Rabu, 11 Januari 2023

ZIARAH



Sang Buddha, Guru Agung para dewa dan manusia, sedang menantikan saat-saat terakhir dalam hidupnya. Dengan ditemani sejumlah besar siswanya, sang manusia agung pergi menuju hutan pohon-sala milik komunitas suku Malla, di persimpangan jalan yang menuju ke Kusinārā. Kemudian Sang Guru berbaring di atas sebuah dipan, diantara dua pohon sala kembar, dengan kesadaran yang tetap terjaga. Pada kesempatan itu pohon sala kembar dipenuhi dengan begitu banyak kuntum bunga yang sedang mekar, walaupun pada saat itu bukan musim kembangnya. Pepohonan yang ada di sana pun segera menyebarkan dan merontokkan kuntum-kuntum bunga pada tubuh Yang Terberkahi, sebagai penghormatan kepadanya. Tidak hanya itu, bunga-bunga mandarava surgawi dan serbuk-serbuk cendana kahyangan berjatuhan dari langit. Semuanya menghujani dan menebarkan helai lembut dan bubuk wanginya pada tubuh Yang Terberkahi. Lamat-lamat musik kahyangan pun diperdengarkan, dan nyanyian surgawi didendangkan, nun jauh di langit sebagai wujud penghargaan kepadanya.

 

Ānanda, siswa pengiringnya, yang selama dua puluh lima tahun terakhir setia mendampinginya, dengan masygul dan disertai rasa sedih yang tak-terperikan, bertanya: "Yang Mulia, sebelumnya para bhikkhu yang menghabiskan masa tetirah musim hujan dari berbagai penjuru terbiasa datang untuk menemui Yang Sempurna. Jadi kami bisa menemui dan menunjukkan penghargaan kami kepada para bhikkhu yang mengagumkan ini. Namun, Yang Mulia, ketika Yang Terberkahi telah tiada, kami tidak bisa lagi melakukan hal ini."

 

"Ānanda, ada empat tempat yang bisa dikunjungi bagi seorang anggota suku yang berkeyakinan, yang mampu memberikan inspirasi kepadanya. Apakah yang empat ini? Di sinilah Yang Sempurna dilahirkan: ini adalah tempat yang bisa dikunjungi bagi seorang anggota suku yang berkeyakinan, yang mampu memberikan inspirasi kepadanya. Di sinilah Yang Sempurna menemukan pencerahan agung yang tiada taranya: ini adalah tempat yang bisa dikunjungi bagi seorang anggota suku yang berkeyakinan, yang mampu memberikan inspirasi kepadanya. Di sinilah Yang Sempurna memutar Roda Dhamma yang tak bisa dihentikan oleh siapa pun juga: ini adalah tempat yang bisa dikunjungi bagi seorang anggota suku yang berkeyakinan, yang mampu memberikan inspirasi kepadanya. Di sinilah Yang Sempurna mencapai Nibbāna-akhir ketika unsur Nibbāna dengan hasil kemelekatan masa silam habis tanpa sisa. Keempatnya adalah tempat yang bisa dikunjungi bagi seorang anggota suku yang berkeyakinan, yang mampu memberikan inspirasi kepadanya. Para bhikkhu dan bhikkhuni, serta umat awam laki-laki dan perempuan, yakni mereka semua yang berkeyakinan, akan mengunjungi tempat-tempat itu … ."

 

"... Dan bagi mereka semua yang berkeyakinan, yang mengunjungi tempat-tempat pemujaan itu disertai batin yang berkeyakinan; maka setelah tubuh mereka terurai, setelah mereka meninggal dunia, akan terlahir-kembali di alam yang berbahagia, bahkan di alam surga." Setelah Sang Guru tiada, para penganutnya yang memiliki kecintaan dan rasa hormat mereka yang luar biasa, mulai melakukan apa yang pernah dititahkan oleh Beliau. Cerita di atas penulis sadur dari Mahāparinibbāna Sutta yang terkenal itu.

