Pada tulisan yang lalu kita telah
membahas sekilas kehidupan Kwee Tek Hoay dan siapa orang tuanya. Tulisan kali
ini mencoba menggambarkan tantangan yang dihadapi oleh komunitas Tionghoa sampai
terbentuknya Tridharma, oleh Sang Pendiri Kwee Tek Hoay.
Kejadian besar apa yang terjadi pada
permulaan abad ke-20 di Hindia Belanda dan negara lainnya? Coba kita lihat
kutipan berikut ini: "Sejak 1910, saya menjabat sebagai majoor der Chineezen. Saya telah
mencurahkan bakat dan kemampuan saya yang terbatas ini untuk kepentingan
masyarakat. Sebagai seorang pejabat, saya mewakili warga sebangsa saya di luar
negeri (maksudnya di luar Tiongkok Daratan yakni di Hindia Belanda, penulis),
dan selama ini saya telah memenuhi tugas saya dengan pengabdian yang tinggi. Ketika
saya dipromosikan di Kantor ini, kerusuhan sosial menggoyang dunia. Di negara
leluhur kami terjadi revolusi yang menggulingkan rezim otokratis, dan di Jawa
generasi muda memberontak melawan tatanan lama. Konfrontasi antara tua dan muda
memiliki dampak yang sangat besar pada masyarakat. Namun dengan segala
kerendahan hati, saya berani mengatakan bahwa saya, dengan bantuan staf saya,
telah berhasil menjaga keamanan dan ketertiban; sehingga semua warga kami dapat
hidup dengan damai."
Fragmen ini diambil dari panel-panel Kong Koan yang pernah menghiasi dinding
bangunan Dewan Tionghoa di Batavia. Sekarang panel kayu bertuliskan huruf kanji
ini dapat ditemukan di Institut Sinologi Universitas Leiden. Fragmen di atas
diambil dari sebuah panel kayu yang bertuliskan tahun 1918 atas perintah mayor
Tionghoa terakhir di Batavia, Khouw Kim An (2-Jun-1875 - 6-Sep-1945). Ketika
Khouw diangkat sebagai perwira Tionghoa, dia melihat bahwa dunia sedang
berubah. Pada awal abad itu, cengkeraman Imperium Belanda atas Nusantara
semakin intensif. Pada tahun 1911 Kekaisaran Qīng digulingkan oleh kelompok
anti-kekaisaran, dan peristiwa itu sekaligus mengakhiri pemerintahan dinasti
yang telah berlangsung selama ribuan tahun di Tiongkok. Di Hindia Belanda lahir
gerakan-gerakan yang dipelopori kaum bumiputera dan tokoh Tionghoa, yang
menantang tatanan mapan yang telah berlangsung selama tiga-ratus tahun. Kita
yang mempelajari sejarah Nusantara pasti ingat Pergerakan Boedi Oetomo yang
muncul pada tahun 1908. Di tengah perkembangan penting ini, Dewan Tionghoa (Kong Koan) Batavia berjuang untuk
bertahan, sebagai lembaga utama kepemimpinan komunitas bagi penduduk Tionghoa
di kota pesisir Jawa Barat ini.
Sebelumnya telah disebutkan bahwa
komunitas Tionghoa adalah kelompok Timur Asing terbesar di Hindia Belanda, dan
setelah tahun 1911 ada lebih banyak orang Tionghoa yang datang ke Nusantara.
Apalagi setelah dibukanya perkebunan karet dan tembakau, imigran dari Tiongkok
Daratan mulai mendatangi daerah di luar Jawa. Para pendatang atau perantau ini
biasanya adalah lelaki muda dan kelompok imigran ini tidak membawa perempuan.
Setelah para perantau ini berhasil dan mampu menafkahi dirinya sendiri, mereka
mulai mencari pasangan. Jadi mereka mengawini perempuan bumiputera, dan
anak-anak mereka dinamakan 'peranakan'. Di Malaysia dan Singapura kaum
peranakan ini disebut babah dan nyonya. Golongan peranakan ini telah
beradaptasi dengan bahasa dan budaya masyarakat Nusantara, dan mereka telah
kehilangan kemampuannya untuk berbicara dan menulis dalam bahasa leluhurnya.
