Rabu, 25 Januari 2023

LǍO ZǏ DAN TAOISME



Salah satu tokoh sentral dari zaman kuno dalam perjalanan sejarah bangsa Tionghoa adalah Lǎo Zǐ (老子). Beliau dianggap sebagai salah satu pendiri agama Tao, dan pula dipandang sebagai pencetus Taoisme filosofis dan religius. Lǎo Zǐ diucapkan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sebagai 'laʊdzə', mendekati pengucapan dalam bahasa Mandarin-nya. 'Lǎo Zǐ' sendiri bukanlah nama orang, melainkan sebuah gelar kehormatan. Karakter atau Zǐ memiliki beberapa arti, yakni 'anak', 'orang', 'adipati', dan 'tuan'; sedangkan karakter atau Lǎo bermakna 'tua' atau 'sepuh'. Dengan demikian 'Lǎo Zǐ' bisa diartikan sebagai 'Anak Tua', 'Anak Sepuh', 'Anak Laki-Laki Tua', atau 'Anak Laki-laki Sepuh'.

 

Bagi orang yang seumur dengan penulis tentu kerap kali kami mendapatkan dalam teks-teks yang lebih kuno, tokoh kita ini sering ditulis dalam huruf Latin atau diromanisasi dengan sangat beragam. Contohnya: 'Lao Tzu', 'Lao Tzŭ', 'Lao-tzu', 'Lao Tse', 'Lao-tse', 'Lao Tze', 'Lao-tze', 'Laotze', atau 'Lao Tsu'. Kemudian hampir sepanjang abad ke-20 romanisasi tulisan mandarin menggunakan acuan Wade-Giles, yang didasarkan pada dialek Beijing. Penulisan 老子  kemudian menjadi: 'Lao³ Tzŭ³'. Selanjutnya sejak tahun 1950-an di Tiongkok Daratan digunakan sistem romanisasi hànyǔ pīnyīn (汉语拼音) atau disingkat pīnyīn saja. Inilah romanisasi tulisan mandarin yang juga dipakai oleh penulis dalam artikel-artikelnya. Dengan demikian 老子 dituliskan sebagai 'Lǎo Zǐ'.

 

Seperti yang diuraikan di atas Lǎo Zǐ bukanlah nama diri. Namun, struktur namanya sama persis dengan filsuf atau pemikir Tiongkok Kuno lainnya seperti Kǒng Zǐ (), Mèng Zǐ (孟子), dan Zhuāng Zǐ (莊子). Pada tulisan yang lalu, kita sudah mengetahui Kǒng Zǐ atau Confucius atau di Indonesia lebih populer disebut Kong Hu Cu, adalah pendiri Ruisme atau Konfusianisme. Mèng Zǐ atau Mencius, sering dijuluki sebagai 'Sang Bijak Kedua', yakni orang kedua yang paling memahami ajaran Ruisme setelah Kǒng Zǐ sendiri. Sedangkan Zhuāng Zǐ berjasa dengan menulis sebuah karya yang dikenal dengan namanya, Zhuāng Zǐ, yang merupakan salah satu naskah dasar Taoisme. Dari deretan nama-nama besar tokoh bijak purba ini, kita bisa menyimpulkan bahwa 'Zǐ' atau di sini bermakna 'tuan' atau 'guru' (dalam bahasa Inggris terjemahannya adalah master). Dengan demikian ada Guru Kǒng, Guru Mèng, dan Guru Zhuāng, sebagai tokoh-tokoh bijak di masa itu. Khusus untuk Lǎo sendiri lebih tepat disebut sebagai 'Guru Tua' atau 'Guru Sepuh'.

 

Jika kita ingin mengetahui riwayat hidup Lǎo Zǐ, catatan-catatan historis yang tersedia amatlah terbatas. Referensi paling awal untuk sosok Lǎo Zǐ saat ini ditemukan dalam Catatan Sejarawan Agung yang berasal dari abad ke-1 seb.M., yang dikoleksi oleh sejarawan Sīmǎ Qiān (马迁) berdasarkan catatan kuno sebelumnya. Lǎo Zǐ hidup pada abad ke-6 atau ke-5 sebelum Masehi. Nama pribadinya adalah Lǐ Ěr (李耳), dan nama anumertanya adalah Lǎo Dān (老聃). Dia adalah seorang sarjana dan pejabat pada Kantor Arsip di Istana Kekaisaran Zhōu (, kira-kira 1046 - 256 seb.M.). Dengan jabatannya itu Lǐ Ěr bisa bebas membaca dan mempelajari dengan saksama tulisan-tulisan sejak masa hidup Kaisar Kuning dan karya klasik lainnya. Melihat perjalanan kariernya, menegaskan bahwa Lǐ Ěr tidak pernah membuka sekolah formal, namun tetap menarik banyak siswa dan murid yang setia untuk menuntut ilmu di bawah bimbingannya.

 

Sīmǎ Qiān melaporkan bahwa Lǐ Ěr lahir di Dusun Qūrén (曲仁里, Qū Rén Lǐ) di negara bagian selatan Chǔ (), atau sekarang di Lù Yì Xiàn, Propinsi Hénán. Dikisahkan Lǐ Ěr terlahir sebagai seorang putera dari Li Jing (??), seorang dokter dari Kekaisaran Dinasti Zhōu dan Puan Yìshòu (益壽氏, Yìshòu Shì). Menurut catatan sejarah tersebut, Lǐ Ěr pernah menikah, dan diceritakan bahwa dia memiliki seorang putera, yang kelak menjadi tentara terkenal negara Wèi () selama zaman Negara-negara Berperang (kira-kira 475 - 221 seb.M.).

