Rabu, 13 Juli 2022

BUDDHIS KTP


 

Cerita berikut ini mencoba memberi gambaran tentang apa persepsi mayoritas masyarakat Indonesia terhadap kaum minoritas Tionghoa. Fakta ini didapat setelah penulis berbincang-bincang dengan beberapa sahabat yang berasal dari kalangan yang mengaku sebagai orang pribumi Indonesia. Menurut pandangan mereka, orang Tionghoa di Tanah Air yang memiliki kewarganegaraan Indonesia, kebanyakan beragama Buddha, atau  Kristen, atau Katolik; dan hanya segelintir yang memeluk agama Islam. Mereka juga menganggap bahwa semua orang Tionghoa itu kaya atau berkecukupan, serta mayoritas merupakan bagian dari kelas menengah dalam masyarakat Indonesia.

 

Penulis mengiyakan bahwa adalah benar bahwa sebagian besar etnis Tionghoa memeluk agama Kristen, Katolik, dan Buddha; tetapi tidak setuju dengan pendapat bahwa hampir semua orang Tionghoa di Indonesia adalah orang kaya atau termasuk kelas menengah. Masih banyak orang Tionghoa – terutama di daerah tertentu – yang hidup dalam kondisi kekurangan bahkan berada di bawah garis kemiskinan. Penulis katakan pula kepada mereka, masih banyak warga Tionghoa yang hidupnya susah, dan ini bisa dilihat pada masyarakat Cina Benteng di Tangerang dan etnis Tionghoa di Propinsi Kalimantan Barat. Bahkan tidak usah jauh-jauh, di Jakarta Barat saja banyak warga keturunan yang masih menghuni kawasan kumuh, dan untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari pun mereka masih kesulitan.

 

Pembicaraan kami terus berlanjut. Mereka juga memiliki persepsi bahwa umat Buddha yang berasal dari etnis Tionghoa – bukan seperti orang Jawa yang beragama Buddha – bersembahyang di kelenteng dengan cara memasang hio atau dupa. Penulis menjelaskan kepada mereka, adalah umum masyarakat Indonesia menganggap bahwasanya umat Buddha dari etnis Tionghoa itu hanya terdiri dari satu golongan dan mereka semuanya dianggap sama, tetapi dalam kenyataannya praktik ibadah di antara umat itu berbeda.

 

Seperti yang Anda para pembaca ketahui, umat Buddha tidaklah bersifat homogen. Ada banyak mazhab dan sekte yang dianut oleh pengikut Buddhis di Indonesia ini. Bukan maksud penulis untuk menceritakan keberagaman kepercayaan mereka dalam tulisan ini. Penulis kali ini ingin menyoroti umat Buddha di Indonesia, yang bisa disederhanakan menjadi dua golongan saja. Lho koq bisa?

 

Mereka yang memeluk keyakinan Buddhis bisa digolongkan menjadi dua bagian besar, berdasarkan tingkat pemahaman mereka dalam menghayati agamanya. Perlu kita pahami bahwa menjadi Buddhis bukanlah sekedar beragama, karena Buddhis adalah sebuah Pola Pikir, yakni 'Pola Pikir Buddhis'. Orang yang sejak dari kecil rutin ke vihara, beranjak remaja tetap rajin ke vihara, dan sudah kerja juga masih ke vihara; tetapi secara tiba-tiba dia berpindah agama; mengapa bisa demikian? Sebenarnya orang tersebut tidak memiliki 'Pola Pikir Buddhis', tetapi hanyalah umat tradisional yang mengaku sebagai Buddhis. Di kalangan internal kami, mereka sering pula disebut 'Umat Buddha KTP'. Apa maksudnya? Ini berkaitan dengan sejarah kelam Republik kita ini. Pada tahun 1965 terjadi Pemberontakan G 30 S, yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Kudeta itu berhasil digagalkan namun mengorbankan nyawa rakyat Indonesia dalam jumlah yang amat besar. PKI pun ditumpas, dibubarkan, dan eksistensinya pun ditiadakan. Pemerintah yang berkuasa pada saat itu yakni Rezim Orde Baru, membuat stigma bahwa Komunis itu jahat dan anti-agama. Orang Indonesia sejak itu takut dicap sebagai pengikut 'Komunis' dan mereka pun ingin disebut sebagai orang beragama. Jadi setiap penduduk Indonesia, wajib mencantumkan agama di kolom KTP-nya. Sekedar perbandingan, yang namanya identity card (semacam KTP) di negara lain, tidak pernah mencantumkan agama si pemegang kartu.

 

Nah, setelah peristiwa pemberontakan G 30 S yang tragis bagi bangsa kita, ternyata membawa implikasi yang serius dalam kehidupan beragama etnis Tionghoa di Indonesia. Terutama ini berdampak pada mereka yang selama itu mengikuti agama leluhur mereka, yang disebut 'Agama Orang Tionghoa'. Di tahun 1965 itu hanya ada lima agama yang diakui di Indonesia, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Jadi mereka yang merasa memeluk 'Agama Orang Tionghoa' mau tidak mau akan mencantumkan 'Buddha' di kolom KTP mereka. Dari sinilah muncul istilah 'Umat Buddha KTP'. Jadi apa itu 'Agama Orang Tionghoa'? Bagi mereka itu adalah apa yang disebut sebagai _Sān Jiào_ (三教) atau Sam Kauw (Hokkian), atau diindonesiakan sebagai Tridharma. Tridharma artinya 'Tiga Ajaran', merupakan sinkretisme dari tiga agama, yakni ajaran Taoisme, ajaran agama Buddha Mahayana, dan ajaran agama Ru yakni yang bersumber dari Konghucu. Belakangan pada tahun 2000 pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, agama Konghucu resmi menjadi salah satu agama yang diakui di Indonesia. Dengan demikian mereka yang menganut Agama Orang Tionghoa atau mengaku sebagai pemeluk Tridharma, bisa memilih mencantumkan 'Buddha' atau 'Konghucu' pada kolom agama di KTP-nya.

 

Sekarang kita akan membahas lebih lanjut apa yang dinamakan 'Umat Buddha KTP' itu. Agar lebih mudah dipahami, penulis ingin menceritakan pengalaman pribadi penulis sendiri. Penulis lahir dari keturunan etnis Tionghoa suku Hokkian, yang entah sudah berapa generasi bermukim di bumi Nusantara ini. Kami satu keluarga besar, baik dari garis keturunan laki-laki maupun perempuan, adalah penganut agama orang Tionghoa yang taat. Setiap tanggal 1 dan 15 menurut penanggalan lunar, di meja-abu leluhur dari garis keturunan laki-laki, kami biasa mempersembahkan dupa, lampu-minyak, dan air teh dengan melakukan persembahyangan. Meja-abu yang di atasnya terpampang potret hitam-putih para leluhur kami tersebut, tidaklah berada di rumah orang tua penulis, tetapi ditempatkan di rumah tua peninggalan kakek dan nenek yang berlokasi di kawasan pecinan. Pada saat-saat tertentu sesuai dengan tradisi, seperti perayaan dewa dapur naik ke kahyangan, sembahyang Thian, sembahyang Tahun Baru Imlek, dan sembahyang arwah; ritual akan berlangsung lebih lama dan sesajian yang dipersembahkan di meja-abu lebih banyak dan bervariasi. Menyambut persembahyangan istimewa ini, kami sekeluarga telah menyiapkannya jauh-jauh hari sebelumnya.

 

Acara persembahyangan yang dilakukan secara rutin mengikuti petunjuk penanggalan lunar adalah peristiwa yang membekas kuat dalam memori penulis hingga saat ini. Adalah sosok Jie-kou sebutan bagi kakak-perempuan-kedua papa kami, yang begitu sabar dan telaten, yang mengajarkan kami untuk melakukan persembahyangan di depan altar dengan hikmat. Lewat tutur katanya yang lemah lembut dan tangan halusnya, kami diajarkan bagaimana mengambil hio atau batang-dupa, menyalakannya, memegang dan menggerak-gerakannya di depan dada, sambil mulut-mulut kecil kami berkomat-kamit melantunkan doa dan permohonan kepada para leluhur yang telah tiada. Dia nampak bahagia melihat Sudjana Kecil dan adiknya sudah pintar pai-pai. Sewaktu kami bertanya kepadanya, apa makna di balik barang persembahan dan ritual persembahyangan ini, dia tidak mampu menjelaskannya. Jie-kou almarhumah hanyalah sosok wanita paruh baya yang sederhana, tidak banyak menuntut, dan dia menyiapkan dan melaksanakan ritual persembahyangan dengan tulus dan penuh rasa bakti terhadap agama dan keyakinannya.

 

Mungkin teman-teman dari generasi yang seangkatan dengan penulis banyak juga yang memiliki pengalaman masa kecil yang serupa. Di permulaan dekade 60-an pendidikan dan pengetahuan orang tua kita tentang Agama Orang Tionghoa amatlah minim. Mereka rata-rata tidak memahami apa makna bersembahyang, apa tujuannya meletakkan sesajian di atas altar, apalagi mengerti pesan simbolik dalam upacara yang diadakan di rumah atau tempat ibadah. Segala tata-laku yang dikerjakannya dalam bersembahyang ditiru mentah-mentah dari orang tua atau kakek-nenek mereka. Adalah sosok Tua-kou, yakni kakak-perempuan-tertua dari papa, yang sering mengajak penulis ke bio atau kelenteng tua yang terdapat di kawasan pecinan tersebut. Saat berkunjung ke sana terutama pada hari keagamaan, banyak umat yang bersembahyang dengan dibekali lilin merah, hio, dan 'kertas-uang'. Adalah suatu kenyataan bahwa banyak dari mereka yang memasang lilin di altar, menyulut hio, kemudian melakukan pai-pai di hadapan patung dewa/dewi atau bodhisattva layaknya sesosok robot. Memang ada doa dan harapan yang tercetus di bibirnya agar permohonan atau permintaannya dikabulkan. Inilah yang disindir oleh sementara kalangan internal sebagai umat dung dung cep. Entah dari mana datangnya istilah ini – mungkin saja karena mereka yang melakukannya dua kali bersujud, maka dinamakan dung dung, lalu batang hio itu ditancapkan pada wadah-abu dengan suara cep – satu sebutan yang merendahkan terhadap orang yang melakukannya. Dengan demikian, hingga meningkat remaja penulis bisa digolongkan sebagai salah satu dari 'Umat Buddha KTP' atau golongan dung dung cep ini.

 

Setelah cukup umur penulis memasuki sekolah dasar di perguruan yang berciri khas Katolik, yang berlanjut di SMP yang sama. Kemudian dilanjutkan ke SMA yang dikelola oleh Yayasan Katolik yang berbeda. Jadi selama dua belas tahun penulis tidak pernah mengenal ajaran tentang apa itu agama orang Tionghoa. Di lingkungan pendidikan formal ini penulis diajarkan pengalaman berinteraksi dengan penganut agama lain. Jika biasanya kami sembahyang dengan membakar hio, maka di sekolah ini kami diajarkan untuk berdoa dengan cara memejamkan mata sambil melipat tangan. Di lingkungan ini penulis mulai mengenal sosok Yesus Kristus dan nabi-nabi seperti yang diceritakan dalam Alkitab. Selama menuntut ilmu di sana terkadang kami mendapatkan pelajaran agama Katolik dari frater, bruder, atau suster, dan mereka tidak pernah mempermasalahkan agama yang penulis anut. Bahkan mereka terkesan sangat toleran kepada kami, termasuk kepada beberapa teman yang beragama Islam.

 

Selama ini ada beberapa rekan kerja yang baru mengenal penulis, dengan terheran-heran sempat bertanya : "Sebenarnya you punya agama itu apa sih? Katanya Buddhis, tapi koq tahu banget soal agama Katolik dan Kristen?" "Ya, iyalah. Saya kan dulu sejak kecil bersekolah di perguruan Katolik. Masa nggak tahu?" jawab penulis. Lalu sempat pula ada salah seorang yang bertanya, "Kenapa nggak masuk Katolik sekalian?" Menanggapi pertanyaan itu, penulis hanya menjawab bahwa itu adalah masalah keyakinan yang tidak dapat dipaksakan. Sampai saat ini pun penulis tidak berniat untuk berpaling dari agama leluhur yang telah dianut oleh sekian banyak generasi penulis terdahulu.

 

Kita lanjutkan cerita perjalanan penulis setelah lulus dari sekolah menengah atas. Memasuki perguruan tinggi, di tahun kedua ada mata kuliah dasar umum (MKDU) bernama mata kuliah agama. Universitas tempat penulis menuntut ilmu menyediakan beberapa kuliah agama yang bisa dipilih oleh para mahasiswa. Penulis memilih 'Agama Buddha', dan setelah mengikuti kuliah di kelas, pada akhirnya penulis mengerti doktrin-doktrin utama agama Buddha. Tidak puas sampai di situ di akhir tahun itu penulis mulai berkunjung ke vihara untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan ritual agama Buddha. Kebetulan di kota kelahiran penulis ada sebuah vihara milik sekte Buddhayana yang menyelenggarakan puja bakti keagamaan secara teratur, dan di vihara ada perpustakaan tempat kita bisa meminjam buku-buku Dharma. Lewat bertanya, berdiskusi, dan belajar lewat buku, penulis bisa memperluas pengetahuan tentang agama Buddha. Belakangan di kota itu didirikan vihara baru yang beraliran Mahayana, dan demi memuaskan rasa ingin tahu, penulis berkunjung ke sana dan mencoba mempelajari apa yang ditekankan dalam mazhab Mahayana. Beberapa tahun belakangan ini penulis mulai melakukan studi mandiri terhadap Tridharma.

 

Mungkin ada pembaca yang bertanya, apakah setelah itu penulis sudah berhasil bertransformasi dari 'Umat Buddha KTP' menjadi umat Buddha sesungguhnya? Atau apakah penulis sudah memiliki pola pikir Buddhis yang tidak tergoyahkan? Penulis tidak berbangga-hati mendapat sebutan demikian. Bukan hanya pola pikir Buddhis atau pola pikir Tridharma yang membuat seorang menjadi pemeluk agama yang sesungguhnya, namun ada aspek lain yang juga menentukan. Cerita berikut ini mungkin pernah ditemui oleh para pembaca di media sosial dan akan penulis hadirkan sekali lagi.

 

