan
seorang penganut Buddhis yang saleh – mulai merevitalisasi tempat-tempat sakral
tersebut.
Aśoka mulai mempersiapkan ziarah agungnya ke tempat-tempat yang dititahkan
oleh Sang Buddha. Beliau berangkat dengan diiringi prosesi-kerajaan menuju
Lumbinī (tempat kelahiran Pangeran Siddhārtha, yang sekarang berada di Nepal),
sebagai titik kunjungannya yang pertama.
Didampingi Yang Ariya Upagupta, guru sekaligus penasihatnya, sang
bhikkhu menunjuk tempat kelahiran Pangeran Siddhārtha sambil berkata: "Di
sinilah Raja Agung, Yang Terberkahi dilahirkan." Aśoka kemudian memberikan
penghormatan kepada titik sakral ini, serta memerintahkan agar sebuah tiang
batu didirikan untuk menandai perhentian ziarah yang pertama ini.
Tujuan ziarah kerajaan, yang dilembagakan di tempat pesta kerajaan serta
tempat-tempat suci Buddhis yang dikunjungi Aśoka, ditandai dengan
tugu-peringatan. Tugu-peringatan itu berupa penanda-kekaisaran atau dhvaja-stambhas,
yang secara menakjubkan diukir di atas batu dan ditulisi dengan dekrit atau
prasasti Aśoka, yang mencatat kunjungan sang kaisar. Banyak dari dekrit atau
prasasti itu masih ada hingga sekarang, dalam kondisi yang masih atau kurang
baik.
Kunjungan berikutnya dari rombongan besar sang kaisar adalah Bodh Gayā,
sekarang berada di negara bagian Bihar, India. Bodh Gayā dikenal sebagai
tempat Petapa Gautama mencapai Pencerahan Agung, dan kemudian Beliau dikenal
sebagai Buddha Gautama. Dikisahkan pula bahwa Aśoka mendirikan kuil suci pada
titik Sang Guru Agung mencapai Pencerahan, dan di sekeliling Pohon Bodhi
keramat dibangun sebuah pagar batu yang menakjubkan. Bagaimana pun sekarang
tidak ada sisa-sisa kuil Aśoka yang masih berdiri. Menurut Havell, E.B., dalam
bukunya Aryan Rule in India, "Kuil yang sekarang ada di Bodh-Gayā
dapat ditelusuri dan tampaknya dibangun lebih awal seratus tahun sebelum era
Kristus. Namun ada alasan yang kuat, bahwa kuil yang ada sekarang adalah
replika yang desainnya berasal dari kuil asli, yang dibangun oleh Aśoka pada
lokasi yang sama.”
Menurut catatan peziarah Tionghoa, Fǎ Xiǎn (337 - 422 M) dan Xuán
Zàng (602 - 664 M), Kaisar Aśoka mempunyai kebiasaan mengunjungi Mahā
Bodhi. Hal ini sering dilakukannya semasa hidupnya. Kisah Pohon Bodhi dan
kunjungan Aśoka kemudian diabadikan pada arca Sāñchī.
Perhentian Aśoka yang berikutnya adalah Sārnāth atau Isipathana, yang sekarang terletak di negara bagian
Uttar Pradesh, India. Inilah tempat ketika Buddha Gautama menyampaikan wejangan
pertamanya, yang dikenal sebagai Dhammacakkappavattana
Sutta. Pada kesempatan itu Beliau
mengajarkan tentang Jalan Tengah, Empat Kesunyataan Mulia, dan Jalan Mulia
Beruas Delapan. Aśoka yang Agung singgah pula dalam
rangkaian penziarahannya ke tempat suci ini, yang berujung pada berdirinya
sejumlah monumen dan sebuah tiang batu, dengan kepala-tiang berbentuk singa.
Kepala tiang berdekorasi singa memberikan kebanggaan pada tempat ini. Patung
singa ini sekarang disimpan di Museum di kota Sārnāth, serta gambar
kepala singanya diresmikan menjadi lambang negara India merdeka.
Tempat terakhir ziarah akbar Aśoka adalah Kuśinagara, (sekarang Kushinagar) yang juga terletak
di Uttar Pradesh, India; yakni tempat Sang Buddha wafat dan mencapai Parinibbāna. Sejarah menceritakan kepada kita bahwasanya Aśoka,
setelah bersujud menyatakan rasa hormatnya pada titik-sakral ini, belakangan
memerintahkan agar didirikan sebuah stupa di sana. Namun keberadaan stupa ini
masih gelap. Parinirvāna Caitya, yang mana dirujuk oleh prasasti
tersebut bertanggal dari periode Gupta, serta bukan tidak mungkin Stupa Aśoka
terkubur di bawah bangunan yang didirikan sesudahnya.
Selanjutnya kita tinjau tempat-tempat suci yang dipercaya oleh umat Buddha
Tiongkok. Ada empat tempat sakral yang diyakini oleh para penganutnya sebagai
tempat bersejarah yang memiliki bodhimaṇḍa. Bodhimaṇḍa (Pali,
Skt.) atau Dào Chǎng (道場), yang secara harfiah bermakna "posisi
kebangkitan" atau "posisi pencerahan", diyakini merupakan lokasi
yang digunakan sebagai tempat duduk, yang mana esensi pencerahan hadir. Lalu
dimana posisi bodhimaṇḍa yang sesungguhnya? Persisnya adalah di bawah
Pohon Bodhi purba, tempat Petapa Gautama mencapai Pencerahan Agung. Memang di
Vihara Mahabodhi di Bodh Gayā yang sekarang, ada sebuah pohon bodhi,
yang dipercaya orang berasal dari anakan pohon bodhi purba tersebut. Tetapi
apakah posisinya persis di tempat ketika Sang Petapa Gautama mencapai
Pencerahan Agung? Wallahualam!
Empat tempat sakral itu berupa gunung-gunung di Daratan Tiongkok dan sebuah
pulau di dekatnya. Gunung-gunung itu
adalah Pǔtuó Shān (普陀山), Wǔtái Shān (五台山), Jiǔhuà Shān (九华山), dan Éméi
Shān (峨眉山). Keempatnya
dikenal sebagai tempat bersejarah yang memiliki bodhimaṇḍa,
masing-masing untuk Bodhisattva Guānyīn, Bodhisattva Mañjuśrī, Bodhisattva Kṣitigarbha,
dan Bodhisattva Samantabhadra.
Pǔtuó Shān, yang
berasal dari bahasa Sanskerta, berarti "Gunung Potalaka", adalah
sebuah pulau di Distrik Putuo, Zhoushan, Zhejiang, Tiongkok. Ini adalah situs
terkenal dalam Buddhisme Tiongkok dan merupakan bodhimaṇḍa dari Bodhisattva
Guānyīn. Gunung Pǔtuó terletak di Laut Tiongkok Timur, dan keadaan
alamnya sendiri memadukan keindahan gunung dan laut. Luasnya sekitar 12,5
kilometer-persegi dan di sana terdapat banyak kuil yang terkenal. Setiap tahun
pada hari ke-19 bulan ke-2, hari ke-19 bulan ke-6, dan hari ke-19 bulan ke-9
penanggalan Imlek, jutaan orang memenuhi seantero pulau kecil itu untuk
menghadiri perayaan hari-hari besar Guānyīn.
Selain
empat tempat suci yang direkomendasikan oleh Sang Buddha, serta empat gunung
suci di Tiongkok, masih banyak tempat-tempat ziarah lain di dunia Buddhis. Di
India sendiri, tempat yang umumnya dikunjungi oleh para peziarah antara lain Rajgir
yang merupakan kota modern dari Rājagaha, Vaishali yang dulunya Vesālī, Nalanda yang merupakan lokasi perguruan tinggi buddhis yang
terkenal, Sravasti dulunya kota kuno Sāvatthī, dan Sankassa tempat yang dipilih Sang Buddha setelah Beliau turun
dari surga setelah mengajarkan Abhidhamma. Di Sri Lanka ada tempat yang
termashyur seperti Kuil Gigi yang menyimpan gigi dari Sang Buddha, dan
kuil kuno di Anuradhapura. Di Thailand ada Wat Phra Kaew, Wat Pho, dan Wat Doi
Suthep. Dan di Myanmar ada Pagoda Shewdagon dan
Kuil Mahamuni Buddha.
Di
Indonesia tempat ziarah yang berhubungan dengan agama Buddha adalah Candi
Borobudur, Candi Mendut, dan Candi Sewu. Borobudur, juga ditranskripsikan
sebagai Barabudur, adalah sebuah candi Buddha Mahayana yang didirikan
pada abad ke-9 Masehi di Kabupaten Magelang, tidak jauh dari kota Muntilan, di
Jawa Tengah. Ini adalah kuil Buddha terbesar di dunia. Candi ini terdiri dari
sembilan platform bertumpuk, enam bujur sangkar dan tiga bundar, diatapi
kubah tengah. Borobudur dihiasi dengan 2.672 panel relief dan awalnya 504
patung Buddha. Kubah tengah dikelilingi oleh 72 patung Buddha, yang masing-masing
duduk di dalam stupa berlubang. Borobudur adalah candi Buddha terbesar di
dunia, dan dapat disejajarkan dengan Bagan di Myanmar dan Angkor Wat
di Kamboja, sebagai salah satu situs arkeologi terbesar di Asia Tenggara.
Borobudur tetap populer untuk ziarah, dengan umat Buddha di Indonesia merayakan
Hari Raya Waisak di monumen tersebut. Borobudur juga satu-satunya objek wisata
yang paling banyak dikunjungi di Indonesia.
Jika kita berdiskusi tentang ziarah di Tiongkok adalah kultus Konfusius,
apakah kita dapat berbicara tentang praktik ziarah "Konfusianisme",
dan jika demikian, apa signifikansinya bagi rakyat Tiongkok. Bagi para
pengikutnya, mereka mengenang Kǒng Zǐ dengan
mengunjungi Qūfù – juga disebut Queli – yang
telah lama dikenal sebagai rumah dan tempat peristirahatan terakhir Konfusius,
dan saat ini menjadi tujuan wisata popular. Kǒng Zǐ sendiri dikebumikan di Pemakaman Kǒng Lín (孔林) yang terletak di tempat bersejarah Qūfù di Propinsi Shandong. Kuburan aslinya terletak di tepi Sungai Sìshuǐ (泗水). Sampai sekarang banyak simpatisan
Konfusius yang bersembahyang dan membakar dupa di tempat persemayamannya.
Bagi
para penganut Taoisme ada lima gunung suci Tao yang menjadi tujuan orang
berziarah. Lima Gunung Besar atau _Wǔyuè_ (五嶽) disusun menurut lima arah mata angin geomansi
Tiongkok, yang mencakup empat arah mata angin dan satu pusat. Pengelompokan
lima gunung muncul selama periode "Negara-negara Berperang" (475 -
221 seb.M.). Istilah Wǔyuè yang bermakna "Lima
Puncak", dipopulerkan pada masa pemerintahan Kaisar Wǔdì dari Dinasti Han
Barat (140 - 87 seb.M.). Lima gunung suci itu adalah: (1) Tài Shān (泰山) di timur, (2) Huà Shān (华山) di barat,
(3) Héng Shān (衡山) di Propinsi Hunan, gunung di selatan, (4) Héng Shān
(恒山) di Propinsi Shanxi, gunung di utara, dan (5) Sōng Shān
(嵩山) di tengah.
Puncak Kaisar Kemala di Gunung Tài adalah
tujuan ziarah Tao paling suci di Tiongkok. Selama lebih dari tiga ribu tahun
peziarah Tao telah melakukan perjalanan ke puncak ini. Sekarang ribuan orang
Tionghoa mengunjungi Puncak Kaisar Kemala setiap hari, menjadikan Tài Shān sebagai
gunung yang paling banyak didaki di dunia. Ada 7.200 anak tangga yang mengarah
ke puncak timur, dan ada banyak kuil kuno yang dapat dikunjungi di rute ini. Gunung
Tài adalah
situs warisan dunia dan merupakan yang tersuci dari Lima Gunung Suci Taoisme. Kuil
Bixia Taoisme yang dikenal secara nasional terletak di puncak selatan
Gunung Tài. Biara ini memiliki lima aula utama dan 360 ubin
perunggu, mewakili 365 hari dalam setahun. Di tengah aula terdapat patung Dewi Bixia
yang didirikan pada masa Dinasti Ming (1368 -1644 M.).
Jika
penulis pada awal tulisan ini menggambarkan bahwa di masa purba kegiatan ziarah
merupakan satu perjalanan yang sulit, yang memakan waktu berhari-hari,
dilakukan dengan berjalan kaki di medan yang sulit, dan orang melakukannya dengan
sungguh-sungguh sebagai ujian batin; maka di zaman kita hidup sudah terjadi
pergeseran makna ziarah. Ziarah tidak lebih daripada piknik atau
berdarmawisata. Hal itu tentu dipicu oleh perkembangan zaman. Ziarah dijadikan
kegiatan komersial oleh para penguasa dan pelaku bisnis wisata. Juga karena
kegiatan ziarah bersifat masif, para penyelenggara berusaha menjadikannya sebagai
industri. Perjalanan ke tempat-tempat ziarah dipermudah dengan adanya
infrastruktur yang makin modern, sekaligus menyediakan kenyamanan bagi para
peziarah. Jasa transportasi, akomodasi, tiket masuk ke lokasi peziarahan, tip
pemandu-wisata, dan belanja oleh-oleh, sudah menjadi lahan bisnis yang
menghidupkan jutaan orang.
sdjn/dharmaprimapustaka/230111
Tidak ada komentar:
Posting Komentar