 

Bahkan cerita kehidupan pribadi Lǐ Ěr masih berlanjut. Dikisahkan tentang Zong, sang prajurit, yang mengalahkan musuh dan memenangkan pertempuran. Zong meninggalkan mayat-mayat tentara musuh di medan pertempuran begitu saja, dan membiarkan mereka hingga jenazah-jenazah itu nantinya menjadi mangsa bagi burung-burung nasar. Secara kebetulan Lǐ Ěr, yang sedang melakukan perjalanan dan mengajarkan Tao, muncul di sana dan dia menyatakan dirinya sebagai ayah dari Zong; yang mana keduanya terpisah satu sama lain sejak Zong masih kanak-kanak. Lǐ Ěr memberitahukan puteranya bahwa lebih baik memperlakukan musuh yang kalah dengan terhormat, dan barang siapa yang tidak menghormati orang mati akan membuat musuh membalaskan dendamnya. Setelah diyakinkan, Zong segera memerintahkan bawahannya untuk mengubur musuh dengan upacara penghormatan. Belakangan kebiasaan ini dilakukan oleh bala tentara yang sedang berperang. Duka pemakaman diadakan untuk orang mati dari kedua belah pihak, dan perdamaian abadi berhasil dideklarasikan.

 

Lǎo Zǐ tercatat menggunakan nama kesopanan Bóyáng (伯陽). Karakter Bó atau bermakna gelar paman senior dari keluarga ayah (atau Tuapek, Hokkian), juga digunakan sebagai gelar bangsawan yang setara dengan panggilan penghormatan umum. Sedangkan karakter adalah Yáng, berarti maskulin, lawan dari Yīn (, feminin), mengungkapkan kekuatan hidup matahari dalam kepercayaan Tao. Namun, Lǎo Dān tampaknya lebih umum digunakan, termasuk yang dipakai lebih sering oleh Sīmǎ Qiān dalam Records of the Grand Historian-nya, juga oleh Zhuāng Zǐ dalam karya klasik Taoist-nya.

 

Sekarang yang menjadi pertanyaan kita, kapan Lǎo Zǐ hidup? Dalam laman yang diterbitkan oleh Hubei Government pada tahun 2016, diperkirakan Lǎo Zǐ hidup dari tahun 571 hingga 471 seb.M., serta beliau bermukim di Negara Chǔ dan berkewarganegaraan Huáxià. Jika menilik masa hidup Kǒng Zǐ, yakni dari tahun 551 hingga 479 seb.M., berarti kedua tokoh besar ini hidup sezaman, dengan Kǒng Zǐ lebih muda paling tidak 20 tahun. Lebih jauh jika kita membandingkannya dengan zaman Buddha Gautama hidup, menurut perhitungan dari kebanyakan penulis Barat, diperkirakan dari 563 hingga 483 sebelum Masehi (Mazhab Theravāda menggunakan tarikh 60 tahun lebih awal). Jadi jika kita berpegang pada catatan penanggalan ini, berarti tiga tokoh besar ini hidup sezaman.

 

Catatan Sīmǎ Qiān selanjutnya menceritakan bagaimana Lǎo Zǐ menjadi lelah dengan kerusakan moral kehidupan di Chéng Zhōu, dan dia menyaksikan sendiri kemunduran kerajaan tempat dia mengabdikan dirinya selama ini. Chéng Zhōu (成周) sendiri adalah kotaraja Dinasti Zhōu, yang masih berdiri pada masa itu. Pada hari tuanya, ketika Lǎo Zǐ mendekati usia 80 tahun, dia berkelana ke barat untuk hidup sebagai petapa di perbatasan kerajaan yang saat itu masih bergejolak. Di Gerbang Barat kotaraja, Lǎo Zǐ yang saat itu sedang menunggangi seekor kerbau hijau, dia dikenali oleh seorang penjaga gerbang yang bernama Yǐn Xǐ (尹喜). Sang penjaga meminta Guru Sepuh untuk menulis ajaran kebijaksanaannya, demi kebaikan negerinya sebelum dia diizinkan lewat. Selama beberapa hari Lǎo Zǐ tinggal dalam satu rumah dekat benteng kota tersebut, untuk menuliskan ajarannya. Naskah yang ditulis Lǎo Zǐ inilah yang sekarang ini disebut sebagai Dào Dé Jīng (道德), berisikan 5.000 karakter yang terbagi dalam 81 bab. Dalam beberapa versi kisah tersebut, sang penjaga begitu tersentuh oleh karya tulis Lǎo Zǐ sehingga dia menjadi seorang calon siswanya dan pergi bersama sang Guru Sepuh, hingga keduanya tidak pernah terlihat lagi. Pada satu versi cerita, setelah menulis _Dào Dé Jīng_, Lǎo Zǐ terbang ke angkasa dan mencapai moksa. Dalam versi yang lain, Guru Sepuh melakukan perjalanan jauh ke India dan menjadi guru dari Petapa Gautama, Sang Buddha. Yang lain mengatakan dia adalah Buddha sendiri.

 

Seperti yang terjadi dalam agama-agama besar di dunia, penganut agama Tao percaya bahwa Lǎo Zǐ merupakan manusia dengan kelahiran perawan, yang dikandung ketika ibunya menatap bintang jatuh. Ayahnya diyakini bukanlah sosok manusia, melainkan Mahadewa Tertinggi. Dia dipercaya tetap berada di dalam rahim ibunya sepanjang 62 tahun, sebelum dilahirkan ibunya yang saat itu bersandar di sebatang pohon plum (atau prem). Nama marga Lǎo Zǐ, yakni atau Lǐ secara harfiah berarti 'pohon prem'. Lǎo Zǐ bukan dilahirkan sebagai sosok bayi mungil, tetapi dia langsung menjelma menjadi pria dewasa dengan janggut abu-abu yang lebat. Ciri lainnya adalah daun telinganya yang panjang. Kita tahu nama diri Lǎo Zǐ adalah Lǐ Ěr (李耳). Sedangkan karakter adalah aksara Mandarin-kuno yang bermakna 'telinga'. Dalam budaya Tionghoa, janggut lebat abu-abu dan daun telinga panjang adalah simbol kebijaksanaan dan umur panjang. Mitos lain menyatakan bahwa Lǎo Zǐ dilahirkan-kembali sebanyak 13 kali setelah kehidupan pertamanya pada zaman Fúxī. Dalam inkarnasi terakhirnya sebagai Lǎo Zǐ, dia hidup selama sembilan-ratus-sembilan-puluh tahun, serta menghabiskan hidupnya dengan berkelana untuk mengungkapkan Tao.

 

Kisah mitos kelahiran Lǎo Zǐ ini mirip dengan kelahiran Sang Bodhisattva, yakni calon Buddha. Dikisahkan Bodhisattva kita yang menjelma dalam rupa seekor gajah putih, datang menghampiri ibunya sambil membawa sekuntum bunga teratai putih dengan belalainya yang berkilauan. Sang gajah putih lalu mengelilingi Ibunda Bodhisattva sebanyak tiga putaran, serta akhirnya memasuki rahimnya dari sisi sebelah kanan. Bagi pembaca yang ingin mengetahui kisahnya bisa mencarinya dalam artikel penulis yang sebelumnya, yang berjudul: Kelahiran Sang Bodhisattva – Sejarah, Mite, dan Legenda.

 

Menjadi orang yang memiliki leluhur seorang yang sangat dimuliakan adalah satu kebanggaan besar. Orang Tharu di wilayah Terai, di India dan Nepal, mengklaim bahwa mereka adalah keturunan dari Suku Sakya, suku atau klen yang melahirkan Sang Buddha. Sementara orang Arab dan Yaman merasa bangga jika mereka masih memiliki garis keturunan Nabi Muhammad. Orang Tionghoa di mana pun memiliki kebanggaan, karena leluhur mereka adalah Kaisar Kuning. Demikian pula yang terjadi dengan kaisar-kaisar Dinasti Táng yang memerintah Tiongkok selama hampir tiga abad. Pendiri Dinasti Táng adalah Lǐ Yuān (李淵), yang bergelar Kaisar Gāo Zǔ. Dianggap sebagai nenek moyang para kaisar Táng, pada tahun 743 M., Kaisar Xuán Zōng dari Táng mendeklarasikan Lǎo Zǐ sebagai sang Leluhur Bijak (聖祖, Shèng Zǔ). Lǎo Zǐ pun diberi gelar anumerta: Kaisar Primordial dan Misterius (玄元皇帝, Xuán Yuán Huáng Dì).

 

Dengan gelar Kaisar Primordial dan Misterius, merupakan julukan yang cocok untuk Lǎo Zǐ, karena pengetahuan kita tentang pribadi Lǎo Zǐ amat minim dan kerap hanya dikaitkan dengan Dào Dé Jīng. Mau tidak mau kita akan coba menelaah sosok Yǐn Xǐ sebagai sosok legendaris Zhōu Tiongkok. Dia diceritakan pernah menjadi seorang penjaga di gerbang barat kotaraja Zhōu, atau Chéng Zhōu (sekarang Luòyáng) atau alternatifnya, di celah barat lembah Sungai Luò. Berkat kebijaksanaannya dia mengenal dan menghentikan Lǎo Zǐ dalam perjalanannya melalui gerbang. Karya tulis abad ketujuh, Sān Dòng Zhū Náng (三洞珠囊) atau diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia menjadi Kantung Mutiara dari Tiga Gua, bisa dijadikan referensi tentang siapa sesungguhnya Yǐn Xǐ itu.

 

Naskah ini menyajikan hubungan yang lebih akrab antara Lǎo Zǐ dan Yǐn Xǐ. Lǎo Zǐ berpura-pura menjadi petani saat mencapai gerbang barat, tetapi dikenali oleh Yǐn Xǐ, yang memintanya untuk diajar oleh sang guru besar. Lǎo Zǐ tidak puas hanya dengan diminta oleh sang penjaga dan menuntut penjelasan. Yǐn Xǐ mengungkapkan keinginannya yang mendalam untuk menemukan Tao dan menjelaskan, bahwa studi astrologinya yang panjang memungkinkan dia untuk mengenali pendekatan Lǎo Zǐ. Yǐn Xǐ diterima oleh Lǎo Zǐ sebagai murid. Ini dianggap sebagai contoh interaksi yang seharusnya antara seorang guru dan seorang murid Agama Tao, yang mencerminkan ujian yang harus dialami seorang pencari sebelum diterima. Seorang calon pengikut diharapkan bisa membuktikan tekad dan bakatnya, serta dengan jelas mengungkapkan keinginannya dan menunjukkannya, bahwa dia telah membuat sendiri kemajuan untuk mewujudkan Tao.

 

Kantung Mutiara dari Tiga Gua adalah model Taoisme dalam mencari pengikut-pengikutnya. Yǐn Xǐ menerima penahbisannya ketika Lǎo Zǐ mentransmisikan Dào Dé Jīng, bersama dengan teks dan ajaran lainnya; seperti halnya penganut Tao menerima sejumlah metode, ajaran, dan kitab suci pada saat penahbisannya. Ini hanyalah penahbisan awal, dan Yǐn Xǐ masih membutuhkan waktu tambahan untuk menyempurnakan kebajikannya, sehingga Lǎo Zǐ memberinya waktu tiga tahun untuk menyempurnakan Tao-nya. Yǐn Xǐ menyerahkan dirinya pada kehidupan bakti penuh-waktu. Setelah waktu yang ditentukan, Yǐn Xǐ kembali menunjukkan tekad dan kepercayaan yang sempurna, serta mengirimkan seekor kambing-hitam ke pasar, sebagai tanda yang disepakati. Dia akhirnya bertemu lagi dengan Lǎo Zǐ, yang mengumumkan bahwa nama abadi Yǐn Xǐ terdaftar di Surga, dan Gurunya menyiapkan prosesi surgawi untuk mendandani Yǐn Xǐ dengan pakaian keabadian. Cerita berlanjut saat Lǎo Zǐ menganugerahkan sejumlah gelar kepada Yǐn Xǐ, dan membawanya ke perjalanan melintasi alam semesta, bahkan ke sembilan lapisan langit. Setelah perjalanan yang fantastis ini, kedua orang bijak itu berangkat ke tanah barbar di Barat. Masa pelatihan, penyatuan kembali, dan perjalanan tersebut mewakili pencapaian peringkat agama tertinggi dalam Taoisme abad pertengahan, yang disebut "Pengajar Tiga Gua". Dalam legenda ini, Lǎo Zǐ adalah guru Tao yang sempurna dan Yǐn Xǐ adalah murid Tao yang ideal. Lǎo Zǐ ditampilkan sebagai personifikasi Tao, memberikan ajarannya kepada umat manusia untuk keselamatan mereka. Yǐn Xǐ mengikuti urutan formal persiapan, pelatihan, pengujian, dan pencapaian.

 

Keagungan dan keluhuran Lǎo Zǐ juga diakui oleh tokoh luar biasa yang hidup sezaman dengannya. Menurut catatan sejarah, Kǒng Zǐ pernah bertemu dengan Lǎo Zǐ. Bahkan pertemuan keduanya berlangsung hingga dua kali. Penulis akan mengutipnya dan para pembaca bisa menilai siapa itu "Sang Naga yang Sesungguhnya"

 

 

Kutipan yang pertama diambil dari Biografi Lǎo Zǐ dan Hán Fēi (老子韩非列传. Lǎozi Hán Fēi Lièzhuàn) pada Bab ke-63:

 

" 鳥,吾知其能飛;魚,吾知其能遊;獸,吾知其能走。(Niǎo, wú zhī qí néng fēi; yú, wú zhī qí néng yóu; shòu, wú zhī qí néng zǒu.)  Burung, aku tahu mereka bisa terbang; ikan, aku tahu mereka bisa berenang; hewan buas, aku tahu mereka bisa berlari.

 

走者可以為罔,遊者可以為綸,飛者可以為矰。(Zǒuzhě kěyǐ wéi wǎng, yóu zhě kěyǐ wéi lún, fēi zhě kěyǐ wéi zēng.)  Mereka yang bisa berlari dapat dijebak dengan perangkap, mereka yang bisa berenang dapat ditangkap dengan jaring, mereka yang bisa terbang dapat ditembak dengan busur dan anak-panah.

 

至於龍,吾不能知其乘風雲而上天(Zhìyú lóng, wú bùnéng zhī qí chéng fēngyún ér shàngtiān.)  Adapun dengan para naga, aku tidak tahu bagaimana mereka mengendarai angin dan awan, lalu mereka pun melesat ke langit.

 

吾今日見老子,其猶龍邪! (Wú jīnrì jiàn lǎozi, qí yóu lóng xié!)  Hari ini aku bertemu Lǎo Zǐ, sosok yang sungguh-sungguh seekor naga ! "

 

 

Kutipan yang kedua, diambil dari Zhuāng Zǐ, yang terdapat dalam bab yang disebut 'Gerakan Surgawi' (天运, Tiān Yùn):

 

" 孔子見老聃歸,三日不談(Kǒngzǐ jiàn lǎo dān guī, sān rì bù tán.)  Setelah Kǒng Zǐ kembali dari pertemuannya dengan Lǎo Dān [yaitu, Lǎo Zǐ], dia tidak berbicara selama tiga hari.

 

弟子問曰:'夫子見老聃,亦將何歸哉'  (Dìzǐ wèn yuē:“Fūzǐ jiàn lǎo dān, yì jiāng hé guī zāi?”)  Seorang murid [dari Kǒng Zǐ] bertanya: 'Ketika Guru bertemu Lǎo Dān, nasihat apa yang Guru berikan kepadanya?'

 

孔子曰:吾乃今於是乎見龍(Kǒngzǐ yuē: 'Wú nǎi jīn yúshì hū jiàn lóng.)  Kǒng Zǐ menjawab: 'Hari ini aku melihat seekor naga untuk pertama kalinya.

 

龍合而成體,散而成章, (Lóng hé ér chéng tǐ, sàn ér chéngzhāng)  Naga ini mampu menggabungkan, dalam mewujudkan tubuh-fisik, dan bisa pula menyebarkannya menjadi pancaran aneka warna.

 

乘乎雲氣而養乎陰陽(Chéng hū yúnqì ér yǎng hū yīnyáng.)  Sang naga terampil mengendarai awan dan kabut, dan dinutrisi oleh yīn dan yáng.

 

予口張而不能嗋(Yǔ kǒu zhāng ér bùnéng xié,)  Mulutku terbuka lebar dan aku tak berdaya menutupnya.

 

予又何規老聃哉 (Yǔ yòu hé guī lǎo dān zāi!) Jadi bagaimana mungkin aku bisa memberikan nasihatku kepada Lǎo Dān?’ "

 

 

Demikianlah pembaca, sekilas kisah Lǎo Zǐ. Seorang filsuf dan pemikir agung pada zaman Tiongkok Kuno, pendiri Taoisme, salah satu dari 100 orang yang paling berpengaruh dalam sejarah umat manusia, dan penyusun dari Dào Dé Jīng. Kita akan membahas ajarannya pada kesempatan yang akan datang.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/230125


Rabu, 11 Januari 2023

ZIARAH



Sang Buddha, Guru Agung para dewa dan manusia, sedang menantikan saat-saat terakhir dalam hidupnya. Dengan ditemani sejumlah besar siswanya, sang manusia agung pergi menuju hutan pohon-sala milik komunitas suku Malla, di persimpangan jalan yang menuju ke Kusinārā. Kemudian Sang Guru berbaring di atas sebuah dipan, diantara dua pohon sala kembar, dengan kesadaran yang tetap terjaga. Pada kesempatan itu pohon sala kembar dipenuhi dengan begitu banyak kuntum bunga yang sedang mekar, walaupun pada saat itu bukan musim kembangnya. Pepohonan yang ada di sana pun segera menyebarkan dan merontokkan kuntum-kuntum bunga pada tubuh Yang Terberkahi, sebagai penghormatan kepadanya. Tidak hanya itu, bunga-bunga mandarava surgawi dan serbuk-serbuk cendana kahyangan berjatuhan dari langit. Semuanya menghujani dan menebarkan helai lembut dan bubuk wanginya pada tubuh Yang Terberkahi. Lamat-lamat musik kahyangan pun diperdengarkan, dan nyanyian surgawi didendangkan, nun jauh di langit sebagai wujud penghargaan kepadanya.

 

Ānanda, siswa pengiringnya, yang selama dua puluh lima tahun terakhir setia mendampinginya, dengan masygul dan disertai rasa sedih yang tak-terperikan, bertanya: "Yang Mulia, sebelumnya para bhikkhu yang menghabiskan masa tetirah musim hujan dari berbagai penjuru terbiasa datang untuk menemui Yang Sempurna. Jadi kami bisa menemui dan menunjukkan penghargaan kami kepada para bhikkhu yang mengagumkan ini. Namun, Yang Mulia, ketika Yang Terberkahi telah tiada, kami tidak bisa lagi melakukan hal ini."

 

"Ānanda, ada empat tempat yang bisa dikunjungi bagi seorang anggota suku yang berkeyakinan, yang mampu memberikan inspirasi kepadanya. Apakah yang empat ini? Di sinilah Yang Sempurna dilahirkan: ini adalah tempat yang bisa dikunjungi bagi seorang anggota suku yang berkeyakinan, yang mampu memberikan inspirasi kepadanya. Di sinilah Yang Sempurna menemukan pencerahan agung yang tiada taranya: ini adalah tempat yang bisa dikunjungi bagi seorang anggota suku yang berkeyakinan, yang mampu memberikan inspirasi kepadanya. Di sinilah Yang Sempurna memutar Roda Dhamma yang tak bisa dihentikan oleh siapa pun juga: ini adalah tempat yang bisa dikunjungi bagi seorang anggota suku yang berkeyakinan, yang mampu memberikan inspirasi kepadanya. Di sinilah Yang Sempurna mencapai Nibbāna-akhir ketika unsur Nibbāna dengan hasil kemelekatan masa silam habis tanpa sisa. Keempatnya adalah tempat yang bisa dikunjungi bagi seorang anggota suku yang berkeyakinan, yang mampu memberikan inspirasi kepadanya. Para bhikkhu dan bhikkhuni, serta umat awam laki-laki dan perempuan, yakni mereka semua yang berkeyakinan, akan mengunjungi tempat-tempat itu … ."

 

"... Dan bagi mereka semua yang berkeyakinan, yang mengunjungi tempat-tempat pemujaan itu disertai batin yang berkeyakinan; maka setelah tubuh mereka terurai, setelah mereka meninggal dunia, akan terlahir-kembali di alam yang berbahagia, bahkan di alam surga." Setelah Sang Guru tiada, para penganutnya yang memiliki kecintaan dan rasa hormat mereka yang luar biasa, mulai melakukan apa yang pernah dititahkan oleh Beliau. Cerita di atas penulis sadur dari Mahāparinibbāna Sutta yang terkenal itu.

 

Sama seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang saleh, sejak zaman purba, kala manusia baru mengenal peradaban; orang, baik sendirian maupun berkelompok, mulai melakukan ziarah. Seorang peziarah atau a pilgrim (dari bahasa Latin peregrinus), adalah seorang musafir (secara harfiah yang datang dari jauh) yang sedang dalam perjalanan menuju ke tempat-tempat yang suci. Orang tersebut melakukan perjalanan ke kuil atau tempat yang sakral, dengan berkedudukan sebagai seorang pemuja atau pengikut satu agama (atau kepercayaan) tertentu. Perjalanan yang dinamakan ziarah itu seringkali panjang dan sulit, serta ditempuh hanya dengan berjalan kaki. Ziarah juga merujuk pada pengalaman hidup di dunia, yakni dianggap sebagai satu periode pengasingan.  Seseorang dalam upayanya mendapatkan pencerahan spiritual, memulai perjalanannya dari lokasi yang gelap menuju tempat yang terang. Itulah yang dimaksud dalam kata-kata Sang Buddha, bahwa jika ziarah itu dilakukan dengan batin yang berkeyakinan; maka setelah orang itu meninggal dunia, mereka akan terlahir-kembali di alam yang berbahagia, bahkan di alam surga.

 

Keempat tempat suci yang disebutkan dalam pesan terakhirnya, banyak dikunjungi oleh para pengikutnya hingga beberapa ratus tahun setelah wafatnya Sang Guru. Karena keterbatasan sumber daya dan terjadinya pergolakan kekuasaan di antara para penguasa di India Kuno, setelah beberapa waktu tempat-tempat sakral itu dibiarkan begitu saja, dan akhirnya terlantar dan tidak terurus. Baru kemudian selang tiga ratus tahun kemudian – seorang penguasa kekaisaran Maurya Gupta, yakni Aśoka yang Agung (273 - 232 seb.M.) yang juga merupakan seorang penganut Buddhis yang saleh – mulai merevitalisasi tempat-tempat sakral tersebut.

 

Aśoka mulai mempersiapkan ziarah agungnya ke tempat-tempat yang dititahkan oleh Sang Buddha. Beliau berangkat dengan diiringi prosesi-kerajaan menuju Lumbinī (tempat kelahiran Pangeran Siddhārtha, yang sekarang berada di Nepal), sebagai titik kunjungannya yang pertama.  Didampingi Yang Ariya Upagupta, guru sekaligus penasihatnya, sang bhikkhu menunjuk tempat kelahiran Pangeran Siddhārtha sambil berkata: "Di sinilah Raja Agung, Yang Terberkahi dilahirkan." Aśoka kemudian memberikan penghormatan kepada titik sakral ini, serta memerintahkan agar sebuah tiang batu didirikan untuk menandai perhentian ziarah yang pertama ini.

 

Tujuan ziarah kerajaan, yang dilembagakan di tempat pesta kerajaan serta tempat-tempat suci Buddhis yang dikunjungi Aśoka, ditandai dengan tugu-peringatan. Tugu-peringatan itu berupa penanda-kekaisaran atau dhvaja-stambhas, yang secara menakjubkan diukir di atas batu dan ditulisi dengan dekrit atau prasasti Aśoka, yang mencatat kunjungan sang kaisar. Banyak dari dekrit atau prasasti itu masih ada hingga sekarang, dalam kondisi yang masih atau kurang baik.

 

Kunjungan berikutnya dari rombongan besar sang kaisar adalah Bodh Gayā, sekarang berada di negara bagian Bihar, India. Bodh Gayā dikenal sebagai tempat Petapa Gautama mencapai Pencerahan Agung, dan kemudian Beliau dikenal sebagai Buddha Gautama. Dikisahkan pula bahwa Aśoka mendirikan kuil suci pada titik Sang Guru Agung mencapai Pencerahan, dan di sekeliling Pohon Bodhi keramat dibangun sebuah pagar batu yang menakjubkan. Bagaimana pun sekarang tidak ada sisa-sisa kuil Aśoka yang masih berdiri. Menurut Havell, E.B., dalam bukunya Aryan Rule in India, "Kuil yang sekarang ada di Bodh-Gayā dapat ditelusuri dan tampaknya dibangun lebih awal seratus tahun sebelum era Kristus. Namun ada alasan yang kuat, bahwa kuil yang ada sekarang adalah replika yang desainnya berasal dari kuil asli, yang dibangun oleh Aśoka pada lokasi yang sama.”

 

Menurut catatan peziarah Tionghoa, Fǎ Xiǎn (337 - 422 M) dan Xuán Zàng (602 - 664 M), Kaisar Aśoka mempunyai kebiasaan mengunjungi Mahā Bodhi. Hal ini sering dilakukannya semasa hidupnya. Kisah Pohon Bodhi dan kunjungan Aśoka kemudian diabadikan pada arca Sāñchī.

 

Perhentian Aśoka yang berikutnya adalah Sārnāth atau Isipathana, yang sekarang terletak di negara bagian Uttar Pradesh, India. Inilah tempat ketika Buddha Gautama menyampaikan wejangan pertamanya, yang dikenal sebagai Dhammacakkappavattana Sutta. Pada kesempatan itu Beliau mengajarkan tentang Jalan Tengah, Empat Kesunyataan Mulia, dan Jalan Mulia Beruas Delapan. Aśoka yang Agung singgah pula dalam rangkaian penziarahannya ke tempat suci ini, yang berujung pada berdirinya sejumlah monumen dan sebuah tiang batu, dengan kepala-tiang berbentuk singa. Kepala tiang berdekorasi singa memberikan kebanggaan pada tempat ini. Patung singa ini sekarang disimpan di Museum di kota Sārnāth, serta gambar kepala singanya diresmikan menjadi lambang negara India merdeka.

 

Tempat terakhir ziarah akbar Aśoka adalah Kuśinagara, (sekarang Kushinagar) yang juga terletak di Uttar Pradesh, India; yakni tempat Sang Buddha wafat dan mencapai Parinibbāna. Sejarah menceritakan kepada kita bahwasanya Aśoka, setelah bersujud menyatakan rasa hormatnya pada titik-sakral ini, belakangan memerintahkan agar didirikan sebuah stupa di sana. Namun keberadaan stupa ini masih gelap. Parinirvāna Caitya, yang mana dirujuk oleh prasasti tersebut bertanggal dari periode Gupta, serta bukan tidak mungkin Stupa Aśoka terkubur di bawah bangunan yang didirikan sesudahnya.

 

Selanjutnya kita tinjau tempat-tempat suci yang dipercaya oleh umat Buddha Tiongkok. Ada empat tempat sakral yang diyakini oleh para penganutnya sebagai tempat bersejarah yang memiliki bodhimaṇḍa. Bodhimaṇḍa (Pali, Skt.) atau Dào Chǎng (道場), yang secara harfiah bermakna "posisi kebangkitan" atau "posisi pencerahan", diyakini merupakan lokasi yang digunakan sebagai tempat duduk, yang mana esensi pencerahan hadir. Lalu dimana posisi bodhimaṇḍa yang sesungguhnya? Persisnya adalah di bawah Pohon Bodhi purba, tempat Petapa Gautama mencapai Pencerahan Agung. Memang di Vihara Mahabodhi di Bodh Gayā yang sekarang, ada sebuah pohon bodhi, yang dipercaya orang berasal dari anakan pohon bodhi purba tersebut. Tetapi apakah posisinya persis di tempat ketika Sang Petapa Gautama mencapai Pencerahan Agung? Wallahualam!

 

Empat tempat sakral itu berupa gunung-gunung di Daratan Tiongkok dan sebuah pulau di dekatnya.  Gunung-gunung itu adalah Pǔtuó Shān (普陀山), Wǔtái Shān (五台山), Jiǔhuà Shān (九华山), dan Éméi Shān (峨眉山). Keempatnya dikenal sebagai tempat bersejarah yang memiliki bodhimaṇḍa, masing-masing untuk Bodhisattva Guānyīn, Bodhisattva Mañjuśrī, Bodhisattva Kṣitigarbha, dan Bodhisattva Samantabhadra.

 

Pǔtuó Shān, yang berasal dari bahasa Sanskerta, berarti "Gunung Potalaka", adalah sebuah pulau di Distrik Putuo, Zhoushan, Zhejiang, Tiongkok. Ini adalah situs terkenal dalam Buddhisme Tiongkok dan merupakan bodhimaṇḍa dari Bodhisattva Guānyīn. Gunung Pǔtuó terletak di Laut Tiongkok Timur, dan keadaan alamnya sendiri memadukan keindahan gunung dan laut. Luasnya sekitar 12,5 kilometer-persegi dan di sana terdapat banyak kuil yang terkenal. Setiap tahun pada hari ke-19 bulan ke-2, hari ke-19 bulan ke-6, dan hari ke-19 bulan ke-9 penanggalan Imlek, jutaan orang memenuhi seantero pulau kecil itu untuk menghadiri perayaan hari-hari besar Guānyīn.

 

Selain empat tempat suci yang direkomendasikan oleh Sang Buddha, serta empat gunung suci di Tiongkok, masih banyak tempat-tempat ziarah lain di dunia Buddhis. Di India sendiri, tempat yang umumnya dikunjungi oleh para peziarah antara lain Rajgir yang merupakan kota modern dari Rājagaha, Vaishali yang dulunya Vesā, Nalanda yang merupakan lokasi perguruan tinggi buddhis yang terkenal, Sravasti dulunya kota kuno Sāvatthī, dan Sankassa tempat yang dipilih Sang Buddha setelah Beliau turun dari surga setelah mengajarkan Abhidhamma. Di Sri Lanka ada tempat yang termashyur seperti Kuil Gigi yang menyimpan gigi dari Sang Buddha, dan kuil kuno di Anuradhapura. Di Thailand ada Wat Phra Kaew, Wat Pho, dan Wat Doi Suthep. Dan di Myanmar ada Pagoda Shewdagon dan Kuil Mahamuni Buddha.

 

Di Indonesia tempat ziarah yang berhubungan dengan agama Buddha adalah Candi Borobudur, Candi Mendut, dan Candi Sewu. Borobudur, juga ditranskripsikan sebagai Barabudur, adalah sebuah candi Buddha Mahayana yang didirikan pada abad ke-9 Masehi di Kabupaten Magelang, tidak jauh dari kota Muntilan, di Jawa Tengah. Ini adalah kuil Buddha terbesar di dunia. Candi ini terdiri dari sembilan platform bertumpuk, enam bujur sangkar dan tiga bundar, diatapi kubah tengah. Borobudur dihiasi dengan 2.672 panel relief dan awalnya 504 patung Buddha. Kubah tengah dikelilingi oleh 72 patung Buddha, yang masing-masing duduk di dalam stupa berlubang. Borobudur adalah candi Buddha terbesar di dunia, dan dapat disejajarkan dengan Bagan di Myanmar dan Angkor Wat di Kamboja, sebagai salah satu situs arkeologi terbesar di Asia Tenggara. Borobudur tetap populer untuk ziarah, dengan umat Buddha di Indonesia merayakan Hari Raya Waisak di monumen tersebut. Borobudur juga satu-satunya objek wisata yang paling banyak dikunjungi di Indonesia.

 

Jika kita berdiskusi tentang ziarah di Tiongkok adalah kultus Konfusius, apakah kita dapat berbicara tentang praktik ziarah "Konfusianisme", dan jika demikian, apa signifikansinya bagi rakyat Tiongkok. Bagi para pengikutnya, mereka mengenang Kǒng Zǐ dengan mengunjungi Qūfù – juga disebut Queli – yang telah lama dikenal sebagai rumah dan tempat peristirahatan terakhir Konfusius, dan saat ini menjadi tujuan wisata popular. Kǒng Zǐ sendiri dikebumikan di Pemakaman Kǒng Lín (孔林) yang terletak di tempat bersejarah Qūfù di Propinsi Shandong. Kuburan aslinya terletak di tepi Sungai Sìshuǐ (). Sampai sekarang banyak simpatisan Konfusius yang bersembahyang dan membakar dupa di tempat persemayamannya.

 

Bagi para penganut Taoisme ada lima gunung suci Tao yang menjadi tujuan orang berziarah. Lima Gunung Besar atau _yuè_ (五嶽) disusun menurut lima arah mata angin geomansi Tiongkok, yang mencakup empat arah mata angin dan satu pusat. Pengelompokan lima gunung muncul selama periode "Negara-negara Berperang" (475 - 221 seb.M.). Istilah yuè  yang bermakna "Lima Puncak", dipopulerkan pada masa pemerintahan Kaisar Wǔdì dari Dinasti Han Barat (140 - 87 seb.M.). Lima gunung suci itu adalah: (1) Tài Shān (泰山) di timur, (2) Huà Shān () di barat, (3) Héng Shān (衡山) di Propinsi Hunan, gunung di selatan, (4) Héng Shān (恒山) di Propinsi Shanxi, gunung di utara, dan (5) Sōng Shān (嵩山) di tengah.

 

Puncak Kaisar Kemala di Gunung Tài adalah tujuan ziarah Tao paling suci di Tiongkok. Selama lebih dari tiga ribu tahun peziarah Tao telah melakukan perjalanan ke puncak ini. Sekarang ribuan orang Tionghoa mengunjungi Puncak Kaisar Kemala setiap hari, menjadikan Tài Shān sebagai gunung yang paling banyak didaki di dunia. Ada 7.200 anak tangga yang mengarah ke puncak timur, dan ada banyak kuil kuno yang dapat dikunjungi di rute ini. Gunung Tài adalah situs warisan dunia dan merupakan yang tersuci dari Lima Gunung Suci Taoisme. Kuil Bixia Taoisme yang dikenal secara nasional terletak di puncak selatan Gunung Tài. Biara ini memiliki lima aula utama dan 360 ubin perunggu, mewakili 365 hari dalam setahun. Di tengah aula terdapat patung Dewi Bixia yang didirikan pada masa Dinasti Ming (1368 -1644 M.).

 

Jika penulis pada awal tulisan ini menggambarkan bahwa di masa purba kegiatan ziarah merupakan satu perjalanan yang sulit, yang memakan waktu berhari-hari, dilakukan dengan berjalan kaki di medan yang sulit, dan orang melakukannya dengan sungguh-sungguh sebagai ujian batin; maka di zaman kita hidup sudah terjadi pergeseran makna ziarah. Ziarah tidak lebih daripada piknik atau berdarmawisata. Hal itu tentu dipicu oleh perkembangan zaman. Ziarah dijadikan kegiatan komersial oleh para penguasa dan pelaku bisnis wisata. Juga karena kegiatan ziarah bersifat masif, para penyelenggara berusaha menjadikannya sebagai industri. Perjalanan ke tempat-tempat ziarah dipermudah dengan adanya infrastruktur yang makin modern, sekaligus menyediakan kenyamanan bagi para peziarah. Jasa transportasi, akomodasi, tiket masuk ke lokasi peziarahan, tip pemandu-wisata, dan belanja oleh-oleh, sudah menjadi lahan bisnis yang menghidupkan jutaan orang.

 

Sebelum saya menutup tulisan ini, saya ingin mengajak Anda sekalian mengunjungi satu tempat ziarah yang populer di Tanah Air. Makam Gus Dur atau Abdurrahman Wahid menjadi salah satu destinasi favorit para peziarah. Sebelum terjadi pandemi COVID-19, ribuan peziarah setiap hari mendatangi makam mantan Presiden RI tersebut. Di makam yang terletak di kompleks Pondok Pesantren Tebuireng, Cukir, Jombang, tersebut, peziarah akan menemukan berbagai fakta unik. Gus Dur disemayamkan satu lokasi dengan sang kakek, K.H. M. Hasyim Asy’ari dan ayahnya yaitu K.H. Wahid Hasyim di komplek Pondok Pesantren Tebuireng. Gus Dur wafat pada 31 Desember 2009. Di makam Gus Dur ada tulisan berbahasa Indonesia, Arab, Inggris, dan Mandarin, yang berbunyi: "Di sini berbaring seorang pejuang kemanusiaan (Here rests a humanist)".

Ketika masuk di area makam Gus Dur, peziarah bakal disambut lorong panjang yang di samping kanan-kirinya ada puluhan pedagang oleh-oleh. Dahulu, lorong itu merupakan kamar-kamar santri namun kini berubah menjadi lorong yang dilewati peziarah untuk menuju makam Gus Dur. Lokasinya sendiri terletak di sebelah pojok utara. Sepanjang jalan menuju ke makam Gus Dur dipenuhi dengan kios. Isinya beragam produk. Ada warung makan, penjualan baju muslim, aksesori, sampai berbagai macam CD. Selain pertokoan masih ada berbagai fasilitas yang menjual jasa seperti kamar mandi dan tempat penginapan. Wisata religi ini dikunjungi setiap hari dipenuhi oleh 1.000 - 2.000 orang peziarah. Pada hari libur pengunjung bisa mencapai di atas 10.000 orang.

 

sdjn/dharmaprimapustaka/230111