Sebaliknya para imigran yang baru datang ini disebut totok atau sebagian orang menyebutnya singkeh, adalah orang kelahiran Tiongkok Daratan yang masih
melestarikan bahasa dan budaya negara leluhurnya. Jika dua kelompok ini
disatukan, mereka belum tentu akur. Peranakan mengejek kaum totok sebagai golongan kolot, tidak tahu
adat kesopanan, dan miskin. Sebaliknya komunitas totok menganggap bahwa peranakan itu tidak berdarah murni dan telah
kehilangan nasionalismenya terhadap tanah leluhur. Jadi komunitas Tionghoa di
Hindia Belanda bukanlah masyarakat homogen, apalagi di kalangan peranakan
sendiri ada sebutan tentang cina betawi, cina benteng, cina jawa, dan cina
medan.
Kita yang belajar Sejarah Nusantara
mungkin pernah mendengar tentang Tanam Paksa
(atau Cultuurstelsel) yang
menimbulkan penderitaan hebat bagi rakyat bumiputera. Ungkapan dan tulisan
tentang kesengsaraaan rakyat di Hindia itu digaungkan oleh Pieter Brooshooft,
wartawan koran 'De Locomotief', dan politikus Conrad Theodore van Deventer;
belakangan mampu membuka mata pimpinan Kerajaan Belanda untuk lebih
memperhatikan rakyat bumiputera yang terbelakang. Ratu Wilhelmina yang saat itu
baru naik tahta, pada 17 September 1901 menegaskan dalam sidang Parlemen
Belanda, bahwa Kerajaan mempunyai utang budi (een eerschuld) dan panggilan moral untuk memulai Politik Etis. Panggilan moral tersebut
kelak diwujudkan dalam (1) membangun dan memperbaiki irigasi dan bendungan
untuk keperluan pertanian, (2) melakukan transmigrasi dari Jawa ke daerah lain,
dan (3) memperluas jangkauan bidang pengajaran dan pendidikan.
Butir ketiga perwujudan Politik Etis ini adalah yang terpenting,
karena kebijakan ini memberikan pendidikan yang lebih luas kepada rakyat Hindia
Belanda yang sebagian besar buta huruf. Sebelum tahun 1900 bukan tidak ada
pendidikan atau sekolah, tetapi sekolah hanya ada dalam jumlah terbatas dan
bukan berbentuk sekolah formal. Seperti misalnya pada tahun 1860 pemerintah
kolonial mendirikan Hoogere Burger School
atau HBS Koning Willem III (Kawedri),
sebuah sekolah menengah di Batavia.
Seperti dikatakan oleh Khouw Kim An
tentang dunia yang sedang berubah, komunitas Tionghoa di Batavia mendirikan
Tiong Hoa Hwee Kwan atau Zhōng Huá Huì Guǎn (中华会馆) selanjutnya disingkat THHK, atau 'Roemah Perkumpulan
Tionghoa'. Organisasi ini didirikan tanggal 17
Maret 1900 oleh beberapa tokoh peranakan Tionghoa di Batavia. Tujuan
utama para pendirinya tidak lain mendorong orang Tionghoa yang bermukim di
Hindia Belanda untuk mengenal identitasnya, agar mereka bisa bersatu sebagai
satu kelompok masyarakat yang dihormati oleh penjajah Belanda. Proses
pengenalan kebudayaan atau pencarian identitas yang ditempuh oleh para pendiri
THHK dilakukan lewat penyebarluasan ajaran Konghucu. Kegiatan utama THHK adalah
mendirikan sekolah berbahasa Mandarin. Yang paling terkenal adalah THHK
Batavia yang bernama Bahoa dan THHK
Tegal yang diberi sebutan Zehoa.
Sekolah THHK merupakan sekolah swasta modern pertama kala itu. Berdirinya
sekolah ini merupakan reaksi masyarakat Tionghoa di Batavia terhadap pemerintah
Belanda yang tidak pernah memberikan akses pendidikan kepada anak-anak
Tionghoa. Akibat perkembangan yang pesat dari sekolah THHK, pemerintah kolonial
khawatir anak-anak akan tersedot ke sekolah ini, hingga pada 1908 mereka segera
mendirikan Hollandsch Chineesche School (HCS). HCS tidak lain sekolah berbahasa Belanda bagi anak Tionghoa. Sekolah
ini serupa dengan Hollandsch Inlandsche
School atau HIS (sekolah
setingkat SD sekarang), untuk anak-anak bangsawan dan pejabat bumiputera
yang berdiri sejak tahun 1902.
Belakangan terjadi rivalitas antara
sekolah yang didirikan oleh THHK dengan HCS.
Polemik juga terjadi di media massa. Kwee Tek Hoay juga terlibat dalam
pertarungan gagasan tentang sekolah mana yang sebaiknya didirikan. Kwee menulis
sebagai berikut: "Antara bangsa Tionghoa peranakan jang soedah bebrapa
toeroenan tinggal disini dan selamanya ingin tinggal tetap di Hindia, apalagi
antara orang-orang yang mampoe, kebanyakan jang lebih soeka ambil peladjaran
bahasa Olanda. Tapi boeat orang Tionghoa totok jang masih berhoeboeng rapat dengan
Tiongkok, apalagi orang Khe dan Kongfoe jang sring kirim anak-anaknja
boeat dididik di Tiongkok, pelajaran bahasa dan hoeroef Tionghoa ada penting
sekali. Laen dari itoe ada banyak sekali orang Tionghoa jang soeka peladjaran
dalem bahasa Inggris ataoe Inggris dan Tjeng
Im (yakni bahasa Mandarin, penulis), sedang dalem golongan orang-orang jang
miskin, ada jang merasa poeas kaloe anaknja dapat peladjaran Melajoe dengan
hoeroef Olanda, jang memang ada paling terpake dan paling bergoena di ini
Hindia" ("Kita poenja haloean tentang onderijs ", Panorama 18, 16 April 1927, hal. 22).
Para imigran Tionghoa dan kaum peranakan memelihara
keyakinan dan praktik keagamaan mereka ke Hindia. Dewa adalah bagian penting
dari sistem kepercayaan mereka, dan para perantau membawa relik keagamaan dalam
wujud patung dewa pelindung dan abu leluhur. Selanjutnya patung dewa pelindung itu
ditempatkan di kuil yang dibangun di lingkungan Pecinan. Penjajah Belanda tidak
memiliki pemahaman terhadap keyakinan dan praktik keagamaan yang dianut oleh
orang-orang Tionghoa di Batavia. Dewan Gereja Batavia selalu menentang dan
melancarkan protes keras terhadap upaya pendirian tempat peribadatan komunitas
Tionghoa, yang dikenal dengan nama kelenteng atau bio. Patut diketahui oleh Anda para pembaca, memasuki abad ke-19,
misi zending atau pekabaran-injil di tanah
jajahan semakin gencar digalakkan pemerintah kolonial. Sebagai salah satu
program kolonialisasi, para wakil gereja melakukan misi penyebaran ajaran
Kristen di tengah masyarakat. Namun bukan perkara mudah menjalankannya. Para zending mendapat hambatan besar dari kelompok
muslim. M. Natsir dalam bukunya, Islam
dan Kristen di Indonesia, menulis tidak ada satu agama yang amat
menyusahkan para zending dan
misionaris dalam pekerjaan mereka menyebarkan agama Kristen, kecuali saat
menghadapi komunitas Islam. Bahkan isu kristenisasi masih menjadi momok yang
menghinggapi mayoritas kelompok muslim hingga hari ini, yang kadang kala
diungkapkan lewat penolakan pendirian rumah ibadah agama lain.
Dewan Gereja Batavia menganggap kuil orang Tionghoa sebagai
penyembah berhala, dipengaruhi iblis, penuh takhyul, dan sesat. Bahkan pertunjukan
barongsai dan pementasan
wayang-potehi yang disebut sebagai opera-jalanan, juga tak luput dari protes
dan pembubaran. Hal inilah yang menyebabkan beberapa kuil yang didirikan
komunitas Tionghoa di Batavia dihancurkan sesaat setelah didirikan, dan baru
sekitar tahun 1650 mereka berhasil mendirikan Kuil Kim Tek Ie (sekarang Vihara
Dharma Bakti) di daerah Petak Sembilan, Glodok; kemungkinan karena Kong Koan telah memiliki posisi tawar
yang lebih baik. Jadi meski Gubernur Jenderal tetap menerima protes dari Dewan
Gereja Batavia, bahkan sempat dilaporkan langsung ke negeri Belanda, tapi Kuil Kim Tek Ie tetap berdiri. Selama abad
ke-17 hingga awal abad ke-19 setidaknya ada tujuh kuil yang dibangun; di
antaranya Kelenteng Kim Tek Ie, Kelenteng
Tiao Kak Sie, Klenteng Tay Kak Sie, Klenteng Tien Kok Sie, Boen Tek Bio, Klenteng Ban
Tek Ie dan Tjoe Tak Bio (lihat: Chia,
Jack Meng-Tat, Monks in Motion:
Buddhism and Modernity Across the South China Sea, New York: Oxford
University Press, 2020).
Mungkin ada yang bertanya, apakah ada
kegiatan agama Buddha? Seperti yang kita ketahui agama Buddha telah punah dari
Nusantara setelah runtuhnya kerajaan Majapahit, dan hanya diketahui dan
dipraktikkan oleh sekelompok kecil penganutnya. Jangankan agama Buddha,
agama-agama lokal lainya pun tidak diakui. Berdasarkan
Volkstelling (artinya: Catatan Sensus)
yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial pada tahun 1930, pemerintah hanya
mengakui agama Islam, Kristen, dan Katolik, serta jumlah pemeluknya dicatat.
Namun, ada satu kategori yang dicap sebagai geen
goddienst ('non-agama'). Kategori ini mengacu pada semua agama yang
dianggap tidak mendasarkan kepercayaannya pada Tuhan yang satu. Lalu karena di
Negeri Belanda pernah terjadi pertentangan yang hebat antara penganut Kristen
dan penganut Katolik, maka di semua negeri yang termasuk jajahan Belanda, agama
Kristen dan Katolik dipisahkan menjadi dua agama yang berbeda; perbedaan
tersebut masih tetap diberlakukan setelah Indonesia merdeka.
Namun di akhir abad ke-19, ada gerakan
spiritual yang bernama Theosophical Society.
Lembaga ini secara resmi dibentuk di New York City, Amerika Serikat, pada 17
November 1875 oleh Helena Petrovna Blavatsky, Kolonel Henry Steel Olcott,
William Quan Judge, dan 16 orang lainnya. Pada 3 April 1905 di Chennai (Madras)
diumumkan tiga tujuan pendiriannya, yakni: (1) membentuk inti persaudaraan
universal umat manusia tanpa membedakan ras, keyakinan, jenis kelamin, kasta,
atau warna kulit; (2) mendorong studi perbandingan agama, filsafat, dan ilmu
pengetahuan; dan (3) menyelidiki hukum alam yang tidak dapat dijelaskan oleh
ilmu pengetahuan dan meneliti kekuatan-laten dalam diri manusia. Theosophical Society juga menggali
ajaran-ajaran Okultisme, Hinduisme, dan Buddhisme.
Mungkin sudah waktunya agama Buddha berkembang
kembali di Nusantara, seperti yang pernah diramalkan oleh Sabdo Palon dan
Nayagenggong; yang akan terjadi 500 tahun setelah runtuhnya Majapahit, seperti
disebutkan dalam Serat Darmagandhul. Menurut
Iskandar Nugraha dalam tulisannya Teosofi,
Nationalism and Elite Modern Indonesia, Depok: Komunitas Bamboo, 2011, Gerakan
Teosofi berdiri di Semarang pada tahun 1901 di Semarang. Dimulai oleh seorang
Belanda, A.P. Asperen Van de Velde, dia memulainya dengan membagikan brosur dengan
tujuan mengundang orang untuk bergabung dengan gerakan tersebut. Pada mulanya
anggotanya hanya berjumlah tujuh orang, namun setelah itu gerakan ini menyebar hingga
ke kota-kota lain, seperti Soerabaja (1903), Djogdjakarta (1904), dan Soerakarta
(1905). Van Asperen, atas usahanya dalam mempromosikan gerakan tersebut,
dianugerahi gelar De Geestelijke Vader
der Lodge atau 'Bapak Spiritual Pondok'. Lambat laun Masyarakat Teosofi mendapatkan
pijakan kuat di Indonesia. Pengikutnya tidak hanya terbatas pada orang Belanda dan
kulit putih, tetapi juga diikuti oleh orang-orang dari kalangan bumiputera dan peranakan
Tionghoa yang tinggal di Jawa. Organisasi ini tumbuh dengan mantap dan mendapat
respon positif dari masyarakat. Menurut biografi yang ditulis oleh Ibu Visakha
Gunadharma, Kwee Tek Hoay menekuni teosofi dengan mengikuti pertemuan-pertemuan
yang diadakan secara berkala selama 25 tahun. Karena ketekunan dan
pengabdiannya dia mendapatkan penghargaan The
Star of the East dari pimpinan Masyarakat Teosofi Cabang Buitenzorg.
Selain pendalaman ajaran teosofi,
berkembang pula tulisan-tulisan yang kebanyakan berupa terjemahan kebijaksanaan
dan ajaran mulia dari India dan Dunia Timur lainnya. Tersebutlah Tan Khoen Swie (1883-1953) seorang penulis dan penerbit buku di Kediri pada paruh pertama abad ke-20. Tan berjasa dalam
menyebarluaskan hasil karya sastra Jawa modern. Tan juga membuka toko buku dan
percetakan sendiri sekitar tahun 1915, serta menerbitkan karya-karya Theosofi,
Buddhisme, Konfusianisme, dan Taoisme. Penerbitan buku ini kelak dilanjutkan
oleh Kwee Tek Hoay. Kwee setelah sukses berniaga, menginvestasikan kelebihan
uangnya untuk membangun usaha penerbitan dan percetakan. Bahkan dia menerbitkan
medianya sendiri seperti majalah mingguan Panorama
(1926-1932), bulanan Moestika Panorama
(1930-1932), mingguan Moestika Dharma
(1932-1934), dan bulanan Sam Kauw Gwat Po
(1934-1947). Orang banyak pun sudah mulai mengenal ajaran luhur dan agama dari
Timur lewat terbitan majalah dan buku-bukunya.
Jika pada mulanya Theosophical Society
mempelajari berbagai macam agama dari India dan Okultisme, selanjutnya organisasi
ini menyediakan saluran untuk mempromosikan Buddhisme,
lewat para intelektualnya di pulau Jawa, baik dari kalangan orang Eropa,
bumiputera, maupun peranakan Tionghoa. Sebagai tindak lanjutnya, kelompok ini
memfokuskan pada dua agenda, yaitu (1) resakralisasi situs-situs keagamaan dan (2)
studi serta penyebaran agama Buddha. Dengan diwakili oleh Mangelaar Meertens, diupayakan
menghidupkan kembali penggunaan candi-candi Buddha sebagai pusat praktik
Buddhis, dengan perayaan Waisak yang dibuka untuk publik, pertama kali diselenggarakan
di Borobudur pada tahun 1927. Sedangkan untuk agenda kedua, mereka mengadakan
serangkaian ceramah tentang agama Buddha di berbagai pondok mereka. Salah satu
contohnya adalah kursus mingguan tentang Buddhisme yang diberikan oleh Mej.
Jochems di markas Teosofi di Batavia pada tahun 1920. Upaya ini kelak melahirkan
berdirinya Java Buddhist Association
(JBA) (lihat: Yulianti, The Making of Buddhism in Modern Indonesia:
South and Southeast Asian Networks and Agencies, 1900–1959, Ph.D.
dissertation, Leiden University, The Netherlands, 2020).
JBA atau 'Persatuan Buddhis
Jawa' perlu diceritakan sedikit. Didirikan
Juli 1929, organisasi ini berafiliasi erat dengan Misi Buddhis Internasional
yang berbasis di Thaton, Burma. Sesuai dengan namanya, tujuan utama perkumpulan
ini adalah penyebaran agama Buddha di Indonesia. Organisasi ini diketuai oleh
E.E. Power dan Willem Josias van Dienst. Van Dienst sendiri menerbitkan buletin
dan buku yang berjudul: Mahayana
Boeddhisme Als Moderne Wereldbeschouwing, yang isinya membahas dua
perspektif ajaran Buddhisme (Mahayana dan Theravada). Van Dienst sedang
berusaha untuk menyatukan Buddhisme Mahayana dan Theravada dengan menjalin
hubungan baik dengan umat Buddha Tionghoa di Batavia. Van Dienst mengunjungi pula
Kepala Klenteng Kwan Im Tong di Prinsenlaan di Batavia. Sang Kepala,
Pdt. Lin Feng Fei, menerima Van Dienst bersama hweesio (rohaniwan Mahayana) lainnya. Upaya ini kelak menandai
perubahan kebijakan kelenteng, yang tidak saja berfungsi sebagai rumah ibadah,
tetapi juga bertindak sebagai agen agar kelenteng turut memberi pelajaran agama
Buddha.
Kita kembali pada THHK yang pada awalnya didirikan dengan tujuan untuk
mempromosikan budaya Tionghoa di kalangan komunitas Tionghoa di Nusantara. Baru
pada tahun 1920-an, Konfusianisme dinyatakan sebagai satu-satunya pondasi agama
Tionghoa. Cara pandang ini melahirkan berdirinya Kong Kauw Hwee pada tahun 1923.
Situasi tetap demikian sampai Kwee Tek Hoay
mengemukakan interpretasi agama Tionghoa. Menyimpang dari batasan yang
digunakan untuk istilah itu oleh THHK dan Kong Kauw Hwee, Kwee tidak membatasi
agama Tionghoa pada Konfusianisme saja, melainkan sebagai keseluruhan dari tiga
agama: Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme. Inilah yang dinamakan Sam Kauw Hwee. Seperti yang
dijelaskannya dalam nomor perdana Moestika
Dharma: "Jang dinamakan 'Agama Tionghoa' ada
termasoek tiga agama jang pada djeman Tjhingtiauw
telah diakoe sah sebagi agama negri oleh pemerentah di Tiongkok, jaitoe Khong Kauw, Hoed Kauw, dan To Kauw.
Sebetoelnja kapertjajaan orang Tionghoa kabanjakan ada ratjikan atawa gaboengan
dari itoe tiga matjem agama, hingga tiada banjak terdapet Confucianists, Buddhists,
atau Taoists jang tjoemah tetap
pegang satoe agama sadja." (Diterjemahkan dari Kwee Tek Hoay, The Origins of the Modern Chinese Movement
in Indonesia, Ed. Lea E. Williams, Ithaca, 1969, hal. 8).
Adalah menarik untuk membicarakan
pergulatan ide di antara Kong Kauw Hwee
dengan Sam Kauw Hwee. Sam Kauw Hwee ini yang kemudian dikenal
masyarakat sebagai 'Tridharma'. Kami akan menyajikannya pada artikel yang
berikutnya.
Keyakinan Kwee Tek Hoay terhadap
agamanya, Sam Kauw Hwee atau
Tridharma tidak tergoyahkan hingga akhir hidupnya. Dia mempraktikkan ketiga
ajaran agama itu dalam kehidupan sehari-harinya. Di rumahnya ada sebuah meja
abu leluhur, tempat dia selalu menyalakan hio
dan lilin saat bersembahyang. Dia memiliki pula seperangkat peralatan ciam si yang digunakannya untuk meramal
peruntungan seseorang. Kwee Tek Hoay ternyata seorang yang senang meramal, dan
umumnya ramalannya selalu tepat. Alkisah, pada suatu hari dia bermaksud
mengetahui peruntungannya untuk dua hal krusial yang akan dihadapinya.
Pertanyaan pertama, apakah dia harus pindah. Kedua, apakah dia dapat
menyelamatkan sesuatu yang paling berharga. Untuk pertanyaan pertama,
jawabannya Kwee harus pindah. Untuk pertanyaan kedua, jawabannya adalah tidak
dapat. Terbukti kelak ramalan lewat ciam
si itu tepat. Kwee ngotot tidak mau pindah dari kediamannya saat itu di
Tjitjoeroeg, untuk mengungsi ke Batavia. Dan yang kedua dia tidak dapat
menyelamatkan nyawanya. Kwee meninggal dunia di Tjitjoeroeg pada tanggal 4 Juli
1951.
(Tamat)
sdjn/dharmaprimapustaka/221012