Cerita berikut ini mencoba memberi
gambaran tentang apa persepsi mayoritas masyarakat Indonesia terhadap kaum
minoritas Tionghoa. Fakta ini didapat setelah penulis berbincang-bincang dengan
beberapa sahabat yang berasal dari kalangan yang mengaku sebagai orang pribumi
Indonesia. Menurut pandangan mereka, orang Tionghoa di Tanah Air yang memiliki
kewarganegaraan Indonesia, kebanyakan beragama Buddha, atau Kristen, atau Katolik; dan hanya segelintir
yang memeluk agama Islam. Mereka juga menganggap bahwa semua orang Tionghoa itu
kaya atau berkecukupan, serta mayoritas merupakan bagian dari kelas menengah
dalam masyarakat Indonesia.
Penulis mengiyakan bahwa adalah benar
bahwa sebagian besar etnis Tionghoa memeluk agama Kristen, Katolik, dan Buddha;
tetapi tidak setuju dengan pendapat bahwa hampir semua orang Tionghoa di
Indonesia adalah orang kaya atau termasuk kelas menengah. Masih banyak orang
Tionghoa – terutama di daerah tertentu – yang hidup dalam kondisi kekurangan
bahkan berada di bawah garis kemiskinan. Penulis katakan pula kepada mereka,
masih banyak warga Tionghoa yang hidupnya susah, dan ini bisa dilihat pada
masyarakat Cina Benteng di Tangerang dan etnis Tionghoa di Propinsi Kalimantan
Barat. Bahkan tidak usah jauh-jauh, di Jakarta Barat saja banyak warga
keturunan yang masih menghuni kawasan kumuh, dan untuk memenuhi kebutuhan makan
sehari-hari pun mereka masih kesulitan.
Pembicaraan kami terus berlanjut. Mereka
juga memiliki persepsi bahwa umat Buddha yang berasal dari etnis Tionghoa –
bukan seperti orang Jawa yang beragama Buddha – bersembahyang di kelenteng
dengan cara memasang hio atau dupa. Penulis menjelaskan kepada mereka, adalah
umum masyarakat Indonesia menganggap bahwasanya umat Buddha dari etnis Tionghoa
itu hanya terdiri dari satu golongan dan mereka semuanya dianggap sama, tetapi
dalam kenyataannya praktik ibadah di antara umat itu berbeda.
Seperti yang Anda para pembaca ketahui,
umat Buddha tidaklah bersifat homogen. Ada banyak mazhab dan sekte yang dianut
oleh pengikut Buddhis di Indonesia ini. Bukan maksud penulis untuk menceritakan
keberagaman kepercayaan mereka dalam tulisan ini. Penulis kali ini ingin
menyoroti umat Buddha di Indonesia, yang bisa disederhanakan menjadi dua
golongan saja. Lho koq bisa?
Mereka yang memeluk keyakinan Buddhis
bisa digolongkan menjadi dua bagian besar, berdasarkan tingkat pemahaman mereka
dalam menghayati agamanya. Perlu kita pahami bahwa menjadi Buddhis bukanlah
sekedar beragama, karena Buddhis adalah sebuah Pola Pikir, yakni 'Pola Pikir
Buddhis'. Orang yang sejak dari kecil rutin ke vihara, beranjak remaja tetap
rajin ke vihara, dan sudah kerja juga masih ke vihara; tetapi secara tiba-tiba
dia berpindah agama; mengapa bisa demikian? Sebenarnya orang tersebut tidak
memiliki 'Pola Pikir Buddhis', tetapi hanyalah umat tradisional yang mengaku
sebagai Buddhis. Di kalangan internal kami, mereka sering pula disebut 'Umat
Buddha KTP'. Apa maksudnya? Ini berkaitan dengan sejarah kelam Republik kita
ini. Pada tahun 1965 terjadi Pemberontakan G 30 S, yang dilakukan oleh Partai
Komunis Indonesia (PKI). Kudeta itu berhasil digagalkan namun mengorbankan
nyawa rakyat Indonesia dalam jumlah yang amat besar. PKI pun ditumpas,
dibubarkan, dan eksistensinya pun ditiadakan. Pemerintah yang berkuasa pada
saat itu yakni Rezim Orde Baru, membuat stigma bahwa Komunis itu jahat dan
anti-agama. Orang Indonesia sejak itu takut dicap sebagai pengikut 'Komunis'
dan mereka pun ingin disebut sebagai orang beragama. Jadi setiap penduduk
Indonesia, wajib mencantumkan agama di kolom KTP-nya. Sekedar perbandingan,
yang namanya identity card (semacam
KTP) di negara lain, tidak pernah mencantumkan agama si pemegang kartu.
Nah, setelah peristiwa pemberontakan G
30 S yang tragis bagi bangsa kita, ternyata membawa implikasi yang serius dalam
kehidupan beragama etnis Tionghoa di Indonesia. Terutama ini berdampak pada
mereka yang selama itu mengikuti agama leluhur mereka, yang disebut 'Agama
Orang Tionghoa'. Di tahun 1965 itu hanya ada lima agama yang diakui di Indonesia,
yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Jadi mereka yang merasa
memeluk 'Agama Orang Tionghoa' mau tidak mau akan mencantumkan 'Buddha' di
kolom KTP mereka. Dari sinilah muncul istilah 'Umat Buddha KTP'. Jadi apa itu
'Agama Orang Tionghoa'? Bagi mereka itu adalah apa yang disebut sebagai _Sān Jiào_
(三教) atau Sam Kauw (Hokkian), atau diindonesiakan sebagai Tridharma. Tridharma
artinya 'Tiga Ajaran', merupakan sinkretisme dari tiga agama, yakni ajaran
Taoisme, ajaran agama Buddha Mahayana, dan ajaran agama Ru yakni yang bersumber
dari Konghucu. Belakangan pada tahun 2000 pada masa pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid, agama Konghucu resmi menjadi salah satu agama yang diakui di
Indonesia. Dengan demikian mereka yang menganut Agama Orang Tionghoa atau
mengaku sebagai pemeluk Tridharma, bisa memilih mencantumkan 'Buddha' atau
'Konghucu' pada kolom agama di KTP-nya.
Sekarang kita akan membahas lebih
lanjut apa yang dinamakan 'Umat Buddha KTP' itu. Agar lebih mudah dipahami,
penulis ingin menceritakan pengalaman pribadi penulis sendiri. Penulis lahir
dari keturunan etnis Tionghoa suku Hokkian, yang entah sudah berapa generasi
bermukim di bumi Nusantara ini. Kami satu keluarga besar, baik dari garis
keturunan laki-laki maupun perempuan, adalah penganut agama orang Tionghoa yang
taat. Setiap tanggal 1 dan 15 menurut penanggalan lunar, di meja-abu leluhur dari garis keturunan laki-laki, kami
biasa mempersembahkan dupa, lampu-minyak, dan air teh dengan melakukan
persembahyangan. Meja-abu yang di atasnya terpampang potret hitam-putih para
leluhur kami tersebut, tidaklah berada di rumah orang tua penulis, tetapi
ditempatkan di rumah tua peninggalan kakek dan nenek yang berlokasi di kawasan
pecinan. Pada saat-saat tertentu sesuai dengan tradisi, seperti perayaan dewa
dapur naik ke kahyangan, sembahyang Thian, sembahyang Tahun Baru Imlek, dan
sembahyang arwah; ritual akan berlangsung lebih lama dan sesajian yang
dipersembahkan di meja-abu lebih banyak dan bervariasi. Menyambut
persembahyangan istimewa ini, kami sekeluarga telah menyiapkannya jauh-jauh
hari sebelumnya.
Acara persembahyangan yang dilakukan
secara rutin mengikuti petunjuk penanggalan lunar
adalah peristiwa yang membekas kuat dalam memori penulis hingga saat ini.
Adalah sosok Jie-kou sebutan bagi
kakak-perempuan-kedua papa kami, yang begitu sabar dan telaten, yang
mengajarkan kami untuk melakukan persembahyangan di depan altar dengan hikmat.
Lewat tutur katanya yang lemah lembut dan tangan halusnya, kami diajarkan
bagaimana mengambil hio atau
batang-dupa, menyalakannya, memegang dan menggerak-gerakannya di depan dada,
sambil mulut-mulut kecil kami berkomat-kamit melantunkan doa dan permohonan
kepada para leluhur yang telah tiada. Dia nampak bahagia melihat Sudjana Kecil
dan adiknya sudah pintar pai-pai.
Sewaktu kami bertanya kepadanya, apa makna di balik barang persembahan dan
ritual persembahyangan ini, dia tidak mampu menjelaskannya. Jie-kou almarhumah hanyalah sosok wanita
paruh baya yang sederhana, tidak banyak menuntut, dan dia menyiapkan dan
melaksanakan ritual persembahyangan dengan tulus dan penuh rasa bakti terhadap
agama dan keyakinannya.
Mungkin teman-teman dari generasi yang
seangkatan dengan penulis banyak juga yang memiliki pengalaman masa kecil yang
serupa. Di permulaan dekade 60-an pendidikan dan pengetahuan orang tua kita
tentang Agama Orang Tionghoa amatlah minim. Mereka rata-rata tidak memahami apa
makna bersembahyang, apa tujuannya meletakkan sesajian di atas altar, apalagi
mengerti pesan simbolik dalam upacara yang diadakan di rumah atau tempat
ibadah. Segala tata-laku yang dikerjakannya dalam bersembahyang ditiru
mentah-mentah dari orang tua atau kakek-nenek mereka. Adalah sosok Tua-kou, yakni kakak-perempuan-tertua
dari papa, yang sering mengajak penulis ke bio
atau kelenteng tua yang terdapat di kawasan pecinan tersebut. Saat berkunjung
ke sana terutama pada hari keagamaan, banyak umat yang bersembahyang dengan
dibekali lilin merah, hio, dan
'kertas-uang'. Adalah suatu kenyataan bahwa banyak dari mereka yang memasang lilin
di altar, menyulut hio, kemudian
melakukan pai-pai di hadapan patung
dewa/dewi atau bodhisattva layaknya sesosok robot. Memang ada doa dan harapan
yang tercetus di bibirnya agar permohonan atau permintaannya dikabulkan. Inilah
yang disindir oleh sementara kalangan internal sebagai umat dung dung cep. Entah dari mana datangnya
istilah ini – mungkin saja karena mereka yang melakukannya dua kali bersujud,
maka dinamakan dung dung, lalu batang
hio itu ditancapkan pada wadah-abu
dengan suara cep – satu sebutan yang
merendahkan terhadap orang yang melakukannya. Dengan demikian, hingga meningkat
remaja penulis bisa digolongkan sebagai salah satu dari 'Umat Buddha KTP' atau
golongan dung dung cep ini.
Setelah cukup umur penulis memasuki sekolah
dasar di perguruan yang berciri khas Katolik, yang berlanjut di SMP yang sama.
Kemudian dilanjutkan ke SMA yang dikelola oleh Yayasan Katolik yang berbeda.
Jadi selama dua belas tahun penulis tidak pernah mengenal ajaran tentang apa
itu agama orang Tionghoa. Di lingkungan pendidikan formal ini penulis diajarkan
pengalaman berinteraksi dengan penganut agama lain. Jika biasanya kami
sembahyang dengan membakar hio, maka
di sekolah ini kami diajarkan untuk berdoa dengan cara memejamkan mata sambil
melipat tangan. Di lingkungan ini penulis mulai mengenal sosok Yesus Kristus
dan nabi-nabi seperti yang diceritakan dalam Alkitab. Selama menuntut ilmu di
sana terkadang kami mendapatkan pelajaran agama Katolik dari frater, bruder,
atau suster, dan mereka tidak pernah mempermasalahkan agama yang penulis anut.
Bahkan mereka terkesan sangat toleran kepada kami, termasuk kepada beberapa
teman yang beragama Islam.
Selama ini ada beberapa rekan kerja
yang baru mengenal penulis, dengan terheran-heran sempat bertanya
: "Sebenarnya you punya
agama itu apa sih? Katanya Buddhis,
tapi koq tahu banget soal agama
Katolik dan Kristen?" "Ya, iyalah.
Saya kan dulu sejak kecil bersekolah di perguruan Katolik. Masa nggak tahu?" jawab penulis.
Lalu sempat pula ada salah seorang yang bertanya, "Kenapa nggak masuk
Katolik sekalian?" Menanggapi pertanyaan itu, penulis hanya menjawab bahwa
itu adalah masalah keyakinan yang tidak dapat dipaksakan. Sampai saat ini pun
penulis tidak berniat untuk berpaling dari agama leluhur yang telah dianut oleh
sekian banyak generasi penulis terdahulu.
Kita lanjutkan cerita perjalanan
penulis setelah lulus dari sekolah menengah atas. Memasuki perguruan tinggi, di
tahun kedua ada mata kuliah dasar umum (MKDU) bernama mata kuliah agama.
Universitas tempat penulis menuntut ilmu menyediakan beberapa kuliah agama yang
bisa dipilih oleh para mahasiswa. Penulis memilih 'Agama Buddha', dan setelah
mengikuti kuliah di kelas, pada akhirnya penulis mengerti doktrin-doktrin utama
agama Buddha. Tidak puas sampai di situ di akhir tahun itu penulis mulai berkunjung
ke vihara untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan ritual agama Buddha. Kebetulan
di kota kelahiran penulis ada sebuah vihara milik sekte Buddhayana yang menyelenggarakan
puja bakti keagamaan secara teratur, dan di vihara ada perpustakaan tempat kita
bisa meminjam buku-buku Dharma. Lewat bertanya, berdiskusi, dan belajar lewat
buku, penulis bisa memperluas pengetahuan tentang agama Buddha. Belakangan di
kota itu didirikan vihara baru yang beraliran Mahayana, dan demi memuaskan rasa
ingin tahu, penulis berkunjung ke sana dan mencoba mempelajari apa yang
ditekankan dalam mazhab Mahayana. Beberapa tahun belakangan ini penulis mulai
melakukan studi mandiri terhadap Tridharma.
Mungkin ada pembaca yang bertanya,
apakah setelah itu penulis sudah berhasil bertransformasi dari 'Umat Buddha
KTP' menjadi umat Buddha sesungguhnya? Atau apakah penulis sudah memiliki pola
pikir Buddhis yang tidak tergoyahkan? Penulis tidak berbangga-hati mendapat
sebutan demikian. Bukan hanya pola pikir Buddhis atau pola pikir Tridharma yang
membuat seorang menjadi pemeluk agama yang sesungguhnya, namun ada aspek lain
yang juga menentukan. Cerita berikut ini mungkin pernah ditemui oleh para
pembaca di media sosial dan akan penulis hadirkan sekali lagi.
Engko Acong, demikian orang
memanggilnya, adalah seorang pedagang kelontong di sebuah pasar tradisional. Di
dekat pasar itu yang kebetulan dekat daerah pecinan, ada sebuah kelenteng kecil
yang biasanya dikunjungi oleh orang-orang yang tinggal di sekitar daerah itu. Acong
adalah orang yang sederhana dan hanya berpendidikan sekolah menengah pertama
dan itu pun juga tidak sampai lulus. Setiap hari sebelum berangkat ke tokonya
Acong mampir di kelenteng. Dia terbiasa mengawalinya dengan mengambil sebatang hio, menyulutnya hingga menyala, lalu
pergi ke altar dewa utama yang ada di rumah ibadah itu. Seperti orang yang
biasa bersembahyang di sana, Acong pun mengayun-ayunkan batang hio di atas kepalanya, dan berkata
dengan suara lirih, "Kongco, ini owe, Acong." Hanya kata-kata itu dan
selanjutnya hio ditancapkan ke
wadah-abu, dan Acong memberi hormat Kongco sekali lagi, kemudian dia
melanjutkan perjalanan ke tokonya. Kebiasaan Acong yang sebelum kerja selalu
mampir di kelenteng pun sudah dipahami oleh Bio-kong alias 'Juru Kunci' kelenteng tersebut, bahkan
kata-katanya "Kongco, ini owe, Acong," sudah menjadi trade mark si orang lugu ini. Demikianlah
bertahun-tahun Acong melakukan ibadah rutin ini sebelum dia pergi membuka
tokonya. Sekali waktu Acong jatuh sakit dan dia dibawa ke IGD sebuah rumah
sakit oleh isterinya. Setelah dirawat beberapa hari penyakit Acong tidak
kunjung sembuh bahkan bertambah parah. Terpaksa dia dirawat di ruang ICU (intensive care unit). Di tengah malam saat
Acong yang sudah sekarat dan nampaknya tidak tertolong lagi, sekonyong-konyong
sambil mengigau dalam tidurnya Acong berkata: "Kongco, ini owe,
Acong," Ajaib!! Tiba-tiba dalam penglihatan Acong tampak seorang tua
berjubah putih datang menghampirinya; lalu serta-merta orang tua itu mengusap
wajah Acong. Tidak berapa lama kemudian Acong pun mendusin, lalu disadarinya
bahwa masih ada jarum-infus tertempel di tangannya, ada pula kabel-kabel
instrumen-medis terhubung di beberapa bagian tubuhnya, dan di hidung dan mulutnya
masih ditutup oleh masker-oksigen. Acong yang merasa sudah sembuh heran mengapa
dia berada di tempat itu. Dia pun segera mencopot jarum-infus, plester-kabel,
dan masker-oksigen, yang selama ini membelenggunya. Setelah itu dia turun dari
tempat tidurnya, mencari pintu ke luar, dan segera pulang ke rumahnya. Tinggal
si perawat-jaga di ICU yang kebingungan, melihat pasiennya tiba-tiba bisa
bangun dan berjalan sendiri, lalu minggat.
Tentu Anda para pembaca bertanya-tanya,
bagaimana mungkin Acong seorang Buddhis-KTP atau umat dung dung cep bisa mendapat pertolongan dari Kongco di saat kritis.
Kisah mirip si Acong pun terkadang kita baca atau kita tonton di layar TV dalam
lintasan peristiwa di dunia ini, meskipun dalam konteks yang berbeda. Intinya hanya
dengan bermodalkan keyakinan yang teguh, seorang bisa terselamatkan. Dalam
kosakata Buddhis, keyakinan ini dinamakan saddhā
(Pali) atau śraddhā (Sans.).
Pengalaman penulis sewaktu masih duduk
di bangku pendidikan dasar dan menengah semoga tidak terjadi lagi pada umat
kita sekarang ini. Kondisi sekarang pasti berbeda dibandingkan enam-puluh atau
lima-puluh tahun yang lalu. Pihak vihara, cetiya, kelenteng, bio, litang, dan
taokwan pun sudah berbenah dan siap membina umatnya. Mereka sudah bersiaga
menghadapi tantangan zaman dalam membina umatnya. Puja bakti mingguan sudah
jadi agenda mereka, dan sekolah-minggu pun diadakan secara rutin untuk membina
anak-anak dan muda-mudi. Juru-dakwah dalam agama Buddha dan Tridharma alias
dharmaduta, pun sudah siap mendidik dan membina umat. Dengan demikian yang
namanya umat Buddha KTP pun lama-lama sudah tidak ada lagi.
Menutup tulisan ini penulis ingin
menyitir ucapan Tenzin Gyatso, Dalai Lama ke-14. Sekali waktu pemimpin
spiritual rakyat Tibet itu ditanya apakah agama terbaik itu. Dalai Lama
menjawab: "Agama terbaik adalah agama yang membuat Anda menjadi orang yang
lebih baik." Dan apa itu menjadi lebih baik? Jawabnya: "Menjadi lebih
baik berarti membuat Anda lebih berwelas-asih, lebih berpikiran sehat, lebih obyektif
dan adil, lebih menyayangi, lebih punya rasa tanggung jawab, dan milikilah
kualitas-kualitas seperti itu." Sebagai penutup, tentu penulis berpesan, Lets become a better Buddhist, atau Lets become a better Confucianist, atau Lets become a better Taoist, atau Lets become a better Tridharmaist.
sdjn/dharmaprimapustaka/220713
Tidak ada komentar:
Posting Komentar