Engko Acong, demikian orang memanggilnya, adalah seorang pedagang kelontong di sebuah pasar tradisional. Di dekat pasar itu yang kebetulan dekat daerah pecinan, ada sebuah kelenteng kecil yang biasanya dikunjungi oleh orang-orang yang tinggal di sekitar daerah itu. Acong adalah orang yang sederhana dan hanya berpendidikan sekolah menengah pertama dan itu pun juga tidak sampai lulus. Setiap hari sebelum berangkat ke tokonya Acong mampir di kelenteng. Dia terbiasa mengawalinya dengan mengambil sebatang hio, menyulutnya hingga menyala, lalu pergi ke altar dewa utama yang ada di rumah ibadah itu. Seperti orang yang biasa bersembahyang di sana, Acong pun mengayun-ayunkan batang hio di atas kepalanya, dan berkata dengan suara lirih, "Kongco, ini owe, Acong." Hanya kata-kata itu dan selanjutnya hio ditancapkan ke wadah-abu, dan Acong memberi hormat Kongco sekali lagi, kemudian dia melanjutkan perjalanan ke tokonya. Kebiasaan Acong yang sebelum kerja selalu mampir di kelenteng pun sudah dipahami oleh Bio-kong alias 'Juru Kunci' kelenteng tersebut, bahkan kata-katanya "Kongco, ini owe, Acong," sudah menjadi trade mark si orang lugu ini. Demikianlah bertahun-tahun Acong melakukan ibadah rutin ini sebelum dia pergi membuka tokonya. Sekali waktu Acong jatuh sakit dan dia dibawa ke IGD sebuah rumah sakit oleh isterinya. Setelah dirawat beberapa hari penyakit Acong tidak kunjung sembuh bahkan bertambah parah. Terpaksa dia dirawat di ruang ICU (intensive care unit). Di tengah malam saat Acong yang sudah sekarat dan nampaknya tidak tertolong lagi, sekonyong-konyong sambil mengigau dalam tidurnya Acong berkata: "Kongco, ini owe, Acong," Ajaib!! Tiba-tiba dalam penglihatan Acong tampak seorang tua berjubah putih datang menghampirinya; lalu serta-merta orang tua itu mengusap wajah Acong. Tidak berapa lama kemudian Acong pun mendusin, lalu disadarinya bahwa masih ada jarum-infus tertempel di tangannya, ada pula kabel-kabel instrumen-medis terhubung di beberapa bagian tubuhnya, dan di hidung dan mulutnya masih ditutup oleh masker-oksigen. Acong yang merasa sudah sembuh heran mengapa dia berada di tempat itu. Dia pun segera mencopot jarum-infus, plester-kabel, dan masker-oksigen, yang selama ini membelenggunya. Setelah itu dia turun dari tempat tidurnya, mencari pintu ke luar, dan segera pulang ke rumahnya. Tinggal si perawat-jaga di ICU yang kebingungan, melihat pasiennya tiba-tiba bisa bangun dan berjalan sendiri, lalu minggat.

 

Tentu Anda para pembaca bertanya-tanya, bagaimana mungkin Acong seorang Buddhis-KTP atau umat dung dung cep bisa mendapat pertolongan dari Kongco di saat kritis. Kisah mirip si Acong pun terkadang kita baca atau kita tonton di layar TV dalam lintasan peristiwa di dunia ini, meskipun dalam konteks yang berbeda. Intinya hanya dengan bermodalkan keyakinan yang teguh, seorang bisa terselamatkan. Dalam kosakata Buddhis, keyakinan ini dinamakan saddhā (Pali) atau śraddhā (Sans.).

 

Pengalaman penulis sewaktu masih duduk di bangku pendidikan dasar dan menengah semoga tidak terjadi lagi pada umat kita sekarang ini. Kondisi sekarang pasti berbeda dibandingkan enam-puluh atau lima-puluh tahun yang lalu. Pihak vihara, cetiya, kelenteng, bio, litang, dan taokwan pun sudah berbenah dan siap membina umatnya. Mereka sudah bersiaga menghadapi tantangan zaman dalam membina umatnya. Puja bakti mingguan sudah jadi agenda mereka, dan sekolah-minggu pun diadakan secara rutin untuk membina anak-anak dan muda-mudi. Juru-dakwah dalam agama Buddha dan Tridharma alias dharmaduta, pun sudah siap mendidik dan membina umat. Dengan demikian yang namanya umat Buddha KTP pun lama-lama sudah tidak ada lagi.

 

Menutup tulisan ini penulis ingin menyitir ucapan Tenzin Gyatso, Dalai Lama ke-14. Sekali waktu pemimpin spiritual rakyat Tibet itu ditanya apakah agama terbaik itu. Dalai Lama menjawab: "Agama terbaik adalah agama yang membuat Anda menjadi orang yang lebih baik." Dan apa itu menjadi lebih baik? Jawabnya: "Menjadi lebih baik berarti membuat Anda lebih berwelas-asih, lebih berpikiran sehat, lebih obyektif dan adil, lebih menyayangi, lebih punya rasa tanggung jawab, dan milikilah kualitas-kualitas seperti itu." Sebagai penutup, tentu penulis berpesan, Lets become a better Buddhist, atau Lets become a better Confucianist, atau Lets become a better Taoist, atau Lets become a better Tridharmaist.

 

 

sdjn/dharmaprimapustaka/220713

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar