Rabu, 12 Oktober 2022

KWEE TEK HOAY DAN TRIDHARMA (Bagian Kedua dari Dua Tulisan)



Pada tulisan yang lalu kita telah membahas sekilas kehidupan Kwee Tek Hoay dan siapa orang tuanya. Tulisan kali ini mencoba menggambarkan tantangan yang dihadapi oleh komunitas Tionghoa sampai terbentuknya Tridharma, oleh Sang Pendiri Kwee Tek Hoay.

 

Kejadian besar apa yang terjadi pada permulaan abad ke-20 di Hindia Belanda dan negara lainnya? Coba kita lihat kutipan berikut ini: "Sejak 1910, saya menjabat sebagai majoor der Chineezen. Saya telah mencurahkan bakat dan kemampuan saya yang terbatas ini untuk kepentingan masyarakat. Sebagai seorang pejabat, saya mewakili warga sebangsa saya di luar negeri (maksudnya di luar Tiongkok Daratan yakni di Hindia Belanda, penulis), dan selama ini saya telah memenuhi tugas saya dengan pengabdian yang tinggi. Ketika saya dipromosikan di Kantor ini, kerusuhan sosial menggoyang dunia. Di negara leluhur kami terjadi revolusi yang menggulingkan rezim otokratis, dan di Jawa generasi muda memberontak melawan tatanan lama. Konfrontasi antara tua dan muda memiliki dampak yang sangat besar pada masyarakat. Namun dengan segala kerendahan hati, saya berani mengatakan bahwa saya, dengan bantuan staf saya, telah berhasil menjaga keamanan dan ketertiban; sehingga semua warga kami dapat hidup dengan damai."

 

Fragmen ini diambil dari panel-panel Kong Koan yang pernah menghiasi dinding bangunan Dewan Tionghoa di Batavia. Sekarang panel kayu bertuliskan huruf kanji ini dapat ditemukan di Institut Sinologi Universitas Leiden. Fragmen di atas diambil dari sebuah panel kayu yang bertuliskan tahun 1918 atas perintah mayor Tionghoa terakhir di Batavia, Khouw Kim An (2-Jun-1875 - 6-Sep-1945). Ketika Khouw diangkat sebagai perwira Tionghoa, dia melihat bahwa dunia sedang berubah. Pada awal abad itu, cengkeraman Imperium Belanda atas Nusantara semakin intensif. Pada tahun 1911 Kekaisaran Qīng digulingkan oleh kelompok anti-kekaisaran, dan peristiwa itu sekaligus mengakhiri pemerintahan dinasti yang telah berlangsung selama ribuan tahun di Tiongkok. Di Hindia Belanda lahir gerakan-gerakan yang dipelopori kaum bumiputera dan tokoh Tionghoa, yang menantang tatanan mapan yang telah berlangsung selama tiga-ratus tahun. Kita yang mempelajari sejarah Nusantara pasti ingat Pergerakan Boedi Oetomo yang muncul pada tahun 1908. Di tengah perkembangan penting ini, Dewan Tionghoa (Kong Koan) Batavia berjuang untuk bertahan, sebagai lembaga utama kepemimpinan komunitas bagi penduduk Tionghoa di kota pesisir Jawa Barat ini.

 

Sebelumnya telah disebutkan bahwa komunitas Tionghoa adalah kelompok Timur Asing terbesar di Hindia Belanda, dan setelah tahun 1911 ada lebih banyak orang Tionghoa yang datang ke Nusantara. Apalagi setelah dibukanya perkebunan karet dan tembakau, imigran dari Tiongkok Daratan mulai mendatangi daerah di luar Jawa. Para pendatang atau perantau ini biasanya adalah lelaki muda dan kelompok imigran ini tidak membawa perempuan. Setelah para perantau ini berhasil dan mampu menafkahi dirinya sendiri, mereka mulai mencari pasangan. Jadi mereka mengawini perempuan bumiputera, dan anak-anak mereka dinamakan 'peranakan'. Di Malaysia dan Singapura kaum peranakan ini disebut babah dan nyonya. Golongan peranakan ini telah beradaptasi dengan bahasa dan budaya masyarakat Nusantara, dan mereka telah kehilangan kemampuannya untuk berbicara dan menulis dalam bahasa leluhurnya. Sebaliknya para imigran yang baru datang ini disebut totok atau sebagian orang menyebutnya singkeh, adalah orang kelahiran Tiongkok Daratan yang masih melestarikan bahasa dan budaya negara leluhurnya. Jika dua kelompok ini disatukan, mereka belum tentu akur. Peranakan mengejek kaum totok sebagai golongan kolot, tidak tahu adat kesopanan, dan miskin. Sebaliknya komunitas totok menganggap bahwa peranakan itu tidak berdarah murni dan telah kehilangan nasionalismenya terhadap tanah leluhur. Jadi komunitas Tionghoa di Hindia Belanda bukanlah masyarakat homogen, apalagi di kalangan peranakan sendiri ada sebutan tentang cina betawi, cina benteng, cina jawa, dan cina medan.

 

Kita yang belajar Sejarah Nusantara mungkin pernah mendengar tentang Tanam Paksa (atau Cultuurstelsel) yang menimbulkan penderitaan hebat bagi rakyat bumiputera. Ungkapan dan tulisan tentang kesengsaraaan rakyat di Hindia itu digaungkan oleh Pieter Brooshooft, wartawan koran 'De Locomotief', dan politikus Conrad Theodore van Deventer; belakangan mampu membuka mata pimpinan Kerajaan Belanda untuk lebih memperhatikan rakyat bumiputera yang terbelakang. Ratu Wilhelmina yang saat itu baru naik tahta, pada 17 September 1901 menegaskan dalam sidang Parlemen Belanda, bahwa Kerajaan mempunyai utang budi (een eerschuld) dan panggilan moral untuk memulai Politik Etis. Panggilan moral tersebut kelak diwujudkan dalam (1) membangun dan memperbaiki irigasi dan bendungan untuk keperluan pertanian, (2) melakukan transmigrasi dari Jawa ke daerah lain, dan (3) memperluas jangkauan bidang pengajaran dan pendidikan.

 

Butir ketiga perwujudan Politik Etis ini adalah yang terpenting, karena kebijakan ini memberikan pendidikan yang lebih luas kepada rakyat Hindia Belanda yang sebagian besar buta huruf. Sebelum tahun 1900 bukan tidak ada pendidikan atau sekolah, tetapi sekolah hanya ada dalam jumlah terbatas dan bukan berbentuk sekolah formal. Seperti misalnya pada tahun 1860 pemerintah kolonial mendirikan Hoogere Burger School atau HBS Koning Willem III (Kawedri), sebuah sekolah menengah di Batavia.

 

Seperti dikatakan oleh Khouw Kim An tentang dunia yang sedang berubah, komunitas Tionghoa di Batavia mendirikan Tiong Hoa Hwee Kwan atau Zhōng Huá Huì Guǎn (中华会馆) selanjutnya disingkat THHK, atau 'Roemah Perkumpulan Tionghoa'. Organisasi ini didirikan tanggal 17 Maret 1900 oleh beberapa tokoh peranakan Tionghoa di Batavia. Tujuan utama para pendirinya tidak lain mendorong orang Tionghoa yang bermukim di Hindia Belanda untuk mengenal identitasnya, agar mereka bisa bersatu sebagai satu kelompok masyarakat yang dihormati oleh penjajah Belanda. Proses pengenalan kebudayaan atau pencarian identitas yang ditempuh oleh para pendiri THHK dilakukan lewat penyebarluasan ajaran Konghucu. Kegiatan utama THHK adalah mendirikan sekolah berbahasa Mandarin. Yang paling terkenal adalah THHK Batavia yang bernama Bahoa dan THHK Tegal yang diberi sebutan Zehoa. Sekolah THHK merupakan sekolah swasta modern pertama kala itu. Berdirinya sekolah ini merupakan reaksi masyarakat Tionghoa di Batavia terhadap pemerintah Belanda yang tidak pernah memberikan akses pendidikan kepada anak-anak Tionghoa. Akibat perkembangan yang pesat dari sekolah THHK, pemerintah kolonial khawatir anak-anak akan tersedot ke sekolah ini, hingga pada 1908 mereka segera mendirikan Hollandsch Chineesche School (HCS). HCS tidak lain sekolah berbahasa Belanda bagi anak Tionghoa. Sekolah ini serupa dengan Hollandsch Inlandsche School atau HIS (sekolah setingkat SD sekarang), untuk anak-anak bangsawan dan pejabat bumiputera yang berdiri sejak tahun 1902.

 

Belakangan terjadi rivalitas antara sekolah yang didirikan oleh THHK dengan HCS. Polemik juga terjadi di media massa. Kwee Tek Hoay juga terlibat dalam pertarungan gagasan tentang sekolah mana yang sebaiknya didirikan. Kwee menulis sebagai berikut: "Antara bangsa Tionghoa peranakan jang soedah bebrapa toeroenan tinggal disini dan selamanya ingin tinggal tetap di Hindia, apalagi antara orang-orang yang mampoe, kebanyakan jang lebih soeka ambil peladjaran bahasa Olanda. Tapi boeat orang Tionghoa totok jang masih berhoeboeng rapat dengan Tiongkok, apalagi orang Khe dan Kongfoe jang sring kirim anak-anaknja boeat dididik di Tiongkok, pelajaran bahasa dan hoeroef Tionghoa ada penting sekali. Laen dari itoe ada banyak sekali orang Tionghoa jang soeka peladjaran dalem bahasa Inggris ataoe Inggris dan Tjeng Im (yakni bahasa Mandarin, penulis), sedang dalem golongan orang-orang jang miskin, ada jang merasa poeas kaloe anaknja dapat peladjaran Melajoe dengan hoeroef Olanda, jang memang ada paling terpake dan paling bergoena di ini Hindia" ("Kita poenja haloean tentang onderijs ", Panorama 18, 16 April 1927, hal. 22).

 

Para imigran Tionghoa dan kaum peranakan memelihara keyakinan dan praktik keagamaan mereka ke Hindia. Dewa adalah bagian penting dari sistem kepercayaan mereka, dan para perantau membawa relik keagamaan dalam wujud patung dewa pelindung dan abu leluhur. Selanjutnya patung dewa pelindung itu ditempatkan di kuil yang dibangun di lingkungan Pecinan. Penjajah Belanda tidak memiliki pemahaman terhadap keyakinan dan praktik keagamaan yang dianut oleh orang-orang Tionghoa di Batavia. Dewan Gereja Batavia selalu menentang dan melancarkan protes keras terhadap upaya pendirian tempat peribadatan komunitas Tionghoa, yang dikenal dengan nama kelenteng atau bio. Patut diketahui oleh Anda para pembaca, memasuki abad ke-19, misi zending atau pekabaran-injil di tanah jajahan semakin gencar digalakkan pemerintah kolonial. Sebagai salah satu program kolonialisasi, para wakil gereja melakukan misi penyebaran ajaran Kristen di tengah masyarakat. Namun bukan perkara mudah menjalankannya. Para zending mendapat hambatan besar dari kelompok muslim. M. Natsir dalam bukunya, Islam dan Kristen di Indonesia, menulis tidak ada satu agama yang amat menyusahkan para zending dan misionaris dalam pekerjaan mereka menyebarkan agama Kristen, kecuali saat menghadapi komunitas Islam. Bahkan isu kristenisasi masih menjadi momok yang menghinggapi mayoritas kelompok muslim hingga hari ini, yang kadang kala diungkapkan lewat penolakan pendirian rumah ibadah agama lain.

 

Dewan Gereja Batavia menganggap kuil orang Tionghoa sebagai penyembah berhala, dipengaruhi iblis, penuh takhyul, dan sesat. Bahkan pertunjukan barongsai dan pementasan wayang-potehi yang disebut sebagai opera-jalanan, juga tak luput dari protes dan pembubaran. Hal inilah yang menyebabkan beberapa kuil yang didirikan komunitas Tionghoa di Batavia dihancurkan sesaat setelah didirikan, dan baru sekitar tahun 1650 mereka berhasil mendirikan Kuil Kim Tek Ie (sekarang Vihara Dharma Bakti) di daerah Petak Sembilan, Glodok;  kemungkinan karena Kong Koan telah memiliki posisi tawar yang lebih baik. Jadi meski Gubernur Jenderal tetap menerima protes dari Dewan Gereja Batavia, bahkan sempat dilaporkan langsung ke negeri Belanda, tapi Kuil Kim Tek Ie tetap berdiri. Selama abad ke-17 hingga awal abad ke-19 setidaknya ada tujuh kuil yang dibangun; di antaranya Kelenteng Kim Tek Ie, Kelenteng Tiao Kak Sie, Klenteng Tay Kak Sie, Klenteng Tien Kok Sie, Boen Tek Bio, Klenteng Ban Tek Ie dan Tjoe Tak Bio (lihat: Chia, Jack Meng-Tat, Monks in Motion: Buddhism and Modernity Across the South China Sea, New York: Oxford University Press, 2020).

 

Mungkin ada yang bertanya, apakah ada kegiatan agama Buddha? Seperti yang kita ketahui agama Buddha telah punah dari Nusantara setelah runtuhnya kerajaan Majapahit, dan hanya diketahui dan dipraktikkan oleh sekelompok kecil penganutnya. Jangankan agama Buddha, agama-agama lokal lainya pun tidak diakui. Berdasarkan Volkstelling (artinya: Catatan Sensus) yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial pada tahun 1930, pemerintah hanya mengakui agama Islam, Kristen, dan Katolik, serta jumlah pemeluknya dicatat. Namun, ada satu kategori yang dicap sebagai geen goddienst ('non-agama'). Kategori ini mengacu pada semua agama yang dianggap tidak mendasarkan kepercayaannya pada Tuhan yang satu. Lalu karena di Negeri Belanda pernah terjadi pertentangan yang hebat antara penganut Kristen dan penganut Katolik, maka di semua negeri yang termasuk jajahan Belanda, agama Kristen dan Katolik dipisahkan menjadi dua agama yang berbeda; perbedaan tersebut masih tetap diberlakukan setelah Indonesia merdeka.

 

Namun di akhir abad ke-19, ada gerakan spiritual yang bernama Theosophical Society. Lembaga ini secara resmi dibentuk di New York City, Amerika Serikat, pada 17 November 1875 oleh Helena Petrovna Blavatsky, Kolonel Henry Steel Olcott, William Quan Judge, dan 16 orang lainnya. Pada 3 April 1905 di Chennai (Madras) diumumkan tiga tujuan pendiriannya, yakni: (1) membentuk inti persaudaraan universal umat manusia tanpa membedakan ras, keyakinan, jenis kelamin, kasta, atau warna kulit; (2) mendorong studi perbandingan agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan; dan (3) menyelidiki hukum alam yang tidak dapat dijelaskan oleh ilmu pengetahuan dan meneliti kekuatan-laten dalam diri manusia. Theosophical Society juga menggali ajaran-ajaran Okultisme, Hinduisme, dan Buddhisme.

 

Mungkin sudah waktunya agama Buddha berkembang kembali di Nusantara, seperti yang pernah diramalkan oleh Sabdo Palon dan Nayagenggong; yang akan terjadi 500 tahun setelah runtuhnya Majapahit, seperti disebutkan dalam Serat Darmagandhul. Menurut Iskandar Nugraha dalam tulisannya Teosofi, Nationalism and Elite Modern Indonesia, Depok: Komunitas Bamboo, 2011, Gerakan Teosofi berdiri di Semarang pada tahun 1901 di Semarang. Dimulai oleh seorang Belanda, A.P. Asperen Van de Velde, dia memulainya dengan membagikan brosur dengan tujuan mengundang orang untuk bergabung dengan gerakan tersebut. Pada mulanya anggotanya hanya berjumlah tujuh orang, namun setelah itu gerakan ini menyebar hingga ke kota-kota lain, seperti Soerabaja (1903), Djogdjakarta (1904), dan Soerakarta (1905). Van Asperen, atas usahanya dalam mempromosikan gerakan tersebut, dianugerahi gelar De Geestelijke Vader der Lodge atau 'Bapak Spiritual Pondok'. Lambat laun Masyarakat Teosofi mendapatkan pijakan kuat di Indonesia. Pengikutnya tidak hanya terbatas pada orang Belanda dan kulit putih, tetapi juga diikuti oleh orang-orang dari kalangan bumiputera dan peranakan Tionghoa yang tinggal di Jawa. Organisasi ini tumbuh dengan mantap dan mendapat respon positif dari masyarakat. Menurut biografi yang ditulis oleh Ibu Visakha Gunadharma, Kwee Tek Hoay menekuni teosofi dengan mengikuti pertemuan-pertemuan yang diadakan secara berkala selama 25 tahun. Karena ketekunan dan pengabdiannya dia mendapatkan penghargaan The Star of the East dari pimpinan Masyarakat Teosofi Cabang Buitenzorg.

 

Selain pendalaman ajaran teosofi, berkembang pula tulisan-tulisan yang kebanyakan berupa terjemahan kebijaksanaan dan ajaran mulia dari India dan Dunia Timur lainnya. Tersebutlah Tan Khoen Swie (1883-1953) seorang penulis dan penerbit buku di Kediri pada paruh pertama abad ke-20. Tan berjasa dalam menyebarluaskan hasil karya sastra Jawa modern. Tan juga membuka toko buku dan percetakan sendiri sekitar tahun 1915, serta menerbitkan karya-karya Theosofi, Buddhisme, Konfusianisme, dan Taoisme. Penerbitan buku ini kelak dilanjutkan oleh Kwee Tek Hoay. Kwee setelah sukses berniaga, menginvestasikan kelebihan uangnya untuk membangun usaha penerbitan dan percetakan. Bahkan dia menerbitkan medianya sendiri seperti majalah mingguan Panorama (1926-1932), bulanan Moestika Panorama (1930-1932), mingguan Moestika Dharma (1932-1934), dan bulanan Sam Kauw Gwat Po (1934-1947). Orang banyak pun sudah mulai mengenal ajaran luhur dan agama dari Timur lewat terbitan majalah dan buku-bukunya.

 

Jika pada mulanya Theosophical Society mempelajari berbagai macam agama dari India dan Okultisme, selanjutnya organisasi ini menyediakan saluran untuk mempromosikan Buddhisme, lewat para intelektualnya di pulau Jawa, baik dari kalangan orang Eropa, bumiputera, maupun peranakan Tionghoa. Sebagai tindak lanjutnya, kelompok ini memfokuskan pada dua agenda, yaitu (1) resakralisasi situs-situs keagamaan dan (2) studi serta penyebaran agama Buddha. Dengan diwakili oleh Mangelaar Meertens, diupayakan menghidupkan kembali penggunaan candi-candi Buddha sebagai pusat praktik Buddhis, dengan perayaan Waisak yang dibuka untuk publik, pertama kali diselenggarakan di Borobudur pada tahun 1927. Sedangkan untuk agenda kedua, mereka mengadakan serangkaian ceramah tentang agama Buddha di berbagai pondok mereka. Salah satu contohnya adalah kursus mingguan tentang Buddhisme yang diberikan oleh Mej. Jochems di markas Teosofi di Batavia pada tahun 1920. Upaya ini kelak melahirkan berdirinya Java Buddhist Association (JBA) (lihat: Yulianti, The Making of Buddhism in Modern Indonesia: South and Southeast Asian Networks and Agencies, 1900–1959, Ph.D. dissertation, Leiden University, The Netherlands, 2020).

 

JBA atau 'Persatuan Buddhis Jawa' perlu diceritakan sedikit. Didirikan Juli 1929, organisasi ini berafiliasi erat dengan Misi Buddhis Internasional yang berbasis di Thaton, Burma. Sesuai dengan namanya, tujuan utama perkumpulan ini adalah penyebaran agama Buddha di Indonesia. Organisasi ini diketuai oleh E.E. Power dan Willem Josias van Dienst. Van Dienst sendiri menerbitkan buletin dan buku yang berjudul: Mahayana Boeddhisme Als Moderne Wereldbeschouwing, yang isinya membahas dua perspektif ajaran Buddhisme (Mahayana dan Theravada). Van Dienst sedang berusaha untuk menyatukan Buddhisme Mahayana dan Theravada dengan menjalin hubungan baik dengan umat Buddha Tionghoa di Batavia. Van Dienst mengunjungi pula Kepala Klenteng Kwan Im Tong di Prinsenlaan di Batavia. Sang Kepala, Pdt. Lin Feng Fei, menerima Van Dienst bersama hweesio (rohaniwan Mahayana) lainnya. Upaya ini kelak menandai perubahan kebijakan kelenteng, yang tidak saja berfungsi sebagai rumah ibadah, tetapi juga bertindak sebagai agen agar kelenteng turut memberi pelajaran agama Buddha.

 

Kita kembali pada THHK yang pada awalnya didirikan dengan tujuan untuk mempromosikan budaya Tionghoa di kalangan komunitas Tionghoa di Nusantara. Baru pada tahun 1920-an, Konfusianisme dinyatakan sebagai satu-satunya pondasi agama Tionghoa. Cara pandang ini melahirkan berdirinya Kong Kauw Hwee pada tahun 1923.

 

Situasi tetap demikian sampai Kwee Tek Hoay mengemukakan interpretasi agama Tionghoa. Menyimpang dari batasan yang digunakan untuk istilah itu oleh THHK dan Kong Kauw Hwee, Kwee tidak membatasi agama Tionghoa pada Konfusianisme saja, melainkan sebagai keseluruhan dari tiga agama: Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme. Inilah yang dinamakan Sam Kauw Hwee. Seperti yang dijelaskannya dalam nomor perdana Moestika Dharma: "Jang dinamakan 'Agama Tionghoa' ada termasoek tiga agama jang pada djeman Tjhingtiauw telah diakoe sah sebagi agama negri oleh pemerentah di Tiongkok, jaitoe Khong Kauw, Hoed Kauw, dan To Kauw. Sebetoelnja kapertjajaan orang Tionghoa kabanjakan ada ratjikan atawa gaboengan dari itoe tiga matjem agama, hingga tiada banjak terdapet Confucianists, Buddhists, atau Taoists jang tjoemah tetap pegang satoe agama sadja." (Diterjemahkan dari Kwee Tek Hoay, The Origins of the Modern Chinese Movement in Indonesia, Ed. Lea E. Williams, Ithaca, 1969, hal. 8).

 

Adalah menarik untuk membicarakan pergulatan ide di antara Kong Kauw Hwee dengan Sam Kauw Hwee. Sam Kauw Hwee ini yang kemudian dikenal masyarakat sebagai 'Tridharma'. Kami akan menyajikannya pada artikel yang berikutnya.

 

Keyakinan Kwee Tek Hoay terhadap agamanya, Sam Kauw Hwee atau Tridharma tidak tergoyahkan hingga akhir hidupnya. Dia mempraktikkan ketiga ajaran agama itu dalam kehidupan sehari-harinya. Di rumahnya ada sebuah meja abu leluhur, tempat dia selalu menyalakan hio dan lilin saat bersembahyang. Dia memiliki pula seperangkat peralatan ciam si yang digunakannya untuk meramal peruntungan seseorang. Kwee Tek Hoay ternyata seorang yang senang meramal, dan umumnya ramalannya selalu tepat. Alkisah, pada suatu hari dia bermaksud mengetahui peruntungannya untuk dua hal krusial yang akan dihadapinya. Pertanyaan pertama, apakah dia harus pindah. Kedua, apakah dia dapat menyelamatkan sesuatu yang paling berharga. Untuk pertanyaan pertama, jawabannya Kwee harus pindah. Untuk pertanyaan kedua, jawabannya adalah tidak dapat. Terbukti kelak ramalan lewat ciam si itu tepat. Kwee ngotot tidak mau pindah dari kediamannya saat itu di Tjitjoeroeg, untuk mengungsi ke Batavia. Dan yang kedua dia tidak dapat menyelamatkan nyawanya. Kwee meninggal dunia di Tjitjoeroeg pada tanggal 4 Juli 1951.

 

(Tamat)

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/221012


Rabu, 05 Oktober 2022

KWEE TEK HOAY DAN TRIDHARMA (Bagian Pertama dari Dua Tulisan)


 

Dalam tulisan kali ini penulis akan bercerita mengenai Kwee Tek Hoay. Siapakah gerangan beliau ini? Beberapa di antara Anda mungkin telah pernah mendengar namanya. Ya, Kwee Tek Hoay atau dieja juga sebagai Guō Dé Huái (郭德懷, 31 Juli 1886 - 4 Juli 1951) adalah Bapak Tridharma Indonesia. Bagi saya sebagai generasi baby boomers (kelahiran 1946-1964), Kwee Tek Hoay itu seangkatan dengan kakek saya, sedangkan bagi generasi anak-anak saya – yakni generasi millennials (kelahiran 1981-1996) – beliau itu orang yang seumur dengan kakek-buyut mereka. Dengan membaca sejarah perjalanan hidup Kwee Tek Hoay, kita sebetulnya sedang bernostalgia bersama kakek atau kekek-buyut kita, dalam menghadapi tantangan hidup di zaman itu.

 

Penulis akan menuturkan dahulu siapa itu ayah dan ibu Kwee Tek Hoay. Kwee Tek Hoay adalah putera bungsu Kwee Tjiam Hong dan Tan An Nio, dan dia masih memiliki satu kakak laki-laki sebagai anak tertua keluarga itu dan dua orang kakak perempuan. Kwee Tjiam Hong, sang ayah, berasal dari Tiongkok, Propinsi Fujian Dusun Lam An. Seperti orang-orang Tionghoa perantauan lainnya, mereka secara berkelompok meninggalkan tanah leluhur untuk mencari peruntungan baru di Tanah Jawa. Dikisahkan selama perjalanan dari kampung halamannya hingga ke perantauan, Kwee Tjiam Hong membawa sebuah patung yang merupakan replika tokoh yang bernama Kwee Seng Ong, yang konon selama hidupnya dipuja oleh rakyat daerah Tiongkok Selatan. Kwee Seng Ong disebut juga 郭神王 atau Guō Shén Wáng, yang bermakna bahwa dia itu seorang raja sekaligus orang suci. Setelah Kwee Seng Ong wafat, dia dipuja sebagai dewa di kuil-kuil yang banyak terdapat di Tiongkok Selatan. Tidak diketahui dengan pasti pada zaman kapan Kwee Seng Ong hidup, namun jika menilik marganya, Kwee Seng Ong juga merupakan leluhur dari Kwee Tjiam Hong.

 

Tentu Anda pembaca bertanya-tanya mengapa Kwee Tjiam Hong membawa-bawa patung dewa pelindung dalam perantauannya itu? Perjalanan dari Tiongkok Selatan menuju Tanah Jawa dengan kapal layar pada masa itu bukanlah pengembaraan tamasya, layaknya orang kaya menggunakan kapal pesiar yang nyaman dan menyenangkan, seperti yang  sering kita tonton di layar kaca. Ini adalah perjalanan laut yang memakan waktu berminggu-minggu dengan taruhan nyawa. Kapal layar yang ringkih sering diterjang badai ganas di tengah samudera yang tak-bertepi, yang bisa menenggelamkan wahana itu dalam sekejap. Belum lagi ancaman bajak laut di tengah lautan, yang mana mereka tidak segan-segan merampok atau membunuh para korbannya. Saat menghadapi datangnya marabahaya, para perantau hanya bisa pasrah bersimpuh di hadapan patung dewa, lalu mereka mempersembahkan dupa dan membakar kertas-uang, dengan mulut mereka berkomat-kamit melantunkan doa agar diberikan keselamatan.

 

Penulis mengambil kisah hidup Kwee Tek Hoay ini dari tulisan karya Visakha Gunadharma, yakni puteri beliau satu-satunya, dalam buku: 100 Tahun Kwee Tek Hoay, Dari Penjaja Tekstil sampai ke Pendekar Pena, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1989. Dari tulisan Ibu Visakha itu tidak ada keterangan kapan Kwee Tjiam Hong tiba di Tanah Jawa. Tetapi dengan menghitung tahun kelahiran Kwee Tek Hoay, diperkirakan Tjiam Hong datang ke Hindia Belanda antara tahun 1860-1865. Adalah menarik untuk mengetahui apa yang terjadi di Daratan Tiongkok pada masa itu. Ternyata di sana sedang terjadi huru-hara, yakni berlangsungnya Pemberontakan atau Revolusi Taiping, antara penguasa Dinasti Qīng () yang kaisarnya orang Manchu dengan 'Kerajaan Surgawi Taiping Han' yang dipimpin oleh etnis Hakka. Pemberontakan kemudian berkobar menjadi perang saudara, berlangsung dari tahun 1850 hingga 1864, dengan korban jiwa lebih dari 20 juta orang. Ini merupakan perang saudara yang paling berdarah dalam sejarah dunia. Meskipun di Tianjing (sekarang Nanjing) tentara pemberontak berhasil dikalahkan, Kekaisaran Qīng mulai melemah dan kehilangan pengaruhnya. Seperti yang biasa terjadi sejak zaman baheula hingga sekarang, peperangan besar di satu negeri menimbulkan kesengsaraan dan migrasi besar-besaran rakyatnya. Banyak warga mengungsi ke negara lain, untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Demikian juga yang terjadi pada masyarakat Fujian pada zaman itu.

 

Setelah berhasil menginjakkan kakinya di Tanah Jawa, Kwee Tjiam Hong menetap di Bogor. Pekerjaan sehari-harinya adalah pedagang obat-obatan herbal cina, yang dibawa secara rutin dari pedagang-pedagang yang mengimpor komoditi itu dari Tiongkok. Bersama dengan teman-temannya dia membuka toko obat cina dan ada pula dari mereka yang berprofesi sebagai sinshe atau tabib cina. Pada masa itu Bogor atau Buitenzorg masuk ke dalam Ommelanden yakni wilayah yang terdiri dari Batavia-Stad, Tangerang, Meester-Cornelis (Jatinegara), Krawang, dan Buitenzorg (sekarang setara dengan 'Jabodetabek'). Di samping Ommelanden, wilayah penting lain Hindia Belanda adalah Semarang dan Soerabaja. Sedangkan daerah di luar Jawa dan Madura disatukan sebagai Buitengewesten.

 

Sejak Belanda memasuki Nusantara, dimulai dari berkuasanya VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie, 1602-1799), yang kemudian dilanjutkan dengan Kerajaan Belanda (1799-1942), mereka mulai menciptakan tatanan sosial berdasarkan pada struktur rasial dan sosial yang kaku; dengan para elit Belanda berada di puncak hierarki dan bertempat tinggal terpisah, namun tetap berhubungan dengan penduduk pribumi atau bumiputera yang dijajah oleh mereka. Di samping itu ada golongan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) yang terdiri dari bangsa Tionghoa, Arab, Moor (dipanggil sebagai 'Keling'), dan Bengalis. Golongan Timur Asing mempunyai hak dan status yang lebih tinggi daripada penduduk bumiputera, dan biasanya tinggal dalam lingkungan kampung tersendiri, yang terpisah dari penduduk bumiputera. Kampung tersendiri ini berkembang menjadi Pecinan (Chineesche Kamp), Kampung Arab, Kampung Keling, dan sebagainya. Dari kalangan Timur Asing ini, golongan Tionghoa yang paling banyak mendapat perhatian karena peran sosial politik mereka yang khas dan jumlah mereka yang besar. Sebagai contohnya, berdasarkan sensus yang diadakan pada tahun 1895, Pemerintah Hindia Belanda mencatat penduduk Zuider en Ooster Afdeeling van Borneo (sekarang Kalimantan Selatan dan Timur) berturut-turut terdiri dari: 598 orang kulit putih (0,07%), 4.525 orang Tionghoa (0,56%), 1.534 orang Arab (0.19%), 116 orang Timur Asing lainnya (0,01%), dan 803.013 orang Bumiputera (99,16%) (Sumber: Wikipedia). Mengapa pemerintah kolonial membagi-bagi wilayah pemukiman berdasarkan etnis dan kebangsaan? Karena akan mudah bagi mereka untuk mengawasinya, juga sesuai dengan tujuan politik devide et impera.

Guna menjalankan pemerintahan pada komunitas Timur Asing, Pemerintah Kolonial menunjuk orang dan kemudian membentuk badan, yang bertugas menjembatani elit kekuasan dengan rakyatnya. Pada abad ke-18 hingga abad ke-20 didirikan 'Dewan Tionghoa', lebih dikenal sebagai Kong Koan, yang memainkan peran penting dalam pemerintahan dan kegiatan sosial pada komunitas Tionghoa di Batavia, Semarang, dan Soerabaja. Organisasi etnis semi-otonom ini bekerja sama dengan Pemerintah Kolonial dalam mengelola komunitas Tionghoa, terutama dalam mengumpulkan pajak, menjalankan aturan pemerintah, dan menyelesaikan perselisihan. Dewan terdiri dari anggota-anggota yang dipilih dan ditunjuk dengan cermat oleh gubernur jenderal. Petinggi atau perwira diberi gelar kuasi-militer – seperti luitenant, kapitein, dan majoor. Secara kolektif mereka dikenal sebagai perwira Tionghoa. Mereka dibantu oleh kepala lingkungan, sekretaris, juru tulis, dan kurir. Hanya orang Tionghoa kaya dari elit lokal yang memenuhi syarat untuk jabatan perwira. Oleh karena itu, keanggotaan dalam Dewan menjamin otoritas, pengaruh, dan juga prestise. Posisi yang lebih rendah seperti kepala lingkungan atau wijkmeester, sekretaris, atau juru tulis pun menarik, karena Dewan Tionghoa secara luas dianggap sebagai organisasi bergengsi.

 

Tak lama setelah Jan Pieterszoon Coen menetapkan Batavia sebagai markas Firma Hindia Timur Belanda atau VOC pada tahun 1619, Gubernur Jenderal menunjuk seorang saudagar kaya Tionghoa sebagai kepala desa pertama. Dia adalah Souw Beng Kong (1580-1644) dengan pangkat kapitein der Chineezen, yang bertanggung jawab atas komunitas kecil Tionghoa di kota yang baru ditaklukkan itu. Dari jajaran perwira Tionghoa di zaman kolonial ada beberapa yang terkenal. Di antaranya adalah Oei Tiong Ham (19-Nov-1866 - 6-Jun-1924), yang dijuluki sebagai 'Sang Raja Gula' dari Semarang dengan pangkat majoor-titulair der Chinezen; juga ada Tjong A Fie (1860-1921), seorang pengusaha dan bankir besar dari Medan yang pada tahun 1911 diangkat sebagai kapitein der Chineezen. Para perwira Tionghoa karena kekayaan dan jabatan mereka dikenal oleh orang zaman itu sebagai Tjabang Atas, yang setara dengan golongan bangsawan Tionghoa. Para perwira itu memilih menantu dari kalangan Tjabang Atas pula, dengan maksud mengamankan kekayaan dan pangkat mereka. Politik kolonial yang mengisolasi golongan Tionghoa dan Timur Asing dengan warga bumiputera, dan kebijakan pilih kasih inilah; yang sebenarnya menyuburkan kecemburuan dan antipati komunitas bumiputera terhadap komunitas Tionghoa, bahkan sentimen negatif ini berlangsung hingga hari ini.

 

Kita kembali kepada Kwee Tjiam Hong, yang mulai berniaga obat-obatan herbal. Selain itu Tjiam Hong yang rajin dan mempunyai naluri bisnis yang baik mulai membuka usaha lain, seperti toko tekstil dan bergerak pula di bidang ekspedisi. Selain didukung oleh semangat kerja keras dan keuletan, para pengusaha Tionghoa pada masa itu terkenal dengan semangat gotong royongnya di antara sesama pedagang perantauan. Kwee Tjiam Hong membentuk sebuah Kongsi yang anggota-anggotanya terdiri dari teman-teman dekatnya. Kwee Tjiam Hong juga termasuk orang yang dermawan; dia secara berkala mengirim uang ke sanak saudaranya yang masih tinggal Di Tiongkok. Dia juga membantu pendirian sebuah kuil di dusun kelahirannya dan membantu korban bencana banjir. Beberapa tahun setelah usahanya berjalan lancar, Tjiam Hong yang masih berstatus perjaka muda mulai berpikir untuk berkeluarga. Pilihannya jatuh pada Tan Ay Nio, puteri satu keluarga besar dan terpandang di Bogor. Tan Ay Nio ini berbeda latar belakang dengan suaminya. Jika Kwee Tjiam Hong merupakan seorang Totok yang sehari-harinya berbicara bahasa Hokkian dan masih membiarkan kuncir di rambutnya tumbuh panjang sebagai kesetiaan pada kekaisaran Tiongkok, Tan Ay Nio adalah seorang Tionghoa Peranakan yang sudah tiga generasi menetap di Hindia Belanda, dan dia lebih banyak berbahasa Melayu walaupun dia juga paham bahasa Hokkian. Nyonya Kwee Tjiam Hong ini pun sehari-hari memakai pakaian tradisional baju kurung gaya Melayu. Pasangan suami isteri ini meskipun memiliki latar belakang yang berbeda, namun keduanya akur dalam membina rumah tangga.

 

Kwee Tek Hoay dilahirkan di Bogor pada 31 Juli 1886 sebagai anak bungsu, dan walaupun dia anak paling bontot dia tidak dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Dia lebih dekat dengan ibunya dan mereka berdua bercakap-cakap dalam bahasa Melayu. Dia jarang bertemu dengan ayahnya karena Kwee Tjiam Hong seharian sibuk mengurus bisnisnya. Sejak kecil Kwee Tek Hoay sering diajak ayahnya pergi beribadah ke kelenteng setiap Ce It dan Cap Go atau saat bulan mati dan bulan purnama. Menginjak usia delapan tahun atau pada tahun 1894, dia dimasukkan ke sekolah Tionghoa dengan pengantar bahasa Hokkian. Konon kabarnya sekolah itu berada di dalam sebuah ruangan di rumah-abu leluhur, tempat ayahnya sering berkumpul dengan anggota kongsi lainnya. Menurut referensi yang penulis dapatkan, sebelum pergantian abad menuju tahun 1900 belum ada sekolah formal di Hindia Belanda. Jadi sekolah yang diikuti oleh Kwee Tek Hoay kecil adalah sekolah informal yang pada masa itu dinamakan Gie Oh. Karena sekolah itu memakai bahasa pengantar Hokkian, Kwee Tek Hoay kecil tidak memahami apa yang dimaksudkan oleh gurunya, sehingga dia kerap membolos. Kita tidak tahu apakah Kwee Tek Hoay sempat masuk sekolah formal setelah dia menginjak usia belasan tahun, walaupun anak ini sebenarnya memiliki kemampuan belajar yang tinggi. Tetapi yang jelas Kwee kecil mampu membaca dan menulis huruf Latin, menguasai dengan baik bahasa Melayu, dan bisa berhitung; satu keterampilan yang dimiliki oleh anak yang berpendidikan sekolah rakyat menurut ukuran zaman itu.

 

Di sini kita bisa melihat sosok seorang ayah yang keras dan memegang teguh tradisi Tiongkok Kuno dan menganjurkan anak-anaknya untuk belajar bahasa Hokkian saja. Namun justru si bungsu membangkang dan memberontak terhadap perintah ayahnya. Diam-diam si bungsu Kwee membaca buku-buku Melayu dengan diam-diam, misalnya dengan menyembunyikan dirinya di dalam sebuah peti besar. Salah satu kesenangannya di masa kanak-kanak dan remajanya adalah membaca buku, sampai ia dijuluki si kutu buku. Meskipun tidak menempuh ilmu di bangku sekolah formal, Kwee Tek Hoay mengambil les privat tata buku, bahasa Belanda, dan bahasa Inggris. Tidak ada penjelasan sampai di mana kemampuannya dalam berbahasa Hokkian dan menulis aksara Mandarin. Dia juga senang mengarang sejak masih bersekolah, lalu di masa remajanya dia mengembangkan bakatnya di bidang jurnalistik. Kedua orang tuanya tidak mengetahui bakatnya dalam bidang tulis-menulis, karena sepengetahuan mereka dia cukup rajin membantu mereka berjualan di toko, dan dia pun sudah pandai berdagang.

 

Setelah Kwee Tek Hoay menginjak usia 19 tahun, ayah dan ibunya mulai memikirkan untuk mengawinkan putera bungsunya ini. Ibunya menaruh minat pada keluarga Tan Kie Lam yang berpangkat kapitein Tionghoa di Bogor. Tan Kie Lam memiliki seorang cucu perempuan yang bernama Oei Hiang Nio. Pada waktu itu Nyonya Kwee Tjiam Hong cukup dikenal di Buitenzorg sebagai pedagang wanita yang jujur dan berhormat. Di antara Nyonya Kwee dan Tan Kie Lam sudah saling mengenal, dan hal itu memudahkan baginya melamar Oei Hiang Nio untuk dijadikan menantunya. Jadi dalam mengatur perjodohan itu tidak diperlukan lagi mak comblang. Kwee Tek Hoay setuju saja dinikahkan dengan seorang perempuan peranakan namun dengan dua syarat. Pertama, dia harus melihat dulu wajah calon isterinya sebelum kedua orang tuanya melamar. Kedua, dia meminta gadis yang akan dinikahinya tidak buta huruf. Sebenarnya Kwee Tek Hoay telah mengenal Kapitein Tan Kie Lam dengan baik. Kwee Tek Hoay pernah bertukar pikiran dengan tokoh terhormat itu dan turut membantu kegiatan sosial komunitas Tionghoa di Buitenzorg. Perlu Pembaca ketahui pada masa itu anak gadis keluarga terhormat biasanya dipingit, dan mereka tidak diizinkan bebas bergaul dengan kaum pria. Mereka dikawinkan setelah kedua orang tua calon mempelai menyatakan persetujuannya. Jadi dalam kebanyakan kasus para gadis baru dipertemukan dengan calon suaminya pada saat acara lamaran berlangsung, bahkan ada pasangan yang baru bertemu saat akan dinikahkan. Tentu saja ini kondisi yang tidak menguntungkan bagi para wanita lajang karena mereka seolah-olah membeli kucing dalam karung; jika lelaki yang melamarnya berkenan di hatinya mereka beruntung, sebaliknya, mereka lebih banyak kecewa dan hanya bisa pasrah. Kwee Tek Hoay yang nakal, setelah mengetahui bahwa dia bakal dijodohkan dengan Oei Hiang Nio, dia mulai mencari tahu kemudian memata-matai calon tunangannya itu. Dia akhirnya mengetahui bahwa Oei Hiang Nio secara berkala berkunjung ke sebuah gereja Kristen, dan dia berkali-kali secara diam-diam menantinya di depan gereja untuk memandang wajah calon isterinya. Barulah setelah mereka menikah, Kwee Tek Hoay mengakui perbuatannya kepada isterinya; he he he! Keduanya menikah pada bulan Februari 1906, dua-belas hari sebelum Tahun Baru Imlek.

 

Setelah menikah Kwee Tek Hoay tetap meneruskan pekerjaan utamanya yakni berdagang. Belakangan dia memiliki sebuah toko serba ada yang dinamakan 'Toko KTH'. Dia melatih isterinya berdagang dan mengurus keuangan toko tersebut. Dalam hal ini tampak suaminya lebih senang jika isterinya membantu mendampinginya dalam berniaga, ketimbang hanya memasak dan mengurus rumah tangga. Oei Hiang Nio pun menjadi sesosok ibu yang cukup sibuk, karena dia harus membagi waktunya untuk membantu kegiatan toko dan mengurus rumah tangga. Kelak ketika Kwee Tek Hoay mapan berprofesi sebagai penulis, Oei Hiang Nio pun bertugas membaca dan memberikan saran atas tulisan suaminya sebelum dipublikasikan. Banyak orang – termasuk anaknya sendiri – mengatakan bahwa Kwee Tek Hoay sungguh beruntung mempunyai isteri seperti Oei Hiang Nio. Sebagai anak yang banyak dipengaruhi oleh budaya Tionghoa Totok dari ayahnya, Kwee Tek Hoay justru bersikap moderat dan dia sering menggandeng isterinya ke pertemuan atau menghadiri jamuan makan, sesuatu hal yang sebenarnya masih dianggap kurang wajar menurut tradisi masa itu. Ternyata Kwee Tek Hoay sudah lebih maju dari orang sezamannya, yang umumnya memperlakukan isteri mereka untuk tinggal di rumah saja.

 

(Bersambung)

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/221005