 

Sama seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang saleh, sejak zaman purba, kala manusia baru mengenal peradaban; orang, baik sendirian maupun berkelompok, mulai melakukan ziarah. Seorang peziarah atau a pilgrim (dari bahasa Latin peregrinus), adalah seorang musafir (secara harfiah yang datang dari jauh) yang sedang dalam perjalanan menuju ke tempat-tempat yang suci. Orang tersebut melakukan perjalanan ke kuil atau tempat yang sakral, dengan berkedudukan sebagai seorang pemuja atau pengikut satu agama (atau kepercayaan) tertentu. Perjalanan yang dinamakan ziarah itu seringkali panjang dan sulit, serta ditempuh hanya dengan berjalan kaki. Ziarah juga merujuk pada pengalaman hidup di dunia, yakni dianggap sebagai satu periode pengasingan.  Seseorang dalam upayanya mendapatkan pencerahan spiritual, memulai perjalanannya dari lokasi yang gelap menuju tempat yang terang. Itulah yang dimaksud dalam kata-kata Sang Buddha, bahwa jika ziarah itu dilakukan dengan batin yang berkeyakinan; maka setelah orang itu meninggal dunia, mereka akan terlahir-kembali di alam yang berbahagia, bahkan di alam surga.

 

Keempat tempat suci yang disebutkan dalam pesan terakhirnya, banyak dikunjungi oleh para pengikutnya hingga beberapa ratus tahun setelah wafatnya Sang Guru. Karena keterbatasan sumber daya dan terjadinya pergolakan kekuasaan di antara para penguasa di India Kuno, setelah beberapa waktu tempat-tempat sakral itu dibiarkan begitu saja, dan akhirnya terlantar dan tidak terurus. Baru kemudian selang tiga ratus tahun kemudian – seorang penguasa kekaisaran Maurya Gupta, yakni Aśoka yang Agung (273 - 232 seb.M.) yang juga merupakan seorang penganut Buddhis yang saleh – mulai merevitalisasi tempat-tempat sakral tersebut.

 

Aśoka mulai mempersiapkan ziarah agungnya ke tempat-tempat yang dititahkan oleh Sang Buddha. Beliau berangkat dengan diiringi prosesi-kerajaan menuju Lumbinī (tempat kelahiran Pangeran Siddhārtha, yang sekarang berada di Nepal), sebagai titik kunjungannya yang pertama.  Didampingi Yang Ariya Upagupta, guru sekaligus penasihatnya, sang bhikkhu menunjuk tempat kelahiran Pangeran Siddhārtha sambil berkata: "Di sinilah Raja Agung, Yang Terberkahi dilahirkan." Aśoka kemudian memberikan penghormatan kepada titik sakral ini, serta memerintahkan agar sebuah tiang batu didirikan untuk menandai perhentian ziarah yang pertama ini.

 

Tujuan ziarah kerajaan, yang dilembagakan di tempat pesta kerajaan serta tempat-tempat suci Buddhis yang dikunjungi Aśoka, ditandai dengan tugu-peringatan. Tugu-peringatan itu berupa penanda-kekaisaran atau dhvaja-stambhas, yang secara menakjubkan diukir di atas batu dan ditulisi dengan dekrit atau prasasti Aśoka, yang mencatat kunjungan sang kaisar. Banyak dari dekrit atau prasasti itu masih ada hingga sekarang, dalam kondisi yang masih atau kurang baik.

 

Kunjungan berikutnya dari rombongan besar sang kaisar adalah Bodh Gayā, sekarang berada di negara bagian Bihar, India. Bodh Gayā dikenal sebagai tempat Petapa Gautama mencapai Pencerahan Agung, dan kemudian Beliau dikenal sebagai Buddha Gautama. Dikisahkan pula bahwa Aśoka mendirikan kuil suci pada titik Sang Guru Agung mencapai Pencerahan, dan di sekeliling Pohon Bodhi keramat dibangun sebuah pagar batu yang menakjubkan. Bagaimana pun sekarang tidak ada sisa-sisa kuil Aśoka yang masih berdiri. Menurut Havell, E.B., dalam bukunya Aryan Rule in India, "Kuil yang sekarang ada di Bodh-Gayā dapat ditelusuri dan tampaknya dibangun lebih awal seratus tahun sebelum era Kristus. Namun ada alasan yang kuat, bahwa kuil yang ada sekarang adalah replika yang desainnya berasal dari kuil asli, yang dibangun oleh Aśoka pada lokasi yang sama.”

 

Menurut catatan peziarah Tionghoa, Fǎ Xiǎn (337 - 422 M) dan Xuán Zàng (602 - 664 M), Kaisar Aśoka mempunyai kebiasaan mengunjungi Mahā Bodhi. Hal ini sering dilakukannya semasa hidupnya. Kisah Pohon Bodhi dan kunjungan Aśoka kemudian diabadikan pada arca Sāñchī.

 

Perhentian Aśoka yang berikutnya adalah Sārnāth atau Isipathana, yang sekarang terletak di negara bagian Uttar Pradesh, India. Inilah tempat ketika Buddha Gautama menyampaikan wejangan pertamanya, yang dikenal sebagai Dhammacakkappavattana Sutta. Pada kesempatan itu Beliau mengajarkan tentang Jalan Tengah, Empat Kesunyataan Mulia, dan Jalan Mulia Beruas Delapan. Aśoka yang Agung singgah pula dalam rangkaian penziarahannya ke tempat suci ini, yang berujung pada berdirinya sejumlah monumen dan sebuah tiang batu, dengan kepala-tiang berbentuk singa. Kepala tiang berdekorasi singa memberikan kebanggaan pada tempat ini. Patung singa ini sekarang disimpan di Museum di kota Sārnāth, serta gambar kepala singanya diresmikan menjadi lambang negara India merdeka.

 

Tempat terakhir ziarah akbar Aśoka adalah Kuśinagara, (sekarang Kushinagar) yang juga terletak di Uttar Pradesh, India; yakni tempat Sang Buddha wafat dan mencapai Parinibbāna. Sejarah menceritakan kepada kita bahwasanya Aśoka, setelah bersujud menyatakan rasa hormatnya pada titik-sakral ini, belakangan memerintahkan agar didirikan sebuah stupa di sana. Namun keberadaan stupa ini masih gelap. Parinirvāna Caitya, yang mana dirujuk oleh prasasti tersebut bertanggal dari periode Gupta, serta bukan tidak mungkin Stupa Aśoka terkubur di bawah bangunan yang didirikan sesudahnya.

 

Selanjutnya kita tinjau tempat-tempat suci yang dipercaya oleh umat Buddha Tiongkok. Ada empat tempat sakral yang diyakini oleh para penganutnya sebagai tempat bersejarah yang memiliki bodhimaṇḍa. Bodhimaṇḍa (Pali, Skt.) atau Dào Chǎng (道場), yang secara harfiah bermakna "posisi kebangkitan" atau "posisi pencerahan", diyakini merupakan lokasi yang digunakan sebagai tempat duduk, yang mana esensi pencerahan hadir. Lalu dimana posisi bodhimaṇḍa yang sesungguhnya? Persisnya adalah di bawah Pohon Bodhi purba, tempat Petapa Gautama mencapai Pencerahan Agung. Memang di Vihara Mahabodhi di Bodh Gayā yang sekarang, ada sebuah pohon bodhi, yang dipercaya orang berasal dari anakan pohon bodhi purba tersebut. Tetapi apakah posisinya persis di tempat ketika Sang Petapa Gautama mencapai Pencerahan Agung? Wallahualam!

 

Empat tempat sakral itu berupa gunung-gunung di Daratan Tiongkok dan sebuah pulau di dekatnya.  Gunung-gunung itu adalah Pǔtuó Shān (普陀山), Wǔtái Shān (五台山), Jiǔhuà Shān (九华山), dan Éméi Shān (峨眉山). Keempatnya dikenal sebagai tempat bersejarah yang memiliki bodhimaṇḍa, masing-masing untuk Bodhisattva Guānyīn, Bodhisattva Mañjuśrī, Bodhisattva Kṣitigarbha, dan Bodhisattva Samantabhadra.

 

Pǔtuó Shān, yang berasal dari bahasa Sanskerta, berarti "Gunung Potalaka", adalah sebuah pulau di Distrik Putuo, Zhoushan, Zhejiang, Tiongkok. Ini adalah situs terkenal dalam Buddhisme Tiongkok dan merupakan bodhimaṇḍa dari Bodhisattva Guānyīn. Gunung Pǔtuó terletak di Laut Tiongkok Timur, dan keadaan alamnya sendiri memadukan keindahan gunung dan laut. Luasnya sekitar 12,5 kilometer-persegi dan di sana terdapat banyak kuil yang terkenal. Setiap tahun pada hari ke-19 bulan ke-2, hari ke-19 bulan ke-6, dan hari ke-19 bulan ke-9 penanggalan Imlek, jutaan orang memenuhi seantero pulau kecil itu untuk menghadiri perayaan hari-hari besar Guānyīn.

 

Selain empat tempat suci yang direkomendasikan oleh Sang Buddha, serta empat gunung suci di Tiongkok, masih banyak tempat-tempat ziarah lain di dunia Buddhis. Di India sendiri, tempat yang umumnya dikunjungi oleh para peziarah antara lain Rajgir yang merupakan kota modern dari Rājagaha, Vaishali yang dulunya Vesā, Nalanda yang merupakan lokasi perguruan tinggi buddhis yang terkenal, Sravasti dulunya kota kuno Sāvatthī, dan Sankassa tempat yang dipilih Sang Buddha setelah Beliau turun dari surga setelah mengajarkan Abhidhamma. Di Sri Lanka ada tempat yang termashyur seperti Kuil Gigi yang menyimpan gigi dari Sang Buddha, dan kuil kuno di Anuradhapura. Di Thailand ada Wat Phra Kaew, Wat Pho, dan Wat Doi Suthep. Dan di Myanmar ada Pagoda Shewdagon dan Kuil Mahamuni Buddha.

 

Di Indonesia tempat ziarah yang berhubungan dengan agama Buddha adalah Candi Borobudur, Candi Mendut, dan Candi Sewu. Borobudur, juga ditranskripsikan sebagai Barabudur, adalah sebuah candi Buddha Mahayana yang didirikan pada abad ke-9 Masehi di Kabupaten Magelang, tidak jauh dari kota Muntilan, di Jawa Tengah. Ini adalah kuil Buddha terbesar di dunia. Candi ini terdiri dari sembilan platform bertumpuk, enam bujur sangkar dan tiga bundar, diatapi kubah tengah. Borobudur dihiasi dengan 2.672 panel relief dan awalnya 504 patung Buddha. Kubah tengah dikelilingi oleh 72 patung Buddha, yang masing-masing duduk di dalam stupa berlubang. Borobudur adalah candi Buddha terbesar di dunia, dan dapat disejajarkan dengan Bagan di Myanmar dan Angkor Wat di Kamboja, sebagai salah satu situs arkeologi terbesar di Asia Tenggara. Borobudur tetap populer untuk ziarah, dengan umat Buddha di Indonesia merayakan Hari Raya Waisak di monumen tersebut. Borobudur juga satu-satunya objek wisata yang paling banyak dikunjungi di Indonesia.

 

Jika kita berdiskusi tentang ziarah di Tiongkok adalah kultus Konfusius, apakah kita dapat berbicara tentang praktik ziarah "Konfusianisme", dan jika demikian, apa signifikansinya bagi rakyat Tiongkok. Bagi para pengikutnya, mereka mengenang Kǒng Zǐ dengan mengunjungi Qūfù – juga disebut Queli – yang telah lama dikenal sebagai rumah dan tempat peristirahatan terakhir Konfusius, dan saat ini menjadi tujuan wisata popular. Kǒng Zǐ sendiri dikebumikan di Pemakaman Kǒng Lín (孔林) yang terletak di tempat bersejarah Qūfù di Propinsi Shandong. Kuburan aslinya terletak di tepi Sungai Sìshuǐ (). Sampai sekarang banyak simpatisan Konfusius yang bersembahyang dan membakar dupa di tempat persemayamannya.

 

Bagi para penganut Taoisme ada lima gunung suci Tao yang menjadi tujuan orang berziarah. Lima Gunung Besar atau _yuè_ (五嶽) disusun menurut lima arah mata angin geomansi Tiongkok, yang mencakup empat arah mata angin dan satu pusat. Pengelompokan lima gunung muncul selama periode "Negara-negara Berperang" (475 - 221 seb.M.). Istilah yuè  yang bermakna "Lima Puncak", dipopulerkan pada masa pemerintahan Kaisar Wǔdì dari Dinasti Han Barat (140 - 87 seb.M.). Lima gunung suci itu adalah: (1) Tài Shān (泰山) di timur, (2) Huà Shān () di barat, (3) Héng Shān (衡山) di Propinsi Hunan, gunung di selatan, (4) Héng Shān (恒山) di Propinsi Shanxi, gunung di utara, dan (5) Sōng Shān (嵩山) di tengah.

 

Puncak Kaisar Kemala di Gunung Tài adalah tujuan ziarah Tao paling suci di Tiongkok. Selama lebih dari tiga ribu tahun peziarah Tao telah melakukan perjalanan ke puncak ini. Sekarang ribuan orang Tionghoa mengunjungi Puncak Kaisar Kemala setiap hari, menjadikan Tài Shān sebagai gunung yang paling banyak didaki di dunia. Ada 7.200 anak tangga yang mengarah ke puncak timur, dan ada banyak kuil kuno yang dapat dikunjungi di rute ini. Gunung Tài adalah situs warisan dunia dan merupakan yang tersuci dari Lima Gunung Suci Taoisme. Kuil Bixia Taoisme yang dikenal secara nasional terletak di puncak selatan Gunung Tài. Biara ini memiliki lima aula utama dan 360 ubin perunggu, mewakili 365 hari dalam setahun. Di tengah aula terdapat patung Dewi Bixia yang didirikan pada masa Dinasti Ming (1368 -1644 M.).

 

Jika penulis pada awal tulisan ini menggambarkan bahwa di masa purba kegiatan ziarah merupakan satu perjalanan yang sulit, yang memakan waktu berhari-hari, dilakukan dengan berjalan kaki di medan yang sulit, dan orang melakukannya dengan sungguh-sungguh sebagai ujian batin; maka di zaman kita hidup sudah terjadi pergeseran makna ziarah. Ziarah tidak lebih daripada piknik atau berdarmawisata. Hal itu tentu dipicu oleh perkembangan zaman. Ziarah dijadikan kegiatan komersial oleh para penguasa dan pelaku bisnis wisata. Juga karena kegiatan ziarah bersifat masif, para penyelenggara berusaha menjadikannya sebagai industri. Perjalanan ke tempat-tempat ziarah dipermudah dengan adanya infrastruktur yang makin modern, sekaligus menyediakan kenyamanan bagi para peziarah. Jasa transportasi, akomodasi, tiket masuk ke lokasi peziarahan, tip pemandu-wisata, dan belanja oleh-oleh, sudah menjadi lahan bisnis yang menghidupkan jutaan orang.

 

Sebelum saya menutup tulisan ini, saya ingin mengajak Anda sekalian mengunjungi satu tempat ziarah yang populer di Tanah Air. Makam Gus Dur atau Abdurrahman Wahid menjadi salah satu destinasi favorit para peziarah. Sebelum terjadi pandemi COVID-19, ribuan peziarah setiap hari mendatangi makam mantan Presiden RI tersebut. Di makam yang terletak di kompleks Pondok Pesantren Tebuireng, Cukir, Jombang, tersebut, peziarah akan menemukan berbagai fakta unik. Gus Dur disemayamkan satu lokasi dengan sang kakek, K.H. M. Hasyim Asy’ari dan ayahnya yaitu K.H. Wahid Hasyim di komplek Pondok Pesantren Tebuireng. Gus Dur wafat pada 31 Desember 2009. Di makam Gus Dur ada tulisan berbahasa Indonesia, Arab, Inggris, dan Mandarin, yang berbunyi: "Di sini berbaring seorang pejuang kemanusiaan (Here rests a humanist)".

Ketika masuk di area makam Gus Dur, peziarah bakal disambut lorong panjang yang di samping kanan-kirinya ada puluhan pedagang oleh-oleh. Dahulu, lorong itu merupakan kamar-kamar santri namun kini berubah menjadi lorong yang dilewati peziarah untuk menuju makam Gus Dur. Lokasinya sendiri terletak di sebelah pojok utara. Sepanjang jalan menuju ke makam Gus Dur dipenuhi dengan kios. Isinya beragam produk. Ada warung makan, penjualan baju muslim, aksesori, sampai berbagai macam CD. Selain pertokoan masih ada berbagai fasilitas yang menjual jasa seperti kamar mandi dan tempat penginapan. Wisata religi ini dikunjungi setiap hari dipenuhi oleh 1.000 - 2.000 orang peziarah. Pada hari libur pengunjung bisa mencapai di atas 10.000 orang.

 

sdjn/dharmaprimapustaka/230111

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar